Seorang perempuan berusia 42 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit tidur sejak 3
minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Pasien
tinggal sendiri 1 bulan yang lalu karena suami bertugas diluar kota. Akhir-akhir ini pasien mulai
merasa lelah
KATA SULIT : -
PERTANYAAN-PERTANYAAN :
1. Defenisi tidur
2. Fisiologi siklus tidur
3. Defenisi dan klasifikasi sulit tidur
4. Etiologi dan patomekanisme sulit tidur
5. Differential Diagnosa
- Etiologi
- Faktor Resiko
- Psikopatologi
- Manifestasi klinik
- Langkah-langkah diagnosa
- Penatalaksanaan
- Komplikasi
- Pencegahan
- Prognosis
DEFENISI TIDUR
Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversibel yang ditandai dengan keadaan
relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap stimulus eksternal
dibandingkan dengan keadaan terjaga. Suatu keadaan bawah sadar dimana seseorang masih dapat
dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik atau dengan rangsang lainnya. Setidak-tidaknya
kita membutuhkan 7 s/d 9 jam setiap malamnya agar tubuh kita dapat berfungsi dengan baik.
Setiap makhluk memiliki irama kehidupan yang sesuai denganmasa rotasi bola dunia yang dikenal
dengan nama irama sirkadian. Iramasirkadian bersiklus 24 jam. Pusat kontrol irama sirkadian terletak
padabagian ventral anterior hypothalamus. Sistem yang mengatur siklus atauperubahan dalam tidur
adalah Reticular Activating System (RAS) danBulbar Synchronizing Regional (BSR) yang terletak
pada batang otak.
a. Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisma asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan
terhambat pembentukannya, maka terjadikeadaan tidak bisa tidur/jaga. Menurut beberapa
peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada nukleus raphe dorsalis di
batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis dinukleus raphe dorsalis dengan
tidur REM.
b. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus
cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas
neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan
peningkatan keadaan jaga.
c. Sistem Kholinergik
membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat mempengaruhi episode tidur
REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas gambaran EEG seperti dalam
keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan
tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada
obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus
sereleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
d. Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.
e. Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti ACTH,
GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
pituitary anterior melalui hipotalamus patway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmiter norepinefrin,dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun.
Gangguan tidur merupakan kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya gangguan dalam
jumlah, kualitas atau waktu tidur pada seseoraang individu. Kuantitas tidur inadekuat adalah
durasi tidur yang inadekuat berdasarkan kebutuhan tidur sesuai usia akibat kesulitan memulai
atau mempertahankan tidur. Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur
akibat periode singkat terjaga dimalam hari yang sering dan berulang
Gangguan tidur adalah salah satu gejala dari gangguan lainnya, baik mental atau
fisik.Walaupun gangguan tidur spesifik terlihat secara klinis berdiri sendiri sejumlah faktor
psikiatrik dan atau fisik yang terkait memberikan kontribusi pada kejadiannya.
Tiga kategori utama gangguan tidur dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders( DSM-1V-TR) :
Etiologi
Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat membuat
pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa kehidupan yang penuh
stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai, perceraian atau kehilangan
pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia dalam
otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk beberapa
antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti Ritalin) dan
kortikosteroid.
Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat menyebabkan insomnia.
Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah
tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun di tengah malam.
Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan insomnia akibat
artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal reflux disease (GERD),
stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang tidak
bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur. Kebanyakan orang dengan
kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari lingkungan tidur yang biasa atau
ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.
Patofisiologi
Tidur dibagi menjadi dua fase yaitu pergerakan mata yang cepat atauRapid Eye
Movement (REM) dan pergerakan mata yang tidak cepat
atau Non Rapid Eye Movement (NREM). Tidur diawali dengan fase NREMyang terdiri dari
empat stadium, yaitu tidur stadium satu, tidur stadiumdua, tidur stadium tiga dan tidur stadium
empat, lalu diikuti oleh faseREM. Fase NREM dan REM terjadi secara bergantian sekitar 4-6
siklusdalam semalam.Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok harinyaia
akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurangdapat mengendalikan
emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika NREM kurang cukup, keadaan fisik
menjadi kurang gesit. Siklus tidur normal merupakan salah satu dari irama sirkadian
yangmerupakan siklus dari 24 jam kehidupan manusia. Keteraturan iramasirkadian ini juga
merupakan keteraturan tidur seseorang. Jika terganggu,maka fungsi fisiologis dan psikologis
dapat terganggu.Pengaturan mekanisme tidur dan bangun sangat dipengaruhi olehsistem yang
disebut Reticular Activity System. Bila aktivitas ReticularActivity System ini meningkat maka
orang tersebut dalam keadaan
sadar jika aktivitas Reticular Activity System menurun, orang tersebut akandalam keadaan tidur.
Aktivitas Reticular Activity System (RAS) ini sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmitter
seperti sistem serotoninergik,noradrenergik, kolinergik, histaminergik.
Sistem Serotoninergik.
Hasil serotoninergik sangat dipengaruhi oleh hasilmetabolisme asam amino triptofan. Dengan
bertambahnya jumlahtriptofan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat
akanmenyebabkan keadaan mengantuk/ tidur. Bila serotonin dalamtriptofan terhambat
pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisatidur/ jaga. Menurut beberapa peneliti lokasi
yang terbanyak sistemserotoninergik ini terletak pada nucleus raphe dorsalis di batang
otak,yang mana terdapat hubungan aktivitas serotonis di nucleus raphedorsalis dengan tidur
REM. b.
Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepinefrinterletak di badan sel nucleus
cereleus di batang otak. Kerusakan selneuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atauhilangnya REM Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon(LH).
Hormon-hormon ini masing-masing disekresi secara teraturoleh kelenjar hipofisis anterior
melalui jalur hipotalamus. Sistem inisecara teratur mempengaruhi pengeluaran
neurotransmitternorepinefirn, dopamine, serotonin yang bertugas mengaturmekanisme tidur
dan bangun tidur. Obat-obatan yang
Kel. 2 Laporan Tutorial Modul Gang. Tidur dan Cemas | 5
mempengaruhi peningkatan aktivitas neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan
yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
Sistem Kolinergik
Pemberian prostigimin intravena dapat mempengaruhi episodetidur REM. Stimulasi jalur
kolinergik ini, mengakibatkan aktivitasgambaran EEG seperti dalam kedaan jaga. Gangguan
aktivitaskolinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur initerlihat pada orang
depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidurREM. Pada obat antikolinergik
(scopolamine) yang
menghambatpengeluaran kolinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan pada fase
awal dan penurunan REM
Sistem Histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur.Sistem HormonSiklus tidur
dipengaruhi oleh beberapa hormon sepertiAdrenal Corticotropin Hormone (ACTH), Growth
Hormon (GH),Tyroid Stimulating Hormon (TSH), Lituenizing Hormon (LH).Hormon-
hormon ini masing-masing disekresi secara teratur olehkelenjar hipofisis anterior melalui
jalur hipotalamus. Sistem ini secarateratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter
norepinefirn,dopamine, serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.
