“SUSAH TIDUR”
DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4:
BLOK NEUROSPIKIATRI
UNIVERSITAS KHAIRUN
2022
skenario
Seorang perempuan berusia 42 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sulit tidur sejak 3
minggu yang lalu. Keluhan disertai dengan jantung berdebar-debar dan berkeringat dingin. Pasien
tinggal sendiri 1 bulan yang lalu karena suami bertugas di luar kota. Akhir-akhir ini pasien mulai
merasa Lelah.
Kalimat Kunci :
Kata Sulit :-
Pertanyaan :
4. Bagaimana patomekanisme dari sulit tidur dan hubungannya dengan keluhan lainnya ?
Depresi
Insomnia
Gangguan axietas menyeluruh
Jawaban pertanyaan :
1. Apa definisi dari tidur ?
Tidur merupakan kondisi tidak sadar dimana individu dibangunkan oleh stimulus atau
sensori yang sesuai, atau bias diartikan sebagai kondisi tidak sadar relative. Bukan hanya kondisi
tapi merupakan suatu urutan siklus berulang. Siklus tidur yang kurang dari standart jam tidur,
maka fungsi fisiologis dari anggota tubuh yang lain juga terganggu.[1]
Fisiologi Tidur
Tidur terdiri atas dua keadaan fisiologis: nonrapid eye nxovement (NREM) dan rapid eye
nxovement (REM). Pada tidur NREM, yang terdiri atas tahap 1 sampai 4. sebagian besar fungsi
fisiologis sangat berkurang dibandingkan dengan keadaan terjaga. REM merupakan jenis tidur
yang secara kualitatif berbeda, ditandai dengan tingginya tingkat aktivitas otak dan tingkat
aktivitas fisiologis yang menyerupai tingkat aktivitas saat terjaga. Kira-kira 90 menit setelah
awitan tidur, NREM menghasilkan episode REM pertama malam tersebut. Latensi REM 90 menit
ini merupakan temuan yang konsisten pada orang dewasa normal.
Pada orang normal, tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan saat terjaga.
Denyut jantung secara khas melambat lima hingga sepuluh denyut per menit di bawah tingkat
saat terjaga sedang istirahat dan sangat teratur denyutnya. Pernapasan juga dipengaruhi dan
tekanan darah cenderung rendah, dengan beberapa variasi dari menit ke menit. Potensial otot
istirahat pada otot-otot tubuh lebih rendah pada tidur REM daripada keadaan terjaga. Gerakan
tubuh episodik dan involuntar terdapat pada tidur NREM. Meskipun ada, terdapat sedikit REM
dan jarang ada ereksi penis pada laki-laki. Aliran darah melalui sebagian besar jaringan, termasuk
aliran darah otak, sedikit berkurang.
Ukuran poligrafik selama tidur REM menunjukkan pola yang tidak teratur, kadang-
kadang rnendekati pola terjaga ketika dibangunkan. Karena penganratan ini, tidur REMjuga
dinarnakan tidur paradoksal. Denyut jantung, penlapasalr. dan tekanan darah pada tlanusia
sernrran) a tinggi saat tidur REM-lebih tinggi danpada selanra tidur NREM dan sering lebih
tinggi daripada saat bangnn. Variabilitasnya dari urenit ke menit bahkan lebih mencolok
dibandingltan kadar atau frekuensinya. Penggunaan oksigen otak meningkat selanra tidur RliM.
Respons ventilasi untuk meningkatkan kadar karbon dioksida (COr) berkLrrang selama tidur
REM, sehingga tidak terdapat pellingkatan volume tidal ketika tekanan parsial karbondioksida
meningkat. Mungkin ciri tidur REM yang paling khas adalah mimpi. Orang yang terbarrgun saat
tidur REM sering (60 hingga 90 persen) melaporkan bahwa mereka mengalami mimpi. Mimpi
selama tidur REM secara khas abstrak dan aneh. Mimpi dapat terjadi selama tidur NREM tetapi
khasnya jelas dan bertujuan.
1. Tahapan terjaga
Fase ini disebut juga fase nol yang ditandai dengan subjek dalam keadaan tenang
mata tertutup dengan karakteristik gelombang alfa (8–12,5 Hz) mendominasi seluruh
rekaman, tonus otot yang tinggi dan beberapa gerakan mata. Keadaan ini biasanya
berlangsung antara lima sampai sepuluh menit.
2. