Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan tidur ialah merupakan suatu keadaan seseorang dengan kuantitas dan
kualitas tidur yang kurang. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami
kesukaran tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah serius. Pada kebanyakan kasus,
gangguan tidur adalah salah satu gejala dari ganggaun lainnya, baik mental atau fisik. Kaplan
dan Sadock melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan
tidur. Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan psikiatri, ketergantungan
obat dan alkohol. 1
Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur
atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu.1 Gejala tersebut biasanya
diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari. Sekitar sepertiga
orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur dalam
setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan gangguan kualitas hidup.2 Sebanyak 95%
orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada beberapa waktu selama
hidup mereka.1 Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami
insomnia.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol, ketergantungan
obat, dan bunuh diri.
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis atau
kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko kekambuhan penyakit
primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa insomnia adalah suatu kondisi
tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan pengobatan untuk mencegah morbiditas dan
meningkatkan kualitas hidup bagi pasien mereka.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tidur Normal


2.1.1 Definisi

Tidur adalah suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan
keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respons terhadap
stimulus eksternal dibandingkan dengan keadaan terjaga. Beberapa gangguan jiwa dapat
menyebabkan perubahan khas fisiologi tidur.1

2.1.2 Elektrofisiologi Tidur

Sampai saat ini sistem klasifikasi untuk tingkatan tidur yang diterima adalah usulan
dari Rechtchaffen dan Kales yaitu dengan pemeriksaan EEG, Elektrooculogram (EOG)
dan electromyogram (EMG). Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis yaitu non REM
(rapid eye movement) atau juga dikenal sebagai slow wave sleep yang terdiri dari empat
tahap dan REM disebut juga tidur paradoksal.1,2

1. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM) / Pola Tidur Biasa


Pola tidur biasa juga disebut sebagai tidur Non-REM. Pada fase ini gelombang otak
makin lambat dan teratur. Mendengkur terjadi pada fase ini. Pada keadaan ini
sebagian besar organ tubuh secara berangsur-angsur menjadi kurang aktif, pernafasan
teratur, kecepatan denyut jantung berkurang, otot mulai berelaksasi, mata dan muka
diam tanpa gerak.
2. Tipe Rapid Eye Movement (REM) / Pola Tidur Paradoksal
Pola tidur paradoksal disebut juga sebagai tidur REM. Pada fase ini, akan terjadi
gerakan-gerakan mata secara cepat, denyut jantung dan pernafasan yang naik turun.
Sedangkan otot-otot mengalami pengendoran (relaksasi total). Proses relaksasi otot ini
sangat berguna bagi pemulihan tenaga dan penghilangkan semua rasa lelah. Fase tidur
REM berlangsung selama 20 menit. Pada fase ini akan terjadi mimpi-mimpi yang
dapat dipengaruhi dari factor luar.

2
Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian
antara 4-7 kali siklus semalam. Tiap siklus berlangsung kira-kira 90 menit. Bayi baru lahir
total tidur 16- 20 jam/hari, anak-anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada
umur diatas 10 tahun dan kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.1
Kira-kira 90 menit setelah awitan tidur, NREM menghasilkan epidosde REM pertama
malam tersebut. Latensi REM 90 menit ini merupakan temuan yang konsisten pada orang
dewasa normal; pemendekan latensi REM sering terjadi pada gangguan seperti gangguan
depresif dan norkolepsi.1

A. Pola tidur Non REM

Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:1,3

1. Tidur stadium 1

Fase ini merupakan antara fase terjaga dan fase awal tidur. Fase ini didapatkan
kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata kekanan dan
kekiri. Ia menduduki sekitar 5% dari total waktu tidur. Fase ini hanya berlangsung 3-5
menit dan mudah sekali dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang
campuran alfa, betha dan kadang gelombang theta dengan amplitudo yang rendah. Tidak
didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K.

2. Tidur stadium 2

Pada fase ini didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang,
tidur lebih dalam dari pada fase pertama, nadi dan tekanan darah cenderung menurun.
Stadium 1 dan 2 dikenal sebagai tidur dangkal. Gambaran EEG terdiri dari gelombang
theta simetris. Terlihat adanya gelombang sleep spindle, gelombang verteks dan komplek
K. Stadium ini menduduki sekitar 50% total tidur.

