Anda di halaman 1dari 32

MORBUS HANSEN

Oleh:
Mustika Febriani Rizona
Yohanna Eclesia L.G
Sintia Mardhasafitri

1010312073
1010313032
1110312098

Preseptor:
dr. Ennesta Asri, Sp.KK

BAGIAN ILMU DERMATO VENEROLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2015

BAB I
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.1. Definisi Morbus Hansen
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali ke susunan saraf pusat.1
1.2.

Epidemiologi Morbus Hansen


Morbus hansen dapat menyerang semua umur dimana anak- anak lebih rentan

dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun di
dapatkan 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
pada kelompok umur 25-35 tahun.2Jumlah kasus kusta di dunia selama 12 tahun
terakhir telah menurun 85% di sebagian besar negara atau diwilayah endemis. Pada
awal 1997 ditemukan kurang lebih 890.000 penderita di seluruh dunia. Di Indonesia
jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir maret 1997 adalah 31.699 orang,
distribusi juga tidak merata, dimana yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan.2
1.3.

Etiologi Morbus Hansen


Penyakit

kusta

disebabkan

oleh

kuman

yang

dinamakan

sebagai

mikrobakterium, dimana mikrobakterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk


spora, berbentuk batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan
terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan
sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk safrifit, terdapat juga golongan
organisme patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium leprae)
yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis infeksi
granuloma.3
1.4.

Patogenesis Morbus Hansen


Cara penularan penyakit morbus hansen belum diketahui secara pasti, hanya

berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan

erat. Anggapan lain adalah secara inhalasi, karena M. leprae dapat hidup dalam
beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun,
umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.2
Faktor-faktor yang perlu di pertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya
reservoir diluar manusia.2 Penderita yang mengandung M. Leprae sampai 103 per
gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dari
penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan2. Kuman penyebab
kusta dapat di temukan di kulit, folikel rambut, kelenjer keringat, dan air susu ibu,
jarang di dapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. Leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular
yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superficial pada
dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk kedalam
tubuh, maka tubuh bereaksi mengeluarkan makrofag ( berasal dari sel monosit darah,
sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya2.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan 2.Pada kusta tipe
TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Namun setelah kuman di fagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi segera akanterjadi
reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitarnya2.
Sel Schwann merupakam sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman
dapat bermigrsi dan beraktivasi sehingga aktivasi regenerasi saraf berkurang dan
terjadi kerusakan saraf yang progresif2.
1.5.

Manifestasi Klinis Morbus Hansen


Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, dan

histopatologis. Diantara ketiganya, diagnosis klinis merupakan yang terpenting dan


paling sederhana. Hasil bakerioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit,

sedangkan histopatologik 10-14 hari. Menuturt Ridley dan Jopling gejala klinis
penyakit kusta adalah :
1. Tipe tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas tegas dan pada bagian tengah di temukan lesi regresi
atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sisinata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
respon imun yang adekuat terhadap kusta.3
2. Tipe borderline tuberculoid (BT)
Lesi paa tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.3
3. Tipe midborderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi
dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi mengkilap, batas lesi kurang
jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Bisa di
dapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.3
4. Tipe borderline lepromatous
Secara klasik lesi diawali dengan makula yang main lama makin menyebar
keseluruh badan. Dapat di temukan papul dan nodul dengan distribusi yang
hampir simetris. Lesi pada bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas di bandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa
plak tampak seperti punched out. Kerusakan saraf di tandai dengan hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut, dimana ini
lebih cepat muncul di bandingkan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
predileksi.3
5. Tipe lepromatosa (LL)
Pada tipe ini di temukan jumlah lesi lebih banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan

anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas di wajah mengenai dahi, pelipis,
dagu, cuping telinga. Pada bagian badan mengenai bagian badan yang dingin,
lengan, pungung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium
lanjut tampak penebalan kulit yag progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada
hidung. Dapat di jumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang lama kelamaan
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas akan menyebabkan stocking &
gloves anaesthesia. Bila penyakit ini progresif, muncul makula dan papul baru,
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.3
Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe
yaitu :
1. Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB)1.
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut :
Tanda Utama
Bercak Kusta
Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi (mati/kurang
rasa/ kelemahan otot yang dipersarafi
Sediaan hapus

1.6.