DIFFERENTIAL DIAGNOSA
- Insomnia
- Depresi
A. INSOMNIA
Etiologi
Stress
Kecemasan dan depresi
Obat-obatan
Kafein, nikotin dan alkohol
Kondisi medik
Perubahan lingkungan dan jadwal kerja
klasifikasi Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini
dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur,
kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari
jenis insomnia primer ini.
Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan
terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti
Faktor Resiko
Wanita
Usia lebih dari 60 tahun
Memiliki gangguan kesehatan mental
Stress
Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja
Depresi
Nyeri kronik
Patofisiologi
Dapat disimpulkan sebagai keadaan psikofisiologis dari hiperarousal. Hal ini telah ditunjukan secara
objektif pada area otak, vegetative dan aktifitas endokrin. Dalam model hiperarousal fisiologis,
tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi sepanjang hari dan malam hari membuat pasien sulit tidur.
Secara keseluruhan, studi menunjukan hiperaktifitas dari dua cabang sistem respons terhadap stress
(CRH-ACTH-cortisol dan simpatis) dan perubahan laju sekresi sitokin proinflamasi (IL-6 dan TNF ą).
Hal ini tampaknya merupakan dasar fisiologis dari keluhan klinis yang umum pada pasien dengan
insomnia kronis yang tidak dapat tidur pada siang hari dan tanpa kelelahan.
Manifestasi Klinik
Riwayat medis.
Aktivitas fisik
Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan
tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk mencapai
tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa
menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan
masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan pencatatan selama
tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan mata, dan gerakan tubuh.
c. danya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis insomnia
diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya gangguan, oleh
karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas (seperti
pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut
atau gangguan penyesuaian
Pada tahun 1984, The International Institute of Health membuat suatukonsensus pengelompokan
gangguan tidur berdasarkan lamanya gangguanyang terdiri dari:
Transient yaitu jika gangguan tidurnya kurang dari 7 hari
Short term yaitu jika gangguan tidurnya menetap lebih dari 7 hari dankurang dari 3 minggu.
Kedua gangguan tersebut biasanya berhubungan dengan stress yang akut seperti perubahan
Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral therapy meliputi:
sleep hygine, sleep restriction atau pembatasan tidur, relaxation therapy atau terapi relaksasi
dan stimulus control therapy. 2
Sleep Hygine: Sleep hygine adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk insomnia.
Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur
pasien. Langkah – langkah ini meliputi : 2 Mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil sebelum
tidur, tidur sebanyak yang dibutuhkan, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari,
idealnya 4-5 jam sebelum waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine,
alkohol, dan nikotin 6 jam sebelum tidur , hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya
dengan tidur kecuali hanya untuk sex dan tidur.
Sleep Restriction: Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat
meningkatkan kualitas tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini dicapai dengan rata-
rata waktu di tempat tidur dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada
waktu yang ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu
tidur pasien yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam
sebelumnya.2 Sleep restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di
tempat tidur adalah kontraproduktif sehingga mendorong siklus insomnia. Maka tujuannya
adalah untuk menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85% . awalnya pasien disarankan
ke tempat tidur hanya pada saat tidur. Kemudian mereka diijinkan untuk meningkatkan waktu
terjaga di tempat tidur 15 – 20 menit permalam setiap minggu, asalkan efisiensi tidur melebihi
90%. Waktu di tempat tidur berkurang sebesar 15 - 20 menit jika efisiensi tidur dibawah 90%.
Relaxation Therapy: Relaxation therapy meliputi relaksasi otot progresif, latihan pernafasan
dalam serta meditasi. Relaksasi otot progresif melatih pasien untuk mengenenali dan
mengendalikan ketegangan dengan melakukan serangkaian latihan , pada latihan perrnafasan
dalam maka pasien diminta untuk menghirup dan menghembuskan nafas dalam perlahan –
lahan.
Stimulus Control Therapy: stimulus control therapy terdiri dari beberapa langkah sederhana
yang dapat membantu pasien dengan gejala insomnia, dengan pergi ke tempat tidur saat
merasa mengantuk, hindari menonton TV, membaca, makan di tempat tidur. tempat tidur
hanya digunakan untuk tidur dan aktivitas seksual. jika tidak tertidur 30 menit setelah
berbaring, bangun dan pergi ke ruangan lain dan melanjutkan teknik relaksasi, mengatur jam
alarm untuk bangun pada waktu tertentu setiap pagi, bahkan pada akhir pecan, hindari bangun
kesiangan, hindari tidur siang panjang di siang hari
b. Farmakologi
Prinsip dasar terapi pengobatan insomnia yaitu, Jangan menggunakan obat hipnotik sebagai
satu-satunya terapi, pengobatan harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi,
pemberian obat golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah, selanjutnya dinaikan
perlahan – lahan sesuai kebutuhan, khususnya pada orang tua, hindari penggunaan
Benzodiazepin
Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek hipnotik-sedatif. Sifat
yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas,
euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia , jika
keadaan ini terjadi terus menerus , maka pola penggunaanya akan menjadi kompulsif sehingga
terjadi ketergantungan fisik . hampir semua golongan obat-obatan hipnotik-sedatif dapat
menyebabkan ketergantungan. efek ketergantungan ini tergantung pada besar dosis yang
digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan dan waktu paruh serta golongan obat yang
digunakan. Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi lama untuk
mencapai penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat dengan waktu
paruh singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa metabolitnya tidak cukup adekuat
untuk memberikan efek hipnotik yang lama. Oleh karena itu , penggunaan obat dengan waktu
paruh singkat sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat sebelum penghentian
penggunaan.3 Gejala gejala abstinensi dapat terjadi pada penggunaan berbagai golongan obat
hipnotik- sedatif. Gejala –gejala ini dapat berupa lebih sukar tidur dibanding sebelum
penggunaan obat- obatan hipnotik-sedatif . jika gejala ini terjadi , ada kecenderungan untuk
menggunakannya lagi . karena mungkin dari sisi psikologis , si pemakai akan merasakan rasa
nyaman karena sifat obat tsb sehingga terjadilah ketergantungan fisik.3 Dibeberapa Negara
maju dan berkembang seperti di Belanda dan Indonesia , benzodiazepin digolongkan ke dalam
golongan psikotropika , sehingga penggunaanya dibatasi karena penyalahgunaan dalam jangka
waktu lama dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikis.
D. Ketergantungan benzodiazepin.
Pada dasarnya, benzodiazepin dapat menekan produksi endogen zat yang mirip dengan
benzodiazepin. Produksi endogen ini diperlukan guna menekan efek eksitasi dari zat-zat
eksitator dalam otak. Jika zat ini tidak ada, maka eksitasi fisiologis tidak dapat dihambat
oleh inhibisi fisiologis.
