TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Morbus Hansen disebut juga dengan penyakit kusta atau penyakit lepra.
Istilah kusta berasal dari bahasa sanskerta, yakni “kushtha” yang berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penamaan Morbus Hansen sesuai
dengan nama orang yang menemukan kuman penyakit ini yaitu Dr.Gerhard
Armauwer Hansen pada tahun 1873, sehingga penyakit ini disebut juga Hansen’s
Disease.1
Penyakit Morbus Hansen dapat menyerang kulit yang akan menyebabkan luka
pada kulit, sistem saraf perifer yang menyebabkan kerusakan syaraf, melemahkan
otot dan menimbulkan efek mati rasa, serta dapat menyerang selaput lendir pada
saluran nafas atas dan juga mata.2
2.2. Etiologi
2.3. Epidemiologi
2.4. Patogenesis
Pada tahun 1960 Shepard menginokulasikan M.leprae pada kaki mencit dan
berkembang biak di sekitar tempat suntikan. Dari berbagai macam spesimen,
bentuk lesi maupun negara asal penderita ternyata tidak ada perbedaan spesies.
Agar dapat tumbuh diperlukan jumlah minimum M.leprae yang disuntikkan dan
jika melampaui jumlah maksimum tidak berarti meningkatkan
perkembangbiakan.6
Inokulasi pada mencit yang telah diambil timusnya dengan diikuti iradiasi 900
r, sehingga kehilangan respons imun selularnya, akan menghasilkan granuloma
penuh kuman terutama di bagian tubuh yang relative dingin, yaitu hidung, cuping
telinga, kaki dan ekor. Kuman tersebut selanjutnya dapat diinokulasikan lagi,
berarti memenuhi salah satu postulat Koch meskipun belum seluruhnya dapat
dipenuhi.6
Sebenarnya M.leprae mempunyai pathogenesis dan daya invasi yang rendah,
sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara
derajat infeksi dengan derjat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun
yang berbeda, yang menggugah timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih
sebanding dengan tingkat reaksi selularnya daripada intensitasnya infeksi.7
2.6.Klasifikasi
Dikenal beberapa jenis klasifikasi kusta, yang sebagian besar didasarkan pada
tingkat kekebalan tubuh (kekebalan seluler) dan jumlah kuman. Beberapa
klasifikasi MH diantaranya adalah:12,13,14
a. Klasifikasi Madrid (1953)
Pada klasifikasi kusta ini penderita kusta di tempatkan pada dua kutub, satu
kutub terdapat kusta tipe tuberculoid (T) dan kutub lain tipe lepromatous (L).
Diantara kedua tipe ini ada tipe tengah yaitu tipe borderline (B). Di samping
itu ada tipe yang menjembatani yaitu disebut tipe intermediate borderline (B)
b. Klasifikasi Ridley Jopling (1962)
Berdasarkan gambaran imunologis, Ridley dan Joplingnmembagi tipe MH
menjadi 5 kelas yaitu: tuberculoid tuberculoid (TT), borderline tuberculoid
(BT), borderline borderline (BB), borderline lepromatous (BL), lepromatous
lepromatous (LL). Klasifikasi Ridley ini bermanfaat untuk mengelompokkan
pasien terutama berdasarkan imunitas.
c. Klasifikasi WHO (1997)
Pada pertengahan tahun 1997 WHO Expert Committee menganjurkan
klasifikasi MH menjadi pausi basiler (PB) dan multi basiler (MB). Klasifikasi
WHO inilah yang diterapkan dalam program pemberantasan penyakit MH di
Indonesia.
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang tidak ada.
b. membrane Tidak ada Ada, kadang-kadang
mukosa/hidung
tersumbat/perdara
han dihidung
c. Ciri-ciri Central - Puched out lesion
heading (lesi berbentuk
(penyembuh seperti donat)
an ditengah) - Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Deformitas Terjadi dini Biasanya simetris, terjadi lambat
2.7. Manifestasi Klinis
Pada kusta, didaptakan 3 tanda kardinal, dimana jika salah satunya ada, sudah
cukup untuk menetapkan diagnosis dari penyakit kusta, yakni: lesi kulit yang
anestesi, penebalan saraf perifer, dan ditemukannya M. leprae sebagai
bakteriologis positif. Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata- rata 5 – 7 tahun).
Onset terjadinya perlahan-lahan dan tidak ada rasa nyeri.15
a. Kulit
Kelainan kulit dapat berbentuk macula atau bercak hipopigmentasi dengan
anestesi, atau macula hipopigmentasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit
eritematosa, atau berupa infiltrate/plak eritematosa, atau dapat pula berbentuk
papul dan nodul.16
b. Saraf Perifer
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan saraf
perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus
saraf. Gangguan pada saraf perifer tersebut meliputi gangguan pada cabang
saraf sensorik, otonom dan motoric seperti berikut :16,17,18
1. Nervus Ulnaris
- Anesthesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
- Clawing kelingking dan jari manis
- Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
2. Nervus Medianus
- Anesthesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari
tengah.
- Tidak mampu aduksi ibu jari
- Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
- Ibu jari kontraktur
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
3. Nervus Radialis
- Anesthesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
- Tangan gantung (wrist drop)
- Tidak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan.
4. Nervus Poplitea Lateralis
- Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
- Kaki gantung ( foot drop)
- Kelemahan otot peroneus
5. Nervus tibialis posterior
- Anesthesia pada telapak kaki
- Claw toes
- Paralisis otot instrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. Nervus Facialis
- Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
- Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan
ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. Nervus Trigeminus
- Anesthesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
- Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c. Mata
Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraocular maupun
ekstraokular. Kerusakan intraocular berupa episkleritis, skleritis, iridosiklitis,
keratitis, ulkus kornea, serta penurunan sensibilitas kornea. Sedangkan
kerusakan ekstraokular yang dapat terjadi berupa madarosis, lagoftalmus,
dakriosistisis, serta mata kering. Lebih lanjut, kerusakan mata dapat
menyebabkan kebutaan padahal penderita kusta sangat bergantung pada
penglihatannya untuk mencegah tangan dan kakinya yang kebas
mengamalami cedera.17
d. Gangguan Psikiatrik
Kusta merupakan penyakit fisik yang sangat erat hubungannya dengan
dampak psikososial yang dialami oleh pasien. Deformitas dan stigma yang
terkandung pada penyakit inilah yang membuat kehidupan bagi penderita
kusta menjadi semakin sulit. Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian,
kehilangan pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya karena
ketakutan akan gambaran penularan.18
2.16. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah
antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak
sempurna kembali ke asal, tetapi fungsinya secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain ialah secara kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang
sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan
rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan)31
2.17. Komplikasi
Di dunia, lepra mungkin penyebab tersering kerusakan tangan. Trauma
dan infeksi kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari-jemari ataupun
ekstremitas bagian distal. Juga sering terjadi kebutaan. Fenomena lucio yang
ditandai dengan artitis, terbatas pada pasien lepromatosus difus, infiltratif dan
non noduler. Kasus klinik yang berat lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan meningkatnya mortalitas. Amiloidos sekunder merupakan
penyulit pada penyakit leprosa berat terutama ENL kronik.32
2.18. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit.
Kesembuhan bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap
pengobatan. Terkadang pasien dapat mengalami kelumpuhan bahkan
kematian, serta kualitas hidup pasien menurun.33