Oleh:
Mustika Febriani Rizona
Yohanna Eclesia L.G
Sintia Mardhasafitri
1010312073
1010313032
1110312098
Preseptor:
dr. Ennesta Asri, Sp.KK
BAB I
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
1.1. Definisi Morbus Hansen
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali ke susunan saraf pusat.1
1.2.
dari pada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun di
dapatkan 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi
pada kelompok umur 25-35 tahun.2Jumlah kasus kusta di dunia selama 12 tahun
terakhir telah menurun 85% di sebagian besar negara atau diwilayah endemis. Pada
awal 1997 ditemukan kurang lebih 890.000 penderita di seluruh dunia. Di Indonesia
jumlah kasus kusta yang tercatat pada akhir maret 1997 adalah 31.699 orang,
distribusi juga tidak merata, dimana yang tertinggi antara lain di Jawa Timur, Jawa
Barat dan Sulawesi Selatan.2
1.3.
kusta
disebabkan
oleh
kuman
yang
dinamakan
sebagai
berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan
erat. Anggapan lain adalah secara inhalasi, karena M. leprae dapat hidup dalam
beberapa hari dalam droplet. Masa tunasnya bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun,
umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.2
Faktor-faktor yang perlu di pertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya
reservoir diluar manusia.2 Penderita yang mengandung M. Leprae sampai 103 per
gram jaringan, penularannya tiga sampai sepuluh kali lebih besar dibandingkan dari
penderita yang hanya mengandung 107 basil per gram jaringan2. Kuman penyebab
kusta dapat di temukan di kulit, folikel rambut, kelenjer keringat, dan air susu ibu,
jarang di dapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M. Leprae yang
berasal dari traktus respiratorius atas. M. leprae merupakan parasit obligat intraselular
yang terutama terdapat pada sel makrofag disekitar pembuluh darah superficial pada
dermis atau sel Schwann di jaringan saraf. Bila kuman M. leprae masuk kedalam
tubuh, maka tubuh bereaksi mengeluarkan makrofag ( berasal dari sel monosit darah,
sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya2.
Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman
bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak jaringan 2.Pada kusta tipe
TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Namun setelah kuman di fagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu
membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi segera akanterjadi
reaksi berlebihan dan massa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan
sekitarnya2.
Sel Schwann merupakam sel target untuk pertumbuhan M. leprae, disamping
itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan sedikit fungsinya sebagai
fagositosis. Jadi, apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman
dapat bermigrsi dan beraktivasi sehingga aktivasi regenerasi saraf berkurang dan
terjadi kerusakan saraf yang progresif2.
1.5.
sedangkan histopatologik 10-14 hari. Menuturt Ridley dan Jopling gejala klinis
penyakit kusta adalah :
1. Tipe tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
makula atau plakat, batas tegas dan pada bagian tengah di temukan lesi regresi
atau central healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi,
bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sisinata. Dapat disertai
penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa
gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
respon imun yang adekuat terhadap kusta.3
2. Tipe borderline tuberculoid (BT)
Lesi paa tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.3
3. Tipe midborderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi
dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi mengkilap, batas lesi kurang
jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Bisa di
dapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.3
4. Tipe borderline lepromatous
Secara klasik lesi diawali dengan makula yang main lama makin menyebar
keseluruh badan. Dapat di temukan papul dan nodul dengan distribusi yang
hampir simetris. Lesi pada bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir
dalam infiltrat lebih jelas di bandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa
plak tampak seperti punched out. Kerusakan saraf di tandai dengan hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut, dimana ini
lebih cepat muncul di bandingkan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada
predileksi.3
5. Tipe lepromatosa (LL)
Pada tipe ini di temukan jumlah lesi lebih banyak, simetris, permukaan halus,
lebih eritem, berkilap, batas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan
anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas di wajah mengenai dahi, pelipis,
dagu, cuping telinga. Pada bagian badan mengenai bagian badan yang dingin,
lengan, pungung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium
lanjut tampak penebalan kulit yag progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis dan keratitis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada
hidung. Dapat di jumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang lama kelamaan
menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas akan menyebabkan stocking &
gloves anaesthesia. Bila penyakit ini progresif, muncul makula dan papul baru,
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus.3
Dalam klasifikasi menurut WHO (1982) seluruh penderita hanya dibagi dalam 2 tipe
yaitu :
