Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang secara primer menyerang saraf
tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem
retikuloendotel, mata, otot, tulang, dan testis.Penyebab kusta adalah Mycobacterium
Leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan
penyebab baru yaitu Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan
penyakit yang tidak dapat sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980 dimana
program Multi Drug Treatment (MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat didiagnosis
dan diterapi. Pengobatan Kusta pada wanita hamil dan anak-anak harus sangat di
perhatikan. Baik dari dosis sampai pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari
efek samping yang tidak di kehendaki.

1.2 Tujuan dan Manfaat

Dalam menyusun referat ini, penulis memiliki tujuan-tujuan yang diharapkan


dapat tercapai, sebagai berikut Bagi penulis Melalui penyusunan referat ini, penulis
berharap mampu menerapkan ilmu-ilmu yang dimiliki dan menambah bekal
pengetahuan yang dapat berguna kelak dalam memasuki dunia kerja di masa depan.

Manfaat yang diharapkan adalah agar bagi penulis maupun pembaca lebih
memahami mengenai proses terjadinya penyakit morbus hansen, penyebab,
klasifikasi, dan pengobatan yang tepat dan rasional terlebih pengobatan lepra pada
ibu hamil dan anak-anak.

1
BAB II
PEMBAHASAN

I. DEFINISI :
Kusta atau morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf
perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian
atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1

II. EPIDEMIOLOGI:
Masalah epidemiologi masih belim terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. 1

Masa tunas nya sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun,


umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. 1

Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35
tahun. Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama. 2

III. ETIOLOGI:
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G.A.HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia 1 .Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 -8μm x 0,5μm, bersifat tahan asam dan alkohol.Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di
sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response , yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik. 3

2
Sumber : http://www.ciriscience.org/ph_130-
Mycobacterium_leprae_Copyright_Dennis_Kunkel_Microscopy

IV. PATOFISIOLOGI: 3
Sebenarnya M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang
rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan
antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon
imun yang berbeda yang memicu timbulnya reaksi granuloma setempat atau
menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu penyakit
kusta dapat disebut penyakit imunologik.

Kusta bukanlah penyakit yang sangat menular. Sarana utama penularan


adalah dengan penyebaran aerosol dari sekret hidung yang terinfeksi pada mukosa
hidung dan mulut terbuka. Kusta tidak umumnya menyebar melalui kontak
langsung melalui kulit utuh, meskipun kontak dekat adalah yang paling rentan.

Masa inkubasi kusta adalah 6 bulan sampai 40 tahun atau lebih. Masa
inkubasi rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan 10 tahun untuk kusta
lepromatosa.

Daerah yang paling sering terkena kusta adalah saraf perifer dangkal, kulit,
selaput lendir saluran pernapasan bagian atas, ruang anterior dari mata, dan testis.
Daerah-daerah tersebut cenderung bagian dingin dari tubuh. Kerusakan jaringan
tergantung pada sejauh mana imunitas diperantarai sel diungkapkan, jenis dan

3
luasnya penyebaran bacillary dan perkalian, penampilan yang merusak jaringan
komplikasi imunologi (yaitu, reaksi lepra), dan pengembangan kerusakan saraf dan
gejala sisa.

M. leprae adalah bakteri intraseluler obligat, asam-cepat, gram positif basil


dengan afinitas untuk makrofag dan sel Schwann. Untuk sel Schwann pada
khususnya, mengikat mikobakteri ke domain G dari rantai alpha laminin-2 (hanya
ditemukan di saraf perifer) dalam lamina basal. Replikasi lambat mereka dalam sel
Schwann akhirnya merangsang respon kekebalan yang dimediasi sel, yang
menciptakan reaksi peradangan kronis. Akibatnya, pembengkakan terjadi di
perineurium, menyebabkan iskemia, fibrosis, dan kematian aksonal.

Urutan genom M leprae hanya selesai dalam beberapa tahun terakhir. Satu
penemuan penting adalah bahwa meskipun itu tergantung pada host untuk
metabolisme, mikroorganisme mempertahankan gen untuk pembentukan dinding
sel mikobakteri. Komponen dinding sel merangsang antibodi immunoglobulin M
dan tuan diperantarai sel respon imun, sementara juga moderator kemampuan
bakterisidal makrofag.

