Anda di halaman 1dari 29

3

REFERAT
SOMNAMBULISM

Oleh :
Karunia Valeriani Japar
01073170015

Pembimbing :
dr. Ashwin Kandouw, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA


SILOAM HOSPITAL LIPPO VILLAGE – SANATORIUM DHARMAWANGSA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
PERIODE 2 JULI- 4 AGUSTUS 2018
TANGERANG

4
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… .. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………2
1. TIDUR NORMAL
1.1. ELEKTROFISIOLOGI TIDUR……………………………….....2
1.2.REGULASI TIDUR………………………………………………6
1.3.FUNGSI TIDUR………………………………………………….7
1.4.DEPRIVASI TIDUR……………………………………………...7
1.5.KEBUTUHAN TIDUR……………………………………...……7
1.6.RITME TIDUR-BANGUN……………………………………….8
1.7.PERAN NEUROTRANSMITTER……………………………….8
1.8.DEFINISI………………………………………………………...10
1.9.EPIDEMIOLOGI………………………………………………...10
1.10 ETIOLOGI………………………………………………………11
1.11 PATOFISIOLOGI. ……………………………………………..13
1.12 KRITERIA DIAGNOSIS……………………………………….18
1.13 TATALAKSANA………………………………………………19
1.14 PENCEGAHAN………………………………………………...20
BAB III KESIMPULAN............................................................................................ 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 22

5
BAB I
PENDAHULUAN

Menurut para ahli, tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar dimana
seseorang masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan
rangsang lainnya (Guyton& Hall, 1997). Tidur adalah suatu proses perubahan kesadaran yang
terjadi berulang-ulang selama periode tertentu (Potter & Perry, 2005). Menurut Chopra (2003)
tidur merupakan dua keadaan yang bertolak belakang dimana tubuh beristirahat secara tenang
dan aktivitas metabolism juga menurun namun pada saat itu juga otak sedang bekerja lebih
keras selama periode bermimpi dibandingkan dengan ketika beraktivitas di siang hari.
Gangguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering dikeluhkan penderita
yang berkunjung ke praktek. Pada dasarnya gangguan tidur dibagi menjadi dua yaitu dissomnia
dan parasomnia1. Disomnia adalah gangguan tidur yang gangguan utamanya terdapat pada
jumlahnya. Contoh dari disomnia adalah insomnia dan hypersomnia. Sedangkan parasomnia
adalah suatu kelompok kondisi klinis yang dasarnya bukan gangguan tidur bangun tetapi
adanya fenomena yang terjadi secara tiba-tiba ataupun terjadi selama ambang tidur. Contoh
dari parasomnia adalah somnambulisme, sleep terror dan nightmare1.
Pada orang normal, gangguan tidur yang berkepanjangan akan mengakibatkan
perubahan-perubahan pada siklus tidur biologiknya, menurunkan daya tahan tubuh serta
menurunkan prestasi kerja, mudah tersinggung, depresi, kurang konsentrasi, kelelahan, yang
pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri atau orang lain.
Dalam referat ini, penulis akan membahas lebih dalam tentang gangguan tidur
somnabulisme atau yang sering disebut dengan tidur berjalan maupun sleep walking.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. TIDUR NORMAL
Tidur merupakan tingkah laku manusia yang paling signifikan, memenuhi
sekitar satu per tiga daripada kehidupan manusia. Tidur merupakan proses yang
dibutuhkan oleh otak agar dapat berfungsi dengan normal. Kurangnya tidur
berkepanjangan dapat menimbulkan gangguan pada fisik dan kognitif dan bahkan
kematian. Tidur dapat terlihat sebagai proses pasif namun sebenarnya tidur
diasosiasikan dengan adanya aktivasi otak yang lebih tinggi. Ada beberapa tipe tidur
yang berbeda secara kuantitatif dan kualitatif. Setiap jenis tidur memiliki karakteristik
unik, kepentingan dalam fungsi dan mekanisme regulasi. Tidur berhubungan dengan
psikiatri karena gangguan tidur dapat timbul dalam semua penyakit psikiatrik dan
seringkali menjadi bagian dari kriteria diagnosis untuk beberapa penyakit spesifik.

1.1.ELEKTROFISIOLOGI TIDUR
Tidur terdiri dari dua bagian fisiologis yaitu non rapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang biasanya terdiri dari tingkat
satu sampai empat, mayoritas fungsi fisiologis berada di tingkat yang lebih rendah
daripada saat bangun. Tidur REM adalah tipe tidur yang berbeda secara kualitatif,
dikarekteristikan dengan aktivitas otak yang tinggi dan aktivitas fisiologis yang mirip
dengan keadaan saat kita bangun. Sekitar 90 menit setelah onset tidur, NREM berubah
menjadi episode REM yang pertama. Latensi REM selama 90 menit konsisten dengan
penemual pada dewasa normal, ketika terjadi pemendekan daripada latensi REM maka
dapat menyebabkan narkolepsi dan penyakit depresif.
Untuk penelitian maka tidur biasanya dapat dinilai berdasarkan tiga parameter
yaitu electroencephalogram (EEG), electro-oculogram (EOG), dan electromyogram
(EMG) yang direkam dibawah dagu. EEG akan merekam konjugasi daripada rapid eye
movement yang merupakan karakteristik dari status tidur. EEG akan memiliki volatasi
yang rendah, random, memiliki aktivitas yang cepat dengan gelombang sawtooth;
EMG akan menunjukkan reduksi yang bermakna dalam tonus otot. Kriteria
didefinisikan oleh Allan Rechtschaffen dan Anthony Kales pada tahun 1968 telah
diterima di praktis klinis dan penelitian seluruh dunia.

7
Gambar 1.1 Pola electroensefalogram pada tidur manusia dan wakefulness.
REM, rapid eye movements (dari Butkov N. Atlas of Clinical
Polysomnography. Medford, OR: Synapse Media; 1996, with permission).

