Anda di halaman 1dari 5

IMUNOLOGI KULIT

Kulit memrupakan lini pertama pertahanan tubuh terhadap pathogen (James,


bacher, &Swain, 2008). Sifatnya yang impermeable terhadap bakteri dapat membantu
kita dari invasi-invasi patogen yang mencoba menyerang tubuh kita (Veldman, 2004).
Kulit dan struktur yang menyertainya merupakan penghalang yang hebat bagi
pertubuhan dan penetrasi virus dan bakteri .
Kulit memiliki beberapa tipe pertahanan yaitu secara fisik,kimawi, biologi,
dan mekanik. Secara fisik, tubuh kita memiliki sawar epidermis yangakan menahan
tubuh dari invasi pathogen pathogen dari luar.secara biologi, adanyacompetitor
alamiah yaitu flora normal kulit yang bersaing dengan bakteri dalam mengambil
nutrisi di tubuh kita. Secara kimiawi, cairan kringat yang di keluarkan olehtubuh kita
akan mematikan bakteri bakteri yang ada dalam kulit karena kandungannyasebagai
antimikroba (James, bacher, & Swain, 2008). Selain itu kadar PH yang ada didalam
kulit bisa membuat bakteri tidak dapat hidup lama di dalamnya (Veldman, 2004).Jika
ada kecelakaan pada kulit seperti luka atau terbakar, pathogen tidak dapat
langsungmasuk ke dalam tubuh karena masih terdapat perlindungan dari sel sel yang
lain sepertimakrofag, dendritic dan sel lainnya.

Respon imun non spesifik:


Pertahanan utama tubuh:
o Kulit yang intak (barrier impermeable mikroorganisme).
o Asam lactate, asam lemak, produk dari kelenjar sebasea, mukus dari
membrane (mekanisme mekanik pertahanan tubuh).
o Jika benda asing masuk ke dalam tubuh, ada pertahanan tubuh melalui
enzim dan proses fagositosis oleh sel mononuclear, netrofil dan
eosinofil.

Respon imun spesifik:


Pemicunya adalah antigen yang kontak dengan sel tertentu lalu dapat memicu
destruksi, degradasi atau eliminasi.

Sistem imun:
Respon imun humoral (gamma globulin tertentu yang merupakan antibodi
spesifik.
Respon imun seluler: limfosit serta produknya (limfokin) yang menimbulkan
reaksi hipersensitivitas tipe lambat.

Sistem imun akan terangsang bila limfosit tertentu menangkap antigen

Respon imun Coombs & Gell


Reaksi tipe 1 (reaksi anafilaksis, reaksi immediate)
o Ditandai dengan reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan keluarnya
bahan vasoaktif dari sel mast/basofil.
o Antibodi: biasanya IgE, bisa juga IgG.
o Antigen akan berikatan dengan Ig pada sel mast/basophil yang
menyebabkan degranulasi sel mast mengeluarkan histamine, serotonin,
leukotrin, prostaglandin sehingga muncul urtikaria, bronchospasm,
edema laring, nausea, vomitus, diare, hipotensi, syok.

Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik)


o Ini terjadi jika antigennya berupa membrane plasma atau antigen bebas
atau hapten yang diabsorpsi ke dalam membran sel.
o IgG dan IgM yang bersirkulasi dan menempel dengan permukaan
antigen akan mengaktifkan sistem komplemen dan akan merusak
jaringan.
o Contoh: pemfigoid bulosa.

Reaksi tipe III (reaksi kompleks imun)


o Terjadi jika antigen dan antibody yang bersirkulasi terdeposit ke
jaringan yang menyebabkan peradangan.
o Antibody yang berperan biasanya IgG dan IgM.
o Juga akan mengaktivasi komplemen yang menyebabkan agregasi
platelet dan pengeluaran enzim lisosom dan leukosit sehingga timbul
kerusakan vaskular.
o Contoh: vaskulitis, lupus eritematosus sistemik, dermatomiositis dan
reaksi ARTHUS.

Reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe lambat)


o Reaksi ini diperantarai oleh sel limfosit yang telah tersensitisasi pada
kontak pertama dengan antigen dan bila berinteraksi kedua kalinya
akan dikeluarkannya sejumlah limfokin dan timbul reaksi.
o Contoh: dermatitis kontak alergi.

Sel yang berperan dalam proses imunitas kulit:


Sel Langerhans:
o Terletak di epidermis, berperan pada sistem imunitas seluler.
o Merupakan satu sel dendritic, berasal dari sumsum tulang.
o Berperan sebagai sel yang mempresentasikan antigen kepada sel
limfosit dan menghasilkan interleukin, eicosanoid, dan tumor necrosis
factor.

