Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Lepra atau kusta atau morbus hansen termasuk penyakit tertua, kata lepra berasal dari
bahasa India yaitu kustha, dikenal sejak 1400 tahun sebelum masehi. Penyakit lepra merupakan
penyakit yang sangat ditakuti oleh masyarakat karena sering kali mengakibatkan mutilasi pada
anggot tubuh terutama bagian kaki.1

Lepra adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae
yang menyerang saraf tepi kemudian dapat menyerang kulit, mukosa, system RES, testis, mata,
otot kecuali system saraf pusat.2

Penderita lepra tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di daerah tropik dan
subtropik. Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin serta masyarakat
sosioekonomi rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya faktor
sosioekonomi tinggi akan membantu penyembuhannya. Indonesia adalah Negara no 3 dengan
penderita lepra terbanyak, setelah India dan Brazil. Khusu Jawa Timur merupakan daerah endemis
penyakit lepra. Kasus lepra tahun 2008-2013 mengalami penurunan, kasus terbanyak terdapat di
Jawa Timur yaitu 4.132 jiwa, disusul Jawa Barat kemudian Jawa Tengah. Walaupun demikian,
tahun 2011-2013 angka lepra di Jawa Timur mengalami penurunan sebanyak 1.152 kasus.3

Perkembangan penyakit pada penderita bila tidak ditangani secara cermat akan
menimbulkan kecacatan dan menjadi penghalang bagi penderita dalam kehidupan sosialnya.
Disamping kecatatan, stigma yang keliru dari masyarakat mengenai lepra, rasa takut yang
berlebihan, akan memperkuat persoalan sosial penderita lepra.1

Apabila penegakan diagnosis lepra cepat ditegakkan, maka pengobatan yang diberikan
juga akan lebih tepat dan maksimal. Sehingga komplikasi dan kecacatan akan diminimalisir.
Mengingat pula pada penyakit lepra ini penderita dapat mengalami reaksi lepra yang akan
memperberat penyakitnya. Sehingga pemahaman, penegakkan diagnosis yang cermat, dan
pengobatan yang tepat akan mengurangi hal tersebut.4

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI LEPRA
Penyakit lepra atau kusta atau Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi kronik yang
penyebabnya ialah Mycobacterium leprae1 M. leprae ini pertama kali menyerang saraf tepi
selanjutnya menyerang kulit, mukosa, saluran napas bagian atas, system retikuloendotelial,
mata, otot, tulang dan testis, kecuali susunan saraf pusat. Pada kebanyakan orang yang
terinfeksi dapat asimptomatik, namun pada sebagian kecil memperlihatkan gejala dan
mempunyai kecenderungan untuk menjadi cacat. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat
progresif, menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata.2

B. ETIOLOGI LEPRA
Kuman penyebab lepra adalah Mycobacterium leprae hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh Universitas Texas pada tahun 2008.3
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873.1 M. leprae berbentuk kuman dengan 3-8
µm x 0,5 µm, bersifat tahan asam, berbentuk batang, biasanya berkelompok dan ada yang
tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingan dan tidak dapat
dikulturkan dalam media buatan.2

C. EPIDEMIOLOGI LEPRA
M. leprae dapat ditularkan kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis dan adanya kontak yang lama
dan berulang-ulang), melalui pernapasan/ droplet, bakteri ini mengalami proses
perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu, pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia
bertahan 9 hari diluar tubuh manusia dan membelah dalam jangka 14-21 hari dengan masa
inkubasi rata-rata 2-5 tahun. Bahkan ada yang lebih dari 5 tahun.4
Penderita lepra tersebar di seluruh dunia, walaupun terbanyak di daerah tropik dan
subtropik. Penyebarannya terutama di benua Afrika, Asia dan Amerika Latin serta masyarakat

2
sosioekonomi rendah. Makin rendah sosial ekonomi makin berat penyakitnya, sebaliknya
faktor sosioekonomi tinggi akan membantu penyembuhannya. Jumlah yang tercatat 888.340
orang pada tahun 1977. Pada milenium ini telah ditemukannya 800.000 kasus baru kusta
setiap tahunnya.
Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru lepra di Indonesia pada tahun
2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
prevalensi lepra berkisar antara 0,79 hingga 0.96 per 10.000 penduduk (7,9 – 9,6 per 100.000
penduduk) dan telah mencapai target <1 per 10.000 penduduk atau <10 per 100.000 penduduk.
Sedangkan pada tahun 2012 sebesar 7,76 per 100.000 penduduk. Tahun 2011 sekitar 8,30 per
100.000 penduduk.4
Dari 33 provinsi di Indonesia, kasus baru terbanyak ada di Provinsi Jawa Timur (4.132
jiwa), Jawa Barat (2.180 jiwa), Jawa Tengah (1.7650 jiwa), dan Papua (1.180 jiwa). Namun,
jumlah penderita lepra di Jawa Timur tahun 20011-2013 mengalami penurunan sebanyak
1.152 kasus. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. Provinsi
dengan proporsi lepra terbanyak berjenis kelamin laki-laki yaitu Jawa Timur (23,25%), Jawa
Barat (13,50%), dan jawa Tengah (10,82%). 4
Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan ±13% tetapi anak
dibawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi tertinggi terdapat pada kelompok umur antara
25-35 tahun. 1

D. PATOGENESIS LEPRA
Meskipun cara masuk M. leprae ke dalam tubuh manusia masih belum diketahui secara
pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. leprae
terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada
suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi, serta sifat kuman yang avirulen dan nontoksis. 2
Patogenesis lepra terbagi dalam beberapa hal, yaitu adanya Mycobacterium leprae, fungsi
sistem fagosit mononuklear, aktivitas sel dendritik yang berhubungan dengan limfosit T dan
limfosit B serta imunitas humoral dan selular yang meliputi faktor host dan agent keduanya.5
M. leprae merupakan parasite obligat intraseluler yang terutama terdapat pada sel
makrofag sekitar pumbuluh darah superfisial pada dermis atau sel schwann di jaringan saraf.

