Anda di halaman 1dari 6

Mekanisme Pertahanan dan Hipersensitivitas Sistem Integumen

Kulit merupakan suatu organ pada tubuh manusia yang membatasi dengan lingkungan luar.
Salah satu fungsi dari kulit adalah sebagai sistem imun yang memproteksi tubuh dari serangan
benda asing.1,2 Sistem imun tubuh secara garis besar terbagi atas sistem imun nonspesifik dan
spesifik. Sistem imun nonspesifik bertugas sebagai lini pertama dalam pertama melawan benda
asing. Sistem imun non spesifik terbagi menjadi tiga jenis yaitu yang bersifat fisik, larut, dan
selular. Sedangkan sistem imun non spesifik terbagi latas humoral dan selular. Kulit itu sendiri
termasuk dalam bagian sistem imun nonspesifik yang bersifat fisik. Peran kulit tersebut sebagai
suatu sistem pertahanan tubuh akan dijelaskan pada artikel ini.

A. Sistem Imun pada Kulit


Sistem imun adalah suatu system yang bekerja untuk pertahanan diri terhadap patogen dan
benda asing yang masuk ke dalam tubuh manusia. Proses imunitas ini diperantarai oleh komponen-
komponen system imun baik di sel, jaringan, ataupun organ. Komponen-komponen yang bertugas
akan menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh agar tidak menimbulkan penyakit.
Kesalahan kerja dari komponen komponen tersebut dapat menyebabkan timbulnya penyakit,
misalnya jika komponen sel imun kurang dalam bekerja, maka benda asing dapat menyebabkan
penyakit di tubuh namun jika komponen ini bekerja secara berlebihan maka akan terjadi
penghancuran sel tubuh yang normal yang disebut autoimun.1,2
Kulit didesain dengan spesifikasi klinis sedemikian rupa sehingga mampu melindungi
manusia dari luka atau infeksi, serta beberapa faktor imunologik, diantaranya sitokin TNF-α,
sebuah sinyal bahaya yang dikeluarkan oleh jaringan-jaringan yang sedang mengalami luka
kepada sistem imunologi.3 Pelepasan TNF-α dari sel-sel yang terdestruksi pada luka nantinya akan
memanggil sitokin-sitokin dan kemokin lainnya sehingga memodifikasi permukaan endotel pada
venula-venula pascakapiler. Proses ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi
ekstravasasi leukosit ke jaringan yang sedang luka.3
Kulit dapat melakukan fungsinya sebagai sistem pertahanan tubuh dengan beberapa proses.
Dalam kulit itu sendiri, sudah terdapat suatu sel menjaga kulit dari serangan benda asing. Sel itu
dikenal dengan nama sel langerhans yang terdapat di lapisan epidermis. Kemudian, ada pula suatu
proses pada kulit yang senantiasa berjalan terus-menerus dengan siklus yang tetap (kecuali pada
psoriasis) setiap 28 hari sekali.3 Proses ini disebut sebagai deskuamasi. Deskuamasi adalah proses
terlepasnya stratum korneum yang telah mati dan akan digantikan dengan kulit yang baru. Proses
ini dimaksudkan untuk membuang mikroorganisme patogen yang biasa menempel pada kulit
(stratum korneum) yang dikenal pula dengan nama keratinisasi. Selain itu, terdapat juga suatu
substansi antijamur, yaitu unsatturated transferin dan alfa2 makroglobulin keratinase inhibitor
yang mencegah invasi jamur dermatofita dan mencegah pertumbuhan organisme pada lapisan yang
lebih dalam.1,2 Jika sel langerhans dan keratinisasi ini gagal dalam menghadapi mikroorganisme
patogen, maka selanjutnya akan datang bantuan dari mediator inflamasi seperti netrofil, limfosit,
komplemen, PMN, dan aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) yang disebut
proliferasi epidermis. Proliferasi epidermis inilah yang termasuk sistem imun non spesifik dari
kelompok selular. Jika, sampai pada sistem imun nonspesifik jenis selular ini belum berhasil
