Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN TUTORIAL

“SUSAH TIDUR”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4:

1. Rohid s, arahman 09402011013


2. Amalia sumayah ammarie 09402011038
3. Fitria anggaina a. Mustafa 09402011020
4. Rochmat nurhidayat 09402011048
5. Septiana waraningsih 09402011005
6. Fauziah auliah tamsil 09402011028
7. Puteri puspita sari 09402011011
8. Nia churaesyah saleh 09402011035
9. Fermat mangiwa pongsinaran 09402011019
10. M. riswandi siboboy 09402011041
11. Rafli ardiansyah 09402011042

BLOK NEUROSPIKIATRI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS KHAIRUN

2022
skenario

Seorang perempuan berusia 42 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit tidur sejak 3
minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Pasien
tinggal sendiri 1 bulan yang lalu karena suami bertugas di luar kota. Akhir-akhir ini pasien mulai
merasa Lelah.

Kalimat Kunci :

1). Seorang Perempuan

2). Usia 42 tahun

3). Keluhan sulit tidur sejak 3 minggu yang lalu

4). Keluhan disertai dengan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin

5). Pasien tinggal sendiri 1 bulan yang lalu

6). Akhir-akhir ini pasien merasa lelah

Kata Sulit :-

Pertanyaan :

1. Apa definisi dari tidur ?

2. Jelaskan fisiologi tidur !

3. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari gangguan tidur !

4. Bagaimana patomekanisme dari sulit tidur dan hubungannya dengan keluhan lainnya ?

5. Apa Differential Diagnosis dari skenario ?

 Depresi
 Insomnia
 Gangguan axietas menyeluruh
Jawaban pertanyaan :
1. Apa definisi dari tidur ?
Tidur merupakan kondisi tidak sadar dimana individu dibangunkan oleh stimulus atau
sensori yang sesuai, atau bias diartikan sebagai kondisi tidak sadar relative. Bukan hanya kondisi
tapi merupakan suatu urutan siklus berulang. Siklus tidur yang kurang dari standart jam tidur,
maka fungsi fisiologis dari anggota tubuh yang lain juga terganggu.[1]

2. Jelaskan fisiologi tidur !

Fisiologi Tidur

Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis: nonrapid eye nxovement (NREM) dan rapid eye
nxovement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1 sampai 4. sebagian besar fungsi
fisiologis sangat berkurang dibandingkan dengan keadaan terjaga. REM merupakan jenis tidur
yang secara kualitatif berbeda, ditandai dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat
aktivitas fisiologis yang menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah
awitan tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90 menit
ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal.

Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan saat terjaga.
Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut per menit di bawah tingkat
saat terjaga sedang istirahat dan sangat teratur denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan
tekanan darah cenderung rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot
istirahat pada otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan
tubuh episodik dan involuntar terdapat pada tidur NREM. Meskipun ada, terdapat sedikit REM
dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui sebagian besar jaringan, termasuk
aliran darah otak, sedikit berkurang.

Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur, kadang-
kadang rnendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena penganratan ini, tidur REMjuga
dinarnakan tidur paradoksal. Denyut jantung, penlapasalr. dan tekanan darah pada tlanusia
sernrran) a tinggi saat tidur REM-lebih tinggi danpada selanra tidur NREM dan sering lebih
tinggi daripada saat bangnn. Variabilitasnya dari urenit ke menit bahkan lebih mencolok
dibandingltan kadar atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selanra tidur RliM.
Respons ventilasi untuk meningkatkan kadar karbon dioksida (COr) berkLrrang selama tidur
REM, sehingga tidak terdapat pellingkatan volume tidal ketika tekanan parsial karbondioksida
meningkat. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi. Orang yang terbarrgun saat
tidur REM sering (60 hingga 90 persen) melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi. Mimpi
selama tidur REM secara khas abstrak dan aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi
khasnya jelas dan bertujuan.

Pada manusia, tidur dibagi menjadi lima fase yaitu : 5

1. Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan tenang
mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz) mendominasi seluruh
rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya
berlangsung antara lima sampai sepuluh menit.
2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut juga
twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya
gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage mix frequencies
(LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan
rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal fase 1
ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh menit kemudian memasuki
fase berikutnya.
3. Fase 2
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau
gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM
atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1. Fase 2 ini berjalan
relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit dan bervariasi pada tiap
individu.
4. Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan
gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih
singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit fase 3 akan diikuti
fase 4.
5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang
delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung
cukup lama yaitu hampir 30 menit.
6. Fase REM .
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase 1,
sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti
pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang 6 biasanya berlangsung 10 –15
menit.[2], [3]

Tahap tidur

NREM/tidur REM/tidur
biasa paradoksal/tidur
nyenyak

Fase 1 Fase 2 Fase 3 Fase 4

5-10 menit 20-40menit 5-10 menit 30 menit

3. Jelaskan definisi dan klasifikasi dari gangguan tidur !

Definisi Gangguan
Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu. Kuantitas tidur
inadekuat adalah durasi tidur yang inadekuat berdasarkan kebutuhan tidur sesuai usia akibat
kesulitan memulai (awitan tidur yang terlambat) dan/atau mempertahankan tidur (periode panjang
terjaga di malam hari). Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat
periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.[4], [5]
Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut PPDGJ III, gangguan tidur secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu
dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor emosional. Termasuk
dalam golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama masa tidur. Termasuk
dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan mimpi buruk. Penggolongan gangguan
tidur lain berdasarkan PPDGJ III adalah gangguan tidur organic
Menurut DSM IV-TR, gangguan tidur dibagi menjadi insomnia primer, hipersomnia
primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pemapasan, gangguan tidur irama
sirkadian, gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, gangguan tidur berjalan, gangguan tidur
terkait kondisi medis, dan gangguan tidur yang diinduksi zat. Sedangkan, Nelson et al membuat
klasifikasi gangguan tidur spesifik pada anak dan remaja, karena pola gangguan tidur pada anak
berbeda dengan pola gangguan tidur pada dewasa. Pola tidur mengalami perubahan yang
progresif seiring bertambahnya usia; dari masa bayi, anak, hingga remaja; kearah pola tidur
dewasa, yaitu durasi tidur yang berkurang, siklus tidur yang lebih panjang, dan berkurangnya
waktu tidur siang. [1], [4], [6]

4. Bagaimana patomekanisme dari sulit tidur dan hubungannya dengan keluhan


lainnya?

PATOMEKANISME SULIT TIDUR DAN HUBUNGANNYA DENGAN KELUHAI LAIN

Sumber:

Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary
Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas
ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS ini sangat
dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, adrenergik, kholonergik,
histaminergik dan system hormon.

• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat
akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat
pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Jaras serotonin yang berasal dari
nuklei rafe batang otak akan menghambat perangsangan RAS dan mempercepat tidur REM
maupun non-REM. Kerusakan nuklei ini akan menimbulkan sulit tidur.