3
Bila kuman masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan makrofag (berasal
dari sel monosit darah, sel MN, histiosit). 4
Faktor genetik dipertimbangkan karena memiliki peranan yang besar untuk terjadinya lepra
pada suatu kelompok tertentu. Respon yang terjadi akibat infeksi Mycobacterium leprae dapat
sangat berbeda, keadaan ini terjadi di bawah kontrol secara genetika. Faktor genetik yang
berperan salah satunya berada di bawah system Human Leucocyte Antigen (HLA). HLA adalah
suatu antigen dipermukaan sel yang merupakan hasil produk yang dicetak biru oleh gen yang
terletak di kromosom 6 manusia, pada suatu daerah yang disebut MHC (Major
Histocompatibility Complex). Dikenal MHC kelas I (menghasilkan HLA –A, B, C) dan MHC
kelas II (menghasilkan HLA- D) yang banyak dihubungkan dengan imunitas terhadap bakteri
termasuk basil lepra. 5
Antigen HLA ini berperan dalam pengenalan dan penyajian antigen dari sel penyaji
(Antigen Precenting Cell) kepada sel limfosit T (Thelper) yang akan memulai rangkaian
respon imun. Dari hasil penelitian terhadap penderita lepra ternyata didapatkan frekuensi
HLA DR3 yang tinggi pada penderita lepra tipe Tuberkuloid. Sedangkan HLA-DQ1
dihubungkan dengan tipe Lepromatosa. Bentuk respon imun yang terjadi apabila basil lepra
masuk kedalam tubuh seseorang dimana HLA akan membuat seseorang jadi lebih mudah
terkena lepra dibandingkan orang lain. HLA DR akan mengarahkkan ke imunitas seluler,
sedangkan HLA-DQ akan mengarahkan ke sistem imunitas humoral.5
Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil lepra
dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit lepra seperti tipe
Tuberkuloid – Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline –
Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous
(LL)
Pada lepra tipe LL terjadi kelumpuhan system imunitas seluler, dengan demikian makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultipiklasi dengan bebas
kemudian dapat merusak jaringan.2
Lepra tipe TT kemampuan fungsi imunitas selulernya tinggi, sehingga makrofag sanggup
untuk menghancurkan kuman. Sayangnya, setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan
berubah menjadi sel Datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi maka terjadi reaksi
berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya.2

4
Sel Schwann, sel pendukung utama pada sistem saraf perifer, tampaknya menjadi target
utama M. leprae pada saraf perifer. Sel ini digolongkan dalam “non professional phagocyte”,
karena tidak bisa mengekspresikan MHC class II di permukan selnya, kecuali bila diaktifkan
oleh Interferon gamma (IFN γ). Pada penderita dengan lepra yang sudah parah (advanced),
baik sel- sel Schwann yang bermielin maupun tidak, sama-sama terinfeksi oleh M.leprae.5
Jadi, bila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan
beraktivasi. Akibat aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf progresif.2
Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses penyajian antigen kepada limfosit T,
sehingga setelah menangkap M.Leprae sel itu tidak bisa mengaktifkan limfosit dan sebaliknya
limfosit tidak bisa mengirim sinyal (IFN γ) yang dibutuhkan untuk sistem penghancuran
kuman didalam sel. Maka sel Schwann ini menjadi pos pertama dari basil lepra sebelum
menginvasi kekulit dan organ lain. Pada waktu sel Scwann yang tua mati dan pecah, M.Leprae
yang berkembang biak didalam sel tersebut akan tersebar keluar dan akan ditangkap oleh sel
fagosit lain. Fase selanjutnya adalah interaksi antara basil lepra dengan sistem pertahanan
tubuh lapis kedua yang bersifat spesifik.5

E. KLASIFIKASI LEPRA
Tujuan klasifikasi penyakit lepra adalah sebagai berikut:
1. Menentukan pengobatan, komplikasi dan prognosis.
2. Perencanaan operasional, misalnya menemukan pasien –pasien yang menular yang
mempunyai nilai epidemiologis tinggi sebagai target utama pengobatan.
3. Identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan mengalami kecacatan. 2

Adapun klasifikasi lepra adalah sebagai berikut:

1. Klasifikasi Madrid (1953)


Merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan atas dasar kriteria klinik,
bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan rekomendasi Internasional Leprosy
Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi Madrid tersebut memutuskan bahwa
penyakit lepra dibagi atas :
i. Tipe indeterminate (I)
ii. Tipe tuberkuloid(T)

5
iii. Tipe lepromatosa (L)
iv. Tipe borderline (dimorphous) (B)

2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)


Klasifikasi penyakit lepra ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik yang sangat lebar
rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita sampai pada kekebalan
yang tinggi. Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik, bakteriologik, histopatologik,
dan imunologik Menurut klasifikasi ini terdapat 4 (empat) tipe klinik penyakit kusta yang
erat hubungannya dengan sistem kekebalan yaitu:
i. Tipe tuberkuloid (TT)
ii. Tipe borderline tuberkuloid (BT)
iii. Tipe mid borderline Lepromatous (BL)
iv. Tipe polar lepromatous (LL).
Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil dan keadaan
imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar lepromatosa merupakan
keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline lepromatosa, mide lepromatosa
dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan imunitas yang lebih.1

3. Klasifikasi WHO (1988)


Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh WHO
dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi lepra perlu ada standarisasi dengan lebih
disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi menjadi 2 (dua) tipe
yaitu:
i. Tipe Pausi Basiler (PB)
Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid tipe I dan T atau
tipe TT dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-) atau
dengan indeks bakteri (IB) <2
ii. Tipe Multi Basiler (MB)
Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa (L) atau borderline (B) pada klasifikasi
Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling dan semua tipe
lepra dengan BTA (+) dengan IB >2
6
F. GEJALA KLINIS LEPRA
Gambaran klinis penyakit lepra mencerminkan tingkat kekebalan seluler pasien tersebut.2
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pausi basiler (PB) dan Multi basiler (MB) dan
menurut WHO untuk menentukan lepra perlu adanya tanda kardinal, yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati
rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, suhu, dan nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat/tanpa disertai rasa nyeri dan gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang
terganggu.
3. Ditemukan kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan berasal dari apusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang
aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi saraf.6
Diagnosis kusta ditegakkan bila ditemukan paling sedikit satu tanda kardinal. Bila tidak
atau belum dapat ditemukan, disebut tersangka/suspek kusta, dan pasien perlu diamati dan
diperiksa ulang 3 sampai 6 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan.6
Selain tanda kardinal di atas, dari anamnesis didapatkan riwayat berikut:

1. Riwayat kontak dengan pasien kusta.


2. Latar belakang keluarga dengan riwayat tinggal di daerah endemis, dan keadaan sosial
ekonomi.
3. Riwayat pengobatan kusta.

Pemeriksaan fisik meliputi:

1. Inspeksi
Dengan pencahayaan yang cukup (sebaiknya dengan sinar oblik), lesi kulit (lokasi dan
morfologi) harus diperhatikan.
2. Palpasi
Kelainan kulit: nodus, infiltrat, jaringan parut, ulkus, khususnya pada tangan dan kaki.

