Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada
akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta sebanyak 224.727 penderita. Dari
data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data didapatkan india merupakan
negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901
penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita
sebanyak 22.175 (WHO).2
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe dengan indeks bakteri
(IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta pausibasiler adalah kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA)
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, sedangkan apabila BTA positif maka akan
dimasukan dalam kusta multibasiler.1
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia.1
Morbus Hansen pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu lesi
yang diawali dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal,
kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan mengeluh

1
kesemutan/ baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota
badan yang berlanjut pada kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok.3
Terapi yang di programkan untuk pemberantasan Morbus Hansen di seluruh
dunia termasuk indonesia adalah obat yang di kelompokan pada regimen Multi Drug
Treatment (MDT) antara lain diaminodiphenil sulfon, rifampisin, klofazimin
(lampren). Adapun obat alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.4
Prognosis untuk Morbus Hansen pada umumnya baik, hanya jika pasien
mampu mengikuti program secara teratur.2
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosa Morbus Hansen
Multibasiler yang ditemukan pada seorang pasien yang berobat di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang tahun 2020.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, yang menyerang saraf tepi
dan kemudian menimbulkan suatu kelainan kulit.1
Kuman penyebab penyakit Kusta, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari
Norwegia Gerhard Hendrik Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu Kusta
dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab
kusta tersebut. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew
zaraath.1

2.2 Epidemiologi

Penyebaran penyakit Morbus Hansen dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar di seluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Penderita kusta tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di
daerah tropik dan subtropik. Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia, Amerika
Latin serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.2
Morbus Hansen dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun
didapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 2
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit Morbus Hansen hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah

3
atau keganasan Mycobaterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :

 Usia: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa, insidens rate 10-20
tahun; puncak prevalensi 30-50 tahun.
 Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak yang terjangkit
 Ras: bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terjangkit
 Kesadaran sosial: Umumnya Negara-negara endemis adalah Negara-negara
tingkat sosial ekonomi rendah
 Lingkungan: fisik, biologi, sosial,yang kurang sehat
 Demografi: penyakit yang berkembang di seluruh dunia; 600.000 kasus baru
per tahun; 1,5-8 juta total kasus di seluruh dunia. Lebih dari 80% kasus
terdapat di India, China, Myanmar, Indonesia, Brazil, Nigeria.3

2.3 Etiologi

Penyebab Morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae, yang ditemukan


oleh warga negara Norwegia, G.A Armauer Hansen pada tahun 1873 dan sampai
sekarang belum dapat dibiakkan dalam media buatan. Kuman Mycobacterium leprae
berbentuk basil dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm, tahan asam dan alkohol serta
bersifat Gram positif. Mycobacterium leprae hidup intraseluler dan mempunyai
afinitas yang besar pada sel saraf (sel Schwan) dan sistem retikulo endotelial.1,3

2.4 Patogenesis

Spektrum klinis dari Morbus Hansen tergantung pada variasi batasan


imunologi host untuk mengembangkan Cell mediated Imunity yang efektif terhadap

4
Mycobacterium leprae. Organisme dapat menginvasi dan bereplikasi pada saraf tepi
dan menginfeksi endotel dan sel fagosit pada banyak organ.1
Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Masa inkubasi yaitu 20-40 tahun
(kebanyakan 5-7 tahun). Bakteri ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.
Morbus Hansen merupakan penyakit menahun jangka panjang yang dapat
menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.1

Cara-cara penularan penyakit Morbus Hansen sampai saat ini masih


merupakan tanda tanya. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit ini
adalah:
 Melalui sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam.Kontak
kulit dengan kulit.
 Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya
harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang-ulang.
M. leprae mempunyai patogenitas yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain karena respon imun
yang berbeda yang menyebabkan timbulnya reaksi granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif.
Oleh karena itu penyakit ini dapat disebut sebagai penyakit
imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan tingkat reaksi
selularnya daripada intensitasnya infeksi.1

5
2.5 Gejala Klinis

Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada
multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae, respon imun penderita terhadap
kuman M. Leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. 2,3
Adapun gejala-gejala khas Morbus Hansen adalah:
 Muncul gambaran kulit yang lebih putih (hipopigmentasi) bersisik,
yang tidak gatal dan lama-lama meluas.Pada lesi tersebut terjadi
anastesi. Hal ini menandakan bahwa bakteri telah menyerang saraf
tepi.
 Gejala yang berat mencakup kerontokan rambut, kekakuan sendi,
putusnya jari-jari sampai timbulnya luka-luka (ulkus) akibat kusta.
 Apabila terdapat gejala yang mengarah ke kusta, maka perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mencari mikobakterium tersebut dengan suatu
pengecatan basil tahan asam.
 Dapat pula disertai pembengkakan saraf tepi maupun cabang-cabang
saraf tepi terutama pada saraf ulnaris, medianus, aurikularis magnus
serta peroneus.
 Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
 Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit.
 Alis rambut rontok
 Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut fasies leomina (muka
singa).1,4

