Anda di halaman 1dari 71

TUGAS REMEDIAL

Disusun oleh:

Nabilla Indriyana, S.Ked

71.2016.026

Pembimbing Klinik:

dr. Lucille Anisa Suardin, Sp. KK

DEPARTEMEN ILMU KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH PALEMBANG

2019
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i
DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
TINJAUAN PUSTAKA
A. Morbus Hansen…………………………………………………. 1
B. Ptiriasis Vesikolor……………………………………………….` 34
C. Vitiligo…………………………………………………………… 41
D. Tinea Corporis………………………………………………….. 62
E. Pitiriasis Alba…………………………………………………… 66
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………… 69
TINJAUAN PUSTAKA

A. MORBUS HANSEN
1. Definisi
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik dan penyebabnya
ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.1

2. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan
belum diketahu pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui
kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah
secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam
droplet.1
Masa tunasnya sangat bervariasi, antara 40 tahun, umumnya
beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun.1
Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain
sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh
perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta
ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh
orang-orang Cina. Distribusi penyakit ini tiap-tiap negara maupun dalam
satu negara sendiri ternyata berbeda-beda. Demikian pula penyebab
penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu sugara sampai saat
ini belum jelas benar.1
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis
kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan
lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan,
perubahan imunitas dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia.
Penyakit kusta masa kini lain dengan kusta tempo dulu, tetapi meskipun

1
demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga
masih merupakan tantangan yang luas bagi para ilmuwan untuk
pemecahnya.1
Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam
mempelajari sifat-sifat M.leprae. sebagai sumber infeksi hanyalah
manusia, meskipun masih diperkirakan adanya kemungkinan diluar
manusia. Penderita yang mengandung M.Leprae jauh lebih banyak
(sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang
mengandung 107,, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali
lebih besar.1
Kusta bukan merupakan penyakit keturunan. Kuman dapat
ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu,
jarang didapat dalam urin. Sputum dapat mengandung M. leprae yang
berasal dari traktus rerspiratorius atas. Tempat implantasi tidak selalu
menjadi lesi pertama. Dapat menyerang semua umur, anak-anak lebih
rentan terhadap orang dewasa. Di Indonesia diperkirakan anak dibawah
umur 14 tahun didapatkan 13% tetapi anak dibawah umur 1 tahun jarang
sekali. Frekuensi tertinggi terdapat dalam kelompok umur 25-35 tahun.1
Kusta terdapat di mana-mana terutama di Asia, Afrika, Amerika
Latin, daerah tropis dan subtropis, serta masyarakat yang sosial
ekonominya rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat
penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Ada variasi gambara klinis (spektrum dan lain-lain) di
pelbagai suku bangsa. Hal ini diduga disebabkan oleh faktor genetik
yang berbeda.1
Pada tahun 1991 World Health Assembly membuat resolusi
tentang eliminasi kusta sebagai problem kesehatan masyarakat pada
tahun 2000 dengan menurunkan prevalensi kusta menjadi di bawah 1
kasus per 10.000 penduduk. Di Indonesia hal ini dikenal sebagai
Eliminasi Kusta tahun 2000 (EKT 2000).1

2
Jumlah kasus kusta di seluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini
telah menurun tajam di sebagian besar negara atau wilayah endemis.
Kasus yang terdaftar dipermulaan 2009 tercatat 213.036 penderita yang
berasal dari 121 negara, sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat
249.007. di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun
2009 adalah 21.538 orang dan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441
orang. Distribusi tidak merata, yang tertinggi antara lain pulau Jawa,
Sulawesi, Maluku dan Papua. Prevalensi pada tahun 2008 per 10.000
penduduk adalah 0.73.1
Kusta merupakan penyakit menyeramkan dan ditakuti karena
dapat terjadi ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita kusta bukan
menderita karena penyakitnya saja, tetapi juga karena dikucilkan
masyarakat sekitarnya, hal ini akibat kerusakan saraf besar yang
ireversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik serta dengan
adanya kerusakan yang berulang-ulang pada daerah anestetik disertai
paralisis dan atrofi otot.1

3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacteruym leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang
belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial. M. leprae berbentuk
kuman dengan ukuran 3-8 um x 0,5 um, tahan asam dan alkohol serta
gram positif.1
M. leprae penyebab kusta, tidak dapat dibiakkan pada media
artificial, Gram positif, obligat intraseluler, merupakan basil tahan asam.
Genom M. leprae hanya mengkode 1600 gene, sedang M.Tuberculosis
mengkode 4000 gen.2
Mycobacterium leprae, penyebab kusta, adalah bakteri basil tahan
asam intraseluler, non-budidaya, Gram-positif. Dinding selnya terdiri
dari peptidoglikan yang terhubung dengan arabinogalaktan dan asam
mikolik. Protein imunogenik ditemukan pada dinding sel, dan juga di

3
sitoplasma. Lipoprotein terkait dinding sel (suatu ligan reseptor
penerimaan pola seperti TLR2 dan NOD2 dari sistem kekebalan tubuh
bawaan), memungkinkan untuk memulai respons host pertama M. leprae.
Respon ini mungkin berperan penting terhadap klinis. Lipoglikan target
dari respon imun antibodi dan seluler, lipoarabinomannan, bergerak
melalui membran luar dan masuk ke dalam membran sel. Glikolipid
fenolik I merupakan konstituen utama, spesies dan imunogenik spesifik
dari lapisan luar basil yang sangat nonpolar. Masuk ke saraf yang
dimediasi oleh pengikatan trisakarida spesifik spesies di glikolipid
fenolik I ke laminin-2 di lamina basal dari akson sel Schwann,
mekanisme ini memberikan alasan mengapa M. leprae adalah satu-
satunya bakteri yang diketahui menyerang. saraf perifer. 3

4. Patogenesis
Basil ini bersifat obligat intraseluler (hidup dalam sel) terutama sel
makrofag dan sel Schwann. Organ yang diserang terutama saraf dan
kulit. Untuk pertumbuhan basil memerlukan tempat dingin di tubuh
seperti hidung, testis, cuping telinga (ear lobe) dan saraf perifer yang
dekat kulit.2
Sebagian besar individu yang terpajan basil leprae tidak tampak
penyakit tersebut secara klinis, dan terdapat variasi kerentanan atau
resistensi terhadap basil tersebut tergantung faktor genetik dan
lingkungan. Contoh, kerentanan dan tipe respon yang terjadi
berhubungan dengan tipe HLA spesifik, misalnya individu dengan tipe
HLA-DR2 dan HLA-DR3 lebih banyak menderita kusta tipe tuberkuloid
sedangkan individu dengan tipe HLA-DQ1 menderita kusta tipe
lepromatosa.2
Tergantung pada level imunitas seluler (seperti dicerminkan oleh
tes lepromin), penyakit dapat berkembang tanpa terkendali, terbatas pada
tipenya atau sembuh spontan. Makrofag memegang peranan penting
dalam usaha tubuh untuk mengeliminasi basil kusta, dan jika sel ini

4
bertemu dengan M. leprae akan menghasilkan sitokin seperti IL-1, TNF-
α, dan IL-12. Sitokin ini akan menstimulasi jumlah dan aktivitas
makrofag lain. Penelitian pada manusia menunjukan respon terutama Th1
CD4+ sel T pada leprae tipe tuberkuloid. Respon ini menghasilkan
sitokin (IL-2, IFN-γ dan TNF-β) yang mempertahankan inflamasi. Pada
pasien leprae tipe lepromatosa respon timbul terutama oleh Th2 yang
menghasilkan sel sitokin yang berbeda yaitu IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13
yang menekan aktivitas makrofag.2
Dinding sel M. leprae mengandung kompleks lipid termasuk
phenolic gltcolipid-1 (PGL-1) yang mempunya peran untuk menekan
respon sel T dan produksi IFN-α (seperti juga invasi organisme pada sel
Schwan).2

5. Klasifikasi dan Gambaran Klinis


Pada tahun 1982 sekelompok ahli WHO mengembangkan
klasifikasi untuk memudahkan pengobatan di lapangan. Dalam
klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi dalam 2 tipe yaitu
Pausi Basiler (PB) dan Multi Basiler (MB).4
Pedoman utama untuk menentukan klasifikasi penyakit kusta
menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 1 berikut.4
Tabel 1. Tanda Utama Kusta pada Tipe PB dan MB 4
Tanda Utama Pausi Basiler Multi Basiler
(PB) (MB)
Bercak kusta Jumlah 1 – 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi disertai gangguan Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
fungsi (mati rasa dan atau kelemahan
otot, di daerah yang dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan kulit BTA*negative BTA* positif
Keterangan:
BTA = Basil Tahan Asam. Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka
pasien diklasifikasikan sebagai kusta MB.

5
Tanda lain yang dipertimbangkan dalam penentuan klasifikasi
penyakit kusta dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.4
Tabel 2. Tanda lain untuk Klasifikasi Kusta4
Tanda Utama Pausi Basiler (PB) Multi Basiler (MB)
Distribusi Unilateral/bilateral Bilateral simetris
asimetris
Permukaan Kering, kasar Halus, mengkilap
bercak
Batas bercak Tegas Kurang tegas
Mati rasa pada Jelas Biasanya kurang jelas
bercak
Deformitas Proses terjadi lebih Terjadi pada tahap lanjut
cepat
Ciri-ciri khas - Madarosis, hidung pelana, wajah
singa (facies leonine),
ginekomastia pada laki-laki

a. Perubahan Saraf Perifer


Lima jenis kelainan saraf tepi pada umumnya: (1) Pembesaran
saraf (biasanya asimetris), terutama pada saraf yang dekat dengan
kulit, umumnya dianggap karena lokasi tersebut paling dingin, seperti
aurikula, ulnaris, radialis, peroneal superfisial, sural, dan tibialis
posterior. (2) Gangguan sensorik pada lesi. (3) Palsi batang saraf baik
dengan tanda dan gejala peradangan atau tanpa manifestasi, yaitu
silent neuropathy, biasanya ditandai dengan hilangnya sensorik dan
motorik (kelemahan dan/atau atrofi) dan, jika bertahan lama, dapat
terjadi kontraktur. (4) Gangguan sensorik pola stocking-glove, dengan
hilangnya serat tipe C yang lambat, melibatkan diskriminasi panas
dan dingin sebelum kehilangan rasa sakit atau sentuhan ringan,
dimulai pada area akral dan seiring waktu, memanjang secara
terpusat tetapi awalnya dari telapak tangan. (5) Anhidrosis pada
telapak tangan atau kaki menunjukkan keterlibatan saraf simpatik.3

6
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologis, dan imunologik kusta PB1
Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate
(TT) Tuberkuloid (I)
(BT)
Lesi
Bentuk Makula atau Makula dibatasi Hanya infiltrat
makula dibatasi infiltrat; infiltrat
infiltrat saja
Jumlah Satu atau beberapa Satu dengan lesi Satu atau
satelit beberapa
Distribusi Terlokasi dan Asimetris Bervariasi
asimetris
Permukaan Kering,skuama Kering, skuama Halus agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada
sampai tidak
jelas
Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
tidak jelas
BTA
Pada lesi kulit Negatif Negatif, atau 1+ Biasanya
negatif
Tes Lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif

7
Tabel 4. Gambaran Klinis, bakteriologis, dan imunologik kusta MB 1

Karakteristik Lepromatosa Borderline Mid-borderline


(LL) Lepromatosa (BB)
(BL)
Lesi
Bentuk Makula, infiltrat Makula, plak, Plak, lesi bentuk
difus, papul, papul kubah, lesi
nodus punched out
Jumlah Banyak distribusi Banyak tapi kulit Beberapa, kulit
luas, praktis sehat masih ada sehat (+)
tidak ada kulit
sehat
Distribusi Simetris Cenderung Asimetris
simetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Sedikit berkilap,
beberapa lesi
kering
Anestesia Tidak jelas Tidak jelas Lebih jelas
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
BTA
Pada lesi kulit Banyak Banyak Agak banyak
Sekret hidung Banyak Biasanya tidak Tidak ada
ada
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

b. Spektrum Granuloma
Ridley dan rekan-rekannya membuat rincian mengenai spektrum
granuloma lepra, berdasarkan perubahan klinis dan pemeriksaan
histologi. Ridley membagi spektrum menjadi enam, mulai dari
resistensi tinggi ke rendah antara lain TT (tuberkuloid polar), BT
(borderline tuberkoloid), BB (borderline), BL (borderline

8
lepromatosa), LLs (lepromatous subpolar), dan LLp (lepromatous
polar):3
Secara konseptual, TT dan LLp merupakan spektrum yang
stabil, tetapi, di antara kutub, respons host dapat berubah, seperti
yang ditunjukkan oleh panah diatas, meningkat atau membalikkan ke
keadaan resistensi yang lebih tinggi yang sering disertai inflamasi
berat, atau menurun ke keadaan resistensi yang lebih rendah,
biasanya tenang, namun kadang-kadang meradang. Pasien BT dapat
menjadi TT, dan menjadi stabil, namun pasien LLs tidak dapat turun
ke LLp dan begitu juga sebaliknya. Klasifikasi ditentukan terutama
melalui perubahan klinis dan histologi, namun jumlah basil hanya
menjadi pertimbangan sekunder.3
Dibandingkan dengan terminologi pra-Ridley dan Ridley,
“tuberkuloid” dikaitkan dengan TT dan BT, “borderline” dikatikan
dengan BB dan BL, dan “lepromatosa” dikaitkan dengan LLs dan
LLp. Pada hampir semua pasien TT, dan dalam sebagian besar kasus
BT, basil tahan asam tidak dapat ditemukan, sedangkan pada BB, BL,
LLs, dan LLp, basil dapat terlihat dengan mudah.3
1. Lepra Tuberkuloid Polar (TT)
Pada TT, kekebalan menguat yang ditunjukkan dengan
terjadinya penyembuhan spontan dan tidak adanya penurunan ke
resistensi rendah. Lesi kulit primer TT adalah plak dengan batas
tegas, seringkali berbentuk annular sekunder akibat perambatan
perifer dan central clearing. Biasanya, lesi ini dengan tegas
mengalami indurasi, meninggi, eritema, berskuama, kering, tidak
berambut, dan hipopigmentasi, tetapi secara klinis, banyak variasi
lainnya yang ditemukan.3
Saraf sensorik terdekat mungkin atau tidak mungkin
membesar, tetapi lesi tersebut bersifat anestesi dan anhidrotik.
Lesi kulit sering soliter, terutama pada pasien TT de novo,
berbeda pada pasien dari BT ke TT, dimana beberapa lesi,

9
biasanya tidak lebih dari tiga, dapat ditemukan. Pada kedua
kelompok tersebut, imunitas mempengaruhi kesembuhan.3