Type PB
Jumlah 1 5
Hanya 1 saja

Type MB
Jumlah >5
Lebih dari 1 saraf

BTA negatif

BTA positif

Pemeriksaan Fisik Morbus Hansen


Pemeriksaan klinis yang teliti dan lengkap sangat penting dalam menegakkan

diagnosis kusta. Pemeriksaan meliputi :


1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya.
a. Kapan timbul bercak/ keluhan yang ada?
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama (apakah ada
riwayat kontak)?
c. lahir dan tinggal dimana?
d. Riwayat pengobatan sebelumnya.
2. Pemeriksaan Kulit / Dermatologis
Persiapan pemeriksaan:
- Tempat : cukup cahaya, menjaga kenyamanan pasien
- Waktu pemeriksaan : dilakukan pada siang hari

- Orang yang diperiksa : menjelaskan tata cara pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan pada
seluruh badan.
a. Pemeriksaan Pandang
- Orang yang diperiksa menghadap sumber cahaya.
- Pemeriksaan dimulai dari kepala hingga telapak kaki.
- Perhatikan setiap bercak, bintil-bintil, jaringan parut, penebalan kulit, dan kulit yang
keriput.
- Periksalah rasa raba da lihatlah kelainan atau cacat pada tangan dan kaki.
b. Pemeriksaan raba
- Gunakan

sepotong

kapas

yang

ujungnya

dilancipkan,

periksalah

dengan

menyentuhkan ujung kapas secara tegak lurus dengan pada kelainan kulit yang
dicurigai.
- Terangkan pada pasien jika ia merasakan sentuhan, ia harus menunjuk kulit yang
disentuh dengan jari telunjuknya.
- Jika telah jelas, pemeriksaan yang sama dilakukan pada mata tertutup. Kelainan di
kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal di sekitarnya untuk
mengetahui ada tidaknya anestesi.
c. Pemeriksaan saraf tepi
Pemeriksaan dilakukan pada saraf tepi yang paling sering terlibat dalam penyakit kusta,
dan dapat diraba seperti tempat terjadinya kerusakan saraf. Pada umumnya cacat kusta
diakibatkan kerusakan pada saraf tepi seperti gambar di bawah ini:

Gambar. Pemeriksaan Saraf Tepi

d. Pemeriksaan perabaan (palpasi) saraf tepi


- Pemeriksa berhadapan dengan pasien
- Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak menyakiti pasien.
- Pada saat meraba saraf perhatikan :
o apakah ada penebalan atau pembesaran
o apakah saraf kanan dan kiri sama atau berbeda
o apakah ada nyeri atau tidak pada saraf
Saat melakukan palpasi saraf perhatikan mimik pasien , apakah ada kesan kesakitam
tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa saraf yang disebutkan, ada 3 saraf
yang wajib diperiksa yaitu saraf ulnaris, peroneus communis, dan tibialias posterior.
1. Saraf ulnaris

Gambar. Pemeriksaan saraf ulnaris

2. Saraf peroneus kommunis

Gambar. Pemeriksaan saraf perroneus kommunis

3. Saraf Tibialis Posterior

Gambar. Pemeriksaan saraf tibialis posterior

e. Pemeriksaan fungsi saraf


Dilakukan secara sistematis pada mata, tangan, dan kaki. Pemeriksaan fungsi rasa
raba dan kekuatan otot. Persiapan diantaranya:
- Siapkan ball point yang ringan dan kertas
- Siapkan tempat duduk pasien
Langkah pemeriksaan yaitu periksa secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan
mulai dari kepala sampai kaki.
1. Pemeriksaan Mata.
Fungsi motorik saraf fasialis
Fungsi sensorik yaitu pemeriksaan saraf trigeminus pada kornea