mengatasi serangang patogen, maka akan dilanjutkan oleh sistem imun spesifik, pada kulit
aktivitasnya dilakukan oleh sel limfosit T dan B.1,2
Sistem imun spesifik terbagi atas humoral dan selular. Pada kelompok humoral, terdapat
sel limfosit B dan sitokin yang berperan. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma
yang memproduksi imunoglobulin (IgA, IgE, IgM, IgG). Sedangkan pada kelompok selular, akan
dilakukan oleh sel limfosit T yang akan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik (sel Tc/TCD8+)
dan sel T helper (sel Th/TCD4+).1,2,4 Sel Th ini selanjutnya akan berdiferensiasi lagi menjadi Th1
dan Th2. Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya akan merembes memasuki dermis
melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa molekul, diantaranya LFA-1. Leukosit yang
memasuki dermis melalui gradien kemotaktik akan mulai memediasi fungsi efektor, misalnya
untuk membunuh bakteri atau jamur. Selama perjalanannya leukosit yang menuju jaringan luka
ini juga akan mengeluarkan TNF-α ke sirkulasi. Dengan demikian semakin lama akan semakin
banyak leukosit yang terpanggil ke tempat luka. Inilah proses imunosurveilans yang melibatkan
jaringan luka dan sel-sel imunitas.
Dalam kenyataannya, proses imunitas merupakan rangkaian adaptasi fisiologis yang
senantiasa berubah demi mempertahankan hidup. Adaptasi imunitas ini dilakukan oleh sel-sel T
yang populer dengan sebutan imunitas spesifik dan nonspesifik, meskipun dalam kerjanya dibantu
oleh sel-sel dan molekul-molekul lainnya. Setiap sel T memiliki keunikan yang spesifik untuk
antigen tertentu.4 Inilah target utama penyembuhan yang dilakukan oleh sistem imun alami. Yang
penting ialah bagaimana menempatkan sel-sel T tersebut pada tempat dan waktu yang tepat.
Penempatan sel T diatur oleh pajanan jutaan antigen yang masuk ke tubuh manusia. Awalnya
semua sel T merupakan sel T naif (null) yang berkelana di dalam pembuluh darah serta sebagian
tersimpan di kelenjar getah bening (KGB).4 Proses ini sangat tergantung dengan LFA-1. Ketika
berada di KGB, sel-sel T akan 'dijemput' oleh sel-sel dendritik di jaringan terdekat KGB tersebut
untuk diundang ke jaringan tadi. Ketika terdapat luka di jaringan, sel dendritik akan menjadi matur
serta bermigrasi ke KGB karena dirangsang oleh sinyal berbahaya (misalnya TNF-α) kemudian
'memberi tahu' (dengan mekanisme MHC kelas III) antigen apa yang sedang menyerang jaringan
tersebut.4 Sebagaimana dipahami, MHC (major histocompatibility complex) merupakan cara
pengenalan antigen dari sel-sel yang terpajan antigen melalui ligan reseptor kepada sel T yang
naif. Sel T naif ini terdiri dari sel-sel dengan reseptor yang khas. Sel T dengan reseptor CD28 akan
berikatan dengan MHC dengan reseptor CD80 dan CD86 (kostimulasi), sedangkan sel T dengan
reseptor LFA-1 akan berikatan dengan ICAM-1 (intercellular adhesion molecules 1) pada sel
dendritik.3,4
Kulit penderita dermatitis atopi mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai
afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor FceRI pada
permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit Th2, mengaktifkan sel
memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada reaksi inflamasi
penderita Dermatitis Atopik (DA).5 Pada lesi yang akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13
yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi
kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih
tinggi dibandingkan pada DA akut.5
Secara dalam, mekanisme sistem imun kulit dapat dibaca pada gambar berikut.