Gambar 1. Lesi soliter, anestesi, dan annular pada TT. Gambaran dengan
batas tegas, eritem dan berskuama3

Gambaran histologi TT de novo yaitu tuberkel epiteloid


kecil yang berkembang dengan baik dikelilingi oleh mantel
limfositik besar, tetapi jarang terlihat. Pada peningkatan TT dari
BT, sel raksasa tipe Langhans yang banyak dan eksositosis yang
cepat ke epidermis biasanya ditemukan selain mantel limfositik.
Meskipun nekrosis caseasi jarang terlihat, dan, meskipun ada,
semakin menguatkan klasifikasi TT. Basil tahan asam tidak
ditemukan.3

Gambar 2. Gambaran lepra tuberculoid dengan kekuatan mikroskop lemah3

10
2. Lepra Borderline Tuberkuloid (BT)
Pada spektrum BT, resistensi imunologi cukup kuat untuk
menahan infeksi, karena penyakit ini terbatas dan pertumbuhan
basil terhambat, tetapi respons host tidak cukup untuk melakukan
penyembuhan sendiri. Pasien-pasien ini agak tidak stabil,
resistensi dapat meningkat dan menjadi TT, atau turun ke BL.3

Gambar 3. Satu dari beberapa lesi BT, gambaran annular inkomplit dengan
lesi papul satelit 3

Lesi kulit primer BT adalah plak dan papul. Seperti pada


TT, bentuk annular umum terlihat dan dengan batas tegas tetapi
lesi annular atau plak mungkin dikelilingi oleh papul satelit yang
berbatas tegas. Hipopigmentasi mungkin mencolok pada pasien
yang berpigmen gelap. Berbeda dengan TT, biasanya, ada sedikit
atau tidak ada skuama, lebih sedikit eritem, lebih sedikit indurasi,
dan lebih sedikit meninggi, tetapi lesi dapat menjadi lebih besar
(diameter lebih dari 10 cm), lesi tunggal kadang-kadang
melibatkan keseluruhan ekstremitas atas. Lesi multipel dan
asimetris merupakan ciri khas, tetapi lesi soliter tidak jarang.
Gangguan sensasi pada lesi kulit adalah ciri khas dan keterlibatan
batang saraf, baik pembesaran atau kelumpuhan, biasanya tidak
lebih dari dua dan asimetris pada umumnya. Abses saraf, ketika
terjadi, paling sering terlihat pada pria dengan penyakit BT. 3
Gambaran histologi BT yaitu tuberkel epiteloid yang
terbentuk dengan baik ada tetapi mantel limfositiknya kurang

11
berkembang dibandingkan pada spektrum TT. Sel raksasa tipe
Langhans juga tidak konstan ditemukan. Eksositosis epidermal,
jika ada, bersifat fokal. Basil tahan asam jarang terlihat di
spektrum BT. Adanya basil tahan asam atau sel plasma pada BT,
menunjukkan terjadinya reaksi reversal.3

3. Lepra Borderline (BB)


Spektrum BB merupakan titik tengah imunologi atau zona
tengah dari spektrum granulomatosa, yang merupakan daerah
yang paling tidak stabil, pasien dengan cepat naik atau turun ke
posisi granulomatosa yang lebih stabil dengan atau tanpa reaksi
klinis. Perubahan kulit yang khas ditandai lesi annular dengan
batas tepi yang jelas pada tepi interior dan eksterior, plak besar
dengan gambaran seperti pulau, memberikan gambaran "keju
Swiss", atau lesi klasik dimorfik. Karena ketidakstabilan,
spektrum BB hanya terjadi secara singkat dan pasien seperti itu
jarang ditemui.3
Gambaran histologi pada BB yaitu diferensiasi epiteloid
tetap ada, tetapi limfosit jarang, sel raksasa tidak ada, dan basil
mudah ditemukan.3

4. Lepra Borderline Lepromatosa (BL)


Pada spektrum BL, resistensi terlalu rendah secara
signifikan untuk menahan proliferasi basiler, tetapi masih cukup
untuk menginduksi inflamasi jaringan yang merusak, terutama di
saraf. Kategori BL memiliki gambaran klinis yang bervariasi.
Walaupun terlihat hanya pada sepertiga pasien BL, lesi dimorfik
klasik adalah yang paling khas, berbentuk anular dengan batas
luar yang tidak tegas (seperti lepromatosa) tetapi memiliki batas
dalam yang tegas (seperti tuberkuloid), karena itu, disebut “lepra
dimorfik.” Variasi mungkin cukup besar pada satu pasien dan

12
bahkan lebih besar di seluruh populasi BL. Plak dengan tepi tidak
tegas atau tegas dengan area “berlubang” atau gambaran “keju
Swiss” dengan batas tegas pada kulit normal di bagian interior
plak juga merupakan karakteristiknya, dan dapat dianggap
sebagai varian dari lesi klasik dimorfik. Lesi anular dengan batas
eksterior dan interior yang tegas tidak jarang. Seperti
lepromatosa, papul dan nodul yang tidak jelas mungkin banyak,
tetapi biasanya disertai dengan lesi yang berbatas tegas di suatu
tempat.3

Gambar 4. Lesi multipel pada pasien dengan BL, gambaran lesi annular dalam
berbagai ukuran dan terdistribusi asimetris. 3

Lesi bervariasi dalam jumlah mulai dari soliter hingga


banyak dan menyebar. Secara umum, lesi annular dan plak
terdistribusi secara asimetris, tetapi nodul seperti lepromatosa,
jika banyak, terdistribusi secara simetris. Lesi kulit sering bersifat
hipestesi atau anestesi, tetapi belum tentu demikian. Palsi batang
saraf memiliki prevalensi tertinggi pada penyakit BL, tetapi
jumlahnya bervariasi, mulai dari tidak ada hingga defisit
neurologis yang serius, mengenai motorik dan sensorik, di
keempat ekstremitas. Keterlibatan saraf medianus dan saraf
ulnaris, tidak jarang terjadi bilateral, yang merupakan
karakteristiknya.3

13
Pasien BL yang tidak diobati mengalami perubahan lambat
pada kulit dan saraf. Dengan atau tanpa pengobatan, spektrum ini
dapat diubah oleh keadaan reaksioner, peningkatan atau reaksi
reversal menjadi lebih umum daripada eritema nodosum leprosum
(ENL). Juga, pasien BL secara diam-diam turun ke arah
granulomatosa LLs.3
Gambaran histologi borderline lepromatous yaitu infiltrat
limfositik yang relatif padat terbatas pada ruang yang ditempati
makrofag. Makrofag sering berbusa, tetapi makrofag yang tidak
berdiferensiasi mungkin umum ditemui. Epidermis tidak
terganggu. Pada saraf, respons BL klasik lainnya adalah laminasi
perineurium dengan infiltrasi melalui sel inflamatori. Pada
spektrum BL, berbeda dengan LLs, infiltrat inflamasi sangat
padat untuk mengaburkan laminasi. Pola BL alternatif yaitu
infiltrat limfohistiositik kronis. Sel plasma mungkin ditemukan.
Basil mudah ditemukan, dan globus bukanlah hal yang aneh.3

5. Lepra Lepromatosa (LL)


Pada LL penurunan CMI (cell mediated immunity) terhadap
M. leprae memungkinkan replikasi basil yang tidak terbatas dan
menyebar secara luas, penyakit multiorgan. Infiltrasi dermal
difusa selalu tampak secara subklinis dan dapat secara nyata
dimanifestasikan dengan pembesaran lobus telinga, pelebaran
akar hidung, pembengkakan jari fusiform, dan kulit tertarik ke
dalam lipatan. Nodul yang tidak jelas merupakan lesi yang umum
dijumpai, biasanya berdiameter 2 cm, dan terdistribusi secara
simetris. Gabungan lipatan kulit dan pembentukan nodul
memberikan gambaran "wajah leonine”.3
Lesi seperti dermatofibroma atau histiocytoma, biasanya
multipel, adalah papul atau nodul eritematosa yang berbatas tegas,
kadang-kadang bergabung menjadi plak. Ini pertama kali

14
diidentifikasi pada pasien yang kambuh sebagai kusta "histoid",
tetapi tidak muncul sebagai lesi yang biasa. Lesi kulit yang jarang
ditemui termasuk digitatum, patch eritem yang tidak indurasi,
dimana pada pasien berkulit terang kadang diikuti oleh
hiperpigmentasi ringan, selubung melanin yang menutupi
eritema; pada pasien berkulit gelap beberapa makula
hipopigmentasi dapat terlihat. Juga, meskipun jarang, infiltrat
kulit yang padat dapat menyerupai lesi nevoid. 3

Gambar 5. Lesi multipel, eritem, dan asimtomatis pada LL3

Petunjuk klinis LL adalah lesi dengan regio yang berbatas


tegas, mungkin residu lesi BL pada pasien yang turun ke LL, atau
adanya lesi mirip dermatofibroma. Perbedaan antara LLs dan LLp
biasanya dibuat secara histopatologis.3
Kerontokan rambut paling umum terjadi pada alis, dimana
ia dapat meluas secara medial ke lateral atau tidak merata.
Kerontokan rambut juga dapat terjadi pada bulu mata dan
ekstremitas, dan mungkin sebagian reversibel jika segera diatasi.
Keterlibatan kulit kepala jarang terjadi. Kehilangan ekrin keringat
karena keterlibatan saraf simpatis sering terjadi, yang ditunjukkan
oleh telapak tangan atau kaki yang kering. Setiap lesi kulit
mungkin atau mungkin tidak hipoestesi tetapi umumnya, pada
setiap pasien, ada yang mengalaminya. Palsi saraf batang terjadi,

15
tetapi lebih jarang daripada BL. Gangguan sensorik dengan pola
stocking sering dijumpai dan mungkin sangat parah sehingga
menyebabkan perubahan trofik yang melemahkan tangan atau
kaki.3
Penyakit LL yang tidak diobati akan progresif tanpa henti,
tetapi perjalanan ini dapat diubah oleh kondisi reaktif. Pasien LLs
dan LLp sering mengalami eritema nodosum leprosum (ENL).
Pasien LLp tidak mengalami reaksi pembalikan, sedangkan
pasien LLS mungkin dapat mengalaminya.3
Gambaran histologi LL baik LLs dan LLp, banyak yang
sama. (1) Lesi nodular, terutama terdiri dari makrofag berbusa
atau yang tidak berdiferensiasi, yang telah menggantikan sebagian
besar dermis, dengan kehilangan appendageal. Epidermis
digantikan oleh nodul, tetapi lapisan tipis dermis (zona grenz)
memisahkan keduanya dan pewarnaan Fite menunjukkan banyak
basil. (2) Kulit normal secara klinis akan menunjukkan infiltrat
padat yang bervariasi dari makrofag berbusa atau yang tidak
berdiferensiasi, sering kurang dalam distribusi perivaskular dan
periappendageal, tetapi epidermis tidak terganggu. (3) LLs dan
LLp keduanya dapat menunjukkan agregat kecil limfosit padat,
yang mungkin merupakan sel-B. (4) Munculnya makrofag
bervariasi tergantung usia lesi, mulai dari sel-sel yang tidak
berdiferensiasi hingga berbusa. (5) Endotel basil tahan asam tidak
jarang pada LLs dan LLp. (6) Sel plasma dan sel mast, sering
mudah diidentifikasi dengan pewarnaan basil tahan asam, kadang-
kadang jumlahnya meningkat. (7) Pada lesi yang lebih tua, sel
raksasa benda asing sering dijumpai, mungkin timbul sebagai
respons terhadap kematian makrofag yang mengandung banyak
basil yang mati. Pada LLs, limfosit jarang terdistribusi secara
umum, dan perineuriumnya dilaminasi, tetapi jarang diinfiltrasi
oleh sel-sel inflamasi yang membuat laminasi mencolok. Pada

16
LLp, limfosit lebih sedikit daripada pada LL, dan perineurium
tidak terganggu. Lesi mirip dermatofibroma terlihat pada semua
pasien LLS, mungkin menyerupai dermatofibroma secara
histologis maupun klinis.3
6. Lepra Indeterminasi
Lepra indeterminasi adalah istilah dengan makna yang
hampir sama banyaknya dengan yang dimiliki penggunanya, atau
disebut juga Khanolkar, yaitu menunjuk terhadap lesi awal yang
muncul sebelum host membuat reaksi imunologis yang pasti
terhadap respons granulomatosa kuratif atau terbuka. Secara
klinis, lesi nya adalah makula atau patch hipopigmentasi, dengan
atau tanpa defisit sensorik yang terkait dalam atau dekat dengan
lesi, dan basil tahan asam, jika ditemukan, berjumlah sangat kecil.
Lesi seperti itu jarang terjadi. Istilah ini kadang-kadang
digunakan, secara tidak tepat, untuk menggambarkan lesi yang
kaya akan basil tetapi tidak memiliki pola khas tuberkuloid atau
lepromatosa. Pasien seperti itu biasanya BL atau kadang-kadang
LL.3
Gambaran histologi lepra indeterminasi yaitu menunjukkan
infiltrat yang tidak merata pada dermis papiler dan retikular, yang
terdiri dari limfosit dan beberapa makrofag. Basil cukup langka
atau tidak ditemukan sama sekali. Jika basil ditemukan dalam
jumlah yang banyak maka penyakit BL atau LL jauh lebih
mungkin daripada “lepra indeterminasi” ini.3

c. Reaksi Lepra
Keadaan reaksi lepra adalah khas, destruktif jaringan, proses
inflamasi yang digerakkan secara imunologis. Mereka sangat
meningkatkan morbiditas penyakit dan, karena pengalaman yang
diperlukan untuk perawatan pasien yang optimal, membenarkan
leprologi sebagai subspesialisasi klinis. Ketika muncul, keadaan

17
reaktif adalah superimposed pada granuloma yang mendasarinya,
tetapi keadaan reaktif biasanya mendominasi gambaran klinis.
Terlalu sering, keadaan reaksi biasanya diabaikan karena dianggap
sebagai komplikasi dari pengobatan, namun reaksi ini dapat terjadi
sebelum pengobatan dimulai atau setelah selesai.3
1. Reaksi Reversal (Reaksi Tipe I)
Reaksi reversal sangat umum pada pasien BL, tetapi tidak
jarang pada LL, BB, atau BT. Reaksi ini didukung oleh bukti
substansial sebagai respon hipersensitivitas tipe lambat (DTH)
dan juga dikenal sebagai reaksi DTH. Meskipun secara teoritis,
pasien dapat meningkatkan ke spektrum granulomatosa yang
lebih resisten, tetap tidak berubah, atau menurun ke spektrum
yang kurang resisten. Reaksi tipe I dikaitkan dengan reversal
yang meningkat. Oleh karena itu, reaksi reversal sering identik
dengan "peningkatan" yang menghasilkan peningkatan "reaksi
CMI atau DTH." Pasien LLp tidak menjadi reaksi DTH. 3