Tabel 1.1 Tingkatan tidur – kriteria elektrofisiologi

Pada orang normal, tidur NREM adalah keadaan yang tenang apabila
dibandingkan dengan keadaan bangun/ sadar. Denyut nadi biasanya lebih lambat lima
sampai sepuluh denyut dalam satu menit dibawah keadaan istirahat saat terbangun dan

8
sangat regular. Sama halnya untuk pernafasan dan tekanan darah juga cenderung lebih
rendah, dengan variasi antara satu menit dengan menit lainnya. Potensi otot tubuh lebih
rendah pada tidur REM daripada saat terbangun. Gerakan episodik dan involuntary
biasanya terdapat pada tidur NREM. Pada beberapa orang dapat ditemukan ereksi penis
pada tidur REM. Aliran darah pada sebagian besar jaringan termasuk aliran darah otak
biasanya menurun.
Bagian terdalam daripada tidur NREM yaitu tingkat tiga dan empat terkadang
diasosiasikan dengan karakteristika arousal yang tidak biasa. Ketika seseorang
terbangun 30 menit sampai 1 jam setelah onset tidur, biasanya pada tidur dengan
gelombang lambat maka mereka akan menjadi disorientasi dan pikirannya tidak
terorganisir. Arousal secara singkat daripada slow wave sleep biasanya juga
diasosiasikan dengan amnesia untuk kejadian yang terjadi saat arousal. Disorganisasi
saat arousal terjadi dari tingkat 3 atau tingkat 4 dapat menghasilkan masalah spesifik,
termasuk enuresis, somnambulisme dan tingkat 4 dapat meninbulkan mimpi buruk
maupun night terrors.
Pengukuran polygraphic pada tidur REM akan menunjukkan pola ireguler
terkadang mirip dengan pola saat terbangun. Oleh karena itu tidur REM juga disebut
sebagai paradoxical sleep. Nadi, perfasan dan tekanan darah pada manusia lebih tinggi
pada saat tidur REM, jauh lebih tinggi daripada tidur NREM dan terkadang lebih tinggi
daripada saat terbangun. Bahkan tingkat variabilitasnya sangat berbeda antara satu
menit dengan menit lainnya. Pengunaan oksigen bahkan akan meningkat pada tidur
REM. Respon ventilator untuk meningkatkan kadar CO2 akan menurun pada saat tidur
REM sehingga tidak ada peningkatan volume tidak saat tekanan CO2 meningkat.
Termoregulasi akan terganggu pada tidur REM. Pada saat tidur REM kita akan menjadi
poikilothermia dimana kita akan gagal untuk merespon terhadap perubahan
temperature seperti menggigil atau berkeringan. Pada saat ini terkadang pria juga
memiliki ereksi penis. Fitur lain pada tidur REM adalah near total paralysis of skeletal
muscle. Karena inhibiisi motor, maka gerakan tubuh tidak ada saat tidur REM. Hal yang
paling unik dari tidur REM adalah mimpi. Saat seseorang terbangun pada tidur REM
yang biasanya terjadi 60 sampai 90 persen , maka mereka telah dilaporkan memiliki
mimpi. Mimpi saat tidur REM biasanya abstrak dan terasa tidak nyata. Mimpi memang
ada pada saat NREM namun biasanya lucid dan bermakna.
Siklus tidur biasanya bersifat regular dan dapat diandalkan, periode REM
biasanya muncul setiap 90 sampai 100 menit per malam. Periode REM pertama

9
biasanya paling singkat biasanya sekitar 10 menit, lalu periode REM akan meningkat
15 sampai 40 menit setiap kalinya. Mayoritas periode REM biasanya terjadi pada 1/3
akhir , dimana mayoritas tidur tingkat 4 terjadi pada sepertiga bagian awal.

Gambar 1.3 Pola tidur pada subjek muda dan sehat. REM, rapid eye movement
( dari Gillian JC, Seifritz E, Zoltoltoski RK, Salin-Pascual RJ. Basic Science of
Sleep. In: Sadock BJ, Sadock VA, eds. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. 7th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams
&Wilkins;2000:199, with permission.)

Pola tidur biasanya akan berubah seiring bertambahnya umur seseorang. Pada
saat neonatal, tidur REM biasanya mencakup lebih daripada 50% total tidur, dan pola
EEG akan bergeser dari alert menjadi REM secara langsung tanpa melalui tingkat 1
sampai 4. Bayi yang baru lahir akan tidur sekitar 16 jam per hari dengan periode bangun
yang sangat singakt. Pada saat 4 bulan, maka pola tidur akan berubah menjadi
pengurangan REM sebanyak 40% dan akan masuk kedalam tidur dengan periode awal
NREM. Ketika sudah masuk ke dewasa muda maka distribusi tingkat tidur akan terjadi
sebagai berikut:
a. NREM 75%
- Tingkat 1: 5%
- Tingkat 2 :45%
- Tingkat 3 :12%
- Tingkat 4 :13%
b. REM 25%

10
Distribusi ini akan menetap sampai tua walaupun pengurangan akan terjadi pada
slow wave sleep dan tidur REM.

1.2. REGULASI TIDUR


Mayoritas peneliti berpikir bahwa pusat kontrol tidur tidak hanya diatur oleh 1
bagian sederhana namun diatur oleh beberapa sistem yang saling terhubung yang
terletak pada batang otak dan akan saling mengaktivasi dan menghambat antara satu
dengan yang lainnya. Banyak penelitian yang mendukung peran serotonin dalam
regulasi tidur. Hambatan sintesis serotonin dan destruksi dorsal raphe nucleus daripada
batang otak yang mengandung mayoritas badan sel serotonin dipengaruhi oleh adanya
precursor asam amino daripada neurotransmitter seperti L-triptofan. Konsumsi L-
triptofan sebanyak 1-15 gram akan menurunkan latensi tidur dan bangun pada dini hari.
Sebaliknya kekurangan L-triptofan diasosiasikan dengan waktu yang lebih sedikit pada
tidur REM. Neuron yang mengandung norepinephrine dengan badan sel yang terletak
pada locus ceruleus memiliki peran penting dalam mengontrol pola tidur normal. Obat
dan manipulasi yang meningkatkan pengeluaran neuron noradrenergic akan
mengurangi tidur REM dan akan meningkatkan kesadaran.
Asetilkolin pada otak juga berperan dalam tidur terutama pada produksi tidur
REM. Gangguan pada aktivitas kolinergik sentral diasosiasikan dengan perubahan tidur
yang diobservasi pada major depressive disorder. Apabila dibandingkan dengan orang
sehat dan non depresi, maka pasien yang depresi memiliki gangguan bermakna pada
pola tidur REM. Gangguan ini termasuk pemendekan latensi REM (60 menit atau
kurang), dan peningkatan persentasi daripada tidur REM dan pergeseran distribusi
REM dari 50% bagian terakhir menjadi 50% bagian awal tidur. Administrasi agonis
muskarinik untuk pasien depresi pada bagian pertama atau kedua NREM akan
menghasilkan onset tidur REM yang cepat. Depresi dapat diasosiasikan dengan
supersensitivitas terhadap asetilkolin. Obat yang mereduksi REM seperti antidepressant
akan memberikan efek menguntungkan untuk pasien depresi.
Sekresi melatonin dari pineal gland akan diinhibisi oleh lampu yang terang
sehingga konsentrasi serum melatonin akan berada di tingkat yang paling rendah pada
saat siang hari. Nucleus suprakiasmatik daripada hipotalamus berperan sebagai situs
anatomi untuk circadian pacemaker yang meregulasi sekresi melatonin dan siklus 24
jam tidur-bangun.