Kekuatan dari sistem kekebalan inang mempengaruhi bentuk klinis dari


penyakit ini. Kuat diperantarai sel imunitas (interferon-gamma, interleukin [IL] -2)
dan hasil respon yang lemah humoral dalam bentuk ringan dari penyakit, dengan
terdefinisi dengan baik saraf yang terlibat dan beban bakteri yang lebih rendah.
Sebuah respon humoral yang kuat (IL-4, IL-10), tetapi hasil kekebalan yang relatif
tidak ada sel-dimediasi pada kusta lepromatosa, dengan lesi luas, kulit yang luas
dan keterlibatan saraf, dan beban bakteri tinggi. Oleh karena itu, spektrum penyakit
yang ada seperti yang diperantarai sel imunitas mendominasi dalam bentuk ringan
kusta dan menurun dengan meningkatnya keparahan klinis. Sementara itu,
kekebalan humoral relatif tidak ada pada penyakit ringan dan meningkat dengan
tingkat keparahan penyakit.

4
Toll-like receptors (TLRs) juga mungkin memainkan peran dalam
patogenesis kusta . M leprae mengaktifkan TLR2 dan TLR1, yang ditemukan pada
permukaan sel Schwann, terutama dengan kusta tuberkuloid. Meskipun ini
pertahanan kekebalan yang dimediasi sel yang paling aktif dalam bentuk ringan dari
kusta, juga mungkin bertanggung jawab untuk aktivasi gen apoptosis dan,
akibatnya, timbulnya bergegas kerusakan saraf ditemukan pada orang dengan
penyakit ringan. Alpha-2 reseptor laminin ditemukan dalam lamina basal sel
Schwann juga merupakan target masuk untuk M leprae ke dalam sel, sedangkan
aktivasi dari jalur erbB2 reseptor tirosin kinase signaling telah diidentifikasi sebagai
mediator dari demielinasi pada kusta .

Aktivasi makrofag dan sel dendritik, baik antigen-penyajian sel, terlibat


dalam respon kekebalan host terhadap M leprae. IL-1beta diproduksi oleh antigen-
penyajian sel yang terinfeksi oleh mycobacteria telah ditunjukkan untuk merusak
pematangan dan fungsi sel dendritik. [5] Karena basil telah ditemukan dalam
endotelium kulit, jaringan saraf, dan mukosa hidung, sel-sel endotel juga berpikir
untuk berkontribusi pada patogenesis kusta. Jalur lain dimanfaatkan oleh M leprae
adalah jalur ubiquitin-proteasome, dengan menyebabkan apoptosis sel kekebalan
tubuh dan tumor necrosis factor (TNF) -alpha/IL-10 sekresi.

Sebuah peningkatan mendadak dalam T-sel kekebalan bertanggung jawab


untuk tipe I reaksi reversal. Ketik II hasil reaksi dari aktivasi TNF-alpha dan
pengendapan kompleks imun pada jaringan dengan infiltrasi neutrophilic dan dari
aktivasi komplemen pada organ. Satu studi menemukan bahwa siklooksigenase 2
diungkapkan di microvessels, berkas saraf, dan serat saraf terisolasi dalam dermis
dan subcutis selama reaksi reversal.

Bila basil M.leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala
klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada
system imunitas seluler (SIS) penderita. SIS baik akan tampak gambaran klinis
kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. 1

5
Patofisiologi Lepra , sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589.full

Patogenesis Kerusakan Saraf pada Pasien Kusta:

Sumber : http://mmbr.asm.org/content/74/4/589/F2.expansion.html

V. KLASIFIKASI:

Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada


penyakit lepra yang terdiri berbagai tipe, yaitu :
TT : tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : tuberkuloid indefinite
BT : borderline tuberculoid
BB : Mid borderline
Bl : borderline lepromatous
Li : lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang


stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa
polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe

6
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa.
BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih
banyak tuberkuloidnya, sedangkan BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-
tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT
maupun ke arah LL.
Menurut WHO (1981), lepra dibahi 2 menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks
bakteri (IB) lebih dari 2+, yaitu tipe LL,BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-
Joping. Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari 2+, yaitu
tipe TT,BT, dan I. 1

Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan.


Yang dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada
pemeriksaan kulit, yaitu tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua
penderita kusta tipe BB,BL,LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA
positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB. 1
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 ) 1

PB MB
1. Lesi kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi
(makula datar, papul - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi lebih
yang meninggi, nodus) - Distribusi tidak simetris simetris
- Hilangnya sensasi jelas - Hilangnya sensasi
kurang jelas
2. Kerusakan saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak cabang
(menyebabkan saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 1

7
Sifat Lepromatosa (LL) Borderline Mid Borderline
Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
 Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrat difus Plakat Dome-shape (kubah)
Papul Papul Punched-out
Nodus
 Jumlah Tidak terhitung, praktis Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
tidak ada kulit sehat masih ada kulit sehat sehat jelas ada
 Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
 Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
berkilat
 Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
 Anestesia Biasanya tidak jelas Tak jelas Lebih jelas
BTA
 Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
 Sekret Banyak (ada globus) Biasanya negatif Negatif
hidung
Tes Lepromin Negatif Negatif Negatif

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 1

Karakteristik Tuberkuloid Borderline Indeterminate (I)


(TT) Tuberculoid (BT)
Lesi
 Tipe Makula ; makula Makula dibatasi Hanya Infiltrat
dibatasi infiltrat infiltrat saja; infiltrat
saja
 Jumlah Satu atau dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan lesi satelit
 Distribusi Terlokalisasi & Asimetris Bervariasi
asimetris
 Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus agak
berkilat
 Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau dapat
tidak jelas
 Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai tidak
jelas
BTA
 lesi kulit Hampir selalu Negatif atau hanya 1+ Biasanya negatif
negatif
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif lemah atau
negatif

8
VI. DASAR DIAGNOSIS
VI.1 Gejala klinis
Masa inkubasinya 2 – 40 tahun (rata-rata 5 – 7 tahun). Onset terjadinya perlahan-
lahan dan tidak ada rasa nyeri. Pertama kali mengenai system saraf perifer dengan
parestesi dan baal yang persisten atau rekuren tanpa terlihat
adanya gejala klinis. Pada stadium ini mungkin terdapat erupsi kulit berupa macula dan
bula yang bersifat sementara. Keterlibatan sistem saraf menyebabkan kelemahan otot,
atrofi otot, nyeri neuritik yang berat, dan kontraktur tangan dan kaki.

Gejala prodromal yang dapat timbul kadang tidak dikenali sampai lesi erupsi ke
kutan terjadi. 90% psien biasanya mengalami keluhan pada pertama kalinya adalah rasa
baal, hilangnya sensori suhu sehingga tidak dapat membedakan panas dengan dingin.
Selanjutnya, sensasi raba dan nyeri, terutama dialami pada tangan dan kaki, sehingga
dapat terjadi kompliksi ulkus atau terbakar pada ekstremitasyang baal tersebut. Bagian
tubuh lain yang dapat terkena kusta adalah daerah yang dingin, yaitu daerah mata, testis,
dagu, cuoing hidung, daun telinga, dan lutut.

Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa


o pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia
posterior, radial kutaneus,
o Kerusakan sensorik pada lesi kulit
o Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati,
kerusakan sensorik dan motorik, serta kontraktur
o Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove
o Acral distal symmethric anesthesia
(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba)

VI.2 Pemeriksaan fisik 4


1.Tuberculoid Leprosy (TT, BT)
Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambran batas yang tegas. Mengenai kulit

9
maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula
atau plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau central
clearing.Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat disertai
penebalan saraf tepi yang biasanya teraba. Kuman BTA negatif merupakan tanda
terdapatnya respon imun yang adekuat terhadap kuman kusta. Pada BT,
tidak dapat sembuh spontan, Lesi menyerupai tipe TT namun dapat disertai lesi
satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi,kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas TT. Gangguan saraf
tidak berat dan asimetris.

Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular

10
Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy Borderline Tuberculoid Leprosy,
gambaran anular inkomplit dengan papul satelit

2. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut
juga bentuk dimorfik. Lesi kulit berbentuk antara tuberculoid dan
lepromatous.Terdiridari macula infiltratif, mengkilap, batas lesi kurang tegas,
jumlah banyak melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi bervariasi, dapat
perbentuk punch out yang khas. Pada tipe ini terjadi anestesia dan berkurangnya
keringat.

