Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Morbus Hansen disebut juga kusta atau lepra, merupakan penyakit tertua
yang sampai sekarang masih ada. Lepra berasal dari bahasa India kustha
(kumpulan gejala-gejala kulit secara umum), dikenal sejak 1400 tahun sebelum
masehi. Penyakit kusta ini disebut juga Morbus Hansen karena sesuai dengan
nama yang menemukan kuman yaitu Dr. Gerhard Henrik Armauwer Hansen pada
tahun 1874, di Norwegia. Lepra (penyakit Hansen) adalah infeksi menahun yang
disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat, dan
pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu Mycobacterium
lepramatosis. Bakteri ini menyerang saraf perifer, kulit, mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian organ lainnya kecuali susunan saraf pusat.
Penularan lepra secara pasti belum diketahui. Sekitar 50% penderita kemungkinan
tertular karena berhubungan dekat dengan seseorang yang terinfeksi (kontak
langsung antarkulit yang lama dan erat), dan bisa juga melalui inhalasi. Lepra
merupakan penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena dapat
menyebabkan ulserasi, mutilasi dan deformitas. Penderita lepra tidak hanya
menderita akibat penyakitnya saja tetapi juga karena dikucilkan masyarakat
sekitarnya.
Morbus Hansen menyerang semua umur dan menyebar luas keseluruh
dunia, terutama di Asia, Afrika, Amerika Latin, Daerah tropis dan Subtropis, serta
masyarakat yang sosial ekonomi rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin
berat penyakitnya, sebaliknya faktor sosial ekonomi tinggi sangat membantu
penyembuhan. Jumlah kasus diseluruh dunia selama 12 tahun terakhir ini telah
menurun 85%. Di Indonesia jumlah kasus yang tercatat pada akhir maret 1997
adalah 31.699 orang, distribusi tidak merata, yang tertinggi diantara lain di Jawa
Timur, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Frekuensi tertinggi terdapat pada
kelompok umur antara 25 sampai 35 tahun. Penyakit kusta berhubungan dengan
respon imunologi, 95% populasi manusia memiliki kekebalan alamiah terhadap
M. Leprae.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun
dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan
testis dan sendi-sendi.

2.2. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas nya sangat
bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5
tahun. Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35
tahun. Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama.

Prevalensi Lepra di Dunia.


Berdasarkan data resmi dari Departemen Kesehatan di negara-negara endemik,
deteksi tahunan global kusta telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2001.
Deteksi kasus baru pada tahun 2004 adalah 407.791 namun, telah jatuh ke
228.474 pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. Terjadi lebih dari 46%
penurunan kasus baru.
Tabel Daftar Kasus Baru di Negara-negara Endemik.

Indonesia Eliminasi Kusta mengklaim telah berhasil mengurangi tingkat kejadian


kurang dari 1 per 10000 orang pada pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan
terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Prevalensi global kusta adalah 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan
prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang mempengaruhi
0,91 dari 10000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen Kesehatan
Indonesia. Hingga saat ini Indonesia menempatkan negara sebagai insiden
tertinggi ketiga kustadi dunia. Hal ini berhubungan dengan kemiskinan, tinggal di
pedesaan, dan penyakit HIV. Kebanyakan individu memiliki kekebalan alami dan
tidak terlindung dari penyakit tersebut.
2.3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat
intrasel, aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro , berbentuk basil Gram positif
dengan ukuran 3 – 8 μm x 0,5 μm, bersifat tahan asam dan alkohol. Kuman ini
memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di
sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat
ditemukan iskemia, fibrosis, dan kematian akson. Mycobacterium leprae dapat
bereproduksi maksimal pada suhu 27°C – 30°C, tidak dapat dikultur secara in
vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan Tumbuh dengan baik pada jaringan
yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer,hidung, cuping telinga, anterior
chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area
yang hangat (aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung)

Mycobacterium leprae Mycobacterium Leprae pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen

Secara skematik struktur M. leprae terdiri dari :


A. Kapsul
Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan
berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas bentuk M.
leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang
dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid, yang
terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul
fenol pada lemak (phthiocerol). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik
dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. leprae.
B. Dinding sel
Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu:
 Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida
yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan
rantai panjang asam mikolat , mirip dengan yang ditemukan pada
Mycobacteria lainnya.
 Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan: karbohidrat yang dihubungkan
melalui peptida-peptida yang memiliki rangkaian asam-amino yang
mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit
untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.

C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.

D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30°C lebih rendah dari suhu tubuh
menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman
ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat
di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah
diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu
lamadalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.

Struktur Molekular Mycobacterium Leprae.

Penyebaran infeksi didapat apabila terdapat kontak dalam jangka waktu


yang lama dengan pasien Lepra Lepromatous, yang terdapat Micobacterium
leprae di sekret hidung dan lesi kulit. Masa inkubasi lepra tipe tuberkuloid adalah
5 tahun sedangkan, tipe lepromatosa 20 tahun atau lebih.
Menurut Marwali Harahap (2000), Mycobacterium leprae mempunyai 5
sifat, yakni :
1. Mycobacterium leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak
dapat dibiakkan pada media buatan.
2. Sifat tahan asam Mycobacterium leprae dapat diekstraksi oleh piridin.
3. Mycobacterium leprae merupakan satu-satunya mikrobakterium yang
mengoksidasi D-Dopa (D-Dihydroxyphenylalanin).
4. Mycobacterium leprae adalah satu-satunya spesies mikobakterium yang
menginvasi dan bertumbuh dalam saraf perifer.
5. Ekstrak terlarut dan preparat Mycobacterium leprae mengandung komponen
antigenik yang stabil dengan aktivitas imunologis yang khas yaitu uji kulit
positif pada penderita tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.
2.4. Klasifikasi
1) Jenis klasifikasi yang umum
a.  Klasifikasi Internasional (1953)
 Indeterminate (I)
 Tuberkuloid (T)
 Borderline-Dimorphous (B)
 Lepromatosa (L)

b.  Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962).


