Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

KUSTA

Perseptor : Lina Damayanti, dr., Sp.KK

Kelompok LV-D

Presentan :
Hermanda Lopez (4151171418)
Deyane Maulin Azzahra (4151171429)
Nissa Amamah Mulyani (4151171461)
Shisi Amanda (4151171497)
Windy Maharani Utami (4151171524)
Partisipan :
Adrian Yudho Anggoro (4151171432)
Nabila Mauliya (4151171452)
Annisya Permatasari (4151171465)
Pera Sri Rahayu (4151171466)
Raya agung.M. S (4151171483)
Ardilla Zhafira Sari (4151171516

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2018

1
2

KUSTA
A. Definisi
Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama
yang menemukan kuman. Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Kusta menyerang
berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke
organ lain kecuali susunan saraf pusat.1

B. Epidemiologi
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di
seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi
penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia,
diperkirakan terbawa oleh orang-orang Cina. Distribusi penyakit tiap-tiap negara
maupun di dalam satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula
penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat
ini belum jelas benar.1
Kusta terdapat di seluruh dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin,
daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial ekonominya rendah.
Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial
ekonomi tinggi sangat membantu penyembuhan. Didapatkan variasi reaksi terhadap
infeksi M. leprae yang mengakibatkan variasi gambaran klinis (spektrum di
berbagai suku dan lain-lain) bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik
yang berbeda.1
Kasus yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita
yang berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat
249.007. Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009
adalah 21.538 orang dengan kasus barn tahun 2008 sebesar 17.441 orang. Distribusi
tidak merata, yang tertinggi antara lain di Pulau Jawa, Sulawesi, Maluku. dan
Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000 penduduk adalah 0.76.1
3

Kusta menyerang semua umur, dengan frekuensi tertinggi usia 25-35 tahun.
Makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta. Kusta banyak tersebar
di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia (>10 juta
kasus lepra), Afrika dan Amerika Latin. Jumlah kasus terbanyak terdapat di India,
Brazil, Bangladesh, dan Indonesia.1,2

C. Etiologi
Ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan
pertama kali Mycobacterium leprae pada tahun 1874 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra. Secara morfologik,
M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi paralel dengan kedua
ujung bulat. Ukuran 0,5 x 3-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram positif,
aerob, bersifat tahan asam (BTA), tidak bergerak dan tidak berspora, dapat tersebar
atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar yang
disebut sebagai globi. M. leprae berkembang biak dalam waktu 2-3 minggu dan
dapat bertahan diluar tubuh sampai 9 hari di luar tubuh manusia. Masa inkubasinya
rata-rata 2-5 tahun, bahkan beberapa mencapai >5tahun.22,3
Kriteria identifikasi, ada 5 sifat khas M. leprae yaitu yang pertama M. leprae
merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakan pada media buatan.
Kedua sifat tahan asam M. leprae dapat diekstraksi oleh piridin. Ketiga M. leprae
merupakan satu-satunya mikrobakterium yang mengoksidasi D-Dopa (D-
Dihydroxyphenylalanin). Keempat M. leprae adalah satu-satunya spesies
mikrobakterium yang menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer. Kelima
ektrak terlarut dan preparat M. leprae mengandung komponen-komponen antigenik
yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada
penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
Dengan pewarnaan Ziehl Neelsen terlihat kuman ini berbentuk batang lurus
atau sedikit bengkok dengan ukuran 2,8 mikron, dapat dilihat pada gambar 1. Pada
penderita yang telah diobati sering dijumpai kuman lepra yang pecah (kuman mati
atau mengalami degenerasi) disamping yang masih utuh dinyatakan sebagai Indeks
Morfologi (Morphological Index: MI). Indeks ini digunakan untuk mengetahui
4

hasil pengobatan pada penderita. Disamping indeks ini masih dikenal pula indeks
lain yaitu Indeks Bakteri (Bacteriological Index: BI) yang menyatakan perkiraan
jumlah kuman tiap lapangan pandang/penglihatan. Indeks Bakteri biasanya
digunakan untuk menentukan tipe penyakit kusta.1

Gambar 1. Mycobacterium leprae

D. Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Hanya ada beberapa anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung yang lama dan
berulang-ulang dengan penderita, atau melalui pernapasan.1,3