1. Tipe Paucibacillary (PB) dan tipe Multibacillary (MB)1.
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi/tipe penyakit kusta menurut WHO
adalah sebagai berikut :
Tanda Utama
Bercak Kusta
Penebalan saraf yang disertai gangguan fungsi (mati/kurang
rasa/ kelemahan otot yang dipersarafi
Sediaan hapus
1.6.
Type PB
Jumlah 1 5
Hanya 1 saja
Type MB
Jumlah >5
Lebih dari 1 saraf
BTA negatif
BTA positif
- Orang yang diperiksa : menjelaskan tata cara pemeriksaan. Pemeriksaan dilakukan pada
seluruh badan.
a. Pemeriksaan Pandang
- Orang yang diperiksa menghadap sumber cahaya.
- Pemeriksaan dimulai dari kepala hingga telapak kaki.
- Perhatikan setiap bercak, bintil-bintil, jaringan parut, penebalan kulit, dan kulit yang
keriput.
- Periksalah rasa raba da lihatlah kelainan atau cacat pada tangan dan kaki.
b. Pemeriksaan raba
- Gunakan
sepotong
kapas
yang
ujungnya
dilancipkan,
periksalah
dengan
menyentuhkan ujung kapas secara tegak lurus dengan pada kelainan kulit yang
dicurigai.
- Terangkan pada pasien jika ia merasakan sentuhan, ia harus menunjuk kulit yang
disentuh dengan jari telunjuknya.
- Jika telah jelas, pemeriksaan yang sama dilakukan pada mata tertutup. Kelainan di
kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit yang normal di sekitarnya untuk
mengetahui ada tidaknya anestesi.
c. Pemeriksaan saraf tepi
Pemeriksaan dilakukan pada saraf tepi yang paling sering terlibat dalam penyakit kusta,
dan dapat diraba seperti tempat terjadinya kerusakan saraf. Pada umumnya cacat kusta
diakibatkan kerusakan pada saraf tepi seperti gambar di bawah ini:
2. Pemeriksaan Tangan
Fungsi sensorik saraf ulnaris dan medianus
Fungsi motorik
Saraf ulnaris (kekuatan otot jari kelingking)
3. Kaki
- Fungsi sensorik saraf tibialis posterior
- Fungsi motorik saraf peroneus kommunis
1.7.
Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta dan klasifikasinya harus dilihat secara menyeluruh dari
Diagnosis Banding
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau dermatitis
seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus
eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis.
4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat
1.9.
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan.
a. Pemeriksaan BTA dengan Ziehl-Nielsen
Bahan pemeriksaan diambil dari 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dan 2 atau 4 lesi lain yang paling aktif yaitu yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Cara pengambilan bahan :
- dengan skapel steril, lesi yang telah didesinfeksi dijepit diantara ibu jari dan jari
telunjuk agar menjadi iskemik.
- irisan yang dibuat harus sampai di dermis.
- Kerokan jaringan dioleskan di objek glass, difiksasi di atas api, diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelsen.
- untuk sediaan mukosa hidung, diperoleh dengan cara nose blows yang dilakukan di
pagi hari dan ditampung dengan plastik.
- dengan kapas lidi, bahan dioleskan merata pada objek glass, difiksasi pada hari yang
sama.
b. Indeks Morfologi
Untuk menentukan persentasi BTA hidup atau mati
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid
Kegunaan:
- Untuk melihat keberhasilan terapi
- Untuk melihat resistensi kuman BTA
- Untuk melihat infeksiositas penyakit
Syarat perhitungan :
- Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
- IB 1+ tidak perlu dibuat IM nya, karena untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari
dalam 1000 sampai 10.000 lapangan.
- Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari
dalam 100 lapangan.
c. Indeks Bakteri
Untuk menentukan klasifikasi penyakit Lepra, dengan melihat kepadatan BTA tanpa
melihat kuman hidup (solid) atau mati (fragmented/ granular).
