Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Morbus Hansen atau biasa disebut sebagai lepra, kusta adalah penyakit
infeksi kronis yg disebabkan oleh Mycobacterium leprae, pertama kali
menyerang saraf tepi, setelah itu menyerang kulit dan organ-organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat. Mycobacterium Leprae ditemukan pertama kali
oleh akmuer Hasen di norwegia dan memiliki sifat 1). Basil tahan asam dan
tahan alkohol, 2). Obligat intraseluler, 3). Dapat diisolasi dan diinokulasi,
tetapi tidak dapat dibiakkan, 4). Membelah diri antara 12-21 hari, 5). Masa
inkubasi rata-rata 3-5 tahun (Asing, 2010). Lepra merupakan penyakit yang
menyeramkan dan ditakuti oleh karena dapat terjadi ulserasi, mutilasi, dan
deformitas.
Diperkirakan penderita didunia ± 10.596.000 dan di Indonesia ± 121.473
orang (data tahun 1992). Insiden dapat terjadi pada semua umur, tapi jarang
ditemukan pada bayi, laki-laki lebih banyak dibanding wanita.
Penularan Mycobacterium Leprae belum diketahui dengan jelas, tetapi diduga
menular melalui saluran pernapasan (droplet infection), kontak langsung erat
dan berlangsung lama. Faktor- faktor yang mempengaruhi penularan penyakit
morbus hansen adalah umur, jenis kelamin, ras, genetik, iklim,
lingkungan/sosial ekonomi. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke
tempat lain sampai tersebar diseluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut.

1.2 DASAR PEMIKIRAN


Dasar pemikiran untuk makalah ini adalah sebagai salah satu tugas
Keperawatan Medikal Bedah 2 untuk mahasiswa Tingkat III Regular A pada
semester V.

1.3 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang dimunculkan
oleh penulis ialah sebagai berikut :

1
2

1. Apakah definisi dari Morbus Hansen ?


2. Apakah etiologi dari Morbus Hansen ?
3. Apakah klasifikasi dari Morbus Hansen ?
4. Apakah patofisiologi dari Morbus Hansen ?
5. Apakah tanda dan gejala dari Morbus Hansen ?
6. Bagaimana path way dari Morbus Hansen ?
7. Bagaimana penatalaksanaan dari Morbus Hansen ?
8. Apakah manifestasi klinis dari Morbus Hansen ?
9. Apakah pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen ?
10. Apakah komplikasi dari Morbus Hansen ?

1.4 TUJUAN PENULISAN


1.4.1 TUJUAN UMUM
Untuk pemenuhan tugas keperawatan medikal bedah 2 mengenai
“Makalah dan Asuhan Kepeprawatan Teori Terhadap Klien Morbus
Hansen”
1.4.2 TUJUAN KHUSUS
1. Untuk mengetahui definisi dari Morbus Hansen
2. Untuk mengetahui etiologi dari Morbus Hansen
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari Morbus Hansen
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Morbus Hansen
5. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari Morbus Hansen
6. Untuk mengetahui path way dari Morbus Hansen
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan dari Morbus Hansen
8. Untuk mengetahui manifestasi klinis dari Morbus Hansen
9. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen
10. Untuk mengetahui komplikasi dari Morbus Hansen

1.5 MANFAAT PENULISAN


1. Agar dapat mengetahui definisi dari Morbus Hansen
2. Agar dapat mengetahui etiologi dari Morbus Hansen
3. Agar dapat mengetahui klasifikasi dari Morbus Hansen
4. Agar dapat mengetahui patofisiologi dari Morbus Hansen
3

5. Agar dapat mengetahui tanda dan gejala dari Morbus Hansen


6. Agar dapat mengetahui path way dari Morbus Hansen
7. Agar dapat mengetahui penatalaksanaan dari Morbus Hansen
8. Agar dapat mengetahui manifestasi klinis dari Morbus Hansen
9. Agar dapat mengetahui pemeriksaan penunjang dari Morbus Hansen
10. Agar dapat mengetahui komplikasi dari Morbus Hansen
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 LANDASAN TEORI


2.1.1 DEFINISI MORBUS HANSEN
Morbus Hansen (kusta, lepra) adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh kuman mycobacterium leprae yang menyerang saraf tepi
(primer), kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
Kuman penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berbentuk hasil
dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam, dan alcohol.
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang di sebabkan oleh
mycobacterium lepra yang interseluler obligat, yang pertama menyerang
saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas
bagian atas, sistem endotelial, mata, otot, tulang, dan testis. Kusta adalah
penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium
leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.