Gambar pemeriksaan motorik

2. Pemeriksaan Tangan
Fungsi sensorik saraf ulnaris dan medianus

Gambar pemeriksaan sensorik saraf

Fungsi motorik
Saraf ulnaris (kekuatan otot jari kelingking)

Gambar fungsi motorik saraf ulnaris

Saraf medianus (kekuatan otot ibu jari)

Gambar. Saraf Medianus

Saraf Radialis (kekuatan pergelangan tangan)

Gambar pemeriksaan saraf radialis

3. Kaki
- Fungsi sensorik saraf tibialis posterior
- Fungsi motorik saraf peroneus kommunis

Gambar pemeriksaan motorik saraf perroneus kommunis

1.7.

Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta dan klasifikasinya harus dilihat secara menyeluruh dari

berbagai hal, diantaranya:


1. Klinis
2. Bakteriologis
3. Immunologis
4. Histopatologis
Diagnosa pasien kusta dapatditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda kardinal
(minimal 1 tanda kardinal) yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak kulit hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar, atau meninggi.Mati rasa pada
bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsangan raba,suhu dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi syaraf yang terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motors: Paresis/paralisis


c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, edema, pertumbuhan rambut terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Hapusan dari cuping telinga kiri dan kanan, lesi pada bagian yang aktif.
Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah tersangka kusta, observasi
dan periksa ulang setelah 3-6 bulan.Namun untuk diagnosis kusta di lapangan cukup dengan
anamnesis dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan fasilitas memungkinkan sebaiknya
dilakukan pemeriksaan bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput lendir
hidung bagian bawah, atau dari biopsi cuping telinga, dibuat sediaan mikrokopis pada gelas
alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal
memberikan gambaran histologis yang khas. Tes serologik bukan treponema untuk sifilis
sering menghasilkan positif palsu pada kusta.
1.8.

Diagnosis Banding
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:

Ada Makula hipopigmentasi

Ada daerah anestesi

Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.


Adapun diagnosis banding dari morbus hansen adalah sebagai berikut:

1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau dermatitis
seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus
eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat
1.9.

Pemeriksaan Penunjang Morbus Hansen


Adapun beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien morbus hansen diantaranya:

1. Pemeriksaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.
a. Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen

Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Cara pengambilan bahan :
- dengan skapel steril, lesi yang telah didesinfeksi dijepit diantara ibu jari dan jari
telunjuk agar menjadi iskemik.
- irisan yang dibuat harus sampai di dermis.
- Kerokan jaringan dioleskan di objek glass, difiksasi di atas api, diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen.
- untuk sediaan mukosa hidung, diperoleh dengan cara nose blows yang dilakukan di
pagi hari dan ditampung dengan plastik.
- dengan kapas lidi, bahan dioleskan merata pada objek glass, difiksasi pada hari yang
sama.
b. Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Kegunaan:
- Untuk melihat keberhasilan terapi
- Untuk melihat resistensi kuman BTA
- Untuk melihat infeksiositas penyakit
Syarat perhitungan :
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya, karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari
dalam 100 lapangan.
c. Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA tanpa
melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).

BTA -

1 10/ 100 L.P

+1

1 10/ 10 L.P

+2

1 10/ 1 L.P

+3

10 100/ 1 L.P

+4

100 1000/ 1 L.P

+5

> 1000/ 1 L.P

+6

2. Pemeriksaan histopatologik
Untuk membedakan tipe TT & LL
- Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)
- Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yaitu histiosit dimana di
dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung. Ditemukan
lini tenang (subepidermal clear zone).
3. Pemeriksaan serologik
Berdasarkan terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
-

Tes ELISA

Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Partikel Aglutination)

ML dipstick
1.10.

