Anda di halaman 1dari 22

Lepra

BAB 186, halaman 2253-2262


Delphine J. Lee, Thomas H. Rea, & Robert L. Modlin

SEKILAS MENGENAI LEPRA


-­‐ Definisi : infeksi granulomatosa kronis dan disebabkan oleh M. leprae.
-­‐ Keterlibatan : utamanya mempengaruhi kulit dan saraf.
-­‐ Diagnosis : basil tahan asam pada jaringan atau abnormalitas saraf perifer
klasik.
-­‐ Insidensi : diperkirakan 250.000-500.000 kasus baru tiap tahun, di seluruh
dunia.
-­‐ Morbiditas jangka panjang : meskipun terdapat terapi kuratif antibakteri,
seperempat hingga sepertiga pasien akan mengalami kelemahan dan defisit
neurologis permanen.
-­‐ Tantangan klinis : membedakan manifestasi yang dihasilkan oleh spektrum
granulomatosa, dan peningkatan lebih lanjut yang tumpang tindih dengan
kondisi reaksi.
-­‐ Kesempatan imunologi : suatu model yang dapat dicontoh untuk pemahaman
imunitas yang dimediasi oleh sel pada manusia.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Faktor risiko meliputi kelahiran dan tempat tinggal yang telah diketahui pada area
endemik, anggota keluarga dengan lepra, menggambarkan kerentanan genetik secara
umum, paparan lingkungan, atau keduanya dan dengan banyaknya infeksi lain, serta
kemiskinan. Penggunaan terapetik antibodi anti-tumor necrosis factor (TNF) dan
immune reconstitution inflammatory syndrome (IRIS) pada penggunaan highly active
antiretroviral therapy (HAART) yang berhubungan dengan onset lepra.15,16
Mycobacterium leprae yang merupakan penyebab lepra, ialah basil tahan
asam, obligat seluler, Gram-positif, dan tidak dapat dibiakkan. Sequencing genom
basiler17 mengungkapkan delesi dan kerusakan gen meninggalkan M. leprae dengan
beberapa enzim respiratorik, memberikan penjelasan mengenai kegagalan pembiakan
organisme pada media bebas-sel, seperti pada lingkungan intraseluler obligatorik.
Pada jaringan atau apusan, M. leprae diukur dengan indeks biopsi (IB), skala
algoritma untuk jumlah basil per lapang pandang minyak emersi (oil immersion field

  1  
– OIF) : IB bernilai 6 yaitu 1.000 atau lebih basil/OIF; IB bernilai 5 yaitu 100-
1.000/OIF; IB bernilai 4 yaitu 10-100/OIF; IB 3 bernilai 1-10/OIF; IB 2 bernilai 1
basil/1-10 OIF; IB 1 bernilai 1 basil/10-100 OIF; dan IB 0 bernilai tidak terdapat basil
pada 100 OIF. Disebabkan oleh IB 6 mengindikasikan 109 basil per gram granuloma,
jaringan dengan IB 0, dapat dikatakan sebanyak 103 organisme per gram.
Dinding sel basil terdiri atas tulang belakang peptidoglikan yang terhubung
dengan arabinogalactan dan asam mikolat. Protein imunogenik berhubungan dengan
dinding sel, dan juga terdapat pada sitoplasma. Lipoprotein yang terkait dengan
dinding sel, ligan untuk pattern recognition receptors (PRRs) seperti TLR2 dan
NOD2 pada sistem imun innate, kemungkinan menginisiasi respon awal pejamu
terhadap M. leprae. Respon tersebut penting untuk penentuan luaran klinis akhir.18
Target lipoglikan berupa antibodi dan respon imun seluler, yaitu lipoarabinomannan,
melalui membran luar dan masuk ke dalam membran sel. Glikolipid fenolat I
merupakan konstituen imunogenik dan spesifik spesies yang utama pada lapisan luar
nonpolar kuat pada basil. Jalan masuk ke dalam saraf diperantarai oleh ikatan
trisakarida yang spesifik terhadap spesies pada glikolipid fenolat I terhadap laminin-2
19
pada lamina basalis unit sel Schwann-akson, sehingga sudah sepantasnya jika M.
leprae adalah satu-satunya bakteri yang diketahui dapat menginvasi saraf perifer.
Penelitian kembar menunjukkan bukti yang kuat bahwa faktor genetik dan
lingkungan berperan penting dalam menentukan kepekaan dan ekspresi penyakit.20
Sebuah bagian pada kromosom 10p13, termasuk PARK2 dan PACRG yang
merupakan lokus untuk kepekaan terhadap penyakit Parkinson, telah ditemukan juga
meliputi faktor risiko perkembangan lepra.21 Hal ini termasuk bentuk lepromatoid
dan lepromatosa, dan telah diidentifikasi menjadi beberapa populasi yang dibedakan
secara genetik, tetapi tidak seluruhnya. Antigen major histocompatibility complex
(MHC) kelas II tampaknya mempengaruhi gambaran klinis, tetapi bukan kepekaan
terhadap penyakit,22 sedangkan PRRs seperti TLRs dan NOD2 dapat mempengaruhi
keduanya.23-27 Sebagian besar orang yang terpapar terhadap M. leprae diduga
membangun respon imunologis kuratif, sedangkan gambaran klinis spektrum
granulomatosa lepra menunjukkan spektrum imunologis perlawanan oleh pejamu,
sehingga dapat menjadi model contoh untuk pemeriksaan cell-mediated immunity
(CMI) pada manusia.

  2  
GAMBARAN KLINIS

RIWAYAT
Dokter yang bekerja pada area nonendemik, mempelajari bahwa pasien memiliki
faktor risiko lepra, sebagai contoh adalah lahir atau bertempat tinggal pada area
endemis, atau memiliki hubungan darah dengan lepra dapat mengarah pada diagnosis
lepra yang tepat.
Data riwayat atau gejala yang seharusnya menimbulkan kecurigaan lepra lebih
lanjut, termasuk keluhan yang mengarah pada neuropati perifer dan pada lelaki muda
menjadi kehilangan dorongan seksual atau infertil.