- Vaksinasi
- Kemoprofilaksis
Menjadi sakit dan Pengobatan MDT
tubuh menjadi tempat
perkembangan
Mycobacterium leprae

Cara penularan utama:


melalui percikan
droplet

Diagram 1. Penularan Kusta3


5

E. Patofisiologi
Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta masa lalu. Sputum juga dapat
mengandung M. leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas. Sebenarnya
menurut Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakara: Kementrian Kesehatan RI
2012 leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab penderita
yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya.1,3,4
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan dan kulit yang tidak
intak atau tidak utuh. Sumber penularannya adalah penderita kusta yang banyak
mengandung kuman (Tipe Multibasiler) yang belum diobati. Dan ada syaratnya
yaitu prolonged contact dan intimate yang artinya bisa menular jika terdapat kontak
yang lama dan intim.1,4
Bentuk tipe klinis bergatung pada sistem imunitas selular penderita. Bila sistem
inum seluler baik maka akan tampak gambaran ke arah tuberkuloid sedangkan pada
orang dengan respon imunitas seluler yang rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Setelah memasuki tubuh, basil bermigrasi ke jaringan saraf dan masuk
sel Schwann. Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag maka nasib bakteri
tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi terhadap organisme
infeksi. Basil mulai bereplikasi perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri untuk
membagi menjadi dua) dalam sel, melepaskan diri dari sel yang hancur dan masuk
ke sel lainnya yang belum terinfeksi. Sampai keadaan ini orang tetap bebas dari
tanda dan gejala kusta.1,4
Sebagai basil yang bereplikasi, bakteri meningkat dalam tubuh dan infeksi
disebabkan oleh sistem imunologi. Limfosit dan makrofag menyerang jaringan
yang terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul berupa gangguan
sensasi dan atau kelainan kulit. Jika tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal,
kemajuan lebih lanjut dari penyakit ini ditentukan oleh kekuatan respon imun
pasien. Spesifik dan efektif Cell Mediated Immunity (CMI) memberikan
perlindungan kepada seseorang yang melawan kusta. 1,4,5
6

F. Gejala Klinis
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita, dapat
dilihat pada tabel 3. Sistem imun seluler yang baik akan tampak gambaran klinis ke
arah tuberkuloid, sebaliknya sistem imun seluler yang rendah akan memberikan
gambaran lepromatosa.6
Menurut WHO pada tahun 1981, kusta dibagi menjadi multibasilar dan
pausibasilar, dapat dilihat pada tabel 1 dan 2. Yang termasuk multibasilar adalah
tipe LL, BL, dan BB. BB dan BL pada klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari 2+ sedangkan paulobasilar adalah tipe I, TT dan BT dengan
IB 2+, dapat dilihat pada tabel 4.1

Gambar 2. Gambaran lesi kulit pada penyakit kusta


Untuk kepentingan pengobatan pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Kusta
PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kerokan kulit, yaitu tipe-
tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-Jopling. Bila pada tipe-tipe tersebut
disertai dengan BTA positif, maka akan dimasukan ke dalam kusta MB. Sedangkan
kusta MB adalah semua penderita BB, BL, LL, atau apapun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positiif, harus diobati dengan rejimen MDT-MB.1
Tabel 1. Gambaran klinis, bakteriologi, dan imunologik kusta multibasilar (MB)1
Sifat Lepramatosa Borderline Mid borderline
(LL) Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
- Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shape
(kubah)
7

Papul Papul Punched-out


Nodus
- Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
praktis tidak ada kulit masih ada kulit sehat kulit sehat jelas
sehat ada
- Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
- Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar,
agak berkilat
- Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
- Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
- Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
- Sekret hidung Banyak (ada globus) Biasanya negative Negatif
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologi, dan imunologik kusta pausibasilar (PB)1

Sifat Tuberkuloid (TT) Bord. Tub(BT) Indeterminate(I)


Lesi
- Bentuk Makula saja; Makula dibatasi Hanya infiltrat
makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrate saja

- Jumlah Satu, dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa


beberapa dengan satelit
- Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
- Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak berkilat
- Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
- Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
- Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya Biasanya negative
negatif 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah
atau negative

Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)1


PAUSIBASILAR (PB) MULTIBASILAR(MB)
1. Lesi kulit (makula • 1-5 lesi • > 5 lesi
datar, papul yang • Hipopigmentasi/eritema • Distribusi lebih simetris
meninggi, nodus) • Distribusi tidaksi metris • Hilangnya sensasi
• Hilangnya sensasi yang kurang jelas
jelas

2. Kerusakan saraf • Hanya satu cabang saraf • Banyak cabang saraf


8

Tabel 4. Karakteristik Berbagai Tipe Kusta Menurut Klasifikasi Ridley-Jopling1


Tipe
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline - ± + ++ + ± -
E.N.L. - - - - - + +
Basil dalam hidung - - - - + ++ ++
Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia Langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel Virchow - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±
Infiltrasi zona + + +/- - - - -
subepidermal
Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -

A B
Gambar 3. (A) tipe BB. (B) tipe PB

G. Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan interupsi episode akut pada perjalanan penyakit yang
sangat kronik. Klasifikasi reaksi kusta dapat bermacam-macam, namun yang paling
banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu ENL (Eritema Nodusum Leprosum) dan
reaksi reversal atau reaksi upgrading. ENL timbul terutama pada tipe lepromatosa
9

polar dan dapat pada BL. Berdasarkan imunopatologis, ENL termasuk respon imun
humoral dan reaksi hipersensitivitas tipe III, berupa fenomena kompleks imun
akibat reaksi antara antigen M. Leprae dengan antibodi (IgM, IgG) dan komplemen
sehingga menghasilkan komplek imun. Pada Kulit akan timbul gejala klinis yang
berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai.1
Reaksi reversal hanya terjadi pada tipe borderline (Li, BL, BB, BT, Ti),
sehingga disebut reaksi borderline. Pada reaksi reversal terjadi hipersensitivitas tipe
IV. Reaksi Reversal dapat terjadi perpindahan tipe ke arah TT dengan disertai
peningktan SIS, yang membedakan yaitu caranya mendadak dan cepat. Gejala
klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Lesi
hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi eritematosa, lesi makula
menjadi infiltrat, lesi infiltrat semakin infiltratif, dan lesi lama menjadi bertambah
luas.1,5

H. Diagnosis
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila terdapat sekurang-
kurangnya satu dari tanda kardinal, yaitu kelainan kulit bercak hipopigmentasi atau
eritema dengan hiperstesia/anesthesia, pembesaran atau penebalan saraf perifer
dengan hilangnya fungsi sensorik (mati rasa), motorik (paresis/ paralisis), dan/ atau
fungsi otonom (kulit kering dan retak-retak), dan adanya BTA dari kerokan kulit.
Melakukan diagnosis secara lengkap dilaksanakan hal-hal sebagai berikut:
Anamnesa, pemeriksaan klinis yaitu pemeriksaan kulit dan syaraf tepi serta
fungsinya, pemeriksaan bakteriologis, pemeriksaan histopatologis, dan
imunologis.5,6

I. Pemeriksaan Status Neurologis


Tabel 5. Gejala – gejala kerusakan saraf 1
10

N.Ulnaris ● Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
● Clawing kelingking dan jari manis
● Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial
N.Medianus ● Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan
jari tengah
● Tidak mampu adduksi ibu jari
● Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
● Ibu jari kontraktur
● Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N.Radialis ● Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
● Tangan gantung (wrist drop)
● Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N.Poplitea ● Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
lateralis ● Kaki gantung (foot drop)
● Kelemahan otot peroneus
N.Tibialis ● Anestesia telapak kaki
posterior ● Claw toes
● Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N.Fasialis ● Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
● Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

Pemeriksaan dilakukan pada beberapa saraf superficial yaitu N.Facialis, N.