Lesi Kulit pada Borderline BB Leprosy

3. Lepromatous Leprosy

11
Tipe BL, secara klasik lesi dimulai dengan makula, awalnya sedikit
dengancepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih bervariasi bentuknya.Distr
-ibusi lesi hampir simetris. Lesi innfiltrat, dan plak seperti punched out. Tanda-
tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,hipopigmentasi, berkurangnya
keringat dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul. Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi.
Tipe LL,jumlah lesi sangat banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm,
simetris,permukaan halus, lebih eritematous, berkilap, berbatas tidak tegas dan
pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Ditemukan juga lesi
Dematofibroma-like multipel, batas tegas, nodul,
eritem.Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif membentuk
facies leonine. Kerusakan saraf menyebabkan gejala stocking and glove
anesthesia

Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy

Deformitas pada kusta


Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas
primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap
M.Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa
traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah.

12
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas
terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. 1

Gejala-gejala kerusakan pada saraf :


1. N.ulnaris

◦ Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

◦ Clawing kelingking dan jari manis

◦ Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis


medial

2. N. medianus

◦ Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah

◦ Tidak mampu aduksi ibu jari

◦ Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

◦ Ibu jari kontraktur

◦ Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

3. N. radialis

◦ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

◦ Tangan gantung (wrist drop)

◦ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

4. N. poplitea lateralis

◦ Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

◦ Kaki gantung (foot drop)

◦ Kelemahan otot peroneus

5. N. tibialis posterior

13
◦ Anestesia telapak kaki

◦ Claw toes

◦ Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

6. N. fasialis

◦ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

◦ Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan


ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

7. N. trigeminus

◦ Anestesia kulit wajah, kornea,


dan konjungtiva mata

Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan
mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat
paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya, mengakibatkan
lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian-bagian mata lainnya.
Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. 1

Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat,
kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada
tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal
dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis. 1

Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan
adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif
tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. 1

14
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang dorman aktif
kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun
pemberiannya,disebut juga resisten sekunder. 1

Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan


sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama
karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer. 1

Pemeriksaan saraf tepi 4


a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya
saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti
kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat,
lunak, dan nyeri atau tidaknya.
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah
lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.

15
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.

Pemeriksaan Fungsi Saraf 4


a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit
pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat,
kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan
mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan
dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,
kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan
seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air
dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara
acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin.
b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit
kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis,
dan n. peroneus4

VI.3 Pemeriksaan Penunjang

16
1. Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada
seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil
M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling
padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6
tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling
aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping
telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada
cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae1.

Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah


sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah
solid dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+
tidak perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam
1.000 sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100
lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi,

17
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada
yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS
nya tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke
tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit,
makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak
dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans.

Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang


disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat.
Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat
berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan
sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 1

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan


saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe
lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa
dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat
campuran unsur – unsur tersebut.

3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae,
yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD
serta 35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-
lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.

Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang


meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan

18
serologik adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji
ELISA (Enzyme Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick
(Mycobacterium Leprae dipstick). 1

4.Tes lepromin
adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4
minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan
eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu
respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis3.
Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan
(cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat
terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan.
Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu
pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan
pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral. 4

a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal
upgrading) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal
dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya
reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil.
Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading/reversal.
Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena
paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan,

19
sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih
lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat
pengobatan.
Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk
kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih sering terjadi daripada
bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline.
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi
yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif
singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi
lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja
sudah cukup 4.
b. Reaksi tipe II
Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak
pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum
(ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau
plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan
simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat
pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang
berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri,
pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.
Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi,
testis, dan limfe. 4

Tabel perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan tipe 2 4


No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise dan
febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama menjadi Timbul nodul kemerahan,
kulit lebih meradang (merah), lunak, dan nyeri tekan.

20
dapat timbul bercak baru Biasanya pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat pecah
(ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan yang
lama, umumnya lebih dari
6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata, KGB,
organ lain sendi, ginjal, testis, dll
7 Faktor pencetus • Melahirkan • Emosi
• Obat-obat yang • Kelelahan dan stress
meningkatkan fisik lainnya
kekebalan tubuh • kehamilan