LESI KUTAN
SPEKTRUM GRANULOMATOSA. Ridley dkk mengemukakan deskripsi yang
paling detail untuk spektrum granulomatosa pada lepra28,29 memadukan antara klinis
dan perubahan histologis. Ridley menyusun menjadi enam spektrum, yang berkisar
dari resistansi tinggi hingga rendah, TT (polar tuberculoid), BT (borderline
tuberculoid), BB (borderline), BL (borderline lepromatous), LLs (subpolar
lepromatous) dan terakhir LLp (polar lepromatous):

TT ! BT D BB D BL D LLs LLp

Secara konseptual, TT dan LLp stabil secara klinis, namun antara kutub-kutub
tersebut terdapat perubahan respon pejamu, sesuai yang ditunjukkan oleh tanda
panah, terjadi perbaikan (upgrading) atau reversal hingga keadaan daya tahan
(resistansi) yang lebih tinggi, biasanya tidak terlacak tetapi sesekali menjadi
inflamatorik. Pasien BT dapat membaik menjadi TT sehingga menjadi stabil, namun
pasien LLs tidak menjadi memburuk menjadi LLp atau tidak juga pasien LLs menjadi
membaik. (“LL” termasuk diantaranya pasien LLs dan LLp.) Respon granulomatosa
pejamu merupakan hasil dari tingkatan CMI secara langsung melawan M. Leprae.
Klasifikasi utamanya ditentukan secara klinis dan perubahan histologis, sedangkan
jumlah basil menjadi pertimbangan sekunder. Pasien dengan spektrum klinis lepra
dianggap sebagai manifestasi perubahan respon imun, yang berdasarkan pada faktor
lingkungan dan genetik, dan pada akhirnya mengarah pada salah satu kutub.
Jika dibandingkan antara terminologi pra-Ridley dan Ridley, “tuberculoid”
sesuai dengan TT dan BT, “borderline” atau “dimorfik” sesuai dengan BB dan BL,

  3  
dan “lepromatous” sesuai dengan LLs dan LLp. Pada hampir seluruh pasien TT, dan
pada sebagian besar kasus BT, basil tahan asam (BTA) tidak dapat ditemukan,
sedangkan pada BB, BL, LLs dan LLp, basil dapat dengan mudah ditemukan.
Gagasan Ridley tersebut berguna untuk mengelompokkan pasien, terutama dari segi
imunitas.

PERUBAHAN SARAF PERIFER. Lima tipe dari kelainan saraf perifer merupakan
hal yang sering terjadi pada lepra. (1) Perbesaran saraf (biasanya didapatkan
asimetri), khususnya yang dekat dengan kulit, umumnya diperkirakan terdapat pada
lokasi yang memiliki suhu yang paling dingin, seperti pada auricularis magnus,
ulnaris, kutaneus radialis, peroneal superfisialis, sural, dan tibialis posterior. (2)
Kelemahan sensorik pada lesi kulit. (3) Palsi pada saraf trunkus baik dengan gejala
dan tanda inflamasi atau tanpa manifestasi yang jelas, silent neuropathy,30 biasanya
dengan kehilangan baik sensorik maupun motorik (kelemahan dan / atau atrofi) dan
jika telah lama terjadi maka disertai dengan kontraktur. (4) kerusakan sensorik
dengan pola stocking – glove (Stocking-glove pattern of sensory impairment/S-GPSI),
dengan hilangnya serabut saraf tipe C secara lambat, yang mengenai diskriminasi
panas dan dingin sebelum kehilangan sentuhan ringan ataupun nyeri, awalnya pada
daerah akral dan kemudian meluas secara sentral tetapi awalnya tidak terjadi pada
telapak tangan. (5) Anhidrosis pada telapak tangan atau telapak kaki diperkirakan
sebagai keterkaitan sistem saraf simpatis.

Gambar 186-1 Sebuah lesi anular, anestesi dan soliter pada kutub tuberculoid
leprosy (TT), yang terjadi selama 3 bulan. Batas yang tegas, eritem dan adanya
skuama lebih menonjol dibandingkan dengan peninggian lesi. Titik merah pada
bagian tengah merupakan sekuele atau jejak dan tidak didapatkan persepsi pada
pemeriksaan cocokan jarum. (Jika ada, pasien akan menarik untuk menghindari pada

  4  
bagian purpurik.) Bagian sentral lesi tampak sedikit hipopigmentasi jika
dibandingkan dengan kulit normal disekitarnya.

Kutub Tuberculoid Leprosy. Pada lepra TT memiliki imunitas yang kuat seperti
yang ditunjukkan dengan penyembuhan spontan dan tidak adanya penurunan daya
tahan pejamu. Lesi kulit primer pada TT berupa plak berbatas tegas, sering kali anular
sekunder terhadap persebaran perifer dan terdapat area normal pada tengahnya. Pada
umumnya lesi indurasi yang keras, meninggi, eritematosa, berskuama, kering, tidak
berambut, dan hipopigmentasi (Gambar 186-1), namun secara klinis banyak variasi
yang ditemui.
Saraf sensorik terdekat dapat membesar maupun tidak membesar, namun lesi
mempunyai gambaran anestesi dan anhidrosis. Lesi kulit sering kali soliter, terutama
pada pasien dengan TT de novo, berkebalikan dengan tipe yang membaik dari BT
menjadi TT dengan gambaran lesi multipel dan sering kali tidak lebih dari tiga lesi
yang dapat ditemukan. Pada kedua kelompok, imunitas mencukupi untuk
mempengaruhi penyembuhan, sehingga menempatkan batas atas ukuran lesi 10 cm,
tetapi direkomendasikan terapi antibiotik.

Histologi TT. Pada lesi TT de novo, tuberkel epiteloid yang berkembang baik dan
berukuran kecil dikelilingi oleh mantel limfosit besar, namun jarang terlihat. Pada TT
yang meningkat dari BT, sel raksasa tipe Langhans melimpah dan eksositosis padat
ke dalam epidermis sering kali ditemukan sebagai tambahan mantel limfosit (Gambar
186-2). Nekrosis kaseasi jarang terlihat dan jika didapatkan nekrosis kaseasi maka
diklasifikasikan menjadi TT. BTA tidak ditemukan.

Gambar 186-2 Dua sediaan histologi lesi TT. A. pada perbesaran lemah tampak
sangat menyerupai lupus vulgaris, dimana pada asal katanya leprosi “tuberculoid”.
(H&E, 10x obeyktif) B. pada perbesaran kuat pada lesi yang sama menunjukkan sel

  5  
raksasa Langhans yang berlimpah, sebuah infiltrat limfosit padat dan eksositosis
padat ke dalam epidermis. (H&E, 20x obeyektif)

