Anda di halaman 1dari 11

Alopecia Areata

a. Definisi
Alopecia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya
rambut akibat proses inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut
terminal yang tidak disertai dengan pembentukan jaringan parut (non
sikatrikal), skuamasi, maupun tanda-tanda atrofi yang dapat terjadi pada pria,
wanita, dan anak-anak. Penyakit ini biasanya bermanifestasi dengan
ditemukannya area-area tertentu yang kehilangan rambut (mengalami
kerontokan total) pada kulit kepala atau bagian tubuh yang berambut lainnya
yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dengan batas yang tegas. Pada
kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang menjadi kehilangan total
seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan penyakit yang tidak
mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang serius karena
dapat memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama secara
psikologik, sosiologik dan kosmetik.
b. Epidemiologi
Alopesia Areata adalah suatu kondisi alopesia tanpa jaringan parut
yang umum ditemukan, melibatkan sedikitnya 0,1-0,2% populasi umum dan
bermanifestasi pada 0,7-3% kasus yang diketahui dalam bidang dermatologis.
Tidak ada perbedaan insidensi alopesia areata yang signfikan antar ras
ataupun jenis kelamin yang berbeda. Prevalensi memuncak pada rentang umur
20-40 tahun walaupun 60% pasien alopesia areata akan memulai gejala
mereka sebelum umur 20 tahun.
c. Etiologi
Penyebab pasti alopesia areata belum diketahui namun teori yang saat
ini dipakai adalah teori autoimunitas. Studi genetik juga menunjukkan bahwa
adanya predisposisi genetik pada alopesia areata. Studi keluarga terhadap
alopesia areata menunjukkan bahwa 28% pasien yang mengidap kondisi ini
setidaknya memiliki satu anggota keluarga lain yang memiliki kondisi yang
sama. Dilaporkan juga angka konkordansi alopesia areata pada kembar
monozigot adalah 42-55%. 139 polimorfisme nukleotida tunggal (Single
Nucleotide Polymorphism/SNP) telah diidentifikasi pada 8 regio genom yang
berbeda. Polimorfisme IL2/IL21, IL2RA, CTLA4, IK2F4, HLA, NK-
activating ligands, ILBP6, ULBP6, STX17 dan PRDX5 telah ditemukan
memiliki asosiasi dengan sel T ataupun folikel rambut.
Autoimunitas dipercaya memainkan peranan penting pada
perkembangan alopesia areata. Pasien dengan alopesia areata memiliki
peningkatan auto-antibodi spesifik folikel rambut. Bagian inferior folikel
rambut normal merupakan daerah 'immune privileged' artinya daerah tersebut
terlindungi dari sel-sel T. Molekul MHC kelas 1 dan 2, yang memiliki peran
mengikat dan menhantarkan antigen ataupun patogen kepada sistem imun,
juga tidak diekspresikan pada epitel folikel rambut normal. Namun pada
pasien alopesia areata, hal-hal ini mengalami gangguan. Terdapat peningkatan
kompleks MHC kelas 1 dan 2 dan ekspresi molekul adhesi seperti ICAM-2
dan ELAM-1 yang mengelilingi daerah perivaskular dan peribulbar epitel
folikel rambut.
d. Gejala Klinis
Ditandai dengan adanya bercak dengan kerontokan rambut pada kulit
kepala, alis, janggut, dan bulu mata. Bercak ini berbentuk bulat atau lonjong.
Perjalanan penyakit alopesia areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia areata
lebih sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi sensasi terbakar atau gatal di area
kebotakan pada sekitar 14% pasien. Pada tepi daerah yang botak ada rambut
yang terputus, bila rambut ini dicabut terlihat bulbus yang atrofi. Sisa rambut
terlihat seperti tanda seru. Rambut tanda seru (exclamation mark hair) adalah
batang rambut yang ke arah pangkal makin halus, rambut sekitarnya tampak
normal, tetapi mudah dicabut. Pada beberapa penderita kelainan menjadi
progresif dengan terbentuknya bercak baru sehingga terdapat alopesia totalis.