 Tuberkoloid (TT)
 Boderline tubercoloid (BT)
 Mid-berderline (BB)
 Borderline lepromatous (BL)
 Lepromatosa (LL)
1.    Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regresi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman kusta.
2.    Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak
yang sering disertai lesi satelit di tepinya.Jumlah lesi dapat satu atau beberapa,
tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe
tuberkuloid.Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya
asimetris.Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3.    Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum
penyakit kusta.Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang
dijumpai.Lesi dapat berbentuk makula infiltratif.Permukaan lesi dapat berkilap,
batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung
simetris.Lesi sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4.    Tipe borderline lepromatosa (BL)
Secara klasik lesi dimulai dengan makula.Awalnya hanya dalam jumlah
sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan.Makula lebih jelas dan lebih
bervariasi bentuknya.Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan
distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada
bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat
lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak
seperti punched out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi,
hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul
dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat
predileksi.
5.    Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis.Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga.Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.Pada stadium lanjut
tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai
madarosis, iritis dan keratis.Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada
hidung.Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
menjadi atrofi testis.Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan
glove anaesthesia.Bila penyakit ini menjadi progresif, muncul makula dan papul
baru, sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.
c.  Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981)
dan modifikasi WHO (1988)
 Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif
menurut kriteria Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut
klasifikasi Madrid.

 Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe
kusta dengan BTA positif.

Untuk pasien yang sedang dalam pengobatan harus diklasifikasikan


sebagai berikut : Bila pada mulanya didiagnosis tipe MB, tetapi diobati sebagai
MB apapun hasil pemeriksaan BTA-nya saat ini. Bila awalnya didiagnosis tipe
PB, harus dibuat klasifikasi baru berdasarkan gambaran klinis dan hasil BTA saat
ini.
Tabel Bagan Diagnosis Klinis menurut WHO (Kosasih, 2010)
PB (Pausibasilar) MB (Multibasilar)
Lesi kulit (makula yang 1-5 lesi >5 lesi
datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih
meninggi, infiltrate, Distribusi tidak simetris simetris
plak eritem, nocus)
Kerusakan saraf Hilangnya sensasi yang Hilangnya sensasi
(menyebabkan jelas kurang jelas
hilangnya Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena
BTA Negatif Positif
Tipe Indeterminate (I), Lepromatosa (LL),
Tuberkuloid (T), Borderline lepromatous
Borderline tuberkuloid (BL), Mid borderline
(BT) (BB)
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI) seseorang yang akan
menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
Mycobacteriumleprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum
penyakit kusta.

2) Berdasarkan klasifikasi Ridley and Jopling, penyakit kusta dibagi


menjadi :
a. Indeterminate leprosy(I) : makula hipopigmentasi, terkadang makula
eritema. Kehilangan rasa sensoris belum ada. Sekitar 75% penderita
mengalami kesembuhan spontan, sedangkan pada yang lainnya akan
tetap pada bentuk ini sampai ketika imunitas menurun, maka akan
berubah menjadi bentuk yang lain (Lewis, 2010).
b. Tuberculoid leprosy(TT): lesi kulit minimal. Biasanya hanya berupa
satu plak eritem dengan bagian tepi yang meninggi. Predileksi pada
wajah, ekstremitas, intertriginosa, dan kepala. Lesi kering, skuama,
hipohidrotik, dan tanpa rambut. Pada bentuk ini, lesi pada kulit sudah
mengalami anestesi (Lewis, 2010).
c. Bordeline tuberculoid leprosy (BT): lesi sama dengan tipe
tuberculoid, namun lesi lebih kecil dan banyak. Berupa makula
anestesi atau plak yang disertai lesi satelit di pinggirnya. Gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit dan skuama tidak jelas. Saraf tidak
terlalu membesar dan tidak terlalu menyebabkan alopesia
dibandingkan tipe tuberculoid.Bentuk ini biasanya bertahan/tetap,
namun dapat kembali pada tipe tuberkuloid atau progresif menuju
bentuk lepromatosa (Lewis, 2010).
d. Borderline borderline leprosy(BB) : tipe yang paling tidak stabil,
disebut juga dimorfik dan jarang dijumpai. Lesi kulit banyak, merah,
berupa plak ireguler. Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk,
maupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched outyaitu
hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah. Distribusi menyerupai
bentuk lepromatosa, namun asimetris. Dapat terjadi adenopati regional
(Lewis, 2010).
e. Borderline lepromatous leprosy(BL): lesi banyak dan terdiri atas
makula, papula, plak dan nodul. Terdapat lesi punched-out annular.
Anestesi tidak terjadi (Lewis, 2010).
f. Lepromatous leprosy(LL): lesi awal berupa makula yang pucat.
Makula kecil, difus dan simetris. Anetesi tidak terjadi pada bentuk ini,
saraf tidak menebal, dan hidrotik. Hilangnya rangsang saraf lambat
dan progresif(Lewis, 2010).

2.5. Patogenesa
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang
tersering adalah melalui kulit atau rute penghidu. Respon kekebalan tubuh
manusia yang berkerja terhadap untuk M.leprae terdapat dua tingkat. Tingkat
pertama, secara keseluruhan kerentanan / ketahanan terhadap infeksi dimediasi
oleh imunitas non spesifik yang diperankan oleh monosit. Jika imunitas non
spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka akan diekpresikan pada tingkat
kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan munculnya delayed
hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas seluler spesifik
dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC (Antigen
Presenting Cells).

Prinsip Mekanisme Imunitas Spesifik dan Non Spesifik


Imunitas Selular dan Humoral pada Imunitas Spesifik
Bakteri yang ditangkapkan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk
mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh
Mycobacterium leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya
subklinis saja. Setelah berbagai imunitas nonspesifik tersebut gagal,maka barulah
akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel
imunokompeten oleh stimulasi antigen Mycobacterium leprae. Respon imun inate
yang efektif dengan virulensi basil kusta yang rendah mungkin mendasari
resistensi terhadap perkembangan penyakit.
Sel dendritik yang terinfeksi M.Leprae akan mempresentasikan PGL-1 pada
permukaan sel. Reaksi ini menurunkan fungsi dari sel dendritik tersebut untuk
mengekspresikan terhadap antibody spesifik (Limfosit T yang berfungsi dalam
proliferasi dan memproduksi IFN-gamma).
Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya
sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada
individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-
helper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-
2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag.
Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan
memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi. Pada kusta tipe TT
kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup
menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semuakuman difagositosis, makrofag
akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang
bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan
terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya.
Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag
gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara
mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang
biak di dalamnya. Sel ini disebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra
yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone. Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alis mata, kaki, dll). Pada kusta tipe LL
terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengandemikian makrofag tidak
mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan
bebas yang kemudian dapat merusak jaringan.

Patogenesis Kerusakan Saraf


Interaksi α2LG dari G domain sel Schwann dengan PGL-1 dan ML-LBP21
dinding sel M. leprae.

Interaksi Sel Schwann dengan M. Leprae

2.6. Diagnosis
A. Anamnesis
 Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan
fungsi pada saraf.
 Obyektif :Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga
misalnya Keadaan sosial ekonomi.
 Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya,
Sebagai sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.

Gejala Klinis
Diagnosis secara terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14
hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada
sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloud, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Agar proses selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.
Kontak

Infeksi non infeksi

Subklinis
95%
sembuh
70% Indeterminate (I)
Intermediate (I)
30 %
Determinate
Determinate

I TT Ti BT BB BL Li LL
Ridley dan Joping memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu :
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline Lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil

Tipe I (Indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe


tuberkoloid polar, yakni tuberkuloid 100%, juga merupakan tipe yang stabil yang
tidak mungkin berubah lagi. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe
borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan 50%
lepromatoda. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih
banyak lepromatosanya. Tipe-tipe capuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat
bebas beralih tipe ke arah TT maupun ke arah LL.

KLASIFIKASI ZONA SPEKTRUM KUSTA


Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid Borderline Lepromatosa
WHO Pausibasilar (PB) Multibasilar (MB)
Puskesmas PB MB

Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan
BB. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT,
BT, dan I.
Menurut WHO pada tahun 1981 kusta dibagi menjadi multibasilar dan
paubasilar. Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL, BB, dan BL. Pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari positif 2,
sedangkan Pausibasilar adalah tipe I, BT dan TT dengan IB kurang dari 2. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif. Pada pemeriksaan
kerokam jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Bila tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukan ke
dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita tipe BB, LL, dan
BL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan
regimen MDT MB. Pada tahun 1995, WHO menyederhanakan klasifikasi kusta
menurut gejala klinis menjadi dua yaitu PB dan MB.

Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik Kusta tipe PB


Tuberkuloid Borderline tuberculoid Indeterminate
Karakteristik
(TT) (BT) (I)
Lesi
-bentuk Makula saja; Makula dibatasi infiltrat; Hanya makula
makula dibatasi infiltrat saja
infiltrat
-Jumlah Satu /beberapa Beberapa atau satu Satu atau
dengan lesi satelit beberapa
-Distribusi Terlokalisasi &
asimetris Asimetris Bervariasi
-Permukaan Kering, skuama Kering, skuama Dapat halus
agak berkilat
-batas Jelas Jelas Dapat jelas
atau dapat
tidak jelas
-anestesia Jelas Jelas Tidak ada
sampai tidak
BTA jelas
-Lesi kulit Negatif Negatif atau 1 + Biasanya
negatif
-Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah (2 +) Dapat positif
lemah atau
negatif
Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik Kusta tipe MB
Lepromatosa Borderline Mid-borderline
Karakteristik
(LL) lepromatosa (BL) (BB)
Lesi
-bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrate difus Plakat Dome-shaped
Papul papul (kubah)
Nodus punched-out
infiltrat papul,
nodus

-Jumlah Banyak, distribusi Banyak, tapi kulit Beberapa, kulit


luas, praktis tidak sehat masih ada sehat jelas ada
ada kulit sehat

-Distribusi simetris Hampir simetris asimetris


-Permukaan Halus dan berkilap Halus dan berkilap agak kasar, agak
berkilat
-batas Tidak jelas Agak jelas agak jelas
Sedikit berkurang berkurang
-anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas lebih jelas
tidak jelas