11
1.3.FUNGSI TIDUR
Fungsi daripada tidur telah diteliti dengan berbagai macam cara. Mayoritas
investigator menyimpulkan bahwa tidur memiliki fungsi restorative, homeostatic dan
penting untuk termoregulasi normal dan konservasi energy. Dengan meningkatnya tidur
NREM setelah olahraga dan kelaparan, fase ini dapat diasosiasikan dengan kebutuhan
metabolic yang memuaskan.

1.4.DEPRIVASI TIDUR
Deprivasi tidur yang berkepanjangan terkadang dapat menimbulkan disorganisasi
ego, halusinasi dan delusi. Kurangnya tidur REM dengan membangunkan seseorang diawal
fase REM akan meningkatkan jumlah periode REM dan jumlah tidur REM apabila
dibandingkan dengan ketika seseorang dibiarkan tidur tanpa interupsi. Kurangnya REM
dapat menyebabkan irritabilitas dan kelelahan. Ketika diteliti pada tikus, deprivasi tidur
dapat menyebabkan suatu sindroma yang terdiri dari lesi kulit, meningkatnya asupan
makanan, penurunan berat badan, peningkatan kebutuhan energi, penurunan temperature
tubuh dan kematian. Perubahan neuroendokrin termasuk meningkatnya norepinefrin
plasma dan menurunnya kadar tiroksin plasma.

1.5.KEBUTUHAN TIDUR
Beberapa orang normalnya “short sleeper” dimana mereka memerlukan tidur
kurang dari 6 jam setiap malam untuk berfungsi secara optimal. Sedangkan “long
sleepers” adalah mereka yang membutuhkan tidur lebih dari 9 jam setiap malam untuk
berfungsi secara optimal. Long sleepers memiliki periode REM yang lebih banyak dan
lebih banyak rapid eye movements dalam setiap periodenya (dikenal sebagai REM
Density) daripada short sleepers. Gerakan ini terkadang dikonsiderasi sebagai ukuran
intensitas daripada tidur REM dan dikorelasikan dengan mimpi. Short sleepers secara
umum efisien, ambisius, mudah beradaptasi sedangkan long sleepers biasanya lebih
depresi, gelisah, menarik diri dari social. Kebutuhan tidur meningkat seiring dengan
mening katnya pekerjaan fisik, olahrarga, penyakit, hamil, stress mental, dan
peningkatan aktivitas mental. Periode REM meningkat jika ada stimuli fisiologis
seperti adanya kesulitan belajar dan stress serta setelah menggunakan obat maupun zat
kimia yang mengurangi katekolamin otak.

12
1.6.RITME TIDUR-BANGUN
Tanpa adanya tanda-tanda eksternal, tubuh kita secara natural mengikuti siklus
25 jam. Pengaruh faktor eksternal seperti siklus terang-gelap, rutinitas sehari-hari,
waktu makan, dan lainnya akan membuat seseorang sibuk selama 24 jam. Tidur juga
dipengaruhi oleh ritme biologis. Dalam waktu 24 jam, orang dewasa akan tidur satu
kali bahkan terkadang dua kali. Ritme ini tidak ada saat baru lahir namun akan
berkembang dalam dua tahun pertama kehidupan. Beberapa wanita akan memiliki
perubahan pola tidur saat fase menstuasi. Tidur siang akan menempati waktu yang
berbeda-beda serta memiliki proporsi yang berbeda antara tidur REM maupun NREM.
Normalnya, jika istirahat dilakukan pada pagi hari maupun sore akan memilki tidur
REM yang lebih besar sedangkan apabila istirahat dilakukan di siang hari atau awal
sore hari akan memiliki tidur REM yang lebih sedikit. Siklus sirkadian ternyata
mempengaruhi kecenderungan untuk memiliki tidur REM. Contohnya adalah jet lag,
dimana setelah terbang dari timur ke barat maka seseorang akan meyakinkan dirinya
untuk tidur pada waktu diluar siklus tubuhnya. Biasanya seseorang akan beradaptasi
dalam beberapa hari, namun bisa saja untuk beberapa orang akan butuh waktu yang
leibh lama.

1.7. PERAN NEUROTRANSMITTER


Keadaan terjaga ataupun bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS
(Ascending Retiulary Acitivity System). Apabil aktivitas ARAS menurun maka orang
tersebut akan dalam keadaan tidur. Namun apabila aktivitas ARAS meningkat maka
orang tersebut akan dalam keadaan bangun. Aktivitas ARAS ini sangat dipengaruhi
oleh aktivitas neurotransmitter seperti sistem serotonergik, adrenergik, kolinergik,
histaminergik dan hormon-hormon lainnya.
a. Sistem Serotonergik
Serotonin sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam
amino triptofan. Dengan bertambahnya jumlah triptofan maka
jumlah serotonin yang terbentuk juga akan meningkat dan
menyebabkan keadaan tidur maupun mengantuk. Bila serotonin
terhambat pembentukannya maka terjadi keadaan terjaga. Menurut
beberapa peneliti lokasi yang memiliki sistem serotonergik
terbanyak terletak pada nucleus raphe dorsalis pada batang otak

13
dimana terdapat hubungan aktivitas serotonis dinukleus raphe
dorsalis dengan tidur REM.

b. Sistem Adrenergik
Neuron yang paling banyak mengandung norepinefrin
terletak di badan sel nucleus cereleus di batang otak. Kerusakan sel
neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi penurunan atau
hilangnya tidur REM. Obat-obatan yang mempengaruhi
peningkatan aktivitas neuron noradrenergic akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan
jaga.

c. Sistem Kolinergik
Stimulasi jalur kolinergik ini dapat mengakibatkan aktivitas
gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktivitas
kolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini
terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi
tidur REM. Pada obat antikolinergik yang menghambat pengeluaran
kolinergik dari lokus sereleus akan mengakibatkan gangguan pada
fase awal dan penurunan REM.

d. Sistem Histaminergik
Pengaruh histamine sangat sedikit mempengaruhi tidur

e. Sistem Hormon Lainnya


Pengaruh hormone terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh
beberapa hormon seperti ACTH, GH, TSH dan LH. Hormone ini
masing-masing disekresikan secara teratur oleh kelenjar pituitari
bagian anterior melalui hypothalamus pathway. Sistem ini secara
teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin,
dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan
bangun.