BTA -
+1
1 10/ 10 L.P
+2
1 10/ 1 L.P
+3
10 100/ 1 L.P
+4
+5
+6
2. Pemeriksaan histopatologik
Untuk membedakan tipe TT & LL
- Pada tipe TT ditemukan Tuberkel (Giant cell, limfosit)
- Pada tipe LL ditemukan sel busa (Virchow cell/ sel lepra) yaitu histiosit dimana di
dalamnya BTA tidak mati, tapi berkembang biak membentuk gelembung. Ditemukan
lini tenang (subepidermal clear zone).
3. Pemeriksaan serologik
Berdasarkan terbentuknya antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.leprae.
-
Tes ELISA
ML dipstick
1.10.
untuk mengatasi
berobat, menurunkan angka putus obat pada pemakaian monoterapi Dapson, dan dapat
mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.1
Cara Pemberian MDT
1. MDT untuk Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif) adalah:
-
Mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24 dosis dalam 24 36 bulan dengan syarat
bakterioskopik harus negatif. Jika masih positif, lanjutkan pengobatan sampai hasil
negatif. Selama pengobatan lakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopik setiap 3 bulan. Lama pengobatan 2 3 tahun.
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release from Treatment (RFT). Setelah RFT
dilakukan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap
tahun selama 5 tahun. Jika bakterioskopis negatif dan klinis tidak ada keaktifan baru,
maka dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control)
2. MDT untuk Pausibasilar (I, TT, BT, dengan BTA negatif) adalah:
-
Kedua obat tersebut diberikan dalam 6 dosis selama 6 9 bulan. Lakukan pemeriksaan
klinis selama pengobatan setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan klinis dan bakterioskopis dilakukan minimal selama 2 tahun.
Jika tidak ada keaktifan baru dan bakterioskopis tetap negatif, maka dinyatan RFC
Regimen Pengobatan Kusta tersebut (WHO/DEPKES RI). PB dengan lesi tunggal
diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin). Pemberian obat sekali saja langsung
RFT/=Release From Treatment. Obat diminum di depan petugas. Anak-anak Ibu hamil
tidak di berikan ROM. Bila obat ROM belum tersedia di Puskesmas diobati dengan
regimen pengobatan PB lesi (2-5).Bila lesi tunggal dgn pembesaran saraf diberikan:
regimen pengobatan PB lesi (2-5).
Tabel Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
Dewasa (50-70 kg)
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50 mg
c. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal terhadap
M. leprae. Pada penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99%
kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah
nausea, vomitus, dan diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan
dosis 2000 mg.
1.11.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik.1 Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama
terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip
antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah
imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas
humoral.1
A.
Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang
disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading) seperti halnya reaksi
hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down
leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang
cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas
dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering
dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading
reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada
kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan.Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat
terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering
terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline. Gejala klinis reaksi
reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau
timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi
eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat
makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus
ada, satu saja sudah cukup.1
B.
Reaksi tipe II
Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
Tipe II (ENL)
Kondisi umum
Peradangan di
kulit
Waktu terjadi
4
5
Tipe kusta
Saraf
Keterkaitan
organ lain
Faktor
pencetus
PB atau MB
Sering terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan
atau gangguan fungsi saraf
Hampr tidak ada
Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 1
No
Gejala/tanda
Tipe I
Tipe II
1.
Kulit
Saraf tepi
Keadaan
umum
Keterlibatan
organ lain
Ringan
Bercak
:
merah, tebal,
panas, nyeri
Ringan
Nodul
:
merah,panas,nyeri
Berat
Nodul : merah, panas, nyeri yang
bertambah parah sampai pecah
Nyeri pada
perbaan (-)
Demam (-)
Berat
Bercak : merah,
tebal,
panas,
nyeri
yang
bertambah parah
sampai pecah
Nyeri
pada
perabaan (+)
Demam (+)
Nyeri
pada
perabaan (-)
Demam (+)
Demam (+)
+
Terjadi peradangan pada :
mata : iridocyclitis
testis : epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa : limfadenitis
gangguan
pada
tulang,
hidung, dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe
lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna
merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian
meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula
kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh
dan akhirnya terbentuk jaringan parut.1
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis
pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam.
Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat
PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan
komplemen di dalam dinding pembuluh darah. 1
Pengobatan reaksi kusta
Prinsip penanganan reaksi kusta: 3
1
Mengatasi neuritis untuk mencegah agar tidak berkelanjutan menjadi paralisis atau
kontraktur.
Pengobatan ENL:
Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednisone,
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisone 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih, Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap
sampai berhenti sama sekali. Obat lain dianggap sebagai pilihan utama adalah thalidomide,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik jadi tidak boleh diberikan
kepada ibu hamil atau masa subur. Di Indonesia sudah tidak diproduksi lagi. 3
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi ENL
tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung pada berat ringannya reaksi, makin
berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari. Keuntungan klofazimin
dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek
samping yang tidak diinginkan adalah kulit menjadi berwarna merah kecoklatan terutama
pada pemberian dosis tinggi. 3
Pengobatan reaksi reversal: perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis
akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengab berat
ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednisone 40-60 mg sehari lalu diturunkan secara
perlahan. Anggota gerak yang terkena neuritis harus diistirahatkan. Analgetik dan sedative
kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif, oleh
karena itu jarang dipakai, atau tidak pernah dipakai. 3
Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan
benar. Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medic secara terpadu, mulai dari
pengobatan, psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septic,
pemberian alas kaki, protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula
diperhatikan rehabilitasi selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial agar mantan pasien kusta dapat
siap kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban
pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna.Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan
kecacatan. Bila kasus lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan
mempertahankan kemampuan fungsi yang tersisa. 3
1.12.
Komplikasi 1
Gangguan saraf
tepi
Tangan/kaki
kurang rasa
sensorik
motorik
anestesi
kelemahan
Kornea mata
anestesi, reflek
kedip
luka
infeksi
mutilasi
kebutaa
n
1.13.
Prognosis
Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh
Jari
bengkok/ka
ku
otonom
Mata
lagoftalmus
Kulit
kering/pecah
infeksi
luka
kebutaa
nn
infeksi
luka
mutila
si
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang pasien dapat
mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien menurun. 1,2,3Dengan
adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, serta
prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang
baik. 1
LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA MORBUS HANSEN
IDENTITAS PASIEN
-
Nama
: Tn. H
Umur
: 40 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Pekerjaan
: Nelayan
Penghasilan
: 1.5 2 juta
Pendidikan
: SD
Alamat
: Painan
Status Perkawinan
: Menikah
Agama
: Islam
Suku
: Minangkabau
Jumlah Keluarga
: 5 orang
Dikirim oleh
: RSUD Painan
Benjol-benjol merah yang nyeri pada hampir seluruh tubuh sejak 9 hari yang lalu.
Awal mulanya muncul benjolan merah yang nyeri di daerah kedua tungkai bawah dan
kaki 3 bulan yang lalu, benjolan kemudian sembuh sendiri. Kemudian muncul
benjolan merah di daerah muka, kemudian badan, lengan dan tungkai sejak 9 hari
yang lalu. Benjol-benjol merah tersebut berisi cairan, kemudian pecah, mengeluarkan
cairan berwarna putih dan meninggalkan bekas seperti tukak.
Bercak putih dan terasa baal di lengan kanan atas dan bawah disadari sejak 1 tahun
yang lalu
Tukak di telapak kaki kanan sejak 1 tahun yang lalu, tidak nyeri dan tidak pernah
sembuh
Pasien juga mengeluhkan rasa baal dan kesemutan pada kedua tungkai bawah dan
kaki
Riwayat sendal sering terlepas tanpa disadari sejak 1 bulan yang lalu
Pasien juga megeluhkan badan lemah, dan pegal linu sejak 9 hari yang lalu
Tidak ada riwayat batuk lama, dan tidak ada konsumsi obat 6 bulan
Penglihatan bertambah kabur disangkal, gangguan mata merah dan berair disangkal
Riwayat rambut, bulu mata, dan alis mata rontok tidak ada
Pasien berdomisili di Painan sejak 3 bulan yang lalu. Sebelumnya pasien tinggal di
Johor Malaysia selama 9 tahun. Pasien juga pernah tinggal di Garut.