2.1.2 ETIOLOGI MORBUS HANSEN


Kuman penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. M.leprae
berbentuk hasil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam, dan alcohol.
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa
saluran nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.
Masa membelah diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya
antara 40 hari-40 tahun. Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran
panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro biasanya berkelompok dan ada
yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

4
5

2.1.3 KLASIFIKASI MORBUS HANSEN


Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita
menjadi :
1. TT
Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan
permukaan kering dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah
biasanya yang satudenga yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan
sensasibilitas, pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat.
BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
2. BT
Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering
bengan jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + )
3. Lesi berupa mamakula/infiltrat eritematosa permukaan agak mengkilat.
Gambaran khas lesi ”punched out” dengan infiltrat eritematosa batas
tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya.
Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan
jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
4. BL
Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi,
bilateral tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + )
banyak, uji Lepromin ( - ).
5. LL
Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran
kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada
kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).

WHO membagi kusta menjadi dua kelompok, yaitu :


a. Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
b. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
6

2.1.4 PATOFISIOLOGI MORBUS HANSEN


Kusta terkenal sebagai penyakit yang paling ditakti karena
deformitas atau cacat tubuh. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada
penyakit kusta dapat hanya berbentuk macula saja, infiltrate saja, atau
keduanya. Haruslah berhati-hati dan buatlah diagnosis banding dengan
banyak penyakit kulit lainnya yang hampir-hampir menyerupainya, sebab
penyakit kusta ini mendapat julukan the greatest immitator pada Ilmu
Penyakit Kulit.
Secara inspeksi, penyakit ini mirip penyakit lain, ada tidaknya
anastesi local sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun
tidak terlalu jelas. Teknik untuk menilai adanya anastesi local adalah
dengan cara menggoreskan ujung jarum suntik ke sisi tengah lesi kearah
kulit normal. Aoabila pasien tidak mengalami sensasi nyeri pada area
groresan, maka tes anastesi local dinyatakan positif. Cara menggoresnya
mulai dari tengah kearah kulit yang normal. Respons pada saraf perifer
akan terjadi pembesaran dan nyeri pada n. ulnaris, n. aurikularis magnus,
n. poplitea lateralis, n. tibialis posterior, n. medianus, n.radialis, dan n.
fasialis. Respons kerusakan saraf ulnaris memberikan manifestasi
anesthesia pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis,
clawing kelingking dan jari manis, atrofi, hipotenar, dan otot interoseus
dorsalis pertama. Respons kerusakan saraf medianus memberikan
manifestasi anastesia pada ujung jari bagian anterior, ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah, tidak mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari , telunjuk , jari
tengah, dan ibu jari kontraktur. Respons kerusakan saraf medianus
memberikan manifestasi anastesia dorsum manus tangan gantung (wrist
drop), tidak mampu ekstensi jari jari atau pergelangan tangan.

2.1.5 TANDA DAN GEJALA MORBUS HANSEN


Tanda tanda seseorang menderita penyakit kusta antara lai, kulit
mengalami bercak putih seperti panu. Pada awalnya hanya sedikit tetapi
lama kelamaan semakin lebar dan banyak, adanya bintil bintil kemerahan
yang tersebar pada kulit, ada dibagian tubuh tidak berkeringat, rasa
kesemutan pada anggota badan atau bagian raut muka, muka berbenjol-
7

benjol dan tegang yang disebut facies leomina(muka singa), dan mati rasa
karena kerusakan syaraf tepi. Gejalanya memang tidak terlalu Nampak.
Justru sebaiknya waspada jika anggota keluarga yang menderita luka tak
kunjung sembuh dalam jangka waktu lama. Juga bila luka ditekan dengan
jari tidak terasa sakit.
Namun pada tahap awal kusta, gejala yang timbul dapat hanya
berupa kelainan warna kulit. Kelainan kulit yang dijumpai dapat berupa
perubahan warna seperti hiperpigmentasi(warna kulit menjadi lebih
terang). Gejala gejala umum pada kusta/leprae, reaksi panas dari derajat
yang rendah sampai dengan derajat menggigil, noreksia, nausea, kadang
kadang disertai vomitus, chepalgia, kadang-kadang disertai iritasi,
orgchitis, atau pleuritis, kadang-kadang disertai dengan Nephrosia,
Nepritis, dan Hepatospleenomegali, neuritis, kelompok yang beresiko
tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemic dengan kondisi
yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih,
asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV
yang dapat menekan system imun.

2.1.6 PATH WAY MORBUS HANSEN


8

2.1.7 PENATALAKSANAAN MORBUS HANSEN


Non Medikamentosa
1. Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis
therapeutic
2. Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap
lepra
3. Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi
pengobatan akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu
pasien harus rajin mengambil obat di puskesmas dan tidak boleh putus
obat
4. Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam,
nyeri di seluruh tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus
segera mencari pertolongan ke saranan pelayanan kesehatan
5. Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi
kecacatan jika tidak ada tindakan pencegahan
6. Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama
yang banyak mengandung pelembab, bukan detergen
7. Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila
kulit sudah lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas
8. Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil)
9. Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan
segera mencari pertolongan medis
9

10. Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari
berjalan jauh atau menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam
Medikamentosa
1. Pausibasiler
Rifampicin 600 mg/bulan, diminum depan petugas
DDS (diamino difenil sulfon) 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama 6 bulan dan diselesaikan
maksimal 9 bulan . Setelah selesai minum 6 dosis ® RFT
2. Multibasiler
Rifampicin 600 mg/ bulan
Lamprene 300 mg/bulan
Ditambah :
Lampree 50 mg/hari
DDS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan teratur selama 12 bulan dan diselrsaikan
maksimal 18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis ® RFT

2.1.8 MANIFESTASI KLINIS MORBUS HANSEN


Ada 3 tanda cardinal pada penyakit kusta bila salah satunya ada, tanda
tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit :
1. lesi kulit yang anestesi
2. Penebalan saraf perifer
3. Ditemukan mycobacterium leprae
Selain itu menurut Ridley dan toppling, kusta dapat dikelompokan
berdasarkan gambaran klinik bekteriologi, histopatologi, dan imonologik
menjadi 5 kelompok
1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid ( TT )
Lesi mengenai kulit/saraf, bisa satu atau beberapa. Dapat berupa
macula/plakat, berbatas jelas, dibagian tengah didapatkan lesi yang
mengalami regresi atau penyembuhan, permukaan lesi dapat bersisik
dengan tepi yang meninggi, gejalanya dapat disertai penebalan saraf
perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot dan sedikit rasa gatal
10

3. Tipe Borderline tuberkuloid ( BT )


Lesi mengenai tepi TT, berupa macula anestesi/plak, sering disertai
lesi satelit dipinggirnya, tetapi gambaran hipopigmentasi, gangguan
saraf tidak seberat tipe tuberkuloid dan biasanya asimetrik.
4. Tipe Borderline-Borderline ( BB )
Merupakan tipe II yang paling tidak stabil, dan jarang dijumpai,
lesi dapat berbentuk macula infilit, permukaannya dapat mengkilat,
batas kurang jelas, jumlah melebihi tipe BT dan cenderung simetrik,
bentuk, ukuran dan distribusinya bervariasi. Bisa didapat lesi
punchedout yaitu hipopigmentasi yang oral pada bagian tengah,
merupakan cirri khas tipe ini
5. Tipe Borderline Lepromatous ( BL )
Lesi dimulai dengan macula, awalnya sedikit darem dengan cepat
menyebar keseluruhan badan, macula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walau masih kecil papel dan nodus lebih tegas dengan
distribusi yang hampir simetrik. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa
hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya kerinngat, dan
gugurnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe
lepromatous dengan penebalan saraf yang dapat teraba pada tempat
predileksi dikulit
6. Tipe Lepromatous - Lepromatous ( LL )
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih
eritem, mengkilap, terbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan
anestesi dan antidrosis pada stadium dini, distribusi lesi khas, mengenai
dahi, pelipis, dagu, cuping hidung, dibadan mengenai bagian belakang
yang dingin, lengan punggung tangan dan permukaan ekstentor tungkai
bawah, pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif,
cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung, dapat
disertai madarosis, iritis, dan keratitis. Dapat pula terjadi deforhitas
hidung, dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis dan atropi
testis
11