Borderline Tuberculoid Leprosy. Pada penyakiit BT (Gambar 186-3), daya tahan


imunologis cukup kuat untuk menahan infeksi, jika terjadi demikian maka penyakit
terbatas dan perkembangan basil menjadi lambat, namun respon pejamu tidak
mencukupi untuk penyembuhan sendiri. Pasien tersebut kadang kala memiliki daya
tahan yang tidak stabil sehingga dapat membaik menjadi TT, atau menurun menjadi
BL.
Lesi kulit primer pada BT yaitu plak dan papul multipel (Kotak 186-1).
Seperti pada TT dengan konfigurasi anular umum terjadi dan keduanya pada bagian
tepi memiliki batas tegas namun lesi anular atau plak dapat disertai papul-papul
satelit berbatas tegas (Gambar 186-3). Hipopigmentasi dapat lebih mencolok paa
pasien berkulit gelap. Berkebalikan dengan TT, umumnya hanya sedikit didapatkan
atau tidak berskuama, agak eritem, sedikit indurasi, dan sedikit meninggi, namun lesi
dapat menjadi lebih besar melebihi diameter 10 cm, lesi tunggal kadang kala terdapat
pada seluruh ekstremitas seiring dengan waktu. Lesi sering kali berupa asimetris
multipel, namun lesi soliter tidak jarang ditemukan. Utamanya terjadi kerusakan
sensasi pada lesi kulit dan terkait dengan saraf pada trunkus, pembesaran atau palsi,
biasanya tidak lebih dari dua dan asimetris. Jika terjadi abses saraf sering kali terjadi
pada laki-laki dengan penyakit BT.
Gambar 186-3 Satu dari beberapa lesi
borderline tuberculoid (BT), dimana
memiliki konfigurasi anular inkomplit
dengan papul satelit. Dibandingkan
dengan lesi TT pada Gambar 186-1,
terdapat lebih sedikit eritema, tidak
didapatkan skuama, namun memiliki
batas tegas dan jejak mati rasa.

  6  
Histologi BT. Pada jaringan BT, terdapat tuberkel epiteloid dengan susunan yang
baik tetapi mantel limfosit kurang matur dibandingkan pada penyakit TT. Sel raksasa
tipe Langhans juga tidak konstan. Jika terdapat eksositosis epidermal maka akan
tersusun fokal. BTA jarang terlihat pada BT. Jika ditemukan BTA atau sel plasma
dapat dipertimbangkan BT dengan reaksi reversal.

Borderline Leprosy. BB secara imunologis merupakan titik tengah atau zona tengah
dari spektrum granulomatosa dan menjadi area yang paling tidak stabil, pasien dapat
membaik atau memburuk dengan cepat menjadi sisi granulomatosa yang lebih stabil
dengan atau tanpa reaksi klinis. Perubahan karakteristik kulit dikatakan menjadi lesi
anular dengan sisi bagian dalam dan luar berbatas tegas, plak ukuran besar dengan
pulau-pulau kulit normal secara klinis pada sisi tengah plak, memberikan gambaran
“Swiss cheese” atau lesi dimorfik klasik. Akibat dari ketidakstabilan tersebut, sisi BB
hanya bertahan sebentar dan kondisi tersebut jarang ditemukan. Sebagai contohnya
menemui pasien non reaksi yang sesuai dengan kriteria klinis dan histologis.

Histologi BB. Pada BB, terdapat diferensiasi epitelioid, dengan limfosit yang jarang,
tidak didapatkan sel raksasa, dan basil mudah ditemukan.

Borderline Lepromatous Leprosy. Pada BL, daya tahan sangat rendah untuk
menahan proliferasi basiler secara signifikan, namun tetap mencukupi untuk
menimbulkan inflamasi destruksi jaringan terutama pada saraf. Sehingga pada pasien
BL memiliki kedua kondisi terburuk. Kategori BL memiliki ekspresi klinis yang
sangat bervariasi (Gambar 186-4). Walaupun terlihat hanya pada sepertiga pasien BL,
lesi dimorfik klasik merupakan karakteristik utama, dengan konfigurasi anular
dengan tepi luar berbatas tidak tegas (menyerupai lepromatosa) tetapi pada sisi dalam
berbatas tegas (menyerupai tuberculoid), sehingga memiliki kedua morfologi yang
disebut “lepra dimorfik”. Variasi dapat dipertimbangkan pada satu pasien dan lebih
besar lagi menyimpang dari seluruh populasi BL. Plak dengan tepi tegas maupun
tidak tegas dengan area “punched out “ atau “Swiss cheese” berbatas tegas pada kulit
normal di bagian dalam plak juga dengan karakter tersebut, dan dapat dipikirkan
sebagai varian dari lesi dimorfik klasik. Lesi anular berbatas tegas pada tepi bagian
luar dan dalam jarang terjadi. Papul dan nodul bentuk tidak beraturan menyerupai
lepromatosa dapat berjumlah banyak, tetapi biasanya disertai dengan lesi berbatas
tegas pada suatu area.

  7  
Rentang jumlah lesi dari soliter hingga jumlah banyak dan tersebar luas.
Secara umum, lesi anular dan plak terdistribusi asimetri, namun nodul yang
menyerupai lepromatosa tersusun simetris jika dalam jumlah banyak. Lesi kulit
sering kali hipestesia atau anestesia, namum tidak terlalu diperhitungkan. Palsi pada
saraf trunkus memiliki prevalensi tertinggi pada penyakit BL, tetapi bervariasi
jumlahnya berkisar dari tidak ada hingga defisit neurologis serius, baik motorik
maupun sensorik pada keempat ekstremitas. Karakter keterlibatan saraf mendianus
dan ulnaris, tidak jarang terjadi bilateral. Pada saat penyakit ekstensif, pasien BL juga
dapat berkembang S-GPSI.
BL yang tidak diterapi memiliki progresi yang sangat lambat pada perubahan
kulit dan saraf. Dengan atau tanpa pengobatan, hal ini dapat berubah menjadi kondisi
reaksi, membaik atau reaksi reversal menjadi lebih sering terjadi dibandingkan
dengan erythema nodosum leprosum (ENL). Pada pasien BL juga dapat memburuk
menjadi kondisi granulomatosus LL.

KOTAK 186-1 DIAGNOSIS BANDING


LESI PRIMER
-­‐ Makula dan patch. Hipopigmentasi pada pityriasis alba dapat menyerupai
lepra indeterminate dan begitu pula sebaliknya. Jika pasien dilahirkan atau
bertempat tinggal pada area endemis, sehingga kemudian perbedaan antara
keduanya dapat ditentukan dari pemeriksaan neurologis atau histologis.
Plak hipopigmentasi pada BL dapat menjadi hampir tidak berindurasi
sehingga meyerupai patch. Telangiectasis dapat menjadi eruptif atau
muncul seperti matras pada wajah dan trunkus atas.
-­‐ Lesi papul hingga nodul. Pada dermis, lepra dapat menyerupai atau
diserupai oleh dermatofibroma, histiositoma, limfoma, sarkoidosis, dan
granuloma lainnya. Nodul subkutan inflamatorik eruptif dan rekuren dapat
juga merupakan ENL, erythema nodosum, erythema induratum dan
vaskulitis. Nodul subkutan yang palpabel namun tidak terlihat pada
lepromatosis Latapi dapat menyerupai lipoma.
-­‐ Plak. Plak eritematosa dapat menyerupai mycosis fungoides. Plak tanpa
perubahan pigmen dapat berupa gambaran yang menyerupai urtika,
menyebabkan kesalahan dengan urtikaria. Plak hipopigmentasi dapat
menyerupai erupsi papuloskuamosa. Pulau-pulau kulit normal di dalam
plak dapat mengarah pada psoriasis.