Pada penggunaan benzodiazepin dalam dosis tinggi (yang terutama digunakan untuk
mendapatkan daya sedasi), benzodiazepin akan sangat menekan produksi inhibitor endogen
yang ada dalam tubuh. Jika penggunaannya dihentikan secara mendadak, zat endogen
tersebut tidak dapat kembali ke tingkat semula sebelum ditekan oleh konsumsi
benzodiazepin. Akibatnya akan terjadi efek penarikan atau yang biasa dikenal dengan
Nonbenzodiazepin Hipnotik
Nonbenzodiazepin hipnotik adalah sebuah alternatif yang baik dari penggunaan benzodiazepin
tradisional, selain itu obat ini menawarkan efikasi yang sebanding serta rendahnya insiden
amnesia, tidur sepanjang hari, depresi respirasi , ortostatik hipotensi dan terjatuh pada lansia.6
Obat golongan non-benzodiazepin juga efektif untuk terapi jangka pendek insomnia. Obat-
obatan ini relatif memiliki waktu paruh yang singkat sehingga lebih kecil potensinya untuk
menimbulkan rasa mengantuk pada siang hari; selain itu penampilan psikomotor dan daya ingat
nampaknya lebih tidak terganggu dan umumnya lebih sedikit mengganggu arsitektur tidur
normal dibandingkan obat golongan benzodiazepin. 6
Sleep-promoting Agents
Melatonin Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah
kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak di antara kedua sisi otak. Hormon ini
mempunyai fungsi yang sangat khas karena produksinya dipicu oleh gelap dan hening tetapi
dapat dihambat oleh sinar yang terang. Hormon ini sedang menjadi fokus para peneliti saat ini.
10 Sebenarnya belum ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara
peningkatan melatonin dengan lelapnya tidur seseorang. Tetapi berdasarkan teori yang ada,
hormon melatonin ini meningkat pada saat seseorang tertidur, terutama pada saat suasana
sekitarnya gelap, sesuai dengan sebutan hormon ini, “hormone of the darkness.” Adanya
hormon ini dikatakan dapat membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari beberapa
penelitian klinik menunjukkan bahwa penggunaan melatonin untuk insomnia ternyata sangat
signifikan dalam menurunkan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jatuh tertidur,
memperpanjang durasi tidur termasuk kualitas tidurnya, sehingga seseorang tidak mengantuk
lagi saat beraktifitas di pagi hari. 7 Dosis yang direkomendasikan ialah 3mg dan dapat
ditingkatkan hingga 12 – 15mg. efek samping yang dilaporkan ialah sakit kepala,pusing ,lemah,
iritabel. Megadosis (300mg perhari)dapat menghampat fungsi ovarium.kontraindikasi pada
Wanita hamil dan menyusui.
Kava – kava Minuman atau suplemen yang dibuat dari sari akar kava – kava telah
dikenal sejak berabad –abad yang lalu sebagai obat penenang. Sejumlah riset , termasuk yang
dilakukan prof Ernst, terbukti efektif mengatasi kecemasan. Menyusul adanya kasus kematian
akibat kerusakan liver diantara pasien yan meminum suplemen kava-kava ini sehingga herbal
ini dilarang di wilayah inggris.
Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi kecelakaan.
Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah yang
tinggi, sakit jantung, dan diabetes
Pencegahan
Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau
beribadah
Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari.
Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan
Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar lima
hingga enam jam sebelum tidur.
Prognosis
Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan lain spt depresi
dll. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia
Etiologi
a. Faktor biologi, Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat kelainan pada amin
biogenik, seperti 5 HIAA (5-Hidroksi indol asetic acid), HVA (Homovanilic acid), MPGH (5
methoxy-0-hydroksi phenil glikol), di dalam darah, urin, dan cairan serebrospinal pada pasien
gangguan mood. Neurotransmiter yang terkait dengan patologi depresi adalah serotonin dan
epineprin. Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi (Kaplan, 2010). Selain itu
aktivitas dopamin pada depresi adalah menurun. Hal tersebut tampak pada pengobatan yang
menurunkan konsentrasi dopamin seperti respirin dan penyakit dengan konsentrasi dopamin
menurun seperti Parkinson. Kedua penyakit tersebut disertai gejala depresi. Obat yang
meningkatkan konsentrasi dopamin, seperti tyrosin, amphetamine, dan bupropion,
menurunkan gejala depresi (Kaplan, 2010). Adanya disregulasi neuroendokrin. Hipotalamus
merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron yang mengandung
neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien depresi ditemukan adanya disregulasi
neuroendokrin. Disregula asi ini terjadi akibat kelainan fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik. Sebaliknya, stres kronik yang mengaktivasi aksis Hypothalamic- Pituitary-Adrenal
(HPA) dapat menimbulkan perubahan pada amin 4 biogenik sentral. Aksis neuroendokrin
yang paling sering terganggu yaitu adrenal, tiroid, dan aksis hormon pertumbuhan. Aksis
HPA merupakan aksis yang paling banyak diteliti (Landefeld, 2004). Hipersekresi Cortisol
Releasing Hormone (CRH) merupakan gangguan aksis HPA yang sangat fundamental pada
pasien depresi. Hipersekresi yang terjadi diduga akibat adanya defek pada sistem umpan balik
kortisol di sistem limbik atau adanya kelainan pada sistem monoaminogenik dan
neuromodulator yang mengatur CRH (Kaplan, 2010). Sekresi CRH dipengaruhi oleh emosi.
Emosi seperti perasaan takut dan marah berhubungan dengan Paraventriculer nucleus (PVN),
yang merupakan organ utama pada sistem endokrin dan fungsinya diatur oleh sistem limbik.
Emosi mempengaruhi CRH di PVN, yang menyebabkan peningkatan sekresi CRH
(Landefeld, 2004).
b. Faktor genetik, Penelitian genetik dan keluarga menunjukkan bahwa angka resiko di antara
anggota keluarga tingkat pertama dari individu yang menderita depresi berat (unipolar)
diperkirakan 2 sampai 3 kali dibandingkan dengan populasi umum. Angka keselarasan sekitar
11% pada kembar dizigot dan 40% pada kembar monozigot (Kaplan,2010)
c. Faktor psikososial, Menurut Freud dalam teori psikodinamikanya, penyebab depresi adalah
kehilangan objek yang dicintai (Kaplan, 2010). Faktor psikososial yang mempengaruhi
depresi meliputi peristiwa kehidupan dan stresor lingkungan, kepribadian, psikodinamika,
kegagalan yang berulang, teori kognitif, dan dukungan sosial (Kaplan, 2010). Peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stres, lebih sering mendahului episode pertama gangguan
mood dari episode selanjutnya. Para klinisi mempercayai bahwa peristiwa kehidupan
memegang peranan utama dalam depresi. Klinisi lain menyatakan bahwa peristiwa kehidupan
hanya memiliki peranan terbatas dalam onset depresi. Stresor lingkungan yang paling
berhubungan dengan onset suatu episode depresi adalah kehilangan pasangan (Kaplan, 2010).
