PENDAHULUAN
2.1. Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, terutama mengenai kulit, sistem saraf perifer, namun
dapat juga terjadi sistem pernapasan bagian atas, mata, kelenjar getah bening dan
testis dan sendi-sendi.
2.2. Epidemiologi
Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum
diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung
antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab
M.leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas nya sangat
bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5
tahun. Kelompok umur terbanyak yang menderita penyakit ini adalah usia 25-35
tahun. Frekuensi pada jenis kelamin pria atau pun wanita adalah sama.
C. Membran
Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang
khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme.
Membran terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan
secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat
membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M.
leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma
Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik
asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom yang merupakan protein yang
penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam
mengkonfirmasi identitas sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari
armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, walaupun berbeda secara
genetik, terkait erat dengan M. tuberculosis dan M. scrofulaceum.
Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30°C lebih rendah dari suhu tubuh
menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman
ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat
di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah
diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu
lamadalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.
Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe
kusta dengan BTA positif.
2.5. Patogenesa
Meskipun cara masuk Mycobacterium leprae ke dalam tubuh masih belum
diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang
tersering adalah melalui kulit atau rute penghidu. Respon kekebalan tubuh
manusia yang berkerja terhadap untuk M.leprae terdapat dua tingkat. Tingkat
pertama, secara keseluruhan kerentanan / ketahanan terhadap infeksi dimediasi
oleh imunitas non spesifik yang diperankan oleh monosit. Jika imunitas non
spesifik tidak mampu melawan infeksi, maka akan diekpresikan pada tingkat
kedua yaitu, tingkat imunitas seluler spesifik dan munculnya delayed
hipersensitivity yang dihasilkan oleh individu terinfeksi. Imunitas seluler spesifik
dimediasi terutama oleh sel limfosit T bekerja sama dengan APC (Antigen
Presenting Cells).
2.6. Diagnosis
A. Anamnesis
Subyektif : Keluhan penderita, Kelainan kulit, Mati rasa, Gangguan
fungsi pada saraf.
Obyektif :Riwayat kontak dengan penderita, Latar belakang keluarga
misalnya Keadaan sosial ekonomi.
Evaluasi data : Untuk menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya,
Sebagai sumber acuan pengobatan MDT dan klasifikasi penyakit kusta.
Gejala Klinis
Diagnosis secara terpenting dan paling sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan histopatologik 10-14
hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda) untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3 minggu.
Penentuan tipe kusta perlu dilakukan agar dapat menetapkan terapi yang sesuai.
Bila kuman M. Leprae masuk kedalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis
sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung pada
sistem imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloud, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Agar proses selanjutnya lebih jelas lihat bagan patogenesis ini.
Kontak
Subklinis
95%
sembuh
70% Indeterminate (I)
Intermediate (I)
30 %
Determinate
Determinate
I TT Ti BT BB BL Li LL
Ridley dan Joping memperkenalkan istilah spektrum determinate pada
penyakit kusta yang terdiri atas pelbagai tipe atau bentuk, yaitu :
TT : Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberculoid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline Lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Multibasilar berarti mengandung banyak kuman yaitu tipe LL, BL, dan
BB. Sedangkan pausibasilar berarti mengandung sedikit kuman, yakni tipe TT,
BT, dan I.
Menurut WHO pada tahun 1981 kusta dibagi menjadi multibasilar dan
paubasilar. Yang termasuk multibasilar adalah tipe LL, BB, dan BL. Pada
klasifikasi Ridley-Jopling dengan indeks bakteri (IB) lebih dari positif 2,
sedangkan Pausibasilar adalah tipe I, BT dan TT dengan IB kurang dari 2. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif. Pada pemeriksaan
kerokam jaringan kulit, yaitu tipe I, TT, dan BT menurut klasifikasi Ridley-
Jopling. Bila tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukan ke
dalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita tipe BB, LL, dan
BL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif harus diobati dengan
regimen MDT MB. Pada tahun 1995, WHO menyederhanakan klasifikasi kusta
menurut gejala klinis menjadi dua yaitu PB dan MB.