6
2.6 Klasifikasi

Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan


penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut:

Tabel 2.1 Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO 1

Sedangkan klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Klasifikasi menurut Kusta Ridley-Jopling 1

7
Gambar 2.1. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Borderline

Gambar 2.2. Penderita Kusta Tipe Lepromatous

Gambar 2.3. Penderita Kusta Tipe Lepromatous dan Borderline Lepromatous

8
Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe Mid Borderline dan Borderline Tuberkuloid

2.7 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu 4:
 Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
 Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
 Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan Klinis
yang lengkap dan lengkap sangat penting dalam menegakkan diagnosis
kusta.4,5

2.8 Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang

Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi dan
kerusakan kulit juga harus diperhatikan.Palpasi dan pemeriksaan dapat dilakukan

9
dengan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk nyeri, kapas untuk rasa raba dan dapat
menggunakan 2 buah tabung reaksi jika masih belum jelas. Perlu juga dilakukan
pemriksaan anhidrosi kulit dengan cara sederhana seperti Tes Gunawan.2,5

2.8.1 Pemeriksaan Saraf Tepi 4,9

Untuk saraf perifer perlu diperhatikan pembersaran, konsistensi dan


nyeri atau tidak. Hanya beberapa saraf yang diperiksa yaitu N. Fasialis, N.
Auricularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea
lateralis, N. Tibialis Posterior. Pada pemeriksaan, dibandingkan antara kiri
dan kanan. Pada tipe lepromatosus biasanya kelainan sarafnya bilateral dan
menyeluruh sedangkan tipe tuberkuloid terlokalisasi mengikuti tempat
lesinya. 2,5

Cara pemeriksaan saraf tepi:

a. N. Auricularis magnus
Pasien menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga sudah bisa
terlihat pembesaran sarafnya. Dua jari pemeriksaa diletakkan diatas
persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada
penebalan maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kiri dan kanan.
b. N. Ulnaris
Tangan yng diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba
sulcus nervi ulnaris dan merasakan adakah penebalan. Bandingkan
kanan dan kiri.
c. N. Peroneus lateralis

10
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae. 2,5

Gambar 2.5 Saraf Tepi yang Sering Mengalami Kerusakan8

2.8.2 Tes Fungsi Saraf 4,9

a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum serta tabung reaksi brisi air hangat dan dingin.
 Rasa Raba
Sepotong kapas yang dlancipkan ujungnya, disinggungkan ke
kulit pasien. Kapas disinggungkan kulit yang lesi dan yang
sehat kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang di
singgung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti,
tes kembali dikukan tetapi dengan mata pasien tertutup.
 Rasa Tajam
Diperiksa dengan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien.
Setelah disentuhkan bagian tajamnya lalu disentuhkan bagian
tumpulnya kemudian pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes ini dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.

11
 Rasa Suhu
Dilakuan dengan menggunakan dua buah tabung reaksi yang
berisi air panas dan air dingin. Lalu diminta pasien menetukan
rasa dingin atau panas seperti cara pemeriksaan sensasi lainnya
4
.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis yaitu:
1. Tes dengan tinta (Tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (Voluntary Muscle Test) pada N. Ulnaris, N.
Medianus, N. Radialis dan N. Peroneus 4.

2.8.3 Pemeriksaan Bakteriologis 4,5

Pemeriksaan bakterioskopik dilakukan dengan menggunakan sediaan


kerokan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai secara Ziehl-
Neelson. Untuk riset dilakukan di 10 tempat dan untuk pemriksaan rutin
dilakukan mengambilan dari 4-6 tempat/lesi yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling eritematous (paling aktif). Cuping telinga
dipilih sebab didaerah tersebut paling banyak terdapat M. Leprae 4,5.

Kepadatan BTA pada suatu sediaan dinyatakan dengan IB (indeks


bakteri) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley sebagai berikut:

0 jika tidak ditemukan BTA dalam 100 LP

1+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 100 LP

12
2+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 10 LP

3+ jika ditemukan 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP

4+ jika ditemukan 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP

5+ jika ditemukan 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

6+ jika ditemukan >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 4,9,10

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah


solid dan non solid.4

IM : Jumlah solid X 100%

Jumlah solid + Non Solid

2.8.4 Pemeriksaan Histopatologis

Pada tipe tuberkuloid didapatkan tuberkel dan kerusakan saraf yang


lebih nyata tetapi tidak ada basil atau basil non solid. Pada tipe lepromatosa
terdapat subepidermal clear zone yaitu suatu daerah langsung dibawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Dapat dijumpai banyak sel
Virchow. 5,6,10