7
Kelainan saraf: pemeriksaan saraf tepi (pembesaran, konsistensi, nyeri tekan, dan nyeri
spontan).
3. Tes fungsi saraf
Tes sensoris: rasa raba, nyeri, dan suhu
Tes otonom: tes Gunawan, tes pilocarpin untuk mengevaluasi anhidrosis atau tidak
Tes motoris: voluntary muscle test (VMT)

Diagnosis penyakit lepra berdasarkan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang
(bakterioskopi, histopatologis dan serologis). Hasil bakteriologis memerlukan waktu paling
sedikit 15-30 menit, histopatologis memerlukan waktu 10-14 hari, tes lepromin (mitsuda) dapat
diketahui setelah 3 minggu.1
1. Tipe tuberkuloid (TT)
Lesi ini bisa mengenai kulit atau saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa macula atau plakat, batas jelas, pada bagian tengah depat ditemukan lesi yang
regresi/ central healing, dengan distribusi asimetris. Permukaan lesi dapat bersisik dengan
tepi meninggi, bahkan dapat meyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsinata. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang dapat teraba, kelemahan otot, dan hilangnya rasa/
anestesi. Tidak adanya kuman atau BTA (-) menjadi tanda tipe ini, namun pemeriksaan
lepromin didapatkan hasil positif (+3). 1,2
2. Tipe Borderline tuberkuloid (BT)
Lesi ini menyerupai tipe TT berupa macula atau plakat yang sering disertai lesi
satelit ditepinya. Lesi satelit biasanya terletak dekat dengan saraf perifer yang menebal.
Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, dengan gambaran hipopigmentasi, skuama (namun
tidak sejelas tipe TT). Adanya gangguan saraf tidak seberat TT dan biasanya asimetris.
Pemeriksaan BTA bisa negative atau +1, dengan tes lepromin positif lemah. 1,2

8
Gambar 1. Wanita usia 23 tahun dengan lepra tuberkuloid (TT), dengan gambaran macula
hipopigmentasi dengan anesthesia.

Gambar 2. Laki-laki usia 42 tahun dengan lepra BT, dengan macula hipopigmentasi
multiple >5, konfluen, disertai anesthesia.
3. Tipe intermediate (I)
Lesi ini berupa macula hipopigmentasi saja tanpa innfiltrat, dapat satu atau
beberapa. Distribusi tipe ini bervariasi, permukaan lesi biasanya halus agak mengkilat
dengan batas agak jelas atau bahkan tidak jelas. Lokasi lesi biasanya dibagian ekstensor
ekstremitas, bokong, atau muka.1

9
4. Tipe mid borderline (BB)
Tipe ini paling tidak stabil dari semua tipe. Disebut bentuk dimorfik dan bentuk ini
jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk macula infiltratif, plakat, punched out, dome
shapped (seperti kubah). Permukaan lesi bisa agak mengkilat atau agak kasar, berbatas
tidak jelas, dengan distribusi cenderung simetris.1,2

Gambar 3. Gambaran lepra tipe BB bermanifestasi sebagai infiltrate multiple


dengan punched-out disertai anesthesia, dan simetris

5. Tipe borderline lepromatous (BL)


Lesi ini dimulai dengan macula yang awalnya sedikit tetapi cepat menyebar
keseluruh badan. Macula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, disertai bentuk lainnya
seperti plak (punched out) dan papul, dengan permukaan halus berkilat. Distribusi lesi
hampir simetris dan beberapa nodus tampak melekuk di bagian tengahnya. Lesi bagian
tengah Nampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas. Tanda-tanda kerusakan
saraf berupa hilangnya sensasi, berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat
muncul dibandingkan tipe LL. Pemeriksaan BTA (+) sedangkan tes lepromin (-).1,2
6. Tipe lepromatous (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematus, mengkilap,
berbatas tidak tegas, dan tidak ditemukan anestesi atau anhidrosis. Distribusi lesi khas yaitu
didaerah pelipis, dahi, dagu, cuping telinga, lengan, punggung tangan, dan permukaan

10
ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut didapatkan penebalan kulit, cuping telinga
menebal, garis muka kasar dan cekung membentuk fascies leonine disertai madarosis,
iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung. Dapat dijumpai pembesaran
kelenjar limfe. Kerusakan saraf dapat dijumpai stocking & glove anesthesia. Pada stadium
lanjut, serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/ fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1

Gambar 4. Pasien dengan lepra tipe LL dengan manifestasi berbentuk nodul


konfluen simetris.

Tabel 1. Gambaran klinis, bakteriologis, dan imunologis lepra tipe MB

Sifat Lepromatosa (LL) Bordeline Mid Borderline


Lepromatosa (BL) (BB)
Lesi: Makula Makula Plakat
o Bentuk Infiltrat difus Plakat Dome-shaped
Papul Papul (kubah)
Nodus Punched-out
o Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung, kulit
praktis tidak ada masih ada kulit sehat sehat jelas ada
kulit sehat

11
o Distribusi Simetris Hampir simetris Asimetris
o Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar, agak
o Batas Tidak jelas Agak jelas berkilat
o Anestesia Tidak ada sampai Tak jelas Agak jelas
tidak jelas Lebih jelas
BTA
– Lesi kulit Banyak (ada globus) Banyak Agak banyak
– Sekret hidung Bannyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negatif

Tabel 2. Gambaran klinis, bakteriologis, dan imunologis lepra tipe PB

Sifat Tuberkuloid (TT) Bordeline Indeterminate


Tuberculoid (BT) (I)
Lesi
o Bentuk Makula saja, makula Makula dibatasi Hanya makula
dibatasi infiltrat infiltrat: infiltrat saja Satu atau beberapa
o Jumlah Satu, dapat beberapa Beberapa atau satu
dengan satelit
o Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
o Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
o Batas Jelas Jelas Dapat jelas atau
dapat tidak jelas
o Anestesia Jelas Jelas Tak ada sampai
tidak jelas
BTA
– Lesi kulit Hampir selalu negatif Negatif atau 1+ Biasanya negatif

12
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negative

Tabel 3. Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995)

Sifat PB MB
Lesi kulit 1 – 5 lesi Lebih dari 5 lesi
(makula datar, papul yang Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
meninggi, nodus) Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi
Hilangnya sensasi yang kurang jelas
jelas
Kerusakan saraf (menyebabkan Hanya satu cabang Banyak cabang saraf
hilangnya sensasi/kelemahan
otot yang dipersarafi oleh saraf
yang terkena)

Kelainan kulit pada penyakti kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja,
infiltrat saja atau keduanya. Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain ada tidaknya anestesia
sangat banyak membantu penentuan diagnosis, mesikpun tidak selalu jelas. Hal ini dengan
mudah dilakukan dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba
dan kalau masih belum jelas dengan kedua cara tersebut baruah pengujian terhadap rasa suhu
yaitu panas dan dingin dengan menggunakan 2 tabung reaksi.

Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom di daerah lesi yang dapat jelas
dan dapat pula tidak, yang dipertegas dengan menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, goresan pada
kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian tengah lesi. Dapat pula
diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang kadang-kadang dapat membantu, tetapi bagi
penderita yang memiliki kulit berambut sedikit sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi
motoris diperiksan dengan menggunakan Voluntary Muscle Test (VMT).1

13
Lepra yang mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran, konsitensi,
ada atau tidaknya nyeri spontan dan nyeri tekan. Hanya beberaoa saraf superfisial yang dapat
dan perlu diperiksa yaitu N. fasialis, N. aurikularis magnus, N. radialis, N. ulnaris, N.
medianus, N. poplitea lateralis dan N. tibialis posterior. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan
saraf biasanya bilateral atau menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkuloid, kelainan sarafnya lebih
terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.1

Deformitas atau cacat yang disebabkan oleh lepra dapat dibedakang menjadi 2 yaitu
deformitas primer dan deformitas sekunder. Cacat primer sebagai akibat langsung oleh
granuloma yang terbentuk sebagi reaksi terhadap M. leprae, yang mendesak dan merusak
jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan
wajah. Cacat sekunder terjadi sebagai akibat adanya deformitas primer, terutama kerusakan
pada saraf baik saraf sensorik, motorik dan saraf autonom. Cacat sekunder dapat berupa
kontraktur sendi, mutilasi tangan dan kaki.1

Gejala-gejala kerusakan saraf karena lepra diantaranya:

1. N. Ulnaris:
a. Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
b. Clawing kelingking dan jari manis
c. Atrofi hipotenar dan otot interseus serta kedua otot lumbrikalis medial
2. N. medianus
a. Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
b. Tidak mampu aduksi ibu jari
c. Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah
d. Ibu jari kontraktur
e. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
3. N. Radialis
a. Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
b. Tangan gantung (wrist drop)
c. Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
4. N. popliteal lateralis
a. Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

14
b. Kaku gantung (foot drop)
c. Kelemahan otot peroneus
5. N. Peroneus komunis
a. Drop foot
6. N. tibialis posterior
a. Anestesia telapak kaki
b. Claw toes
c. Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
7. N. fasialis
a. Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
b. Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan
kegagalan mengatupkan bibir
8. N. trigeminus
a. Anestesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
b. Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Gambaran klinis organ tubuh lain yang dapat diserang:2

1. Mata : iritis, iridosiklis, gangguan visus sampai kebutaan


2. Hidung : epitaksis, hidung pelana
3. Tulang dan sendi : mutilasi, artritis
4. Lidah : nodus, ulkus
5. Laring : suara parau
6. Testis : ginekomastia, epididymitis akut, orkhitis
7. Limfe : linfadenitis
8. Rambut : alopesia, madarosis
9. Ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, nefritis interstitial

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG LEPRA


1. Pemeriksaan Bakterioskopik

15
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai dengan
pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan Ziehl Neelsen. Bakterioskopik
negatif pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat, yaitu kedua
cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di tempat tersebut. Pemilihan
kedua cuping telinga atas dasar pengalaman bahwa tempat tersebut mengandung kuman
paling banyak, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling eritomatosa dan paling
infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada sediaan.
Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented), dan butiran
(granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented dan granular bentuk mati.
Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat berkembangbiak dan dapat menularkan ke
orang lain.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan nose blows, terbaik pada pagihari dan
ditampung dalam plastik. Perhatikan sifat discharge tersebut apakah ada serus, mucus,
purulent, berdarah atau tidak. Cara lain yaitu dengan menggunakan scalpel kecil tumpul.
Sebaiknya diambil dibagian septum nasi. Namun, sediaan mukosa hidung jarang dilakukan
karena kemungkinan M. atipik, bila diobati mukosa hidung lebih dahulu menjadi negatif,
rasa nyeri saat pemeriksaan.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut Ridley.
0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+ Bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ Bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ Bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

16
2. Pemeriksaan Histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe Lepromatosa
terdapat subepidermal clear zone, yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Didapati sel virchow dengan banyak basil. Pada Tipe
Borderline terdapat campuran unsur-unsur tersebut.
3. Tes Lepromin

Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra, tapi
tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M.
leprae. 0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil organisme, disuntikkan
intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam / 2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4
minggu (Reaksi Mitsuda).

Reaksi Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat, ini seperti
Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis. Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :

a. 0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang


b. +1 : Papul berdiameter 4-6 mm
c. +2 : Papul berdiameter 7-10 mm
d. +3 : Papul berdiameter lebih dari 10 mm atau papul dengan ulserasi.

Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang bernilai
prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi mitsuda memiliki
kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi kulit lepra itu sendiri.

4. Pemeriksaan Serologik

Pemeriksaan serologik lepra saat ini banyak dilakukan karena cukup banyak
manfaatnya, khususnya dari segi seroepidemiologi lepra di daerah endemik. Selain itu,
dapat membantu penegakkan diagnosis pada keadaan yang meragukan, dengan tanda
klinik dan bakteriologi yang tidak jelas. 2

17
Pemeriksaan serologis lepra terbatas pada spectrum lepromatosa/ multibasiler,
karena respon imun humoral banyak berperan, sedangkan spectrum tuberkuloid/
pausibasilar pemeriksaan serologis sering negatif karena respon imun seluler lebih
menonjol dan hanya sedikit antibody yang terbentuk, karena pemeriksaan ini didasarkan
atas terbentuknya antibody pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Macam-
macam pemeriksaannya adalah :

a. Uji MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination)


Teknik ini berdasarkan atas dasar reaksi antigen-antibodi yang akan menyebabkan
aglutinasi partikel yang terikat akibat reaksi tersebut. Antigen yang digunakan adalah
antigen polisakarida sintetik yang sesuai dengan phenolic glycolipid-1 (PGL-1), suatu
antigen spesifik dari kapsul M. leprae. Antigen ini akan berikatan dengan antibody anti
PGL-1 kelas Ig M di dalam serum pasien lepra. Uji MLPA telah terbukti setara dengan
pemeriksaan ELISA yang sifatnya lebih sensitif. Hasil ini akan memberikan positif
kuat pada tipe MB (BB, BL, LL).2
b. Uji ELISA ( Enzymed Linked Immuno-Sorbent Assay)
Keuntungan teknik ini adalah lebih sensitif, sehingga dapat mendeteksi antibody
dalam jumlah yang sangat sedikit. Dalam bidang lepra, uji ELISA ini dapat mengukur
antibodi terhadap basil lepra, misalnya antibodi anti PGL-1. Untuk antibodi anti PGL-
1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Bila uji ELISA digunakan untuk
memantau hasil pengobatan penyakit lepra, penurunan antibodi spesifik bisa terlihat
jelas pada serum penderita, secara berkala selama 3 bulan sekali.2
c. ML dipstick
Pemeriksaan ini menggunakan dipstick yang terdiri dari 2 pita yang berada dibawah
mengandung epitope imunodominan M. leprae yang spesifik yaitu PGL-1 dan pita
kedua berada diatas sebagai kontrol. Dipstick yang mengandung antigen dicelupkan
dalam serum yang diencerkan 1:50 dan dicampurkan dengan reagens, kemudian
diinkubasi 3 jam. Pewarnaan pada pita antigen menunjukkan adanya antibodi IgM
spesifik terhadap M. leprae. Pemeriksaan ini dilakukan untuk lepra dengan stadium
awal, pemantauan hasil pengobatan, dan deteksi adanya relaps serta membedakannya
dengan reaksi reversal.