BTA
-lesi kulit Banyak (ada Banyak agak banyak
globus)
-sekret hidung Banyak (globi) Biasanya negatif negatif
Facies leonina
3. N. radialis
◦ Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk
◦ Tangan gantung (wrist drop)
◦ Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. poplitea lateralis
◦ Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
◦ Kaki gantung (foot drop)
◦ Kelemahan otot peroneus
5. N. tibialis posterior
◦ Anestesia telapak kaki
◦ Claw toes
◦ Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
6. N. fasialis
◦ Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
◦ Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan
kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
7. N. trigeminus
◦ Anestesia kulit wajah,
kornea, dan konjungtiva mata
◦ Atrofi otot tenar dan
kedua otot lumbrikalis lateral
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder.
Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat
mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis
yang dapat membuat paralisis N.Orbicularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan
bagian-bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat
menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan
alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan
keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus
semineferus testis.
Alopesia yang terjadi seringkali disebabkan karena infiltrasi granuloma ke
dalam jaringan adneksa kulit hingga ke folikel rambut. Sedangkan ginekomastia
dapat timbul karena inflitrasi granuloma yang pada tubulus seminiferus testis yang
mengakibatkan gangguan hormonal.
Untuk membuat diagnosa klinis perlu diperhatikan kedua bentuk polar dari TT
dan LL dibawah ini. Bentuk campuran mempunyai sifat campuran antara kedua
bentuk polar tersebut. Pada gambar diatas kita dapat melihat hubungan masing-
masing antara spektrum kusta dengan pemeriksaan bakterioskopik, SIS, dan tes
Mitsuda.
B. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi : Ruangan membutuhkan cahaya yang adekuat (terang)
diperlukan agar petugas dapat membedakan warna dan bentuk tubuh.
Palpasi : Pemeriksaan saraf tepi dan fungsinya dilakukan pada: n.
auricularis magnus, n. ulnaris, n. radialis, n. medianus, n. peroneus, dan
n. tibialis posterior.
Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat adalah pembesaran, konsistensi,
penebalan, dan adanya nyeri tekan. Perhatikan raut muka pasien apakah ia
kesakitan atau tidak saat saraf diraba.
Saraf tepi yang dekat dengan kulit
Pembesaran Saraf
b. N. Ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan
merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam
hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. Peroneus Lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral
dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
d. N. Tibialis Posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit.
Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik
Dilakukan pemeriksaan fungsi saraf sensorik pada telapak tangan,
daerah yang sisarafi oleh n.ulnaris dan medianus juga pada daerah
telapak kaki untuk daerah yang disarafi oleh n.tibialis posterior.
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke
kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang
sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang
disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti,
tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.
- Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian
tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau
tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
- Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan
air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan
sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau
dingin.
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL
NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama –
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh
basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil.
Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya
minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -
4lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau
tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya
didapati banyak M. leprae.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril.
Setelah lesi tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan
jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan
mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu sediaan.
Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas api kemudian
diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen :
Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar
Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit
hingga keluar uap(semua bakteri akan berwarna merah).
Bilas dengan air mengalir.
Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2
detik (bakteri tahan asam tetap berwarna merah).
Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah
yang mengalir pada sediaan.
Bilas dengan air
Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam
tidak mengikat warna biru).
Cuci dengan air keringkan, lalu amati dengan mikroskop.
4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu
diagnosis kusta yang meragukan, apabila tanda klinis dan
bakteriologik tidak jelas.
a. Uji FLA-ABS (Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test)
Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang
telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan
sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena
adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.
b. Radio Immunoassay (RIA)
Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan
dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.
c. Uji MLPA (Mycobacterium leprae particle agglutination)
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1
dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang
praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan
skrining kasus seropositif.
d. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa
M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik
dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae
adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun
seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan
sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
e. Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-Assay)
Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi
untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam
suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan
menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda.
Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai
uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau
antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik,
teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk
mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan
menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer.
Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan
antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya
berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya
menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi. Terdapat
tiga metode ELISA, antara lain:
Direct ELISA
Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim,
kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan
warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
Indirect ELISA
Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan
bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan
penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi
reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang
dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi
perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
Sandwich ELISA.
Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan
direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan
antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam bidang
penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar
antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1,
antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang
diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti
PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya
IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA
dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau
monoklonal yang telah terbukti sangat spesifisik terhadap
residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan deteksi titer anti
PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk
menentukan nilai ambang (cut off) dari hasil uji ELISA ini,
biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu
yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta.
Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam
ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya.
Diagnosis Banding
Morbus Hansen Pitiriasis Pitiriasis alba
vesikolor
Penyakit infeksi Bentuk dermatitis yang
Penyakit jamur
yang disebabkan tidak spesifik dan
Definisi superfisial yang
Mycobacterium belum diketahui
kronik
leprae penyebabnya
Mycobacterium
Etiologi Malassezia furfur Didiuga Streptococcus
leprae
Gejala Lesi 1 atau multiple Bercak Lesi bulat, oval atau
Klinis Hipopigmentasi/ berskuama halus plakat tak teratur
eritema yang berwarna Warna merah muda
Sensory loss putih, kekuning- dengan skuama halus
kuningan,
Setelah eritema
kemerahan
menghilang, hanya
Penebalan saraf tepi sampai coklat
dijumpai depigmentasi
hitam
dengan skuama halus
Gatal
KOH 20% : hifa
pendek dan spora-
Pemeriks spora bulat yang
aan Ziehl Neelsen : basil dapat
-
Mikrosko tahan asam berkelompok
pis (meatball and
spaghetti
appeareance)
Lampu
Kuning keemasan
wood
Lepra Tinea
Pitiriasis Versikolor Lepra
2.9. Pengobatan
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT (Multi Drug Treatment) dan
dilaksanakan di Indonesia sesuai dengan rekomendasi WHO, dengan obat
alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. MDT digunakan sebagai
usaha untuk mencegah dan mengobati resistensi, memperpendek masa
pengobatan, dan mempercepat pemutusan mata rantai penularan.Obat anti kusta
yang banyak dipakai saat ini DDS, Klofazimin dan Rifampisin. Pada tahun 1998
WHO menambahkan 3 antibiotik lain untuk alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin
dan klaritromisin.
1. DDS (Diaminodifenil Sulfon ) atau Dapson
DDS bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi dan mengambat
pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari PABA
(para aminobenzoic) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis folat
oleh bakteri. Dosisnya 1- 2 mg/kgbb/hari. Efek samping DDS adalah nyeri
kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, NET, anoreksia, hepatitis dan
vertigo.
2. Rifampicin
Rifampicin bersifat bekteriosid yang membunuh kuman, bekerja dengan
cara menghambat DNA – dependent RNA polymerase pada sel bakteri
dengan berikatan pada subunit beta.Dosisnya 10 mg/kgbb. Efek samping
hepatotoksik dan nefrotoksik. Obat ini tidak boleh diberikan monoterapi.
3. Klofazimin atau lampren
Merupakan bekteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta bekerja dengan
menghambat siklus sel dan transpor NA/K ATP ase, juga bersifat anti
inflamasi sehingga dapat menanggulangi ENL .Efek sampingnya warna
merah kecoklatan pada kulit.
Obat Alternatif
1. Ofloksasin
Merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
M.leprae.Dosis optimal harian 400 mg. Efek samping mual ,diare, sakit
kepala. Penggunaan pada anak, wanita hamil dan wanita menyusui harus
hati – hati karna dapat menyebabkan artropati.
2. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi
dari klaritromisin dan lebih rendah dari rifampicin. Dosis harian 100 mg.
Efek samping pewarnaan gigi pada bayi dan anak, gangguan saluran cerna
dan dizziness.