14
1.8.DEFINISI
Menurut DSM-5, somnambulisme masuk dalam bagian NREM sleep arousal
disorder. Somnambulisme dalam bentuk klasik, seperti namanya adalah suatu kondisi
dimana seseorang bangun dari tempat tidurnya dan beraktivitas tanpa adanya kesadaran
yang penuh. Biasanya somnambulisme biasanya muncul saat tidur slow wave dan
berada di bagian tengah parasomnia continuum yang dimulai dari “confused arousal”
sampai “sleep terror”. Somnambulisme memiliki karakteristik dimana biasanya
dimulai dari bagian akhir pertama atau kedua dari episode tidur slow wave. Kurangnya
tidur dan gangguan tidur daripada tidur slow wave akan mengeksaserbasi atau bahkan
memprovokasi somnambulisme pada individu yang memiliki risiko. Somnambulisme
dapat dimulai dari duduk, mencoba berjalan sampai melakukan berbagai aksi yang
hapir tidak ada tujuan. Biasanya penderita akan berinteraksi dengan lingkungan dengan
sukses (misalnya menghindari tersandung pada suatu objek). Namun, penderita juga
dapat berinteraksi dengan lingkungan dengan secara tidak wajar bahkan sampai
menyebabkan trauma (misalnya jatuh dari tangga atau keluar ke jalan raya).

1.9.EPIDEMIOLOGI
Somnambulisme biasanya lebih umum terjadi pada anak-anak daripada orang
dewasa dan mayoritas anak biasanya akan atau pernah miliki satu atau lebih parasomnia
dari tidur NREM. Namun somnambulisme pada anak-anak biasanya tidak bahaya dan
biasanya tidak memerlukan intervensi. Prevalensi somnambulisme adalah sekitar 3%
pada balita (umur 2.5-4 tahun)3, dan secara stabil meningkat menjadi 11% pada 7 dan
8 tahun4dan 13.5% pada 10 tahun sebelum turun menjadi 12.7% pada 12 tahun.
Prevalensi daripada somnambulisme secara cepat menurun ketika dewasa muda5,6
menjadi 2-4% pada dewasa7,8,9. Mayoritas anak-anak yang memiliki somnambulisme
akan tumbuh dengan gangguan tersebut sampai dewasa, presentasinya sekitar 25%
kasus8.
Data epidemiologi menunjukkan sekitar 25% penderita somnambulisme
dewasa memiliki gangguan ansietas atau gangguan mood7. Pada saat anak-anak,
munculnya somnambulisme dapat diasosiasikan dengan separation anxiety3 dan
ansietas ataupun stress dapat meningkatkan munculnya episode` tersebut pada anak
maupun dewasa. Namun pasien dewasa yang memiliki somnambulisme tidak memiliki

15
gangguan psikiatrik maupun personality10,11dan berhasilnya tatalaksana dari gangguan
aksis 1.
Biasanya 80% dari penderita somnambulisme setidaknya memiliki 1 orang
anggota keluarga yang memiliki gangguan yang sama dan prevalensinya lebih tinggi
pada anak yang orangtuanya memiliki sejarah somnambulisme daripada pasien yang
tidak memiliki orang tua dengan sejarah somnambulisme12. First degree relatives
daripada penderita somnambulisme memilki risiko 10 kali lebih tinggi daripada
populasi pada umumnya12. Hal tersebut membuktikan bahwa somnambulisme dapat
saja disebabkan oleh factor genetic.

Gambar 1.4 Prevalensi somnambulisme pada anak berumur 2.5-12 tahun dalam
studi cohort pada 1400 anak. Diadaptasi dari data Quebec Longitudinal Study of
Child Development (Quebec Institude of Statistics).

1.10. ETIOLOGI
Menurut Achkroyd. Ada empat faktor yang diperkirakan menjadi
penyebab, yaitu:
a. Genetika
Somnambulisme lebih sering terjadi pada kembar monozigot dan
sepuluh kali lebih sering didapatkan jika suatu first degree relative
memiliki riwayat somnambulisme.

16
Dilaporkan pula adanya peningkatan frekuensi alel DQB1*4 dan *5.
Gen-gen DQB1 juga terlibat didalamnya narcolepsy dan gangguan
lain ddari pengendalian motoric selama tidur misalnya: gangguan
perilaku Rapid Eye movement (REM Behavior Disorder).

b. Lingkungan
Beberapa kondisi yang merupakan penyebab somnambulisme antara
lain:
 Kurangnya tidur
 Jadwal tidur yang tidak teratur/ kacau
 Demam
 Stress atau tekanan
 Kekurangan
 Intoksikasi obat atau zat kimia, misalnya:
o Alcohol
o Hipnotik/ sedative
o Antidepressant (misalnya bupropion, paroxetine,
amitriptyline)
o Neuroleptic (misalnya lithium, reboxetine)
o Minor tranquilizer
o Stimulant
o Antibiotic (misalnya fluoroquinolone)
o Medikasi anti Parkinson (misalnya levodopa)
o Antikonvulsan (misalnya topiramate)
o Antihistamin

c. Fisiologis
Panjang dan kedalaman slow wave sleep, yang lebih besar pada
anak-anak (young children),merupakan faktor yang emningkatkan
frekuensi parasomnia pada anak-anak.
Kehamilan dan menstruasi meningkatkan frekuensi pasien dengan
parasomnia.

17
d. Berhubungan dengan kondisi medis
 Aritmia
 Migraine
 Fever
 Gastroesophageal reflux
 Nocturnal asthma
 Nocturnal seizure
 Obstructive sleep apnea
 Hipertiroidisme
 Chronic paroxysmal hemicranias
 Gangguan psikiatri seperti posttraumatic stress disorder,
panic attack dan dissociative states

1.11. PATOFISIOLOGI
Somnambulisme biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit dari
arousal13, namun beberapa penemuan klinis dan penelitian mengatakan bahwa
somnambulisme bisa saja disebabkan oleh disfungsi daripada regulasi slow
wave sleep.

a. Somnambulisme Sebagai Gangguan Slow Wave Sleep


Ada dua hal yang mendasari mengapa somnambulisme dimasukkan
sebagai gangguan slow wave sleep. Yang pertama karena adanya kelainan
intrinsic pada slow wave sleep dan adanya respon atipikal pada penderita
somnambulisme terhadap kurangnya tidur.
Fitur yang paling berbeda antara penderita somnambulisme dan yang
tidak adalah tidak adanya kontinuitas daripada tidur NREM, yang biasanya
ditandai dengan adanya peningkatan spontaneous awakening dan EEG
merekam adanya arousal diluar slow wave sleep bahkan pada malam tanpa
adanya episode somnambulisme14,15.

Penderita somnambulisme memiliki gangguan dalam intensitas tidur


yang diukur secara kualitatif pada aktivitas slow wave (spectral power in
delta band frequency). Spesifiknya, tidur mereka dikarakteristikan dengan
16,17
adanya penurunan aktivitas slow wave pada siklus pertama tidur dan

18
adanya perbedaan timecourse daripada aktivitas slow wave sepanjang
malam14. Hasil ini mengartikan bahwa penderita somnambulisme memiliki
awakening yang sering dari tidur dalam dengan adanya penumpukan
aktivitas slow wave terutama pada bagian dua pertama daripada siklus tidur
dimana terjadi awakening paling banyak pada penderita somnambulisme.
Selain itu terdapat gangguan dari konsolidasi tidur slow wave ditandai
dengan adanya elektrokortikal events yang ditandai dengan adanya
perubahan frekuensi EEG ataupun amplitude EEG pada saat tidur NREM.
Periodic sequence daripada aktivitas transien EEG bisa dianalisa sebagai
bagian daripada cyclic alternating pattern rate18-20 dan ritme endogen yang
menjadi tanda fisiologis daripada instabilitas tidur NREM. Peningkatan
cyclic alternating pattern rate telah terekam pada penderita somnambulisme
dewasa dan anak19,20 bahkan pada malam tanpa ada episode. Abmornalitas
dalam aktivitas EEG transien dapat menyebabkan fragmentasi berulang
daripada tidur slow wave dan berkontribusi untuk munculnya parasomnia
NREM 18-21.

Gelombang delta yang terlalu hypersynchronous yang biasanya


didefinisikan sebagai beberapa gelombang delta yang bervoltase tinggi
secara continuous (>150mikrovolt) muncul sepanjang tidur dalam,
kemungkinan adalah penanda EEG pertama yang dikorelasikan dengan
somnambulisme22. Para penderita somnambulisme memiliki gelombang
delta yang lebih hypersynchronous pada saat tidur NREM daripada kontrol23.
Namun onset episode sepertinya tidak didahului atau dicetuskan oleh
akumulasi secara gradual daripada hypersynchronous delta waves23, tapi
karena adanya perubahan mendadak pada high amplitude slow oscillations
(<1 Hz) dalam 20 detik setelah episode24. Proses ini menunjukkan reaksi
kortikal pada aktivasi otak.
Pada orang normal, deprivasi tidur akan menghasilkan rebound
daripada tidur slow wave dan menghasilkan tidur NREM yang terkonsolidasi
(awakening jadi berkurang) ysebagai hasil dari homeostasis tekanan tidur
yang meningkat (misalnya adanya kebutuhan fisiologis untuk tidur agar
dapat mengembalikan ekuilibrium tubuh antara tidur dan bangun)25. Respon
ini tidak didapatkan pada penderita somnambulisme dan depreviasi tidur

19
sebenarnya hasil daripada awakening yang lebih banyak dari tidur slow wave
saat recovery sleep (yaitu tidur yang terjadi langsung setelah deprivasi tidur).
Respon yang tidak khas terhadap deprivasi tidur ini sepertinya mengurangi
tidur slow wave; awakening dari N2 dan tidur REM18.
Respon para penderita somnambulisme terhadap deprivasi tidur yang
sangat berbeda, sangat spesifik dan spesifik untuk diagnosis somnambulisme
pada dewasa 26-28.
Deprivasi tidur juga meningkatkan kompleknya episode
27,28
somnambulisme . Episode somnambulisme tidak hanya lebih kompleks
namun seringkali lebih gelisah dengan forced arousals diluar recovery slow
wave sleep26. Hal ini dijelaskan sebagai perekrutan region subkortikal
lainnya setelah deprivasi tidur. Dua studi MRI29,30menunjukkan bahwa
deprivasi tidur meningkatkan aktivitas amygdala sehingga menyebabkan
stimulus visual negative dan secara signifikan meningkatkan dan
menguatkan hubungan amygdala dengan pusat aktivitas autonomy daripada
batang otak. Aktivasi ini diikuti oleh berkurangnya koneksi dengan korteks
prefrontal yang merupakan regulator daripada emosi 28,29.

