Anda di halaman 1dari 13

Nama : Nadya Nyak Dara Br Sitepu

Nim :17171018
Tutor : dr. Aslinar Sp.A
Blok : 19 (Pengelolaan Penyakit Tropis)
Kelompok :1

Langkah I : IDENTIFIKASI ISTILAH


1. Punched outlesion
punched out lession itu adalah lesi yang dalam tapak tegas namun pinggirnya memudar.
2. Efluoresensi
Efluoresensi : Makula adalah kelainan kulit dan selaput lendir yang dapat dilihat dengan
mata telanjang secara objektif. Dan bila perlu dapat diperiksa dengan cara perabaan.
Efluoresensi kulit dapat merupakan akibat biasa dalam perjalanan proses patologik.
3. Xerosis
Xerosis merupakan suatu istilah medis untuk kondisi kulit kering. Xerosis dapat
menyerang siapapun, tetapi paling banyak dialami oleh orang lanjut usia. Pengidapnya
dapat mengalami kondisi ini dalam waktu yang singkat, namun dapat pula
berkepanjangan.

4. Mycobaterium leprae
Mycobacterium leprae, juga disebut Basillus Hansen, adalah bakteri yang menyebabkan
penyakit kusta (penyakit Hansen). Bakteri ini merupakan bakteri intraselular. M. leprae
merupakan gram-positif berbentuk tongkat.
Langkah II : IDENTIFIKASI MASALAH
1. Mengapa terjadinya pembesaran pada nervus ulnaris sinistra?
2. Bagaimana mekanisme terjadinya baal pada Aliando ?
Langkah III : ANALISA MASALAH
1. Mengapa terjadinya pembesaran pada nervus ulnaris sinistra?
Karena ruamnya terjadi pada bagian nervus ulnaris sinistra tersebut dan menghambat
aktifitas pada bagian saraf tersebut dimana keaadannya
Setelah bakteri memasuki tubuh, bakteri bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk
ke dalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot, dan
sel-sel endotel pembuluh darah.
Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada
perlawanan dari individu yang terinfeksi. Peningkatan jumlah bakteri dalam tubuh dan
infeksi akan memicu sistem imun berupa limfosit dan histiosit (makrofag) untuk
menyerang jaringan yang terinfeksi. Pada tahap ini, manifestasi klinis mungkin muncul
sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi. Apabila tidak didiagnosis
dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon
imun pasien. Sehingga pada bagian nervus ulnaris sinistra yg paling dominan terjadi.

2. Bagaimana mekanisme terjadinya baal pada Aliando ?


Baal adalah rasa kebal sehingga tidak lagi merasakan dingin, sakit, dan
sabagainya; mati rasa., atau dalam istilah medis disebut hipestesia yang merupakan
gangguan sensorik negatif. Gangguan sensorik superficial atau gangguan ekteroseptif
yang negatif merupakan salah satu manifestasi sindrom neurologic. Baal terjadi karena
adanya hambatan pada hantaran pesan oleh syaraf ke otak. Sensasi normal hilang saat
adanya hambatan tersebut sehingga dapat terjadi kebas atau baal. Saat hambatan
terlepas dan syaraf mulai mengirim pesan lagi ke otak, pada saat itu lah terjadi
kesemutan. Hambatan dapat terjadi karena posisi tubuh, tapi dapat juga terjadi karena
kerusakan syaraf atau masalah pada otak.
Langkah IV : STRUKTURISASI

Aliando (LK, 40

Keluhan bercak putih pada


tubuhnya

(+-6 bulan)

Px Fisik Px . saraf Px . Penunjang

Pembesaran Nervus Ulnaris KOH (-)


Ditemukan :
Sinistra (+)
1. Efloresensi

Terlihat : makula eritema


berbentuk oval, Punched-
outlesion (+)

2. Pada kedua tungkai :


xerosis & squama (+)

MORBUS HANSEN

Disebabkan oleh :

Mycobacterium
Leprae
Langkah V : LEARNING OBJEKTIVE
1. Definisi Morbus Hansen
2. Epidemiologi MH
3. Patogenesis MH
4. Etiologi MH
5. Manifestasi klinis MH
6. Pemeriksaan Fisik MH
7. Pemeriksaan penunjang MH
8. Diagnosis MH
9. Diagnosis Banding
10. Tatalaksana MH
11. Komplikasi MH
12. Prognosis MH

Langkah VII : PEMBAHASAN LEARNING OBJECTIVE BERDASARKAN RUJUKAN


1. Definisi Morbus Hansen
Morbus Hansen atau Kusta, Istilah kusta berasal dari bahasa India, yakni kustha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini disebut Morbus Hansen.
Kusta yang juga disebut lepra merupakan penyakit infeksi granulomatous kronik yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae, terutama mengenai sistem saraf perifer, kulit, namun
dapat juga terjadi mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusa

SUMBER : A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi Kelima.Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.h. 73-88.