3. Tidur stadium 3

Fase ini tidur lebih dalam dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih
banyak gelombang delta simetris antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle.
Tonus otot meningkat tetapi tidak ada gerakan bola mata.

3
4. Tidur stadium 4

Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan. Gambaran EEG didominasi
oleh gelombang delta sampai 50% tampak gelombang sleep spindle. Fase tidur NREM, ini
biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu akan masuk ke fase
REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat dan menjadi lebih
insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun.

B. Pola Tidur REM

Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat
rendah, apabila dibangunkan hampir semua orang akan dapat menceritakan mimpinya,
denyut nadi bertambah dan pada laki-laki terjadi ereksi penis, tonus otot menunjukkan
relaksasi yang dalam.

Pada orang dewasa muda normal periode tidur NREM berakhir kira-kira 90 menit
sebelum periode pertama REM, periode ini dikenal sebagai periode REM laten. Rangkaian
dari tahap tidur selama tahap awal siklus adalah sebagai berikut : NREM tahap 1,2,3,4,3, dan
2; kemudian terjadi periode REM. Jumlah siklus REM bervariasi dari 4 sampai 6 tiap
malamnya, tergantung pada lamanya tidur.3

Gambar 1. Pola Siklus Tidur

4
Gambar 2. Gelombang otak

Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal
bahwa tidur REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya
masuk ke fase REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah
sehingga persentasi total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan
sel-sel otak, kemudian akan masuk keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM
kemudian fase REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:

- NREM (75%) yaitu :


o stadium 1: 5%
o stadium 2 : 45%
o stadium 3 : 12%
o stadium 4 : 13%
- REM; 25 %.

5
2.1.3 Pengaturan Tidur

Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistem ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam
keadaan bangun. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur.
Aktifitas ARAS ini sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem
serotoninergik, noradrenergik, kholinergik, histaminergik.
1. Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino
trypthopan. Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang
terbentuk juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Hasil
serotogenik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk
juga meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari
trypthopan terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peniliti lokasi yang terbanyak sistem serotonergik ini terletak
pada nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas
serotonin di nukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
2. Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel
nukleus coeruleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus coeruleus
sangat mempengaruhi penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang
mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergic akan menyebabkan
penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
3. Sistem Kolinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigmin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholinergik ini, mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas
kholinergik sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada
orang depresi, sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat
antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus
coeruleus maka tampak gangguan pada fase awal dan penurunan REM.
4. Sistem histaminergik
6
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
5. Sistem hormon

Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormone seperti
ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara
teratur oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini
secara teratur mempengaruhi pengeluaran neurotransmitter norepinefrin, dopamin,
serotonin yang bertugas mengatur mekanisme tidur dan bangun.4

2.2 Insomnia
2.2.1 Definisi

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan


untuk memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam fungsi
individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia sebagai
kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3 malam/minggu
selama minimal satu bulan.
Menurut The International Classification of Sleep Disorders, insomnia adalah
kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam, disertai rasa tidak nyaman setelah
episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan
berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk
melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi merupakan suatu gejala yang
memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional, kelainan fisik dan pemakaian
obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya tingkat energi dan suasana hati
tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.2.2 Epidemiologi

Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang paling sering dijumpai baik pada pasien
dengan maupun tanpa gangguan psikiatrik. Menurut penelitian di luar negeri, 70% pasien
psikiatrik yang dirawat di rumah sakit menderita insomnia. Di Inggris, 15% pasien yang
mengunjungi dokter keluarga menderita insomnia. Prevalensi insomnia meningkat
dengan bertambahnya usia. Insomnia lebih sering dijumpai pada wanita daripada pria
(2:1)

7
2.2.3 Etiologi

• Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat


membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur. Peristiwa
kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakit dari orang yang dicintai,
perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
• Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia
dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
• Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur, termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi, stimulan (seperti
Ritalin) dan kortikosteroid.
• Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung kafein
adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu
seseorang jatuh tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering
menyebabkan terbangun di tengah malam.
• Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas dan
sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih besar
dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut. Kondisi ini dikaitkan dengan
insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung, penyakit paru-paru, gastroesophageal
reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit Alzheimer.
• Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal, mengatur
siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
• 'Belajar' insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang
tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuh tertidur.
Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh dari
lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur, seperti
ketika mereka menonton TV atau membaca.3,5

2.2.4 Faktor Risiko

8
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko
insomnia meningkat jika terjadi pada:

 Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama


siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause,
sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.
 Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
 Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk depresi,
kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder, mengganggu tidur.
 Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti
kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis.
Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.
 Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari sering
meningkatkan resiko insomnia.