• Sistem Adrenergik

Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus


cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atau hilangnya REM tidur. Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas
neuron noradrenergik akan menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan
keadaan jaga. Pelepasan neurotransmitter ini juga untuk merangsang syaraf otonom. Stimulasi
sistem saraf otonom khususnya pada saraf simpatis menimbulkan gejala tertentu-kardiovaskular
(cth., takikardi), muskular (cth., sakit kepala), gastrointeslinal (cth., diare), dan pernapasan (cth.,
takipneu). Rangsangan simpatis ini juga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah yang
mensuplai kelejar-kelenjar sehingga seringkali mengurangi kecepatan sekresinya. Bila saraf
simpatis terangsang, maka kelenjar keringat mensekresikan banyak sekali keringat.

• Sistem Kholinergik

Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat


mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholihergik ini, mengakibatkan aktifitas
gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik sentral yang
berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi, sehingga terjadi pemendekan
latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine) yang menghambat pengeluaran
kholinergik dari lokus sereleus maka tamapk gangguan pada fase awal dan penurunan REM.

• Sistem histaminergik

Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur

• Sistem hormon

Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti ACTH,
GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun.

Gangguan tidur memiliki dampak yang tidak baik untuk seseorang karena akan
mempengaruhi aktivitas di siang hari akibat dari stamina yang menurun. Apabila seseorang
mengalami gangguan dalam tidur secara terus menerus serta kualitas tidur yang buruk juga
tentunya akan memperlihatkan perasaan lelah. Perasaan lelah dapat ditunjukkan dengan seseorang
yang mudah gelisah, lesu dan apatis, tidak bersemangat dalam menjalankan aktivitas, dan sering
menguap atau mengantuk.

[7] [8] [9]

5. Apa Differential Diagnosis dari skenario ?


 Depresi
DEFINISI
Depresi merupakan gangguan alam perasaan yang ditandai dengan rasa sedih terus-
menerus yang berkepanjangan yang dapat mengganggu kondisi fisik dan kehidupan sosialnya
Pieter dan Namora (2012). [10]

EPIDEMIOLOGI
Kejadian depresi tertinggi berada di wilayah Asia Tenggara sebanyak 86,94 (27%) dari
322 miliar individu. Indonesia sendiri berada di urutan ke lima dengan angka kejadian depresi
sebesar (3,7%) menurut WHO (2017). Di Indonesia sendiri angka kejadian depresi pada umur ≥
15 tahun berdasarkan hasil RISKESDA 2018, menunjukkan bahwa (6,1%) yang mengalami
depresi, dengan kejadian lebih tinggi terjadi di provinsi Sulawesi Tengah sebesar (12,3%)
(Kemenkes RI, 2018).[10]

ETIOLOGI
Etiologi depresi adalah terjadinya gangguan actornsmitter serotonin yang berfungsi
sebagai pengontrol afek, agresivitas, tidur, dan nafsu makan. Teori lain yaitu terganggunya
regulasi actor kortisol yang berfungsi dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, actor
imun, dan semua actor penting dalam kehidupan.[11]

KLASIFIKASI

Gangguan mood pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu gangguan unipolar dan
gangguan bipolar. Pasien diklasifikasikan sebagai gangguan unipolar dan gangguan bipolar.
Gangguan unipolar atau gangguan depresi adalah gangguan fungsional kesehatan mental yang
berhubungan dengan beban penyakit yang berat sehingga berdampak pada pasien, keluarga,
komunitas dan juga ekonomi (Weise, 2011; Gellis & McCracken, 2010). Gangguan bipolar
merupakan gangguan mood dimana pasien memiliki baik periode gangguan depresi maupun
gangguan manik (Aziz et al., 2006).[12]

PATOMEKANIME
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.
Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat terganggu
apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau adanya gangguan
sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi
telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua
reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada
semua golongan anti depresan. Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat
pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau
beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik.
Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :

1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan


neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi aktivitas
norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya neurotransmisi akibat
kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung oleh bukti-bukti klinis yang
menunjukkan adanya perbaikan depresi pada pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective
Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter
atau pemberian obat MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.

Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang
berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang
berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena
dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini
dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake
Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat. Dengan
demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi
lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi. Mekanisme biokimiawi yang
sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
[13]

FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi

Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :

1) Usia

Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun; dan 50% dari pasien
memiliki onset anatara usia 20-50 tahun.

2) Jenis kelamin

Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi
gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini
mungkin disebabkan oleh rendahnya kesehatan maternal.

3) Pendidikan

Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua. Tingkat
pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa
lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali
lebih besar.

4) Status pernikahan

Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai atau berpisah.[14]

MANIFESTASI KLINIS
 Depresi tidak menetap : Gejala merasa sedih, patah semangat, kecewa, menangis,
dan merasa lelah serta tak peduli
 Depresi ringan : Gejalanya bertambah menjadi menolak perasaan, marah, cemas,
merasa bersalah, putus asa, tidak berdaya, regresi, agitasi, menarik diri,
menyalahkan diri atau orang lain, mengalami gangguan tidur, dan makan
 Depresi sedang : Merasa pesimis, harga diri rendah, perilaku menyakiti diri, tidak
mampu merawat diri, sulit berkonsentrasi dan nyeri abdominal
 Depresi berat : Gejalanya bertambah dengan merasa putus asa total, tidak berguna,
afek datar, pergerakan tidak terarah, bingung, gangguan isi pikir, halusinasi, dan
berpikir untuk bunuh diri. [15]
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gangguan depresi berat

A. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh., sedih atau pera saan kosong) atau
kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau
lebih gejala-gejala berikut ini.
Tidur. Insomnia atau somnia hampir setiap hari hiper Minat Menurunnya minat atau kesenangan
hampir pada semua kegiatan hampir sepanjang waktu
Rasa bersalah. Perasaan ber salah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak berharga
hampir sepanjang waktu
Energi. Kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu Konsentrasi. Menurunnya ke
mampuan untuk berpikir atau konsentrasi; sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
Selera makan. Dapat menurun atau meningkat
Psikomotor. Dalampengamatan ditemukan agitasi / retardasi Bunuh diri. Timbul pikiran
berulang tentang mati / ingin bunuh diri
B. Gejalanya tidak memenuhi un tuk kriteria episode campuran (episode depresi berat dan
episode manik)
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting
lainnya yang bermakna secara klinik.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
(sebagai contoh: penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu kondisi medik umum (sebagai
contoh: hypotroidisme)
E. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya, setelah kehilangan
seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai hendaya fungsi yang
jelas, preokupasi rasa ketidak bahagian yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau
retardası psikomotor.[1]

 Insomnia

DEFINISI

Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan
tidur (sering terbangun dengan kesulitan untuk kembali tidur), atau bangun lebih awal, disertai
dengan gangguan fungsi siang hari (kelelahan, lekas marah, dan kurangnya perhatian).[16]

ETIOLOGI

Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur lain, gangguan irama
sirkadian tidur-bangun, penyakit medis, neurologi, psikiatri, gangguan perilaku, dan penggunaan
obat atau akibat withdrawal. Etiologi pasti gangguan tidur belum diketahui, namun diperkirakan
mencakup faktor biologis, psikologis, dan sosiodemografik.