20
Gambar 1.4 Somnambulisme Sebagai gangguan arousal atau slow
wave sleep

b. Somnambulisme Sebagai Gangguan Arousal


Somnambulisme pada awalnya dideskripsikan sebagai gangguan
daripada arousal31 karena adanya arousal autonomy dan motoric yang
muncul pada pasien sesaat mendekati wakefulness yang tidak penuh. Tiga
pola EEG postarousal dikarakteristikan dengan slow wave sleep arousal32
dan episode somnambulistic pada penderita somnambulisme. Aktivitas delta
yang merupakan indicator proses yang berhubungan dengan tidur direkam
pada hampir 50% episode selama tidur slow wave dan 20% pada tidur N2 33.
Penemuan-penemuan ini menyatakan bahwa somnambulisme berada
diantara tidur NREM dan full eeg arousal dan tidak benar-benar terbangun
ataupun benar-benar tertidur pada saat episodenya.
Penemuan lain yang mendukung adalah arousal dari tidur slow wave
yang terjadi karena adanya stimulus eksternal, secara spontan maupun

21
dihasilkan dari gangguan tidur lainnya dapat menimbulkan episode
somnambulisme pada individu yang memang memiliki predisposisi untuk
somnambulisme. Beberapa penelitian34-36 menunjukkan adanya asosiasi
antara somnambulism dan sindroma resistensi saluran pernafasan atas
dengan obstructive sleep apnea. Tatalaksana pada gangguan tidur akibat
saluran nafas dapat mengurangi adanya somnambulisme melalui
peningkatan konsolidasi tidur.
Beberapa penemuan lainnya juga menujukkan bahwa para penderita
somnambulisme tidak lebih mudah untuk dibangunkan atau lebih sulit untuk
dibangunkan dari tidur dalam daripada kontrol, tapi para penderita
somnambulisme memiliki respon abnormal terhadap arousal. Ada sebuah
penelitian31 yang mengatakan bahwa 50% EEG postarousal pada para
penderita somnambulisme memiliki bukti jelas dari aktivitas delta yang dapat
menjelaskan kebingungan mental setelah dibangunkan dari tidur slow wave
dan perubahan reaktivitas kortikal.

c. Somnambulisme adalah Ekspresi Fenotipikal daripada Simultaneous


States of Sleep and Wakefulness
Berbeda dengan dua hipotesis sebelumnya, disini somnambulisme
perlu dilihat sebagai bentuk baru dan penemuan baru mengenai interplay
37,38
antara states of wakefulness, REM sleep, dan NREM sleep . Walaupun
tidur manusia secara tradisional sebagai suatu proses global yang terjadi
secara uniform pada seluruh bagian otak, ada banyak bukti yang
menunjukkan tidur atau korelasi fungsional yang berkaitan dengan tidur –
dapat dikontrol oleh kejadian atau aktivitas local. Beberapa penelitian
EEG39,40 menunjukkan bahwa dalamnya tidur tidak timbul secara simultan
diseluruh otak namun ada perbedaan frekuensi topografik yang spesifik pada
aksis anteroposterior. Data yang didapatkan pada elektroda intraserebral
menunjukkan bahwa pola EEG yang berhubungan dengan tidur dan
wakefulness dan terjadi secara simultan pada region otak yang berbeda. Pada
saat episode somnambulisme pada pasien epilepsy, Terzaghi dan teman-
temannya 41 merekam pola EEG daripada wakefulness pada kortikal motor
dan cingulate pusat dan adanya peningkatan gelombang delta (yang
menandakan tidur) pada bagian frontal dan parietal dorsolateralassociative

22
cortices, yang menandakan adanya awakening daripada kortikal motor dan
cingulate yang merupakan lawan dari persistent sleep state daripada region
kortikal assosiatif.
Kortikal cingulate dan motor bisa menjadi penyebab dari tingkah laku
motoric yang kompleks dan tingkat aktivitas daripada frontoparietal
associative cortices dapat menjelaskan adanya berbagai derajat kesadaran
dari lingkungan yang menyertai awakening.
Nobili dan teman-temannya42 mengunakan strategi elektroda yang
mirip dan mendapatkan aktivasi korteks motoric yang sering, paruh waktu
yang tidak lama, dan aktivasi local yang dikarakteristikan dengan adanya
interupsi pada pola slow wave dan frekuensi tinggi daripada pola EEG
sehingga mensugestikan danya koeksistensi daripada tidur dan wakefulness.
Aktivasi pada korteks motoric parallel dengan adanya peningkatan daripada
slow wave di bagian korteks dorsolateral prefrontal. Pencitraan dengan
SPECT saat episode somnambulisme43, menunjukkan bahwa pada satu sisi
terdapat deaktivasi daripada frontoparietal associative cortices (tipikal tidur)
dan pada sisi lainnya terdapat aktivasi daripada cingulate posterior dan
anterior serebelum dan tidak adanya deaktivasi daripada thalamus yang
merupakan karakteristik emosional yang muncul saat wakefulness.
Dua set dari region otak yang tidak koheren saat somnambulisme
telah diasosiasikan dengan task-positive (region otak yang teraktivasi saat
adanya tugas yang memerlukan kognitif) dan default mode (region kortikal
yang terkativasi saat otak dalam keadaan istirahat) networks44. Disfungsi
antara kedua jaringan ini diimplikasikan dengan adanya gangguan lain
termasuk schizophrenia 45, Alzheimer 46 dan depresi 47.
Penemuan-penemuan ini mendukung ide bahwa terdapat
48
ketidakseimbangan antara kedua aktivitas . Sehingga gangguan arousal
sebenarnya terlalu restriktif untuk patofisiologi somnambulisme.

1.12. KRITERIA DIAGNOSIS


Menurut DSM V, kriteria diagnosis untuk somnambulisme adalah
sebagai berikut:
A. Adanya episode berulang incomplete awakening dari tidur, biasanya
terjadi pada 1/3 awal dari episode tidur mayor, diikuti oleh: episode

23
berulang bangun dari ranjang saat tidur dan berjalan-jalan. Pada saat tidur
berjalan, individu memiliki wajah datar dan menatap; tidak berespon pada
usaha orang lain untuk berkomunikasi pada dia dan dapat dibangunkan
hanya dengan susah payah.
B. Tidak ada atau hanya sedikit mimpi yang dapat diingat kembali
C. Amnesia untuk episode yang terjadi
D. Episode membuat distress yang signifikan maupun gangguan pada social,
okupasi maupun bagian fungsi lainnya
E. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya obat-
obatan)
F. Coexisting mental and medical disorder tidak menjelaskan episode
somnambulisme

1.13. TATALAKSANA
Pengobatan yang diberikan terhadap pasien dengan gangguan tidur
somnambulisme atau sleepwalking terdiri dari tindakan untuk mencegah cedera
dan obat yang menekan stadium 3 dan 4 49

a. Non Farmakologis
 Teknik relaksasi, imajinasi mental dan anticipatory
awakenings sebagai manajemen terapi jangka panjang
 Anticipatory awakenings terdiri dari membangunkan
individu1-20 menit sebelum waktu biasanya ia terbangun.
Lalu jagalah ia tetap terbangun hingga melewati waktu
dimana episode somnabulisme biasanya terjadi.

b. Farmakologis
 Antidepresan trisiklik
Mekanisme kerjanya memiliki efek antikolinergik perifer
dan sentral serta berefek sedative sehingga dapat
menghalangi active reuptake dari norepinefrin dan serotonin
Contoh: Amitriptyline

24
 Benzodiazepine
Mekanisme kerjanya, benzodiazepine mengikat reseptor
spesifik yang berhubungan dengan GABA-binding site pada
saluran klorida. Frekuensi pembukaan kanal meningkat
sehingga terdapat peningkatan aliran ion klorida menuju
neuron. Indeks terapeutiknya tinggi dan risiko
penyalahgunaannya rendah sehingga menyebabkan
benzodiazepine merupakan terapi pilihan untuk sedative
hipnotik.