2.8.5 Pemeriksaan Serologis

Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengabatkan diagnosis


serologi merupakan alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik
yang dapat digunakan adalah MLPA (M. Leprae Particle Aglutination), uji

13
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan ML dipstick (M. Leprae
Particle Aglutination )5,6,10

2.8.6 Pemeriksaan Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik ntuk klasifikasi dan prognosis
lepra tetapi tidak untuk diagnosis. Tes ini hanya untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml lepromin disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca dalam 48 jam/2 hari (reaksi Fernandez) atau 3-4 minggu
(reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema
yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon
imun tipe lambat.5,6,10

Reaksi Mitsuda:

0 jika papul berdiameter 3 mm atau kurang

+1 jika papul berdiameter 4-6 mm

+2 jika papul berdiameter 7-10 mm

+3 jika berdiameter >10 mm atau papul dengan ulserasi.5,10

14
2.9 Penatalaksanaan

Penataksanaan Morbus Hansen dibedakan menurut apakah kuman tersebut


Pausibasiler atau Multibasiler.Diberikan berdasarkan regimen MDT (Multi Drug
Therapy).

Pausibasiler
 - Rifampicine 600mg/bulan, diminum didepan petugas.
 - DDS 100mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama bulan dan diselesaikan
dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (Release From Treatment)7,8
 
Multibasiler
 - Rifampicine 600mg/bulan, diminum dengan pengawasan.
 - Lamprene 300mg/hari, diminum dengan pengawasan.
- DDS 100mg/hari

Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 12 dosis (bulan) dan


diselesaikan dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai 12 dosis
dinyatakan RFT, meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan BTA (+) 7,8.

2.10 Komplikasi
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat akibat kusta adalah 3,4 :
 
 Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik, misalnya leproma,
ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus dan absorbs jari.

15
 Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia. Disability ini merupakan objektivitas
impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang
benda atau memakai baju sendiri.
 Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau
diability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas
normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
 Deformity: kelainan struktur anatomis.
 Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan
status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan
teman-temannya.
 Destution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh
dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter) 3,4.

16
BAB III
LAPORAN KASUS

Laporan Kasus
Identitas
Nama : Ny. Arma Letong
Tanggal Lahir : 5 Maret 1990
Usia : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Nunbaun Sabu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. MR : 525211
Agama : Islam
1. ANAMNESIS
Keluhan Utama : muncul bercak kemerahan di seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien perempuan berusia 28 tahun datang
dengan keluhan muncul bercak kemerahan di seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien mengatakan awalnya bercak muncul pertama kali pada
kedua telinga kemudian diikuti bercak pada wajah. Menurut pasien, bercak
awalnya hanya sedikit tampak kemerahan dan bercak bertambah banyak,
tetapi pasien tidak mengeluhkan adanya mati rasa pada bercak, nyeri maupun
gatal. Pasien juga tidak ada keluhan kebas-kebas, kesemutan pada daerah
tangan dan kaki. Selain itu, pasien mengatakan tangan dan kaki pasien mulai
muncul bercak kemerahan dan bengkak sejak 1 minggu yang lalu disertai rasa
keram pada kaki dan tangan. Pasien mengatakan tidak ada keluhan seperti
demam, pusing (-), mual muntah (-), batuk (-), bengkak dan nyeri pada sendi
(-). BAB BAK baik, nafsu makan baik.
Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada

17
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Sosial : pasien tinggal bersama suaminya dan belum memiliki anak.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Tanda Vital :
− Tekanan Darah : 120/80 mmHg
− Suhu : 36,70C
− Pernapasan : 60 kali/menit
− Heart rate : 148 kali/menit
− SpO2 : 96%

Status General :

Kepala : normocephal, rambut hitam tersebar merata, tidak mudah dicabut

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), madarosis (-/-),


lagoftalmus (-/-)

Hidung : Simetris, hidung pelana (-/-), rhinorre (-/-)

Mulut : Mukosa bibir lembab, sianosis (-)

Telinga : otore (-/-), mikrobuli (+/+)

Leher : pembesaran KGB (-/-), pembesaran tiroid (-/-), penebalan n.


auricularis magnus (-/-)

Thorax : pengembangan dada simetris.

Pulmo : ves +/+, rh -/-, wh -/-

Cor : S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen : supel, BU (+), normal, nyeri tekan (-), hepatosplenomegali (-)

18
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-) (-/-), drop hand (-),
drop foot (-), motorik 5/5 5/5, adanya plak eritema multiple (+/+) (+/+)

Sensibilitas : Nyeri : menurun; Raba : menurun, Suhu : menurun

Penebalan Saraf : N. Ulnaris Sinistra dan N. Ulnaris Dextra.