3. Klaritromisin
Kelompok antibiotik macrolid dan punya efektifitas bakterisidal terhadap
M. Leprae pada tikus an manusia. Efek samping diare dan mual.
2.Pausibasiler ( PB )
- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
- DSS 100 mg/hari
Pengobatan diberikan dalam 6dosis selama 6 bulan- 9 bulan. Setelah
selesai minum 6-9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment).
Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis
setelah 6 bulan pada akhir pengobatan.Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2
tahun secara klinis dan bakterioskopis.Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis
dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan Release from control.
Gambar 6. Regimen MDT
Berdasarkan Klasifikasi WHO untuk kepentingan pengobatan , penderita
kusta dibagi menjadi 3 grup :
1. PB dengan lesi tungal
2. PB dengan lesi 2 – 5 buah
3. MB dengan lesi > 5 buah
2.9.2. Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar
>3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih
dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan
bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara
total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi
adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten.
2.10. Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah suatu episode akut di dalam perjalanan klinik penyakit
kusta yang ditandai dengan terjadinya reaksi radang akut (neuritis) yang kadang-
kadang disertai dengan gejala sistemik.Reaksi kusta dapat merugikan pasien
kusta, oleh karena dapat menyebabkan kerusakan syaraf tepi terutama gangguan
fungsi sensorik (anestesi) sehingga dapat menimbulkan kecacatan pada pasien
kusta. Reaksi kusta dapat terjadi sebelum mendapat pengobatan, pada saat
pengobatan, maupun sesudah pengobatan, namun reakis kusta paling sering terjadi
pada 6 bulan sampai satu tahun sesudah dimulainya pengobatan. Reaksi kusta
dapat dibagi atas dua kelompok yaitu:
1. Reaksi kusta tipe 1 (Reaksi Reversal= RR)
Reaksi imunologik yang sesuai adalah reaksi hipersensitivitas tipe IV dari
Coomb & Gel (Delayed Type Hypersensitivity Reaction).Reaksi kusta tipe 1
terutama terjadi pada kusta tipe borderline (BT, BB, BL) dan biasanya terjadi
dalam 6 bulan pertama ataupun sedang mendapat pengobatan.Pada reaksi ini
terjadi peningkatan respon kekebalan seluler secara cepat terhadap kuman kusta
dikulit dan syaraf pada pasien kusta.Hal ini berkaitan dengan terurainya M.leprae
yang mati akibat pengobatan yang diberikan.
Antigen yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan
limfosit T disertai perubahan imunitas selular yang cepat. Dasar reaksi kusta tipe 1
adalah adanya perubahan keseimbangan antara imunitas selular dan basil. Diduga
kerusakan jaringan terjadi akibat langsung reaksi hipersensitivitas seluler terhadap
antigen basil.24 Pada saat terjadi reaksi, beberapa penelitian juga menunjukkan
adanya peningkatan ekspresi sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, IL-1b, IL-6,
IFN-γ dan IL-12 dan sitokin immunoregulatory seperti TGF-β dan IL-10 selama
terjadi aktivasi dari makrofag. Aktivasi CD4+ limfosit (Th-1) menyebabkan
produksi IL-2 dan IFN-γ meningkat sehingga dapat terjadi lymphocytic infiltration
pada kulit dan syaraf.IFNγ dan TNF-α bertanggung jawab terhadap terjadinya
edema, inflamasi yang menimbulkan rasa sakit dan kerusakan jaringan yang
cepat.
Keterangan gambar:
Gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya dengan tipe imunitas dalam
spektrum imunitas pasien kusta menurut Ridkey-Jopling
Reaksi tipe 1 diperantarai oleh mekanisme imunitas seluler
Reaksi tipe 2 diperantarai oleh mekanisme imunitas humoral
Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus yang Dalam).
2.10.2. Pengobatan Reaksi Kusta
1. Reaksi tipe 1 (reversal)
Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota
gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga
dapat diberikan.
2. Reaksi tipe 2 (ENL)
Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1
mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif.
Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin
dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan
tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24
minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk
klofazimin mengontrol ENL.
2.11. Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta
terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf
berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot.
Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang
pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Cara terbaik untuk
melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali reaksi kusta,
identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
Derajat Kecacatan
2.14. Komplikasi
infeksi
luka
Jari
luka infeksi
bengkok/kaku kebutaan infeksi
mutilasi kebutaan
luka
mutilasi
2.15. Prognosis
Bergantung pada seberapa luas lesi dan tingkat stadium penyakit. Kesembuhan
bergantung pula pada kepatuhan pasien terhadap pengobatan. Terkadang asien
dapat mengalami kelumpuhan bahkan kematian, serta kualitas hidup pasien
menurun. Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih
sederhana dan lebih singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada
kontraktur dan ulkus kronik, prognosis kurang baik.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesa
Seorang laki-laki berusia 14 tahun datang ke poliklinik kulit dan kelamin RS
Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 20 Juni 2016 dengan:
Keluhan Utama:
Timbul bercak keputihan di kulit yang mati rasa sejak 2 bulan yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
- Timbul bercak keputihan di kulit yang mati rasa sejak 2 bulan yang lalu
- Bercak putih pertama kali muncul di punggung menyebar ke dada,
lengan dan leher.
- Tidak ada gatal
- Awalnya pasien mengira hal tersebut adalah panu. Pasien berobat ke
puskesmas dan diberi mikonazol krim namun tidak ada perbaikan.
- Pasien sering merasa kesemutan.
- Hidung pasien kemerahan dan sering berair sejak 1 minggu ini.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Pasien belum pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya.
Riwayat Penyakit Keluarga :
- Tidak ada anggota keluarga dengan keluhan bercak keputihan di kulit
yang mati rasa.
- Tidak ada riwayat keluarga dan tetangga yang sedang makan obat selama
6-12 bulan
Gangguan Sensibilitas
- Rasa tusuk : hipoestasia pada lesi
- Rasa raba : hipoestasia pada lesi
- Rasa suhu :-
Kelainan lain-lain
- Madarosis : ada
- Xerosis kutis : ada
- Lagophtalmus : tidak ada
- Atrofi otot : tidak ada
- Claw hand : tidak ada
- Drop hand : tidak ada
- Wrist drop : tidak ada
- Dropped foot : tidak ada
- Facies leonina : tidak ada
3.7 Penatalaksanaan
Umum :
- Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit kusta, penularan, cara
minum obat, komplikasi, pentingnya berobat secara teratur.
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit kusta bukan penyakit
keturunan
- Menganjurkan pasien untuk berobat teratur sampai dinyatakan sembuh
- Kontrol keadaan klinis setiap bulan dan kontrol ulang bakterioskopis
bila telah selesai 6 bulan pengobatan.
- Menjelaskan pada pasien bahwa daerah yang mati rasa merupakan
tempat resiko terjadinya luka sehingga harus berhati-hati dan daerah
luka merupakan port d’ entree bakteri, sehingga hindari luka.
- Memberitahukan kepada pasien efek samping dari obat yang diminum
seperti penggunaan rifampicin sehingga pasien tidak perlu khawatir.
Khusus :
Paket MDT-PB warna biru
- Rifampicine 600 mg/bulan, diminum di depan petugas (dosis supervisi)
- DSS 100 mg/hari.
Once a month: Day I :
- Rifampicin (300 mg + 150 mg) 2 kapsul
- Dapson 50 mg x 1 tablet
Once a day: Days 2-28 :
- Dapson 50 mg x 1 tablet.
Pengobatan diberikan dalam 6 dosis selama 6 – 9 bulan. Setelah selesai minum 6-
9 bulan, dosis dinyatakan RFT (Release From Treatment). Selama pengobatan,
pemeriksaan secara klinis tiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir
pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap 2 tahun secara klinis dan
bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktifan baru secara klinis dan bakterioskopis
tetap negatif, maka dinyatakan Release from Control.
3.8. Prognosa
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad cosmetikum : dubia ad bonam
RS ACHMAD MOCHTAR
Ruangan Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr. E
Sip No. 123/sip/2015
Pro : An. AR
Umur : 14 Tahun