Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
INSOMNIA PRIMER
Oleh:
Abdul Rahman (14010078)
Pembimbing:
dr. , sp.KJ
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami
bahwa insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan
pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan
kualitas hidup bagi pasien mereka.1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Gambar 1. Regio Otak yang terlibat dalam pengaturan pola tidur1
Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis; nonrapid eye movement (NREM)
dan rapid eye movement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1
sampai 4, sebagian besar fungsi fisiologis sangat berkurang dibandingkan
dengan keadaan terjaga. Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang
terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara
fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-6 kali siklus semalam.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, sedangkan
tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur, tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalam tidur NREM. Tidur NREM dibagi dalam empat
stadium, antara lain.1
5
Gambar 2. Stadium 1 sampai 4 pada pola tidur NREM1
Tidur REM merupakan jenis tidur yang secara kualitatif berbeda, ditandai
dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat aktivitas fisiologis yang
menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur,
NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90
menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal,
pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan depresif
dan narkolepsi. Elektroensefalogram (EEG) merekam gerakan mata konjugat
cepat yang merupakan ciri pengidentifikasi keadaan tidur (tidak ada atau hanya
sedikit REM dalam tidur NREM); pola EEG terdiri atas aktivitas cepat
bertegangan rendah dan acak dengan gelombang gigi gergaji. Elektromiograf
(EMG) menunjukkan berkurangnya tonus otot yang nyata.
6
sedikit REM dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui
sebagian besar jaringan, termasuk aliran darah otak, sedikit berkurang. Bagian
tidur NREM yang paling dalam –tahap 3 dan 4- kadang-kadang disertai ciri
bangkitan yang tidak biasa. Jika orang dibangunkan 30 menit hingga 1 jam setelah
awitan tidur, biasanya pada tidur gelombang pendek, mereka akan mengalami
disorientasi dan pikiran menjadi kacau. Membangunkan dengan cepat dari tidur
gelombang pendek juga menyebabkan amnesia terhadap peristiwa selama
dibangunkan tersebut. Kekacauan saat bangun dari tahap 3 atau 4 dapat
menghasilkan masalah spesifik, termasuk enuresis, somnambulisme, dan mimpi
buruk atau terror malam hari tahap 4.1
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur,
kadang-kadang mendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena pengamatan
ini, tidur REM juga dinamakan tidur paradoksal. Denyut jantung, pernapasan, dan
tekanan darah pada manusia semuanya tinggi saat tidur REM, lebih tinggi
daripada selama tidur NREM dan sering lebih tinggi daripada saat bangun.
Variabilitasnya dari menit ke menit bahkan lebih mencolok dibandingkan kadar
atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selama tidur REM.
Respon ventilasi untuk meningkatkan kadar karbondioksida (CO2) berkurang
selama tidur REM, sehingga tidak terdapat peningkatan volume tidal ketika
tekanan parsial karbondioksida meningkat (PCO2). Termoregulasi berubah saat
tidur REM. Berlawanan dengan keadaan pengaturan suhu homeotermik yang
terjadi saat keadaan terjaga atau selama tertidur REM, keadaan poikilotermik
(suatu keadaan suhu hewan yang beragam sesuai dengan perubahan suhu di
sekelilingnya) berlangsung saat tidur REM. Poikilotermia yang merupakan ciri
khas reptil, menimbulkan kegagalan berespons terhadap perubahan suhu
lingkungan dengan menggigil atau berkeringat, yang bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh. Hampir semua periode REM pada laki-laki disertai
dengan ereksi penis parsial atau penuh. Temuan ini memiliki nilai klinis
signifikan dalam mengevaluasi penyebab impotensi, studi tumescence nokturnal
penis merupakan salah satu uji laboratorium tidur yang paling lazim diminta.
7
Perubahan fisiologis lain yang terjadi selama tidur REM adalah paralisis hampir
total pada otot rangka (postural). Karena inhibisi motorik ini, gerakan tubuh tidak
ada selama tidur REM. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi.
Orang yang terbangun saat tidur REM sering (60 hingga 90%) melaporkan bahwa
mereka mengalami mimpi. Mimpi selama tidur REM secara khas abstrak dan
aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi khasnya jelas dan bertujuan.1
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi
resiko insomnia meningkat jika terjadi pada :5
Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan
hormon selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan
peran. Selama menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot
flashes sering mengganggu tidur.
8
Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur,
insomnia meningkat sejalan dengan usia.
Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk
depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan
risiko terjadinya insomnia. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan
sekolah, atau keluarga dapat membuat pikiran menjadi aktif di malam hari,
sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti
kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau
kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Beberapa penyebab lain yang juga mendukung insomnia, yaitu :
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan
kimia dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,
termasuk beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat
alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang
mengandung kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan
stimulan yang dapat menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat
penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah
tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah
malam.
Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan
bernapas dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk
mengalami insomnia lebih besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala
tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat artritis, kanker,
gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease
(GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
9
Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh
atau pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama
sirkadian tubuh, sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak
sebagai jam internal, mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu
tubuh.
'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan
tentang tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh
tertidur. Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika
mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka
tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau
membaca.
2.4 Epidemiologi
10
Etiologi dan patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti
tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal. Arousal
dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (ascending
reticular activating system), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi
dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan
thalamus. Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya
tingkat kesiagaan yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti
lingkungan tidur.3
Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia
meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan
variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh
dihitung melalui penggunaan O2 persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada
pasien insomnia dibandingkan pada orang normal. Data elektrofisiologi
hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG
selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas
gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien
insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Data
neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol
dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada
setengah bagian pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level
melatonin tidak konsisten ditemukan. Data menurut functional neuroanatomi
studies of arousal tentang hyperarousal menunjukan pola-pola aktivitas
metabolisme regional otak selama tidur NREM melalui SPECT (single-photon
emission computer tomography) dan PET ( positron emission tomography).
Pada penelitian PET yang pertama pada insomnia primer terjadi peningkatan
kecepatan metabolisme glukosa baik pada waktu tidur maupun terjaga.3
Selama terjaga, pada pasien insomnia primer ditemukan penurunan
aktivitas dorselateral prefrontal cortical. Dari hasil penelitian-penelitian
tersebut menunjukkan hyperarousal pada tidur NREM dan hypoarousal frontal
selama terjaga, hal inilah yang menyebabkan keluhan-keluhan yang dirasakan
oleh pasien baik pada saat terjaga maupun tidur. Pada pasien yang mengalami
11
insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang
berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan
mengelukan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis
mengenai hyperarousal. Pada pemeriksaan SPECT pada pasien insomnia
primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi diberbagai tempat yang paling
jelas pada basal ganglia. Kesimpulan penelitian imaging mulai menunjukkan
perubahan fingsi neuroanatomi selama tidur NREM yang berkaitan dengan
insomnia primer maupun sekunder.3
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau mempertahankan tidur, dan
keluhan ini terus berlangsung sedikitnya satu bulan. Istilah primer
menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya gangguan fisik atau
psikologis. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki preokupasi
mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur, semakin besar rasa
frustasi dan penderitaan serta makin sulit terjadinya tidur.6
12
-
2.7 Diagnosis Banding
13
agitasi, sering meremas-remas tangannya, dan mondar-mandir. Seorang
pasien yang tertekan mengeluh akan defisit energi, menurunnya nafsu
makan, sembelit, menurunnya dorongan seksual, menurunnya ketertarikan
dalam aktifitas yang biasanya dilakukan, dan perasaan putus asa dan
keadaan tidak berdaya. Sebagai tambahan, pasien ini mungkin memiliki
pikiran ingin bunuh diri. Pasien dengan depresi sedang tidak mengeluhkan
apapun selain sensasi somatik yang tidak jelas, seperti perasaan berat,
penuh, pening, atau letih dan mau jatuh. Dalam kasus ini dokter harus
mengejar dengan giat gejala lain dari depresi, terutama jika pasien
mengeluh terbangun pada dini hari. Kadang-kadang, setelah dilakukan
pemeriksaan fisik yang menyeluruh tidak ditemukan sebab dari keluhan
pasien. Pasien mungkin mencoba secara empiris antidepresan trisiklik
seperti amitriptiline. Suatu respon klinik pada dosis terapi (umumnya
150mg), mengesahkan diagnosis depresi.3
14
secara inisial menyebabkan supresi dari tidur REM dan diikuti oleh
kembalinya secara bertahap ke level normal REM dan suatu rebound
meningkat pada tidur REM pada gejala putus obat. Beberapa inhibitor
monoamine oxidase dapat menyebabkan suatu supresi tidur REM yang
lengkap dan kadang diperlambat. Obat-obatan yang mempengaruhi tidur
termasukan timetabotil, obat kemoterapi kanker, preparat tiroid,
antikonvulsan, inhibitor monoamine oksidase, hormone
adenokortikotropik, kontrasepsi oral, propanolol, dan banyak lainnya.
Obat-obatan lain seperti diazepam, antipsikotik, trisiklik sedative,
marijuana, kokain, dan opiate mendesak efek dari depresan CNS ringan
yang, dengan putus obat, menghasilkan insomnia kompensatoar. Selama
putus obat adalah umum untuk observasi sentakan kaki yang harus
dibedakan dengan nocturnal myoclonus.