1.14 PENCEGAHAN
A. Meningkatkan pola tidur bangun siklus sehingga menghilangkan
kemungkinan peran kurang tidur sebagi pemicu untuk tidur sambil
berjalan
B. Kandung kemih yang penuh dapat memiu episode sehingga cairan
harus dibatasi sebelum tidur
C. Orang tua harus mengamankan apapun dari kamar tidur yang bisa
berbahaya bagi anak
D. Kamar tidur harus dilantai dasar rumah. Kemungkinan pasien
membuka jendela atau pintu harus dihilangkan
E. Penilaian harus mencakup obat yang digunakan saat ini sehingga
modifikasi dapat dibuat jika diperlukan

25
BAB III
KESIMPULAN

Gangguan tidur merupakan salah satu keluhan yang paling sering dikeluhkan penderita
yang berkunjung ke praktek. Pada dasarnya gangguan tidur dibagi menjadi dua yaitu dissomnia
dan parasomnia. Salah satu contoh dari parasomnia adalah somnambulism. Somnambulisme
adalah suatu keadaan dimana seseorang bangun dari tempat tidurnya dan beraktivitas tanpa
adanya kesadaran yang penuh. Biasanya gangguan ini paling sering diderita oleh anak kecil
dan akan hilang seiring bertambahnya umur, namun tidak menutup kemungkinan bahwa
gangguan ini akan menetap sampai dewasa.
Menurut beberapa penelitian somnambulisme merupakan gangguan daripada slow
wave sleep, arousal, dan juga merupakan ekspresi Fenotipikal daripada Simultaneous States of
Sleep and Wakefulness. Uniknya dari gangguan ini adalah walaupun seseorang memiliki
ganguan daripada tiga hal diatas, apabila orang tersebut tidak memiliki genetik predisposisi
terhadap somnambulisme maka somnambulisme tersebut tidak akan terjadi.
Untuk tatalaksana, dibagi menjadi dua yaitu non farmakologis dan farmakologis.
Tujuan daripada tatalaksananya adalah untuk mencegah cedera dan menekan stadium 3 dan 4
daripada tidur.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Damping, Charles E. Gangguan Tidur Sebagai Gejala Gangguan Jiwa. Jiwa Masalah
Psikiatri. Yayasan Kesehatan jiwa”dharmawangsa”. Jakarta. 1997
2. Sharp, Stephen J., Somnabulisme
3. Petit D, Touchette E, Tremblay RE, Boivin M, Montplaisir J. Dyssomnias and

parasomnias in early childhood. Pediatrics 2007; 119: e1016–25. 


4. Petit D, Paquet J, Touchette E, Montplaisir J. Sleep: an unrecognized actor in child

development. Montreal: Institut de la Statistique du Québec, 2010. 


5. Klackenberg G. Somnambulism in childhood—prevalence, course and behavioral


correlations. A prospective longitudinal study (6–16 years). Acta Paediatr Scand 1982;

71: 495–99. 


6. 24 Laberge L, Tremblay RE, Vitaro F, Montplaisir J. Development of parasomnias

from childhood to early adolescence. Pediatrics 2000; 106: 67–74. 


7. Ohayon MM, Guilleminault C, Priest RG. Night terrors, 
 sleepwalking, and

confusional arousals in the general population: their frequency and relationship to other

sleep and mental disorders. J Clin Psychiatry 1999; 60: 268–76. 


8. Hublin C, Kaprio J, Partinen M, Heikkila K, Koskenvuo M. Prevalence and genetics of

sleepwalking: a population-based twin study. Neurology 1997; 48: 177–81. 


9. Ohayon MM, Mahowald MW, Dauvilliers Y, Krystal AD, Leger D. Prevalence and
comorbidity of nocturnal wandering in the U.S. adult general population. Neurology

2012; 78: 1583–89 


10. Schenck CH, Milner DM, Hurwitz TD, Bundlie SR, Mahowald MW. A
polysomnographic and clinical report on sleep-related injury in 100 adult patients. Am

J Psychiatry 1989; 146: 1166–73. 


27
11. Guilleminault C, Kirisoglu C, Bao G, Arias V, Chan A, Li KK. Adult 
 chronic

sleepwalking and its treatment based on polysomnography. 
 Brain 2005; 128: 1062–

69. 


12. Kales A, Soldatos CR, Bixler EO, et al. Hereditary factors in sleepwalking and night
terrors. Br J Psychiatry 1980; 137: 111–18.

13. American Academy of Sleep Medicine. ICSD-II: the international classification of


sleep disorders: diagnostic and coding manual, 2nd edn. Westchester: American

Academy of Sleep Medicine, 2005. 


14. Espa F, Ondze B, Deglise P, Billiard M, Besset A. Sleep architecture, slow wave
activity, and sleep spindles in adult patients with sleepwalking and sleep terrors. Clin
Neurophysiol 2000; 111: 929–39.
15. Blatt I, Peled R, Gadoth N, Lavie P. The value of sleep recording in evaluating
somnambulism in young adults. Electroencephalogr Clin Neurophysiol 1991; 78: 407–

12.


16. Gaudreau H, Joncas S, Zadra A, Montplaisir J. Dynamics of slow-wave activity during

the NREM sleep of sleepwalkers and control subjects. Sleep 2000; 23: 755–60.


17. Guilleminault C, Poyares D, Aftab FA, Palombini L. Sleep and wakefulness in

somnambulism: a spectral analysis study.
 J Psychosom Res 2001; 51: 411–16.