Penatalaksanaan Morbus Hansen

Tujuan utama penatalaksanaan penyakit kusta adalah untuk memutuskan rantai


penularan, menurunkan insiden penyakit,mengobati dan menyembuhkan penderita, dan
mencegah timbulnya kecacatan. Untuk mencapai tujuan tersebut, srategi pokok yg dilakukan
didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.1
Regimen pengobatan kusta disesuaikan dengan yang direkomendasikan oleh
WHO/DEPKES RI (1981). Untuk itu klasifikasi kusta disederhanakan menjadi:
1. Pausi Basiler (PB)
2. Multi Basiler (MB)
Kegunaan regimen pengobatan MDT/= Multi Drug Treatment

untuk mengatasi

resistensi Dapson yang semakin meningkat, mengatasi ketidakteraturan penderita dalam

berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.1
Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah:
-

Rifampisin 600 mg setiap bulan, dalam pengawasan

DDS 100 mg tiap hari

Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg sehari


atau 100 mg selama sehari atau 3 x 100 mg tiap minggu

Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 36 bulan dengan syarat
bakterioskopik harus negatif. Jika masih positif, lanjutkan pengobatan sampai hasil
negatif. Selama pengobatan lakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopik setiap 3 bulan. Lama pengobatan 2 3 tahun.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release from Treatment (RFT). Setelah RFT
dilakukan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap
tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru,
maka dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control)
2. MDT untuk Pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah:
-

Rifampisin 600 mg setiap bulan dengan pengawasan

DDS 100 mg setiap hari

Kedua obat tersebut diberikan dalam 6 dosis selama 6 9 bulan. Lakukan pemeriksaan
klinis selama pengobatan setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan klinis dan bakterioskopis dilakukan minimal selama 2 tahun.
Jika tidak ada keaktifan baru dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatan RFC
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil
tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan
regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan:
regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa (50-70 kg)

600 mg

400 mg

100 mg

Anak (5-14 th)

300 mg

200 mg

50 mg

Gambar Regimen MDT

Obat Kusta Baru


Pada penatalaksanaan program MDT-WHO masalah-masalah yang timbul yaitu
adanya resistensi kuman terhadap rifampisin dan lamanya pengobatan terutama pada kusta
MB.11 Pada penderita kusta PB timbul masalah yaitu masih menetapnya lesi kulit setelah 6
bulan pengobatan dan Late Reversal Reaction (LVR) yang timbul justru setelah selesai
MDT.3,11 Maka diperlukan obat-obat baru yang memenuhi syarat antara lain : bersifat
bakterisidal kuat terhadap M. leprae, tidak antagonis terhadap obat yang sudah ada, aman,
dan akseptabilitas penderita baik, dapat diberikan per oral, dan sebaiknya diberikan tidak
lebih dari sehari sekali. Obat-obat yang sudah terbukti efektif tersebut adalah : ofloksasin,
minosiklin, dan klaritromisin.1
a. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap M. leprae in
vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan
gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan SSP termasuk insomnia, nyeri kepala,
dizziness. Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati.
Selain ofloksasin dapat pula digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat
tersebut lebih baru, jadi lebih efektif.
b. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada
klarirotmisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang dapat menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa, berbagai simtom saluran cerna dan SSP
termasuk dizziness dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak dianjurkan untuk anak-anak
atau selama kehamilan.

c. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah
nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan
dosis 2000 mg.
1.11.

Reaksi Kusta

Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip
antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah
imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas
humoral.1
A.

Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang
disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down
leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang
cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas
dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering
dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading
reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada
kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat
terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering
terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline. Gejala klinis reaksi
reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat
makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus
ada, satu saja sudah cukup.1

B.

Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi hipersnsitivitas


tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi
lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut
sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus,
mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil,
terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan
paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi
dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga
memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe. 1
Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 1
N
o
1
2

Gejala/tanda

Tipe I (reversal)

Tipe II (ENL)

Kondisi umum
Peradangan di
kulit

Baik atau demam ringan


Bercak kulit lama menjadi lebih
meradang (merah), dapat timbul bercak
baru
Awal pengobatan MDT

Buruk, disertai malaise dan febris


Timbul nodul kemerahan, lunak, dan
nyeri tekan. Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)
Setelah pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6 bulan
MB
Dapat terjadi

Waktu terjadi

4
5

Tipe kusta
Saraf

Keterkaitan
organ lain
Faktor
pencetus

PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan
atau gangguan fungsi saraf
Hampr tidak ada

Terjadi pada mata, KGB, sendi,


ginjal, testis, dll
Melahirkan
Emosi
Obat-obat yang meningkatkan kekebalan Kelelahan dan stress fisik lainnya
tubuh
Kehamilan

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 1
No

Gejala/tanda

Tipe I

Tipe II

1.

Kulit

Saraf tepi

Keadaan
umum
Keterlibatan
organ lain

Ringan
Bercak
:
merah, tebal,
panas, nyeri

Ringan
Nodul
:
merah,panas,nyeri

Berat
Nodul : merah, panas, nyeri yang
bertambah parah sampai pecah

Nyeri pada
perbaan (-)
Demam (-)

Berat
Bercak : merah,
tebal,
panas,
nyeri
yang
bertambah parah
sampai pecah
Nyeri
pada
perabaan (+)
Demam (+)

Nyeri
pada
perabaan (-)
Demam (+)

Nyeri pada perabaan (+)

Demam (+)

+
Terjadi peradangan pada :
mata : iridocyclitis
testis : epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa : limfadenitis
gangguan
pada
tulang,
hidung, dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat

Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna
merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh
dan akhirnya terbentuk jaringan parut.1
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
Pengobatan reaksi kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta: 3
1

Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur.

Secepatnya dilakukan tindakan agar tidak terjadi kebutaan.

Membunuh kuman penyebab agar penyakitnya tidak meluas.

Mengatasi rasa nyeri.

Pengobatan ENL:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone,
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih, Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali. Obat lain dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan
kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia sudah tidak diproduksi lagi. 3
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin
berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama
pada pemberian dosis tinggi. 3
Pengobatan reaksi reversal: perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengab berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara
perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedative
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai. 3

Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan
benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medic secara terpadu, mulai dari

pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septic,
pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial agar mantan pasien kusta dapat
siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban
pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna.Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan
kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan
mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. 3

1.12.

Komplikasi 1
Gangguan saraf
tepi

Tangan/kaki
kurang rasa

sensorik

motorik

anestesi

kelemahan

Kornea mata
anestesi, reflek
kedip

luka

infeksi

mutilasi

kebutaa
n

1.13.

Prognosis

Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh

Jari
bengkok/ka
ku

otonom

Gangguan kel. Keringat,


minak, aliran darah

Mata
lagoftalmus

Kulit
kering/pecah

infeksi

luka

kebutaa
nn

infeksi

luka

mutila
si

Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat

mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun. 1,2,3Dengan
adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta
prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang
baik. 1

LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA MORBUS HANSEN
IDENTITAS PASIEN
-

Nama

: Tn. H

Umur

: 40 tahun

Jenis kelamin

: Laki-laki

Tempat tanggal lahir

: Bandung, 1 Januari 1975

Pekerjaan

: Nelayan

Penghasilan

: 1.5 2 juta

Pendidikan

: SD

Alamat

: Painan

Sosio-ekonomi keluarga : Kurang

Status Perkawinan

: Menikah

Agama

: Islam

Suku

: Minangkabau

Jumlah Keluarga

: 5 orang

Dikirim oleh

: RSUD Painan

ANAMNESIS (Autoanamnesis) tanggal 5 November 2015


KELUHAN UTAMA
Benjol-benjol merah yang nyeri pada hampir seluruh tubuh sejak 9 hari yang lalu.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
-

Benjol-benjol merah yang nyeri pada hampir seluruh tubuh sejak 9 hari yang lalu.

Awal mulanya muncul benjolan merah yang nyeri di daerah kedua tungkai bawah dan
kaki 3 bulan yang lalu, benjolan kemudian sembuh sendiri. Kemudian muncul
benjolan merah di daerah muka, kemudian badan, lengan dan tungkai sejak 9 hari
yang lalu. Benjol-benjol merah tersebut berisi cairan, kemudian pecah, mengeluarkan
cairan berwarna putih dan meninggalkan bekas seperti tukak.

Bercak putih dan terasa baal di lengan kanan atas dan bawah disadari sejak 1 tahun
yang lalu

Tukak di telapak kaki kanan sejak 1 tahun yang lalu, tidak nyeri dan tidak pernah
sembuh

Pasien juga mengeluhkan rasa baal dan kesemutan pada kedua tungkai bawah dan
kaki

Riwayat sendal sering terlepas tanpa disadari sejak 1 bulan yang lalu

Demam sejak 9 hari yang lalu, terus-menerus, dan tidak tinggi

Pasien juga megeluhkan badan lemah, dan pegal linu sejak 9 hari yang lalu

Tidak ada riwayat batuk lama, dan tidak ada konsumsi obat 6 bulan

Penglihatan bertambah kabur disangkal, gangguan mata merah dan berair disangkal

Keluhan kelopak mata tidak dapat menutup disangkal

Keluhan mulut mencong disangkal

Riwayat rambut, bulu mata, dan alis mata rontok tidak ada

Pasien mandi 2x sehari dan ganti baju 2x sehari

Pasien berdomisili di Painan sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien tinggal di
Johor Malaysia selama 9 tahun. Pasien juga pernah tinggal di Garut.

RIWAYAT PENGOBATAN
-

Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Painan, dan mendapat terapi parasetamol, vitamin
dan obat suntik yang pasien tidak mengetahui obatnya apa

Riwayat imunisasi BCG (-)

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


-

Tidak pernah muncul bercak-bercak merah seperti ini sebelum 1 tahun yang lalu

Pasien tidak pernah mengalami infeksi pada kulit sebelumnya

Pasien tidak menderita penyakit diabetes melitus

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA/ ATOPI/ ALERGI


-

Teman kerja pasien sudah menderita sakit bercak-bercak merah sejak 3 bulan yang lalu
dan teman kerja pasien tidak pernah berobat.

Tidak ada anggota keluarga lainnya dan tetangga sekitar yang memiliki kulit dengan
bercak-bercak merah

RIWAYAT SOSIAL, EKONOMI, DAN PEKERJAAN


-

Pasien seorang nelayan, aktivitas fisik sedang-berat, memiliki 1 orang istri dan 3 orang
anak

Pasien lahir dan menetap di Bandung, kemudian pindah dan menetap di Garut selama 25
tahun, kemudian pasien pindah ke Malaysia dan menetap selama 9 tahun. Pasien tiga
bulan terakhir berdomisili di Painan

Keluarga pasien termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah

Rumah semipermanen

PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran

: Kompos mentis kooperatif

Nadi

: 88

Berat Badan

: 52 kg

Tinggi badan

: 155 cm

Status gizi

: Cukup ( IMT 21.67)

Suhu

: 38.1 C

Frekuensi Nafas

: 18

Mata

: Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)

Hidung

: Septum di tengah, tidak ada deviasi, tidak ada deformitas

KGB

: Tidak terdapat pembesaran pada KGB

Pemeriksaan Thorak

: Diharapkan dalam batas normal

Pemeriksaan Abdomen

: Diharapkan dalam batas normal

Ekstremitas

: ditemukan ulkus pada telapak kaki kanan, udem (-)

Status Dermatologikus
1. Lokasi

: Sebagian besar tubuh

Distribusi : Generalisata
Jumlah lesi : > 5
Bentuk

: bulat dan oval

Susunan

: Tidak khas

Batas

: Tegas

Ukuran

: Lentikular sampai numular

Efloresensi : Nodus eritem dengan ulkus ukuran 1x1x0.5 cm dasar jaringan granular isi
jaringan granular tepi meninggi dinding menggaung dan krusta diatasnya
2. Lokasi