18
Yang penting diperhatikan dari pemeriksaan serologis bahwa pasien lepra hasilnya
dapat seronegatif dan pasein yang sehat dapat seropositif. Hasil seropositif terjadi pada
individu yang sehat bila kontak serumah dengan penderita lepra, cara ini juga
digunakan pada penderita dengan subklinis.2
5. Pemeriksaan PCR
Prinsip PCR adalah dengan menggandakan suatu potongan rantai DNA tertentu dari DNA
kuman, sehingga jumlahnya berlipat ganda dan dapat dilihat sebagai pita protein pada
medan elektroforesa. Pemeriksaan PCR dalam lepra sangat berguna dalam mendeteksi
adanya basil lepra di jaringan, apabila gejala klinis maupun histopatologis tidak
menyokong diagnosis lepra.2

H. REAKSI LEPRA

Ada tiga tipe reaksi lepra menurut hipersensitivitas yang menyebabkannya:


1. Reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
2. Reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral
3. Reaksi lepra tipe 3 sebenarnya merupakan reaksi lepra tipe 2 yang lebih berat.
Berikut adalah perbandingan faktor risiko reaksi lepra tipe 1 dan tipe 2: 6
Reaksi tipe 1 (reaksi reversal) Reaksi tipe 2 (ENL)
a. Tipe BB BL a. LL dengan infiltrat kulit
b. Reaksi dapat timbu sebelum, selama, b. Reaksi timbul pada tahun pertama MDT
setelah pengobatan c. Usia muda
c. Usia tua d. Indeks bakteri >4+
d. Lesi dan keterlibatan saraf multiple e. Dipengaruhi stres fisik dan mental
e. Lesi pada wajah dan mata berisiko f. Infeksi penyerta: streptococcus, filaria,
lagoftalmos parasit, virus
f. Infeksi penyerta: hepatitis B / C g. Kebanyakan pada trimester ke 3
g. Saat puerperium h. Lain-lain: trauma, operasi, tes mantoux
positif

19
Berdasarkan spektrumnya, reaksi lepra terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Reaksi Kusta Tipe 1
Menurut Jopling, reaksi tipe lepra tipe 1 merupakan delayed hypersensitivity
reaction seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV menurut Coombs dan Gell. Antigen
yang berasal dari basil yang telah mati akan bereaksi dengan limfosit T di sertai perubahan
SIS (sistem imun seluler) yang cepat. Dengan demikian, reaksi ini dapat mengalami
upgrading/ reversal, apabila menuju ke arah bentuk tuberkuloid (peningkatan SIS) atau
down grading, apabila menuju ke bentuk lepromatosa (penurunan SIS).1
a. Reaksi upgrading (reversal)
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum BT menjadi spektrum TT.
b. Reaksi downgrading
Pada reaksi reversal, terjadi perubahan tipe spektrum borderline menjadi spectrum LL.
Reaksi ini dapat terjadi pada pasien yang tidak mendapat pengobatan. Lesi multiple
yang baru muncul dan memiliki karakteristik lesi LL yaitu lesi kecil, simetris dan ill-
defined. AFB mungkin tampak pada lesi baru. Nodus limfe regional mungkin
membesar dan basil tampak pada FNAC. Pasien resiko tinggi yaitu spectrum borderline
dengan 10 lesi kulit dan penebalan saraf lebih dari 3.
Secara garis besar manifestasi dari reaksi lepra tipe 1 digolongkan sebagai berikut:2
Tabel 4. Manifestasi reaksi lepra tipe 1
Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Lesi kulit yang ada menjadi Lesi yang ada menjadi lebih
lebih eritematosa eritematus, muncul lesi baru
yang disertai demam dan
malaise
Saraf Membesar, tidak ada Membesar, nyeri(+), fungsi
gangguan fungsi, tidak nyeri. terganggu. Berlangsung lebih
Berlangsung kurang dari 6 dari 6 minggu
minggu
Kulit dan saraf Lesi lebih eritematus, nyeri Lesi kulit lebih eritematus,
pada saraf berlangsung <6 disertai ulserasi, edema
minggu tangan/tungkai, saraf

20
membesar, nyeri, fungsi
terganggu. Berlangsung >6
minggu

2. Reaksi Kusta Tipe 2


Dikenal sebagai Eritema Nodusum Leprosum (ENL). ENL merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe III. Antigen berasal dari produk kuman yang telah mati dan bereaksi
dengan antibodi membentuk kompleks Ag-Ab. Jadi, ENL merupakan reaksi humoral yang
merupakan manifestasi sindrom kompleks imun. Terutama terjadi pada bentuk LL dan BL.
Biasanya terjadi gejala sistemik. Disertai gejala sistemik. Pada tipe 2 ini biasanya terjadi
pada akhir pengobatan lepra karena basil telah menjadi granular. Manifestasi reaksi lepra
tipe 2 dapat sebagai berikut:2

Tabel 5. Manifestasi reaksi lepra tipe 2


Organ yang diserang Reaksi ringan Reaksi berat
Kulit Nodus sedikit, dapat Nodus banyak, ulcerasi,
berulcerasi nyeri.
Demam, malaise Demam tinggi, malaise
Saraf Saraf membesar, tidak nyeri, Saraf membesar, nyeri, fungsi
fungsi tidak terganggu terganggu
Mata Tidak nyeri Nyeri, penurunan visus,
merah sekitar limbus
Testis Lunak, tidak nyeri Lunak, nyeri, membesar

Tabel 6. Perbedaan antara Reaksi Lepra tipe 1 dan 2


No Tipe 1 Tipe 2
1 Spektrum Borderline (BT, BB, BL) Lepromatous (BL, LL)
2 Lesi Kulit Nodul baru muncul berkelompok
3 Kerusakan Sering dan parah Tidsk terlalu parah
Saraf

21
4 Sistemik Tidak umum Demam, lemah, artralgia, dan
limfadenitis
5 Organ lain Iritis, orchitis, dan Sangat umum terjadi
glomerulonefritis tidak
terjadi
6 Pengulangan jarang terjadi Pengulangan biasanya terjadi
7 AFB Tidak ditemukan Basil yang rusak
8 Investigasi Rutin : normal Urin : albuminuria
9 Patogenesis Reaksi antigen antibodi tipe Reaksi antigen antibodi tipe 3
4 (Gel dan Coombs) (peningkatan IgG, IgM,C2 dan
C3)
10 Histopatologi Edema dengan pengurangan Edema dengan infiltrat neutrofil
basil dan peningkatan dan vaskulitis
limfosit. Granuloma tidak
teratur.

3. Reaksi Kusta Tipe 3 (Fenomena Lucio)


Merupakan reaksi kusta yang sangat berat, terjadi pada kusta tipe lepromatosa non
nodular difus. Terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika tengah. Klinis berupa plak
atau infiltrat difus, merah muda, bentuk tak teratur dan nyeri. Lesi lebih berat tampak lebih
eritematosa, purpura, bula, terjadi nekrosis dan ulserasi yang nyeri. Lesi lambat
menyembuh dan terbentuk jaringan parut. Histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal
iskemik, edema, proliferasi endotelial pembuluh darah dan banyak basil M. Leprae di
endotel kapiler.