Gejala lain yang terlihat adalah perubahan kuku, misalnya pitting, onikilosis
(pelonggaran), splitting (terbelah), garis Beau (cekungan-cekungan
transversal), koilonikia (cekung), atau leukonikia (bercak putih di bawah
kuku). Perubahan kuku ini dapat merupakan tanda untuk mendeteksi adanya
penyakit imun. Kuku juga mengandung protein keratin yang juga terdapat
pada folikel rambut.
Berdasarkan jumlah lesi, luas lesi dan topografi hilangnya rambut, alopesia
areata secara klinis dibagi menjadi beberapa tipe:
 Bentuk Tipikal/ Umum/ Klasik
- Alopesia areata dengan plak tunggal atau unifokal
Pada bentuk ini terdapat plak alopesik licin berbentuk bulat ataupun
oval, dimana warna kulit pada lesi masih normal, rambut pada bagian
pinggir plak mudah dicabut; dapat terlihat exclamation mark hair.
- Alopesia areata dengan plak multipel atau multifocal
Pada bentuk ini ada beberapa plak alopesik tipikal untuk alopesia
areata yang mempengaruhi kulit kepala dan/ atau area lainnya.
- Alopesia areata bentuk ophiasis
Pada bentuk ini kehilangan rambut terjadi pada daerah temporo-
oksipital sehingga terjadi kebotakan ekstensif; dapat mencapai batas
bawah kulit kepala berbatasan dengan leher.
- Alopesia totalis
Pada bentuk ini rambut kepala botak total tanpa mempengaruhi
rambut tubuh lainnya. Dapat ditemukan juga kelainan pada kuku.
- Alopesia universalis
Pada bentuk ini terdapat kehilangan total rambut tubuh, melibatkan
kulit kepala, alis mata, bulu mata, janggut, kumis, ketiak dan area
genital. Pada umumnya terjadi juga berbagai macam lesi kuku.
 Bentuk Atipikal
- Alopesia areata bentuk sisaifo (inverse ophiasis)
Pada bentuk ini kehilangan rambut melibatkan seluruh kulit kepala
kecuali batas bawahnya, sepanjang area temporo-oksipital.
- Alopesia areata bentuk reticular
Pada bentuk ini, plak kebotakan multipel terjadi dipisahkan oleh
sedikit rambut yang tertinggal, sehingga memberi gambaran seperti
jaring.
- Alopesia areata difus
Pada bentuk ini kehilangan rambut terjadi secara akut dan luas.
e. Patomekanisme
Pada dasarnya terjadinya alopesia areata melibatkan 3 komponen
fisiologis, yaitu timus, perifer (pembuluh darah, skin-draining lymph nodes,
limpa, dan kulit), serta folikel rambut atau jaringan target. Mekanisme ini
dimulai dari timus. Progenitor sel T yang berasal dari sumsum tulang mulanya
mengalami seleksi positif dan negatif di dalam timus untuk memilih sel T
berdasarkan afinitasnya terhadap self peptide-MHC complex. Molekul Human
Leukocyte Antigen (HLA) juga penting dalam seleksi ini. Individu yang
memiliki HLA halotypes yang spesifik (faktor genetik) cenderung membuat
sel T menjadi autoreaktif. Selanjutnya timus akan memperlihatkan berbagai
antigen dari seluruh tubuh untuk proses pematangan sel T, kecuali antigen
folikel rambut. Pada akhirnya akan terbentuk sel T CD8+ dan CD4+ yang
kemudian harus melewati toleransi di timus.
Sel T yang autoreaktif umumnya akan masuk ke perifer akibat
toleransi pada timus yang buruk. Di dalam perifer sel T juga akan mengalami
aktivasi antigen spesifik. Bila diaktifkan oleh self-peptide, sel T akan
mengalami ekspansi klonal yang diikuti dengan delesi atau anergi (inaktivasi
secara fungsional). Bila delesi dan anergi ini gagal maka sel T autoreaktif
akan menumpuk sehingga menimbulkan proses autoimun. Menurunnya
jumlah CD4+CD25+ regulatory T cells yang diyakini mampu menekan proses
autoimun ini juga akan mengakibatkan sel T autoreaktif semakin bertambah
banyak. Berbagai antigen diri yang berasal dari rambut, seperti keratin 16,
trichohyalin, atau antigen lain di sekitarnya seperti keratinocytes, dermal
papilla, dermal sheath cells, dan melanocytes, atau antigen asing dapat
memicu aktivasi sel T autoreaktif, proses ini dinamakan molecular mimicry.