Aurikularis magnus, N. Radialis, N.ulnaris, N. Medianus, N. Poplitea lateralis atau
N. Peroneus komunis dan N. Tibialis posterior, dari semua saraf yang wajib
dilakukan pemeriksaan yaitu saraf ulnaris, N. Tibialis Posterior dan N. Peroneus
komunis.1,3
Pemeriksaan fungsi motorik pada kusta biasanya dilakukan pada nervus ulnaris,
N. Medianus, N. Tibialis posterior dan N. radialis dengan cara sebagai berikut,
pertama pemeriksaan saraf ulnaris dilakukan dengan cara pasien diminta
mengaduksikan jari ke 5 sambil pemeriksa menahan jari kedua hingga 4 sehingga
yang digerakan oleh pasien hanya jari kelima. Kedua pada pemeriksaan saraf
medianus pasien diminta untuk menggerakan ibu jari secara menyilang ke arah jari
ke lima, jika pasien bisa maka tes dilakukan dengan cara memberi sedikit tekanan
pada sisi ibu jari. Ketiga saraf radialis diperiksa dengan cara pasien diminta
melakukan hiperekstensi dorsum manus yang diberikan tahanan oleh lengan
pemeriksaan. Keempat saraf peroneus komunis diperiksa dengan cara memberi
tahanan pada kaki pasien dan pasien diminta melakukan fleksi dan ekstensi dorsum
11

pedis.
Pemeriksaan deformitas pada saraf motorik diantaranya dicari tanda dari
gangguan saraf ulnaris berupa claw hand pada jari ke 4 dan 5, nervus medianus
berupa claw hand pada jari ke 1-3, nervus radialis ditemukan wrist drop, nervus
peronius komunis ditemukan foot drops dan nervus tibialis posterior ditemukan
claw toes. Pemeriksaan saraf sensoris dilakukan dengan rangsang nyeri, raba
(sentuhan) dan suhu, sedangkan tes fungsi otonom dilakukan dengan cara tes
dengan pinsil tinta (tes Gunawan): pinsil tinta digariskan mulai bagian tengah lesi
yang dicurigai sampai ke daerah kulit normal. 1,3

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit
atau usapan dan kerokan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap
basil tahan asam, antara lain Ziehl-Neelsen.1
Pertama-tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil. Untuk rutin sebaiknya minimal 4-6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian
bawah dan 2-4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan di tempat
yang sama pada pengamatan pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi
iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sesedikit mungkin darah yang
akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis,
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang diharapkan
banyak mengandung sel Virchow (sel lepra) yang didalamnya mengandung basil
M. leprae. Kerokan jaringan itu dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api,
kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.1
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik dilakukan
pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Cara lain mengambil bahan kerokan
12

mukosa hidung dengan alat semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan
dengan kapas lidi. Sebaiknya diambil dari daerah septum nasi.1
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedangkan fragmented dan granular
merupakan bentuk matsssssssi. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan
nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai
dari 0-6+ menurut Ridley. Nilai 0 menunjukan tidak ada BTA dalam 100 lapang
pandang (LP), nilai 1+ menunjukkan 1-10 BTA dalam 100 LP, nilai 2+
menunjukkan 1-10 BTA dalam 10 LP, nilai 3+ menunjukkan 1-10 BTA rata-rata
dalam 1 LP, nilai 4+ menunjukkan 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP, nilai 5+
menunjukkan 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP, dan nilai 6+ menunjukkan
>1000 BTA rata-rata dalam 1 LP.1

Rumus:

Hasil pemeriksaan dapat dihitung menggunakan rumus perhitungan dengan


syarat perhitungan jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, IB tidak perlu dibuat
IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1000-10.000
lapangan, mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan.
2. Pemeriksaan histopatologik
Makrofag dalam jaringan mempunyai fungsi fagositosis. Jika ada kuman (M.
leprae) masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS)
seseorang. Apabila SIS tinggi, makrofag akan mampu memfagositosit M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologi dengan
adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang
harus difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak
dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.1
3. Pemeriksaan serologik
13

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada tubuh


seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat
spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan
antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Antibodi yang tidak spesifik antara lain
antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh M.
tuberculosis.1
Pemeriksaan serologik dapat membantu menegakkan diagnosis kusta yang
meragukan karena tanda klinis dan bakteriologi tidak jelas. Selain itu dapat
membantu menegakkan diagnosis kusta subklinis. Macam-macam pemeriksaan
serologik kusta diantaranya adalah Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination), Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay), dan Uji ML
dipstick (Mycobacterium Leprae dispstick)