Stresor psikososial yang bersifat akut, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau stresor
kronis misalnya kekurangan finansial yang berlangsung lama, kesulitan hubungan
interpersonal ancaman keamanan dapat menimbulkan depresi (Hardywinoto, 1999). Dari
faktor kepribadian, beberapa ciri kepribadian tertentu yang terdapat pada individu, seperti
kepribadian dependen, anankastik, histrionik, diduga mempunyai resiko tinggi untuk
Kel. 2 Laporan Tutorial Modul Gang. Tidur dan Cemas | 16
terjadinya depresi, sedangkan kepribadian antisosial dan paranoid mempunyai resiko yang
rendah (Kaplan,2010)
Faktor Resiko
a. Jenis Kelamin Secara umum dikatakan bahwa gangguan depresi lebih sering terjadi pada
wanita dibandingkan pada pria. Pendapat-pendapat yang berkembang mengatakan bahwa
perbedaan dari kadar hormonal wanita dan pria, perbedaan faktor psikososial berperan
penting dalam gangguan depresi mayor ini (Kaplan, et al, 2010). Sebuah diskusi panel yang
diselenggarakan oleh American Psychological Association (APA) menyatakan bahwa
perbedaan gender sebagian besar disebabkan oleh lebih banyaknya jumlah stres yang dihadapi
wanita dalam kehidupan kontemporer (Goleman et al, (1990) dalam Nevid et al (2005)).
b. Umur Depresi dapat terjadi dari berbagai kalangan umur. Serkitar 7,8% dari setiap populasi
mengalami gangguan mood dalam hidup mereka dan 3,7% mengalami gangguan mood
sebelumnya. (Weissman et al, (1991) dalam Barlow (1995)). Depresi mayor umumnya
berkembang pada masa dewasa muda, dengan usia rata-rata onsetnya adalah pertengahan 20
(APA, (2000) dalam Nevid et al, (2005)). Namun gangguan tersebut dapat dialami bahkan
oleh anak kecil, meski hingga usia 14 tahun resikonya sangat rendah (Lewinsohn, et al,
(1986), Nevid et al, (2005)).
c. Faktor Sosial-Ekonomi dan Budaya Tidak ada suatu hubungan antara faktor sosial-ekonomi
dan gangguan depresi mayor, tetapi insiden dari gangguan Bipolar I lebih tinggi ditemukan
pada kelompok sosial-ekonomi yang rendah (Kaplan, et al, 2010). Dari faktor budaya tidak
ada seorang pun mengetahui mengapa depresi telah mengalami peningkatan di banyak
budaya, namun spekulasinya berfokus pada perubahan sosial dan lingkungan, seperti
meningkatnya disintegrasi keluarga karena relokasi, pemaparan terhadap perang, dan konflik
internal, serta meningkatnya angka Universitas Sumatera Utara kriminal yang disertai
kekerasan, seiring dengan kemungkinan pemaparan terhadap racun atau virus di lingkungan
yang dapat mempengaruhi kesehatan mental maupun fisik (Cross National Colaborative
Group, (1992) dalam Nevid et al, (2003)).
Patofisiologi depresi dijelaskan dalam beberapa hipotesis. Amina biogenik merupakan hipotesis
yang menyatakan, depresi disebabkan 5 menurunnya atau berkurangnya jumlah neurotransmitter
norepinefrin (NE), serotonin ( 5 – HT ) dan dopamine (DA) dalam otak ( Sukandar dkk., 2009 ).
Hipotesis sensitivitas reseptor yaitu perubahan patologis pada reseptor yang dikarenakan terlalu
kecilnya stimulasi oleh monoamine dapat menyebabkan depresi. Hipotesis desregulasi, tidak
beraturannya neurotransmitter sehingga terjadi gangguan depresi dan psikiatrik. Dalam teori ini
ditekankan pada kegagalan hemeostatik sistem neurotransmitter, bukan pada penurunan atau
peningkatan absolute aktivitas neurotransmitter ( Teter et al.,2007 ).
Manifestasi Klinik
Gejala depresi pada setiap orang berbeda – beda, hal ini tergantung pada berat atau ringannya
gejala ( Depkes, 2007 ). Gejala yang ditemui pada pasien depresi yaitu gejala emosional, gejala fisik,
gejala intelektual atau kognitif dan gangguan psikomotor. Gejala emosi ditandai dengan berkurangnya
kemauan untuk menikmati kesenangan, kehilangan minat, kegiatan, hobi yang biasa dikerjakan,
tampak sedih, pesimis, tidak ada rasa percaya diri, merasa tidak berharga, perasaan cemas yang
berlebihan, merasa bersalah yang tidak realistis, dan berhalusinasi (Teter et al.,2007). Gejala fisik
yang biasa muncul adalah kelelahan, nyeri ( terutama sakit kepala ), gangguan tidur ( sulit tidur,
terbangun di malam hari), ganguan nafsu makan, keluhan pada sistem pencernaan, keluhan pada
sistem kardiovaskular (terutama palpitasi) dan hilangnya gairah seksual (Teter et al.,2007) Gejala
intelektual atau kognitif, meliputi: penurunan kemampuan untuk berkonsentrasi, ingatan yang lemah
terhadap kejadian yang baru terjadi, kebingungan dan ketidakyakinan. Gejala psikomotorik yang
biasanya muncul yaitu, retardasi psikomotorik ( perlambatan gerakan fisik, proses berpikir, dan
bicara) atau agitasi psikomotor ( Sukandar dkk., 2008).
Beck Depression Inventory dibuat oleh dr.Aaron T. Beck, BDI merupakan salah satu instrumen
yang paling sering digunakan untuk mengukur derajat keparahan depresi. Para responden akan
mengisi 21 pertanyaan, setiap pertanyaan memiliki skor 1 s/d 3, setelah responden menjawab semua
pertanyaan kita dapat menjumlahkan skor tersebut, Skor tertinggi adalah 63 jika responden mengisi 3
poin keseluruhan pertanyaan. Skor terendah adalah 0 jika responden mengisi poin 0 pada keseluruhan
pertanyaan.
Total dari keseluruhan akan menjelaskan derajat keparahan yang akan dijelaskan di bawah ini.