Setelah melewati seleksi negatif di dalam timus, aktivasi terhadap
antigen diri dan antigen asing di dalam skin-draining lymph nodes, dan
melewati toleransi di perifer, sel T autoreaktif akan menginduksi terjadinya
mekanisme autoimun. Ada beberapa komponen yang dianggap terlibat dalam
mekanisme tersebut, seperti CD8+ yang bersifat sitotoksik, sel NK, aktivitas sel
NK-T, antibody dependent cell-mediated cytotoxicity (ADCC), apoptosis
folikel rambut melalui interaksi Fas-Fas ligand, atau inhibisi siklus
pertumbuhan rambut yang diinduksi oleh sitokin.
Selain itu, perlu diketahui bahwa pada folikel rambut yang normal
hanya sedikit ditemukan adanya MHC class I sedangkan sitokin
imunosupresif, seperti TGF-β, IGF-1, α-MSH, dan sel NK sering dijumpai
dan berfungsi sebagai pertahanan melawan antigen. Sebaliknya pada kondisi-
kondisi tertentu, seperti infeksi, mikrotrauma folikuler, atau antigen mikroba
dapat merangsang pelepasan sitokin proinflamasi seperti IFN-γ yang mampu
menginduksi ekspresi molekul MHC class I dan II secara tidak wajar ke
dalam follicular bulb cells sedangkan jumlah sitokin imunosupresif menurun
atau fungsinya terganggu.
Selanjutnya kondisi di atas akan mengakibatkan infiltrasi sel T CD 8+
dan CD4+ ke dalam folikel rambut yang terjadi selama fase akut (Gambar 3
dan 4). Infiltrasi ini disebabkan oleh adanya peningkatan ekspresi molekul-
molekul adhesi seperti intercellular adhesion molecules 2 (ICAM-2) dan
ELAM-1 di area perivaskuler dan peribulbar pada kulit. Molekul-molekul
adhesi ini kemudian berikatan dengan sel T kemudian membawanya menuju
ke sel endotel pembuluh darah dan akhirnya ke dermis. Sel T CD 8+
menginfiltrasi area dermis pada folikel rambut (intrafolikuler) dan sel T CD 4+
pada area sekitar folikel rambut (perifolikuler) pada fase anagen. Dengan
bantuan sel T CD4+ molekul-molekul MHC ini kemudian dikenali sebagai
antigen oleh sel T CD8+ yang autoreaktif.
Pada akhirnya folikel rambut akan mengalami miniaturisasi kemudian
diikuti dengan terhentinya siklus pertumbuhan rambut secara prematur pada
fase anagen awal. Folikel rambut dalam kondisi ini disebut folikel rambut
nanogen. Proses keratinisasi juga menjadi tidak lengkap, sehingga
pertumbuhan rambut digantikan menjadi anagen distrofik yang berarti bahwa
meskipun fase anagen tetap ada, kemampuan folikel rambut untuk
memproduksi rambut dengan ukuran dan integritas yang sesuai mengalami
gangguan. Pada fase kronis, telogen akan berlangsung lebih lama dan tidak
terjadi tanda-tanda akan memasuki fase anagen.
Selain mekanisme di atas stres juga dianggap dapat
mengakibatkan alopesia areata dengan melibatkan nerve growth factor
(NGF), substance P, dan mast cell. Saat stres NGF akan menstimulasi sintesis
substansi P di dalam dorsal root ganglia dan menginduksi fase catagen lebih
awal. Selanjutnya neuropeptida ini akan ditranspor melalui serabut saraf
sensorik peptidergik menuju ke kulit yang kemudian mengakibatkan
timbulnya peradangan neurogenik perifolikuler yang dapat mengganggu
pertumbuhan rambut.
f. Tatalaksana
 Terapi
- Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal kelas 1 dan 2 digunakan secara luas untuk
mengobati alopesia areata.
- Kortikosteroid Intralesi
Injeksi kortikosteroid intralesi (triamsinolon asetonida atau
triamsinolon heksasetonida) merupakan terapi lini pertama pada
pasien dewasa dengan keterlibatan kulit kepala < 50%. Triamsinolon
asetonida digunakan dengan konsentrasi 2,5-10 mg/mL. Terapi
diulangi tiap 4-6 minggu dengan total dosis injeksi per sesi 15-40 mg.