: Telapak kaki kanan

Distribusi : Terlokalisir
Bentuk

: bulat

Susunan

: soliter

Batas

: Tegas

Ukuran

: Numular

Efloresensi : Ulkus ukuran 4x2x1cm, dinding bergaung, dasar jaringan granulasi, isi
jaringan granulasi,

tepi ulkus meninggi,dengan krusta kehitaman di pinggirnya dan

jaringan sekitar tidak eritem.


3. Lokasi

: dada, perut, punggung, lengan dan tungkai

Distribusi : Regional
Bentuk

: tidak khas

Susunan

: tidak khas

Batas

: Tegas

Ukuran

: lentikular-numular

Efloresensi : plak eritem

Status Venerologikus

: Tidak ditemukan kelainan

Kelainan selaput

: Tidak ditemukan kelainan

Kelainan kuku

: Jaringan sekitar kuku tidak ditemukan kelainan

Kelainan rambut

: Tidak ditemukan kelainan

Kelainan Kelenjar Limfe

: Tidak terdapat pembesaran pada KGB (infraklavikula,

supraklavikula, axila, inguinal)


Pemeriksaan sensibilitas :
I.

Rasa tusuk

II.

Rasa raba

III. Rasa suhu

: Hiperestesi pada lesi di kedua ekstremitas atas dan bawah


: Hiperestesi pada lesi di kedua ekstremitas atas dan bawah
: Hiperestesi pada lesi di kedua ekstremitas atas dan bawah

Pemeriksaan saraf perifer :


1. N. Aurikularis magnus dextra dan sinistra

:Tidak teraba pembesaran / tidak teraba

pembesaran
2. N. Radialis dextra dan sinistra

:Tidak teraba pembesaran/ tidak teraba

pembesaran
3. N. Ulnaris dextra dan sinistra

:Teraba

pembesaran,

bilateral,

konsistensi keras, nyeri tekan(+)


4. N. Medianus dextra dan sinistra

:Tidak teraba pembesaran/ tidak teraba

pembesaran
5. N. Peroneus lateral dextra dan sinistra

:Teraba

pembesaran,

bilateral,

:Teraba

pembesaran,

bilateral,

konsistensi keras, nyeri tekan(+)


6. N. Tibialis Posterior Dextra dan Sinistra
konsistensi keras, nyeri tekan(+)
Pemeriksaan tes kekuatan otot :

M. orbicularis oculi

M. abductor digiti minimi

: 4/5

M. abductor pollicis brevis

: 4/5

M. Interoseus dorsalis

: 5/5

M. tibialis posterior

: 5/5

: 5/5

Pemeriksaan kelainan lain (kecacatan):

Kontraktur

: tidak ada

Mutilasi

: tidak ada

Absorbsi

: tidak ada

Atrofi otot

: tidak ada

Xerosis kutis : tidak ada

Ulkus trofik

Madarosis

Lagophtalmus : tidak ada

Claw hand

: tidak ada

Wrist drop

: tidak ada

Dropped foot : tidak ada

Facies leonina : tidak ada

: ada, plantar pedis dextra


: ada

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
- Darah

: Tidak diperiksa

- Urin

: Tidak diperiksa

- Feses

: Tidak diperiksa

2. Pemeriksaan bakterioskopik (BTA)


- Cuping telinga kiri dan kanan

: +6

- Lesi badan

: +6

- Lesi lengan kiri atas

: +6

DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe BL dgn derajat kecacatan tingkat I + fenomena lucio
DIAGNOSIS BANDING
Morbus Hansen tipe LL + fenomena lucio
PEMERIKSAAN ANJURAN
-

Pemeriksaan labor pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan histopatologik - Biopsi

Tes serologi

Tes lepromin

Pemeriksaaan G6PD

PENATALAKSANAAN
A. UMUM
-

Edukasi pasien mengenai penyakit dan perjalanan penyakit, tentang pengobatan yang
lama dan jangka panjang, yaitu dengan cara menjelaskan pada pasien bahwa penyakit
kusta bukan merupakan penyakit kutukan dan menganjurkan kepada pasien untuk
berobat secara teratur.