1-10 = normal
Penatalaksanaan
a. Non farmakologi
Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi pengembangan yang digunakan untuk menghilangkan atau
mengurangi keluhan – keluhan serta mencegah kambuhnya gangguan pola perilaku maladatif
(Depkes, 2007). Teknik psikoterapi tersusun seperti teori terapi tingkah laku, terapi
interpersonal, dan terapi untuk pemecahan sebuah masalah. Dalam fase akut terapi efektif dan
dapat menunda terjadinya kekambuhan selama menjalani terapi lanjutan pada depresi ringan
atau sedang. Pasien dengan menderita depresi mayor parah dan atau dengan psikotik tidak
direkomendasikan untuk menggunakan psikoterapi. Psikoterapi merupakan terapi pilihan
utama utuk pasien dengan menderita depresi ringan atau sedang (Teter et al, 2007)
1. Terapi Kognitif Terapi kognitif merupakan terapi aktif, langsung, dan time limited yang
berfokus pada penanganan struktur mental seorang pasien. Struktur mental tersebut terdiri
; cognitive triad, cognitive schemas, dan cognitive errors (C. Daley, 2001).
2. Terapi Perilaku Terapi perilaku adalah terapi yang digunakan pada pasien dengan
gangguan depresi dengan cara membantu pasien untuk mengubah cara pikir dalam
berinteraksi denga lingkungan sekitar dan orang-orang sekitar. Terapi perilaku dilakukan
dalam jangka waktu yang singkat, sekitar 12 minggu (Reus, V.I., 2004).
3. Terapi Interpersonal Terapi ini didasari oleh hal-hal yang mempengaruhi hubungan
interpersonal seorang individu, yang dapat memicu terjadinya gangguan mood (Barnett &
Gotlib, 1998: Coyne, 1976). Terapi ini berfungsi untuk mengetahui stressor pada pasien
yang mengalami gangguan, dan para terapis dan pasien saling bekerja sama untuk
menangani masalah interpersonal tersebut (Barlow, 1995)
4. Electro Convulsive Therapy (ECT)
Electro Convulsive Therapy adalah terapi dengan mengalirkan arus listrik ke otak
(Depkes, 2007). Terapi menggunakan ECT biasa digunakan untuk kasus depresi berat
b. Farmakologi
Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki perasaan (mood) yaitu
dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan murung yang disebabkan oleh
keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat – obatan ( Tjay & Rahardja, 2007 ).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius yang dikarenakan
depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE (norepinefrin) dan serotonin dalam otak
sangat berpengaruh terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya kadar NE dan serotonin
di dalam otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan apabila kadarnya terlalu tinggi
menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah obat yang mampu meningkatkan
kadar NE dan serotonin di dalam otak ( Prayitno,2008 ). Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru dengan batas keamanan yang lebar dan memiliki
spektrum efek samping obat yang berbeda – beda. SSRI diduga dapat meningkatkan serotonin
ekstraseluler yang semula mengaktifkan autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan
serotonin dan menurunkan serotonin ekstraseluler ke kadar sebelumnya. Untuk saat ini SSRI
secara umum dapat diterima sebagai obat lini pertama (Neal, 2006). 8
1) Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI).
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor adalah obat antidepresan yang mekanisme
kerjanya menghambat pengambilan serotonin yang telah disekresikan dalam sinap (gap
antar neuron), sehingga kadar serotonin dalam otak meningkat. Peningkatan kadar
serotonin dalam sinap diyakini bermanfaat sebagai antidepresan (Prayitno, 2008). SSRI
memiliki efikasi yang setara dengan antidepresan trisiklik pada penderita depresi mayor
(Mann, 2005). Pada pasien depresi yang tidak merespon antidepresan trisiklik (TCA)
dapat diberikan SSRI ( MacGillvray et al., 2003). Untuk gangguan depresi mayor yang
berat dengan melankolis antidepresan trisiklik memiki efikasi yang lebih besar daripada
SSRI, namun untuk gangguan depresi bipolar SSRI lebih efektif dibandingkan
antidepresan trisiklik , hal ini dikarenakan antidepresan trisiklik dapat memicu timbulnya
mania dan hipomania ( Gijsman, 2004). Obat antidepresan yang termasuk dalam
golongan SSRI seperti Citalopram, Escitalopram, Fluoxetine, Fluvoxamine, Paroxetine,
dan Sertraline (Teter et al.,2007). Fluoxetine merupakan antidepresan golongan SSRI
yang memiliki waktu paro yang lebih panjang dibandingkan dengan anidepresan
golongan SSRI yang lain, sehingga fluoxetine dapat digunakan satu kali sehari (Mann,
2005). Efek samping yang ditimbulkan Antidepresan SSRI yaitu gejala gastrointestinal (
mual, muntah, dan diare), disfungsi sexsual pada pria dan wanita, pusing, dan gangguan
tidur. Efek samping ini hanya bersifat sementara (Teter et al., 2007).
2) Antidepresan Trisiklik (TCA)
Antidepresan trisiklik (TCA) merupakan antidepresan yang mekanisme kerjanya
menghambat pengambilan kembali amin biogenik seperti norepinerin (NE), Serotonin ( 5
– HT) dan dopamin didalam otak, karena menghambat ambilan kembali neurotransmitter
yang tidak selektif,sehingga menyebabkan efek samping yang besar ( Prayitno, 2008).
Antidperesan trisiklik efektif dalam mengobati depresi tetapi tidak lagi digunakan sebagai
Kel. 2 Laporan Tutorial Modul Gang. Tidur dan Cemas | 20
obat lini pertama, karena efek sampingnya dan efek kardiotoksik pada pasien yang
overdosis TCA (Unutzer, 2007). Efek samping yang sering ditimbulkan TCA yaitu efek
Antidepresan adalah obat yang dapat digunakan untuk memperbaiki perasaan (mood)
yaitu dengan meringankan atau menghilangkan gejala keadaan murung yang disebabkan
oleh keadaan sosial – ekonomi, penyakit atau obat – obatan ( Tjay & Rahardja, 2007 ).
Antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengobati kondisi serius yang
dikarenakan depresi berat. Kadar NT (nontransmiter) terutama NE (norepinefrin) dan
serotonin dalam otak sangat berpengaruh terhadap depresi dan gangguan SSP. Rendahnya
kadar NE dan serotonin di dalam otak inilah yang menyebabkan gangguan depresi, dan
apabila kadarnya terlalu tinggi menyebabkan mania. Oleh karena itu antideresan adalah
obat yang mampu meningkatkan kadar NE dan serotonin di dalam otak ( Prayitno,2008 ).
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) merupakan obat terbaru dengan batas
keamanan yang lebar dan memiliki spektrum efek samping obat yang berbeda – beda.
SSRI diduga dapat meningkatkan serotonin ekstraseluler yang semula mengaktifkan
autoreseptor, aktivitas penghambat pelepasan serotonin dan menurunkan serotonin
ekstraseluler ke kadar sebelumnya. Untuk saat ini SSRI secara umum dapat diterima
sebagai obat lini pertama (Neal, 2006).
komplikasi
- kematian
- penurunan BB
prognosis
Kemungkinan prognosis baik: episode ringan, tidak ada gejala psikotik, waktu rawat inap
singkat, indikator psikososial meliputi mempunyai teman akrab selama masa remaja, fungsi
Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan merasa cemas sejak 1
tahun yang lalu setelah suaminya meninggal. Keluhan sering disertai sakit kepala, nyeri ulu hati, dada
berdebar debar, nafsu makan menurun dan hilang minat dalam beraktifitas. Pasien sudah melakukan
pengobatan di beberapa dokter specialis dan hasil pemeriksaan dalam batas normal, akan tetapi pasien
masih merasakan keluhan yang sama.