  8  
-­‐ Erupsi vesikobulosa polimorfik / pelepasan dermoepidermal. Hal ini
dapat terjadi pada ENL. Hingga 30% pasien LL dapat memiliki antibodi
yang menyerang desmoglein 1, sehingga menyebabkan peninggian pada
lesi bulosa. IgM juga terdeposisi tidak wajar pada membran basal
epidermis pada LL. Antibodi tersebut tidak dipertimbangkan patogenik
namun dapat merancukan diagnosis.
-­‐ Lesi anular. Lepra dapat menyerupai atau dapat diserupai oleh eritema
anulare, sarkoidosis, sifilis, atau tinea.
LESI SEKUNDER
-­‐ Infark. Lesi fenomena Lucio dan ENL nekrotikan menyerupai infark
septik.
-­‐ Ulkus. Ulkus muncul pada fenomena Lucio dan ENL sekunder terhadap
okluasi vaskuler. Pada pasien dengan kerusakan saraf, ulkus neurotropik
terjadi pada permukaan plantar, pasien dengan ulkus tungkai sekunder pada
insufisiensi vena terlihat pada lepromatosis Latapi.
KONSTELASI KLINIS
-­‐ Perubahan menyerupai lupus eritematosus sistemik. Jari fusiformis,
deformitas leher angsa, positif palsu pada tes sifilis, antibodi antifosfolipid,
lupus antikoagulan, hiperglobulinemia, dan anemia.
-­‐ Vaskulitis. Vaskulitis sejati dapat terjadi pada ENL, reaksi Lucio, dan
lepromatosis Latapi. Secara klinis, lesi lepra pada karakteristik nodular
dapat menjadi salah diagnosis menjadi vaskulitis.

Histologi Borderline Lepromatous. Salah satu respon klasik BL kutan ialah infiltrat
limfosit yang relatif padat dibatasi dengan ruang yang terisi dengan makrofag.
Makrofag biasanya foamy, tetapi pada umumnya makrofag tidak terdiferensiasi.
Lapisan epidermis tidak terlibat. Respon BL klasik lainnya pada saraf adalah laminasi
perineurium dengan infiltrasi sel radang. Pada BL, berlawanan dengan LL, infiltrat
sel radang sangat padat mengaburkan laminasi. Pola BL lainnya adalah terdapat
infiltrat limfohistiosit kronik. Sel plasma juga dapat terlihat. Basil dapat dengan
mudah ditemukan, dan globus tidak jarang terlihat.

  9  
Gambar 186-4 Lesi multiple pada pasien dengan borderline lepromatous leprosy
(BL). Lesi anular dengan ukuran bervariasi dan distribusi asimetris. Sebaliknya pada
lesi papular dan nodular dengan bentuk tidak beraturan secara kasar terdistribusi
simetris. Hilangnya sensasi dapat terjadi pada sebagian besar lesi.

Lepromatous Leprosy. Pada lepromatous leprosy (LL), CMI M. leprae berkurang


sehingga replikasi basil tidak dapat terbedung dan tersebar luas, mengenai banyak
organ. Infiltrasi dermis difus selalu menunjukkan gejala subklinis dan dapat
bermanifestasi dengan perbesaran daun telinga, pelebaran pangkal hidung,
pembengkakan fusiformis pada jari-jari, dan kulit menjadi berlipat. Nodul dengan
gambaran yang tidak jelas merupakan lesi yang paling umum terjadi, biasanya
mencapai diameter 2 cm dan terdistribusi simetris. Penghubung lipatan kulit dan
pembentukan nodul memberikan gambaran “facies leonina”.
Lesi menyerupai dermatofibroma ataupun menyerupai histiositoma biasanya
berupa papul atau nodul eritem berbatas tegas dan multiple, kadang konfluen
membentuk plak (Gambar 186-5A dan 186-5B). Pasien pertama yang teridentifikasi
relaps sebagai histoid leprosy, tetapi tidak jarang berupa lesi. Lesi kulit yang jarang
terjadi meliputi patch eritem berindurasi yang menjari (Gambar 186-6), pada pasien
berkulit terang selalu diikuti dengan hiperpigmentasi ringan, selubung melanin
membungkus eritem: pada pasien berkulit gelap terdapat makula hipopigmentasi
multipel. Jarang terjadi infiltrat padat pada dermis yang menyerupai lesi nevoid.
Penanda klinis LL yaitu lesi berbatas tegas, kemungkinan lesi BL residual
pada pasien yang memburuk menjadi LLs, atau adanya lesi menyerupai
dermatofibroma. Perbedaan antara LLs dan LLp ditentukan dengan histopatologis.
Kerontokan rambut paling sering terjadi pada rambut alis, yang berkembang
secara medis hingga secara lateral ataupun patchy. Kerontokan rambut dapat terjadi
pada bulu mata dan ekstremitas, dan dapat kembali sebagian jika diterapi lebih awal.

  10  
Keterlibatan skalp jarang terjadi. Berkurangnya keringat ekrin yang berasal dari
keterlibatan sistem saraf simpatis sering kali terjadi dan bermanifestasi pada
keringnya telapak tangan dan kaki. Lesi kulit yang terjadi dapat mengalami maupun
dapat tidak mengalami hipoestesi, namun secara umum terjadi pada setiap pasien.
Palsi saraf pada trunkus dapat terjadi tetapi jarang pada BL. Kerusakan sensorik
dengan pola stocking glove sering kali terjadi dan mungkin sangat parah sehingga
dapat menyebabkan perubahan trofis yang melemahkan tangan atau kaki.

Gambar 186-5 A. papul multipel yang menyerupai dermatofibroma sebagian


konfluen hingga membentuk plak. B. lesi multipel yang menyerupai dermatofibroma
dan histiositoma pada pasien yang tidak berobat, hingga dibawa ke rumah sakit akibat
kecelakaan lalulintas. Ahli patologi senior yang meninjau kasus tersebut
menyarankan pengecatan Fite. Kulit diantara nodul tersebut terinfiltrasi secara difus.

Gambar 186-6 Lesi eritematosa multipel, yang nyaris tak terpalpasi dan asimtomatis
muncul selama 2 bulan sebelumnya pada pasien LLs. Dengan pengobatan, lesi remisi
menjadi hiperpigmentasi ringan. Aksentuasi penanda kulit normal berlawanan dengan
menghilangnya seperti pada Gambar 186-4.