K. Penatalaksanaan
Obat anti kusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif, yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritromisin.1
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS
dengan dosis 10 mg/kgBB, diberikan setiap hari atau setiap bulan. Rifampisin tidak
boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena memperbesar kemungkinan
terjadinya resistensi. Efek samping yang harus diperhatikan adalah hepatotoksik,
nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi kulit.1
Klofazimin (lamprene) merupakan salah satu obat yang juga digunakan pada
penyakit kusta. Dosis sebagai antikusta ialah 50 mg setiap hari, atau 100 mg selang
sehari, atau 3x100 mg setiap minggu. Juga bersifat anti-inflamasi sehingga dapat
dipakai pada penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200 mg-300
mg/hari, namun awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu. Efek sampingnya
ialah warna kecoklatan pada kulit, dan warna kekuningan pada sklera, sehingga
mirip ikterus.1
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
14

Mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal
yang diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium leprae
hidup hidup sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan
saluran cerna lainnya, berbagai ganguan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri
kepala, dizziness, nervousness, dan halusinasi.1
Minosiklin, termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih
tinggi daripada klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis standar
harian 100 mg. Efek sampingnya adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak,
kadang-kadang menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa,
berbagai simtom saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk dizziness dan
unsteadiness.1
Klaritromisin, merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai
aktivitas bakterisidal terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada
penderita kusta lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99% kuman
hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampinngnya adalah
nausea, vomitus dan diare yang terbuki sering ditemukan bila obat ini dibetikan
dengan dosis 2000 mg.1
Multi Drug Treatment (MDT) merupakan usaha untuk mencegah dan
mengobati resistensi, tetapi juga untuk memperpendek masa pengobatan, dan
mempercepat pemutusan mata rantai penularan, dapat dilihat pada tabel 6.
Pemberiaan obat MDT hari pertama harus diminum didepan petugas.1
Tabel 6. Cara Pemberian MDT Sesuai Dengan Tipe Kusta1

MDT Untuk PB MDT untuk MB


Hari ke-1 ● Rifampisin 600 mg(2 ● Rifampisin 600 mg
kapsul @ 300 mg). (2 kapsul @ 300 mg)
● DDS/dapson 100 mg. ● Lamprene 300 mg (3
tablet @ 200 mg).
● DDS/dapson 100
mg.
Hari ke-2 s/d 28 DDS 100 mg Lamprene 50 mg
DDS 100 mg

Jumlah 6 Blister 12 Blister


15

Waktu 6-9 Bulan 12-18 Bulan

Ket: Multibasilar (BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif)
Pausibasilar (I, TT, BT , dengan BTA negatif)

Dalam pengobatan MDT tipe MB, mula-mula kombinasi obat ini diberikan 24
dosis dalam 24 sampai 36 bulan dengan syarat bakterioskopis harus negatif.
Apabila bakterioskopis masih positif, pengobatan harus dilanjutkan sampai
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan dilakukan pemerikaan secara klinis
setiap bulan dan secara bakterioskopis minimal 3 bulan. Penghentian pemberian
obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah RFT dilakukan tindak
lanjut (tanpa pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktifan
baru, maka dinyataka bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control
(RFC).1
Sedangkan dalam pengobatan MDT tipe PB rifampisin dan DDS diberikan
dalam 6 dosis selama 6 bulan sampai 9 bulan, berarti RFT setelah 6-9 bulan. Selama
pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6
bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama
2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara
klinis dan bakterioskopos tetap negative, maka dinyatakan RFC.1
Sejak tahun 1995 WHO tidak lagi menganjurkan pelaksanaan RFC. Apabila
RFT telah tercapai, tanpa memperhatikan hasil bakterioskopis, penderita tidak lagi
diawasi sampai RFC, walaupun akhir-akhir ini banyak yang menganjurkan
diberlakukan kembali antara lain untuk mengawasi adanya rekasi dan relaps. Pada
tabel 7 dijelaskan berdasarkan WHO, yaitu penggunaan terapi pada kusta tipe MB
dan PB.1
16