18. Guilleminault C, Kirisoglu C, da Rosa AC, Lopes C, Chan A. Sleepwalking, a disorder

of NREM sleep instability. Sleep Med 2006; 7: 163–70.


19. Zucconi M, Oldani A, Ferini-Strambi L, Smirne S. Arousal fluctuations in non-rapid


eye movement parasomnias: the role of cyclic alternating pattern as a measure of sleep

instability.
 J Clin Neurophysiol 1995; 12: 147–54.


20. Guilleminault C, Lee JH, Chan A, Lopes MC, Huang YS, da Rosa A. Non-REM-sleep
instability in recurrent sleepwalking in pre-pubertal children. Sleep Med 2005; 6: 515–

21.


21. Guilleminault C. Hypersynchronous slow delta, cyclic alternating pattern and

28
sleepwalking. Sleep 2006; 29: 14–15.


22. Jacobson A, Kales A, Lehmann D, Zweizig JR. Somnambulism: all- night


electroencephalographic studies. Science 1965; 148: 975–77.
23. Pilon M, Zadra A, Joncas S, Montplaisir J. Hypersynchronous delta waves and
somnambulism: brain topography and effect of sleep deprivation. Sleep 2006; 29: 77–

84.


24. Jaar O, Pilon M, Carrier J, Montplaisir J, Zadra A. Analysis of slow-wave activity and

slow-wave oscillations prior to somnambulism. Sleep 2010; 33: 1511–16.


25. Borbely AA, Baumann F, Brandeis D, Strauch I, Lehmann D. Sleep deprivation: effect
on sleep stages and EEG power density in man. Electroencephalogr Clin Neurophysiol

1981; 51: 483–95.


26. Pilon M, Montplaisir J, Zadra A. Precipitating factors of somnambulism: impact of


sleep deprivation and forced arousals. Neurology 2008; 70: 2284–90.
27. Zadra A, Pilon M, Montplaisir J. Polysomnographic diagnosis of sleepwalking: effects

of sleep deprivation. Ann Neurol 2008;
 63: 513–19.

28. 
 Joncas S, Zadra A, Paquet J, Montplaisir J. The value of sleep deprivation as a

diagnostic tool in adult sleepwalkers. Neurology 2002; 58: 936–40.


29. Chuah LY, Dolcos F, Chen AK, Zheng H, Parimal S, Chee MW. Sleep deprivation and

interference by emotional distracters. Sleep 2010; 33: 1305–13.


30. Yoo SS, Gujar N, Hu P, Jolesz FA, Walker MP. The human emotional brain without

sleep—a prefrontal amygdala disconnect. Curr Biol 2007; 17: R877–78.


31. Broughton RJ. Sleep disorders: disorders of arousal? Enuresis, somnambulism, and
nightmares occur in confusional states of arousal, not in “dreaming sleep”. Science
1968; 159: 1070–78.
32. Schenck CH, Pareja JA, Patterson AL, Mahowald MW. Analysis of polysomnographic
events surrounding 252 slow-wave sleep arousals in thirty-eight adults with injurious

sleepwalking and sleep terrors. J Clin Neurophysiol 1998; 15: 159–66.


33. Zadra A, Pilon M, Joncas S, Rompre S, Montplaisir J. Analysis of postarousal EEG

29
activity during somnambulistic episodes.
 J Sleep Res 2004; 13: 279–84.


34. Espa F, Dauvilliers Y, Ondze B, Billiard M, Besset A. Arousal reactions in


sleepwalking and night terrors in adults: the role of respiratory events. Sleep 2002; 25:

871–75.


35. Guilleminault C, Palombini L, Pelayo R, Chervin RD. Sleepwalking and sleep terrors

in prepubertal children: what triggers them? Pediatrics 2003; 111: e17–25.


36. Owens J, Spirito A, Nobile C, Arrigan M. Incidence of parasomnias in children with


obstructive sleep apnea. Sleep 1997; 20: 1193–96.
37. Mahowald MW, Cramer Bornemann MA, Schenck CH. State dissociation, human

behavior, and consciousness.
 Curr Top Med Chem 2011; 11: 2392–402.


38. Mahowald MW, Schenck CH. Insights from studying human sleep disorders. Nature
2005; 437: 1279–85.
39. De Gennaro L, Ferrara M, Curcio G, Cristiani R. Antero-posterior EEG changes during

the wakefulness-sleep transition.
 Clin Neurophysiol 2001; 112: 1901–11.


40. Finelli LA, Borbely AA, Achermann P. Functional topography of the human nonREM
sleep electroencephalogram. Eur J Neurosci 2001; 13: 2282–90.
41. Terzaghi M, Sartori I, Tassi L, et al. Evidence of dissociated arousal states during
NREM parasomnia from an intracerebral neurophysiological study. Sleep 2009; 32:

409–12.


42. Nobili L, Ferrara M, Moroni F, et al. Dissociated wake-like and sleep-like electro-
cortical activity during sleep. Neuroimage 2011; 58: 612–19.
43. Bassetti C, Vella S, Donati F, Wielepp P, Weder B. SPECT during sleepwalking.

Lancet 2000; 356: 484–85.


44. Raichle ME, MacLeod AM, Snyder AZ, Powers WJ, Gusnard DA, Shulman GL. A
default mode of brain function.

Proc Natl Acad Sci USA 2001; 98: 676–82.


45. Das P, Calhoun V, Malhi GS. Mentalizing in male schizophrenia patients is


compromised by virtue of dysfunctional connectivity between task-positive and task-

negative networks. Schizophr Res 2012; 140: 51–58.


30
46. Greicius MD, Srivastava G, Reiss AL, Menon V. Default-mode network activity
distinguishes Alzheimer’s disease from healthy aging: evidence from functional MRI.

Proc Natl Acad Sci USA 2004; 101: 4637–42.


47. Hamilton JP, Furman DJ, Chang C, Thomason ME, Dennis E, Gotlib IH. Default-mode
and task-positive network activity in major depressive disorder: implications for

adaptive and maladaptive rumination. Biol Psychiatry 2011; 70: 327–33.


48. Mahowald MW, Schenck CH. Insights from studying human sleep disorders. Nature
2005; 437: 1279–85.
49. Kaplan, Harold, and Benjamin J.S.,: Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis Edisi 7, Binarupa Aksara, Jakarta 1997L192-214

31

Anda mungkin juga menyukai