PENDAHULUAN
Kusta atau Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium Leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
Bedasarkan data yang diperoleh dari World Health Organization (WHO) pada
akhir tahun 2006 didapatkan jumlah pasien kusta sebanyak 224.727 penderita. Dari
data tersebut didapatkan jumlah pasien terbanyak dari benua asia dengan jumlah
pasien yang terdaftar sebanyak 116.663. Dan dari data didapatkan india merupakan
negara dengan jumlah penduduk terkena kusta terbanyak dengan jumlah 82.901
penderita. Sementara indonesia pada tahun 2006 tercatat memiliki jumlah penderita
sebanyak 22.175 (WHO).2
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar. Yang termasuk dalam multibasilar adalah tipe dengan indeks bakteri
(IB) lebih dari 2+ sedangkan pausibasilar adalah tipe dengan IB kurang dari 2+.
Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta pausibasiler adalah kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA)
negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, sedangkan apabila BTA positif maka akan
dimasukan dalam kusta multibasiler.1
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman
penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik
yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, umur, dan kemungkinan
adanya reservoir diluar manusia.1
Morbus Hansen pada umumnya memberikan morfologi yang khas yaitu lesi
yang diawali dengan bercak putih, bersisik halus pada bagian tubuh, tidak gatal,
kemudian membesar dan meluas. Jika saraf sudah terkena, penderita akan mengeluh
1
kesemutan/ baal pada bagian tertentu, ataupun kesukaran menggerakan anggota
badan yang berlanjut pada kekakuan sendi. Rambut alis pun dapat rontok.3
Terapi yang di programkan untuk pemberantasan Morbus Hansen di seluruh
dunia termasuk indonesia adalah obat yang di kelompokan pada regimen Multi Drug
Treatment (MDT) antara lain diaminodiphenil sulfon, rifampisin, klofazimin
(lampren). Adapun obat alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin.4
Prognosis untuk Morbus Hansen pada umumnya baik, hanya jika pasien
mampu mengikuti program secara teratur.2
Berikut ini akan dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosa Morbus Hansen
Multibasiler yang ditemukan pada seorang pasien yang berobat di Poliklinik Kulit
dan Kelamin RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang tahun 2020.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta atau lepra adalah penyakit infeksi yang kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, yang menyerang saraf tepi
dan kemudian menimbulkan suatu kelainan kulit.1
Kuman penyebab penyakit Kusta, ditemukan pertama kali oleh sarjana dari
Norwegia Gerhard Hendrik Armauer Hansen pada tahun 1873, maka dari itu Kusta
dikenal juga dengan nama Morbus Hansen, sesuai dengan penemu kuman penyebab
kusta tersebut. Kata lepra disebut dalam kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew
zaraath.1
2.2 Epidemiologi
Penyebaran penyakit Morbus Hansen dari suatu tempat ke tempat lain sampai
tersebar di seluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Penderita kusta tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di
daerah tropik dan subtropik. Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia, Amerika
Latin serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.2
Morbus Hansen dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih rentan
daripada orang dewasa. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun
didapatkan ± 13%, tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun. 2
Menurut Ress (1975) dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan dan
perkembangan penyakit Morbus Hansen hanya tergantung dari dua hal yakni jumlah
3
atau keganasan Mycobaterium leprae dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu
faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
Usia: Anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa, insidens rate 10-20
tahun; puncak prevalensi 30-50 tahun.
Jenis kelamin: laki-laki lebih banyak yang terjangkit
Ras: bangsa Asia dan Afrika lebih banyak terjangkit
Kesadaran sosial: Umumnya Negara-negara endemis adalah Negara-negara
tingkat sosial ekonomi rendah
Lingkungan: fisik, biologi, sosial,yang kurang sehat
Demografi: penyakit yang berkembang di seluruh dunia; 600.000 kasus baru
per tahun; 1,5-8 juta total kasus di seluruh dunia. Lebih dari 80% kasus
terdapat di India, China, Myanmar, Indonesia, Brazil, Nigeria.3
2.3 Etiologi
2.4 Patogenesis
4
Mycobacterium leprae. Organisme dapat menginvasi dan bereplikasi pada saraf tepi
dan menginfeksi endotel dan sel fagosit pada banyak organ.1
Bila basil M. leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Masa inkubasi yaitu 20-40 tahun
(kebanyakan 5-7 tahun). Bakteri ini pertama kali menyerang saraf tepi, yang
selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan juga testis, kecuali susunan saraf pusat.
Morbus Hansen merupakan penyakit menahun jangka panjang yang dapat
menyebabkan anggota tubuh penderita tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.1
5
2.5 Gejala Klinis
Manifestasi klinis dari lepra sangat beragam, namun terutama mengenai kulit,
saraf, dan membran mukosa. Gejala dan keluhan penyakit bergantung pada
multiplikasi dan diseminasi kuman M. Leprae, respon imun penderita terhadap
kuman M. Leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer. 2,3
Adapun gejala-gejala khas Morbus Hansen adalah:
Muncul gambaran kulit yang lebih putih (hipopigmentasi) bersisik,
yang tidak gatal dan lama-lama meluas.Pada lesi tersebut terjadi
anastesi. Hal ini menandakan bahwa bakteri telah menyerang saraf
tepi.