BTA
-lesi kulit Banyak (ada Banyak agak banyak
globus)
-sekret hidung Banyak (globi) Biasanya negatif negatif

Tes lepromin Negative Negatif biasanya negatif

Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan


tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai
dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga
secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Ridley dan jopling, tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe
indeterminate (I). lesi biasanya berupa makula hipopigmentasi dengan sedikit
sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di bagian ekstensor
ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila
dengan pemeriksaan histopatologik.
Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam, tergantung dari tingkat
atautipe dari penyakit tersebut yaitu: Adanya bercak tipis seperti panu pada
badan/tubuh manusia, Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi
lama-lama semakin melebar dan banyak, Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneu, Kelenjar keringat
kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan mengkilat. Adanya bintil-bintil
kemerahan (leproma, nodul) yang tersebar pada kulit, Alis rambut rontok, Muka
berbenjol-benjol dan tegang yang disebut facies leomina (muka singa).

Facies leonina

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya


berbentuk makula saja, infiltrat saja atau campuran. Penyakit kulit yang perlu
diperhatikan sebagai diagnosa banding antara lain adalah dermatofitosis, tinea
vesikolor, ptiriasis rosea, ptiriasi alba, dermatitis seboroik, psoriasi,
neurofibromatosis, granula anulare, xantomatosa, skleroderma, leukemia kutis,
tuberkulosis kutis verukosa dan birth mark. Pada pemeriksaan inspeksi dapat
dijumpai keadaan mirip penyakit lain, namun ada tidaknya anestesia sangat
banyak membantu dalam menegakan diagnosis meskipun belum terlalu jelas dan
hal ini dapat dengan mudah dilakukan dengan pemeriksaan mengunakan jarum
sebagai rangsang nyeri, kapas sebagai rangsang raba, atau pengujian rasa suhu
(panas dingin) dengan mengunakan tabung reaksi.
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi otonom, perhatikan ada
tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas ataupun tidak yang dipertegas
dengan menggunakan pensil, tinta (tanda Gunawan). Cara menggoreskannya
mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada kulit
normal maka goresan akan lebih tebal daripada tengah lesi. Alopesia kadang dapat
ditemukan pada area lesi. Gangguan motorik dapat dinilai dengan Voluntary
Muscle Test (VMT).

Deformitas pada kusta

Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder.


Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk
sebagai reaksi terhadap M.Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di
sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah.
Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya
deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf.
Gejala-gejala kerusakan pada saraf :
1. N.ulnaris
◦ Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
◦ Clawing kelingking dan jari manis
◦ Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial
2. N. medianus
◦ Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk,
dan jari tengah
◦ Tidak mampu aduksi ibu jari
◦ Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah
◦ Ibu jari kontraktur
◦ Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Salah Satu Gejala Kerusakan Saraf (Crawling Hand).

3. N. radialis
◦ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk
◦ Tangan gantung (wrist drop)
◦ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
◦ Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
◦ Kaki gantung (foot drop)
◦ Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
◦ Anestesia telapak kaki
◦ Claw toes
◦ Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
◦ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
◦ Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. trigeminus
◦ Anestesia kulit wajah,
kornea, dan konjungtiva mata
◦ Atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral

Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
semineferus testis.
Alopesia yang terjadi seringkali disebabkan karena infiltrasi granuloma ke
dalam jaringan adneksa kulit hingga ke folikel rambut. Sedangkan ginekomastia
dapat timbul karena inflitrasi granuloma yang pada tubulus seminiferus testis yang
mengakibatkan gangguan hormonal.
Untuk membuat diagnosa klinis perlu diperhatikan kedua bentuk polar dari TT
dan LL dibawah ini. Bentuk campuran mempunyai sifat campuran antara kedua
bentuk polar tersebut. Pada gambar diatas kita dapat melihat hubungan masing-
masing antara spektrum kusta dengan pemeriksaan bakterioskopik, SIS, dan tes
Mitsuda.

Hubungan antara Bakterioskopik, Tes Mitsuda, dan SIS


Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai
dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak.
Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive
atau relapse resistent.
Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan
pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman
yang dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik
dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder.
Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan
sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang
sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten
primer

B. Pemeriksaan Fisik 
 Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang)
diperlukan agar petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
 Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.
auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan
n. tibialis posterior.
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi,
penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia
kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
Saraf tepi yang dekat dengan kulit

Penyakit kusta disebut juga dengan the greatest immitator karena


memberikan gejala yang  hampir  mirip  dengan  penyakit  lainnya. Diagnosis
penyakit  kusta  didasarkan  pada penemuan tanda kardinal (cardinal sign), yaitu:
a. Bercak kulit yang mati rasa
Pemeriksaan  harus  di  seluruh  tubuh  untuk  menemukan
ditempat  tubuh yang lain, maka akan didapatkan bercak  hipopigmentasi
atau  eritematus, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada
bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu, dan
rasa nyeri.

b. Penebalan saraf tepi


Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai dengan atau tanpa
gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: Gangguan fungsi sensoris:
hipostesi atau anestesi, Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis,
gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
c. Ditemukan kuman tahan asam
Untuk  menegakkan  diagnosis  penyakit  kusta,  paling  sedikit 
harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat
ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien
perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta
dapat ditegakkan atau disingkirkan

Pemeriksaan saraf tepi


a. N. Auricularis Magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan
jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba
jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal
besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Pembesaran Saraf

b. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam
hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.