 Faktor Biologis
Pola tidur, yang mencakup durasi dan waktu tidur, diatur oleh banyak gen dan
bersifat diwariskan. Sehingga terdapat individu-individu yang secara genetik rentan
mengalami gangguan tidur.
Perubahan jam biologis, misalnya karena perubahan shift kerja atau bepergian ke
zona waktu yang berbeda, juga bisa memicu timbulnya gangguan tidur. Irama sirkadian
fisiologis juga bisa berubah seiring bertambahnya usia sebagaimana yang terjadi pada
lansia. Selain itu, paparan terhadap blue light yang berlebih dari peralatan elektronik juga
dapat mengganggu irama sirkadian dan pola tidur.
 Faktor Psikologis
Gangguan tidur merupakan gejala yang umum ditemukan pada berbagai
gangguan psikiatri, misalnya gangguan afektif, gangguan cemas, gangguan makan,
penyalahgunaan zat, dan schizophrenia. Insomnia juga sering berhubungan dengan
gangguan fisik yang menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Stressor psikologis juga
bisa menjadi pemicu timbulnya gangguan tidur.
 Faktor Sosiodemografik
Biasanya gangguan tidur timbul ketika seseorang sedang mengalami stressor,
misalnya masalah pekerjaan atau perkawinan. Selain itu, insomnia lebih sering ditemukan
pada jenis kelamin perempuan, pasien usia lanjut, dan status sosial ekonomi yang rendah.
[16], [17]

EPIDEMIOLOGI

Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan/atau


mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% diantaranya mengakibatkan gangguan kualitas
hidup. Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah episode dari insomnia pada
beberapa waktu selama hidup mereka. Di Indonesia, pada tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk
mengalami insomnia.

Epidemiologi gangguan tidur dilaporkan cukup besar dan dapat mengenai seluruh
kelompok usia. Prevalensi gangguan tidur di dunia diperkirakan antara 5-15%. Di antara mereka
yang mengalami gangguan tidur, 31-75% berkembang menjadi masalah insomnia kronik.
Diperkirakan bahwa 40-70% lansia mengalami gangguan tidur kronik. Angka ini semakin besar
pada lansia yang mempunyai komorbiditas gangguan medis atau psikiatri. Insomnia merupakan
gangguan tidur yang paling banyak ditemukan, meliputi 20-40% kasus gangguan tidur pada
lansia dan 9-15% kasus pada populasi umum.

Penelitian oleh Nur aini et al melaporkan prevalensi gangguan tidur pada remaja di
Indonesia adalah 38% untuk remaja di daerah urban dan 37,7% di daerah suburban. Namun
penelitian ini menggunakan instrument self report dan metode cross sectional. Penelitian lanjutan
untuk mengetahui epidemiologi gangguan tidur secara nasional masih dibutuhkan. [16], [18]

KLASIFIKASI

Insomnia dibagi berdasarkan :

1. Menurut penyebabnya, insomnia dibagi menjadi 2 jenis yaitu :


 Insomnia primer merupakan gangguan kekurangan tidur yang tidak ada hubungannya
dengan medis, psikis, dan lingkungan.
 Insomnia sekunder (komorbid) merupakan gangguan tidur yang disebabkan oleh
beberapa penyakit dan gangguan medis yang lain misalnya kondisi medis seperti nyeri,
kecemasan, penggunaan obat-obatan terlarang, penyalahgunaan alkohol, efek samping
obat, depresi, atau stress yang hebat.

2. Menurut durasi dan perjalanan penyakitnya, insomnia dapat dibagi 3 jenis yaitu :
 Transient insomnia, → terjadi dalam beberapa hari saja (biasanya 2-3 hari), Etiologi :
seperti kecemasan terhadap ujian yang akan dihadapi, wawancara kerja, dan berangkat
liburan.
 Short term insomnia → terjadi selama 2-3 minggu, Etiologi : pekerjaan penting yang
menimbulkan stress, kehilangan pekerjaan, masalah perkawinan atau keluarga,
kehilangan seseorang.
 Chronic insomnia → terjadi selama 3 minggu sampai bertahun-tahun. Etiologi: depresi,
penyakit lain berupa artritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea, Parkinson, dan
hipertiroidisme.
3. Menurut gangguan pola bangun-tidur, terdapat 3 jenis insomnia, yaitu :
 Insomnia awal (Initial insomnia /Difficulty Initiating Sleep (DIS) yaitu latensi tidur yang
panjang atau insomnia yang sulit masuk tidur.
 Insomnia pemeliharaan (Sleep maintenance insomnia/Difficulty Maintaining Sleep
(DMS) yaitu insomnia dimana subjek selalu terbangun sehingga mempunyai kualitas
tidur yang sangat buruk
 Insomnia akhir (Terminal insomnia / Early Morning Awakening (EMA), yaitu insomnia
dimana subjek terbangun dini hari dan sulit tidur kembali.[16], [19]

PATOFISIOLOGI

Tidur merupakan suatu ritme biologis yang bekerja 24 jam yang bertujuan untuk
mengembalikan stamina untuk kembali beraktivitas. Tidur dan terbangun diatur oleh batang otak,
thalamus, hypothalamus dan beberapa neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan
dengan tidur. Hasil yang diproduksi oleh mekanisme serebral dalam batang otak yaitu serotonin.
Serotonin ini merupakan neurotransmitter yang berperan sangat penting dalam menginduksi rasa
kantuk, juga sebagai medula kerja otak.

Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin yang merupakan hormon katekolamin
yang diproduksi secara alami oleh tubuh. Adanya lesi pada pusat pengatur tidur di hypothalamus
juga dapat mengakibatkan keadaan siaga tidur. Katekolamin yang dilepaskan akan menghasilkan
hormone norepineprin yang akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas. Stress
juga merupakan salah satu factor pemicu, dimana dalam keadaan stress atau cemas, kadar
hormone katekolamin akan meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatik
sehingga seseorang akan terus terjaga.[20]

FAKTOR RISIKO

Beberapa faktor risiko kejadian insomnia pernah diteliti. Diantara faktor-faktor yang
dianggap mempengaruhi kejadian insomnia adalah:

 Jenis kelamin perempuan,


 Usia,
 Status perkawinan,
 Pendapatan,
 Tingkat pendidikan.
 Kemudian risiko insomnia meningkat seiring pertambahan umur dan pada individu
dengan status sosioekonomi rendah.