Gambar 6. Lesi awal yang muncul dengan reaksi DTH, lesi tumid, keunguan,
batas tegas, yang menunjukkan reaksi reversal.3

18
Tabel 5. Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4
No Gejala Tanda Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2
1 Tipe Kusta Dapat terjadi pada kusta Hanya pada kusta tipe MB
tipe PB maupun MB
2 Waktu Biasanya segera setelah Biasanya setelah
Timbulnya pengobatan mendapatkan pengobatan
lama, umunya lebih dari 6
bulan
3 Keadaan Umumnya baik, demam Ringan sampai berat disertai
Umum ringan (sub-febris) atau kelemahan umum dan
tanpa demam demam tinggi
4 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodus kemerahan,
kulit menjadi meradang lunak dan nyeri tekan.
(merah), bengkak Biasanya pada lengan dan
berkilat, hangat. Kadng- tungkai. Nodul dapat pecah
kadang hanya pada
sebagian lesi. Dapat
timbul bercak baru
5 Saraf Sering terjadi, umumnya Dapat terjadi.
berupa nyeri saraf dan
atau gangguan fungsi
saraf. Silent neuritis (+)
6 Udem pada (+) (-)
ekstremitas
7 Peradangan Anestesi kornea dan Iritis, Iridosiklitis,
pada mata lagoftalmus karena Glaukoma, Katarak, dll
keterlibatan N. V dan N.
VII
8 Peradangan Hampir tidak ada Terjadi pada testis, sendi,
pada organ lain ginjal, kelenjar getah
bening, dll

Secara klinis, reaksi DTH ditandai oleh konversi mendadak


yang sebelumnya plak torpid menjadi lesi tumid, dan lesi tumid
baru yang timbul pada kulit normal secara klinis dengan atau
tanpa onset neuritis yang mendadak. Warna khasnya berupa
eritematosa keungu-keunguan. Varian morfologis meliputi
termasuk annular, konsentris, dan ekzema. Lesi jarang soliter,
seperti yang dapat terjadi pada perubahan spektrum BT ke TT,
sering multipel, dan kadang-kadang sangat banyak, seperti pada
BL atau LL yang meningkat ke BT. Iritis dan limfedema
(elephantiasis graecorum) dapat terjadi bersamaan. Neuritis
terjadi dari ringan hingga berat, dan berpotensi berbahaya,

19
terutama jika melibatkan banyak saraf. Sebagai contoh, LL pada
umumnya, dan BL kadang-kadang, serat nyeri tipe C yang
menyusut mengakibatkan persepsi nyeri berkurang dan dalam
kasus yang parah dapat mengakibatkan hilangnya sensasi nyeri
protektif. Ini dapat disebut sebagai " gangguan sensorik dengan
pola gloves." Hilangnya motorik dengan keterlibatan saraf selain
hilangnya sensasi dapat terjadi pada bagian distal lengan dan
kaki.3

Tabel 6. Perbedaan organ yang terkena reaksi kusta tipe 1 dan tipe 24
No Organ Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2
Terkena Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Bercak puth Bercak puth Nodus, Nodus,
menjadi menjadi merah, panas, merah, tebal,
merah; yang merah; yang dan nyeri. panas, dan
merah jadu merah jadu Dapat nyeri sering
lebih merah. lebih merah. menjadi ulkus menjadi ulkus
Bercak Timbul jumlah jumlah
meninggi bercak baru sedikit banyak
kadang-
kadang
Ulserasi (-) disertai
Edema panas dan
tangan dan malaise
kaki (-)

Ulserasi (+)
Edema
tangan dan
kaki (+)
2 Saraf Tepi Membesar, Membesar, Membesar, Membesar,
tidak nyeri, nyeri, fungsi tidak nyeri, nyeri, fungsi
fungsi saraf saraf fungsi saraf saraf
tidak terganggu tidak terganggu
terganggu terganggu
3 Gejala Demam (-) Demam (+) Demam (+) Demam (+)
Konstitusi
4 Gangguan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Iridocyclitis,
pada organ orchitis,
lain nephritis,
lympadenitis,
dsb
Catatan: Bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf dikategorikan
sebagai reaksi berat

20
Pasien sering mengalami reaksi DTH, dan reaksi DTH
terjadi segera setelah muncul dan pengobatan dini mungkin
merupakan reaksi DTH sejak awal. Sepertinya, karena tanda dan
gejala semakin memburuk, menyebabkan pasien mengunjungi
dokter. Paling umum pada tahun pertama pengobatan, reaksi
DTH dapat terjadi 7 tahun atau lebih setelah memulai terapi, dan
setelah pengobatan berhenti. Diagnosis reaksi DTH bersifat
klinis, tetapi konfirmasi histologis, jika tersedia, harus dilakukan. 3
Gambaran histologi reaksi reversal yang berasal dari biopsi
jaringan, bila dibandingkan dengan biopsi prereaksional pada
pasien yang sama, kadang-kadang tidak berbeda. Namun,
perubahan yang paling umum adalah edema. Perubahan umum
lainnya adalah diferensiasi epiteloid yang meningkat dari
makrofag, peningkatan limfosit, sel raksasa tipe Langhans dan sel
benda asing yang sering bercampur menjadi satu, penebalan
epidermal, dan, kadang-kadang, peningkatan bakteriolisis.
Histologi saraf dapat berubah dengan cepat pada reaksi reversal,
dimana saraf dapat dihancurkan oleh infiltrat granulomatosa.
Edema dan tuberkel epiteloid yang berkembang baik yang terkait
dengan basil tahan asam, sel plasma, atau campuran sel raksasa
Langhans dan benda asing menimbulkan kecurigaan terhadap
reaksi reversal.3

2. Erythema Nodosum Leprosum (Reaksi Tipe II)


Erythema nodosum leprosum (ENL) terjadi paling sering
pada LL, hingga 75% kasus, tetapi tidak jarang pada pasien BL.
ENL bukanlah eritema nodosum yang terjadi pada lepra; itu
adalah respons spesifik kusta, yang memiliki beberapa gambaran
klinis dan histologi yang sama dengan eritema nodosum. Ini dapat
terjadi sebelum, selama, atau setelah kemoterapi. Tidak termasuk
pasien yang tidak diobati yang datang karena ENL, median waktu

21
onset ENL hampir 1 tahun setelah onset pengobatan. Secara
klinis, reaksi ini ditandai oleh nodul yang nyeri dan lunak,
berwarna merah muda cerah, dermal dan subkutan pada kulit
normal secara klinis, disertai dengan demam, anoreksia, dan
malaise. Arthralgia dan radang sendi lebih sering terjadi pada
ENL daripada neuritis, adenitis, orkitis/epididimitis, atau iritis,
tetapi masing-masing jarang muncul di awal. Keterlibatan
ekstremitas atas dan bawah adalah karakteristiknya dan lesi wajah
terjadi pada setengah pasien. Lesi dapat berupa berbentuk target,
vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik. Leukositosis
neutrofilik sering ditemukan, kadang-kadang leukemoid. Episode
parah dapat dikaitkan dengan penurunan tiba-tiba kadar
hemoglobin, hingga 5 g/dL, mudah keliru dengan hemolisis
terkait dapson. Peningkatan dalam respon terhadap thalidomide
sangat dramatis pada lebih dari 90% pasien, mungkin memenuhi
syarat sebagai kriteria diagnostik. Ketika lepra muncul sebagai
ENL, mungkin ada sedikit atau tidak ada stigma dari penyakit
yang mendasarinya. ENL dapat dipicu oleh kehamilan atau
infeksi piogenik.3
Meskipun episode ENL mungkin sporadik, pada pasien
yang lebih parah, episode dapat sering terjadi berkelanjutan. Di
kemudian hari, indurasi yang membesar pada paha anterior dan
bagian preaxial lengan merupakan karakteristiknya, mungkin
fibrosis reversibel. ENL sering lama, durasi rata-rata pengobatan
anti-inflamasi sekitar 5 tahun. Diagnosis ENL biasanya tidak sulit
ditegakkan, karena gambaran klinis dan histologi serta respons
terhadap terapi thalidomide sangat khas.3

22
Gambar 7. Lesi papul ENL terjadi pada wajah pasien LL.

Gambaran histologi ENL berupa pola "bottom-heavy" yang


merupakan fitur berdaya rendah pada sebagian besar lesi ENL,
menunjukkan gradien sel-sel inflamasi, sedikit di papilla dan
sangat banyak di dermis dalam atau subkutis. Histologi alternatif
yang tidak umum adalah infiltrat pan-dermal dengan edema yang
jelas pada dermis papiler. Pada lesi ENL, neutrofil adalah sel
"penanda", tetapi mungkin tidak ditemukan jika lesi yang lebih
tua diambil sebagai sampelnya. Tingkat infiltrat neutrofil sangat
bervariasi, begitu padat sehingga membentuk abses kecil, atau
sangat langka. Gambaran umum lainnya adalah peningkatan
limfosit, penebalan epidermis, panniculitis lobular, dan fibrosis.
Temuan yang tidak umum tetapi tidak jarang adalah vaskulitis
yang tampak fokus dalam distribusinya.3

6. Diagnosis
Diagnosis lepra yang tegas membutuhkan adanya kelainan saraf
perifer yang konsisten atau BTA dalam jaringan. Di daerah non-endemik,
diagnosis sering terlewatkan karena kemungkinan lepra tidak
dipertimbangkan. Tidak ada tes untuk mengekslusikan kusta. 3
Karena M. leprae tidak tumbuh dalam media bebas sel,
demonstrasi mikobakteri oleh sifat tahan asamnya, paling umum
digunakan dalam mendiagnosis. Adanya BTA pada jaringan paling baik

23
ditunjukkan dengan pewarnaan carbolfuchsin, menggunakan modifikasi
metode Ziehl-Neelsen, secara kolektif disebut pewarnaan Fite-Farraco.
M. leprae, seperti spesies Nocardia, hanya bersifat asam lemah. Pada
apusan, metode Ziehl-Neelson atau pewarnaan auramin-rhodamin dengan
mikroskop fluoresen memberikan gambaran yang baik. Karena
perubahan klinis dan histologi yang khas, spesifikasi positif M. leprae
jarang diperlukan. Kehadiran M. leprae di saraf atau adanya granuloma
sel epiteloid di dalam saraf bersifat diagnostik, sedangkan perubahan
histologis yang khas mungkin mempertimbangkan atau memperkuat
diagnosis kusta.3

7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada lepra dibagi berdasarkan lesi:3
a. Lesi Primer
• Makula dan patch. Hipopigmentasi pityriasis alba dan lepra
indeterminasi sangat mirip satu sama lain. Jika pasien dilahirkan,
atau tinggal di daerah endemik, maka perbedaan antara keduanya
dapat dilakukan dengan pemeriksaan neurologi atau histologi. Plak
BL hipopigmentasi bisa sangat samar untuk meniru patch.
Telangiektasias dapat eruptif atau muncul sebagai tikar di wajah
dan trunkus atas.3
• Lesi papul ke nodul. Pada dermis, lepra dapat menyerupai, atau
mirip dengan dermatofibroma, histositoma, limfoma, sarkoidosis,
dan granuloma lainnya. Nodul subkutan inflamasi erupsi dan
rekuren mungkin membesar, eritema nodosum, eritema induratum,
dan vaskulitis. Nodul yang teraba, tetapi tidak terlihat, subkutan
pada lepromatosis Latapi dapat menyerupai lipoma. 3
• Plak. Plak eritematosa dapat menyerupai fungoides mikosis. Plak
tanpa perubahan pigmen mungkin berbentuk seperti wheal, mirip
dengan urtikaria. Plak hipopigmentasi dapat menyerupai erupsi

24
papulosquamosa. Pulau-pulau kulit normal dalam plak mungkin
menyarankan psoriasis.3
• Erupsi vesiculobullous polimorfa/Pemisahan Dermoepidermal.
Mereka dapat terjadi pada ENL. Hingga 30% dari 11 pasien
mungkin memiliki antibodi yang diarahkan ke desmoglein 1,
sehingga menimbulkan lesi bulosa. Juga, IgM diendapkan tidak
jarang pada membran dasar epidermis pada LL. Antibodi ini tidak
selalu patogen tetapi dapat membingungkan diagnosis. 3
• Lesi Annular. Lepra dapat meniru, atau ditiru oleh, eritema annular,
sarkoidosis, sifilis, atau tinea 3

b. Lesi Sekunder
• Infark. Lesi fenomena lucio dan infark septik yang mirip ENL
nekrotik.3
• Ulkus. Ulkus terjadi pada fenomena Lucio dan ENL sekunder
akibat oklusi vaskular. Pada pasien dengan kerusakan saraf, ulkus
neurotrofik terjadi pada permukaan plantar, pasien dengan ulkus
Leg sekunder terjadi akibat insufisiensi vena yang terlihat pada
lepromatosis Latapi.3

c. Gejala Klinis
• Perubahan mirip lupus eritmatosus sistemik (SLE). Jari-jari
fusiform, deformitas leher angsa, tes sifilis positif palsu, antibodi
antifosfolipid, antikoagulan lupus, hiperglobulinemia, dan anemia.3
• Vaskulitis. Vaskulitis sebenarnya dapat terjadi pada lambung,
reaksi Lucio, dan lepromatosis Latapi. Secara klinis, lesi nodul
lepra dapat salah didiagnosis dengan vaskulitis. 3

25
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakterioskopis
Pemeriksaan bakterioskopis digunakan untuk membantu
menegakkan diagnosis dan pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat
dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.1
Pertama – tama kita harus memilih tempat – tempat di kulit yang
diharapkan paling padat oleh basil, setelah terlebih dahulu
menentukan jumlah tempat yang akan diambil. Soal jumlah ini juga
ditentukan oleh tujuannya, untuk riset atau rutin. Untuk riset dapat
diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat,
yaitu kedua kuping telinga bagian bawah dan 2 – 4 tempat lain yang
paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif.
Pemilihan kedua telinga tersebut tanpa menghiraukan ada tidaknya
lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat
tersebut diharapkan mengandung basil paling banyak. Perlu diingat
bahwa setiap tempat pengambilan harus dicatat, guna pengambilan
kemudian di tempat yang sama pada pengamatan pengobartan untuk
dibandingkan hasilnya.1
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril.
Setelah tempat tersebut didesinfeksikan, lalu diusahakan agar tempat
tersebut, dengan jalan dipijit, menjadi iskemik agar kerokan jaringan
mengandung sesedikit mungkin darah yang akan menggangu
gambaran sediaa. Irisan yang dibuat harus sampai di dermis
melampaui subepidermal clear zone agar mencapai jaringan yang
diharapkan banyak mengandung sel Virchow (sel kusta) yang di
dalamnya mengandung basil M. leprae. Kerokan jaringan itu
dioleskan di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai
dengan pewarnaan yang klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewaraan

26
ini dapat digunakan modifikasi Ziehl Neelsen dan cara – cara lain
dengan segala kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan
keadaan setempat.1
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows,
terbaik dilakukan paling pagi yang ditampung pada sehelai plastik.
Perhatikan sifat duh tubuh (discharge) tersebut, apakah cair seours
bening, mukoid, mukopurulen, purulen, ada darah atau tidal. Sediaan
dapat dibuat langsung atau plastik tersebut dilipat dan dikirim ke
laboratorium. Dengan kapas lidi bahan dioleskan merata pada gelas
alas, fiksasi harus pada hari yang sama, pewarnaan tidak perlu pada
hari yang sama.1
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skalpel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi.
Sebaiknya diambil dari serah septumnasi, selanjutnya dikerjakan
seperti biasa. Umumnya sediaan kulit lebih rutin daripada sediaan
mukosa hidung oleh karena pada sediaan mukosa hidung
kemungkinan adanya mikrobakteria atipikal dan M. leprae tidak
pernah positif kalau pada kulit negatif.1
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak
merah pada sediaan. Dibedakan bentuk batang tubuh berdinding,
batang terputus (fragmented), dan butiran (granular).1
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai
menjadi sediaan, perlengkapan laboratorium, siapa yang
mengerjakannya, yang melihat dan yang menginterprestasikan
sediaan, akan menentukan mutu hasil bakterioskopik. Meskipun
sudah ada ketetuan, patokan – patokan solid dan nonsolid, interpretasi
yang melihat itulah yang dapat menimbulkan perbedaan. Andaikata
ada satu sediaan dilihat oleh dua atau beberapa orang, besar
kemungkinan akan memberikan hasil yang berbeda antara satu
dengan yang lain, sampai – sampai ada suatu institut yang terkenal
dan termasuk yang tertua di dunia tidak berani membedakan antara

27
solid dan non solid. Contoh lain antara dua tokoh dunia kusta yang
paling menonjol pada saat ini yaitu SHEPARD dan RESS. Mereka
selalu ada perbedaan interprestasi, perbedaan hasil pengamatan
sediaan yang sama antara solid dan nonsolid.1
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai
dari 0 sampai 6 + menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam
100 lapangan pandangan (LP).1
• 1+ : bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
• 2+ : bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
• 3+ : bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
• 4+ : bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
• 5+ : bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
• 6+ : bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Semuanya dilihat dengan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi. IB seseorang adalah IB rata – rata semua emusi yang dibuat
sediaan.1
Indeks Morfologi (IM) adalah prosentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid dengan rumus:1
Jumlah solid
x 100 % = .......%
Jumlah solid + nonsolid

Syarat perhitungan IM:1


• Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
• IB 1 + tidak usah dibuat IM nya, karena untuk mendapat 100
BTA harus mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan
• Mulai dari IB 3 + ke atas harus dicari IM nya, sebab dengan IB 3
+ hanya maksimum harus dicari dalam 100 lapangan
Ada pendapat, bahwa jika semua BTA kurang dari 100, dapat
pula dibuat IM nya, tetapi tidak dinyatakan dalam % tetap dalam

28
pecahan yang tidak boleh diperkecil atau diperbesar. Sebagai contoh
umpanya solid ada 4, nonsolid ada 44, maka IM 4 : 48.1
Sebaiknya diadakan standarisasi pembuatan sediaan dan
pengamatan sediaan antara orang – orang selaboratorium, antar
laboratorium, nasional maupun internasional. Pada tindak lanjut
penderita secara bakterioskopik sebaiknya dilakukan oleh
laboratorium dan orang – orang yang sama pula, agar
keobyektifannya dapat dipertahankan. Standarisasi IB masih dapat
dilaksanakan, tetapi untuk IM sangat sulit, bahkan ada yang
berpendapat tidak mungkin.1

b. Pemeriksaan Histopatologis
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam
darah ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel Kupffer dari
hati, sel alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit yang
disebut histiosit. Salah satu tugas makrofas adalah melakukan
fagositosis. Kalau ada kuman (M. leprae) masuk, akibatnya akan
bergantung pada Sistem Imunitas Selular (SIS) orang itu. Apabila
SIS nya tinggi makrofag akan mampu memfagositosis M. leprae.
Datangnya histiosit ke tempat kuman itu oleh karena proses
imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya
berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di pagositosis, makrofag itu
akan berubah bentuk menjadi sel epitoloid yang tidak dapat bergerak
lagi dan akan dapat berubah lagi menjadi sel datia Langhans. Adanya
masa epitoloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.
Bagi yang SIS nya rendah atau lumpuh, histiosit bukannya
menghancurkan M. leprae yang sudah ada di dalamnya, bahkan
dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel
kusta atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebar luasan.1

29
Granduloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivat-
derivatnya. Gambaran histopatologik bagi tipe tuberkuloid adalah
tuberkel dan kerusakan sarag yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan nonsolid. Pada tipe lempromatosa terdapat kelim
sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), ialah suatu daerah
langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline,
terdapat campuran unsur-unsur tersebut.1

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya
antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae.
Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M. leprae,
yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi
antiprotein 16 kD serta 35 kD.1

d. Tes Polymerase Chain Reaction (PCR)


Tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendiagnosis
kusta tidak digunakan dalam praktek klinis. Sebagian besar kelainan
hasil laboratorium terjadi pada LL atau BL yang luas.
Hiperglobulinemia adalah yang paling umum, memberikan tingkat
sedimentasi tinggi. Tes serologis biologis positif palsu untuk sifilis,
anemia pada penyakit kronis, dan limfopenia ringan juga sering
terjadi. Antibodi antifosfolipid yang secara klinis tidak signifikan
terdapat pada 50% pasien LL, dan dapat meningkatkan antikoagulan
atau aglutinasi eritrosit (faktor Rubino) pada lupus. Jika dicari,
apusan bernoda pada lapisan buffy menunjukkan basil hingga
105/mL. Kadar lisozim serum dan konversi-angiotensin serum yang
meningkat mencerminkan akumulasi yang luas dan aktivasi makrofag
yang mensintesis protease ini. Proteinuria, tidak jarang, dikaitkan
dengan glomerulonefritis fokal, sebagian besar terlihat pada pasien

30
dengan ENL. Tingkat testosteron yang rendah, disertai dengan kadar
hormon FSH serum yang tinggi dan nilai hormon luteinizing (LH)
yang mengindikasikan penyakit testis, terjadi pada sebagian besar
pria dengan LL, dan juga pada sebagian kecil pria dengan BL. 3

9. Tatalaksana
Tujuan Pengobatan MDT:4
• Memutuskan mata rantai penularan
• Mencegah resistensi obat
• Memperpendek masa pengobatan
• Meningkatkan keteraturan obat
• Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang
sudah ada sebelum pengobatan
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari psien,
terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah terjadi
sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT. 4
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman
kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga gejala
penyakit menetap, bahkan memburuk. Gejala baru dapat timbul pada
kulit dan saraf.4
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
antikusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat
bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik. 4
Kelompok orang yang membutuhkan MDT antara lain pasien yang
baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT dan pasien
ulangan (relaps, masuk kembali setelah default, pindahan, berubah tipe).4

31
Tabel 7. Rekomendasi tatalaksana antibakteri pada lepra3
Organisasi Tipe Rifampin Dapsone Clofazimine Durasi Follow up
Lepra
WHO PB 600 100 - 6 bulan Tidak wajib
(1-5 lesi) mg/bulan mg/hari follow up untuk
kembali
MB 600 100 50 mg/hari 1 tahun Tidak wajib
(>5 lesi) mg/bulan mg/hari 300 mg/bulan follow up untuk
kembali
US Public PB 600 100 - 1 tahun Setiap 6 bulan
Health (1-5 lesi) mg/hari mg/hari selama 5 tahun
Service MB 600 100 50 mg/hari 2 tahun Setiap 6 bulan
(>5 lesi) mg/hari mg/hari selama 10 tahun

Tabel 8. Tatalaksana reaksi lepra3


Thalidomide Prednisone Durasi Agen Lainnya
Reaksi - 0.5-1.0 mg/kg Biasanya NSAID
Reversal Rifampin mungkin diperlukan
(Tipe I) meningkatkan selama 6 bulan –
katabolisme 2 tahun
Tappering perlahan Mungkin lebih
singkat atau lebih
lama
ENL Diberikan jika Jika thalomide tidak Durasi median Pentoxifyline
(Tipe II) tersedia dan tidak tersedia, 0.5-1.0 sekitar 5 tahun clofazimine
kontraindikasi mg/kg/hari dan dapat hingga
Dimulai dengan 1 10 tahun
dosis 100-200
mg/hari
Dosis maintenance 50
mg hingga 500
mg/hari

10. Komplikasi
Komplikasi umum dari lepra timbul dari cedera saraf perifer,
insufisiensi vena, atau jaringan parut. Sekitar seperempat hingga
sepertiga dari pasien yang baru didiagnosis dengan lepra memiliki, atau
akhirnya akan memiliki beberapa kecacatan kronis sekunder akibat
cedera saraf yang ireversibel, biasanya pada tangan atau kaki, atau pada
mata. Keratitis dapat disebabkan oleh berbagai faktor termasuk mata
kering, ketidakpekaan kornea, dan lagophthalmos. Keratitis ini dan lesi
bilik anterior (termasuk keterlibatan iris, sklera atau saraf kornea) dapat

32
menyebabkan kebutaan. Insufisiensi vena, sekunder akibat keterlibatan
katup vena profunda, menyebabkan dermatitis stasis dan ulkus tungkai.
Destruksi sendi (Charcot joints) dapat terjadi karena hilangnya sensasi
nyeri protektif. Keterlibatan saraf simpatis menghasilkan penurunan
hidrosis, menyebabkan telapak tangan dan kaki kering. Ini
dikombinasikan dengan siklus berulang dari cedera kulit akibat nyeri
protektif yang berkurang menghasilkan hiperkeratosis, fisura dan
superinfeksi bakteri. Hidung yang kolaps pada LL adalah akibat
kontraktur jaringan parut, yang telah menggantikan tulang dan kartilago.
Komplikasi yang tidak biasa dari fenomena Lucio termasuk septikemia
akibat ulserasi luas dan kontraktur sekunder akibat pembentukan jaringan
parut.3
Cedera saraf yang menyebabkan hilangnya persarafan otot dapat
menyebabkan kelemahan. Siklus berulang cedera dan superinfeksi
bakteri, akibat oleh hilangnya sensasi nyeri protektif, adalah sumber
kerusakan jaringan parah pada kusta. Kontraktur, secara sekunder karena
kelemahan otot atau pembentukan parut, dapat menghasilkan deformitas
lebih lanjut. Manajemen dan pencegahan masalah yang timbul dari
cedera saraf mungkin memerlukan keterampilan ahli bedah ortopedi,
dokter mata, ahli penyakit kaki, ahli bedah plastik, ahli terapi fisik, ahli
ortotik, dan/atau ahli terapi okupasi.3

11. Prognosis
Satu-satunya pasien lepra yang akan sembuh sendiri tanpa terapi
adalah mereka dengan TT, atau pasien BT yang menjadi TT. Kalau tidak,
penyakitnya akan progresif, dengan morbiditas karena cedera saraf
dan/atau keadaan reaktif. Neuritis perifer onset baru dapat membaik
dengan pengobatan kortikosteroid. Seperti sindrom postpolio, gangguan
sensorik yang muncul belakangan kadang-kadang terlihat dan sulit untuk
dipahami dan dikelola.3

33
B. PITIRIASIS VERSIKOLOR
1. Definisi
Pityriasis versikolor (tinea versikolor atau panu) adalah penyakit
jamur superfisial yang kronik, biasanya tidak memberikan keluhan
subyektif, berupa makula yang sedikit berskuama dengan warna dapat
berupa hipopigmentasi, berwarna merah muda, atau hiperpigmentasi. 1,3

2. Epidemiologi
Pitiriasis versikolor merupakan penyakit yang universal dan
prevalensinya di Amerika Serikat diperkirakan 2-8% dari populasi.
Infeksi lebih sering terjadi di daerah dengan suhu lebih tinggi dan relatif
lembab. Tinea versikolor memiliki prevalensi di seluruh dunia hingga
50% pada lingkungan yang panas dan lembab dan hanya 1,1% pada
daerah yang dingin.1,3
Insiden tinea versikolor sama pada semua ras, tetapi erupsi lebih
sering terlihat jelas pada individu berkulit gelap karena mengakibatkan
perubahan dalam pigmentasi kulit. Tidak ada perbedaan jenis kelamin.
Tinea versikolor paling umum terjadi di kalangan remaja dan dewasa
muda, di mana kelenjar sebaceous penghasil lipid lebih aktif. 3

3. Etiologi dan Patogenesis


M. furfur dapat dikultur dari kulit yang sakit maupun normal dan
dianggap sebagai bagian dari flora normal khususnya di daerah tubuh
yang kaya akan sebum. Inokulasi eksperimental Malassezia di bawah
oklusi menunjukkan infeksi. Peningkatan kelembaban, suhu, dan tekanan
CO2 tampaknya menjadi faktor penting yang berkontribusi terhadap
infeksi. Sementara pengangkatan oklusi meningkatkan penyembuhan
erupsi, organisme mungkin masih dikultur dari area yang tidak terkena
secara klinis. Lebih jauh lagi, kolonisasi struktur folikuler ini
meningkatkan rekurensi yang tinggi.3