Morbus Hansen (MH) disebut juga dengan penyakit kusta atau lepra. Istilah kusta berasal dari
bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penamaan
Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1873, sehingga penyakit ini juga disebut Hansen’s Disease.

Sumber : Buletin Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara, Edisi 3- Februari 2020


https://www.researchgate.net/publication/339617344_Mengenal_Morbus_Hansen
2. Epidemiologi MH
Sejak kapan mulai adanya MH tidak diketahui dengan pasti. Akan tetapi ada yang berpendapat
bahwa penyakit ini berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke Mesir, Eropa, Afrika dan Amerika. Di
Indonesia pada tahun 1997 tercatat 33.739 orang yang merupakan negara ketiga terbanyak penderitanya
setelah India dan Brasil dengan prevalensi 1,7 per 10.000 penduduk.
Morbus Hansen dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan
wanita dengan perbandingan 2 : 1. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun demikian jarang
dijumpai pada umur yang sangat muda. Frekuensi terbanyak adalah pada umur 15-29 tahun. Terdapat
perbedaan baik dalam hal ras maupun dalam hal geografis. Ras Cina, Eropa, dan Myanmar lebih rentan
terhadap bentuk lepromatosa dibandingkan dengan ras Afrika, India, dan Melanesia.
Morbus Hansen masih merupakan masalah kesehatan pada 55 negara di dunia, tetapi sekitar 16
negara terbanyak didunia dimana, Indonesia termasuk urutan ke tiga, dibawah India dan Brazil. Kapan
penyakit ini menjalar ke Indonesia, belum diketahui dengan pasti. Namun, dalam buku tentang Historische
Studie Over MH dikatakan bahwa penduduk pertama dari Jawa mungkin berasal dari Hindia Muka dan
Belakang, negeri yang terkenal dengan sarang kusta, yang membawa penyakit ke Pulau Jawa. Jawa Timur
merupakan propinsi dengan jumlah pasien MH tertinggi di Indonesia (30%). Menurut laporan Departemen
Kesehatan RI (2008), di akhir tahun 2006 Indonesia masih memiliki 14 provinsi dan 155 kabupaten yang
belum mencapai eliminasi penyakit kusta.
Di Indonesia penderita anak-anak di bawah umur 14 tahun didapatkan ±13 %, tetapi anak di
bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.
Kusta terdapat dimana-mana, tertama di Asia, Afrika, Amerika latin, daerah tropis dan subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda. Penyebaran penyakit
kusta dari suatu tempat di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang
terinfeksi penyakit tersebut. Penyakit ini disebarkan melalui droplet infeksi dan mempunyai masa tunas
yang panjang (antara 2 bulan sampai 40 tahun)

SUMBER : A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi Kelima.Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2010.h. 73-88.

3. Patogenesis MH
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh GA.Hansen pada
tahun 1873 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media
artifisial. M. leprae berbentuk basil dengan ukuran 3-8 Um x 0.5Um, tahan asam dan alkohol serta
Gram positif. M. leprae merupakan mikroorganisme intraselular obligat yang hidup di dalam sel
terutama makrofag dan sel Schwann. Basil ini membutuhkan suhu ~35°C untuk
pertumbuhannya, menyukai daerah daerah yang lebih dingin dari bagian tubuh manusia seperti
hidung, testis dan daun telinga.
Penularan MH adalah melalui pasien yang terinfeksi terutama pasien lepromatosa yang
tidak diterapi pasien yang dicurigai terinfeksi dan kontak erat dan lama. M. leprae masuk ke
dalam tubuh melalui hidung dan menyebar ke kulit dan saraf melalui sirkulasi darah. Droplet
infeksius yang berasal dari sekret nasal dari kasus multibasiler yang aktif dengan erosi nasal
merupakan sumber awal penyebaran penyakit melalui saluran respiratorius. Pernah dilaporkan
suatu transmisi yang tidak biasa di India melalui pengunaan jarum tattoo yang sudah pernah
dipakai. Faktor sosioekonomi seperti hygiene yang rendah, sanitasi yang jelek, tempat tinggal
yang sempit, dan nutrisi yang rendah, merupakan faktor resiko dalam terjadinya penularan
MH.Sebagian besar pendapat mendukung pandangan tradisional bahwa Mycobacterium leprae
menular dari manusia ke manusia, namun M. leprae menyebabkan penyakit menyerupai MH
pada armadillo, monyet dan tikus.