  11  
Penyakit LL yang tidak diterapi dapat menjadi progresif tanpa henti, namun
kondisi ini dapat berubah menjadi kondisi reaksi. Subyek LLs dan LLp seringkali
berkembang menjadi erythema nodosum leprosum (ENL). Pasien LLp tidak
berkembang menjadi kondisi reaksi, dimana dapat terjadi pada LLs.

Histologi LL. LLs dan LLp memiliki banyak gambaran histologis yang sering
terjadi. (1) Lesi nodul, terutama terdiri atas foamy macrofag ataupun tidak
terdiferensiasi yang menggantikan sebagian besar dermis, dengan hilangnya
apendises kulit. Epidermis dilemahkan dengan adanya nodul, tetapi lapisan tipis pada
dermis (grenz zone) memisahkan kedua dan pengecatan Fite menunjukkan basil yang
banyak. (2) Kulit normal secara klinis dapat menunjukkan infiltrat foamy macrofag
atau tidak terdiferensiasi dengan kepadatan bervariasi, dan terdistribusi jarang pada
perivaskular dan periapendikular, tetapi pada epidermis tidak terganggu. (3) Pada LLs
dan LLp dapat menunjukkan kumpulan kecil limfosit tetapi padat, yang kemungkinan
sel B. (4) Gambaran berbagai makrofag dengan umur lesi, mulai dari sel tidak
terdiferensiasi hingga berbusa. (5) BTA endotel tidak jarang terdapat pada LLs dan
LLp. (6) Sel plasma dan sel mast sering kali meningkat, sel plasma sering kali
teridentifikasi dengan mudah dengan pengecatan BTA counter stain. (7) Pada lesi
lama umumnya terdapat sel raksasa benda asing, kemungkinan meningkatkan respon
terhadap kematian makrofag yang mengandung banyak BTA yang mati.
Pada LLs, limfosit secara umum terdistribusi jarang, dan perineurium
terselubung namun terdapat infiltrasi sel radang yang jarang yang membentuk
selubung yang kentara. Pada LLp, limfosit lebih sedikit dibandingkan dengan pada
LLs, dan perineurium tidak terlibat. Pada lesi yang menyerupai dermatofibroma
termasuk pada pasien LLs, dapat menyerupai dermatofibroma secara histologis
maupun klinis.

Indeterminate Leprosy. Indeterminate leprosy merupakan istilah yang mempunyai


banyak arti. Definisi yang dipilih berdasarkan Khanolkar,31 menandakan lesi awal
yang muncul sebelum pejamu membentuk ikatan imunologis definitif terhadap
penyembuhan atau respon granulomatosa yang tampak jelas. Secara klinis, lesi
indeterminate merupakan makula atau patch hipopigmentasi dengan atau tanpa
keterkaitan dengan defisit sensorik pada atau di sekitar lesi, dan jika ditemukan BTA
akan muncul dengan jumlah yang sangat sedikit. Lesi tersebut jarang ditemukan.
Istilah yang kadang kala digunakan, tidak sesuai untuk mendeskripsikan lesi yang

  12  
mengandung banyak basil namun memiliki pola histologis tipikal tuberkuloid
maupun lepromatosa. Pasien tersebut biasanya BL atau kadang kala LL.

Histologi Indeterminate Leprosy. Lesi indeterminate biasanya menunjukkan infiltrat


patchy pada papila dan retikula dermis, yang mengandung limfosit dan sedikit
makrofag. Basil jarang ditemukan maupun tidak ditemukan sama sekali. Jika
sejumlah basil ditemukan maka penyakit BL atau LL lebih sesuai dibandingkan
dengan indeterminate leprosy.

TEMUAN FISIK TERKAIT


Insensitivitas kornea sering kali terjadi pada lepra. Pada penyakit BL dan LL, terdapat
beberapa perubahan kornea dan ruang anterior. Iritis merupakan perubahan serius
yang sering terjadi, terjadi de novo atau berkaitan dengan reaksi. Sering kali terjadi
bintik-bintik pada saraf kornea dan dapat menjadi penanda diagnostik.
Pada semua pasien LL dan pada BL yang ekstensif menjadi perluasan infeksi.
Pada keterkaitan saluran pernapasan atas yaitu dari ujung hidung melalui pita suara,
bermanifestasi sebagai rinitis, perforasi septa, kolaps nasal dan suara serak.
Sebagaimana yang dinilai dengan peningkatan kadar FSH dan LH, keterkaitan testis
dengan berkurangnya produksi testosteron sering terjadi pada laki-laki dengan LL,
jarang terjadi pada laki-laki BL, dan secara klinis bermanifestasi dengan keluhan
impotensi dan infertilitas, dan pada pemeriksaan terdapat atrofi. Keterlibatan hepar,
lien, limfonodi perifer, dan sumsum tulang sering terjadi, namun kerusakan organ
yang terbukti secara klinis tidak biasa terjadi. Dengan kemoterpi efektif, disabilitas
kronis dari okular atau keterkaitannya dengan saluran pernapasan atas lebih jarang
terjadi dibandingkan dengan sebelumnya, tetapi tidak menghilang. Pemeriksaan
optalmologis dan otolaringologis penting untuk mengevaluasi dan pengobatan
perubahan akut, serta untuk mencegah perubahan pada pasien dengan lepra.

KEHAMILAH DAN POSTPARTUM. Kehamilan dikatakan menjadi faktor


penyokong lepra pada 10-25% pasien wanita, diperkirakan akibat perubahan
imunitas. Ketika hamil, pasien LL dan BL cenderung berkembang menjadi ENL,
tetapi pada periode postpartum, cenderung terjadi reaksi reversal yang diduga akibat
menurunnya imunitas yang terdapat sebelumnya dan menyimpan imunitas
selanjutnya.32 Pasien BL dan LL yang sedang menyusui dan tidak mendapatkan terapi
mengandung basil hidup pada air susu, tetapi tidak meningkatkan resiko transmisi

  13  
penyakit yang dapat diidentifikasi basil yang tertelan bayi.33 Dapson pada air susu ibu
dapat menghasilkan hemolisis pada bayi.

ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME/AIDS. Berlawanan dengan


tingginya insidensi tuberkulosis dan infeksi M. avium intraseluler pada pasien
HIV/AIDS, lepra tidak dianggap sebagai infeksi oportunistik, kemungkinan sebagai
konsekuensi bahwa M. leprae menjadi parasit obligat intraseluler. Sebagai contoh,
pada suatu penelitian HIV/AIDS tidak menunjukkan pengaruh ekspresi penyakit
(tuberkuloid dibandingkan dengan lepromatosa) atau frekuensi kondisi reaksi, namun
merupakan faktor risiko terhadap rekurensi reaksi DTH.34 Walaupun begitu, laporan
terbaru mengenai lepra yang muncul sebagai reaksi DTH pada pengobatan highly
active antiretroviral therapy (HAART) perlu untuk ditinjau ulang.35

LEPRA RELAPS. Pasien multibasiler yang tidak patuh atau berkembangnya


resistansi obat cenderung relaps. Pada individual tersebut dapat muncul dengan
beberapa cara, termasuk (1) pengulangan gambaran awal, (2) lesi florid yang
menyerupai dermatofibroma (lesi histoid), (3) kondisi reaksi, dan (4) kondisi klinis
resitansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan gambaran awal, sebagai contoh,
individu dengan gambaran awal LLs pada BL maupun BT. Pasien LLp tidak
berkembang menjadi reaksi reversal.

KONDISI REAKSI
Pada kondisi reaksi lepra merupakan proses peradangan dengan kerusakan jaringan
tertentu dan diduga dikendalikan secara imunologis. Lepra secara besar-besaran
meningkatkan morbiditas penyakit dan akibat pengalaman dimana pasien
memerlukan perawatan yang optimal, diputuskan bahwa leprologi sebagai
subspesialis klinis. Jika terdapat kondisi reaksi yang tumpang tindih dengan
granuloma, namun kondisi reaksi biasanya mendominasi gambaran klinis. Kondisi
reaksi sering kali dihentikan sebagai komplikasi pengobatan, namun dapat terjadi
sebelum pengobatan dimulai atau setelah pengobatan berakhir. Hal ini dapat
menyulitkan pasien sehingga mengeluh, “saya telah melakukan semua yang
disarankan dokter, namun keadaanya memburuk.”

  14  
REAKSI REVERSAL (REAKSI JOPLING TIPE I). Reaksi reversal terjadi
terutama pada pasien BL, namun tidak jarang pada LLs, BB, atau BT.36 Reaksi
reversal didukung oleh bukti penting dengan adanya respon delayed-type
hypersensitivity (DTH) dan juga diketahui sebagai reaksi DTH. Dipikirkan secara
teoritis bahwa pasien dapat membaik menjadi kondisi granulomatosa yang lebih
resistan, tidak berubah, maupun menurun menjadi kondisi kurang resistan. Kondisi
yang menurun jarang didapatkan pada pengamatan, dan reaksi tipe I berkaitan dengan
reversal (perbaikan). Oleh karena itu reaksi reversal sering kali bersinonim dengan
“upgrading” yang menghasilkan perbaikan CMI atau “reaksi” DTH. Pada pasien LLp
tidak berkembang reaksi DTH.
Secara klinis, reaksi DTH digambarkan dengan perubahan mendadak pada
plak sebelumnya yang mati rasa hingga lesi yang membengkak, dan lesi yang
membengkak muncul pada kulit normal dengan atau tanpa neuritis onset mendadak.
Warna eritematosa ungu kehitaman merupakan ciri khasnya. Varian morfologis
meliputi perubahan eksematosa, konsentris, dan anular. Lesi soliter jarang terjadi,
seperti yang dapat terjadi pada BT yang membaik menjadi TT sering kali multiple,
dan menjadi tak terhitung seperti pada BL atau LLs yang membaik menjadi BT. Iritis
dan limfedema (elephantiasis graecorum) dapat berubah secara bersamaan. Neuritis
juga mempunyai rentang dari ringan hingga berat, dan memiliki potensi bencana,
terutama jika mengenai beberapa saraf. Sebagai contohnya, pada LL sering terjadi
dan pada BL kadang kala terjadi, nyeri serabut saraf C yang layu dan menghasilkan
menurunnya persepsi nyeri dan pada kasus yang berat dapat menghasilkan hilangnya
sensasi nyeri protektif. Hal ini dapat merujuk pada kerusakan sensorik dengan pola
stocking glove. Kerusakan motorik terkait saraf sebagai tabahan pada hilangnya
sensasi yang dapat terjadi pada lengan dan tungkai distal.
Pasien sering kali muncul dengan reaksi DTH, dan reaksi DTH terjadi sesaat
setelah munculnya dan inisiasi pengobatan telah terjadi reaksi DTH dari awal.37
Diperkirakan gejala dan tanda yang makin menyolok merupakan motivasi pasien
untuk mencari pengobatan. Pada satu tahun pertama pengobatan yang paling sering
terjadi, reaksi DTH dapat terjadi 7 tahun atau lebih lama setelah dimulainya terapi,
dan membaik setelah penghentian pengobatan. Diagnosis reaksi DTH utamanya
ditegakkan secara klinis, namun jika memungkinkan dilakukan konfirmasi secara
histologis.

  15  
Gambar 186-7 A. beberapa lesi awal muncul pada pasien dengan reaksi DTH pada
pasien BL. Pembengkakan, warna keunguan, dan tepi tajam sangat menyokong reaksi
reversal. Lesi tidak terasa nyeri maupun lunak. Perbedaan antara lesi tersebut
ditunjukkan bahwa reaksi DTH yang tidak didasari oleh penyakit BL, mendominasi
gambaran klinis. B. Pasien juga terdapat onset awal foot drop pada kaki kiri.
Kemerahan pada kulit kaki kiri dan tungkai menunjukkan hubungan hilangnya saraf
simpatis.

HISTOLOGI REAKSI REVERSAL. Biopsi jaringan reaksi reversal jika


dibandingkan dengan biopsi sebelum terjadinya reaksi pada pasien yang sama,
hampir selalu tidak berbeda. Walaupun begitu, perubahan yang paling sering terjadi
adalah adanya edema. Perubahan yang sering terjadi lainnya adalah peningkatan
diferensiasi epiteloid makrofag, peningkatan limfosit, sel raksasa tipe Langhans dan
benda asing sering kali bercampur, terjadi penebalan epidermis dan kadang terdapat
peningkatan bekteriolisis. Histologi saraf dapat berubah dengan cepat pada reaksi
reversal, dimana saraf dapat dihancurkan oleh infiltrat granulomatosa. Edema dan
tuberkel epiteloid yang berkembang baik terkait dengan BTA, sel plasma, atau
campuran sel raksasa Langhans dan benda asing membangkitkan kecurigaan reaksi
reversal.