34
M. furfur merupakan organisme dimorfik, lipofilik yang tumbuh in
vitro hanya dengan penambahan asam lemak C12-C14 seperti minyak
zaitun dan lanolin. Di bawah kondisi yang tepat, itu berubah dari ragi
saprofit menjadi bentuk miselium yang sebagian besar parasit, yang
menyebabkan penyakit secara klinis. Faktor-faktor predisposisi untuk
transisi menjadi bentuk miselium termasuk kehangatan, lingkungan
lembab, hiperhidrosis, kontrasepsi oral, dan penggunaan kortikosteroid
sistemik, penyakit Cushing, imunosupresi, dan keadaan kurang gizi.3
Pada kulit yang hipopigmentasi, terdapat penurunan densitas
melanosom dalam keratinosit, tetapi tidak ada perubahan dalam densitas
melanosit. Produksi melanosom yang tidak normal, penurunan sintesis
melanin, dan sebagian blok dalam transfer melanosom ke keratinosit
semuanya telah diduga sebagai suatu kerusakan yang mendasar.5
Ragi dapat menyaring sinar matahari alami dan mengganggu proses
tanning. Mayser et al. membahas senyawa spesifik yang disintesis oleh
Malassezia yang disebut pityriacitrin yang menyerap sinar ultraviolet.
Metabolit lain dari M. furfur adalah asam azelaic, suatu asam
dicarboxylic yang menghambat tirosinase; malassezin, suatu agonis
reseptor hidrokarbon aril yang menginduksi apoptosis pada melanosit;
pityrialactone, suatu alkaloid indol (turunan triptofan) yang berpendar di
bawah sinar UV 366 nm; ptyriarubins, suatu alkaloid indol merah yang
menghambat pernafasan neutrofil secara in vitro dengan cara yang
tergantung dosis dan menghambat aktivitas 5-lipoksigenase. Secara
khusus, melalui lipase Malassezia memetabolisme berbagai asam lemak
seperti asam arakidonat atau vaksinat dan kemudian melepaskan asam
azelaic sebagai salah satu metabolitnya. Asam azelaic menghambat kerja
tyrosinase di jalur pembentukan melanin, sehingga menyebabkan
hipopigmentasi perisisten pada kulit yang terkena selama berbulan-bulan,
dan kadang-kadang bertahun-tahun. M. furfur telah lama diidentifikasi
sebagai jamur yang menyebabkan tinea versikolor, namun M. globosa
sekarang dianggap sebagai spesies utama yang terlibat dalam patogenesis

35
tinea versikolor.3 Crespo dkk. melakukan biakan pada pitiriasis
versikolor dan ditemukan 77% M. globosa. 2

4. Gambaran Klinis
Gambaran khas tinea versikolor adalah makula berskuama
berbentuk bundar hingga oval (dengan ukuran diameternya beberapa
millimeter hingga 1-3 cm) yang tersebar di area tubuh yang khas,
termasuk tubuh bagian atas, leher, dan lengan atas, dan daerah yang
kurang disukai adalah pipi.2,3,5 Makula sering menyatu membentuk patch
dengan perubahan pigmen yang tidak teratur. Warna patch bervariasi dari
hampir putih ke merah muda ke coklat kemerahan atau berwarna coklat
kekuningan. Skuama ini secara khas digambarkan seperti debu atau
furfuraceous. Skuama yang luas dapat dihasilkan dengan menggoreskan
pisau bedah (ukuran 15) secara kecil pada kulit yang terkena.3 Dapat pula
diperoleh dengan menggunakan cellophane tape.2 Patch mungkin
memiliki tampilan permukaan yang keriput dan gambaran ini berfungsi
sebagai gambaran klinis yang khas dalam menegakkan diagnosis. Pasien
baru akan berobat setelah mengganggu penampilan atau kosmetik
daripada memiliki gejala lainnya, karena gejala pruritus biasanya ringan
atau tidak ada. Diagnosis yang dibuat atas dasar klinis didukung oleh
pemeriksaan lampu Wood (365 nm) yang mungkin menunjukkan
fluoresensi kuning-oranye yang diduga disebabkan oleh adanya pteridin
dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan KOH secara mikroskopis. Tinea
versikolor cenderung kambuh dalam musim hangat setiap tahunnya.3

36
Gambar 8. Pitiriasis versikolor. A) Lesi ini lebih gelap karena hiperemis akibat respons
inflamasi dan peningkatan melanin; B) Ada batas tegas, makula hipopigmentasi uniform
dengan skuama halus, kadang-kadang nyaris tidak terlihat, yang mudah dikikis dengan
kaca objek. Ketika lesi sangat besar, seperti di sebelah kiri, dapat membingungkan
dengan vitiligo; C) Makula berskuama berwarna salmon bergabung menjadi bercak-
bercak besar; D) Skuama sangat halus, seperti debu yang dilihat dari jarak sangat
dekat.3

Bentuk terbalik dari tinea versikolor ditemukan terutama di area


fleksura. Patch eritematosa merah muda konfluen yang berbatas tegas ini
dapat dibingungkan dengan psoriasis inversa, dermatitis seboroik,
eritrasma, kandidiasis, dan infeksi dermatofitik. 3

Gambar 9. Makula dan patch dengan gambaran keriput.3

37
5. Pemeriksaan Laboratorium
Preparat kalium hidroksida (KOH) dari kerokan kulit menunjukkan
spora jamur yang khas dan hifa cigar-butt pendek ("spaghetti and
meatball"). Visualisasi elemen jamur dapat ditingkatkan dengan
penambahan pewarnaan metilen biru pada sediaan KOH. Kultur jarang
diperlukan dan membutuhkan media yang mengandung lipid (misalnya
minyak zaitun) untuk menunjukkan pertumbuhan.3

Gambar 10. Gambaran “spaghetti and meatball” pada preparat KOH.3

Sementara ragi dapat diidentifikasi dengan pewarnaan hematoxylin


dan eosin saja, visualisasi ditingkatkan melalui pewarnaan PAS.
Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan kelompok sel ragi yang tumbuh
oval dengan panjang 3,5 × 4,5 μm dengan hifa pendek, septate, dan
kadang-kadang bercabang yang berada di stratum korneum.3

6. Diagnosis
Gambaran klinis tinea versikolor biasanya khas, dan pemeriksaan
KOH bersifat konfirmasi. Pemeriksaan lampu Wood dapat menunjukkan
fluoresensi oranye-kekuningan pada kulit yang terlibat, diduga
disebabkan oleh pteridin. Dalam beberapa kasus, bagaimanapun, erupsi
mungkin tampak lebih gelap, daripada yang lebih berpendar, dari kulit
yang tidak terpapar lampu Wood.3

38
7. Tatalaksana
Beberapa agen topikal berguna dalam mengobati tinea versikolor,
dan ini termasuk selenium sulfida, zinc pyrithione, natrium
sulfacetamide, ciclopiroxolamine, serta preparat antijamur golongan
azole dan allylamine.3
Protokol yang banyak digunakan dan tidak mahal yaitu penggunaan
lotion selenium sulfida 2,5%, yang diaplikasikan pada daerah yang
terkena selama 7-10 menit sebelum dibilas. Sementara penggunaan
sehari-hari dapat dipertimbangkan pada kasus yang luas, diaplikasikan 3-
4 kali per minggu cukup adekuat, dan frekuensi ini dapat dikurangi
secara bertahap menjadi sekali atau dua kali sebulan dan digunakan
sebagai rejimen pemeliharaan untuk mencegah kekambuhan. Atau,
sampo ketoconazole 2% yang di aplikasikan pada area yang terkena dan
dibiarkan selama 5 menit sebelum dibilas; diulangi selama tiga hari
berturut-turut. Solusio terbinafine 1% diaplikasikan dua kali sehari pada
daerah yang terkena selama 7 hari menunjukkan tingkat penyembuhan
lebih dari 80%.3
Meskipun terapi topikal ideal untuk infeksi lokal atau infeksi
ringan, pengobatan sistemik mungkin diperlukan pada pasien dengan
penyakit yang luas, sering kambuh, atau ketika terapi topikal gagal.
Ketokonazol, flukonazol, dan itrakonazol adalah terapi oral yang disukai,
dan berbagai ukuran dosis cukup efektif. Ketoconazole oral 200 mg
setiap hari selama 7 atau 10 hari, atau itraconazole oral 200-400 mg
setiap hari selama 3-7 hari hampir efektif secara universal. Ketoconazole
oral yang diberikan dalam dosis tunggal 400 mg adalah regimen yang
mudah digunakan dengan hasil yang sebanding. Demikian pula, dosis
tunggal itrakonazol oral 400 mg telah terbukti lebih dari 75% efektif, dan
dalam satu penelitian, sama efektifnya dengan itrakonazol yang diberikan
selama 1 minggu. Flukonazol juga efektif bila diberikan dalam dosis oral
tunggal 400 mg. Terbinafine oral, suatu allylamine, tidak
direkomendasikan dalam pengobatan Malassezia, semenjak obat ini tidak

39
cukup efisien. Potensi toksisitas obat dan interaksi melalui pengaruh azol
pada aktivitas isoenzim c4 sitokrom p450 harus diatasi ketika
mempertimbangkan penggunaan agen azole oral untuk mengobati tinea
versikolor.3

8. Pencegahan
Rekuren umum terjadi dan penggunaan terapi topikal secara regular
membantu mengurangi tingkat rekuren yang tinggi. Meskipun kondisi ini
tidak meninggalkan bekas skar permanen atau perubahan pigmen,
perubahan warna kulit mungkin perlu beberapa bulan untuk kembali
normal. Pencegahan rekurensi sangat membantu dalam membatasi
dischromia jangka panjang. Regimen satu tablet ketoconazole,
flukonazol, dan itrakonazol selama sebulan efektif untuk mencegah
rekurensi.3

9. Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, tekun dan
konsisten. Pengobatan harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi
negatif dengan pemeriksaan lampu Wood dan preparat langsung negatif. 1

40
C. VITILIGO
1. Definisi
Vitiligo adalah hipomelanosis idiopatik yang ditandai dengan
adanya macula putih yang dapat meluas. Dapat mengenai seluruh bagian
tubuh yang mengandung sel melanosit, misalnya rambut dan mata.
Penyakit ini melibatkan gen dan faktor lingkungan nongenetik yang
ditandai dengan penghancuran melanosit epidermal secara progresif yang
dimediasi autoimun.1,3

2. Epidemiologi
Prevalensi vitiligo cukup konsisten di antara populasi yang
berbeda: ~0,38% di Kaukasia, 0,34% di Afro-Karibia, 0,46% di India,
meskipun mungkin agak kurang sering di Cina Han, hanya 0,093%.3
Vitiligo mengenai sekitar 0.5-2% dari seluruh populasi dunia dan mulai
muncul dari sesaat setelah lahir hingga dewasa lanjut. 5 Vitiligo
tampaknya tidak dipengaruhi jenis kelamin, meskipun wanita banyak
ditemukan yang mencari perawatan klinis. Vitiligo dapat terjadi pada
usia berapa pun, dengan onset usia rata-rata pada pasien Kaukasia sekitar
24 tahun.3
Subtipe yang paling umum, vitiligo general (GV), adalah penyakit
autoimun yang dikaitkan dengan penyakit autoimun lainnya pada sekitar
20-30% pasien, penyakit tiroid autoimun yang paling sering (tiroiditis
atau penyakit Grave Hashimoto), rheumatoid arthritis, psoriasis, diabetes
tipe 1 (biasanya pada onset dewasa), anemia pernisiosa, lupus
erythematosus sistemik, dan penyakit Addison.3
Ada pengaruh fakor genetik pada penderita vitiligo, 5% akan
mempunyai anak dengan vitiligo. Riwayat vitiligo bervariasi antara 20-
40%.3

41
3. Etiologi dan Patogenesis
Vitiligo merupakan kelainan poligenik multifaktorial, dengan
patogenesis kompleks yang belum dipahami dengan baik. Penyebab
belum diketahui, berbagai faktor pencetus sering dilaporkan, misalnya
krisis emosi dan trauma fisik. Dari berbagai teori patogenesis penyakit,
yang paling diterima adalah faktor genetik dan nongenetik yang
berinteraksi untuk mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup
melanosit, yang pada akhirnya mengarah pada penghancuran melanosit
secara autoimun. Penjelasan yang lainnya termasuk kecacatan adhesi
melanosit, kerusakan neurogenik, kerusakan biokimiawi,
autositotoksisitas, dan lain-lain.3
a. Genetika
Survei epidemiologis skala besar menunjukkan bahwa sebagian
besar kasus vitiligo terjadi secara sporadis, meskipun sekitar 15-20%
pasien memiliki satu atau lebih keluarga yang terkena. Biasanya,
agregasi keluarga dari kasus menunjukkan pola non-Mendel yang
menunjukkan poligenik, pewarisan secara multifaktorial.3
Hampir semua studi genetika vitiligo berfokus pada GV.
Beberapa gen yang terlibat dalam fungsi kekebalan, termasuk lokus
di MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan NALP1 (NLRP1),
telah terlibat dalam kerentanan terhadap GV berdasarkan studi
hubungan genetik atau asosiasi. Vitiligo segmental (SV) tampaknya
berbeda secara genetik dari GV. Kemunculannya secara sporadis dan
distribusi unilateral telah mengarahkan bahwa penyakit ini mungkin
dihasilkan dari mosaikisme somatik untuk mutasi de novo, mungkin
pada gen yang terpenting untuk pengembangan atau kelangsungan
hidup melanoblas/melanosit, walaupun hipotesis ini masih harus
dikonfirmasi.3
b. Autoimun
Ada bukti biologis yang meyakinkan yang mendukung dasar
autoimun pada GV. Vitiligo genera; secara epidemiologis terkait

42
dengan sejumlah penyakit autoimun lainnya, baik pada pasien
maupun dalam keluarga, yang mengindikasikan diatesis autoimun
yang diwariskan. Imunitas humoral pertama kali terlibat oleh
penemuan dalam beberapa kasus sirkulasi antibodi antimelanosit
yang menargetkan berbagai antigen melanosit, termasuk tyrosinase,
protein-1 terkait-tyomerinase, dopachrome tautomerase, dan lainnya,
dan yang memiliki kemampuan untuk membunuh melanosit in vitro
dan in vivo. Saat ini, autoantibodi ini dianggap mencerminkan respon
humoral sekunder terhadap kerusakan melanosit daripada penyebab
utama GV. Peran yang lebih besar berhubungan dengan infiltrat
inflamasi kadang-kadang terlihat pada margin lesi GV aktif, terutama
terdiri dari limfosit T sitotoksik. Sel T ini mengekspresikan profil
sitokin tipe-1 dan berkolosisasi dengan melanosit epidermal, telah
dihipotesiskan bahwa sel-sel ini secara aktif sitolitik terhadap
melanosit yang tersisa, melalui jalur granzyme/perforin. 3
Mekanisme kekebalan tubuh juga telah disarankan untuk
mendasari leukoderma kimia. Yang disebut "vitiligo okupasi" dapat
terjadi pada individu yang terpapar senyawa fenolik dosis besar,
biasanya 4-tersier butil fenol (4-TBP) dan senyawa fenolik lain yang
mungkin terkandung dalam larutan pembersih. Vitiligo okupasi
biasanya melibatkan tangan dan lengan (tempat kontak dengan agen
penghasut) pada awalnya. Saat ini, tidak jelas apakah agen ini secara
langsung berdampak bagi melanosit, atau apakah beberapa individu
secara genetik rentan terhadap cedera melanosit dari turunan fenolik
alifatik, yang pada akhirnya menyebabkan kematian melanosit,
pelepasan protein intraseluler antigenik, kehilangan toleransi, dan
autoimunitas.3
Mekanisme kekebalan tubuh juga telah diusulkan untuk
depigmentasi mirip-vitiligo, yang dapat muncul selama pengobatan
imunoterapi IL-2 untuk melanoma, mungkin melalui efek stimulasi
IL-2 pada pertumbuhan dan aktivasi sel T.3