Sumber : Buletin Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara, Edisi 3- Februari 2020


https://www.researchgate.net/publication/339617344_Mengenal_Morbus_Hansen
4. Etiologi MH
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel, aerob,
tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5
μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Waktu pembelahan Mycobacterium leprae sangat lama,
yaitu 2-3 minggu, kuman ini dapat bereproduksi optimal pada suhu 27°C – 30°C secara in vivo,
tumbuh dengan baik pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping
telinga, anterior chamber of eye, saluran napas atas, kaki dan testis), dan tidak mengenai area
yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung

SUMBER : Buxton K.P. ABC of Dermatology, 4th ed (BMJ Books); 2003.p.109-10 .

5. Manifestasi klinis MH
Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi dan
diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta
komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi.
 Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang
terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan
gangguan motorik, sensorik dan otonom.
 Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi
progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada
tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia
terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan
ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2.
 Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe
lepromatosa)
6. Pemeriksaan Fisik MH
Pemeriksaan fisik dilakukan di tempat dengan penerangan yang baik. Temuan pada pemeriksaan
fisik dapat meliputi hipestesia, lesi kulit, dan neuropati perifer. Pemeriksaan fisik yang dilakukan
diantaranya :
Inspeksi
Inspeksi dilakukan dari kepala sampai kaki. Perhatikan setiap makula, nodul, jaringan parut dan
penebalan kulit. Perhatikan apakah ada deformitas pada wajah, tangan dan kaki.
Palpasi
Palpasi dilakukan untuk memeriksa apakah ada penebalan saraf tepi atau tidak. Tempat-tempat
dimana sering terjadi penebalan saraf adalah pada nervus ulnaris di siku, nervus medianus dan
radialis superfisial di pergelangan tangan, nervus peroneus komunis di fossa poplitea, dan nervus
aurikularis di leher.
Pemeriksaan Fungsi Sensorik
Gunakan sepotong kapas yang sudah dipilin pada ujungnya. Berikan penjelasan pada pasien bila
merasakan sentuhan maka pasien harus menunjuk bagian mana yang terasa. Pasien ditutup
matanya saat melakukan pemeriksaan. Lesi di kulit diperiksa secara bergantian dengan kulit
yang normal untuk mengetahui apakah ada anestesi atau hipestesia.
Sumber : Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan Kementerian
Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Lepra. 2012. Kementerian
Kesehatan RI.

7. Pemeriksaan penunjang MH
1) Pemeriksaaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan
dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan Ziehl Neelson. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung basil M. leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di
kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah
tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. Leprae
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan
dengan indeks bakteri (I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA
dalam 100 lapangan pandang (LP).

1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP


2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan IM
adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak perlu dibuat IM karena untuk
mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+
maksimum harus dicari 100 lapangan

2) Pemeriksaan histopatologi
Pemeriksaan histopatologi pada penyakit lepra dilakukan untuk memastikan gambaran
klinik, misalnya lepra Indeterminate atau penentuan klasifikasi lepra. Granuloma adalah
akumulasi makrofag dan atau derivat-derivatnya. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid
adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan
non solid. Tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone)
yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur –
unsur tersebut.

3) Pemeriksaan serologik
Pada pemeriksaan serologis lepra didasarkan atas terbentuknya antibodi tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik dan tidak
spesifik. Antibodi yang spesifik terhadap M. lepraeyaitu antibodi antiphenolic glycolipid-
1(PGL 1) dan antibodi antiprotein 16kD serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik
antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.
tuberculosis.
Pemeriksaan serologis ini dapat membantu diagnosis lepra yang meragukan karena tanda
klinis dan bakteriologik tidak jelas. Selain itu dapat juga membantu menentukan lepra
subklinis, karena tidak terdapat lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah. Macam-
macam pemeriksaan serologik lepra adalahuji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), uji ELISA (Enzym Linked Immuno-sorbent Assay), ML dipstick test
(Mycobacterium leprae dipstick), dan ML flow test (Mycobacterium leprae flow test).

