Anda di halaman 1dari 9

ALOPECIA AREATA

1.1 Latar belakang


Alopecia adalah istilah medis yang digunakan untuk mengungkapkan kerontokan rambut
atau kebotakan. Ada beberapa jenis kerontokan rambut yang memiliki gejala dan penyebab yang
berbeda. Menurut mekanisme terjadinya, alopecia dapat terjadi dengan atau tanpa disertai
pembentukan jaringan parut (sikatrikal dan non sikatrial). Kelompok alopecia non sikatrial
antara lain meliputi alopecia androgenik,alopecia areata,alopecia yang berhubungan dengan
proses sistemik,serta alopecia traumatik.
Alopecia areata menyebabkan bercak kebotakan tentang ukuran koin besar . Mereka
biasanya muncul pada kulit kepala tetapi bisa terjadi di mana saja pada tubuh . Hal ini dapat
terjadi pada semua usia, Alopecia areata merupakan penyakit yang disebabkan oleh kesalahan
autoimun. Sistem kekebalan tubuh membuat sel darah putih (limfosit) dan antibodi untuk
melindungi terhadap benda asing seperti bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada penyakit
autoimun, telah terjadi kesalahan sistem kekebalan tubuh dimana bagian tubuh dianggap
sebagai benda asing. Pada orang dengan alopecia areata, banyak sel darah putih berkumpul di
sekitar akar rambut yang terkena (folikel rambut), di sanalah telah terjadi kesalahan dari
autoimun. Hal ini menyebabkan beberapa peradangan ringan yang mengarah dalam beberapa
cara untuk rambut menjadi lemah dan jatuh menyebabkan kebotakan.
2.1

Etiologi
Penyebab sebenarnya dari alopesia areata tidak diketahui. Faktor yang mungkin berperan

adalah faktor genetik, autoimun dan faktor lingkungan.


2.1.1 Genetik
Pentingnya faktor genetik pada alopesia areata ditandai oleh tingginya frekuensi pada
individu dengan keluarga yang mempunyai riwayat alopesia areata. Dilaporkan, kasus ini
berkisar dari 10 sampai 20% kasus, tetapi kasus-kasus ringan sering diabaikan atau tersembunyi
dari jumlah yang sebenarnya lebih besar. Sekitar 6% dari anak dengan riwayat keluarga alopesia
areata akan beresiko terkena alopesia areata selama masa hidupnya.

2.1.2 Autoimun
Banyak bukti yang mendukung hipotesis bahwa alopesia adalah kondisi autoimun. Proses
ini diperantarai sel T, antibodi yang ditemukan pada struktur folikel rambut dimana frekuensinya
meningkat pada pasien alopesia areata dibandingkan dengan subyek kontrol. Dengan
menggunakan immunofluorescence, antibodi pada akar rambut pada fase anagen ditemukan
sebanyak 90% dari pasien dengan alopesia dibandingkan dengan subyek kontrol sebanyak 37%.
Respon autoantibodi adalah target beberapa struktur folikel rambut pada fase anagen. Selubung
akar luar adalah struktur yang paling sering, diikuti oleh selubung akar dalam, matriks, dan
batang rambut. Apakah antibodi ini memainkan peran langsung dalam patogenesis tidak
diketahui dengan pasti. Temuan dari lesi alopesia areata menunjukkan limfositik perifollicular di
sekitar folikel rambut pada fase anagen. Infiltrat ini terdiri dari sel T-helper dan pada tingkat
lebih rendah, sel T-supresor. CD4 + dan CD8 + limfosit mungkin memainkan peran penting
karena menipisnya hasil subtipe T-sel dalam pertumbuhan kembali yang lengkap atau sebagian
rambut.
Pada alopesia areata kelainan pada respon imunitas humoral tidak terlalu menonjol. Nilai
immunoglobulin (Ig) pada umumnya normal walaupun ada yang menjumpai sedikit di bawah
normal. Pemeriksaan imunoflueoresensi langsung pada lesi-lesi skalp kadang-kadang IgG dan
IgM sepanjang zona membran basalis folikel rambut pada 92% kasus alopesia. Peneliti lain
menjumpai endapan-endapan IgC, IgM baik di zona membran basalis maupun di ruang
interselular sarung akar dalam. Data-data di atas menunjang peranan faktor imun di dalam
patogenesis alopesia areata. Autoantibodi terhadap organ spesifik di dalam sirkulasi, dijumpai
meningkat frekuensinya pada 5 25% penderita alopesia areata. Antibodi-antibodi tersebut
adalah terhadap tiroid, sel parietal gaster dan otot polos serta antinuklear. Tetapi beberapa penulis
tidak dapat membuktikan hubungan antara alopesia areata dengan autoantibodi organ spesifik.
Alopesia areata kadang-kadang dikaitkan dengan kondisi autoimun lain seperti gangguan alergi,
penyakit tiroid, vitiligo, lupus, rheumatoid arthritis, dan kolitis ulseratif.
2.1.3 Faktor Lingkungan
Pemikiran bahwa alopesia areata disebabkan oleh infeksi, baik langsung atau sebagai
akibat dari fokus infeksi, memiliki sejarah yang panjang dan masih tidak dapat