Pemeriksaan Saraf Ulnaris

c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral
dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.

Pemeriksaan Saraf Peroneus Lateralis

d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak tangan,
daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke
kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang
sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang
disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti,
tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian
tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan
air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan
sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau
dingin.

a. Fungsi motoric : N.fasialis dengan memeriksa kekuatan penutupan


bola mata. N.ulnaris dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis
minimi.N.medianus, dengan memeriksa kekuatan m.abductor pollicis
brevis.N.radialis, dengan memeriksa kekuatan fleksi dorsal
pergelangan tangan.N.peroneous, dengan memeriksa kekuatan fleksi
dorsal pergelangan kaki baik pada arah eversi maupun
inverse.N.tibialis posterior, dengan memeriksa kekuatan otot truceps
surae, tibialis posterior, flexor hallucis longus dan flexor digitorum
longus.
c. Tes Otonom
Fungsi Otonom diperiksa dengan memegang tangan atau kaki
penderita untuk menilai kebasahan telapak tangan maupun kaki (fungsi
kelenjar keringat). Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di
makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat
dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus,
n.radialis, dan n. Peroneus

C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL
NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama –
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -
4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril.
Setelah lesi tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan
jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu sediaan.
Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas api kemudian
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :
 Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
 Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit
hingga keluar uap(semua bakteri akan berwarna merah).
 Bilas dengan air mengalir.
 Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2
detik (bakteri tahan asam tetap berwarna merah).
 Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah
yang mengalir pada sediaan.
 Bilas dengan air
 Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam
tidak mengikat warna biru).
 Cuci dengan air  keringkan, lalu amati dengan mikroskop.

Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah


pada sediaan dan dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang
terputus (fragmented), butiran(granular). Secara teori penting
dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan antara yang hidup
dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada
sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan
pandang (LP).
1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Indeks Bakteri

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid


dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid.
IM= Jumlah solid x 100 % = %
Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan :
 Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
 IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA
harus mencari dalam 1.000-10.000 lapangan
 Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
2. Tes Lepromin
Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan
prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk
menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml
lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi
Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez
positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau
penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat
ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis.
 Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang
mati, hasilnya diperiksa setelah 3-4 minggu.
Interpretasi:
 - tidak ada reaksi/ kelainan
 +/- papel + eritema < 3 mm
 +1 papel + eritema  3 – 5 mm
 +2 papel + eritema > 5 mm
 +3 ulserasi
 Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M.
leprae, hasil diperiksa setelah 48 jam.
Interpretasi:
- tidak ada kelainan
 +/- indurasi + eritema < 5 mm
 + 1 indurasi + eritema  5 – 10 mm
 + 2 indurasi + eritema 10 – 15 mm
 + 3 indurasi + eritema  15 – 20 mm
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam
darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut
histiosit. Apabila SIS (Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan
mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman
disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor
kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang
tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel
datia Langhans.
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit
yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan
jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh,
histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada
didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut
sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat
pengangkut penyebarluasan.
Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan
kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit
dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal (
subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah
epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran
unsur – unsur tersebut.
Contoh Gambaran Histopatologi

4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu
diagnosis kusta yang meragukan, apabila tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas.
a. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang
telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan
sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena
adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.
b. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan
dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.
c. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1
dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang
praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan
skrining kasus seropositif.
d. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa
M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik
dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae
adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun
seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan
sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
e. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi
untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam
suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan
menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai
uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau
antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik,
teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk
mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan
menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan
antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya
berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya
menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi. Terdapat
tiga metode ELISA, antara lain:
 Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim,
kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
 Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan
penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi
reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang
dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi
perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
 Sandwich ELISA.
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan
direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan
antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam bidang
penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar
antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1,
antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang
diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti
PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya
IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA
dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau
monoklonal yang telah terbukti sangat spesifisik terhadap
residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan deteksi titer anti
PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk
menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini,
biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu
yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta.

2.8. Diagnosis Banding


Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
 Ada Makula hipopigmentasi
 Ada daerah anestesi
 Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan
asam
 Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-
cabangnya.

a. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis


rosea, atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik.
b. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea
korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea
c. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis,
erysipelas atau psoriasis.
d. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis,
atau erupsi obat

Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam
ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.

Diagnosis Banding
Morbus Hansen Pitiriasis Pitiriasis alba
vesikolor
Penyakit infeksi Bentuk dermatitis yang
Penyakit jamur
yang disebabkan tidak spesifik dan
Definisi superfisial yang
Mycobacterium belum diketahui
kronik
leprae penyebabnya
Mycobacterium
Etiologi Malassezia furfur Didiuga Streptococcus
leprae
Gejala Lesi 1 atau multiple Bercak Lesi bulat, oval atau
Klinis Hipopigmentasi/ berskuama halus plakat tak teratur
eritema yang berwarna Warna merah muda
Sensory loss putih, kekuning- dengan skuama halus
kuningan,
Setelah eritema
kemerahan
menghilang, hanya
Penebalan saraf tepi sampai coklat
dijumpai depigmentasi
hitam
dengan skuama halus
Gatal
KOH 20% : hifa
pendek dan spora-
Pemeriks spora bulat yang
aan Ziehl Neelsen : basil dapat
-
Mikrosko tahan asam berkelompok
pis (meatball and
spaghetti
appeareance)
Lampu
Kuning keemasan
wood