Faktor – faktor penyebab terjadinya insomnia pada mahasiswa adalah keadaan


lingkungan tempat tinggal mahasiswa, seperti tingkat kebisingan, kebersihan dan suhu sekitar
tempat tinggal. Kemudian pola hidup seperti perokok aktif, makan tidak teratur, konsumsi kopi
dan pola tidur yang tidak sehat. Mahasiswa cenderung untuk tidur lebih larut dikarenakan
beberapa sebab seperti tugas kuliah, tugas organisasi atau hanya sekedar bersantai dengan teman
– teman. Selain faktor – faktor diatas, ada faktor lain yang mana disebabkan oleh kemajuan
teknologi seperti penggunaan internet yang berlebihan dalam bentuk sosial media ataupun game
online. Faktor lain penyebab insomnia pada mahasiswa adalah penggunaan obat – obatan dan
narkoba atau psikotropika serta mahasiswa yang mengalami kondisi kesehatan tertentu seperti
penyakit kronis dan kehamilan.[16], [21]

GEJALA KLINIS
Manifestasi insomnia bisa berupa :
a) Kesulitan untuk jatuh tertidur pada waktu yang normal (initial insomnia)
Didefinisikan sebagai kesulitan tertidur yang lebih dari 30 menit. Biasanya disebabkan karena
tingkat kesadaran yang tinggi yang berhubungan dengan anxietas atau faktor lain.
b) Kesulitan untuk mempertahankan tidur / sering terbangun dari tidur lalu sulit tertidur kembali.
Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau muncul pada waktu-waktu tertentu,
seperti selama fase tidur REM.
c) Terbangun lebih cepat di pagi hari. (terminal insomnia)
Kondisi ini cukup seirng ditemukan pada orang tua. Merasa tetap lelah dan mengantuk meskipun
durasi tidur sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati waktu tidur.
d) paling tidak meliputi satu atau lebih dari gejala berikut: terasa letih atau mengantuk di waktu
siang menyebabkan kerap tidur di siang hari; gangguan atensi atau perhatian, konsentrasi atau
memori; gangguan mood, iritabilita atau sensitif; kurang energi atau motivasi; sakit kepala atau
gangguan pencernaan.[22]

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-IV (DSM-IV), menunjukkan beberapa


gejala dimana seseorang didiagnosis menderita insomnia karena faktor psikologis yaitu:7
1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur, dan tidak dapat memperbaiki tidur selama
sekurangnya satu bulan merupakan keluahan yang palingbanyakterjadi.
2. Insomnia ini menyebabkan penderita menjadi stres sehingga dapat mengganggu fungsi sosial,
pekerjaan atau area fungsi penting yang lain.
3. Insomnia karena faktor psikologis ini bukan termasuk narkolepsi, gangguan tidur yang
berhubungan dengan pernafasan, gangguan ritme sirkadian atauparasomnia.
4. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena gangguan mental lain seperti gangguan
depresi, delirium.
5. Insomnia karena faktor psikologis tidak terjadi karena efek fisiologis yang langsung dari suatu
zat seperti penyalahgunaan obat atau kondisi medis yang umum.[23].

A. Pasien melaporkan, atau orang tua atau pengasuh pasien mengamati, satu atau lebih hal
berikut:
1) Kesulitan memulai tidur.
2) Kesulitan mempertahankan tidur.
3) Bangun lebih awal dari yang diinginkan.
4) Penolakan untuk tidur pada jadwal yang sesuai.
5) Kesulitan tidur tanpa intervensi orang tua atau pengasuh.
B. Pasien melaporkan, atau orang tua atau pengasuh pasien mengamati, satu atau lebih hal
berikut yang berhubungan dengan kesulitan tidur malam hari:
1) Kelelahan/malaise.
2) Perhatian, konsentrasi atau gangguan memori.
3) Gangguan kinerja sosial, keluarga, pekerjaan atau akademik.
4) Gangguan suasana hati/iritabilitas.
5) kantuk di siang hari.
6) Masalah perilaku (misalnya hiperaktif, impulsif, agresi).
7) Berkurangnya motivasi/energi/inisiatif.
8) Rawan kesalahan/kecelakaan.
9) Kekhawatiran tentang atau ketidakpuasan dengan tidur.
C. Keluhan tidur/bangun yang dilaporkan tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh
kesempatan yang tidak memadai (yaitu cukup waktu yang diberikan untuk tidur) atau
keadaan yang tidak memadai (yaitu lingkungan yang aman, gelap, tenang dan nyaman)
untuk tidur.
D. Gangguan tidur dan gejala siang hari yang terkait terjadi setidaknya tiga kali per minggu.
E. Gangguan tidur dan gejala siang hari yang terkait telah ada setidaknya selama 3 bulan.
Kesulitan tidur/bangun tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan tidur lainnya. [24]
DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Riwayat medis dan pemeriksaan (rekomendasi kuat)
 Anamnesis harus mencakup pengasuh jika perlu
 Gangguan somatik sebelumnya dan sekarang (termasuk nyeri)
 Penggunaan zat (obat, alkohol, kafein, nikotin, obat-obatan terlarang)
2. Riwayat psikiatri/psikologis (rekomendasi kuat)
 Gangguan jiwa dulu dan sekarang
 Faktor kepribadian
 Situasi kerja dan kemitraan
 Konflik antar pribadi
3. Riwayat tidur (rekomendasi kuat)
 Riwayat gangguan tidur, termasuk faktor pencetusnya
 Informasi dari pasangan tempat tidur (gerakan anggota tubuh secara berkala saat
tidur, jeda saat bernafas)
 Waktu kerja/faktor sirkadian (kerja shift dan malam, fase maju, penundaan)
 Pola tidur-bangun, termasuk tidur siang hari (buku harian tidur, kuesioner tidur)[24]

Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda gangguan tidur adalah sebagai berikut:
• Konsentrasi yang buruk
• Mengantuk
• Waktu reaksi diperlambat
• Hipertensi (yang dapat disebabkan oleh apnea tidur)
• Pertumbuhan yang buruk, amandel membesar, dan jalan napas menyempit (temuan OSA)[25]

Pemeriksaan Penunjang
Tindakan tambahan (jika diindikasikan):
1) Pengujian laboratorium termasuk, mis. hitung darah, tiroid, parameter hati dan ginjal,
CRP, hemoglobin, feritin dan vitamin B12
2) EKG, EEG, CT/MRT
3) Penanda sirkadian (melatonin, suhu tubuh inti)
4) Actigraphy
 Dalam kasus kecurigaan klinis jadwal tidur-bangun yang tidak teratur atau gangguan
ritme sirkadian (rekomendasi kuat)
 Untuk menilai parameter tidur kuantitatif (rekomendasi lemah)
5) Polisomnografi
 Dalam kasus kecurigaan klinis gangguan tidur lainnya seperti gangguan gerakan
tungkai periodik, sleep apnea atau narkolepsi (rekomendasi kuat)
 Insomnia yang resistan terhadap pengobatan (rekomendasi kuat)
 Insomnia pada kelompok berisiko pekerjaan, mis. pengemudi profesional
(rekomendasi kuat)
 Dalam kasus kecurigaan klinis perbedaan besar antara pengalaman subjektif dan tidur
yang diukur secara polisomnografi (rekomendasi kuat)[24]