ERYTHEMA NODOSUM LEPROSUM (REAKSI JOPLING TIPE II). ENL


hampir selalu terjadi pada LL, pada lebih dari 75% kasus, tetapi tidak jarang pada
pasien BL. ENL bukan merupakan eritema nodosum yang terjadi pada lepra; hal ini
merupakan respon spesifik lepra, yang memiliki gambaran klinis dan histologis yang
mempunyai kemiripan dengan eritema nodosum. Hal ini dapat terjadi sebelum,
selama maupun setelah kemoterapi. Selain pasien yang tidak diterapi yang muncul
akibat ENL, waktu median onset ENL mendekati 1 tahun setelah onset terapi. Secara
klinis reaksi tersebut dicirikan oleh sekumpulan nodul subkutan dan dermis yang

  16  
nyeri dan keras berwarna merah muda cerah pada kulit yang normal secara klinis,
disertai dengan demam, anoreksia, dan malaise. Athralgia dan arthritis lebih sering
terjadi pada ENL dibandingkan dengan neuritis, adenitis, orkitis/epididimitis, atau
iritis, tetapi masing-masing jarang terjadi pada gambaran awal. Lesi dapat menjadi
targetoid, vesikular, pustular, ulseratif, atau nekrotik. Leukositosis neutrofilik dapat
terjadi, kadang kala sesuai derajat leukemoid. Episode berat dapat berkaitan dengan
turunnya kadar hemoglobin secara mendadak, hingga 5 g/dL, mudah keliru dengan
hemolisis yang diinduksi oleh dapson. Perbaikan dramatis pada respon terhadap
thalidomide pada lebih dari 90% pasien, kemungkinan sebagai syarat kriteria
diagnostik. Ketika lepra muncul sebagai ENL, terdapat sedikit ataupun tanpa
kecacatan dari penyakit yang mendasari. ENL dapat dicetuskan oleh kehamilan atau
infeksi piogenikum.
Walaupun episode ENL dapat menjadi sporadis, pada pasien yang terlibat
lebih berat, episode dapat menjadi lebih kerap hingga hampir tidak dapat teratasi.
Pada saat terjadi episode yang hampir tidak dapat teratasi, terdapat indurasi yang
keras pada paha anterior dan lengan bagian preaksial sebagai ciri khas, kemungkinan
merupakan fibrosis reversibel. Pada kondisi ENL sering kali median durasinya
memanjang terhadap pengobatan anti-inflamasi hingga diperkirakan 5 tahun. Jika
diagnosis ENL dipertimbangkan, biasanya tidak sulit, dengan gambaran klinis dan
histologis dan respon terhadap terapi thalidomide yang sangat khas.

Gambar 186-8 Lesi ENL papular muncul pada wajah dan lengan pasien LL.
Sebagian papul menjadi konfluen membentuk plak. Berlawanan terhadap lesi ENL
nodular, lesi ENL papular secara luas lebih melibatkan dermis dibandingkan dengan
subkutan.

  17  
HISTOLOGI ENL. Pola “bottom-heavy” merupakan gambaran tenaga rendah pada
sebagian besar lesi ENL, menunjukkan gradien sel radang, jarang pada papila dermis
dan berjumlah banyak pada dermis bawah atau subkutan. Histologi alternatif yang
jarang terjadi yaitu infiltrat pan-dermis dengan penanda edema papila dermis. Pada
lesi ENL, neutrofil merupakan sel “penanda”, namun tidak dapat ditemukan jika
sampel diambil dari lesi lama. Perluasan infiltrat neutrofil sangat bervariasi, dari
sangat padat yang membentuk abses kecil, atau sangat jarang. Gambaran lain yang
sering terjadi adalah peningkatan limfosit, penebalan epidermis, panikulitis lobular,
dan fibrosis. Vaskulitis tidak sering tetapi tidak jarang terjadi yang muncul dengan
distribusi fokal.

FENOMENA LUCIO. Hal ini merupakan infark hemorargik dengan onset dramatik
pada kulit, yang paling sering terjadi di Mexico dan daerah Karibia dan terbatas pada
pasien dengan lepromatosis Latapi (Lucio’s leprosy).
Jika lepromatosis Latipi berkembang sempurna memiliki gambaran infiltrasi
difus pada kulit, yang cukup keunguan pada tangan dan kaki, matras telangiektasis,
perforasi septum nasi, alopesia totalis pada bulu mata dan rambut alis, dan sering kali
terjadi gangguan sensorik dengan pola stocking glove. Nodul subkutan keras yang
dapat teraba namun tidak terlihat. Tidak terdapat keterlibatan okular.
Fenomena Lucio biasanya terjadi setelah lepromatosis Latapi yang
berkembang baik dan dengan beberapa pengecualian, sebelum memulai terapi. Infark
hemorargik, muncul dalam sekumpulan, dan memiliki tepi bergerigi yang mencirikan
infark septik dan nyeri namun tidak lunak. Lesi biasanya berupa krusta dan dapat
menyembuh dapat menjadi parut. Beberapa lesi berupa bulosa. Ulserasi sering terjadi
terutama di bawah lutut. Lesi dengan ukuran yang bervariasi dan meluas, berkisar
dari beberapa lesi kecil pada ankle hingga ulserasi besar dalam jumlah banyak yang
mengancam jiwa. Dengan dapson tunggal, lesi dapat memburuk, namun dengan satu
perkecualian, lesi baru berhenti dalam 1 minggu dari permulaan rifampin.

UJI LABORATORIUM

Uji polymerase chain reaction (PCR) untuk diagnosis lepra tidak digunakan dalam
praktek klinik, seperti pada jaringan BT dengan BTA negatif, sinyal positif terjadi
kurang dari paruh waktu. Sebagian besar kelainan hasil laboratorium terjadi pada LL
atau BL luas. Hiperglobulinemia merupakan hal yang paling sering terjadi, dengan

  18  
peningkatan sedimentation rate. Uji serologi dengan hasil positif palsu biologis
sering terjadi pada sifilis, anemia penyakit kronis, dan limfopenia ringan. Antibodi
antifosfolipid menjadi tidak signifikan secara klinis terjadi pada 50% pasien LL, dan
dapat meningkat terhadap antikoagulan lupus atau aglutinasi eritrosit kambing (faktor
Rubino).53 Jika terlihat pengecatan apusan buffy coat menunjukkan basil hingga
105/mL. Peningkatan lisozim serum dan jumlah angiotensin-converting enzyme
menunjukkan akumulasi luas dan aktivasi makrofag yang mensintesis protease
tersebut. Proteinuria, tidak jarang bekaitan dengan glomerulonefritis akut yang
terlihat pada sebagian besar pasien dengan ENL. Kadar testosteron yang rendah
bersamaan dengan tingginya jumlah serum follicle-stimulating hormone (FSH) dan
luteinizing hormone (LH) mengindikasikan penyakit testis yang terjadi pada sebagian
besar laki-laki dengan LL, namun minoritas pada laki-laki dengan BL.