2.2.5 Patofisiologi
Irama tidur - jaga yang merupakan pola tingkah laku agaknya berhubungan dengan
interaksi di dalam sistim aktivasi reticular. Contoh adalah bila dilakukan perangsangan
daerah formasio retikularis akan menyebabkan kondisi jaga/waspada pada hewan di
laboratorium. Sedangkan perusakan pada daerah itu menyebabkan hewan mengalami
kondisi koma menetap. Dengan ini kita mengetahui bahwa sistim aktivitas retikular
bekerjanya diatur oleh kontrol dan nukleus raphe dan locus coeruleus. Di mana sel-sel
dan nucleus raphe mensekresi serotonin dan locus coeruleus mensekresi epinephrine.
Jika nukleus raphe dirusak atau sekresinya dihambat, dapat menimbulkan kondisi tidak
tidur/berkurangnya jam tidur pada hewan percobaan yang mirip dengan kejadian
insomnia. Sedangkan bila locus coeruleus yang dirusak, akan terjadi penurunan atau
hilangnya tidur REM, sedangkan tidur non REM tak berubah.
Sistim limbik, yang kita kenal sebagai pusat emosi, agaknya juga berhubungan
dengan kewaspadaan/jaga. Mungkin hal inilah yang menyebabkan mengapa kondisi
ansietas dan gangguan emosi lainnnya dapat mengganggu tidur, dan menyebabkan
insomnia.4, 5, 6

9
Penelitian tidur di laboratorium dengan alat EEG menunjukkan adanya perbedaan
antara sukarelawan yang normal dengan penderita depresi dan ansietas. Pada penderita
depresi, ditemukan adanya Sleep Latency yang bertambah atau dapat juga normal.
Sedangkan REM Latency jelas menjadi lebih pendek. Tidur Delta yang pada orang
normal ditemukan sejumlah 20 - 30%, pada penderita depresi menjadi jauh berkurang.
Hal ini yang menyebabkan penderita depresi mengeluh tidurnya kurang pulas.
Penelitian dari Zung menunjukkan bahwa pada sukarelawan normal yang diberi
rangsang suara-suara pada stadium Delta, tidak terbangun oleh hal itu. Tetapi pada
penderita depresi sangat mudah terbangun. Karena itu penderita depresi mudah sekali
terbangun oleh adanya perubahan suhu di dini hari, perubahan sinar dan suara-suara
hewan di pagi hari. Pada fase awal penyakit, penderita. depresi akan mengalami
penurunan dari Tidur REM nya sebanyak 10%. REM menunjukkan bahwa orang itu
sedang bermimpi.
Di laboratorium tidur, 85% dan mereka yang dibangunkan pada waktu tidur REM,
mengaku sedang bermimpi. Penderita depresi biasanya mengalami mimpi-mimpi yang
tidak menyenangkan sehingga mereka terbangun karenanya. Dengan demikian tidur REM
pun berkurang karena seringnya terbangun di malam hari. Di samping itu, telah
diterangkan bahwa pada mereka yang menderita depresi, tidur REM lebih cepat
datangnya. Secara fisiologik kekurangan tidur REM itu harus dibayar kembali. Dengan
begitu, selang beberapa waktu, penderita depresi akan mengalami tidur REM yang
berlebihan, dan penderita akan lebih sering terbangun dan bermimpi buruk. Jadi jelaslah
mengapa di laboratorium tidur, ditemukan gambaran hipnogram yang “acak-acakan”
atau iregular dari perpindahan satu stadium ke stadium yang lain pada penderita depresi;
dan sering terbangun di malam hari.

2.2.6 Klasifikasi
 Insomnia Primer

Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur ini
dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur, kebiasaan
sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari jenis insomnia
primer ini.

10
 Insomnia Sekunder

Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan
terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti
penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia
sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-obatan
yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang terlarang ataupun
penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10 orang yang menderita
insomnia.

Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu International Code of D
iagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan
International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu :

 Organik
 Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mimpu
buruk, berjalan sambil tidur, dll)

Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini adalah
insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah menyebabkan
gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM V, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:

1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain


2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu

11
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan diderita
minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi,


insomnia diklasifikasikan menjadi:

a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition,
unspecified (nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic)

2.2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:

 Pola tidur penderita.


 Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.
 Tingkatan stres psikis.
 Riwayat medis.
 Aktivitas fisik
 Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur
dan tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner, untuk
mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.
12
Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang
bisa menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk
menemukan masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.

Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan
pencatatan selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan
mata, dan gerakan tubuh.5

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ6

Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:


a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini,
dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2)

2.2.8 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan Umum
Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas
hidup bagi pasien dan keluarga. Perawatan yang tepat memiliki potensi mengurangi
morbiditas terkait insomnia, termasuk risiko depresi, cacat, dan gangguan kualitas
hidup.10

13
1. Pendekatan Non Farmakologi
a. Pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:

1) Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat.

2) Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik.

3) Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat


hipnotik, alkohol, gangguan mental.

4) Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek.

b. Konseling dan Psikoterapi


Psikoterapi sangat membantu pada pasien dengan gangguan psikiatri seperti (depresi,
obsesi, kompulsi), gangguan tidur kronik. Dengan psikoterapi ini kita dapat membantu
mengatasi masalah-masalah gangguan tidur yang dihadapi oleh penderita tanpa
penggunaan obat hipnotik.
c. Tindakan higiene tidur

1) Hindari dan meminimalkan penggunaan kafein, rokok, stimulan, alkohol, dan obat
lainnya.

2) Meningkatkan tingkat aktivitas pada sore atau awal malam (tidak dekat dengan
waktu tidur) dengan berjalan atau berolahraga di luar ruangan.

3) Meningkatkan pajanan cahaya alami dan cahaya terang selama siang hari dan awal
malam.

4) Hindari tidur siang, terutama setelah pukul 2 siang; batasi tidur siang, batas untuk 1
tidur kurang dari 30 menit.

5) Periksa pengaruh obat terhadap tidur.


6) Pergi ke tempat tidur hanya bila mengantuk.
7) Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur.

8) Minimalkan paparan kebisingan.

9) Makan makanan ringan kalau lapar.

10) Hindari makanan berat pada waktu tidur.


14
11) Batasi cairan pada malam hari.

12) Buatlah jadwal teratur.

a) Istirahat pada saat yang sama setiap hari.

b) Makan dan olahraga pada jadwal rutin.

c) Manajemen stress : Toleransi sulit tidur sesekali, diskusikan kejadian yang


mengkhawatirkan dalam waktu yang cukup sebelum tidur, gunakan teknik
relaksasi.

d. Terapi pengontrolan stimulus

Terapi ini bertujuan untuk memutus siklus masalah yang sering dikaitkan dengan
kesulitan memulai atau jatuh tidur. Terapi ini membantu mengurangi faktor primer dan
reaktif yang sering ditemukan pada insomnia. Ada beberapa instruksi yang harus diikuti
oleh penderita insomnia:
1) Ke tempat tidur hanya ketika telah mengantuk.

2) Menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.

3) Jangan menonton TV, membaca, makan, dan menelpon di tempat tidur.

4) Jangan berbaring-baring di tempat tidur karena bisa bertambah frustrasi jika tidak
bisa tidur.

5) Jika tidak bisa tidur (setelah beberapa menit) harus bangun, pergi ke ruang lain,
kerjakan sesuatu yang tidak membuat terjaga, masuk kamar tidur setelah kantuk
datang kembali.

6) Bangun pada saat yang sama setiap hari tanpa menghiraukan waktu tidur, total
tidur, atau hari (misalnya hari Minggu).

7) Menghindari tidur di siang hari.

8) Jangan menggunakan stimulan (kopi, rokok, dll) dalam 4-6 jam sebelum tidur

Hasil terapi ini jarang terlihat pada beberapa bulan pertama. Bila kebiasaan ini terus
dipraktikkan, gangguan tidur akan berkurang baik frekuensinya maupun beratnya.