8. Diagnosis MH
Diagnosis MH didasarkan pada gambaran klinis, bakteriologis dan histopatologis.
Untuk menetapkan diagnosis klinis penyakit MH harus ada minimal satu tanda
utama atau cardinal sign.Tanda utama tersebut yaitu :
a. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa Kelainan dapat berbentuk bercak
keputihan (hipopigmentasi) atau kemerah-merahan (eritematosa) yang mati
rasa (anestesi).
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf akibat
peradangan saraf (neuritis perifer), bisa berupa :
1). Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
2). Gangguan fungsi motoris : paresis, paralisis
3). Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak
c. Adanya kuman tahan asam di dalam pemeriksaan kerokan jaringan kulit
(BTA positif) pada pasien lepromatosa dan borderline

Sumber : Buletin Fakultas kedokteran Universitas Tarumanagara, Edisi 3- Februari 2020


https://www.researchgate.net/publication/339617344_Mengenal_Morbus_Hansen
9. Diagnosis Banding

Sumber : A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam:Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.Edisi Kelima.Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2010.h. 73-88

10. Tatalaksana MH
Tujuan terapi utama yaitu memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan
insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit,
untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yg dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita.
Obat-obatan yang digunakan dalam World Health Organization-Multydrug Therapy
(WHO-MDT) adalah kombinasi rifampisin, klofazimin dan dapson untuk penderita lepra tipe
MB serta rifampisin dan dapson untuk penderita lepra tipe PB. Rifampisin ini adalah obat
antilepra yang paling penting dan termasuk dalam perawatan kedua jenis lepra. Pengobatan
lepra dengan hanya satu obat antilepra akan selalu menghasilkan mengembangan resistensi
obat, pengobatan dengan dapson atau obat antilepra lain yang digunakan sebagai monoterapi
dianggap tidak etis.
Adanya MDT adalah sebagai usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi,
memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan. Untuk
menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan efek terapeutik obat, efek samping obat,
ketersediaan obat, harga obat, dan kemungkinan penerapannya.
1) DDS (Dapsone)
Merupakan singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfon. Dapson bersifat bakteriostatik dengan
menghambat enzim dihidrofolat sintetase. Dapson bekerja sebagai anti metabolit PABA. Indeks
morfologi kuman penderita LL yang diobati dengan Dapson biasanya menjadinol setelah 5 sampai
6 bulan.
Dosis: dosis tunggal yaitu 50-100 mg/hari untuk dewasa atau 2 mg/kg berat badan untuk anak-
anak. Efek samping: erupsi obat, anemia hemolitik, leukopenia, insomnia, neuropatia, nekrolisis
epidermal toksik, hepatitis dan methemoglobinemia. Efek samping tersebut jarang dijumpai pada
dosis lazim.
2) Rifampisin
Rifampisin merupakan bakterisidal kuat pada dosis lazim dan merupakan obat paling ampuh
untuk kusta saat ini. Rifampisin bekerja menghambat enzim polimerase RNA yang berikatan
secara irreversibel. Namun obat ini harganya mahal dan telah dilaporkan adanya resistensi. Dosis:
dosis tunggal 600 mg/hari (atau 5-15 mg/kgBB) mampu membunuh kuman kira-kira 99.9%
dalam waktu beberapa hari. Efek samping: hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal dan
erupsi kulit.
3) Klofazimin
Obat ini bersifat bakteriostatik setara dengan dapson. Diduga bekerja melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Obat ini juga mempunyai efek anti inflamasi sehingga berguna
untuk pengobatan reaksi kusta. Dosis: 50 mg/hari atau 100 mg tiga kali seminggu dan untuk
anak-anak 1 mg/kgBB/hari. Selain itu dosis bulanan 300 mg juga diberikan setiap bulan untuk
mengurangi reaksi tipe I dan II. Efek samping: hanya terjadi pada dosis tinggi berupa gangguan
gastrointestinal (nyeri abdomen, diare, anoreksia dan vomitus)

SUMBER : http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/159/jtptunimus-gdl-itapurwant-7923-3-babii.pdf

11. Komplikasi MH
Komplikasi lepra yang dapat terjadi adalah kecacatan pada tangan dan kaki, seperti claw
hand, atrofi otot, dan reabsorbsi parsial pada jari.
SUMBER : Smith, Darvin S. Leprosy. Medscape, 2018.
https://emedicine.medscape.com/article/220455-overview
12. Prognosis MH
 Quo ad vitam adalah ad bonam karena MH tidak mengancam nyawa walaupun bersifat kronik dan
membutuhkan pengobatan jangka panjang.
 Quo ad fungsionam adalah dubia ad bonam karena MH juga tidak mengakibatkan gangguan
fungsi organ-organ tubuh pada pasien ini, walaupun dapat menyebabkan deformitas pada
beberapa kasus yang terlambat mendapatkan pengobatan.
 Quo ad sanationam pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien memiliki pendidikan
yang cukup dan mampu memahami pentingnya pengobatan jangka panjang terhadap
penyakitnya.

Anda mungkin juga menyukai