disingkirkan. Laporan sporadis menghubungkan alopesia areata dengan agen infektif masih terus
muncul. Ditemukan mRNA untuk sitomegalovirus pada lesi alopesia, tapi ini tidak dikonfirmasi
dalam penelitian selanjutnya. Faktor yang paling sering terlibat dalam memicu alopesia areata
adalah stres psikologis, tetapi pada penelitian masih sulit untuk menentukan hubungan antara
stres dan alopesia areata.
2.2 Patomekanisme Alopecia Areata
Kelainan yang terjadi pada alopesia areata dimulai oleh adanya rangsangan yang
menyebabkan folikel rambut setempat memasuki fase telogen lebih awal sehingga terjadi
pemendekan siklus rambut. Proses ini meluas, sedangkan sebagian rambut menetap di dalam fase
telogen. Rambut yang melanjutkan siklus akan membentuk rambut anagen baru yang lebih
pendek, lebih kurus, terletak lebih superfisial pada middermis dan berkembang hanya sampai
fase anagen lV. Selanjutnya sisa folikel anagen yang hipoplastik ini akan membentuk jaringan
sarung akar dalam, dan mempunyai struktur keratin seperti rambut yang rudimenter. Beberapa
ciri khas alopesia areata dapat dijumpai, misalnya berupa batang rambut tidak berpigmen dengan
diameter bervariasi, dan kadang-kadang tumbuh lebih menonjol ke atas (rambut-rambut pendek
yang bagian proksimalnya lebih tipis dibanding bagian distal sehingga mudah dicabut), disebut
exclamation-mark hairs atau exclamation point hal ini merupakan tanda patognomonis pada
alopesia areata. Bentuk lain berupa rambut kurus, pendek dan berpigmen yang disebut black dot
(Olgen, et al).
Lesi yang telah lama tidak mengaibatkan pengurangan jumlah folikel. Folikel anagen
terdapat di semua tempat walaupun terjadi perubahan rasio anagen : telogen. Folikel anagen akan
mengecil dengan sarung akar yang meruncing tetapi tetap terjadi diferensiasi korteks, walaupun
tanpa tanda keratinisasi. Rambut yang tumbuh lagi pada lesi biasanya didahului oleh rambut
velus yang kurang berpigmen (Olgen, et al).
Fase Pertumbuhan Rambut
Pertumbuhan rambut terbagi ke dalam tiga fase, yaitu fase anagen, fase katagen dan fase telogen.
Setiap folikel memiliki fase pertumbuhan cepat (fase anagen), diikuti pertumbuhan yang lambat
(fase katagen) dan fase istirahat (fase telogen). Transisi dari fase telogen ke fase anagen terjadi
ketika satu atau dua sel matriks pada basal folikel telogen, dekat dengan papila dermal diaktivasi