43
Beberapa antigen terkait melanoma (misalnya, MART-1, gp100,
dan tirosinase) diekspresikan pada melanosit normal, menunjukkan
bahwa terjadinya depigmentasi mirip vitiligo terkait pengobatan
dalam melanoma mungkin melibatkan reaksi silang dari beberapa
respon imun antimelanoma dengan melanosit normal.3
c. Biokimia
Ada beberapa bukti bahwa vitiligo merupakan penyakit dari
seluruh epidermis, kemungkinan melibatkan kelainan biokimiawi dari
melanosit dan keratinosit. Kelainan morfologis dan fungsional
spesifik yang diamati pada melanosit dan keratinosit vitiligo
dianggap memiliki latar belakang genetik.3
Kelainan ultrastruktural dari keratinosit dari kulit vitiligo pralesi
telah dikaitkan dengan gangguan aktivitas mitokondria, dan
diperkirakan mempengaruhi produksi faktor pertumbuhan melanosit
spesifik dan sitokin yang mengatur kelangsungan hidup melanosit.
Temuan biokimiawi yang penting adalah peningkatan kadar H2O2 di
daerah epidermis yang terkena, yang sebagian disebabkan oleh
berkurangnya kapasitas antioksidan enzimatik keratinosit dan
melanosit. Pertahanan antioksidan yang rusak dapat menyebabkan
melanosit lebih rentan terhadap sitotoksisitas imunologis dan
terhadap sitotoksisitas yang disebabkan oleh spesies oksigen reaktif. 3
d. Neurohormonal
Karena melanosit terbentuk dari neuralcrest, maka diduga faktor
neural berpengaruh. Tirosin adalah substrat untuk pembentukan
melanin dan katekol. Kemungkinan adanya produk intermediate yang
tebentuk selama sintesis katekol yang mempunyai efek merusak
melanosit. Pada beberapa lesi ada gangguan keringat dan pembuluh
darah terhadap respons transmitter saraf, misalnya asetilkolin. 1
e. Autositotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke
DOPA dan DOPA ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi

44
berbagai indol dan radikal bebas. Melanosit pada lesi vitiligo dirusak
oleh penumpukan precursor melanin. Secara in vitro dibuktikan
tirosin, dopa, dan dopakrom merupakan sitotoksik terhadap
melanosit.1

4. Gambaran Klinis
Manifestasi klinis utama vitiligo adalah adanya makula putih susu
yang didapat dengan depigmentasi yang cukup homogen dan batas yang
jelas. Atas dasar distribusi polimorfik, ekstensi, dan sejumlah patch
putih.3
Makula berwarna putih dengan diameter beberapa millimeter
sampai beberapa sentimeter, bulat atau lonjong dengan batas tegas, tanpa
perubahan epidermis yang lain. Kadang terlihat macula hipomelanotik
selain makula apigmentasi.1
Didalam macula vitiligo dapat ditemukan macula dengan
pigmentasi normal atau hiperpigmentasi disebut repigentasi perifolikuler.
Kadang-kdang ditemukan tepi lesi yang meninggi, eritema, dan gatal,
disebut inflamatoar.1
Daerah yang sering terkena adalah bagian ekstensor tulang
terutama diatas jari, periorifisial sekitar mata, mulut, hidung, tibialis
anterior, dan pergelangan tangan bagian fleksor. Lesi bilateral dapat
simetris dan asimetris. Pada area yang terkena trauma dapat timbul
vitiligo Mukosa jarang terkena, kadang-kadang mengenai genital
eksterna, putting susu, bibir, dan ginggiva. 1
Vitiligo sering menunjukkan kecenderungan pada daerah yang
terpapar sinar matahari, lipatan tubuh, dan daerah periorificial, meskipun
bagian tubuh mana pun dapat terpengaruh. Berbagai faktor pencetus
termasuk trauma fisik pada kulit, terbakar sinar matahari, stres
psikologis, peradangan, kehamilan, kontrasepsi, defisiensi vitamin, dan
banyak lainnya. Namun, saat ini tidak ada pemicu lingkungan spesifik
yang terbukti.3

45
Vitiligo dapat muncul di lokasi trauma kulit (fenomena Koebner).
Leukotrichia (depigmentasi rambut dalam makula vitiligo, bisa sangat
bervariasi (10-60%), dan dianggap mengindikasikan kehancuran
reservoir melanosit dalam folikel rambut, oleh karena itu, memprediksi
respons terapi yang buruk. Uban prematur pada rambut dijelaskan pada
hingga 37% pasien dengan vitiligo.3

5. Klasifikasi
Vitiligo diklasifikasikan menjadi lokalisata (fokal, segmental, dan
mukosal), universalis, dan generalisata (akrofasial, vulgaris, campuran)
yaitu:3
a. Lokalisata1
• Fokal : Satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak
segmental
• Segmental : Satu atau lebih macula pada satu area, dengan
distribusi menurut dermatom, misalnya satu
tungkai
• Mukosal : Hanya terdapat pada membran mukosa.
Jarang penderita vitiligo lokalisata yang berubah menjadi
generalisata.1

b. Universalis
Depigmentasi lengkap atau hampir lengkap dari seluruh tubuh.
Merupakan bentuk yang paling parah. Segmental Vitiligo (SV)
dicirikan oleh makula yang memiliki distribusi dermatomal unilateral
yang tidak melewati garis tengah. Ini umumnya mempengaruhi anak-
anak kecil dan biasanya tetap terlokalisasi, lesi yang didepigmentasi
bertahan tidak berubah selama bertahun-tahun. Terjadinya penyakit
autoimun bersamaan lainnya jarang terjadi, dibandingkan dengan
GV.3

46
c. Generalisata
Hampir 90% penderita secara generalisata dan biasanya
simetris. Vitiligo generalisata (GV) dapat dibagi menjadi:1
• Akrofisial : Depigmentasi hanya terjadi di bagian distal
ekstremitas dan muka, merupakan stadium mula
vitiligo yang generalisata.
• Vulgaris : Makula tanpa pola tertentu di banyak tempat.
• Campuran : Depigmentasi terjadi menyeluruh atau hamper
menyeluruh merupakan vitiligo total.

Gambar 11. Vitiligo akrofasial3

Gambar 12. Pola distribusi lesi amelanotik pada vitiligo 5

47
6. Diagnosis
Diagnosis vitiligo ditegakkan terutama berdasarkan anamnesis,
klinis, yang dapat mencakup distribusi dan luasnya lesi.3
a. Anamnesis
Ditanyakan mengenai awitan penyakit; riwayat keluarga tentang
timbulnya lesi dan uban yang timbul dini; riwayat penyakit kelainan
iroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan anemia pernisiosa;
kemungkinan faktor pencetus, misalnya stress, emosi, terbakar surya,
dan pejanan bahan kimiawi; riwayat inflamasi, iritasi, atau ruam kulit
sebelum bercak putih.1

b. Pemeriksaan Laboratorium
Mengingat hubungan antara vitiligo dan penyakit autoimun
lainnya, beberapa tes laboratorium skrining sangat membantu,
termasuk T4 dan kadar hormon TSH, antibodi antinuklear, dan
pemeriksaan darah lengkap. Dokter juga harus mempertimbangkan
pengujian untuk serum antithyroglobulin dan antibodi peroxidase
antithyroid, terutama ketika pasien memiliki tanda dan gejala yang
menunjukkan penyakit tiroid.3
Di bawah lampu Wood, area vitiligo tampak lebih cerah dan
kulit normal tampak lebih gelap daripada ketika diterangi dengan
cahaya ruangan sekitar.3

Gambar 13. A) Pemeriksaan lampu Wood; B) cahaya ruangan3

48
c. Pemeriksaan Histologi
Biopsi kulit jarang diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis
vitiligo. Secara umum, histologi menunjukkan epidermis tanpa
melanosit di daerah lesi, dan terkadang infiltrat limfositik dermal,
perivaskular, dan perifollicular pada tepi lesi vitiligo awal dan lesi
aktif, sejalan dengan proses imun yang diperantarai sel untuk
menghancurkan melanosit in situ. Beberapa laporan menyatakan
bahwa melanosit mungkin tidak pernah sepenuhnya tidak ada pada
epidermis yang mengalami depigmentasi dan bahwa melanosit
residual mempertahankan kemampuan memulihkan fungsinya.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengklarifikasi masalah
yang sangat diperdebatkan ini dengan implikasi terapeutik yang
jelas.3

d. Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi dengan
DOPA menunjukkan tidak adanya tiroinase. Kadar tirosin plasma dan
kulit normal.1

49
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding vitiligo dicantumkan pada tabel berikut. 3
Tabel 9. Diagnosis banding vitiligo3
KONDISI GAMBARAN
Hipomelanosa Inherited • Bercak putih yang stabil dan terbatas (tanpa adanya
Piebaldisme melanosit) mengenai tubuh dan tungkai anterior; white
Waardenburg’s syndrome forelock; autosom dominan.
Tuberous sclerosis • White forelock, makula putih, hipertensi, tuli, ± penyakit
Ito’s hipomelanosis Hirschsprung; gen-autosom dominan atau resesif.
• Makula hipopigmentasi, angiofibroma wajah/periungual,
bercak shagreen; autosom dominan.
• Distribusi linear, makula hipopigmentasi pola unilateral
atau bilateral; sporadis; mosaikisme kromosom atau
genetik.
Penyakit Infeksi • Lesi hipopigmentasi, dimulai dari makula kemerahan
Tinea versicolor dengan sisik halus pada pengikisan dan distribusi
Sifilis sekunder seborheik. Pada pemeriksaan mikologi: hifa dan spora.
Lepra • Patch bulat / oval yang didepigmentasi (postiglammatory
(tuberculoid/borderline) depigmentation) di sekitar leher (kalung Venus), trunk,
tungkai, atau patch depigmentasi dengan hiperpigmentasi
retikuler perifer (lesi primer).
• Tes serologis untuk infeksi treponemal adalah positif.
• Patch yang mengalami depigmentasi dengan presentasi
polimorfik, biasanya disertai dengan anestesi lokal;
histologi: granuloma kulit kompak.
Hipopigmentasi Pasien memiliki riwayat dermatosis yang sudah ada
Pascainflamasi sebelumnya
SLE discoid, skleroderma,
liken sklerosis et atrophicus,
psoriasis
Hipomelanosis Paramaligna • Makula hipomelanotik atau depigmentasi difusa terutama
Mikosis fungoides pada fototipe kulit yang lebih gelap. Patch datar, plak, dan
Melanoma kutaneus tumor. Histologi: infiltrat epidermal dengan sel
Reaksi autoimun mengarah mononuklear.
ke melanoma • Depigmentasi halo di sekitar atau di dalam tumor.
• Depigmentasi pada jarak dari tumor; keberadaan tumor
tidak termasuk vitiligo khas.
Penyakit Idiopatik • Makula yang dibatasi hipopigmentasi, dengan batas tegas
Hipomelanosis gutata dan berukuran kecil. Mereka progresif lambat dan tidak
idiopatik konfluens. Histologi menunjukkan atrofi epidermal dan
Kehilangan pigmen pengurangan kadar melanin.
pascainflamasi • Lesi hipopigmentasi postburn, berbentuk dalam bentuk
luka bakar.
• Reaksi inflamasi hipopigmentasi meninggalkan lesi yang
tidak jelas dan terbatas. Riwayat erupsi/cedera
sebelumnya tidak termasuk vitiligo.
Depigmentasi Akibat Toksin • Depigmentasi mirip-vitiligo umumnya disebabkan oleh

50
Depigmentasi akibat obat paparan pekerjaan secara topikal terhadap turunan
fenolik-katekolik, sering mempengaruhi tangan dan
lengan.
• Disebabkan oleh penggunaan obat sistemik (klorokuin,
fluphenazine, physostigmine, imatinib, atau imiquimod
topikal).

8. Tatalaksana
Prinsip utama terapi vitiligo adalah memfasilitasi repopulasi patch
depigmentasi dari epidermis interfollicular dengan melanosit aktif yang
mampu bermigrasi, bertahan hidup untuk menghuni kembali kulit yang
didepigmentasi, dan melakukan biosintesis melanin. Repigmentasi dapat
terjadi secara spontan dan mungkin juga dipicu dengan terapi.
Repigmentasi spontan tidak dapat diprediksi, seringkali tidak signifikan
secara klinis, dan cenderung tidak dapat diterima secara kosmetik. Ini
terjadi pada kurang dari 50% pasien, paling sering pada pasien yang lebih
muda dan di daerah yang terpapar sinar matahari, di mana sinar matahari
alami dapat bertindak sebagai agen penginduksi. Dalam praktek klinis,
pola repigmentasi yang paling sering dijumpai adalah perifollicular,
meskipun pola lainnya, seperti marginal, difusa, atau gabungan juga
dapat terjadi.3

Tabel 10. Tatalaksana vitiligo3


Terapi Topikal Fisik Sistemik Pembedahan
Lini pertama - Kortikosteroid - NB-UVB
- Penghambat - PUVA
calcineurin sistemik
Lini kedua Calcipotriol - PUVA topikal Kortikosteroid - Graft
- Lasel excimer - Transplant
melanosit

Sumber utama melanosit yang terlibat dalam repopulasi kulit


vitiligo kemungkinan besar adalah prekursor melanosit yang berasal dari
selubung akar luar (ORS) atau area tonjolan folikel rambut. Reservoir
potensial sekunder mungkin terletak di dekat perbatasan lesi. Bagian
tengah dan bawah dari ORS dihuni oleh l-3,4-dihydroxyphenylalanine