2.1.9 PEMERIKSAAN PENUNJANG MORBUS HANSEN


1. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringa kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari
kerokan jaringan kulit atau usapan an kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan Basil Tahan Aam (BTA)
2. Pemeriksaan Histopatologik
Pemeriksaan histopatologik merupakan pemeriksaan pada jaringan
tubuh dimana terdapat makrofag dalam jaringan yang berasal dari
monosit d dalam adarah. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman masuk akibatnya akan tergantung pada
SIS seseorang tersebut.
3. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M.Lepae. kegunaan
pemeriksaan serologik ini adalah untuk membantu diagnosa kusta yang
meragukan, karna tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas. Disamping
itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak didapati
lesi kulit. Maam-macam tes pemeriksaan serologik :
a. Uji MPIA (Mycrobacterium Leparae Particle Aglunation)
b. Uji ELISA (Emzyme Linked Immune-Sorbert Assau)
c. Mycrobacterium Leprae Dipstick test
d. Mycrobacterium Flow test

2.1.10 KOMPLIKASI MORBUS HANSEN


Cacat merupakan komplikasi yang terjadi pada klien kusta baik
akibat fungsi saraf tepi rusak maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.
12

BAB III
ASUHAN KEKEPRAWATAN TEORI MORBUS HANSEN

3.1 PENGKAJIAN
I. DATA SUBJEKTIF
a. Identitas
b. Keluhan Utama
Pada MH atau morbus Hansen meliputi lesi pada kulit secara tunggal
maupun multiple dan bahkan terdapat nyeri tekan, sebelumnya pasien
mengeluh demam ringan
c. Riwayat Kesehatan
Kesehatan Sekarang
Pasien MH dating berobat dengan keluhan adanya lesi dapat tunggal
maupun multiple, neuritis (nyeri tekan) kadang – kadang gangguan
umum demam ringan dan adanya komplikasi organ tubuh dan gangguan
perabaan
Kesehatan Dahulu
Penyakit yang pernah diderita oleh klien yang sehubungan dengan MH
adalah penyakit masalah kulit yaitu panu, kurab, dan perawatan kulit
yang tidak terjaga.
Kesehatan Keluarga
MH merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman kusta
yang masa inkubasinya diperkirakan 2 – 5 tahun. Jadi salah satu
anggota keluarga yang mempunyai MH akan tertular
d. Pola – Pola Fungsi Kesehatan
Pola Aktivitas / Istirahat
Klien MH dalam aktivitas merasa terganggu karna adanya kelemahan
pada tangan dan kaki maupun kelumpuhan
Pola Sensori dan Kognitif
Kelainan fungsi sensori ini memyebabkan terjadinya gangguan mati
rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka

12
13

Pola Istirahat / Tidur


Klien pada MH mempunyai gangguan tidur karena merasakan nyeri
pada lesi kulit dan bahkan seperti terbakar

II. DATA OBJEKTIF


a. Pemeriksaan Fisik
Sistem Integumen
Pada penderita MH terdapat kelainan berupa panu, bercak eritema
(kemerah – merahan), infiltrate (penebalan kulit), nodul (benjolan).
Kepala
Kulit kepala cenderung kering dan mengalami kerontokan dan terdapat
bercak kemerah – merahan
Leher
Kulit mengalami infiltrate atau penebalan
Abdomen
Klien MH mengalami nyeri tekan pada abdomen terlebih jida terdapat
lesi
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Baterioskopik
2. Test Mitsuda
3. Pemeriksaan Serologi
4. Pemeriksaan Histopatologik

3.2 DIAGNOSA
1. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi
2. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
3. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh
14

3.3 INTERVENSI
Diagnosa I :
Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur sembuh.
Kriteria hasil :
1) Menunjukkan regenerasi jaringan
2) Mencapai penyembuhan tepat waktu pada lesi
Intervensi:
1. Kaji / catat warna lesi,perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi
sekitar luka
Rasional : Memberikan inflamasi dasar tentang terjadi proses inflamasi
dan atau mengenai sirkulasi daerah yang terdapat lesi.
2. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi
Rasional : menurunkan terjadinya penyebaran inflamasi pada jaringan
sekitar.
3. Evaluasi warna lesi dan jaringan yang terjadi inflamasi perhatikan adakah
penyebaran pada jaringan sekitar
Rasional : Mengevaluasi perkembangan lesi dan inflamasi dan
mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
4. Bersihan lesi dengan sabun pada waktu direndam
Rasional : Kulit yang terjadi lesi perlu perawatan khusus untuk
mempertahankan kebersihan lesi
5. Istirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan
Rasional : Tekanan pada lesi bisa maenghambat proses penyembuhan
15