untuk menumbuhkan batang rambut yang baru. Siklus pertumbuhan rambut akan terus terjadi
sampai sudah terjadinya inaktivasi folikel akibat penuaan (Alonso dan Fuchs, 2006).
1. Masa anagen: sel-sel matriks melalui mitosis membentuk sel-sel baru mendorong sel-sel tanduk
yang lebih tua ke atas. Aktivitas ini lamanya 2-6 tahun. (Soepardiman & Lily, 2010)
2. Masa katagen: masa peralihan yang didahului oleh penebalan jaringan ikat di sekitar folikel
rambut, disusul oleh penebalan dan mengeriputnya selaput hialin. Papil rambut lalu mengelisut
dan tidak lagi berlangsung mitosis dalam matriks rambut. Bagian tengah akar rambut menyempit
dan bagian dibawahnya melebar dan mengalami pertandukan sehingga terbentuk gada (club).
Antara bekas papil dan bagian bawah gada terbentang satu tiang sel epitel. Masa peralihan ini
berlangsung 2-3 minggu. (Soepardiman & Lily,2010)
3. Masa telogen atau masa istirahat dimulai dengan memendeknya sel epitel mulai dari bawah ke
atas sampai hanya tersisa suatu puting epitel kecil, yaitu benih sekunder, dan berbentuk tunas
kecil yang membuat rambut baru sehingga rambut gada akan terdorong keluar dan rontok.
(Soepardiman & Lily, 2010)
2.3 Peneguhan diagnosa
Diagnosa areata dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis gambaran infeksi klinis atas
pola alopesia , serta dapat melakukan pengamatan secara mikroskopis dengan beberapa sampel
rambut. Pada stadium akut ditemukan distrofi rambut anagen yang disertai exclamation mark
hair pada bagian proksimal, sedangkan pada stadium kronik akan didapatkan peningkatan jumlah
rambut telogen. Perubahan lain meliputi berkurangnya diameter serabut rambut, pigmentasi yang
tidak teratur.
Biopsi pada kulit kepala dapat dilakukan dengan mengambil bagian kecil kulit kepala
untuk di analisa. Pada lokasi alopecia akan menunjukkan peradang limfostik peribulbar pada
sekitar foliker anagen atau katagen disertai meningkatnya eosinofil atau sel mast.Tes darah
mungkin dilakukan jika kondisi autoimun lainnya diduga. Tes darah tertentu yang dilakukan
tergantung pada gangguan tertentu. Namun, dokter akan menguji keberadaan dari satu atau lebih
abnormalitas antibodi. Jika antibodi ini ditemukan dalam darah , maka penderita memiliki
gangguan autoimun.
Tes darah lainnya yang dapat membantu mengesampingkan kondisi lain adalah sebagai berikut:

protein C-reaktif dan tingkat sedimentasi eritrosit


kadar zat besi
antinuclear antibody test

hormon tiroid
testosteron bebas dan total
folikel merangsang dan luteinizing hormone
Diagnosis Banding
Gambarkan klinis alopesia aerata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas biasanya
tidak memberikan kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya. Secara mikrospis, hal tersebut
diperkuat oleh adanya rambut distrofik dan exclamation-mark hairs. Pada keadaan tertentu
gambaran seperti alopesia areata dapat dijumpai pada lupus eritomatosus diskoid, dermatofitosis,
trikotilomania atau sifilis stadium II, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lebih
lanjut (Putra, 2008).

2.4 Terapi
Alopesia disebabkan oleh bermacam-macam factor bisa karena factor genetic, autoimun,
ektopaasit, lingkungan, alergi, dsb. Untuk itu diperlukan diagnosa yang tepat untuk menangani
kasus ini. Sehingga dari diagnose yang tepat, dokter hewan dapat memberikan terapi yang tepat
berdasarkan factor pnyebabnya. Berikut ini terapi yang dapat diberikan kepada pasien penderita
alopesia :
Kortikosteroid sebagai terapi aa
Penyakit AA merupakan penyakit inflamasi yang sebagian besar dikarenakan proses imun
yang dimediasi sel T. Oleh karena itu terapi yang digunakan untuk mengontrol penyakit ini
adalah obat yang dapat menekan proses imun. Kortikosteroid golongan glucocorticoid
merupakan terapi pilihan untuk penyakit ini, karena efektif menghambat aktivasi limfosit T dan
membantu mengontrol AA. Kortikosteroid juga membantu mengurangi inflamasi dan nyeri yang
terjadi pada AA. Walaupun dalam tubuh diproduksi glucocorticoid dalam bentuk cortisol, namun
karena cortisol mempunyai waktu paruh yang lebih pendek dan penetrasi kekulit kurang
sehingga diperlukan pemberian synthetic glucocorticoid.
Efek glucocorticoid sebagai immunosupresi dan antiinflamasi
Efek glucocorticoid salah satunya sebagai antiinflamasi dan immunosupresi dengan
mekanisme yang susah dimengerti. Baik pre- dan post transkripsi, glucocorticoid mengubah
regulasi gen pada sel target dengan berinteraksi dengan cytosolic glucocorticoid receptor (GR).
Salah satu aksi glucocorticoid yaitu menghambat produksi sitokin proinflamasi. Inhibisi ini dapat

dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Inhibisi secara langsung dengan
transkripsi yang dimediasi GR, sehingga glucocorticoid dapat meregulasi ekspresi sitokin
dengan menambah produksi protein untuk mengganggu stabilisasi mRNA sitokin sehingga dapat
mengurangi ekspresi sitokin. Sedangkan secara tidak langsung glucocorticoid menghambat
produksi sitokin dengan mengeksitasi sintesis glococorticoid induce leucine zipper, inhibitor of
kB (IkB), dan lipocortin-1. Hal ini menyebabkan berkurangnya sintesis inflamasi. Antara
glococorticoid-induce leucine zipper dan inhibitor of kB (IkB) berfungsi menghambat aktivitas
transkripsi proinflamasi dengan demikian terjadi penurunan eskpresi gen target, meskipun
glucocorticoid meningkatkan regulasi lipocortin-1 tidak berdampak pada produksi sitokin tetapi
lipocortin-1 dapat menghambat sintesis prostaglandin dan leukotriene dimana kedua kelas ini
berperan dalam mediator inflamasi.
Glucocorticoid menekan fungsi imun sel target yaitu limfosit T, monositmakrofag,
eosinofil, sel mast, sel dendritik, dan sel endotel. Selain menekan regulasi sitokin, glucocorticoid
juga memproduksi sitokin antiinflamasi TGF- pada sel target dengan mekanisme pre- dan post
transkripsi. Glucocorticoid bertentangan dengan ekspresi molekul adesi pada antigen presenting
cells (APCs). Hal ini mengakibatkan penurunan regulasi adesi molekul selular pada APCs. Selain
itu glucocorticoid juga menginduksi apoptosis limfosit T, monosit, dan eosinofil.
Glucocorticoid menghambat respons sel T untuk mengaktivasi stimulus dengan
menganggu T-cell receptor-mediated signaling pathways. Glucocorticoid juga menghambat sel T
helper (Th) dan khususnya sitokin Th1 sehingga mengakibatkan pergantian kearah Th2 profil
yang lebih dominan disekitar limfosit T, pergantian ini mengakibatkan antiinflamasi yang
persisten.
Metode Pemberian Kortikosteroid pada Pasien AA
Beberapa metode pemberian kortikosteroid yang dapat diberikan, yaitu berupa terapi
intralesi, topikal, maupun terapi sistemik. Metode yang diberikan tergantung dari perluasan
penyakit, derajat potensi obat, dan efek samping obat.
Kortikosteroid Intralesi
Kortikosteroid intralesi merupakan terapi utama pada pasien AA kucing dewasa dengan
lesi pada kulit kepala kurang dari 50%, dan tidak dianjurkan bila lesinya lebih dari 50%. Terapi

ini memberikan respons sebesar 64% menggunakan triamcinolone acetonide dan 97%
menggunakan triamcinolone hexacetonide. Kortikosteroid intralesi menstimulasi pertumbuhan
rambut pada tempat injeksi. Pemberian triamcinolone acetonide menggunakan jarum 30-gauge
dengan panjang 0,5 inch dengan injeksi 0,1 ml pada setiap tempat disuntikan dengan jarak kirakira 1cm. Pemberian injeksi tidak diberikan secara superfisial tetapi dipenetrasi sampai dermis
bagian dalam. Konsentrasi yang diberikan berkisar antara 2,5-10 mg/ml dimana 10mg/ml
digunakan untuk kulit kepala, sedangkan konsentrasi yang lebih rendah 2,5 mg/ml digunakan
untuk alis-alis atau pada bagian wajah. Pemberian total maksimum untuk kulit kepala
direkomendasikan 3 ml pada satu kali pertemuan.
Hasil terapi awal dengan kortikosteroid intralesi biasanya terlihat setelah 1-2 bulan. Terapi
tambahan dapat diulang setiap 4-6 minggu. Yang paling penting menjauhi efek samping dari
kortikosteroid intralesi yaitu nyeri pada tempat injeksi dan atropi transien. Atropi transien dapat
terjadi pada area yang sering dilakukan injeksi, pada penggunaan volume obat dosis besar, atau
injeksi yang dilakukan tidak cukup dalam tetapi atropi ini dapat membaik setelah beberapa
bulan. Resiko katarak dan peningkatan tekanan intraokular dapat terjadi bila diberikan
kortikosteroid injeksi dekat daerah mata seperti untuk terapi alis mata. Nyeri biasanya dirasakan
pada kitten, sehingga pada usia ini terapi dengan kortikosteroid intralesi tidak dianjurkan. Pada
kasus perluasan AA (alopecia totalisi/alopecia universalis), AA yang progresif secara cepat dan
dengan lesi kronik kurang merespon dengan baik dengan pemberian obat kortikosteroid intralesi.
Kortikosteroid topikal
Beberapa kortikosteroid topikal yang memberikan efikasi pada pasien AA yaitu
fluocinolone acetonide cream, floucinolone scalp gel, betamethasone valerate lotion,
dexamethasone in a penetration-enhancing vehicle, desoximetasone cream, halcininide cream,
dan clobetasol propionate ointment, tetapi kombinasi antara betamethasone dipropionate 0,05%
dengan