Lepra Tinea
Pitiriasis Versikolor Lepra

Sifilis Sekunder Lepra

2.9. Pengobatan
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT (Multi Drug Treatment) dan
dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO, dengan obat
alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. MDT digunakan sebagai
usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.Obat anti kusta
yang banyak dipakai saat ini DDS, Klofazimin dan Rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin.
1. DDS (Diaminodifenil Sulfon ) atau Dapson
DDS bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi dan mengambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari PABA
(para aminobenzoic) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat
oleh bakteri. Dosisnya 1- 2 mg/kgbb/hari. Efek samping DDS adalah nyeri
kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, NET, anoreksia, hepatitis dan
vertigo.
2. Rifampicin
Rifampicin bersifat bekteriosid yang membunuh kuman, bekerja dengan
cara menghambat DNA – dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta.Dosisnya 10 mg/kgbb. Efek samping
hepatotoksik dan nefrotoksik. Obat ini tidak boleh diberikan monoterapi.
3. Klofazimin atau lampren
Merupakan bekteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta bekerja dengan
menghambat siklus sel dan transpor NA/K ATP ase, juga bersifat anti
inflamasi sehingga dapat menanggulangi ENL .Efek sampingnya warna
merah kecoklatan pada kulit.

Obat Alternatif
1. Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
M.leprae.Dosis optimal harian 400 mg. Efek samping mual ,diare, sakit
kepala. Penggunaan pada anak, wanita hamil dan wanita menyusui harus
hati – hati karna dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
dari klaritromisin dan lebih rendah dari rifampicin. Dosis harian 100 mg.
Efek samping pewarnaan gigi pada bayi dan anak, gangguan saluran cerna
dan dizziness.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik macrolid dan punya efektifitas bakterisidal terhadap
M. Leprae pada tikus an manusia. Efek samping diare dan mual.

Cara Pemberian MDT


1. Multibasiler( MB )
- Rifampicine 600 mg/bulan, dosis supervisi.
- DDS 100 mg/hari
- Klofazimin 300 mg setiap bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50 mg
sehari atau 100 mg selama sehari atau 3x100 mg setiap minggu
        
Pengobatan dilakukan secara teratur sebanyak 24 dosis selama 24-36
bulan denagn syarat bakterioskopis harus negative. Apabila masih positif,
pengobatan harus dilanjutkan sampai bakterioskopis negative. Selama pengobatan
dilakukan pemeriksaan klinis setip bulan dan secara bakterioskopis minimal setiap
3 bulan.Jadi kira-kia selama 2-3 tahun kemungkinan pengobatan kusta
multibasiler.Setelah 24—36 bulan klinis (-) dan bakterioskopis (-) maka pasien
dinyatakan release from treatment.Setelah RFT dilakukan tindak lanjut (tanpa
pengobatan) secara klinis dan bakterioskopis selama 5 tahun.Kalau negative,
maka pasien dinyatakan release from control.

2.Pausibasiler ( PB )
- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
- DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan dalam 6dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah
selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis.Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis
dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
Gambar 6. Regimen MDT
Berdasarkan Klasifikasi WHO untuk kepentingan pengobatan , penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup :
1. PB dengan lesi tungal
2. PB dengan lesi 2 – 5 buah
3. MB dengan lesi > 5 buah

Sebagai standar pengobatan WHO expert Comitte memperpendek masa


pengobatan untuk kasus :
1. MB menjadi 12 dosis dalam 12 – 18 bulan
2. PB dengan lesi 2 – 5 tetap 6 dosis dalam 6 – 9 bulan
3. PB dengan lesi tunggal dengan pengobatan ROM (Rifampicin 600 mg,
Ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (dosis tunggal )
Regimen pengobatan kusta ( WHO/DEPKES RI) dengan lesi tunggal
diberikan ROM yaitu Rifampicin 600 mg, Ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100
mg ( ROM ) dosis tunggal. Pemberian obat sekali saja langsung diberikan RFT
( Relese from treatment ). Obat diminum didepan petugas. Bila ROM belum
tersedia dipuskemas dapat dengan regimen PB lesi 2 – 5.

2.9.1. Pengobatan Situasi Khusus


1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau
resisten rifampisin).
Dilakukan pengobatan selama 24 bulan :
- 6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah
dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg,
dan (3) claritromisin 500 mg
- 18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah
dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia,
ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping)
Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau
moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti
regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin
400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan.
3. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS
Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen
pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS,
dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.

2.9.2. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar
>3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih
dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan
bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara
total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.
2.10. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik.Reaksi kusta dapat merugikan pasien
kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan
fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien
kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan. Reaksi kusta
dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction).Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan.Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta.Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6,
IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama
terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration
pada kulit dan syaraf.IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya
edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang
cepat.