51
(DOPA)-negatif, melanosit amelanotic, yang dapat direkrut dari ORS
dari folikel rambut sebagai respons terhadap ultraviolet (UV),
kortikosteroid, atau lainnya rangsangan. Akibatnya, jumlah melanosit
dalam ORS folikel rambut meningkat secara signifikan dan beberapa
menjadi aktif, menunjukkan bahwa prekursor melanosit berkembang biak
dan setidaknya beberapa mengalami pematangan. Melanosit ORS yang
teraktivasi memperoleh semua protein struktural dan enzimatik yang
diperlukan untuk melanogenesis, proliferasi, dan pematangan saat
mereka bermigrasi ke folikel rambut ke epidermis terdekat, tempat
mereka menyebar secara sentrifugasi dan membentuk pulau pigmen
perifollicular. Mereka kemudian menjadi sel yang lebih besar, dengan
aktivitas DOPA oksidase yang kuat.3
Repigmentasi vitiligo dinilai berdasarkan proporsi subjek yang
diobati yang mencapai tingkat repigmentasi tertentu; tergantung pada
penelitian, lebih dari 50% atau lebih dari 75% repigmenasi dapat
dianggap sebagai respons yang baik. Pemeriksaan lampu Wood (UVA)
berguna untuk memantau respons terhadap terapi. Dengan tidak adanya
epidermal melanin yang jika tidak menyerap sebagian besar sinar UVA,
lebih banyak foton mencapai dermis, di mana mereka diserap oleh
kolagen yang kemudian berfluoresensi dan memancarkan cahaya yang
terang. Sebaliknya, panjang gelombang cahaya ruangan ambient yang
terlihat kurang diserap dengan baik oleh melanin dalam epidermis
berpigmen normal daripada panjang gelombang UVA dan tidak
menghasilkan fluoresensi di dermis.3
Strategi pengobatan yang berbeda telah dirancang untuk
menghambat respon imun pada vitiligo, sehingga mengurangi kerusakan
melanosit, dan juga meningkatkan populasi epidermis oleh melanosit,
baik dengan merangsang pemulihan melanosit yang rusak in situ maupun
dengan mengaktifkan kembali melanosit residu atau merangsang
melanosit dalam migrasi dari folikel kulit atau rambut sekitar. Namun,
saat ini belum dipahami dengan jelas sejauh mana pengobatan harus

52
menekan proses autoimun dibandingkan merangsang populasi melanosit
epidermis untuk memberikan hasil yang efektif.3
Terapi radiasi UV termasuk fototerapi dengan narrowband UVB
(NB-UVB — 311 nm) atau broadband UVB (BB-UVB — 290-320 nm),
dan fotokemoterapi. Terapi UV dianggap bertindak sebagai imunodulator
kulit, mengatur aktivitas sitokin inflamasi, penipisan sel Langerhans,
memodulasi aktivitas pengaturan sel T, dan mempolarisasi respon imun
menuju profil Th2, sehingga mengurangi atau menstabilkan proses
depigmentasi pada vitiligo. Selain itu, radiasi UV mengoordinasi
beberapa jalur yang melaluinya sitokin melanogenik menstimulasi
melanogenesis. Selain itu, UV juga dapat menginduksi pelepasan faktor
epidermal yang merangsang proliferasi dan migrasi melanosit, meskipun
spekulasi ini belum terbukti pada lesi vitiligo repigmentasi. Pelepasan
beberapa faktor parakrin yang diproduksi oleh keratinosit yang terpajan
UV yang mengatur fungsi melanosit diperkirakan berada di bawah
pengaruh p53, oleh karena itu studi lebih lanjut diperlukan.3
a. Narrowband Ultraviolet-B (NB-UVB)
Sinar UV narrowband (NB-UVB), dengan emisi puncak pada
311 nm, dianggap sebagai terapi yang paling efektif dan paling aman
untuk vitiligo saat ini, dan dengan merupakan pilihan pengobatan
untuk pasien dengan GV sedang hingga berat. Studi terbaru
mengevaluasi psoralen dan UVA (PUVA) versus NB-UVB
menunjukkan bahwa NB-UVB menghasilkan tingkat repigmentasi
yang lebih tinggi dan pencocokan warna yang lebih baik. NB-UVB
memiliki lebih sedikit efek samping jangka pendek seperti eritema
yang nyeri dan tampaknya memiliki efek samping jangka panjang
yang lebih sedikit seperti penebalan epidermis, atrofi, dan
fotokarsinogenesis daripada PUVA. Beberapa studi klinis telah
melaporkan tingkat repigmentasi yang tinggi (≥75%) pada setidaknya
40% pasien yang diobati dengan NB-UVB.3

53
Protokol NB-UVB yang paling umum pemberian dua kali
seminggu dengan dosis awal tetap 0,21 J/cm2, meningkatkan dosis
sebesar 20% pada setiap sesi sampai dosis eritema minimal (dosis
terendah yang menghasilkan eritema yang terlihat pada kulit yang
mengalami depigmentasi pada 24 jam) telah tercapai. Diperlukan
sekitar 9 bulan terapi untuk mencapai repigmentasi maksimal;
setidaknya 3 bulan perawatan diperlukan sebelum kondisinya
diklasifikasikan sebagai tidak responsif.3
Area yang paling responsif adalah wajah, badan, dan anggota
gerak, sedangkan area yang paling tidak responsif adalah tangan dan
kaki.3

b. Photochemotherapy (PUVA)
Sampai baru-baru ini, PUVA dianggap sebagai terapi andalan
untuk pasien dengan vitiligo luas. PUVA terdiri dari kombinasi
topikal atau oral 8-methoxy-psoralen dengan iradiasi UVA (320-400
nm). Psoralen pilihan yaitu methoxsalen, diberikan dalam dosis oral
0,4 mg/kgBB, 1-2 jam sebelum paparan UVA. Untuk terapi PUVA
topikal, metoksiden 0,1% diberikan pada area vitiligo 30-60 menit
sebelum pajanan terhadap radiasi UV. PUVA topikal diindikasikan
pada pasien yang vitiligonya kurang dari 20% luas permukaan tubuh,
namun luka bakar yang menyakitkan (reaksi fototoksisitas)
sayangnya sulit dihindari.3
Psoralens oral dapat digunakan untuk pasien dengan lesi yang
lebih luas atau pada pasien yang tidak respon terhadap PUVA topikal.
Setelah terapi oral, pasien harus memakai kacamata anti-UVA, dan
mereka juga dianjurkan menggunakan tabir surya spektrum luas dan
memakai pakaian pelindung. Pasien dengan kulit yang lebih gelap
cenderung merespon PUVA dengan lebih baik, mungkin karena
mereka mentolerir paparan PUVA yang lebih tinggi. 3

54
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid topikal mewakili terapi lini pertama untuk
vitiligo lokal, dan sangat dianjurkan untuk lesi wajah atau kecil dan
digunakan pada anak-anak. Keuntungan termasuk kemudahan
mengaplikasikan, tingkat kepatuhan tinggi, dan biaya rendah.
Dibandingkan dengan PUVA, yang mempromosikan pola
repigmentasi perifollicular yang dominan, kortikosteroid topikal
menghasilkan repigmentasi yang lebih luas, lebih cepat tetapi kurang
stabil. Biopsi kulit dengan mikroskop cahaya dan elektron dari daerah
kontrol dan area diterapi steroid menunjukkan repopulasi yang
ditandai oleh melanosit fungsional pada kulit vitiliginosa yang
direpigmentasi. Pada daerah repigmentasi steroid, melanosit muncul
dendritik dan DOPA-positif, dan tidak seperti melanosit dalam
margin pigmen dari daerah vitiligo yang tidak diobati, mengandung
banyak melanosom dengan ukuran dan bentuk normal.3
Kecenderungan saat ini, berdasarkan pada hasil meta-analisis
besar yang mencakup uji coba terkontrol secara acak dari 29 seri
pasien, bahwa kosterosteroid kelas 3 dan 4 adalah yang paling efektif
dalam pengobatan vitiligo lokal. Dengan demikian, lesi yang
terlokalisasi dapat diobati dengan kortikosteroid berfluorinasi yang
berpotensi tinggi (misal salep clobetasol propionate, 0,05%) selama
1-2 bulan. Pengobatan dapat secara bertahap dikurangi ke potensi
kortikosteroid yang lebih rendah (missal krim hidrokortison butirat,
0,1%). Perhatian diperlukan saat menggunakan steroid topikal pada
dan di sekitar kelopak mata, karena penggunaannya dapat
meningkatkan tekanan intraokular dan memperburuk glaukoma.
Kekambuhan vitiligo setelah penghentian pengobatan dan efek
samping yang diinduksi kortikosteroid (seperti atrofi kulit,
telangiektasis, striae, dan, jarang, dermatitis kontak) adalah faktor
pembatas. Terapi kombinasi (kortikosteroid + UVB, kortikosteroid +
inhibitor kalsineurin, kortikosteroid + analog vitamin D) mungkin

55
bermanfaat dalam beberapa kasus, karena dua agen bersama-sama
dapat bertindak secara sinergis dalam pengembalian pigmen dan
penekanan imunitas, pada dosis yang lebih rendah, sehingga
berpotensi meminimalkan efek samping secara keseluruhan. 3
Kortikosteroid sistemik telah digunakan untuk waktu singkat
dalam menghentikan penyebaran depigmentasi yang cepat pada
beberapa kasus GV.3

d. Dihydroxyacetone (DHA)
Ketika treatment kosmetik korektif gagal, penggunaan DHA
(dihydroxyacetone 1,3 dihydroxydimethylcetone) atau
dermopigmentasi (terutama untuk daerah puting dan daerah mukosa)
cukup efektif.6

e. Inhibitor Calcineurin
Inhibitor calcineurin efektif dalam terapi vitiligo karena
kemampuannya untuk memulihkan jaringan sitokin yang terganggu.
Tacrolimus telah terbukti menghambat aktivasi sel T dengan
menurunkan regulasi transkripsi gen yang mengkode sitokin
proinflamasi IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, interferon-γ (IFN-γ), tumor
necrosis factor-α (TNF- α), dan faktor stimulasi koloni granulosit
makrofag (GM-CSF) dalam sel T. Selain itu, efek langsung
tacrolimus pada pertumbuhan melanosit dan migrasi selama
repigmentasi telah dilaporkan. Inhibitor calsineurin topikal (misalnya
salep tacrolimus 0,03-0,1%, salep pimekrolimus 1%) umumnya lebih
disukai untuk mengobati lesi vitiligo lokal pada wajah. dan leher, dan
tampaknya lebih efektif dalam kombinasi dengan radiasi UV yang
disampaikan oleh perangkat UVB yang lancar. Meskipun beberapa
laporan telah menekankan manfaat penghambat kalsineurin (cara
kerja selektif, tidak adanya atrofi kulit, dan penyerapan sistemik),
diperlukan studi tambahan tentang efektivitasnya, serta informasi

56
lebih lanjut tentang kemungkinan risiko kanker kutaneus dan
ekstrakutaneus.3

f. Turunan Vitamin D Topikal


Analog vitamin D seperti salep kalsipotriol (0,005%) dan salep
tacalcitol (20 μg/g) memulihkan pigmen pada vitiligo dengan
menginduksi imunosupresi kulit, yang menghentikan proses
autoimun lokal, dan melalui aktivasi langsung prekursor melanositik
dan jalur melanogenik. Beberapa penelitian melaporkan repigmentasi
yang lebih efisien ketika analog vitamin D digunakan dalam terapi
kombinasi, mungkin karena stimulasi proses repopulasi yang lebih
kompleks, menargetkan pertumbuhan melanosit (dengan
kortikoterapi atau UV) dan diferensiasi (dengan analog vitamin D).
Turunan vitamin D diindikasikan untuk digunakan pada penyakit
lokal; manfaatnya termasuk kurangnya atrofi kulit dan aplikasi yang
mudah. Namun, peranannya dalam pengobatan vitiligo masih
kontroversial; sedangkan beberapa penelitian telah melaporkan
manfaat yang besar, meskipun yang lain menemukan analog vitamin
D tidak efektif.3

g. Pseudokatalase
Pseudokatalase telah digunakan untuk menyusun kembali
aktivitas defisiensi katalase dalam vitiligo epidermis, menurunkan
H2O2 yang berlebih dan memungkinkan pemulihan aktivitas enzim
pada vitiligo. Monoterapi pseudokatalase atau kombinasi dengan NB-
UVB telah menunjukkan efektivitas yang jelas dalam repigmentasi
dan mencegah berkembangnya penyakit dalam uji coba yang tidak
terkontrol, sementara dalam penelitian lain tidak menunjukkan
manfaat secara substansial. Oleh karena itu, efeknya pada vitiligo
perlu divalidasi lebih lanjut.3

57
h. Terapi Laser
Narrowband-UVB excimer laser (XeCl) dan monochromatic
excimer light (MEL) saat ini digunakan untuk pengobatan vitiligo
lokal. Ini serupa dengan perawatan NB-UVB klasik, dengan
keuntungannya yaitu efek samping yang lebih sedikit karena hanya
satu lesi yang diobati pada satu waktu. Perawatan ini menghasilkan
hasil estetika yang optimal, dengan sedikit perbedaan antara kulit
normal dan yang terkena. XeCl memiliki emisi sinar laser
monokromatik yang koheren, sedangkan perangkat MEL dapat
menghasilkan dan secara selektif menghasilkan cahaya UVB 308-nm.
Tidak ada data untuk berisiko kanker dan efek samping jangka
panjang lainnya; oleh karena itu, diperlukan kehati-hatian.3

i. Terapi Pembedahan
Pembedahan merupakan pilihan yang baik untuk vitiligo lokal
atau segmental yang stabil paling tidak selama 3 tahun. 6 Graft kulit
autolog merupakan pilihan untuk repigmentasi hanya pada pasien
dengan vitiligo stabil yang refraktori atau hanya sebagian yang
responsif terhadap terapi pengobatan, dan secara umum terbatas
dalam cakupannya (kurang dari 3% dari luas permukaan tubuh). Efek
samping yang paling sering adalah infeksi, hiperpigmentasi
postinflamasi, repigmentasi yang tidak estetik, berbenjol, dan
menghasilkan jaringan parut. Terapi sinar-UV umumnya
mempercepat dan meningkatkan repigmentasi bila dikombinasikan
dengan metode pembedahan.3
Pendekatan graft kulit autologous dapat dikategorikan ke dalam
lima kelompok utama. Yang perlu diperhatikan, di Amerika Serikat,
prosedur apa pun di mana sel dimanipulasi (missal dikultur) harus
dilakukan dalam fasilitas praktik manufaktur yang baik (GMP).3

58
• Suspensi Epidermal Nonkultural
Teknik ini dilakukan dengan mencangkokkan suspensi nonkultur
yang mengandung keratinosit dan melanosit; suspensi diperoleh
dengan pencernaan trypsin 0,25% dari selembar tipis kulit donor
dan disuntikkan ke dalam bula meninggi melalui cairan nitrogen
yang beku. Keuntungan dari metode ini adalah tidak adanya
jaringan parut jika situs penerima dan pendonor dimanipulasi
dengan hati-hati.3