Diagnosa 2 :
Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi berhenti dan
berangsur-angsur hilang
Kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan proses inflamasi dapat berkurang
dan nyeri berkurang dan beraangsur-angsur hilang
Intervensi:
1. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri
Rasional: Memberikan informasi untuk membantu dalam memberikan
intervensi.
2. Observasi tanda-tanda vital
Rasional: Untuk mengetahui perkembangan atau keadaan pasien
3. Ajarkan dan anjurkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi
Rasional: Dapat mengurangi rasa nyeri.
4. Atur posisi senyaman mungkin
Rasional: Posisi yang nyaman dapat menurunkan rasa nyeri
5. kolaborasi untuk pemberian analgesik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri

Diagnosa 3 :
Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kelemahan fisik dapat teratasi dan
aktivitas dapat dilakukan
Kriteria Hasil :
1) Pasien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
2) Kekuatan otot penuh
Intervensi :
1. Pertahankan posisi tubuh yang nyaman
Rasional: meningkatkan posisi fungsional pada ekstremitas
16

2. Perhatikan sirkulasi, gerakan, kepekaan pada kulit


Rasional: oedema dapat mempengaruhi sirkulasi pada ekstremitas
3. Lakukan latihan rentang gerak secara konsisten, diawali dengan pasif
kemudian aktif
Rasional: mencegah secara progresif mengencangkan jaringan,
meningkatkan pemeliharaan fungsi otot/ sendi
4. Jadwalkan pengobatan dan aktifitas perawatan untuk memberikan periode
istirahat
Rasional: meningkatkan kekuatan dan toleransi pasien terhadap aktifitas
5. Dorong dukungan dan bantuan keluaraga/ orang yang terdekat pada
latihan
Rasional: menampilkan keluarga / oarng terdekat untuk aktif dalam
perawatan pasien dan memberikan terapi lebih konstan

Diagnosa 4 :
Gangguan konsep diri (citra diri) yang berhubungan dengan ketidakmampuan
dan kehilangan fungsi tubuh
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan tubuh dapat berfungsi secara
optimal dan konsep diri meningkat
Kriteria Hasil :
1) Pasien menyatakan penerimaan situasi diri
2) Memasukkan perubahan dalam konsep diri tanpa harga diri negative
Intervensi :
1. Kaji makna perubahan pada pasien
Rasional: episode traumatik mengakibatkan perubahan tiba-tiba. Ini
memerlukan dukungan dalam perbaikan optimal
2. Terima dan akui ekspresi frustasi, ketergantungan dan kemarahan.
Perhatikan perilaku menarik diri
Rasional: penerimaan perasaan sebagai respon normal terhadap apa yang
terjadi membantu perbaikan
17

3. Berikan harapan dalam parameter situasi individu, jangan memberikan


kenyakinan yang salah
Rasional: Meningkatkan perilaku positif dan memberikan kesempatan
untuk menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
realitas
4. Berikan penguatan positif
Rasional: kata-kata penguatan dapat mendukung terjadinya perilaku
koping positif
5. Berikan kelompok pendukung untuk orang terdekat
Rasional: meningkatkan ventilasi perasaan dan memungkinkan respon
yang lebih membantu pasien

3.4 IMPLEMENTASI
Merupakan tindakan yang dilakukan perawat kepada klien sesuai dengan
intervensi keperawatan.

3.5 EVALUASI
Tingkat keberhasilan dalam melakukan tindakan keperawatan
1. Tujuan Terapi
Klien telah mencapai kriteria hasil ditentukan dalam tujuan
2. Tujuan Tercapai Sebagian
Klien menunjukan perubahan perilaku tetapi tidak sebaik yang ditentukan
3. Tujuan Tidak Tercapai
Klien tidak menunjukan perubahan sama sekali
18

BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Penyakit kusta ialah sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan atas, dan
lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar. Bila tidak ditangani,
kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf,
anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat,
kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah.

4.2 SARAN
1. Diharapkan seluruh tenaga kesehatan khususnya perawat dapat
mengajarkan cara hidup sehat terhadap seluruh klien khususnya morbus
Hansen
2. Diharapkan seluruh tenaga kesehatan khususnya perawat dapat melayani
klien penyakit kusta sesuai dengan kebutuhan asuhan keperawatan

18

Anda mungkin juga menyukai