Gambaran reaksi kusta tipe 1


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang telah ada Lesi yang telah ada
menjadi lebih eritematosa menjadi eritematosa
Timbul lesi baru yang
kadang-kadang disertai
panas dan malaise
Syaraf tepi Membesar, tidak ada nyeri Membesar, nyeri tekan
tekan syaraf dan gangguan dan gangguan fungsi.
fungsi Berlangsung lebih dari 6
Berlangsung kurang dari 6 minggu
minggu
Kulit dan syaraf Lesi yang telah ada akan Lesi kulit yang
menjadi lebih eritematosa, eritematosa disertai
nyeri pada syaraf ulserasi atau edema pada
Berlangsung kurang dari 6 tangan/kaki
minggu Syaraf membesar, nyeri
dan fungsinya terganggu
Berlangsung lebih dari 6
minggu

2. Reaksi tipe 2 (Reaksi Eritema Nodosum Leprosum=ENL)


Reaksi kusta tipe 2 terutama terjadi pada kusta tipe lepromatous (BL,
LL).Diperkirakan 50% pasien kusta tipe LL Dan 25% pasien kusta tipe BL
mengalami episode ENL.
Umumnya terjadi pada 1-2 tahun setelah pengobatan tetapi dapat juga
timbul pada pasien kusta yang belum mendapat pengobatan Multi Drug Therapy
(MDT).ENL diduga merupakan manifestasi pengendapan kompleks antigen
antibodi pada pembuluh darah.Termasuk reaksi hipersensitivitas tipe III menurut
Coomb & Gel.
Pada pengobatan, banyak basil kusta yang mati dan hancur, sehingga
banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibodi IgG, IgM dan
komplemen C3 membentuk kompleks imun yang terus beredar dalam sirkulasi
darah dan akhirnya akan di endapkan dalam berbagai organ sehingga
mengaktifkan sistem komplemen Berbagai macam enzim dan bahan toksik yang
menimbulkan destruksi jaringan akan dilepaskan oleh netrofil akibat dari aktivasi
komplemen.
Pada ENL, dijumpai peningkatan ekspresi sitokin IL-4, IL-5, IL 13 dan IL-
10 (respon tipeTh-2) serta peningkatan, IFN-γ danTNF-α. IL-4, IL-5, IFN-γ,TNF-
α bertanggung jawab terhadap kenaikan suhu dan kerusakan jaringan selama
terjadi reaksi ENL. Reaksi ENL cenderung berlangsung kronis dan rekuren.
Kronisitas dan rekurensi ENL menyebabkan pasien kusta akan tergantung kepada
pemberian steroid jangka panjang.

Spektrum reaksi kusta RR dan ENL

Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral

Gambaran reaksi kusta tipe 2


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat Nodus banyak, nyeri,
ulserasi berulserasi
Demam ringan dan Demam tinggi dan
malaise malaise
Syaraf tepi Membesar Sangat membesar
Tidak ada nyeri tekan Nyeri tekan
syaraf Gangguan fungsi
Fungsi tidak ada
gangguan
Organ tubuh Tidak ada gangguan Terjadi peradangan
organ-organ dari tubuh pada:
mata: nyeri,
penurunan visus,
merah sekitar limbus
Testis: lunak, nyeri
dan membesar

Tabel Perbedaan RR dan ENL secara Klinik.


No. Gejala/tanda Tipe I (reversal) Tipe II (ENL)
1 Kondisi umum Baik atau demam ringan Buruk, disertai malaise
dan febris
2 Peradangan di Bercak kulit lama Timbul nodul
kulit menjadi lebih meradang kemerahan, lunak, dan
(merah), dapat timbul nyeri tekan. Biasanya
bercak baru pada lengan dan
tungkai. Nodul dapat
pecah (ulserasi)
3 Waktu terjadi Awal pengobatan MDT Setelah pengobatan
yang lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
4 Tipe kusta PB atau MB MB
5 Saraf Sering terjadi Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri
tekan saraf dan atau
gangguan fungsi saraf
6 Keterkaitan Hampr tidak ada Terjadi pada mata,
organ lain KGB, sendi, ginjal,
testis, dll
7 Faktor pencetus Melahirkan  Emosi
 Obat-obat yang  Kelelahan dan stress
meningkatkan kekebalan fisik lainnya
tubuh  kehamilan

Tipe kusta dan reaksi kusta


Reaksi reversal

2.10.1. Fenomena Lucio


Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada
kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau
infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi
terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat
tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi
nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya
terbentuk jaringan parut.
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan
nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh
darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler.
Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan
imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam
dinding pembuluh darah.

Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus yang Dalam).
2.10.2. Pengobatan Reaksi Kusta
1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat

Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian.

Minggu pemberian Dosis prednisone harian yang dianjurkan


1-2 40 mg
3-4 30 mg
5-6 20 mg
7-8 15 mg
9-10 10 mg
11-12 5 mg

Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga
dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.

2.11. Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta
terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf
berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang
pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Cara terbaik untuk
melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali reaksi kusta,
identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Derajat Kecacatan

Cacat pada tangan dan kaki


Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau
deformitas
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1 Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus
sedikit berkurang
Tingkat 2 Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea
keruh) dan/atau visus sangat terganggu

Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan


sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka
yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri lain
yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata
untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak
tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang dapat
terjadi.

2.12. Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional


Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses
penyakit serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah
menerima kenyataan dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan
menunjukkan penolakan terhadap pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan,
kepercayaan dari keluarga, dukungan teman, dokter, serta peranan dokter bedah
plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin mengarah kepada stigma negatif
masyarakat akan berperan penting dalam proses penyembuhan pasien.