Tabel Perbedaan Reaksi Kusta Ringan dan Berat tipe 1 dan tipe 2 4
No Gejala/tanda Tipe I Tipe II
Ringan Berat Ringan Berat
1. Kulit Bercak : Bercak : Nodul : Nodul : merah,
merah, merah, merah,panas,nyeri panas, nyeri yang
tebal, tebal, bertambah parah
panas, panas, sampai pecah
nyeri nyeri yang
bertambah
parah
sampai
pecah
2 Saraf tepi Nyeri Nyeri pada Nyeri pada Nyeri pada perabaan
pada perabaan perabaan (-) (+)
perbaan (+)
(-)
21
3 Keadaan Demam Demam (+) Demam (+) Demam (+)
umum (-)
4 Keterlibatan - - - +
organ lain Terjadi peradangan
pada :
• mata :
iridocyclitis
• testis :
epididimoorchiti
s
• ginjal : nefritis
• kelenjar limpa :
limfadenitis
• gangguan pada
tulang, hidung,
dan tenggorokan
*bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai
reaksi berat

Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi
pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan

22
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah. 1

VII. DIAGNOSIS BANDING: 2


Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:

 Ada Makula hipopigmentasi

 Ada daerah anestesi

 Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam

 Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.

1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea,


atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.

2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis,


psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea

3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas


atau psoriasis.

4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,


atau erupsi obat

VIII. PENATALAKSANAAN

Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai


penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai
tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita4

23
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan. 4

Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu
ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.1

Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui

Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi


multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan
Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman,
baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan
efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi
karena klofazimin. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal paucibacillary
harus ditunda sampai setelah melahirkan. 6

Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan menyebabkan


sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari ibu dengan berat
lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang penyakit itu.
WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan .Namun, obat
yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus di
bawah pengawasan spesialis5

24
.Rifampisin mengurangi efektivitas kontrasepsi hormonal, saran kontrasepsi
sehingga alternatif harus ditawarkan. Dosis tinggi dari rifampisin mungkin teratogenik
dan tidak dianjurkan untuk digunakan selama trimester pertama.
Dapson dapat menyebabkan hemolisis neonatal dan methaemoglobinamea. Jika perlu
harus diresepkan untuk wanita hamil dalam kombinasi dengan asam folat.
Klofazimin dapat menyebabkan perubahan warna pada kulit bayi yang disusui.
Penggunaan thalidomide tetap ketat kontra-ditunjukkan pada wanita usia subur. 5

DDS:
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps
resisten. Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat
dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan
bakterioskopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan
inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten
bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan
dengan obat atau MDT apapun.

Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten
terhadap DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada
pausibasilar, oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.

Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan
obat-obat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain
nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer,
sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan
methemoglobinemia. 1

Rifampicin:

25
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap
bulan. Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi.

Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala


gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit. 1

Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan
kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan
pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang
merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa,
dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam
ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa
gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus.
Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai
menghilang setelah 3 bulan obat diberikan. 1

Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium
leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam
22 dosis akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%.

Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya.,
berbagai gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness,
nervousness dan halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya
tidak membutuhkan penghentian pemakaian obat.

26
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati,
karena pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula
digunakan levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih
efektif. 1

Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan
susunan saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan
untuk anak-anak atau selama kehamilan1
Klaritromisin:
Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal
terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta
lepromatosa, dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan
lebih dari 99,9% dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang
terbukti sering di temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 1
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT).
Setelah RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan
tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun
selama minimal 5 tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada
keaktivan baru, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From
Control (RFC). 1

MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan
DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. Selama
pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan
pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun
secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan
bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC. 1

27
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus
Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 1

Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen
pengobatan menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap
hari selama 6 bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau
minosiklin 100 mg setiap hari selama 8 bulan. 1

Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400


mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan
rifampicin 600 mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis
tunggal setiap bulan selama 24 bulan. 1

WHO Recommended treatment regimens 6

6 month regimen for Paucibacillary (PB) Leprosy

28
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
Dapson Rifampisin
Dewasa 100 mg 600 mg
50-70 kg Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
Anak 50 mg 450 mg
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali di bawah
pengawasan
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan

12 month regimen for Multibacillary (MB) Leprosy

Dapsone Rifampisin Clofazimin


Dewasa 100 mg 600 mg 50 mg DAN 300 mg
50-70 kg Setiap Hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan
Anak 50 mg 450 mg 50 mg DAN 150 mg
10-14 tahun * Setiap hari Sebulan sekali Setiap hari Sebulan sekali di
di bawah bawah
pengawasan pengawasan

*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50
mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di
bawah pengawasan