Edukasi pasien mengenai efek samping obat berupa, nyeri kepala, sulit tidur, erupsi
kulit, yeri perut, mual, diare, tidak nafsu makan dan muntah.

Edukasi anggota keluarga yang serumah (istri dan 3 orang anak) dan orang sekitar
yang sering berkontak dengan pasien agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa
gejala klinis yang jelas.

Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah:


a

Pemeliharaan kulit harian


Cuci tangan dan kaki setiap malam sesudah bekerja dengan sedikit sabun (jangan
detergen).
Kalau kulit sudah lembut, gosok kaki dengan karet busa agar kulit kering terlepas.
Secara teratur kulit diperiksa (adakah kemerahan, hot spot, nyeri, luka, dan lainlain).

Proteksi tangan dan kaki


1

Tangan:
Sebaiknya memakai sarung tangan waktu bekerja.
Sebaiknya tidak menyentuh gelas/barang panas secara langsung.
Sebaiknya melapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.

Kaki
Lindungi kaki dengan selalu pakai alas kaki. Alas kaki yang cocok adalah
yang empuk di bagian dalamnya, keras di bagian bawah supaya benda tajam
tidak dapat menembusnya.
Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan.
Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun
Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar
atau lecet.

Latihan fisioterapi
Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak, peningkatan kekuatan
otot, peningkatan daya tahan (endurance). 3
Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan
tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan
5-10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk
mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari
ke seluruh arah gerak.
Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri.
Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara
berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki
tetap berpijak.
Latihan dapat ditungkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot,
mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.

B. KHUSUS
1. SISTEMIK
A. Regimen MDT MB

Hari I :

Rifampisin 600 mg/bulan

DDS 100 mg/ hari

Klofazimin 300mg/ bulan

Hari II (sampai hari 28) :

DDS 100 mg/hari

B. Analgetik, antipiretik
Paracetamol 3 x 500 mg (bila demam)
Prednison tablet 30 mg/hari
Kompres Nacl 0.9%, 3x sehari
PROGNOSIS
-

Quo ad sanam

: dubia ad malam

Quo ad vitam

: bonam

Quo ad kosmetikum : dubia ad bonam

Quo ad functionum

: dubia ad bonam

DISKUSI
Seorang pasien laki-laki, usia 40 tahun, rujukan dari RSUP Painan, datang ke
poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada tanggal 5 November
2015, dari anamnesis didapatkan keluhan benjol-benjol merah yang nyeri pada hampir
seluruh tubuh sejak 9 hari yang lalu. Awal mulanya muncul benjolan merah yang
nyeri di daerah tungkai bawah dan kaki 3 bulan yang lalu, benjolan kemudian sembuh
sendiri. Kemudian muncul benjolan merah di daerah muka, kemudian badan, lengan
dan tungkai sejak 9 hari yang lalu. Benjol-benjol merah tersebut berisi cairan,
kemudian pecah, mengeluarkan cairan berwarna putih dan meninggalkan bekas
seperti tukak. Bercak putih dan terasa baal di lengan kanan atas dan bawah disadari
sejak 1 tahun. Tukak di telapak kaki kanan sejak 1 tahun yang lalu, tidak nyeri dan
tidak pernah sembuh. Pasien juga mengeluhkan rasa baal dan kesemutan pada kedua
tungkai bawah dan kaki.
Morbus Hansen adalah infeksi kronis akibat Mycobacterium Leprae , biasanya
ditandai dengan keluhan bercak atau benjolan yang kurang terasa. Pada pas

Anda mungkin juga menyukai