RIWAYAT PENGOBATAN
-
Pasien sebelumnya dirawat di RSUD Painan, dan mendapat terapi parasetamol, vitamin
dan obat suntik yang pasien tidak mengetahui obatnya apa
Tidak pernah muncul bercak-bercak merah seperti ini sebelum 1 tahun yang lalu
Teman kerja pasien sudah menderita sakit bercak-bercak merah sejak 3 bulan yang lalu
dan teman kerja pasien tidak pernah berobat.
Tidak ada anggota keluarga lainnya dan tetangga sekitar yang memiliki kulit dengan
bercak-bercak merah
Pasien seorang nelayan, aktivitas fisik sedang-berat, memiliki 1 orang istri dan 3 orang
anak
Pasien lahir dan menetap di Bandung, kemudian pindah dan menetap di Garut selama 25
tahun, kemudian pasien pindah ke Malaysia dan menetap selama 9 tahun. Pasien tiga
bulan terakhir berdomisili di Painan
Rumah semipermanen
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum
Kesadaran
Nadi
: 88
Berat Badan
: 52 kg
Tinggi badan
: 155 cm
Status gizi
Suhu
: 38.1 C
Frekuensi Nafas
: 18
Mata
Hidung
KGB
Pemeriksaan Thorak
Pemeriksaan Abdomen
Ekstremitas
Status Dermatologikus
1. Lokasi
Distribusi : Generalisata
Jumlah lesi : > 5
Bentuk
Susunan
: Tidak khas
Batas
: Tegas
Ukuran
Efloresensi : Nodus eritem dengan ulkus ukuran 1x1x0.5 cm dasar jaringan granular isi
jaringan granular tepi meninggi dinding menggaung dan krusta diatasnya
2. Lokasi
Distribusi : Terlokalisir
Bentuk
: bulat
Susunan
: soliter
Batas
: Tegas
Ukuran
: Numular
Efloresensi : Ulkus ukuran 4x2x1cm, dinding bergaung, dasar jaringan granulasi, isi
jaringan granulasi,
Distribusi : Regional
Bentuk
: tidak khas
Susunan
: tidak khas
Batas
: Tegas
Ukuran
: lentikular-numular
Status Venerologikus
Kelainan selaput
Kelainan kuku
Kelainan rambut
Rasa tusuk
II.
Rasa raba
pembesaran
2. N. Radialis dextra dan sinistra
pembesaran
3. N. Ulnaris dextra dan sinistra
:Teraba
pembesaran,
bilateral,
pembesaran
5. N. Peroneus lateral dextra dan sinistra
:Teraba
pembesaran,
bilateral,
:Teraba
pembesaran,
bilateral,
M. orbicularis oculi
: 4/5
: 4/5
M. Interoseus dorsalis
: 5/5
M. tibialis posterior
: 5/5
: 5/5
Kontraktur
: tidak ada
Mutilasi
: tidak ada
Absorbsi
: tidak ada
Atrofi otot
: tidak ada
Ulkus trofik
Madarosis
Claw hand
: tidak ada
Wrist drop
: tidak ada
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
- Darah
: Tidak diperiksa
- Urin
: Tidak diperiksa
- Feses
: Tidak diperiksa
: +6
- Lesi badan
: +6
: +6
DIAGNOSIS KERJA
Morbus Hansen tipe BL dgn derajat kecacatan tingkat I + fenomena lucio
DIAGNOSIS BANDING
Morbus Hansen tipe LL + fenomena lucio
PEMERIKSAAN ANJURAN
-
Tes serologi
Tes lepromin
Pemeriksaaan G6PD
PENATALAKSANAAN
A. UMUM
-
Edukasi pasien mengenai penyakit dan perjalanan penyakit, tentang pengobatan yang
lama dan jangka panjang, yaitu dengan cara menjelaskan pada pasien bahwa penyakit
kusta bukan merupakan penyakit kutukan dan menganjurkan kepada pasien untuk
berobat secara teratur.