Fenomena Lucio ditandai dengan kulit menebal yang mengkilap, rambut rontok
termasuk alis dan bulu mata dan kehilangan sensorik yang luas memberi pasien penampilan
myxedematous. Fenomena Lucio ini tidak terpengaruhi oleh gender, usia rata-rata
penderita Lucio Lepra ini sekitar 34 tahun. Tanda pertama pada sebagian besar pasien
adalah alopecia.7

22
Fenomena Lucio bermanifestasi 3 sampai 4 tahun setelah timbulnya penyakit dan
terutama terlihat pada pasien yang tidak diobati. Fenomena Lucio terutama ditemui di
provinsi Sinaloa dan Jalisco di Meksiko tetapi juga telah dilaporkan di bagian lain dunia.

Penelitian yang dilakukan Han et al menemukan bahwa agen etiologi dari kusta
lepromatosa difus bukan Mycobacterium leprae yang biasa. Pada pasien dengan fenomena
Lucio, mereka menemukan bahwa gen RNA ribosom 16S, gen untuk spesies mikrobakteri,
telah berevolusi dan memiliki urutan perbedaan 3% dari gen RNA ribosom 16S dari M
leprae. Perbedaan ini menunjukkan bahwa strain baru FJ924 ini telah diturunkan dari M
leprae dan menjamin penunjukan sebagai spesies baru yang disebut Mycobacterium
lepromatosis.7

Patogenesis yang tepat dari fenomena Lucio masih tidak jelas. Hal ini terjadi karena
mekanisme pertahanan yang kurang, yang memungkinkan replikasi basil tanpa hambatan.
Hal ini juga diyakini terjadi pada eritema nodosum leprosum.

Anoxia adalah mekanisme patogenik dasar yang menyebabkan nekrosis jaringan


pada fenomena Lucio, yang mungkin disebabkan oleh proliferasi endotelial dengan oklusi
luminal dengan atau tanpa trombosis yang terjadi pada pembuluh darah berukuran sedang
pada dermis, pembengkakan dan parasitisasi endotel kapiler, atau lepromatosa dermis
dalam subkutikular atau vaskulitis lepromatous granulomatosa pada dermis.

Awalnya berupa bercak eritematosa di kaki yang kemudian menjalar ke tungkai


bawah, paha, tangan, batang tubuh dan kemudian wajah. Lesi berupa bercak eritematosa
dalam berbagai bentuk, ukuran, yang terasa nyeri. Dapat terjadi glove-stocking anesthesia
dan dalam 24 jam hingga 48 jam akan timbul infiltrasi, kemudian pada hari ketiga atau
keempat, lesi akan menjadi lebih gelap dan tampak purpura diikuti nekrosis sentral berupa
vesikel kecil. Akhirnya terbentuk eskar merah gelap dan akan lepas beberapa hari
kemudian meninggalkan jaringan parut atrofik berwarna putih “pearl white”. Proses
patologi ini terjadi selama 15 hari. Gejala biasanya muncul bersamaan dengan keluhan
lainnya yaitu demam, menggigil, nyeri sendi, Dapat juga terjadi demam, splenomegali,
limfadenopati, glomerulonefritis, anemia mikrositik, hipoalbuminemia, gammopati
poliklonal dan hipokalsemia.6,7

23
Gambar 5. Fenomena Lucio pada lepra.

Penegakan diagnosis fenomena Lucio dilakukan dengan mempertimbangkan


beberapa hal berikut:6

a. Distribusi geografis pasien dengan fenomena Lucio umumnya di Meksiko, namun


beberapa kasus dilaporkan juga di India
b. Terjadi pada pasien dengan lepra Lucio yang tidak diobati dalam waktu lama
c. Gambaran klinis klasik
d. Tidak ada gejala konstitusional
e. Gambran histopatologis spesifik
f. Kondisi membaik dengan dimulainya MDT

Fenomena Lucio dapat didiagnosis banding dengan:6,7

a. Reaksi lepra tipe 2 (fenomena vaskulonekrotikan)


b. Vaskulitis kulit (misalnya, vaskulitis leukositoklastik, pioderma gangrenosum)
c. Infeksi (misalnya infeksi jamur subkutan, varian ulseratif lupus vulgaris, infeksi
mikobakteri atipikal, fasiitis nekrotikans)
d. Vaskulopati akibat paraproteinemia (misalnya mieloma, krioglobulinemia)
e. Ulkus vena atau arteri
f. Skuamous sel karsinoma.

I. PENATALAKSANAAN
A. Medikamentosa

24
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diamniodifeni
sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan
3 obat antibiotik lain untuk pengobatan alternatif yaitu ofloksasin, minosiklin dan
klaritromisin. Untuk mencegah resistensi pengobatan tuberkulosis telah menggunakan
multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada
tahun 1971. Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan
di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternatif sejalan dengan
kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS
karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat
ini sesuai dengan para penderita yang ada di negara berkembang dengan sosial ekonomi
rendah. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:1

a. Mencegah dan mengobat resistensi


b. Memperpendek masa pengobatan
c. Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:1

a. Efek terapeutik obat


b. Efek samping obat
c. Ketersediaan obat
d. Harga obat
e. Kemungkinan penerapannya

1. DDS (Diaminodifenil sulfon)

DDS merupakan obat pertama yang berhasil untuk mengobati M leprae


yang dalam keadaan dorman. Memang ada beberapa kasus kusta yang resisten
terhadap DDS, kusta yang resisten terhadap DDS adalah tipe multibasiler tidak
pernah dilaporkan ada kusta tipe pausibasiler yang resisten terhadap DDS, karena
pad kusta pausibasiler kadar SIS dalam darah penderita tinggi dan tidak perlu waktu
lama untuk membunuh kuman yang tersisa.1

25
Resistensi dari DDS dapat terjadi karena monoterapi DDS, dosis yang
terlalu rendah, minum obat tidak teratur, minum obat tidak adekuat baik dosis
maupun lama pemberiannya, pengobatan terlalu lama, setelah 4-24 tahun.1

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemina hemolitik
(oleh karena defisiensi G6PD), leukopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom
DDS, nekrolisis epidermal toksis, hepatitis, hipoalbuminemia dan
methemoglibinemia.1 Reaksi yang jarang pada kulit menyebabkan SJS, TEN, dan
sulphone syndrome.

2. Rifampisin

Rifampisin adalah salah satu obat yang menjadi salah satu komponen
kombinasi DDS dengan dosis 10 mg / kg berat badan; diberikan setiap hari atau
setiap bulan. Rifampisin tidak boleh diberikan sebagai monoterapi, oleh karena
memperbesar kemungkinan terjadinya resistensi, tetapi pada pengobatan kombinasi
selalu diikutkan, tidak boleh diberikan setiap minggu karena efek sampingnya. Efek
samping yang dapat terjadi adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome, dan erupsi obat.1

3. Klofazimin (lampren)

Dosis sebagai antikusta adalah 50 mg setiap hari atau 100 mg selang sehari,
atau 3 x 100 mg setiap minggu. Juga bersifat antiinflamasti sehingga dpat
digunakan pada ENL dengan dosis yang lebih besar yaitu 200-300 mg/hari namun
awitan kerja baru timbul setelah 2-3 minggu.