Gambar 14. Perbandingan lesi vitiligo 2 bulan setelah graft suspensi epidermal6

• Graft Dermal – Epidermal


Graft dilakukan pada kedalaman 0,1-0,3 mm, ditempatkan
langsung pada daerah abrasi penerima di sebelahnya, dan
diamankan menggunakan pembalut bedah dengan tekanan ringan
selama 1 minggu. Repigmentasi terjadi selama minggu-minggu
berikutnya. Hasil yang baik telah dilaporkan pada punggung
tangan dan jari.3
• Minigrafting
Minigrafting merupakan metode pembedahan yang paling umum
digunakan saat ini untuk repigmentasi vitiligo. Banyak perforasi
dibuat di lokasi penerima menggunakan penekanan 1,0-1,2-mm
terpisah 3–4 mm satu sama lain. Selanjutnya, minigraft dipanen
dari situs pendonor menggunakan penekanan yang sama dan
dipindahkan ke situs penerima dengan forsep halus atau jarum

59
hipodermik. Repigmentasi terjadi di sekitar setiap minigraft
hingga 2-5 mm dengan penggabungan pigmen yang menyebar.
Hasil yang baik dicapai pada pasien dengan leukoderma refraktori
pada bibir, meskipun risiko benjolan tampaknya tinggi.
Keuntungan dari metode ini adalah mudah dilakukan.3
• Grafting Epidermal
Graft dipanen pada tekanan negatif menggunakan perangkat isap
yang berbeda, lokasi donor yang sering digunakan adalah bagian
paha dalam dan fleksor lengan bawah. Lokasi penerima disiapkan
dengan mengeluarkan epidermis menggunakan nitrogen cair beku
atau dermabrasi superfisial atau ablasi laser. Graft epidermal telah
berhasil digunakan untuk vitiligo bibir. Keuntungan utama adalah
tidak adanya jaringan parut di lokasi pendonor dan penerima.3

j. Terapi suportif psikologis


Dampak vitiligo terhadap kualitas hidup cukup parah pada
kebanyakan individu yang terkena, dan sangat penting bagi dokter
untuk mengenali kondisi ini dan memenuhi kebutuhan psikologis
pasien. Meskipun pengobatan yang benar-benar efektif belum
tersedia, selalu ada sesuatu yang bermanfaat yang dapat dilakukan
untuk pasien vitiligo. Mereka pertama-tama perlu tahu mengenai
gangguan kulit mereka. Menjelaskan sifat dari proses penyakit
tersebut, potensi serta batasan terapi yang tersedia merupakan hal
yang penting dan lebih produktif daripada sikap fatalistik bahwa tidak
ada obat dan vitiligo "hanya" gangguan kosmetik. Bahkan membantu
pasien untuk menyembunyikan kondisi tersebut sehingga tidak
terlihat dapat menjadi bagian dari rencana terapi. Memanfaatkan
kelompok pendukung dan, jika diindikasikan, konseling psikologis
merupakan terapi tambahan yang penting. 5

60
9. Prognosis
Perjalanan klinis dari setiap kasus GV tertentu tidak dapat
diprediksi, tetapi secara bertahap bersifat progresif dan sulit dikendalikan
dengan terapi. Kadang-kadang lesi menyebar dari waktu ke waktu,
sedangkan dalam kasus lain aktivitas penyakit berhenti, bertahan dalam
status stabil untuk jangka waktu yang lama. Beberapa parameter klinis
seperti durasi penyakit yang lama, terjadinya fenomena Koebner,
leukotrichia, dan keterlibatan mukosa telah disarankan sebagai indikator
prognosis yang relatif buruk.3

61
D. TINEA CORPORIS
1. Definisi
Tinea corporis merupakan dermatofitosis apa pun pada kulit yang
berlemak, yaitu pada wajah yang tidak berambut, leher, badan,
ekstremitas sampai pergelangan tangan/kaki, kecuali telapak tangan,
telapak kaki, dan selangkangan.1,3

2. Epidemiologi
Tinea corporis terdapat di seluruh dunia, namun lebih banyak pada
daerah beriklim panas dan basah. Semua dermatofita dapat menyebabkan
tinea corporis.2 Tinea corporis biasanya terbatas hanya pada stratum
korneum. Tinea corporis dapat ditularkan langsung dari manusia ke
manusia (termasuk autoinokulasi dari kaki atau kepala), hewan yang
terinfeksi ke manusia melalui gigitan atau dari tanah ke manusia.5 Anak-
anak lebih mungkin untuk tertular patogen zoophilic, terutama M. canis,
yang berasal dari anjing atau kucing. Pakaian yang tidak menyerap
keringat dan iklim lembab dikaitkan dengan erupsi yang lebih sering dan
parah. Menggunakan pakaian yang tidak menyerap keringat, kontak
kulit-ke-kulit yang sering, dan trauma ringan seperti gulat menciptakan
lingkungan di mana dermatofita berkembang dengan baik. "Tinea
corporis gladiatorum" disebabkan paling umum oleh T. tonsurans, dan
itu paling sering terjadi pada daerah kepala, leher, dan lengan.3

Tabel 11. Tipe dermatofita berdasarkan jenis transmisi5


Kategori Jenis transmisi Gambaran klinis khas
Antropophilic Manusia ke manusia Non inflamasi hingga inflamasi
ringan, kronis
Zoophilic Hewan ke manusia Inflamasi intens (pustule dan vesikel),
akut
Geophilic Tanah ke manusia/hewan Inflamasi moderate

62
3. Etiologi
Walaupun ada dermatofita yang dapat menyebabkan tinea korporis,
yang paling sering disebabkan oleh T. rubrum. T. rubrum juga
merupakan kandidat yang paling mungkin dalam kasus-kasus dengan
keterlibatan folikuler secara bersamaan.3
Epidermophyton floccosum, T. interdigitale (strain antropofilik dan
zoofilik), M. canis, dan T. Tonsurans juga merupakan patogen yang
umumnya menginfeksi. Tinea imbricata, yang disebabkan oleh T.
concentricum, terbatas secara geografis di daerah Timur, Pasifik Selatan,
dan Amerika Selatan dan Tengah.3

4. Gambaran Klinis
Distribusi tinea corporis bertedensi asimetris dengan masa periode
inkubasi 1-3 minggu, dimulai dari satu atau lebih papul yang berskuama.
Papul tersebut meluas dan bergabung satu dengan lainnya membentuk
plak berskuama. Bagian tengah plak bertendensi untuk menyembuh
(central healing), menghasilkan lesi yang berbentuk annular berbatas
tegas. Bagian tepi tampak lebih aktif, dimana tampak lebih eritem, lebih
banyak skuama, papul, vesikel, pustule sehingga disebut ring worm. Jika
beberapa lesi bergabung, maka akan menghasilkan lesi dengan
konfigurasi polisiklik.2,5 Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat
garukan.1 Bentuk cincin vesikel konsentris menunjukkan tinea incognito,
yang sering disebabkan oleh T. rubrum, cincin konsentris eritematosa
pada tinea imbricata menunjukkan sedikit atau tidak adanya vesikel.
Infeksi T. rubrum juga dapat muncul sebagai plak polisiklik atau
psoriasiform yang besar, konfluens, terutama pada individu yang
mengalami imunosupresi.3

63
Gambar 15. Lesi anular dengan tepi papul berskuama halus5

Pada tinea corporis yang menahun, tanda radang mendadak


biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut sebagai tinea corporis et cruris atau sebaliknya. 3
Granuloma Majocchi adalah infeksi dermatofitik superfisial dan
subkutan yang melibatkan bagian yang lebih dalam dari folikel rambut
yang muncul dengan gambaran papul dan nodul folikel berskuama yang
menyatu secara annular. Biasanya disebabkan oleh T. rubrum, T.
interdigitale, dan M. canis. Granuloma Majocchi terlihata pada kaki pada
wanita yang terinokulasi setelah bercukur atau yang menggunakan
kortikosteroid topikal pada area yang terkena, yang memfasilitasi
terjadinya infeksi. Hal ini semakin meningkat pada pasien
immunocompromised.3

5. Diagnosis
Diagnosis tinea corporis dibangun atas dasar gambaran klinis yang
khas yaitu memberi gambaran polisiklik dan bagian tepi yang lebih aktif,
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratorium dengan bahan dari
kerokan skuama terutama dari tepi lesi yang lebih aktif dengan pulasan
menggunakan larutan KOH 10-20% seperti pada tinea kapitis. Gambaran
mikroskopis berupa hifa panjang bersekat. Pemeriksaan lampu Wood
menunjukkan warna kuning kehijauan.2

64
Gambar 16. Gambaran mikroskopis pada T. rubrum3

6. Diagnosis Banding
Penyakit yang paling mirip antara lain erythema annular
centrifugum, ekzem numular, psoriasis, tinea versikolor, lupus
erythematosus kulit subakut, kandidiasis kulit. Penyakit yang
dipertimbangan antara lain dermatitis kontak, dermatitis atopik, pityriasis
rosea, dan dermatitis seboroik.3

7. Tatalaksana
Untuk plak yang terisolasi pada kulit glabrous, pemberian
allylamines topikal, imidazole, tolnaftate, butenafine, atau ciclopirox
cukup efektif. Sebagian besar diberikan dua kali sehari selama 2-4
minggu. Pemberian antijamur oral untuk erupsi yang meluas. Studi
perbandingan pada orang dewasa menunjukkan bahwa terbinafine 250
mg setiap hari selama 2-4 minggu, itrakonazol 200 mg setiap hari selama
1 minggu, dan flukonazol 150-300 mg setiap minggu selama 4-6 minggu
lebih disukai daripada pemberian griseofulvin 500 mg setiap hari sampai
penyembuhan tercapai. Regimen yang aman dan efektif untuk anak-anak
termasuk terbinafine 3–6 mg/kg/hari selama 2 minggu, itrakonazol 5
mg/kg/hari selama 1 minggu, dan griseofulvin ultramicrosize 10-20
mg/kg/hari hingga 2-4 minggu.3

65
E. PITIRIASIS ALBA
1. Definisi
Pitiriasis alba merupakan kondisi jinak yang umum terjadi pada
anak-anak dan remaja dan mempengaruhi terutama daerah kepala dan
leher.3

2. Epidemiologi
Meskipun penyakit ini lebih terlihat pada jenis kulit yang lebih
gelap, tidak ada kecenderungan terhadap jenis kelamin atau jenis kulit.3

3. Etiologi dan Patogenesis


Etiologi dan patogenesisnya masih kurang dipahami. Menurut
pendapat ahli diduga adanya infeksi Streptococcus, tetapi belum dapat
dibuktikan. Atas dasar riwayat penyakit dan distribusi lesi diduga
impetigo dapat merupakan faktor pencetus. Pitiriasis alba juga
merupakan manifestasi dermatitis non spesifik, yang belum diketahui
penyebabnya. Pitiriasis alba secara luas diketahui termasuk dermatitis
atopik ringan. Paparan sinar matahari yang tidak terlindungi, sering
mandi, dan mandi air panas sangat terkait dengan perkembangan
pitiriasis alba. Kadar tembaga serum yang rendah, kofaktor tirosinase,
juga berperan dalam patogenesis kondisi ini.3

4. Gambaran Klinis
Pitiriasis alba muncul sebagai bercak merah muda dengan batas
meninggi, memudar setelah beberapa minggu hingga tempat pucat
ditutupi skuama putih berserbuk. Lesi berkembang menjadi makula
hipopigmentasi tanpa skuama yang bertahan selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Tiga tahapan tersebut dapat terjadi secara bersamaan.3
Lesi memiliki ukuran yang bervariasi antara 0.5 – 3 cm, namun ukuran
lesi yang lebih besar juga dapat terjadi. Wajah, khususnya regio malar,

66
merupakan lokasi yang sering terkena. Terkadang lesi ini terlihat di leher,
badan dan ekstremitas.5

Gambar 17. Pitiriasis alba3

Secara histologis, terdapat pigmen yang sangat berkurang pada


epidermis kulit, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan dalam jumlah
melanosit yang ditemukan antara lesi dan kulit normal. Secara
ultrastruktural, perubahan degeneratif pada melanosit dan berkurangnya
jumlah melanosit dalam keratinosit terlihat. Pitiriasis alba luas sering
juga melibatkan tubuh bagian inferior secara simetris. Kurangnya fase
inflamasi sebelumnya dan spongiosis membedakan pitiriasis alba yang
luas dari bentuk klasik. Bentuk pitiriasis alba khusus ini mungkin lap
dengan progresif macular hypomelanosis (PMH), suatu kondisi yang
terutama pada wanita dewasa muda, ditandai dengan hipopigmentasi
yang relaps, patch tidak berskuama yang mengenai punggung, terutama
setelah musim panas.3
Pitiriasis alba berpigmen adalah varian yang berhubungan pitiriasis
alba klasik dengan infeksi dermatofit superfisial, hampir selalu
mempengaruhi wajah. Secara klinis ditandai dengan hiperpigmentasi
kebiruan, yang disebabkan oleh deposit melanin pada dermis yang
dikelilingi oleh area berskuama yang hipopigmentasi. Sepertiga pasien
memiliki pitiriasis alba klasik bersamaan.3

67
5. Diagnosis
Berdasarkan umur, skuama halus, dan distribusi lesi.

6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding meliputi segala bentuk hipopigmentasi lokal, terutama
kondisi kulit inflamasi yang terkait dengan hipopigmentasi
pascainflamasi, seperti psoriasis, tetapi juga dibandingkan dengan infeksi
jamur, nevus depigmentosus, nevus anemypus, tuberous sclerosis,
mikosis fungoides (MF), atau vitiligo.3

7. Tatalaksana
Penyakit ini sembuh dengan sendirinya dan pengobatan seringkali
tidak sepenuhnya berhasil. Steroid dan emolien topikal sangat membantu.
Tretinoin topikal juga menunjukkan keefektifan, tetapi mungkin
mengiritasi. Pitiriasis alba ekstensif dan pitiriasis alba berpigmen juga
masing-masing merespons terapi UV dan antijamur oral. Langkah-
langkah yang mendukung seperti mengurangi paparan sinar matahari,
penggunaan tabir surya, dan mengurangi keseringan mandi dan
pengaturan suhu mandi harus direkomendasikan. Patogenesis hilangnya
pigmen masih tidak jelas.3

8. Prognosis
Meskipun bercak hipomelanosis sering tetap ada dan tidak berubah
selama beberapa tahun, mereka biasanya (tetapi tidak selalu) secara
spontan akan hilang setelah pubertas.5

68
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah N, Aisyah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi


ke-6. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
2. Kartowigno S. Sepuluh Besar Kelompok Penyakit Kulit. Edisi ke-2.
Palembang: FK Unsri. 2013.
3. Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8 th ed. New York: McGraw
Hill. 2012.
4. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian
Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2012.
5. Bolognia JL, Joseph LJ, Julie VS. Dermatology. 3rd ed. China: Elsevier.
2012.
6. Baran R, Howard IM. Textbook of Cosmetic Dermatology. 5 th ed. New
York: CRC Press. 2017.

69

Anda mungkin juga menyukai