Edukasi pasien mengenai efek samping obat berupa, nyeri kepala, sulit tidur, erupsi
kulit, yeri perut, mual, diare, tidak nafsu makan dan muntah.
Edukasi anggota keluarga yang serumah (istri dan 3 orang anak) dan orang sekitar
yang sering berkontak dengan pasien agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa
gejala klinis yang jelas.
Tangan:
Sebaiknya memakai sarung tangan waktu bekerja.
Sebaiknya tidak menyentuh gelas/barang panas secara langsung.
Sebaiknya melapisi gagang alat-alat rumah tangga dengan bahan lembut.
Kaki
Lindungi kaki dengan selalu pakai alas kaki. Alas kaki yang cocok adalah
yang empuk di bagian dalamnya, keras di bagian bawah supaya benda tajam
tidak dapat menembusnya.
Batasi jalan kaki, sedapatnya jarak dekat dan perlahan.
Sering memeriksa kaki jika ada yang luka atau lecet sedikit apapun
Segera rawat dan istirahatkan kaki (jangan diinjakkan) jika ada luka, memar
atau lecet.
Latihan fisioterapi
Tujuannya adalah : cegah kontraktur, peningkatan fungsi gerak, peningkatan kekuatan
otot, peningkatan daya tahan (endurance). 3
Latihan lingkup gerak sendi : secara pasif meluruskan jari-jari menggunakan
tangan yang sehat atau dengan bantuan orang lain. Pertahankan 10 detik, lakukan
5-10 kali per hari untuk mencegah kekakuan. Frekuensi dapat ditingkatkan untuk
mencegah kontraktur. Latihan lingkup gerak sendi juga dikerjakan pada jari-jari
ke seluruh arah gerak.
Latihan aktif meluruskan jari-jari tangan dengan tenaga otot sendiri.
Untuk tungkai lakukan peregangan otot-otot tungkai bagian belakang dengan cara
berdiri menghadap tembok, ayunkan tubuh mendekati tembok, sementara kaki
tetap berpijak.
Latihan dapat ditungkatkan secara umum untuk mempertahankan elastisitas otot,
mobilitas, kekuatan otot, dan daya tahan.
B. KHUSUS
1. SISTEMIK
A. Regimen MDT MB
Hari I :
B. Analgetik, antipiretik
Paracetamol 3 x 500 mg (bila demam)
Prednison tablet 30 mg/hari
Kompres Nacl 0.9%, 3x sehari
PROGNOSIS
-
Quo ad sanam
: dubia ad malam
Quo ad vitam
: bonam
Quo ad functionum
: dubia ad bonam
DISKUSI
Seorang pasien laki-laki, usia 40 tahun, rujukan dari RSUP Painan, datang ke
poliklinik kulit dan kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada tanggal 5 November
2015, dari anamnesis didapatkan keluhan benjol-benjol merah yang nyeri pada hampir
seluruh tubuh sejak 9 hari yang lalu. Awal mulanya muncul benjolan merah yang
nyeri di daerah tungkai bawah dan kaki 3 bulan yang lalu, benjolan kemudian sembuh
sendiri. Kemudian muncul benjolan merah di daerah muka, kemudian badan, lengan
dan tungkai sejak 9 hari yang lalu. Benjol-benjol merah tersebut berisi cairan,
kemudian pecah, mengeluarkan cairan berwarna putih dan meninggalkan bekas
seperti tukak. Bercak putih dan terasa baal di lengan kanan atas dan bawah disadari
sejak 1 tahun. Tukak di telapak kaki kanan sejak 1 tahun yang lalu, tidak nyeri dan
tidak pernah sembuh. Pasien juga mengeluhkan rasa baal dan kesemutan pada kedua
tungkai bawah dan kaki.
Morbus Hansen adalah infeksi kronis akibat Mycobacterium Leprae , biasanya
ditandai dengan keluhan bercak atau benjolan yang kurang terasa. Pada pas