Respon awal dapat dilihat setelah 4-8 minggu. Jika tidak ada
pertumbuhan kembali rambut setelah 4 bulan pengobatan, terapi lain
harus dipikirkan. Injeksi kortikosteroid intralesi biasanya digunakan
untuk area kulit kepala, alis mata dan janggut serta dapat
dikombinasikan dengan terapi topikal lainnya.
- Kortikosteroid Sistemik
Kortikosteroid sistemik telah terbukti efektif sebagai terapi alopesia
areata. Namun, rambut yang telah tumbuh kembali sering rontok
kembali ketika terapi dihentikan. Hal ini menyebabkan penggunaan
kortikosteroid sistemik kontroversial dan sering digunakan dalam
jangka pendek pada kasus kehilangan rambut yang sangat cepat.
Kortikosteroid sistemik tidak direkomendasikan sebagai terapi rutin
karena tidak memberikan prognosis jangka panjang yang baik dan
dapat menyebabkan banyak efek samping seperti striae, akne,
obesitas, katarak dan hipertensi. Dosis bervariasi dengan dosis awal
20 mg hingga 40 mg prednison per hari diturunkan perlahan hingga
mencapai dosis 5 mg per hari dalam beberapa minggu atau dapat juga
digunakan regimen terapi denyut dengan prednison oral dosis tinggi
jangka pendek (100-300 mg) atau IV metilprednisolon (250 mg).
- Minoxidil Topikal
Terdapat beberapa laporan adanya pertumbuhan kembali rambut yang
cukup memuaskan dengan penggunakan solusio minoxidil 5%
topikal. Hasil yang lebih baik dapat dicapai dengan kombinasi
kortikosteroid topikal kelas 2 atau antralin. Minoxidil menunjukkan
efikasi yang tidak memuaskan pada kasus alopesia totalis dan
universalis.
- Antralin
Antralin ada sebuah iritan yang mungkin memiliki sebuah efek
imunomodulasi tidak spesifik dan utamanya digunakan untuk terapi
psoriasis. Antralin digunakan dalam bentuk sediaan krim 0,2-1,0%
ataupun salep. Penggunaannya adalah dengan mengaplikasikan
antralin ke area kulit kepala yang terlibat dan dibiarkan selama 20-30
menit untuk 2 minggu pertama, dan kemudian 45-60 menit sehari
untuk 2 minggu selanjutnya. Jika terapi efektif, akan terlihat
pertumbuhan rambut dalam 2-3 bulan setelah mulai terapi. Antralin
telah terbukti aman sehingga dapat digunakan pada pasien anak. Efek
samping antralin meliputi iritasi, kulit kelupas, folikulitis dan
limfadenopati regional. Antralin tidak cocok digunakan untuk area
alis mata dan janggut.
- Imunoterapi Topikal
Efek yang diinginkan dari regimen terapi ini adalah terjadinya
dermatitis kontak. Difenilsiklopropenon (DPCP) dan asam skuarik
dibutil ester (SADBE) adalah agen sensitisisai yang umum digunakan.
Penggunaan dalam jumlah sedikit solusio 2% dari zat yang sudah
disebutkan pada area kecil kulit kepala atau area lainnya (biasanya
tangan) untuk satu minggu sebelum inisiasi terapi akan mensensitisasi
pasien. Solusio DPCP atau SADBE kemudian dioleskan setiap
minggu pada kulit kepala, dimulai dari konsentrasi 0,0001%. Kulit
kepala tidak boleh dicuci 48 jam setelah terapi dan harus dilindungi
dari radiasi UV. Setiap minggu konsentrasi solusio dianikkan secara
hati-hati hingga pasien memanifestasikan eritema dan gatal ringan.
Kemudian terapi dilanjutkan dengan konsentrasi ini; konsentrasi
tertinggi yang boleh digunakan adalah 2%. Angka keberhasilan
bervariasi dari 17-75% dengan angka keberhasilan terendah terjadi
pada pasien alopesia totalis dan universalis.