15
2. Pendekatan Farmakologi
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dasarnya semua obat
yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) di otak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti
depresan.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan dari
proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada hari
berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula bila
pemakaian obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan ketergantungan obat.
Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu ditentukan jenis gangguan
tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang (NREM) gangguan pendek,
bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur pada malam hari, adanya
perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan penyakit primernya. Walaupun
obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik, tapi dapat
dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang mendasari. Dengan
pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk mengkoreksi dari problema
gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi primernya dan harus berhati-hati
pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang karena akan menyebabkan
terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan berlanjut tanpa penyelesaian yang
memuaskan.
Jadi yang terpenting dalam penggunaan obat hipnotik adalah mengidentifikasi
penyebab yang mendasarinya atau obat hipnotik adalah sebagai pengobatan tambahan.
Pemilihan obat hipnotik sebaiknya diberikan jenis obat yang bereaksi cepat (short action)
dgn membatasi penggunaannya sependek mungkin yang dapat mengembalikan pola tidur
yang normal. Lamanya pengobatan harus dibatasi 1-3 hari untuk transient insomnia, dan
tidak lebih dari 2 minggu untuk short term insomnia. Untuk long term insomnia dapat
dilakukan evaluasi kembali untuk mencari latar belakang penyebab gangguan tidur yang
sebenarnya. Bila penggunaan jangka panjang sebaiknya obat tersebut dihentikan secara
berlahan-lahan untuk menghindarkan withdrawl terapi.1,7
Obat anti insomnia
Sinonim : hypnotic, somnifacient, hipnotika
16
Obat acuan : phenobarbital
Penggolongan obat anti-insomnia
1. Benzodiazepine, contoh : Nitrazepam, Estazolam (benzodiazepine receptor agonist
: B2RA)

2. Non-Benzodiazepine, contoh : Zolpidem, ramelteon (Melatonin receptor agonist :


MT1/MT2).7

Sediaan obat anti insomnia dan dosis anjuran


(yang beredar di Indonesia menurut MIMS Edisi 2013/2014)

No. Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran

1. Nitrazepam DUMOLID Tab 5 mg 5-10 mg/malam


(actavis)
2. Zolpidem STILNOX Tab 10 mg 10-20 mg/malam
(Sanofi-Aventis)
ZOLMIA Tab 10 mg
(Fahrenheit)
ZOLTA Tab 10 mg
(Novell Pharma)

3. Estazolam ESILGAN Tab 1 mg 1-2 mg/malam


(Takeda) Tab 2 mg
ESTALIN Tab. 1 mg
(Novell Pharma) Tab 2 mg
4. Ramelteon ROZEREM Tab 8 mg 8-16 mg/malam
(Takeda)

Indikasi penggunaan

Indikasi penggunaan obat anti-insomnia terutama pada kasus transient insomnia dan
short term insomnia, sangat berhati-hati pada kasus long term insomnia. Selalu diupayakan
mencari penyebab dasar dari gangguan tidur dan pengobatan ditujukan pada penyebab dasar
tersebut.
17
Mekanisme Kerja
Obat golongan benzodiazepine tidak menyebabkan REM suppression and rebound.
Pada kasus depresi terjadi pengurangan delta sleep (gelombang delta < 20%), sehingga tidak
pulas tidurnya dan mudah terbangun. Pada awal depresi terjadi defisit REM sleep (0-10%,
dimana pada orang normal sekitar 20%) yang menyebabkan tidur sering terbangun akibat
mimpi buruk (REM sleep bertambah untuk mengatasi defisit), sehingga siklus tidur menjadi
tidak teratur (disorganized). 8
Obat anti-depresi (trisiklik dan tetrasiklik) menekan dan menghilangkan REM sleep
dan meningkatkan delta sleep, sehingga pasien tidur nyaman tidak diganggu mimpi buruk.
Bila obat mendadak dihentikan terjadi REM rebound dimana pasien akan mengalami mimpi-
mimpi buruk lagi. 8

Efek Samping
Obat-obatan ini dapat menimbulkan supresi susunan saraf pusat (SSP) pada saat tidur.
Hati-hati pada pasien dengan insufisiensi pernapasan , uremia, dan gangguan fungsi hati, oleh
karena keadaan tersebut terjadi penurunan fungsi SSP dan dapat memudahkan timbulnya
koma. Pada pasien usia lanjut dapat terjadi oversedation sehingga risiko jatuh dan trauma
menjadi besar, yang sering terjadi adalah hip fracture.
Pemilihan Obat
Ditinjau dari sifat gangguan tidur, dikenal dengan :
1. Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan dalah
bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas.
2. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke
proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat prolong latent phase
anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan tetrasiklik).
Misalnya pada gangguan depresi.