Sel limfosit T:
o Bersirkulasi pada kulit normal, berperan pada reaksi imun tipe lambat.
o Ada beberapa subtype: sel T helper, sitotoksik, supresor, tersensitisasi.

Sel mast:
o Merupakan sel residen didermis (seperti makrofag).
o Berperan pada reaksi inflamasi dan akan mengeluarkan histamine,
eicosanoid, dan enzim-enzim lainnya.

Keratinosit:
o Berperan pada proses imunitas yang akan menghasilkan sitokin-sitokin
peradangan (interleukin, colony stimulating factor, interferon, dan
eicosanoid).
o Juga dapat mengekspresikan molekul MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II dan ICAM-1 (Intercelluler Adhesion Molecule) pada
permukaannya.

Kulit didesain dengan spesifikasi klinis sedemikian rupa sehingga mampu


melindungi manusia dari luka atau infeksi, serta beberapa faktor imunologik, di
antaranya sitokin TNF- , sebuah sinyal bahaya yang dikeluarkan oleh jaringan-
jaringan yang sedang mengalami luka kepada sistem imunologi. Pelepasan TNF-
dari sel-sel yang terdestruksi pada luka nantinya akan memanggil sitokin-sitokin dan
kemokin lainnya sehingga memodifikasi permukaan endotel pada venula-venula
pascakapiler. Proses ini merupakan mekanisme alamiah yang memfasilitasi
ekstravasasi leukosit ke jaringan yang sedang luka (Farid, 2006).
Leukosit yang keluar dari pembuluh darah nantinya akan merembes memasuki
dermis melalui beberapa proses yang melibatkan beberapa molekul, di antaranya
LFA-1 (terkandung dalam contoh obat di atas, efalizumab). Leukosit yang memasuki
dermis melalui gradien kemotaktik akan mulai memediasi fungsi efektor, misalnya
untuk membunuh bakteri atau jamur. Selama perjalanannya leukosit yang menuju
jaringan luka ini juga akan mengeluarkan TNF- ke sirkulasi. Dengan demikian
semakin lama akan semakin banyak leukosit yang terpanggil ke tempat luka. Inilah
proses imunosurveilans yang melibatkan jaringan luka dan sel-sel imunitas (Farid,
2006).
Dalam kenyataannya, proses imunitas merupakan rangkaian adaptasi fisiologis
yang senantiasa berubah demi mempertahankan hidup. Adaptasi imunitas ini
dilakukan oleh sel-sel T yang populer dengan sebutan imunitas spesifik dan
nonspesifik, meskipun dalam kerjanya dibantu oleh sel-sel dan molekul-molekul
lainnya. Setiap sel T memiliki keunikan yang spesifik untuk antigen tertentu. Inilah
target utama penyembuhan yang dilakukan oleh sistem imun alami. Yang penting
ialah bagaimana menempatkan sel-sel T tersebut pada tempat dan waktu yang tepat
(Farid, 2006).
Penempatan sel T diatur oleh pajanan jutaan antigen yang masuk ke tubuh
manusia. Awalnya semua sel T merupakan sel T naif (null) yang berkelana di dalam
pembuluh darah serta sebagian tersimpan di kelenjar getah bening (KGB) proses ini
sangat.tergantung dengan LFA-1-. Ketika berada di KGB, sel-sel T akan 'dijemput'
oleh sel-sel dendritik di jaringan terdekat KGB tersebut untuk diundang ke jaringan
tadi. Ketika terdapat luka di jaringan, sel dendritik akan menjadi matur serta
bermigrasi ke KGB karena dirangsang oleh sinyal berbahaya (misalnya TNF- )
kemudian 'memberi tahu' (dengan mekanisme MHC kelas III) antigen apa yang
sedang menyerang jaringan tersebut (Farid, 2006).
Sebagaimana dipahami, MHC (majorhistocompatibility complex) merupakan
cara pengenalan antigen dari sel-sel yang terpajan antigen melalui ligan reseptor
kepada sel T yang naif. Sel T naif ini terdiri dari sel-sel dengan reseptor yang khas.
Sel T dengan reseptor CD28 akan berikatan dengan MHC dengan reseptor CD80 dan
CD86 (kostimulasi), sedangkan sel T dengan reseptor LFA-1 akan berikatan dengan
ICAM-1 ( intercellular adhesion molecules 1) pada sel dendritik (Farid, 2006).
Kulit penderita dermatitis atopi mengandung sel Langerhans (LC) yang
mempunyai afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor
FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke limfosit
Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan mengaktifkan Th0
menjadi Th2 di dalam sirkulasi (Judarwanto, 2009).
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan pada
reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang akut ditandai
dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan pada DA yang kronis disertai
kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah, tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-
macrophage colony-stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan
pada DA akut (Judarwanto, 2009).

Anda mungkin juga menyukai