Gambar 5. Bentuk sediaan MDT Kusta

Tabel 7. WHO Expert Committee 1998

Rifampisin 600 mg
PB 1 Lesi Ofloksasin 400 mg Dosis tunggal
Minosiklin 100 mg
Klofazimin 50 mg
Setiap hari
Ofloksasin 400 mg
Selama 6 bulan
Minosiklin 100 mg
MB Resisten Rifampisin
Klofazimin 50 mg
Setiap hari
Ofloksasin 400 mg atau
Selama 18 bulan
Minosiklin 100 mg
Rifampisin 600 mg Dosis Tunggal
Ofloksasin 400 mg 1 kali/ bulan
MB Minosiklin 100 mg 24 bulan
Menolak Klofazimin
Ofloksasin 400 mg atau Setiap hari
Minoksiklin 100 mg 12 bulan

L. Pengobatan Erythema Nodulus Leprosum (E.N.L)


Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain
prednison. Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison
15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi
dosisnya, tetapi sebaiknya bila reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai
dengan perbaikan reaksi, dosisnya diturunkan secara bertahap sampai berhenti
sama sekali Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu
thalidomide, tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi
tidak boleh diberikan kepada orang hamil atau merasa subur. Di Indonesia obat ini
tidak didapat dan sudah tidak diproduksi lagi.1
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi E.N.L tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga tergantung pada berat
ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg
17

sehari. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki
oleh banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi berwarna merah kecoklatan,
apalagi pada dosis tinggi.1

M. Pengobatan Reaksi Reversal


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.1

N. Pencegahan Cacat
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya kerusakan saraf. Selain itu penderita
dengan reaksi kusta, terutama reaksi reversal, lesi kulit multipel dan dengan saraf
yang membesar atau nyeri juga memiliki risiko tersebut.1
Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat atau prevention disabilities
(POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan
MDT yang cepat dan tepat. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita diberi
petunjuk sederhana misalnya memakai sepatu untuk melindungi kaki yang telah
terkena, memakai sarung tangan bila bekerja dengan benda yang tajam atau panas,
dan memakai kacamata untuk melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara
perawatan kulit sehari-hari.1

O. Rehabilitasi
Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh antara lain
dengan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal,
tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah secara
kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga
dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, serta terapi psikologi
18

(kejiwaan).1

P. Komplikasi
WHO Expert Committe on Leprosy (1977) membuat klasifikasi cacat bagi
penderita kusta, dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Klasifikasi kecacatan1
Cacat Pada Tangan dan Kaki
Tingkat 0: Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada
kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 1: Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau
deformitas yang terlihat
Tingkat 2: Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat Pada Mata
Tingkat 0: Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak
ada gangguan penglihatan
Tingkat 1: Ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada
gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60
atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6
Tingkat 2: meter)
Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60;
tidak dapat menghitung jari pada jarak 6 meter)
Catatan: Kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi,
absorbsi, mutilasi, kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea,
indosiklitis, dan lagoftalmus.

Q. Prognosis
Prognosis penyakit kusta bergantung pada tipe kusta apa yang diderita oleh
pasien, akses ke pelayanan kesehatan, dan penanganan awal yang diterima oleh
pasien. Relaps pada penderita kusta terjadi sebesar 0,01-0,14 % per tahun dalam 10
tahun. Karena berkurangnya kemampuan imunitas tubuh, kehamilan pada pasien
kusta wanita yang berusia dibawah 40 tahun dapat mempercepat timbulnya relaps
atau reaksi, terutama reaksi tipe 2.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Wisnu I, Daili E, Menaldi S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke-7.
Jakarta : Badan penerbit FKUI. 2016. Hal: 87-102.
19

2. Brooks FB, Buutel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, and Adelberg’s Medical
Microbiology, 23th ed. ISBN 978-979-448-859-1 2008;365-366
3. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakara: Kementrian Kesehatan RI 2012.Hal: 10-15
4. National Leprosy Eradication Programme. Pathogenesis.
http://nlep.nic.in/pdf/Ch%205%20Pathogenesis.pdf. [Diunduh: 7
September 2017]
5. National Leprosy Eradication Programme (NLEP). Traning Manual For
Medical Officer. India: Central Leprosy Division, Directorate General of
Health Service. 2015
6. WHO. Weekly Epidemiological Report: Global leprosy update, 2013;
reducing disease burden. 2014: 36(89); 389–400. http://www.who.int/wer.
[diunduh 14 Maret 2017].
7. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson. Fitzpatrick’s Color Atlas & Synospsis
of Clinical Dermatology 7th ed. USA: McGraw-Hill., 2008.

Anda mungkin juga menyukai