- Foto(kemo) Terapi
UVB telah dilaporkan memberikan respon yang baik untuk pasien
alopesia areata. Opsi lainnya termasuk Administrasi oral dan topikal
psoralen yang diikuti dengan iradiasi UVA. Walaupun dibuktikan
memberikan respon, foto(kemo) terapi menunjukkan angka relaps
yang sangat tinggi khususnya pada fase tappering. Selain itu, paparan
radiasi UV jangka panjang dapat mencetuskan berbagai kanker kulit.
Oleh karena itu, regimen terapi ini hanya boleh dipertimbangkan pada
kasus-kasus sulit.
- Siklosporin
Siklosporin sistemik dengan dosis 4-6 mg/kgBB/hari telah dilaporkan
memberikan efek menguntungkan pada beberapa pasien alopesia
areata. Namun efek samping terapi siklopsorin sangat banyak dan
angka relaps sangat tinggi.
 Pemeriksaan Tambahan
- Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi dapat ditemukan akumulasi sel-sel
mononuklear dalam dan sekitar bulbus rambut (gambaran swarm of
bees). Hal ini merupakan gambaran khas untuk alopesia areata.
Keadaan ini terutama ditemukan saat penyakit ini masih dalam fase
akut, dan terdiri dari sel CD4+ dan CD8+ dengan rasio CD4+/CD8+
yang tinggi pada penyakit yang secara klinis aktif. Pada fase kronik,
terlihat folikel rambut yang mengecil dan penurunan akumulasi sel.
g. Prognosis
Perjalanan alamiah penyakit alopesia areata sulit untuk diprediksi.
Beberapa pasien mungkin mengalami hanya satu episode kebotakan selama
hidupnya, yang lain dapat mengalami rekurensi yang sering. Variasi lebih
lanjut terjadi pada masa penyembuhan. Beberapa pasien menunjukkan
pertumbuhan kembali rambut secara sempurna, sedangkan yang lain tidak
mengalami perbaikan atau terjadi kebotakan lebih lanjut. Beberapa studi
epidemiologis telah mengidentifikasi faktor-faktor prognostik yang dapat
memberikan prognosis buruk terhadap pertumbuhan kembali rambut pasien
alopesia areata.

Referensi:

1. Amin, S.S., Sandeep S. Alopecia Areata: A Review. Journal of the Saudi


Society of Dermatology & Dermatologic Surgery (2013). 17, 37–45.
2. Perera, E., Leona Y, Rodney S. Alopecia Areata. Hair Ther Transplant 2014,
4:1.
3. Petukhova, L., Madeleine D, Maria H, David N, Vera P, Yutaka S, Hyunmi K,
Pallavi S, Annette L, Wei VC, Katja CM, Ralf P, Colin ABJ, Christopher IA,
Peter KG, Angela MC. Genome-wide Association Study in Alopecia Areata
Implicates Both Innate and Adaptive Immunity. Nature. 2010 July 1;
466(7302): 113–117.
4. Wolff, K. dan Johnson RA Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 6th Edition. New York: McGrawHill; 2009: p. 962-75.
5. Alexis, A.F., Duddasubramanya R, Sinha AA. Alopecia Areata: Autoimmune
Basis of Hair Loss. Eur J Dermatol. 2004; 14: 364-70.
6. Gilhar, A., Paus R, Kalish RS. Lymphocytes, Neuropeptides, and Genes
Involved in Alopecia Areata. J. Clin. Invest. 2007; 117(8): 2019-27.
7. Otberg, N. dan Jerry S. Hair Growth Disorders. Dalam: Lowell A. Goldsmith,
editor. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York:
McGraw-Hill; 2012. p.979.
8. Soepardiman, L. Kelainan Rambut. Dalam: Adhi Djuanda, editor. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2010. p.301.
9. Rivitti, E. A. Alopecia Areata: A Revision and Update. An Bras Dermatol.
2005;80(1):57-68.
10. Ito, T. Recent Advances in the Pathogenesis of Autoimmune Hair Loss Disease
Alopecia Areata. Clin Dev Immunol. 2013;348546:1-6.
11. Spano, F. dan Jeff CD. Alopecia Areata Part 1: Pathogenesis, Diagnosis, and
Prognosis. Can Fam Physician 2015;61:751-5.

Anda mungkin juga menyukai