Efek sampingnya adalah perubahan warna kulit menjadi merah kecoklatan


pada kulit dan warna kekuningan pada sklera, sehingga mirip ikterus, apalagi pada
dosis yang lebih besar. Hal ini bisa terjadi karena Klofazimin merupakan zat warna
yang dideposit terutama pada sel sistem retikuloendotelial, mukosa dan kulit.
Pigmentasi bersifat reversibel, meskipun menghilangnya lambat sejak penggunaan
obat dihentikan. Efek samping lain yang terjadi karena penggunaan dosis besar
adalah nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat
terjadi penurunan berat badan.1

26
4. Protionamid

Dosis diberikan 5-10 mg/kg berat badan setiap hari. Obat ini bersifat
bakteriostatik tetapi mudah menimbulkan resistensi, lebih toksik, harga mahal dan
hepatotoksik sehingga obat ini jarang digunakan.2 Selain hepatotoksik, efek
samping obat ini adalah trombositopenia, mual, muntah, gynecomastia, dan
hipotensi postural.

Obat Lepra Baru

1. Ofloksasin

Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap


Mycobacterium leprae in vitro. Kerjanya menghambat enzim girase DNA
mikobacterium.2 Dosis optimal harian adalah 400 mg. Efek sampingnya adalah
mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya, berbagai gangguan susuanan saraf
pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi.
Walaupun demikian hal ini jarang membutuhkan penghentian pemakainan obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui haru hati-hati, karena
dalam percobaan pada hewan muda kuinolon mengakibtakan atropati.1

2. Minosiklin

Termasuk kedalam golongan tertasiklin, mempunyai efek bakterisid yang


lebih tinggi dari pada klofazimin tetapi lebih rendah dibandingkan rifampisin.
Dosis harian yang bisa diberikan adalah 100 mg. Efek samping dari penggunaan
minoksidil adalah sama seperti tertrasiklin dapat mengakibatkan berubahnya warna
gigi pada anak, kadang-kadang dapat menyebabkan hiperpigmentasi kulit dan
membran mukosa, berbagai saluran cerna dan susunan saraf pusat, termasuk
dizzined, dan unsteadiness. Oleh sebab itu minosiklin tidak boleh diberikan pada
anak-anak dan ibu yang hamil.1

3. Klaritromisin

Merupakan kelompok antibiotik makrolid yang memiliki efek bakteridal


dan mempunyai aktivitas baktersidal setara dengan ofloksasin dan minosiklin pada

27
mencit terhadap M leprae.2 Pada penderita kusta lepromatosa dosis harian 500 mg
dapat membunuh 99% kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9% dalam 56
hari. Efek diare yang terbukti sering ditemukan bila obat ini diberikan dengan dosis
200 mg.1

Pengobatan dengan multidrug therapy (MDT) WHO (1998, 2012) Pengobatan dengan
MDT disesuaikan dengan indikasi sebagai berikut:
Tabel 7. Pengobatan Lepra MDT Tipe PB. 6
Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300mg/ bulan 450mg/ bulan 600mg/bulan Minum didepan
Dapson 25 mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan petugas
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari Minum dirumah
Lama pengobatan: diberikan 6 dosis selama 6-9 bulan

Tabel 8. Pengobatan Lepra MDT Tipe MB. 6


Jenis obat <10 tahun 10-15 tahun >15 tahun Keterangan
Rifampisin 300mg/ bulan 450mg/ bulan 600mg/bulan Minum didepan
petugas
Dapson 25 mg/bulan 50mg/bulan 100mg/bulan Minum didepan
petugas
25mg/hari 50mg/hari 100mg/hari Minum dirumah
Klofazimin 100mg/bulan 150mg/bulan 300mg/bulan Minum didepan
petugas
50mg 2x 50mg tiap 2 50mg/hari Minum dirumah
seminggu hari
Lama pengobatan: 12-18 bulan sebanyak 12 dosis

Bila MDT-WHO tidak dapat diberikan dengan berbagai alasan, antara lain:
1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin
Penyebabnya mungkin alergi obat, menderita penyakit penyerta hepatitis kronis,
atau terinfeksi dengan kuman yang resisten dengan rifampisin. Pasien dengan

28
kuman resisten terhadap rifampisin, biasanya resisten juga terhadap DDS.Oleh
sebab itu digunakan regimen berikut:
Tabel 9. Regimen bagi pasien yang resisten Rifampisin.6
Lama pengobatan Jenis obat Dosis
6 bulan pertama Klofazimin 50mg/hari
Ditambah 2 dari 3 obat:
Ofloksasin 400mg/hari
Minosiklin 100mg/hari
Klaritromizin 500mg/hari
18 bulan selanjutnya Klofazimin 50mg/hari
+ Ofloksasin 400mg/hari
Atau :
Minosiklin 100mg/hari

2. Pasien yang menolak klofazimin


Bila pasien menolak mengonsumsi klofazimin, maka klofazimin dalam MDT 12
bulan dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg/hari atau minosiklin 100 mg/hari
selama 12 bulan atau rifampisin 600 mg/bulan, ofloksasin 400 mg/bulan dan
minosiklin 100 mg/bulan selama 24 bulan.6

3. Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi DDT


Bila dapson menyebabkan terjadinya efek simpang berat, seperti sindrom dapson
(sindrom hipersensitivitas obat), obat ini harus segera dihentikan. Tidak ada
modifikasi lain untuk pasien MB, sehingga MDT tetap dilanjutkan tanpa dapson
selama 12 bulan. Sedangkan untuk pasien PB, dapson diganti dengan klofazimin
dengan dosis sama dengan MDT tipe MB selama 6 bulan.6

Indikasi rawat inap pada pasien lepra adalah sebagai berikut:6

a. Efek samping obat berat


b. Reaksi reversal atau ENL berat
c. Keadaan umum buruk (ulkus, gangren), atau terdapat keterlibatan organ
d. tubuh lain dan sistemik

29
e. Rencana tindakan operatif.

Pengobatan reaksi reversal:


Perlu diperhatikan apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat
pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat
ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednisolon
40 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan.1

Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk


mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan
terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan.
Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu tidak pernah dipakai, begitu juga talidomid tidak
efektif untuk reaksi reversal.1

Pengobatan reaksi kusta yang dianjurkan Sub Direktorat Kusta – Direktorat Jendral
Pengedalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (PP & PL) Departemen Kesehatan
Indonesia dapat dilihat skema di bawah ini.1

1. Pemberian prednisone
Tabel 10. Pemberian prednisone pada reaksi reversal.1
Minggu pemberian Dosis yang dianjurkan
Minggu ke 1-2 40 mg
Minggu ke 3-4 30 mg
Minggu ke 5-6 20 mg
Minggu ke 7-8 15 mg
Minggu ke 9-10 10 mg
Minggu ke 11-12 5 mg