Gambar 2.1. Sistem Imun Kulit2

B. Hipersensitivitas pada Sistem Imun


Hipersensitivitas adalah reaksi imun berlebihan dan menimbulkan kerusakan jaringan
tubuh. Reaksi imun terhadap antigen menjadi peka terhadap keberadaan antigen tersebut, sehingga
terjadi reaksi hipersensitivitas. Terdapat beberapa hal yang dapat menyebabkan reaksi
hipersensitivitas, yakni:1,2
1. Respon imun terhadap antigen asing (mikroba dan antigen lingkungan menyebabkan
kerusakan jaringan)
2. Respon imun dapat bekerja langsung terhadap antigen diri sendiri sebagai akibat kegagalan
toleransi diri.
Secara klasifikasi, hipersensitivitas dibagi dalam empat tipe, yakni hipersensitivitas tipe I,
II, III, dan IV.
1. Hipersensitivitas Tipe I (hipersensitivitas cepat)
Hipersensitivitas tipe I atau disebut dengan hipersensitivitas segera merupakan reaksi
patologis yang disebabkan pelepasan mediator dari sel mast dan dipicu produksi antibodi terhadap
antigen lingkungan dan ikatan IgE pada berbagai jaringan dan juga sel mast tersebut. Antibodi
lainnya selain IgE yang bekerja langsung pada jaringan dapat menyebabkan kerusakan sel atau
jaringan dan dapat mengganggu fungsinya. Gangguan tersebut diperantatai oleh antibodi dan
digolongkan menjadi hipersensitivitas tipe II.1,2,4 Antibodi terhadap antigen larut membentuk
kompleks dengan antigen, dan kompleks imun mengumpul pada pembuluh darah di berbagai
jaringan lalu menyebabkan inflamasi. Gangguan tersebut disebut penyakit kompleks imun dan
digolongkan menjadi hipersensitivitas tipe III. Ada juga hipersensitivitas tipe 4 yang diperantarai
oleh sel T (limfosit T). 4
Penyakit yang biasa terjadi pada tipe 1, yaitu asma bronkial dan rhinitis alergika. Asma
bronkial adalah penyakit inflamasi yang terjadi karena reaksi alergi tipe cepat diikuti reaksi tipe
lambat setelah kontak dengan alergen inhalasi di paru, tepatnya pada mukosa saluran napas bawah
baik pada saluran yang lebih kecil ataupun yang lebih besar. Sedangkan rhinitis alergika adalah
konsekuensi dari reaksi hipersensitivitas tipe 1 terhadap alergen umum seperti serbuk sari
tumbuhan, tungau dan debu rumah tangga yang masuk dan terlokalisir pada saluran napas atas
lewat hirupan pada orang yang sebelumnya telah tersensitisasi karena kecendrungannya untuk
tersensitisasi akibat program awal yang tidak tepat.4,5
2. Hipersensitivitas tipe II (diperantarai antibodi)
Hipersensitivitas II yang diperantarai antibodi disebabkan oleh antibodi yang ditujukan
terhadap antigen terhadap permukaan sel atau jaringan lain, antigen yang masuk ke permukaan sel
biasanya berupa molekul normal.6 Abnormalitas yang diperantarai antibodi merupakan penyebab
banyak penyakit pada manusia, antibodi yang mengakibatkan penyakit yaitu autoantibodi
melawan antigen diri sendiri, terjadinya autoantibodi diakibatkan kegagalan toleransi terhadap diri
sendiri.1,2,6
Mekanisme yang diperantarai antibodi terdapat beberapa contoh. Pertama, inflamasi
antibodi terikat pada antigen sel atau jaringan dan mengakibatkan sistem komplemen di daerah
pembuluh darah mengakibatkan terjadinya inflamasi dengan menarik dan mengaktifkan leukosit.
Yang kedua yaitu opsonisasi dan fagositosis terjadi jika antibodi terikat pada sel. Yang ketiga yaitu
respons seluler abnormal yang menyebabkan penyakit tanpa terjadinya kerusakan pada jaringan,
misal antibodi terhadap reseptor dan beberapa antibodi lainnya.1,2,6
3. Hipersensitivitas Tipe III (Diperantarai Kompleks Imun)
Pada Tipe ke-III, merupakan hipersensitivitas disebabkan kompleks antigen antibodi
(kompleks imun).6 Kompleks imun yang telah terbentuk pada peredaran darah dapat mengendap
pada pembuluh darah. Pengendapan tersebut juga disertai aktivasi komplemen dan peradangan
akut. Antigen di dalam kompleks tersebut berupa antigen eksogen (protein mikroba, atau antigen
endogen) seperti nukleoprotein. Pembuatan kompleks imun berbeda dengan penyakit