Gejala yang berat mencakup kerontokan rambut, kekakuan sendi,
putusnya jari-jari sampai timbulnya luka-luka (ulkus) akibat kusta.
Apabila terdapat gejala yang mengarah ke kusta, maka perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mencari mikobakterium tersebut dengan suatu
pengecatan basil tahan asam.
Dapat pula disertai pembengkakan saraf tepi maupun cabang-cabang
saraf tepi terutama pada saraf ulnaris, medianus, aurikularis magnus
serta peroneus.
Kelenjar keringat kurang bekerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat.
Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada
kulit.
Alis rambut rontok
Muka berbenjol-benjol dan tegang yang disebut fasies leomina (muka
singa).1,4
6
2.6 Klasifikasi
7
Gambar 2.1. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Borderline
8
Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe Mid Borderline dan Borderline Tuberkuloid
2.7 Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama
atau tanda kardinal, yaitu 4:
Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa.
Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Ditemukannya M. leprae pada pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan Klinis
yang lengkap dan lengkap sangat penting dalam menegakkan diagnosis
kusta.4,5
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi dan
kerusakan kulit juga harus diperhatikan.Palpasi dan pemeriksaan dapat dilakukan
9
dengan alat-alat sederhana yaitu jarum untuk nyeri, kapas untuk rasa raba dan dapat
menggunakan 2 buah tabung reaksi jika masih belum jelas. Perlu juga dilakukan
pemriksaan anhidrosi kulit dengan cara sederhana seperti Tes Gunawan.2,5
a. N. Auricularis magnus
Pasien menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga sudah bisa
terlihat pembesaran sarafnya. Dua jari pemeriksaa diletakkan diatas
persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada
penebalan maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat.
Bandingkan kiri dan kanan.
b. N. Ulnaris
Tangan yng diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya
diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba
sulcus nervi ulnaris dan merasakan adakah penebalan. Bandingkan
kanan dan kiri.
c. N. Peroneus lateralis
10
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae. 2,5
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum serta tabung reaksi brisi air hangat dan dingin.
Rasa Raba
Sepotong kapas yang dlancipkan ujungnya, disinggungkan ke
kulit pasien. Kapas disinggungkan kulit yang lesi dan yang
sehat kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang di
singgung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti,
tes kembali dikukan tetapi dengan mata pasien tertutup.
Rasa Tajam
Diperiksa dengan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien.
Setelah disentuhkan bagian tajamnya lalu disentuhkan bagian
tumpulnya kemudian pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes ini dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
11
Rasa Suhu
Dilakuan dengan menggunakan dua buah tabung reaksi yang
berisi air panas dan air dingin. Lalu diminta pasien menetukan
rasa dingin atau panas seperti cara pemeriksaan sensasi lainnya
4
.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada
penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes
anhidrosis yaitu:
1. Tes dengan tinta (Tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (Voluntary Muscle Test) pada N. Ulnaris, N.
Medianus, N. Radialis dan N. Peroneus 4.
12
2+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 10 LP
13
ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) dan ML dipstick (M. Leprae
Particle Aglutination )5,6,10
Tes lepromin adalah tes non spesifik ntuk klasifikasi dan prognosis
lepra tetapi tidak untuk diagnosis. Tes ini hanya untuk menunjukkan sistem
imun penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml lepromin disuntikkan intradermal.
Kemudian dibaca dalam 48 jam/2 hari (reaksi Fernandez) atau 3-4 minggu
(reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema
yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon
imun tipe lambat.5,6,10
Reaksi Mitsuda:
14
2.9 Penatalaksanaan
Pausibasiler
- Rifampicine 600mg/bulan, diminum didepan petugas.
- DDS 100mg/hari
Pengobatan diberikan secara teratur selama bulan dan diselesaikan
dalam waktu maksimal 18 bulan. Setelah selesai minum 6 dosis dinyatakan
RFT (Release From Treatment)7,8
Multibasiler
- Rifampicine 600mg/bulan, diminum dengan pengawasan.
- Lamprene 300mg/hari, diminum dengan pengawasan.
- DDS 100mg/hari
2.10 Komplikasi
Menurut WHO (1980) batasan istilah dalam cacat akibat kusta adalah 3,4 :
Impairment: segala kehilangan atau abnormalitas struktur atau fungsi
yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik, misalnya leproma,
ginekomastia, madarosis, claw hand, ulkus dan absorbs jari.
15
Disability: segala keterbatasan atau kekurangmampuan (akibat
impairment) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas kehidupan
yang normal bagi manusia. Disability ini merupakan objektivitas
impairment, yaitu gangguan pada tingkat individu termasuk
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-hari, misalnya memegang
benda atau memakai baju sendiri.
Handicap: kemunduran pada seorang individu (akibat impairment atau
diability) yang membatasi atau menghalangi penyelesaian tugas
normal yang bergantung pada umur, seks, dan faktor sosial budaya.