TATALAKSANA
Farmakologi
Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat
keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka
pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam
memberikan pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam
waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu. Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan
bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep
promoting agent.
1. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia
karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat
golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan
menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya. Selain itu,
munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini.
Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post- synaptic, dimana
obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek
sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah :
triazolam, temazepam, dan lorazepam.
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek
samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh
sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis
seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan
dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan
kerja yang lama maupun kerja singkat.
2. Non-benzodiazepine
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip denganbenzodiazepine,
tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek samping seperti distress pernafasan,
amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang
telah dilakukan.
Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan
untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit
GABAAreseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek
anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical
trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu
tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek
rebound dan ketergantungan pada penderita.
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini
mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yaitu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti
zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABAAreseptor. Efektivitasnya sangat mirip dengan
zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior
berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena
masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan
Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.

3. Miscellaneous sleep promoting agent


Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur dan
mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini masih belum mempunyai
dibuktikan secara signifikan.
Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara alami
diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui penyelidikan, sekresi
melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai menurun saat bangun tidur. Ada
penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini juga terkait intesnsitas cahaya, dimana
produksinya meningkat saat hari mulai gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus
tidur manusia. Melatonin menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur pada
suprakiasmatik pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian
melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Farmakokinetik dari melatonin belum
dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada dosis, penyerapan oleh tubuh, waktu
adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum ada penelitian tentang efek samping melatonin,
namun dinyatakan pada beberapa penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas
dan ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose (300mg/hari), dapat
menyebabkan menghambat fungsi ovary. Oleh itu hindari pemberian melatonin pada perempuan
hamil dan yang sedang dalam proses menyusui.
Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. dephenydramine citrate,
diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga derivate yang telah
mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini adalah pusing, lemas dan mengantuk
di siang hari ditemukan hampir pada 10-25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari
obat ini dalam penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena penelitian
keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum menemukan bukti yang kuat.
Alkohol sering digunakan oleh orang awam dalam menghadapi kesulitan tidur. Data
terkumpul menyatakan 13.3% penderita dari usia 18-45 tahun mengkonsumsi alkohol untuk
mengatasi gangguan tidur, namun ini tidak mempunyai bukti yang nyata. Alkohol mempunyai
efek yang bervariasi terhadap siklus tidur. Alkohol diduga dapat menyebabkan tidur yang
terganggu diengah-tengah siklus tidur dan memperpendek fase REM. Selain tiu, alkohol dapat
menyebabkan ketergantungan, toleran dan penggunaan yang berlebihan.
Antidepresan dengan dosis rendah seperti trazodone, amitriptyline, doxepine, dan
mitrazapine sering digunakan pada penderita insomnia tanpa gejala depresi. Bukti efektivitas
penggunaan antidepresan pada penderita insomnia sangat tidak mencukupi. Namun, obat ini bisa
diberikan karena tidak memberikan efek samping dan harga obat ini yang sangat murah.
Kava-kava, suatu pengobatan alternative yang diesktrak dari akar pohon Polynesian,
Piper methysticum sp.Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktif yang mengeksitasi tingkat
selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat
dan efek mengantuk di siang hari yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropa karena
bersifat hepatotoksik.
Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif, tetapi mekanisme
kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini bereaksi pada reseptor GABA. Ia
mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada
penderita insomnia akut. Efek samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas zat ini belum
dapat dibuktikan secara pasti.
Aromaterapimembantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan kondusif untuk penderita.
Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun
belum ada data yang mendukung terapi menggunakan metode aromaterapi.
Non-farmakologi
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun
sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita insomnia
karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada dokter dan penderita
untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini sangat memerlukan kepatuhan
dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat yang diberikan oleh dokter. Terdapat
beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang dibahas di bawah ini :
1. Stimulus Conrol
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur dengan
tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat. Malah dalam suatu studi
menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode
ini sangat tergantung kepada kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan
metode ini, seperti :
 Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan atau tiba waktu
tidur
 Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual. Membaca, menonton TV,
membuat kerja tidak boleh dilakukan di tempat tidur
 Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk kembali jika penderita
sudah merasa ingin tidur kembali
 Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi
 Hindari tidur di siang hari
2. Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya waktu tidur
dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kualitas tidur
penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan, berada di tempat tidur terlalu lama bisa
menyebabkan kualitas tidur terganggu dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu
yang lebih pendek untuk diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah
untuk memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep restriction
seperti di bawah :
 Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui catatan waktu
dan jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya 2 minggu
 Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur
 Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus (jumlah jam
tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100)
 Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya kurangi 15-20
menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika efisiensi tidur 80-90%
 Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang dilakukan
 Jangan tidur kurang dari 5 jam
 Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam
 Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur kurang dari 75%
3. Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan lingkungan
penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu sendiri. Sleep hygiene yang
tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer. Pada suatu studi mendapatkan, seseorang
dengan kualitas buruk biasanya mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain
menyatakan, seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana yang
lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan membawa masalah-
masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga
mengganggu tidur mereka. Terdapat beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita
untuk menerapkan sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :
 Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur
 Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang
terlalu dingin atau panas
 Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
 Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita Hindarimakanan dalam
jumlah yang banyak sebelum tidur
 Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di tempat tidur
 Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan aktivitas yang berat
sebelum tidur
4. Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah pola pikir,
pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia. Kebanyakan penderita
mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang berlebihan terhadap kondisi mereka
yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu, mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan
untuk mengganti jumlah tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah
memperburuk status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy
dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan, metode ini sangat
bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan mempunyai efektifitas yang sama dengan
pengobatan dengan medikamentosa.[26]

KOMPLIKASI
Gangguan tidur yang tidak diobati dapat menyebabkan perkembangan berbagai
komplikasi serius. Gangguan mood dan kecemasan bisa berkembang. Kurang tidur dapat
menyebabkan pembentukan memori palsu dan penurunan fungsi kognitif. Pasien dengan
gangguan gerakan tungkai periodik saat tidur memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecelakaan
serebrovaskular.. Apnea tidur obstruktif, selain kurang tidur, dapat merusak otak, dan
memengaruhi sistem kardiovaskular. Apnea tidur obstruktif juga dapat mengurangi ketebalan
lapisan serat saraf retinal.[25]

PROGNOSIS

Tidur yang tidak cukup dapat menyebabkan kecelakaan industri atau kendaraan bermotor,
penurunan performa kerja, dan disfungsi kognitif. Prognosis gangguan tidur sangat bergantung
pada penyebab gangguan tidur tersebut. Insomnia akibat OSA umumnya sembuh dengan
pengobatan, sedangkan penderita insomnia kronis mengalami peningkatan risiko depresi,
kecemasan, dan penurunan kualitas hidup.[25]
.