minoxidil memberikan efek

yang

lebih

menguntungkan

daripada

diberikan

betamethasone saja. Kortikosteroid topikal diberikan kepada pasien AA dengan lesi kurang dari
50% mengenai kulit kepala terutama efektif untuk kitten. Pada beberapa kasus pemberian
kortikosteroid tidak memberikan respons. Hal ini diakibatkan obat tidak dapat mencapai bulbus
rambut. Topikal steroid tidak memberikan efek pada perluasan alopesia areata (alopecia totalis/
alopecia universalis). Efek samping yang paling sering pada penggunaan kortikosteroid topikal

adalah folliculitis, atropi epidermis, dan infeksi lokal sehingga pemberian kortikosteroid tidak
diberikan dalam jangka waktu yang lama.
Kortikosteroid Sistemik
Terapi kortikosteroid oral diberikan untuk mengobati pasien AA dengan lesi lebih dari 50%
mengenai kulit kepala atau perluasan AA (alopecia totalis/ alopecia universalis). Obat
kortikosteroid sistemik yang dapat diberikan adalah prednisolon oral. Pemberian obat ini untuk
pasien AA dianjurkan dengan dosis 1mg/kg/hari untuk kucing dewasa dan 0,1-1mg/kg/hari untuk
kitten. Dosis yang dibutuhkan untuk pertumbuhan rambut pasien AA antara 30-150 mg perhari.
Terapi dengan kortikosteroid intramuskular, mempunyai efek recurrence yang tinggi dan sedikit
memberikan hasil pada pasien. Sedangkan terapi dengan intravena methylprednisolon 250 mg 2
kali sehari selama 3 hari beruntun ini efektif mengontrol kerontokan fase aktif terutama pada
perluasan alopesia areata. Terapi kortikosteroid sistemik diberikan dalam jangka waktu 1-6
bulan. Bila jangka waktu yang diberikan diperpanjang harus hati-hati dengan efek samping yang
dapat terjadi seperti efek yang berhubungan dengan tulang terutama pada saat mengobati kitten.
Efek samping lainnya dapat berupa insufisiensi adrenal akut, demam, mialgia, atralgia, malaise,
abnormalitas elektrolit dan cairan, hipertensi, hiperglikemia, meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi, osteoporosis, gangguan behavior, katarak, dan cushing syndrome.
3.1 Kesimpulan
Alopecia areata merupakan penyakit yang disebabkan oleh kesalahan autoimun. Sistem
kekebalan tubuh membuat sel darah putih (limfosit) dan antibodi untuk melindungi terhadap
benda asing seperti bakteri, virus, dan kuman lainnya. Pada penyakit autoimun, telah terjadi
kesalahan sistem kekebalan tubuh dimana bagian tubuh dianggap sebagai benda asing.
Penyebab sebenarnya dari alopesia areata tidak diketahui. Namun ada beberapa faktor yang
mungkin berperan adalah faktor genetik, autoimun dan faktor lingkungan. Diagnose dilakukan
dengan melihat gejala klinis gambaran infeksi klinis atas pola alopesia, serta dapat melakukan
pengamatan secara mikroskopis dengan beberapa sampel rambut. Biopsi dan pemeriksaan darah
juga dapat digunakan untuk menunjang diagnosa. Adapun terapi yang dapat diberikan pada
pasien penderita alopecia diantaranya Kortikosteroid, glucocorticoid, dan Vitamin E. Hal ini
tergantung dari factor penyebab alopesia itu sendiri. Sehingga diagnose yang tepat berperan

penting dalam memberikan terapi atau resep obat kepada pasien yang berpengaruh dalam
kesembuhan pasien.

3.2 Daftar Pustaka


Alonso, L. Dan Fuchs, E. 2006. The Hair Cycle. Journal Of Cell Science. 119: 391393.
Olgen A.E. Hair Disorders. In. Fitzpatrick TB, Et Al Eds. Dermatology In General Medicine 5th Ed.
New York : MC Graw Hill Lnc,' L999 : 729 46.
Putra,Imam Budi. 2008. Alopesia Areata. USU E-Repository. Medan.
Putri, N.P.J., Dan Sugiritama, I.W., 2011, Kortikosteroid Sebagai Terapi Alopesia Areata, Universitas
Udayana, Denpasar.
Soepardiman, Lily. 2010. Kelainan Rambut. Dalam: Djuanda, Adhi, Dkk. Ilmu Penyakit Kulit Dan
Kelamin. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 301-311.

Anda mungkin juga menyukai