2.13. Pencegahan dan Kontrol


Strategi WHO dalam menurunkan angka morbiditas dan mortalitas lepra antara
lain menekankan kepentingan pelayanan kesehatan yang aksesibel,
mengutamakan pasien, pelayanan kesehatan lepra gratis dengan MDT,
menekankan pentingnya mencegah kecacatan, serta sistem rujukan untuk
penanganan komplikasi yang mungkin terjadi.

2.14. Komplikasi

Gangguan saraf tepi

sensorik motorik otonom

anestesi Gangguan kel. Keringat,


kelemahan
minyak, aliran darah

Tangan/kaki Kornea mata Tangan/kaki Mata lagoftalmus Kulit kering/pecah


kurang rasa anestesi, reflek lemah atau
kedip ↓ lumpuh

infeksi
luka

Jari
luka infeksi
bengkok/kaku kebutaan infeksi

mutilasi kebutaan
luka

mutilasi
2.15. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien
dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien
menurun. Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. AR
Umur : 14 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Pasaman
Negeri Asal : Sumatera Barat
Pekerjaan : Pelajar ( SMP Kelas 2)
Status : Belum Menikah

3.2 Anamnesa
Seorang laki-laki berusia 14 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 20 Juni 2016 dengan:
Keluhan Utama:
Timbul bercak keputihan di kulit yang mati rasa sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Timbul bercak keputihan di kulit yang mati rasa sejak 2 bulan yang lalu
- Bercak putih pertama kali muncul di punggung menyebar ke dada,
lengan dan leher.
- Tidak ada gatal
- Awalnya pasien mengira hal tersebut adalah panu. Pasien berobat ke
puskesmas dan diberi mikonazol krim namun tidak ada perbaikan.
- Pasien sering merasa kesemutan.
- Hidung pasien kemerahan dan sering berair sejak 1 minggu ini.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan bercak keputihan di kulit
yang mati rasa.
- Tidak ada riwayat keluarga dan tetangga yang sedang makan obat selama
6-12 bulan

3.3 Pemeriksaan Fisik


Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis Cooperative
Status Gizi : Baik
Pemeriksaan Thoraks : Diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal
Status Dermatologikus
- Lokasi : Punggung, dada, leher dan lengan
- Distribusi : Difus
- Bentuk : Tidak khas
- Susunan : Tidak Teratur
- Batas : Tegas
- Ukuran : lentikuler, numular, plakat
- Effloresensi : makula hipopigmentasi, skuama halus
Status Venerologikus
Kelainan selaput : Tidak ada kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan Kelenjar Limfe : Tidak teraba pembesaran KGB

Gangguan Sensibilitas
- Rasa tusuk : hipoestasia pada lesi
- Rasa raba : hipoestasia pada lesi
- Rasa suhu :-

Pembesaran saraf perifer


- N. Ulnaris : tidak ada pembesaran
- N. Radialis : tidak ada pembesaran
- N. Tibialis posterior : tidak ada pembesaran

Kelainan lain-lain
- Madarosis : ada
- Xerosis kutis : ada
- Lagophtalmus : tidak ada
- Atrofi otot : tidak ada
- Claw hand : tidak ada
- Drop hand : tidak ada
- Wrist drop : tidak ada
- Dropped foot : tidak ada
- Facies leonina : tidak ada

3.4 Pemeriksaan Anjuran :


- Pemeriksaan bakterioskopik : pemeriksaan BTA
- Pemeriksaan histopatologi
- Pemeriksaan Serologic
- Gunawan sign (tes pensil tinta)
3.5. Diagnosis
Morbus hansen tipe tuberkuloid (TT)

3.6 Diagnosis Banding


-

3.7 Penatalaksanaan
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta, penularan, cara
minum obat, komplikasi, pentingnya berobat secara teratur.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit kusta bukan penyakit
keturunan
- Menganjurkan pasien untuk berobat teratur sampai dinyatakan sembuh
- Kontrol keadaan klinis setiap bulan dan kontrol ulang bakterioskopis
bila telah selesai 6 bulan pengobatan.
- Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan
tempat resiko terjadinya luka sehingga harus berhati-hati dan daerah
luka merupakan port d’ entree bakteri, sehingga hindari luka.
- Memberitahukan kepada pasien efek samping dari obat yang diminum
seperti penggunaan rifampicin sehingga pasien tidak perlu khawatir.

Khusus :
Paket MDT-PB warna biru
- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
- DSS 100 mg/hari.
Once a month: Day I :
- Rifampicin (300 mg + 150 mg) 2 kapsul
- Dapson 50 mg x 1 tablet
Once a day: Days 2-28 :
- Dapson 50 mg x 1 tablet.
Pengobatan diberikan dalam 6 dosis selama 6 – 9 bulan. Setelah selesai minum 6-
9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment). Selama pengobatan,
pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis
tetap negatif, maka dinyatakan Release from Control.

3.8. Prognosa
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad cosmetikum : dubia ad bonam
RS ACHMAD MOCHTAR
Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. E
Sip No. 123/sip/2015

Bukittinggi, 20 Juni 2016

R/ Rifampicin Caps 150 mg No. I


S1dd tab 1

R/ Rifampicin Caps 300 mg No. I


S1dd tab 1

R/ Diamino Difenil Sulfon tab 100 mg No. XXX


S1dd tab 1

Pro : An. AR
Umur : 14 Tahun

Anda mungkin juga menyukai