PENCEGAHAN

Semua pasien harus dididik dengan baik dan didorong untuk mempraktikkan kebersihan
tidur yang baik. "Sleep hygiene" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan
tidur yang baik.
Nasihat berikut harus diberikan kepada pasien untuk mempraktikkan kebersihan tidur
yang baik:
• Pertahankan jadwal yang teratur yaitu pergi tidur dan bangun pada waktu yang samasetiap hari
• Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan seks. Hindari menonton televisi, melihat ponsel
atau membaca di tempat tidur senam hampir setiap hari, tetapi tidak tepat sebelum waktu tidur
• Hindari kafein atau merokok terutama pada malam hari. Pertahankan lingkungan gelap,sejuk,
dan tenang di kamar tidur
• Hindari berjuang untuk tertidur di tempat tidur. Jika Anda tidak bisa tidur, bangun dan
coba lagi nanti atau ganti tempat tidur
Juga, jika pasien memakai obat penenang-hipnotik, itu harus didokumentasikan dengan jelas
dalam rekam medis. Pasien harus dinasihati untuk menghindari mengemudi dan mengoperasikan
mesin saat sedang menggunakan penenng-hipnotik.[25].
 Gangguan axietas menyeluruh

DEFINISI
Gangguan cemas menyeluruh merupakan kondisi gangguan yang ditandai oleh
kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik
terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. [27]

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan cemas menyeluruh dalam satu tahun diperkirakan 3-8%. Studi
lainnya National Comorbidity Study melaporkan 1 dari 4 orang memenuhi setidaknya salah satu
kriteria gangguan cemas. Studi ini juga melaporkan prevalensi gangguan cemas cukup tinggi
yakni 17,7%

Prevalensi : 3% - 8% dari populasi umum, 50% penderita GAM juga


mempunyaigangguan mental lain. Onset antara usia 20-30 tahun, ratio laki-laki :perempuan =
2 :1. Kebanyakan pasien GAM pergi berobat pada dokter umum, internist, cardiologist,
pulmonolog, gastro-entrologist oleh karena gejala somatiknya Komorbiditas gangguan anxietas
menyeluruh 90% memiliki setidaknya satu kali seumur hidup mengalami gangguan ini, 66%
memiliki gangguan saat Axis I lainnya.[27]

ETIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang mengungkapkan kemungkinan etiologi terjadinya gangguan cemas
menyeluruh, yakni:

 Teori Biologi

Lobus oksipitalis pada otak dihipotesiskan berkaitan dengan kejadian gangguan cemas
menyeluruh. Area ini memiliki reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Selain itu, dihipotesiskan
juga terdapat keterlibatan bagian lain di otak yakni basal ganglia, sistem limbik dan korteks
frontal. Pada pemeriksaan PET ditemukan bahwa pada penderita gangguan cemas menyeluruh
terdapat penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
Selain keterlibatan bagian-bagian tertentu di otak, pada pasien gangguan cemas
menyeluruh juga ditemukan perubahan pada neurotransmitter. Pada penderita gangguan cemas
menyeluruh ditemukan abnormalitas serotonin. Selain itu, beberapa neurotransmitter yang
berkaitan dengan kejadian gangguan cemas menyeluruh adalah GABA, norepinefrin, glutamat,
dan kolesistokinin.

 Teori Genetik

Pada penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien gangguan cemas
menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada perempuan. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama penderita gangguan cemas menyeluruh juga menderita gangguan yang sama. Penelitian
pada pasien kembar mendapatkan bahwa pasien gangguan cemas menyeluruh yang terlahir
kembar monozigotik kemungkinan kembarannya menderita gangguan cemas menyeluruh adalah
50% sedangkan pada kembar dizigotik hanya 15%

 Teori Psikoanalitik

Teori psikoanalisis menyatakan bahwa kecemasan muncul sebagai akibat dari konflik
pikiran bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkatan paling primitif, kecemasan
dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkatan yang lebih matang,
kecemasan dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Kecemasan kastrasi
berhubungan dengan fase oedipal sedangkan kecemasan superego merupakan perwujudan
ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri. Bentuk kecemasan ini
adalah kecemasan yang paling matang.

 Teori Kognitif-Perilaku

Menurut teori kognitif perilaku gangguan cemas menyeluruh muncul akibat respons
penderita yang salah dan tidak tepat terhadap ancaman yang muncul akibat perhatian yang
berfokus pada hal-hal yang negatif pada lingkungan. Selain itu, gangguan cemas menyeluruh juga
muncul akibat distorsi pada pemrosesan informasi serta pandangan yang negatif pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi ancaman.

PATOFISIOLOGI

Sistem saraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul akibat adanya
rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Kemudian
rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem syaraf pusat
melibatkan jalur cortex cerebri – limbic system – reticular activating system – hypothalamus yang
memberikan impuls kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap
target organ yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memicu pelepasan neurotransmitter untuk
merangsang syaraf otonom. Neurotransmitter adalah faktor biologik yang berperan terhadap
gangguan kecemasan. Terdapat tiga neurotransmitter utama yang berperan pada gangguan
kecemasan yaitu, norepinefrin, serotonin, dan gamma amino butiric acid atau GABA.
Selanjutnya, hormone/neurotransmitter tersebut berinteraksi dengan otak dan tubuh dalam
berbagai mekanisme yang kompleks sehingga dapat terjadi gangguan kecemasan.

Teori umum mengenai peran norepinefrin dalam gangguan ansietas adalah bahwa pasien
yang mengalami ansietas dapat memiliki sistem adrenergik yang diatur dengan buruk dengan
ledakan aktivitas yang kadang-kadang terjadi. Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak
pada locus ceruleus di pons pars rostralis dan badan sel ini menjulurkan aksonnya ke korteks
serebri, sistem limbik, batang otak, serta medula spinalis. Stimulus pada locus cereleus akan
memberikan respon takut.

Identifikasi banyak jenis reseptor serotonin memicu pencarian peran serotonin dalam
patogenesis gangguan ansietas. Jalur serotonergik yang timbul dari badan sel sebagian besar
neuron serotonergik yang terletak di raphe nuclei di batang otak pars rostralis dan menyalurkan
impuls ke korteks serebri, sistem limbik (khususnya amigdala dan hipokampus), serta
hipotalamus. Walaupun pernberian agen serotonergik pada hewan menimbulkan perilaku yang
mengesankan ansietas, data mengenai efek serupa pada manusia kurang kuat. Seseorang yang
mengalami gangguan kecemasan menunjukkan adanya masalah pada reseptor serotonin tertentu
yaitu 5HT-1A, dapat di bedakan pada penderita dengan hipersekresi kortisol yang akan
menunjukkan gambaran gejala berupa stress berat.