KATA/KALIMAT KUNCI :
- Perempuan berusia 35 tahun
- Keluhan merasa cemas sejak 1 tahun yang lalu setelah suaminya meninggal
- Disertai sakit kepala, nyeri ulu hati, dada berdebar debar, nafsu makan menurun dan hilang
minat dalam beraktivitas.
- Sudah melakukan pengobatan di beberapa dr.spesialis
- Hasil pemeriksaan dalam batas normal
- Pasien masih merasakan keluhan yang sama
PERTANYAAN :
1. Jelaskan definisi cemas!
2. Jelaskan definisi dan klasifikasi gangguan cemas!
3. Jelaskan etiologi gangguan cemas!
4. Jelaskan patomekanisme keluhan utama dan keluhan penyerta dari skenario!
5. Apa DD dari skenario?
a. Definisi dan etiologi
b. Kriteria diagnosa
c. Penatalaksanaan
d. Prognosis
AMIGDALA
Nukleus centralis Nukleus lateralis
amigdala amigdala
Bersinaps
Berhubungan dengan
prefrontal corteks
Locus cereleus striatum (PFC)
Hasilkan
Peningkatan
norepinefrin
dopamin
Aktivasi simpatis
Proyeksi ke Menghambat
Aktifkan sistem
preventrikuler - Takikardi kerja PFC
HPA Axis
nukleus di - Palpitasi
(CRF,ACTH,Cortol)
hipotalamus - Peningkatan
TD Gang. kecemasan
- Keringat
Respon stress
- Dilatasi pupil
- Tidak nyaman
di perut
Peningkatan akibat
turnover5.dari lambatnya
DD dari skenario
serotonin di PFC, motilitas usus
amigdala dan
hiphotalamus Peningkatan
cortisol Terjadi kecepatan Sensasi kenyang
produksi
proses sal.cerna
as.lambung
Peningkatan
serotonin dan
rasa cemas Penurunan nafsu makan Menghantarkan sinyal ke otak
u/stop
1. GANGGUAN PANIK
Zat yang mencetus panic. Zat yang mencetuskan panic ( kadang-kadang disebut
panikogen ) menginduksi serangan panic pada mayoritas pasien dengan gangguan panic dan
pada proporsi yang jauh lebih kecil pada orang tanpa gangguan panic atau dengan riwayat
serangan panic. (penggunaan zat yang menginduksi panic sangat terbatas pada lingkungan
penilitian., tidak alas an indikasi klinis untuk merangsang serangan panic pada pasien ). Zat
yang disebut penginduksi pani pernapasan menyebabkan rangsangan pernapasan dan pergesaran
keseimbangan asam basa. Zat ini mancakup karbon dioksida( 5-35 % campuaran ) natrium
laktat, dan bikarbonat. Zat penginduksi panic neurokimia, yang bekerja melalui system
neurotransmitter spesifik, mencakup yohinbin (yocon, suatu antagonis reseptor – α2 adrenergic.,
fenfluramin (pondimin, agen elepasan serotonin., m- klorofenilpiperazin (mCPP) suatu agen
dengan berbagai efek serotonorgik., obat π- carbolin., agonis kebalikan reseptor GABAB,
flumazenil, suatu antagonis reseptor GABAB,., colesistokinin, dan kafein. Isoproterenol
(usuprel) juga merupakan zat pengindusi panic walaupun mekanisme kerjanya dalam
mencetuskan serangan anik tidak diketahui dengan baik. Zat penginduksi panic ernapasan
awalnya dapat bekerja di baroreseptor kardiovaskular perifer dan mengirim sinyalnya melalui
aferen vagus ke nucleus traktus solitarii dan kemudian ke nucleus paragigantoselularismedula.
Hiperventilasi pada pasien gangguan panic dapat disebakan oleh system alaram kekurangan
udara hipersensitiv, sementara peningkatan konsentrasi pco2 dan laktat otak secara premature
mengaktivkan monitor asfiksik fisiologis. Zat penginduksi panic neurokimia dianggap terutama
memengaruhi reseptor noradrenergic,erotonergic,GABA, disistem saraf pusat secara langsung.
Pencitraan otak. Studi pencitraan struktur otak, contohnya magnetic resonance imaging
(MRI), pada pasien dengan gangguan panik melibatkan keterlibatan patologis lobus temporalis,
terutama hipokampus. Satu studi MRI melaporkan abnormalitas, terutama atau kortex di lobus
temporalis kanan pasien-pasien ini. Studi pencitraan otak fungsional, contohnya positron
emission tomography (PET), melibatkan adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya,
gangguan anxietas dan serangan panik disertai vasokontriksi cerebral, yang dapat menimbulkan
gejala sistem saraf pusat seperti pusing dan gejala sistem saraf perifer yang dapat dicetuskan
oleh hiperventilasi dan hipokapnia. Sebagian besar studi pencitraan otak fungsional
menggunakan zat penginduksi panas spesifik (contohnya laktat,kafein dan yohimbine)
dikombinasi denga PET atau single photon emission computed tomography (SPECT) untuk
mengkaji fxz penginduksi panik dan serangan panik yang diinduksi pada aliran darah otak.
Prolaps katup mitral. Walaupun minat yang besar sebelumnya ditunjukkan terhadap
hubungan antara prolaps katup mitral dengan gangguan panik, penelitian hampir benar-benar
menghapuskan semua kebermaknaan atau relevansi klinis terhadap hubungan ini. Prolaps katup
mitral adalah sinkron heterogen yang terdiri atas prolaps salah satu daun katup mitral
menimbulkan Click with sistolik pada auskultasi jantung. Studi penelitian menemukan bahwa
prevalensi gangguan panik pada pasien dengan prolaps katup mitral sama dengan prevalensi
gangguan panik pada pasien tanpa prolaps katup mitral.
b. Faktor genetik
Walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar genetik gangguan panik dan
agoraphobia jumlahnya sedikit, data saat ini mendukung kesimpulan bahwa gangguan ini
memiliki komponen genetik yang khas. Disamping itu, sejumlah data menunjukkan bahwa
gangguan panik dengan agoraphobia adalah bentuk para gangguan panik sehingga lebih
Teori perilaku kognitif.Teori perilaku menyatakan bahwa anxietas adalah respon yang
dipelajari baik dari menirukan perilaku orang tua maupun melalui proses pembelajaran klasik.