Single Lesion Paucibacillary (SLPB) Leprosy (one time dose of 3 medications taken
together)

Rifampisin Ofloxasin Minosiklin


Dewasa 600 mg 400 mg 100 mg
50-70 kg
Anak 300 mg 200 mg 50 mg
5- 14 tahun *

29
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun

Tipe PB4

Pengobatan MDT untuk kusta tipe PB dilakukan dalam 6 dosis minimal yang
diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (released
from treatment)

Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + DDS 1 (2x300mg) + DDS 1 tab
tab (50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah DDS 1 tab (50mg) DDS 1 tab (100mg)
*Anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Tipe MB4

Mengobatan MDT untuk kusta tipe MB dilakukan dalam 24 dosis yang


diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Setelah selesai minum 24 dosis maka
dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan bakteri
positif.

Anak Dewasa
Hari 1 : diawasi petugas Rifampisin 2caps Rifampisin 2caps
(300mg+150mg) + (2x300mg) +
Klofazimin 3caps klofazimin 3caps
(3x50mg) + DDS 1 tab (3x100) + DDS 1 tab
(50mg) (100mg)
Hari 2-28 : di rumah Klofazimin 1 tab (50mg) Klofasimin 1cap
+ DDS 1 tab (50mg) (100mg) + DDS 1 tab

30
(100mg)
* anak di bawah 10 tahun diberi dosis 1-2mg/kgBB

Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/File:MDTRegimens.jpg

Pengobatan Reaksi Kusta:


Pengobatan E.N.L :
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 1

Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide,
tetapi harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan
kepada orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa
kehamilan dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus
digunakan selama 4 minggu sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa

31
pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko
tinggi kelainan berat janin. 1

Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi
E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid.
Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid. 1

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-
60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya
dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara
mendadak. 1
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1

Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan
tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan
saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1

IX. KOMPLIKASI 4

Gangguan saraf tepi


32
.

sensorik motorik otonom

anestesi kelemahan Gangguan kel. Keringat,


minak, aliran darah

Tangan/kaki Kornea mata Tangan/kaki Mata lagoftalmus Kulit kering/pecah


kurang rasa anestesi, reflek lemah atau
kedip ↓ lumpuh

infeksi luka

luka infeksi Jari


bengkok/kaku kebutaan infeksi

mutilasi kebutaan
luka

mutilasi

X. PROGNOSIS

Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana


dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur
dan ulkus kronik, prognosis kurang baik. 4
BAB III
KESIMPULAN

33
Kusta merupakan penyakit yang di sebablan oleh kuman Mycobacterium leprae.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Klasifikasi bentuk penyakit kusta yang banyak dipakai dalam bidang penelitian
adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta
menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan
imunologis, yaitu tipe tuberculoid (TT), tipe borderline tuberculoid(BT), tipe mid
borderline (BB), tipe borderline lepromatosa (BL) , dan tipe lepromatosa (LL).

Program MDT dimulai pada tahun 1981,yaitu ketika kelompok studi kemoterapi
WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen
kombinasi yang selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri
atas kombinasi obat-obat DDS, Rifampisin, dan Klofazimin. Kusta diperburuk selama
kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi multidrug standar dilanjutkan
selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan Kusta, WHO, Jenewa telah
menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman, baik untuk ibu dan anak,
dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan. Sebuah jumlah kecil
obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada laporan efek samping
sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit ringan dari bayi karena
klofazimin. Pemakaian Thalidomide pada pengobatan E.N.L harus dihindari karena
mempunyai efek teratogenik. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi tunggal
paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. A.Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe – Dili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.
Dalam : Djuanda,Adhi dkk.(ed). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima
Cetakan Kelima. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2010;73-88

2. Siregar, Saripati Penyakit Kulit, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2003 :
124-126

3. Lewis. S.Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at :


http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview#showall

4. Bonarz. 2011. Kusta dalam http://id.scribd.com/doc/52132089/referat-MH-indah


diunduh tanggal 4 Februari 2011

5. Willacy Hayley. Update Apr 20, 2010. Available at :


http://www.patient.co.uk/doctor/Leprosy.htm

6. WHO.1998 Model Prescribing Information: Drugs Used in Leprosy. Available at:


http://apps.who.int/medicinedocs/en/d/Jh2988e/1.html

35

Anda mungkin juga menyukai