2. Pemberian lampren

ENL yang berat dan bekepanjangan dan terdapat ketergantungan pada steroid
(pemberian prednisolon tidak dapat diturunkan sampai 0), perlu ditambahakn
30
klofazimin untuk dewasa 300 mg/ hari selama 2-3 bulan. Bila ada perbaikan
diturunkan menjadi 200 mg/hari selama 2-3 bulan. Jika ada perbaikan diturunkan
menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan dan selanjutnya kembali ke dosis klofazimin
semula, 50 mg/hari, kalau penderita masih dalam pengobatan MDT, atau
dihentikan bila penderita sudah dinyatakan RFT. Pada saat yang sama, dosis
prednisolon diturunkan secara bertahap.1

Pengobatan ENL:

Obat yang paling sering dipakai ialah tablet kortikosteroid, antara lain prednisolon.
Dosisnya bergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednisolon 15-30 mg
sehari, kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi perlu
diberikan 15-30 mg sehari, kadang-kadang lebih. Sesuai dengan perbaikan reaksi,
dosisnya diturunkan secara bertahap sampai diberhentikan sama sekali. Perhatikan
kontraindikasi pemakaian kortikesteroid. Dapat ditambahkan obat analgetik-antipiretik
dan sedatif atau bila berat, penderita dapat menjalani rawat-inap. Ada kemungkinan
kortikosteroid dapat mengakibatkan ketergantungan, ENL akan timbul kalau obat
tersebut dihentikan atau diturunkan pada dosis tertentu, sehingga penderita ini harus
mendapatkan kortikostreoid terus menerus.1

Obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi harus
berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Klofazimin kecuali sebagai obat antilepra dapat juga
dipakai sebagai anti-reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Juga bergantung
pada berat ringannya reaksi, makin berat makin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-
300 mg sehari. Khasiatnya lebih lambat daripada kortikosteroid. Juga dosisnya
diturunkan secara bertahap disesuaikan dengan perbaikan ENL.1

Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari
ketergantungan kortikosteroid. Salah satu efek samping yang tidak dikehendaki oleh
banyak penderita ialah bahwa kulit menjadi bewarna merah kecoklatan, apalagi pada
dosis tinggi. Tapi masih bersifat reversible, meskipun menghilangnya lambat sejak
obatnya dihentikan. Masih ada obat-obat lain, tetapi tidak begitu lazim dipakai. Selama

31
penaggulangan ENL ini,obat-obat antikusta yang sedang diberikan diteruskan tanpa
dikurangi dosisnya.1

Pengobatan fenomena Lucio :

1. Terapi kusta dengan MDT


a. Segera dimulai (bila pasien belum mendapatkan terapi kusta)
b. Tetap dilanjutkan (bila pasien sedang dalam terapi kusta
c. Tidak perlu diberikan lagi (bila pasien sudah selesai terapi (RFT))
2. Selain itu, pemberian kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1 mg/kgBB) juga perlu
dimulai dan diturunkan secara perlahan dalam hitungan bulan.
3. Talidomid dosis rendah menyebabkan kegagalan terapi pada fenomena Lucio,
tetapi Kementerian Kesehatan Meksiko masih menganggap talidomid (dengan
dosis tinggi dan waktu yang lama) sebagai terapi pilihan karena efek anti TNF-a
yang dimiliki.6
4. Kemoterapi antimikrobial untuk lepromatous leprosy merupakan satu-satunya
terapi yang dianjurkan, bersama dengan manajemen luka untuk ulkus kaki.

B. Non medikamentosa
1. Rehabilitasi medik, meliputi fisioterapi, penggunaan protese, dan terapi okupasi.
2. Rehabilitias non-medik, meliputi: rehabilitasi mental, karya dan sosial.
3. Edukasi kepada pasien, keluarga dan masyarakat: menghilangkan stigma dan
penggunaan obat.
4. Setiap kontrol, harus dilakukan pemeriksaan untuk pencegahan disabilitas.

32
BAB III

PENUTUP

Lepra atau kusta atau Morbus Hansen adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae, bakteri ini menyerang sel saraf perifer dapat pula menyerang mata, kulit,
mukosa, saluran napas atas, system RES, testis, kecuali saraf pusat. M. leprae dapat ditularkan
kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita melalui pernapasan/ droplet, dapat juga
menular melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal.
Pengaruh M. leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan hidup
M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi, serta sifat kuman yang avirulen dan
nontoksis.

Bentuk klinis lepra bergantung dari SIS (sistem imunitas seluler) seseorang. Bila penderita
memiliki SIS yang baik maka klinis akan menunjukkan kearah tuberkuloid (TT, BT), apabila
penderita memiliki SIS rendah maka klinis kearah lepromatous (BB, BL,LL). Untuk menegakkan
diagnosis lepra diperlukan paling sedikit ditemukan 1 tanda kardinal. Pemeriksaan penunjang lepra
berdasarkan tes bakteriologis, histopatologis (biopsy jaringan) dan serologis.

Ada tiga tipe reaksi lepra yaitu reaksi lepra tipe 1 disebabkan oleh hipersensitivitas seluler
(reaksi reversal), reaksi lepra tipe 2 disebabkan oleh hipersensitivitas humoral (ENL), reaksi lepra
tipe 3 sebenarnya merupakan reaksi lepra tipe 2 yang lebih berat (fenomena Lucio). Fenomena
Lucio adalah reaksi lepra terberat, penegakan diagnosis berdasarkan data endemis, gambaran klinis
klasik, gambaran histopatologis yang klasik, dan membaik dengan di berikan MDT.

Pengobatan lepra yang paling banyak dipakai adalah DDS, klofazimin, dan rifampisin.
Untuk mencegah resistensi pengobatan, memperpendek masa pengobatan, dan mempercepat
pemutusan rantai penularan lepra, pengobatan mulai menggunakan MDT. Pengobatan fenomena
Lucio dengan kortikosteroid dosis tinggi (mulai dari 1 mg/kgBB), penggunaan talidomid masih
menjadi kontroversi. Selain medikamentosa, terapi non medikamentosa meliputi rehabilitas dan
edukasi.

33
DAFTAR PUSTAKA

1. Menaldi, Sri, Linuwih., 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi ketujuh.. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI., halaman 87
2. Daili, Emmy., Menaldi, Sri, L., Ismiarto, Srie., Nilasari, Hanny. 2003. Kusta edisi II.
Jakarta: Bali Penerbit FKUI, halaman 12.
3. Han XY, Seo YH, Sizer KC, Schoberle T, May GS, Spencer JS, Li W, Nair RG. 2008. A
New Mycobacterium Species Causing Diffuse Lepromatous Leprosy. Am J Clin Pathol:
130: 856-864
4. Kemenkes RI. 2015. Kusta. Jakarta: Infodatin, Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan RI
5. Hajar, Sitti. 2017. Morbus Hansen: Biokimia dan Imunopatogenesis. Jurnal Kedokteran
Syah Kuala., Vol 17, halaman 190-194.
6. Widaty, Sandra., Soebono, Hardyanto., Nilasari, Hanny., dkk. 2017. Panduan Praktis
Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perdoski. Halaman
80-98.
7. Pai, Naveen, Sori, Rae, et al. 2014. Case Letter: Lucio Phenomenon. www.cutis.com.

34

Anda mungkin juga menyukai