hipersensitivitas; kompleks antigen antibodi dalam jumlah kecil mungkin diproduksi selama reaksi
imun normal dan biasanya difagositosis dan dihancurkan. Hanya saat produksi kompleks imun
yang cukup besar akan menetap dan mengendap di jaringan yang bersifat patogen.1,2,6
Kompleks imun yang menimbulkan penyakit mungkin dibuat di dalam peredaran darah
dan akan mengendap di pembuluh darah. Atau kompleks imun mungkin mengendap di tempat
antigen ditanamkan (kompleks-imun in situ). Kompleks imun menyebabkan jejas sistemik apabila
dibentuk di dalam sirkulasi dan mengendap di beberapa organ, atau terlokalisasi pada organ
tertentu (contoh ginjal, sendi atau kulit) apabila kompleks imun dibentuk di sirkulasi dan
mengendap di tempat yang spesifik. Mekanisme dari jejas jaringan sama, tidak bergantung kepada
pola distribusi. Penyakit kompleks imun adalah sebagian dari penyakit imunologi yang paling
sering. Patogenesis penyakit sistem kompleks imun dapat dibagi menjadi tiga fase: (1)
Pembentukan kompleks antigen-antibodi di dalam peredaran dan (2) pengendapan kompleks imun
ada berbagai jaringan, yang dapat berkembang menjadi (3) suatu reaksi inflamasi pada berbagai
tempat di dalam tubuh.1,2,6
4. Hipersensitivitas Tipe IV (Diperantarai Sel T)
Kelainan hipersensitivitas berdasarkan reaksi sel T. Pada penyakit yang diperantarai sel T
yang lain, kerusakan jaringan disebabkan inflamasi akibat sitokin yang dihasilkan oleh sel T CD4+
atau oleh pembunuhan sel inang oleh CTLs CD8+.1,2
Mekanisme rusaknya jaringan sama dengan mekanisme sel T mengeliminasi mikroba yang
terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi melawan antigen sel atau jaringan dan mensekresi sitokin
yang menimbulkan inflamasi lokal dan mengaktifkan makrofag. Penyakit yang berbeda dapat
berkaitan dengan aktivasi sel Th1 dan Th17. Sel Th1 adalah sumber IFN-γ, sitokin utama yang
mengaktivasi makrofag, dan sel Th17 yang dianggap bertanggung jawab untuh pengerahan
leukosit, termasuk neutrofil.1,2
Reaksi khas yang diperantarai oleh sitokin sel T adalah hipersensitivitas tipe lambat (DTH),
disebut demikian karena terjadi 24 sampai 48 jam setelah seseorang yang sebelumnya telah
terpapar antigen protein diberikan antigen tersebut. Keterlambatan ini terjadi karena membutuhkan
waktu beberapa jam supaya limfosit T efektor dalam darah dapat berada di tempat pemberian
antigen, memberikan respons terhadap antigen di tempat tersebut, dan menghasilkan sitokin yang
menyebabkan reaksi yang terlihat.1,2 Reaksi DTH sering digunakan untuk menentukan jika
seseorang sebelumnya telah terpapar dan memiliki respons terhadap suatu antigen. Sel T CD8+
spesifik terhadap antigen pada sel inang dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Sel T CD8+
juga menghasilkan sitokin yang mencetus inflamasi, namun biasanya bukan merupakan sumber
utama sitokin pada reaksi imun. Pada kebanyakan penyakit autoimun yang diperantarai sel T,
terdapat baik sel T CD4+ dan CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan dalam
kerusakan jaringan.1,2
Secara singkat, hipersensitivitas dapat dirangkum dalam gambar di bawah ini

Gambar 2.2. Reaksi Hipersensitivitas1

Referensi:
1. Abbas AK and Andrew HL. basic immunology: Functions and disorders of the immune
system. Philadelphia: Saunders, 2011. p. 265-80.
2. Abbas AK, Andrew HL, Shiv P, David LB, Baker A. Cellular and molecular
immunology. Philadelphia: Elsevier, 2018. p. 112-70.
3. Kabashima K, Honda T, Ginhoux F, et al. The immunological anatomy of the skin. Nat
Rev Immunol. 2019; 19 (1): 19–30.
4. Richmond JM and Harris JE. Immunology and skin in health and disease. Cold Spring
Harb Perspect Med. 2014 Dec; 4(12): 1- 20.
5. Pasparakis M, Haase I, and Nestle FO. Mechanisms regulating skin immunity and
inflammation. Nat Rev Immunol. 2014 May;14(5): 289-301.
6. Matejuk A. Skin immunity. Arch Immunol Ther Exp (Warsz). 2018; 66(1): 45–54.

Anda mungkin juga menyukai