Alkohol, walaupun dipakai secara spesifik oleh sekelompok individu
untuk memicu tidur, menyebabkan insomnia, khususnya pada malam yang
lebih larut. Dalam suatu kilas balik yang baik, Pokorny menyimpulkan
efek alkohol terhadap tidur. Jumlah moderat alkohol menyebabkan tidur
lebih cepat tetapi meningkatnya terbangun dalam setengah akhir dari suatu
malam. Intoksikasi akut menyebabkan penurunan tidur REM; putus
alkohol menghasilkan penundaan dalam onset tidur, REM rebound, dan
terbangun berkali-kali sepanjang malam. Mimpi buruk dan halusinasi yang
menakutkan adalah umum selam putus alkohol. Insomnia dan gangguan
tidur mungkin menetap selama 6 bulan setelah gejala putus alkohol.
Penggunaan secara bijak dan pemberhentian alkohol telah menurunkan
jumlah tidur delta dan kekacauan dalam siklus tidur REM.3
15
usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang
sewajarnya. Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan
farmakologi atau non-farmakologi, berdasarkan berat dan perjalanan gejala
insomnia itu sendiri.1,2,4
16
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip
dengan benzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih
ringan. Efek samping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi
ortostatik dan jatuh lebih jarang. Zolpidem merupakan salah satu
derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan untuk
pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1
subunit GABA reseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik
tanpa menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi
yang terdapat pada benzodiazepine. Zaleplon adalah pilihan lain selain
zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai
waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya
sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABA reseptor.
Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem, tetapi, pada suatu
penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior
berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita
dengan usia produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek
sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.2
c. Miscellaneous sleep promoting agent
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat
onset tidur dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur.
Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin
secara alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar
pineal. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun
tidur pada suprakiasmatik pada hipotamalamus.. Belum ada penelitian
tentang efek samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa
penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas dan
ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose
(300mg/hari), dapat menyebabkan menghambat fungsi ovari.2 Oleh itu
hindari pemberian melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang
dalam proses menyusui. Antihistamin adalah bahan utama dalam obat
17
tidur. dephenydramine citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan
docylamine succinate.
Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi
kesulitan tidur. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang
terganggu diengah-tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM.
Selain tiu, alkohol dapat menyebabkan ketergantungan, toleran dan
penggunaan yang berlebihan.2 Antidepresan dengan dosis rendah
seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan mitrazapine sering
digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Aromaterapi
membantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif
untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak
lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang
mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.2
18
Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :2
Pengaturan Dosis :
19
Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi
tidur.
Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan
dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian secepatnya tapering off
(untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi obat)
Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih
perlahan-lahan, untuk menghindari oversedation dan intoksikasi
Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3
kali seminggu (tidak setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia
lanjut
Lama Pemberian :
Efek Samping :
20
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat
terjadi “disinhibiting effect” yang menyebabkan “rage reaction”
Kontraindikasi :
21
Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di
tempat tidur
Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
p/kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali
Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
Hindari tidur di siang hari
b. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur
hanya waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga
diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan
ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur.
Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk diterapkan
pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan.4
c. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup
dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur
penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering
menyebabkan insomnia tipe primer. Terdapat beberapa hal yang perlu
dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan sleep hygiene
yang baik, seperti dibawah : Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein
dan produk nikotin sebelum tidur. Meminimumkan suasana bising,
pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau
panas Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita Hindari
makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur Elakkan membawa
pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur Lakukan
senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas
yang berat sebelum tidur 4
d. Cognitive Therapy
22
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk
mengubah pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab
dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika
hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di
siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah tidur yang tidak
efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk status
insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive
therapy dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi
lainnya menyatakan, metode ini sangat bermanfaat pada penderita
insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan
pengobatan dengan medikamentosa.4
2.9 Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang
teratur. Insomnia dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.
2.10 Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada
gangguan lain seperti depresi dan lain-lain. Lebih buruk jika gangguan ini
disertai skizophrenia.1
23
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:
Wiguna, I Made. Tangerang : Bina Rupa Aksara Publisher.
2. Kumar B, Carlos R, Nancy FS. Advances in Treating insomnia. Cleveland
Clinic Journal of Medicine. April : 2007; Vol 74 : 251-265.
3. Evelyn Mai, Daniel J. Buysse. 2009. Insomnia: Prevalence Impact,
Pathogenesis, Differential Diagnosis, and Evaluation.Fall; p.491-498.
4. R.George L, Cynthia G. Nonpharmacologic Approaches to the Management
on Insomnia. JAOA. Nov : 2010; Vol 110: 695-700
5. American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder Edition “DSM-5”. Washington DC: American Psychiatric
Publishing. Washington DC.; p. 362-368.
6. Maslim R. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa; Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta. 2003; p. 92.
25