Di dalam metode pembelajaran klasik pada gangguan panik dan agoraphobia, stimulus
berbahaya (seperti serangan panik) yang timbul bersama stimulus Netral (seperti naik bus)
dapat mengakibatkan penghindaran stimulus Netral. Teori perilaku lain menyatakan hubungan
antara sensasi gejala somatik ringan (seperti palpitasi) dan timbulnya serangan panik. Walaupun
teori perilaku kognitif dapat membantu menerangkan timbulnya agoraphobia atau peningkatan
jumlah maupun keparahan serangan panik, teori ini tidak menerangkan timbulnya serangan
panik pertama yang tidak dicetuskan dan tidak disangka yang dialami pasien.
Banyak pasien menggambarkan serangan panik seperti timbul tiba-tiba, dengan tidak
adanya faktor psikologis yang terlibat, tetapi eksplorasi psikodinamik yang sering
mengungkapkan penginduksi psikologi serangan panik yang jelas. Walaupun serangan panik
secara neurofisiologis berhubungan dengan locus ceruleus. Awitan panik umumnya terkait
dengan faktor lingkungan atau psikologis. Pasien dengan gangguan panik memiliki insidens
yang lebih tinggi mengalami peristiwa hidup yang penuh tekanan, khususnya kehilangan,
dibandingkan subjek control di bulan bulan sebelum awitan gangguan panik. Lebih jauh,
pasien secara khas memiliki penderitaan lebih hebat akan peristiwa hidup daripada subjek
control.
Riset menunjukkan bahwa penyebab serangan panik cenderung melibatkan arti peristiwa
yang menimbulkan stres secara tidak disadari serta bahwa patogenesis serangan panik dapat
berkaitan dengan faktor fisiologis yang dicetuskan reaksi psikologis. Klinis psikodinamik harus
selalu melakukan penyelidikan menyeluruh mengenai kemungkinan penginduksi setiap menilai
pasien dengan gangguan panik.
Kriteria Diagnosa
Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ III
Gangguan panik baru di tegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan gangguan
anxietas fobik
Untuk diagnosis pasti harus ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat
(severe attack of autonomic anxiety) dalam masa kira kira satu bulan :
a. Pada keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
(unpredictable situations)
c. Dengan keadaan yang relatif bebas dari gejala gejala anxietas pada periode diantara
serangan serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga “anxietas
antisipatoric” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan sesuatu yang
mengkhawatirkan akan terjadi.
Serangan panik adalah sebuah periode terpisah dari rasa takut yang intens di mana 4 gejala
berikut tiba tiba berkembang dan puncaknya dalam waktu 10 menit :
Palpitasi atau denyut jantung cepat, berkeringat, gemetar atau bergetar, sesak napas
Perasaan tersedak, nyeri dada atau ketidaknyamanan, mual
Menggigil, atau sensasi panas parestesia, merasa pusing atau pingsan, derealisasi atau
depersonalisasi takut kehilangan kontrol atau menjadi gila dan takut mati.
Penatalaksanaan
SSRI (serotonin selective reuptake inhibitors)
o Sertralin
o Fluoksetin
o Fluvoksamin
o Escitalopram
Dalam tiga bulan atau lebih,tergantung kondisi individu, agar kadarnya stabil dalam darah
sehingga dapat mencegah kekambuhan
Alprazolam : awitan kerjanya cepat, dikonsumsi 4-6 minggu, setelah itu perlahan lahan
diturunkan dosisnya sampai akhirnya dihentikan.
Psikoterapi
Pelatihan Pernapasan.
Karena hiperventilasi yang berhubungan dengan serangan panik mungkin
berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan langsung untuk
mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien mengendalikan dorongan untuk
melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu, pasien dapat menggunakan teknik
untuk membantu mengendalikan hiperventilasi selama serangan panik.
Pajanan In Vivo.
Pajanan in vivo dahulu merupakan terapi perilaku yang lazim untuk gangguan panik. Teknik
ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama makin
berat dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami desentisasi terhadap pengalaman
tersebut. Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus eksternal, baru-baru ini, teknik ini telah
mencakup pajanan sensasi internal yang ditakuti pasien (contohnya, takipnea dan rasa takut
mengalami serangan panik).
Prognosis
Definisi
Gangguan cemas menyeluruh (Generalızed Anxiety Disorder, GAD) merupakan kekhawatiran
yang berlebih dan meresap disertai oleh berbagai gejala somatik yang menyebabkan gangguan
bermakna dalam fungsi sosial atau pekerjaan atau penderitaan yang jelas bagi pasien.
Beberapa gejala somatik yang dialami adalah ketegangan otot, Iritabilitas, kesulitan tidur, keluhan
epigastrik dan kegelisahan sehingga menyebabkan penderitaan yang jelas dan gangguan yang
bermakna dalam fungsi sosial dan pekerjaan
Etiologi
Faktor Biologi
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ini adalah lobus oksipitalis yang
mempunyai reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Basal ganglia, sistem limbik dan korteks
frontal juga dihipotesiskan terlibat pada timbulnya gangguan ini. Pada pasien juga ditemukan
sistem serotonergik yang abnormal. Neurotransmitter yang berkaitan adalah GABA,
serotonin, norepinefrin, glutamat, dan kolesitokinin. Pemeriksaan PET (Positron Emission
Tomography) ditemukan penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
Teori Genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien gangguan anxietas
menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita. Sekitar 25 % dari keluarga
tingkat pertama penderita juga mengalami gangguan yang sama . Sedangkan penelitian pada
pasangan kembar didapatkan angka 50 % pada kembar monozigotik dan 15 % pada kembar
dizigotik .
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa anxietas adalah gejala dari konflik bawah sadar
yang tidak terselesaikan. Pada tingkat yang paling primitif anxietas dihubungkan dengan
perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkat yang lebih matang lagi dihubungkan dengan
kehilangan cinta dari objek yang penting. Anxietas kastrasi berhubungan dengan fase oedipal
sedangkan anxietas superego merupakan ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan
pandangannya sendiri (merupakan anxietas yang paling matang
Kriteria diagnosa
Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
a. Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Pemberian benzodiazepine dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respons terapi . Penggunaan sediaan dengan waktu paruh
menengah dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama
pengobatan rata-rata 2- 6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu.