3. STATUS DERMATOLOGIS :

Lokasi : wajah

Efloresensi : Tampak plak eritema multipel, batas jelas, bentuk anular dengan ukuran
0,5 1cm x 0,75 cm, terdistribusi general.

Gambar 3.1 Foto Wajah Pasien Gambar 3.2 Foto Wajah Pasien

Lokasi : kedua cuping telinga


Efloresensi : tampak plak multipel, bentuk bulat batas tidak tegas dengan ukuran 1-
1,25 cm

19
Gambar 3.3 Foto Telinga Pasien Gambar 3.4 Foto Telinga Pasien

Lokasi : kedua tangan

Efloresensi : Tampak plak eritema multipel, batas jelas, bentuk anular dengan ukuran
1 cm x 0,75 cm, terdistribusi general.

Gambar 3.5 Foto Tangan Pasien

20
Lokasi : kedua tungkai bawah

Efloresensi : Tampak makula hipopigmentasi, batas jelas, bentuk anular dengan


ukuran 1 cm x 0,75 cm, terdistribusi general.

Gambar 3.6 Foto Kaki Pasien

4. DIAGNOSA BANDING
 Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB
 Tinea Korporis
 Pitiriasis Versikolor

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan bakterioskopik : Reitz serum cuping telinga kiri dan kanan, lesi kulit,
dan swab hidung.

Hasil : IB : Positif 1 ditemukan 1 BTA Leprae dalam 100 lapangan pandang.

IM : 100%

6. DIAGNOSA KERJA

Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB

21
7. TATALAKSANA

1. FARMAKOLOGI
A. MDT selama 12-18 bulan.
a. Rifampisin 600 mg/bulan dalam pengawasan
b. Klofazimine/Lampren 300 mg/bulan dalam pengawasan
c. DDS 100 mg/hari
B. Vitamin B1 1 x 1 tab

2. NON FARMAKOLOGI
 Memeriksa prevention of disability (POD)
 Menyarankan untuk selalu memakai alas kaki
 KIE : menjelaskan tentang penyakit pasien, pengobatan yang harus
didapat pasien, efek samping obat MDT seperti kencing berwarna merah,
bercak kulit yang gatal, dan perubahan warna kulit.

8. KOMPLIKASI

Kecacatan dan deformitas akibat neuropati pada MH dapat mengakibatkan trauma,


nekrosis, ataupun infeksi yang tidak disadari pasien.

Osteoporosis

Arthritis/arthralgia

9. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

Quo ad sanationam : dubia ad bonam

Quo ad cosmeticam : dubia ad bonam

22
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan kasus Morbus Hansen tipe multibasiler pada pasien


perempuan berusia 28 tahun, dengan Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB,
ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan pada pasien
ini dengan program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi obat
medikamentosa yang digunakan terdiri dari Rifampisin, Klofazimin dan Dapson
selama 12 bulan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi.


Kusta. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI
Jakarta 2007; 73-88.

2. Vaishali B. Naik et al: Evaluation of Significance of Skin Smears in Leprosy


for Diagnosis, Follow Up, Assessment of Treatment Outcome and Relapse.
Asiatic Journal of Biotechnology resources, 2011; page: 547 – 552

3. M.T. Htoon, dr., et al: WHO Expert Committee on Leprosy: eighth report.
Printed in Italy. 2012;17-28.

4. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian


Penyakit Kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2012; Page 5-11, 75-98.

5. Abdullah Benny,dr., Sp.KK. Morbus Hansen, Dermatologi Pengetahuan


Dasar dan Kasus Di Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSU Haji, Surabaya, 2009, hal 149-159.

6. James, William D. Et. Al,2011, chapter 17 : Hansen’s Disease, In : Andrew’s


Disease of the Skin Clinical Dermatology,11th, p : 334-444

7. M. Yulianto Listiawan, Indropo Agusni, Sunarko Matodihardjo. Morbus


Hansen, Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, Edisi III Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya,
Surabaya, 2005, Page 41-48

8. R. K. Srivastava, dr., Training Manual for Medical Officers, National


Leprosy Eradication Programme, Directorate General of Health Services
Ministry of Health & Family Welfare Nirman Bhawan, New Delhi, 2009,
page: 18-19, 21-47

24
9. Wolff, K. Goldsmith, L. A. Katz, S. I. Gilchrest, B. A. Paller, A. S. Leffel, D. J.
editors. [book auth.] McGraw-Hill. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Sixth Edition. New York : s.n., 2009, pp. 665-671.

10. Avninder Singh, Xiaoman Weng, Indira Nath. Skin Biopsy in Leprosy,
National Institute of Pathology (ICMR), Safdajung Hospital Campus, New
Delhi, 2011, Page : 73-86

25

Anda mungkin juga menyukai