3. Broken insomnia : siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah
menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan phenobarbital atau golongan
benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress psikososial.

18
Pengaturan Dosis
Pemberian tunggal dosis anjuran 15-30 menit sebelum pergi tidur. Dosis awal dapat
dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2 minggu, kemudian
secepatnya tappering off untuk mencegah timbunya rebound dan toleransi obat. Pada usia
lanjut dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk menghindari
oversedation dan intoksikasi.
Lama Pemberian
Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2
minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat
menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
Kesulitan pemberhentian obat seringkali oleh karena psychological dependence (habituasi)
sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.
Perhatian Khusus
Obat anti-insomnia kontraindikasi pada sleep apnoe syndrome, congestive heart
failure, dan chronic respiratory disease. Penggunaan benzodiazepine pada wanita hamil
mempunyai risiko menimbulkan teratogenic effect (misalnya cleft plate abnormalities)
khususnya pada trimester pertama. Benzodiazepine juga diekskresi melalui ASI, berefek pada
bayi, yaitu penekanan fungsi SSP .
Di antara obat anti-insomnia tersebut, benzodiazepin paling sering digunakan dan
tetap merupakan pilihan utama untuk mengatasi insomnia baik primer maupun sekunder.
Kloralhidrat dapat pula bermanfaat dan cenderung tidak disalahgunakan. Antihistamin,
prekursor protein seperti l-triptofan yang saat ini tersedia dalam bentuk suplemen juga dapat
digunakan.
Obat hipnotik hendaklah digunakan dalam waktu terbatas atau untuk mengatasi
insomnia jangka pendek. Dosis harus kecil dan durasi pemberian harus singkat.
Benzodiazepin dapat direkomendasikan untuk dua atau tiga hari dan dapat diulang tidak lebih
dari tiga kali. Penggunaan jangka panjang dapat menimbulkan masalah tidur atau dapat
menutupi penyakit yang mendasari.
Penggunaan benzodiazepin harus hati-hati pada pasien penyakit paru obstruktif
kronik, obesitas, gangguan jantung dengan hipoventilasi. Benzodiazepin dapat mengganggu
ventilasi pada apnea tidur. Efek samping berupa penurunan kognitif dan terjatuh akibat
gangguan koordinasi motorik sering ditemukan. Oleh karena itu, penggunaan benzodiazepin
pada lansia harus hati-hati dan dosisnya serendah mungkin.
19
Benzodiazepin dengan waktu paruh pendek (triazolam dan zolpidem) merupakan obat
pilihan untuk membantu orang-orang yang sulit masuk tidur. Sebaliknya, obat yang waktu
paruhnya panjang (estazolam, temazepam, dan lorazepam) berguna untuk penderita yang
mengalami interupsi tidur. Benzodiazepin yang kerjanya lebih panjang dapat memperbaiki
anxietas di siang hari dan insomnia di malam hari.
Sebagian obat golongan benzodiazepin dimetabolisme di hepar. Oleh karena itu,
pemberian obat-obat yang menghambat oksidasi sitokrom (seperti simetidin, estrogen, INH,
eritromisin, dan fluoxetine) dapat menyebabkan sedasi berlebihan di siang hari. Triazolam
tidak menyebabkan gangguan respirasi pada pasien COPD ringan-sedang yang mengalami
insomnia. Neuroleptik dapat digunakan untuk insomnia sekunder terhadap delirium pada
lansia. Dosis rendah-sedang benzodiazepin seperti lorazepam digunakan untuk memperkuat
efek neuroleptik terhadap tidur.
Antidepresan yang bersifat sedatif seperti trazodone dapat diberikan bersamaan
dengan benzodiazepin pada awal malam. Antidepresan kadang-kadang dapat memperburuk
gangguan gerakan terkait tidur (RLS).
Mirtazapine merupakan antidepresan baru golongan noradrenergic and specific
serotonin antidepressant (NaSSA). Ia dapat memperpendek onset tidur, stadium 1 berkurang,
dan meningkatkan dalamnya tidur. Latensi REM, total waktu tidur, kontinuitas tidur, serta
efisiensi tidur meningkat pada pemberian mirtazapine. Obat ini efektif untuk penderita
depresi dengan insomnia tidur.
Tidak dianjurkan menggunakan imipramin, desipramin, dan monoamin oksidase
inhibitor pada lansia karena dapat menstimulasi insomnia. Lithium dapat menganggu
kontinuitas tidur akibat efek samping poliuria.
Khloralhidrat dan barbiturat jarang digunakan karena cenderung menekan pernafasan.
Antihistamin dan difenhidramin bermanfaat untuk beberapa pasien tapi penggunaannya harus
hati-hati karena dapat menginduksi delirium.