GABA adalah neurotransmiter inhibitor penting dalam sistem saraf pusat dan mengatur
banyak rangsangan di daerah otak. Peran GABA dalam gangguan ansietas paling kuat didukung
oleh efektivitas benzodiazepin yang tidak meragukan, yang meningkatkan aktivitas GABA di
reseptor GABAo, di dalam terapi beberapa jenis gangguan ansietas. GABA juga dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan dengan memediasi pelepasan neurotransmitter lain seperti
cholecystokinin dan menekan aktivitas saraf pada sistem serotonergik dan noradrenergik.
Neurotransmitter lain yang diduga terlibat dalam gangguan anxietas termasuk dopamine,
glutamine dan neurokinin. Meskipun kemungkinan patofisiologi yang berbeda mendasari
berbagai gangguan anxietas, secara luas diyakini bahwa GABA merupakan salah satu sistem yang
terlibat secara integral pada gangguan anxietas.[2]

FAKTOR RISIKO

Timbulnya gangguan kecemasan umum murni sering dikaitkan dengan stres yang timbul
dari kehilangan emosional dan situasi berbahaya. Termasuk kehilangan kerabat dekat atau
perpisahan jangka panjang dari pasangan. Kesulitan masa kanak-kanak memiliki hubungan
32,4% dengan gangguan kecemasan.

 Umur

Meningkatnya prevalensi seiring bertambahnya usia, memuncak pada usia paruh


baya. Timbulnya gejala setelah usia 35 tahun menunjukkan gangguan kecemasan umum.
Onset jarang terjadi sebelum masa remaja; prevalensi pada populasi remaja adalah 0,9%
di Amerika Serikat. Prevalensi di antara orang dewasa (2,9% di Amerika Serikat) adalah
3 kali lebih besar dari pada remaja.

 Jenis kelamin

Dua kali lebih umum pada wanita seperti pada pria.

 Genetik

Studi genetik telah menghasilkan data yang solid bahwa sedikitnya beberapa
komponen genetik turut berperan dalam timbulnya gangguan ansietas. Studi kembar telah
menunjukkan bahwa ada risiko genetik moderat gangguan kecemasan umum,
diperkirakan antara 15% dan 20%, tetapi mungkin setinggi sepertiga.

 Etnis/ras

Populasi kulit putih lebih mungkin terkena dibandingkan dengan etnis Afrika, Asia, atau
Hispanik

Faktor/asosiasi risiko lain

– Pengobatan sendiri

Kemungkinan berkontribusi pada peningkatan penggunaan alkohol dan obat-


obatan lain pada pasien dengan gangguan kecemasan umum. Penggunaan alkohol dan
obat-obatan lain untuk mengobati gejala gangguan kecemasan umum diperkirakan ada
pada: 35% pasien dengan gangguan ini

 Gangguan kecemasan yang menyertai


Fobia sosial adalah yang paling umum (16% -59%), diikuti oleh fobia jenis lain
(misalnya, tempat, situasi,

atau benda; 16% -46%)

 Individu dari negara maju


Lebih mungkin mengalami gangguan kecemasan umum. Penghambatan perilaku
dan neurotisisme dikaitkan dengan gangguan kecemasan umum. [28].

KLASIFIKASI

Secara umum kecemasan dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu psikologis dan fisiologis.

a. Tingkat Psikologis
Di tingkat ini kecemasan dapat berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang,
bingung, khawatir, susah berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan lain-lain. Ada dua
komponen pada tingkatan ini yaitu komponen emosional dan komponen kognitif. Dalam
komponen emosional, individu mengalami perasaan takut yang intens dan disadari. Sedangkan
dalam komponen kognitif, peningkatan rasa takut akan mengacaukan kemampuan individu
untuk berpikir jernih.
b. Tingkat Fisiologis

Pada tingkatan ini, kecemasan sudah mempengaruhi atau terwujud sebagai gejala-gejala
fisik, terutama di fungsi sistem saraf seperti tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar,
perut mual, dan lain- lain. Pada kondisi ini tubuh merespons ketakutan dengan memobilisasi
diri untuk bertindak, baik dikehendaki ataupun tidak. Respon ini merupakan hasil kerja sistem
saraf otonom yang mengendalikan sebagai otot dan kelenjar tubuh. Respon fisiologis bisa
berwujud detak jantung meningkat, irama napas lebih cepat, pupil mata melebar, proses
pencernaan terhenti, kelenjar adrenalin meningkat, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini bisa
menyebabkan seseorang menjadi tegang dan siap melakukan tindakan menyerang atau
melarikan diri dari situasi yang ada.
Menurut carpenito (dalam Aizid, 2015), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan
yaitu:

1. Kecemasan ringan

Kecemasan yang berhubugan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari


sehingga menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan persepsi. Tanda
dan gejala dari kecemasan ringan ini antara lain persepsi serta perhatian meningkat,
waspada, mampu mengatasi situasi bermasalah
dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu, saat ini dan yang akan datang.

2. Kecemasan sedang

Kecemasan ini memungkinkan seseorang memusatkan pikiran terhadap hal yang


nyata dan mengesampingkan yang lain sehingga mengetahui perhatian yang sedikit
tetapi dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah. Tanda dan gejala kecemasan sedang
yaitu persepsi agak menyempit secara selektif, tidak perhatian tetapi dapat
mengarahkan perhatian.

3. Kecemasan berat

Pada tingkat ini penderita cenderung memusatkan terhadap sesuatu yang terperinci
dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan
untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan pengarahan agar dapat
memusatkan terhadap masalah lain. Tanda dan gejala kecemasan berat yaitu
persepsinya sangat kurang, berfokus terhadap hal yang detail, tidak dapat
berkomunikasi lebih, sangat mudah mengalihkan perhatian dan tidak mampu
berkonsentrasi.
4. Panik

Kecemasan ini berhubungan dengan adanya pengaruh ketakutan dan teror. Tanda dan
gejala tingkat pani yaitu peningkatan aktivitas motori, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain dan persepsi yang menyimpang.

DIAGNOSIS

Kriteria Diagnostik Gangguan Cemas Menyeluruh menurut DSM IV-TR

A. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari, sepanjang hari,
terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan
atau aktivitas sekolah)

B. Penderitamerasa sulit mengendalikan kekhawatirannya

C. Kecemasan dan kekkhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini (dengan
sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan
terakhir). Catatan: hanya satu nomor yang diperlukan pada anak

1. Kegelisahan

2. Merasa mudah lelah.

3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong

4. Iritabilitas

5. Ketegangan otot

6. Gangguan tidur (sulit tertidur. atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan tidak memuaskan)

D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis 1, misalnya,
kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita. suatu serangan panik (seperti pada
gangguan panik), merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi
(seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara dekat
(seperi gangguan cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti pada anoreksia nervosa),
menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau menderita penyakit
serius (seperti pada hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata
selama gangguan stres pasca trauma.

E. Kesemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.

F. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak
terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan per
kembangan pervasive.[1]
PENATALAKSANAAN

a. Farmakoterapi

Benzodiazepin

Merupakan pilihan obat pertama. Jenis obat-obat golongan Benzodiazepine ini adalah
Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat,
Alprazolam atau Prazepam. Pemberian benzodazepin dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah
dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-
rata adalah 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu.

Buspiron efektif pada 60-80% pen derita GAD. Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki
gejala kognitif dibanding gejala somatik pada GAD. Tidak menyebabkan withdrawl. Keku
rangannya adalah efek klinisnya baru. terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita
GAD yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respons yang baik dengan
buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin dengan buspiron kemudian
dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi buspiron sudah mencapai
maksimal.

SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor)

Sertraline dan paroxetin merupakan pili han yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian
fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI sefektif terutama pada pasien GAD dengan
riwayat depresi.

b. Psikoterapi Terapi kognitif-perilaku.

Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi kog nitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan
pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.

Terapi Suportif

Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum
tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.

Psikoterapi Berorientasi Tilikan

Terapi ini mengajak pasien untuk men capai penyingkapan konflik bawah sadar, menilik
egostrength, relasi obyek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen
tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk
menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.[1]

KOMPLIKASI

 Gangguan Panik
 Gangguan Obsesif Kompulsif

 Gangguan Stress pasca trauma

 Gangguan Depresi Berat[1]

PROGNOSIS

Gangguan cemas merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung seumur hidup.
Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan
depresi mayor.[1]

PENCEGAHAN

 Pencegahan Primer

1. Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial oleh individu

Sikap mental menghadapi situasi ini dapat berupa:

• Sikap Reaktif

Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap keadaan yang
terjadi dan menyebabkan kecemasan dan kepanikan. Contoh perilakunya adalah: memborong bahan
makanan, masker, hands-sanitizer, vitamin dll. Sikap reaktif ini dapat dikendalikan dengan cara
mencari berbagai info atau masukan dari banyak orang sebelum mengambil keputusan.

• Sikap Responsif

Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yang harus
dilakukan dan memberikan respons yang tepat dan wajar. Sikap responsif dapat dikembangkan agar
tidak terjadi masalah kesehatan jiwa dan psikososial.

2. Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial dalam keluarga

Kegiatan keluarga yang konstruktif semakin menguatkan ikatan emosional dan keluarga
semakin harmonis. Keluarga dapat merencanakan kegiatan 5B: belajar, beribadah, bermain, bercakap-
cakap dan berkreasi bersama.

3. Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial di sekolah dan tempat kerja

Proses pembelajaran yang dilakukan secara daring dapat menimbulkan kebosanan/ kejenuhan,
sehingga mengakibatkan meningkatnya stress pada anak didik. Sekolah dan kampus dapat
mengorganisasikan proses pembelajaran yang menarik dan komunikatif seperti voice note atau video
mengajar, pertemuan lewat daring yang santai dan fleksibel, serta dapat menggunakan surel dan
media sosial.

Di tempat kerja, dibuat jadwal bekerja yang fleksibel, sehingga membuat lebih nyaman dalam bekerja
untuk mencegah penurunan imunitas karyawannya. Pimpinan harus memiliki protokol standar
kesehatan dan keselamatan dalam bekerja.[29]

 Pencegahan Sekunder

Psikoterapi yang terpilih untuk gangguan ini adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi,
terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam
memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon
emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.

Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan
cara mengganti semua pikiran-pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak
menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif. Terapi
relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan
mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi.[30]
Daftar pustaka
[1] S. Elvira and H. Gitayanti, Buku Ajar Psikiatri Edisi 3.
[2] B. J. sadock and V. A. Sadock, Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis . Jakarta, 2010.
[3] A. R. Arifin, R. Dan, and E. Burhan, “Fisiologi Tidur dan Pernapasan.”
[4] “Jurnal Universitas Diponegoro,” 2018.
[5] “Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.”
[6] R. Muslim, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5.
Depok.
[7] S. A. Prince, Buku Ajar Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC, 2012.
[8] Dr ISKANDAR JAPARDI, “Gangguan Tidur,” Fakultas Kedokteran Bagian Bedah, Universitas
Sumatera Utara, vol. 47, no. 2, pp. 224–240, 2002.
[9] S. Y. Trisnawati, “Neurofisiologi Sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System),” pp. 1–27,
2015.
[10] “Indonesian Jurnal of Health Development,” vol. 2, Feb. 2020.
[11] N. Amir, “Aspek Nerobiologi Molekuler Depresi. JIWA,” XXXVII, 2004.
[12] “Jurnal Kedokteran Universitas Airlangga,” ISSN-2620-5890, vol. 06, Jun. 2021.
[13] “Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,” 2017.
[14] “Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro”.
[15] “Program Pendidikan Dokter Spesialis ,” 2018.
[16] Sp. S. dr. Sri Budi Rinawati and Sp. S. dr. Badrul Munir, Buku A jar Neurologi. Jakarta, 2017.
[17] M. Kryger and T. Roth, Principles and Practice of Sleep Medicine, Sixth. Philadelphia: PA.
[18] S. Praharaj and R. dan G. N. Gupta, “Clinical Practice Guideline on Management of Sleep Disorders
in the Elderly,” pp. 83–96, 2018.
[19] WHO, “The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders ,” 2007.
[20] J. Levenson and D. and B. D. Kay, “The Pathophysiology of Insomnia,” pp. 79–92, 2015.
[21] “Jurnal Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang”.
[22] M. Summers and MD et al, Recent Develompment in the Classification, Evaluation, and Treatment of
Insomnia . 2011.
[23] E. Mai and M.D et al, “Insomnia : Prevelance, Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis, and
Evaluation,” no 4, vol. VII, pp. 491–498, 2009.
[24] Dieter. , et al Rieman, “European Guideline for the Diagnosis and Treatment of Insomnia ,” vol. 26,
no. 6 pp. 657–700, May 2017.
[25] I. Maulana, “Sleep Disorder ,” 2017.
[26] M. Ghadaffi, “Tatalaksanan Insomnia dengan Farmakologi atau Non-farmakologi ”.
[27] P. Redayanti, Buku Ajar Psikiatri , 2nd ed. Jakarta , 2014.
[28] J.M. Gorman, “Generalized anxiety disorder,” vol. 3, no. no.3, pp, pp. 37–43, 2016.
[29] S. Utami and dkk Diah, “Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Pandemi,” 2020.
[30] O. Diferiansyah, “Gangguan Ceman Menyeluruh ,” vol. 5, 2016.
 

Anda mungkin juga menyukai