Spektrum klinis Benzodiazepin meliputi efek anti-anxietas, antikonvulsan, anti- insomnia, dan
premedikasi tindakan operatif. Adapun obat-obat yang termasuk dalam golongan
Benzodiazepin antara lain
Diazepam, dosis anjuran oral2-3 x 2-5 mg/hari; injeksi 2-10 mg 9im/iv), broadspectrum
Chlordiazepoxide, dosis anjuran 2-3x 5-10 mg/hari, broadspectrum
Lorazepam, dosis anjuran 2-3x 1 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti- insomnia berjauhan
(dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas, untuk pasien-pasien dengan kelainan hati
dan ginjal
Clobazam, dosis anjuran 2-3 x 10 mg/hari, dosis anti-anxietas dan anti- insomnia berjauhan
(dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas psychomotor performance paling kurang
terpengaruh, untuk pasien dewasa dan usia lanjut yang masih ingin tetap aktif
Bromazepam, dosis anjuran 3x 1,5 mg/hari, , dosis anti-anxietas dan anti- insomnia
berjauhan (dose-related), lebih efektif sebagai anti-anxietas
Alprazolam, dosis anjuran 3 x 0,25 - 0,5 my/hari, efektif untuk anxietas tipe antisipatorik,
"onset of action" lebih cepat dan mempunyai komponen efek anti-depresi
b. Non-benzodiazepin (Buspiron)
Buspiron efektif pada 60-80 % penderita GAD . Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki gejala
kognitif dibanding gejala somatik. Tidak menyebabkan withdrawal. Dosis anjuran 2-3x 10
mg/hari. Kekurangannya adalah, efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti
bahwa penderita GAD vang sudah menggunakan Benzodiazepin tidak akan memberikan respon
yang baik dengan Busporin. Dapat dilakukan pengunaan bersama antara Benzodiasepin dengan
Busporin kemudian dilakukan tapering Benzodiasepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi
Busporin sudah mencapai maksimal.
Teori Cognitive Behavior pada dasarnya meyakini bahwa pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses rangkaian stimulus-kognisi-respon, dimana proses kognisi akan
menjadi faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan
bertindak. Terapi kognitif perilaku diarahkan kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa
dan bertindak, dengan menekankan peran otak dalam menganalisa memutuskan,
bertanya, berbuat dan memutuskan kembali. Dengan mengubah arus pikiran dan
perasaan, klien diharapka dapa mengubah tingkah lakunya, dari negt menjadi
positif.Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah untuk mengajak pasien menentang
pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Pendekatan kognitif mengajak
pasien secara kangsung mengenali distorsi kognitif dan pendekatan perilaku, mengenali
b. Terapi suportif
Pasien diberikan re-assurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan
belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial
dan pekerjaannya.
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar,
menilik egostrength, relasi objek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan
komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana
pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur, bila tidak tercapai, minimal kita
memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.
Prognosis
Kriteria diagnosa
Kriteria DSM-IV-TR rnengharuskan adanya gejala subsindrom ansietas dan depresi. Adanya
bebearapa geiala somatik, seperti tremor, palpitasi, mulut kering, dan ras perut yang
bergejolak
Kriteria riset DSM-IV-TR Gangguan campuran ansietas depresif
A. Mood disforik yang berulang atau menetap dan bertahan sedikitnya 3 bulain
B. Mood disforik disertai empat (atau lebih) gejala berikut selama sedikitnya 1 bulan :
1) Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran kosong
2) Gangguan tidur (sulit untuk jatuh tertidur atau tetap tidur atau gelisah, tidur tidak
puas)
3) Lelah atau energy rendah
4) Iritabilitas
5) Khawatir
6) Mudah menangis
7) Hipervigillance
8) Antisipasi hal terburuk
9) Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)
10) Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
C. Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klnis bermkana atau hendaya dalam area
fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain
Penatalaksanaan
Non-farmakoterapi
Pendekatan psikoterapeutik dapat melibatkan pendekatan yang terbatas waktu seperti terapi
kognitif ata modifikasi perilaku, walaupun se-jumlah klinisi menggunakan pendekatan
psikoterapeutik yang kurang terstruktur, seperti psikoterapi yang berorientasi tilikan.
Farmakoterapi
Untuk gangguan campuran ansietas-depresif dapat mencakup obat antiansietas, obat
antidepresif, atau keduanya. Penggunaan triazolobenzodiazepin diindikasikan karena
efektivitasnya dalam mengobati depresi yang disertai ansietas. Obat yang memengaruhi
reseptor 5-HTIA, seperti buspiron, juga dapat diindikasikan. Antidepresan serotonergik
(contohnya, fluoxetine) dapat menjadi obat yang paling efektif dalam mengobati gangguan
campuran ansietas depresif.
Prognosis
Berdasarkan data klinis sampai saat ini, kernungkinannya untuk memiliki gejala ansietas
“yang menonjol”, gejala depresif “yang menonjol”, atau campuran dua gejala dengan
“besaran” yang sama saat awitan. Selama perjalanan penyakit, dominasi gejala ansietas dan
depresif dapat bergantian. Prognosisnya tidak diketahui.
Saddock BJ, Saddock VA. Anxiety disorder. In Kaplan Saddock's Synopsis of Psychiatry Behavioral
Sciences/Clinical Psychiatry. Tenth Edition.. . New York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007;
Pg 580-8.
DSM IV-TR. (2000). Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders (DSM IV-TR).
Washington DC: American Psychiatric Association.American Psychological Association
Shear, Katherine M. Anxiety Disorders “Generalized Anxiety Disorder” in Dale DC, Federman DD,
editors. ACP Medicine. 3rd Edition. Washington: WebMD Inc. : 2007.
Sadock, Benjamin James: Sadock, Virginia Alcott. Generalized Anxiety Disorder in: Kaplan &
Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins: 2007. p. 623-7
Stevens V. Anxiety Disorders. In Goljan EF, editor. Behavioral Science Elsevier Science 10.
Maslim, Rusdi. Buku Saku Diagnosis Ganua Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya 2003. Hal. 74
Maslim, Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi Ketiga. Jakarta : Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya: 2007. Hal.36-41
Sylvia D. Elvira, Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI. 2010. H 235-241.
Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. Jakarta: ECG, 2010. H;
233-241
Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagiarn Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. H: 72,74
The relevance of ‘mixed anxiety and depression’ as a diagnostic category in clinical practice
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5097109/
Adam RD. principle of neurology. 4th ed. New York : McGraw Hill, 1989:302-319
Asbury McKhan. Diseases of the nervous system clinical neurobiology.Hospital Medicine Journal.
October 1990: 96-104
Goodman and Gilmans. The Pharmacological basis of therapeutics. 9th ed.Vol. 1, 1996: 361-398
Hughes JR. EEG in clinical practice. 2nd ed, 1994: 55-104
John A.G. The Diagnosis and management of insomnia. The NEJM, 322(4)January 25, 1990:239-247
Mohr, JPS MD. Guide to clinical neurology. 1st ed. New York: Churchill,1995:833-889
Niedermeyre E.MD. Da silva f L. Electroencephalograpy. Basic principle
clinicalapplications ralated field. 3rd ed.. Maryland, 1993: 765-802
Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I Made.
Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
1. Lumbantobing SM. Gangguan tidur. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Jakarta ; 2004.
2. Jack D. Edinger et al. Cognitive Behavioral therapy for treatment of chronic primary
insomnia. Jama: American Medical Association; 2001.
3. Daniel J. Chronic insomnia. Available at: ajp.psychiatryonline.org/vol.165/no.6/june2009
(Downloaded on: 5th of January 2011).
4. Savard J et al. Chronic insomnia and immune functioning. America: American psychosomatic
Society; 2003.