20
2.2.9. Komplikasi
Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia
dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

Komplikasi insomnia meliputi 9

 Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.


 Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.
 Masalah kejiwaan, seperti kecemasan atau depresi
 Kelebihan berat badan atau kegemukan
 Daya tahan tubuh yang rendah
 Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan
darah yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

21
BAB III
KESIMPULAN

Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres, kecemasan berlebihan,
pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan, dan kondisi medis. Insomnia
didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola tidur penderita, pemakaian obat-
obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan
kebutuhan tidur secara individual.

Tujuan terapi adalah untuk mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup
bagi pasien dan keluarga. Terapi dapat dengan pendekatan non farmakologi dan farmakologi.
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara kausal, juga
dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Obat anti insomnia, sinonim : hypnotic,
somnifacient, hipnotika. Obat acuan adalah phenobarbital. Pemilihan obat ditinjau dari sifat
gangguan tidur : Initial insomnia : sulit masuk ke dalam proses tidur. Obat yang dibutuhkan
dalah bersifat sleep inducing anti-insomnia, yaitu golongan benzodiazepine (short acting).
Misalnya pada gangguan anxietas. Delayed insomnia : proses tidur terlalu cepat berakhir dan
sulit masuk kembali ke proses tidur selanjutnya. Obat yang dibutuhkan adalah bersifat
prolong latent phase anti-insomnia, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (trisiklik dan
tetrasiklik). Misalnya pada gangguan depresi. Broken insomnia : siklus proses tidur yang
normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi beberapa bagian (multiple awakening). Obat
yang dibutuhkan adalah bersifat sleep maintaining anti-insomnia, yaitu golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (long acting). Misalnya pada gangguan stress
psikososial. Pemakaian obat anti-insomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari
2 minggu, agar risiko ketergantungan kecil.1,7

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock : Buku ajar psikiatri klinis. 2nd Ed. Jakarta;
EGC. 2010. P.337-51
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep
Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual .
Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep
Medicine; 2005:1-32
3. Cheng, Ruey-Kuang. 2009. Neurophysiological Mechanism of Sleep Dependent
Memory Consolidation and its facilitation by prenatal choline supplementation.
Chinese Journal of Physiology. 52(4): 223-225.
4. Colten, Harvey R. Et Al. 2006. Sleep Disorders And Sleep Deprivation: An Unmet
Public Health Problem. National Academy Of Sciences : Washington, Dc

5. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC


6. Maslim R. Buku saku: Diagnosis gangguan jiwa. Rujukan ringkas dari PPDGJ – III
dan DSM-5. Jakarta; Bagian ilmu kesehatan jiwa FK Atma Jaya. 2013. P. 90-8
7. Gregory M. Asnis , Manju Thomas and Margaret A. Henderson. Pharmacotherapy
Treatment Options for Insomnia: A Primer for Clinicians, Albert Einstein College
of Medicine/Montefiore Medical Center, Department of Psychiatry & Behavioral
Science, Bronx, NY 10467, USA. Published: 30 December 2015. Cited February
9th 2016

8. Maslim R. Panduan klinis obat psikotropik. Jakarta; Bagian ilmu kesehatan jiwa FK
Atma Jaya. 2014. P. 46-50
9. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford
University Press
10. Meadows R. 2005. The “Negotiated Night:” An Embodied Conceptual Framework
For The Sociological Study Of Sleep. Oxford: Blackwell.

23
24

Anda mungkin juga menyukai