Handicap ini merupakan efek penyakit kusta yang berdampak sosial,
ekonomi, dan budaya.
Deformity: kelainan struktur anatomis.
Dehabilitation: keadaan/proses pasien kusta (handicap) kehilangan
status sosial secara progresif, terisolasi dari masyarakat, keluarga dan
teman-temannya.
Destution: dehabilitasi yang berlanjut dengan isolasi yang menyeluruh
dari seluruh masyarakat tanpa makanan atau perlindungan (shelter) 3,4.
16
BAB III
LAPORAN KASUS
Laporan Kasus
Identitas
Nama : Ny. Arma Letong
Tanggal Lahir : 5 Maret 1990
Usia : 28 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Nunbaun Sabu
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
No. MR : 525211
Agama : Islam
1. ANAMNESIS
Keluhan Utama : muncul bercak kemerahan di seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang : pasien perempuan berusia 28 tahun datang
dengan keluhan muncul bercak kemerahan di seluruh tubuh sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien mengatakan awalnya bercak muncul pertama kali pada
kedua telinga kemudian diikuti bercak pada wajah. Menurut pasien, bercak
awalnya hanya sedikit tampak kemerahan dan bercak bertambah banyak,
tetapi pasien tidak mengeluhkan adanya mati rasa pada bercak, nyeri maupun
gatal. Pasien juga tidak ada keluhan kebas-kebas, kesemutan pada daerah
tangan dan kaki. Selain itu, pasien mengatakan tangan dan kaki pasien mulai
muncul bercak kemerahan dan bengkak sejak 1 minggu yang lalu disertai rasa
keram pada kaki dan tangan. Pasien mengatakan tidak ada keluhan seperti
demam, pusing (-), mual muntah (-), batuk (-), bengkak dan nyeri pada sendi
(-). BAB BAK baik, nafsu makan baik.
Riwayat Penyakit Dahulu : tidak ada
17
Riwayat Penyakit Keluarga : tidak ada
Riwayat Sosial : pasien tinggal bersama suaminya dan belum memiliki anak.
2. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : tampak sakit ringan
Tanda Vital :
− Tekanan Darah : 120/80 mmHg
− Suhu : 36,70C
− Pernapasan : 60 kali/menit
− Heart rate : 148 kali/menit
− SpO2 : 96%
Status General :
18
Ekstremitas : Akral Hangat, CRT < 2 detik, edema (-/-) (-/-), drop hand (-),
drop foot (-), motorik 5/5 5/5, adanya plak eritema multiple (+/+) (+/+)
3. STATUS DERMATOLOGIS :
Lokasi : wajah
Efloresensi : Tampak plak eritema multipel, batas jelas, bentuk anular dengan ukuran
0,5 1cm x 0,75 cm, terdistribusi general.
Gambar 3.1 Foto Wajah Pasien Gambar 3.2 Foto Wajah Pasien
19
Gambar 3.3 Foto Telinga Pasien Gambar 3.4 Foto Telinga Pasien
Efloresensi : Tampak plak eritema multipel, batas jelas, bentuk anular dengan ukuran
1 cm x 0,75 cm, terdistribusi general.
20
Lokasi : kedua tungkai bawah
4. DIAGNOSA BANDING
Morbus Hansen Multibasiler Tipe BB
Tinea Korporis
Pitiriasis Versikolor
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan bakterioskopik : Reitz serum cuping telinga kiri dan kanan, lesi kulit,
dan swab hidung.
IM : 100%
6. DIAGNOSA KERJA
21
7. TATALAKSANA
1. FARMAKOLOGI
A. MDT selama 12-18 bulan.
a. Rifampisin 600 mg/bulan dalam pengawasan
b. Klofazimine/Lampren 300 mg/bulan dalam pengawasan
c. DDS 100 mg/hari
B. Vitamin B1 1 x 1 tab
2. NON FARMAKOLOGI
Memeriksa prevention of disability (POD)
Menyarankan untuk selalu memakai alas kaki
KIE : menjelaskan tentang penyakit pasien, pengobatan yang harus
didapat pasien, efek samping obat MDT seperti kencing berwarna merah,
bercak kulit yang gatal, dan perubahan warna kulit.
8. KOMPLIKASI
Osteoporosis
Arthritis/arthralgia
9. PROGNOSIS
22
BAB IV
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
3. M.T. Htoon, dr., et al: WHO Expert Committee on Leprosy: eighth report.
Printed in Italy. 2012;17-28.
24
9. Wolff, K. Goldsmith, L. A. Katz, S. I. Gilchrest, B. A. Paller, A. S. Leffel, D. J.
editors. [book auth.] McGraw-Hill. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. Sixth Edition. New York : s.n., 2009, pp. 665-671.
10. Avninder Singh, Xiaoman Weng, Indira Nath. Skin Biopsy in Leprosy,
National Institute of Pathology (ICMR), Safdajung Hospital Campus, New
Delhi, 2011, Page : 73-86
25