DIAGNOSIS

Diagnosis kuat lepra memerlukan adanya kelainan saraf perifer yang konsisten atau
adanya BTA pada jaringan.
Pada area non endemis, kesalahan diagnosis hanya disebabkan oleh posibilitas
lepra menjadi tidak dipertimbangkan. Tidak terdapat uji untuk mengeksklusi lepra.
Disebabkan oleh M. leprae tidak dapat tumbuh pada media bebas sel, adanya
mikobakteria dengan kandungan tahan asam digunakan pada sebagian besar
diagnosis. BTA pada potongan jaringan paling baik terlihat dengan pengecatan
carbolfuchsin, menggunakan metode Ziehl-Neelsen yang telah dimodifikasi, yang
secara kolektif disebut pengecatan Fite-Farraco. M. leprae, seperti spesies Nocardia,
merupakan satu-satunya yang tahan asam lemah. Pada apusan, baik metode Ziehl-
Neelson atau pengecatan auramine-rhodamine dengan mikroskop fluorescent dengan
hasil memuaskan. Disebabkan oleh gambaran klinis dan perubahan histologi,
spesifikasi positif pada M. leprae jarang diperlukan. Adanya M. leprae pada saraf
atau adanya granuloma sel epiteloid pada saraf merupakan penanda diagnostik,
sedangkan perubahan gambaran histologis dapat mengesankan atau menyokong
diagnosis lepra.

  19  
KOTAK 186-2 REKOMENDASI TERAPI ANTIBAKTERI LEPRA
ORGANISASI YANG TIPE RIFAMPIN DAPSON CLOFAZIMIN DURASI FOLLOW
MEREKOMENDASIKAN PENYAKIT UP
WHO PB (Lesi 1-5) 600 100 mg/hari - 6 bulan Tidak
mg/bulan disarankan.
Kembali
jika perlu
MB (lesi >5) 600 100 mg/hari 50 mg/hari 1 tahun Tidak
mg/bulan 300 mg/bulan disarankan.
Kembali
jika perlu
US Public Health Service PB (Lesi 1-5) 600 mg/hari 100 mg/hari - 1 tahun Pada
interval 6
bulan
selama 5
tahun
MB (lesi >5) 600 mg/hari 100 mg/hari 50 mg/hari 2 tahun Pada
interval 6
bulan
selama 10
tahun
AGEN ANTIMIKROBA DOSIS
LAIN
Klaritromisin 500 mg/hari
Minosiklin (pengganti untuk 100 mg/hari
dapson atau klofazimin)
Ofloksasin 400 mg/hari

KOMPLIKASI

Komplikasi yang umum terjadi pada lepra muncul dari kerusakan saraf perifer,
insufisiensi vena, atau parut. Diperkirakan seperempat hingga sepertiga pasien yang
baru terdiagnosis lepra terdapat atau akan muncul beberapa disabilitas sekunder
kronis hingga kecacatan saraf yang ireversibel, biasanya terdapat pada tangan atau
kaki maupun terkait dengan mata. Paparan keratitis merupakan hasil dari berbagai
faktor termasuk mata kering, insentivitas kornea, dan lagoftalmos. Keratitis dan lesi
ruang anterior tersebut (termasuk keterlibatan iris, sklera, atau saraf kornea) dapat
menyebabkan kebutaan. Insufisiensi vena sekunder yang terkait endotel katup vena
profunda dapat memicu dermatitis stasis dan ulkus pada tungkai. Kerusakan sendi-
sendi (Charcot joints) dapat terjadi akibat hilangnya sensasi nyeri protektif.
Keterlibatan saraf simpatis menyebabkan menurunnya hidrosis yang memicu telapak
tangan dan kaki kering. Hal tersebut dapat bersamaan dengan siklus kerusakan kulit
yang repetitif akibat menurunnya nyeri protektif yang menyebabkan hiperkeratosis,
pembentukan fisura, dan superinfeksi bakteri. Kerusakan hidung pada LL disebabkan
oleh kontraktur jaringan parut yang menggantikan tulang dan kartilago. Komplikasi
yang jarang terjadi pada fenomena Lucio yaitu septikemia akibat ulserasi luas dan
kontraktur sekunder hingga pembentukan parut.

  20  
KOTAK 186-3 TATALAKSANA MEDIS KONDISI REAKSI
THALIDOMIDE PREDNISON / DURASI AGEN LAIN
PREDNISOLON YANG TIDAK
TERBUKTI
BERNILAI
Reaksi reversal Tidak bernilai 0,5-1,0 mg/kg Biasanya Agen anti inflamasi
(reaksi tipe I) Rifampicin dapat memerlukan 6 bulan non steroid.
meningkatkan – 2 tahun. Dapat
katabolisme. lebih panjang atau
Diturunkan lebih pendek.
perlahan.
Pengobatan
alternate-day dapat
ditoleransi dengan
baik
Erythema nodosum Obat yang paling Jika thalidomide Durasi median Pentoksifilin
leprosum (reaksi manjur jika tersedia tidak tersedia, 0,5- pengobatan Clofazimin
tipe II) dan bukan 1,0 mg/kg/hari diperkirakan 5
merupakan tahun. Dapat
kontraindikasi. 1 menetap selama 10
dosis inisial 100- tahun.
200 mg 4x/hari
waktu tidur. Dosis
rumatan berkisar
50mg setiap hari
hingga 500mg
perhari
Fenomena lucio Tidak bernilai Mungkin dapat - Plasmapharesis
(biasanya berhenti membantu dilaporkan
dengan penggunaan membantu pada
agen mikrobisidal) pasien yang tidak
tertangani.

Kerusakan saraf memicu hilangnya inervasi otot yang mengakibatkan


kelemahan. Siklus repetitif pada kerusakan dan superinfeksi bakteri dengan adanya
kehilangan sensasi nyeri protektif, merupakan sumber kerusakan jaringan yang berat
pada lepra. Kontraktur, sekunder terhadap kelemahan otot atau pembentukan parut,
dapat menghasilkan deformitas lebih lanjut. Tatalaksana dan pencegahan
permasalahan yang muncul dari kerusakan saraf memerlukan keterampilan ahli bedah
orthopaedi, optalmologis, podiatris, bedah plastik, terapi fisik, orthotis, dan atau
terapi okupasi.

  21  
PROGNOSIS DAN KONDISI KLINIS

Satu-satunya pasien lepra yang akan sembuh sendiri tanpa terapi adalah pasien TT
atau BT yang membaik menjadi TT. Walaupun begitu penyakit akan menjadi
progresif dengan morbiditas akibat kerusakan saraf dan atau kondisi tumpang tindih
dengan reaksi. Pengobatan dapat menahan sebagian besar aktivitas penyakit namun
kerusakan sensorik yang berupa pola stocking-glove akan terus berkembang. Neuritis
perifer onset terbaru dapat membaik dengan pengobatan kortikosteroid. Seperti
halnya pada sindrom paska polio, kerusakan sensorik yang muncul lambat kadang
kala terlihat dan hal ini sulit dipahami dan dikelola.

  22  

Anda mungkin juga menyukai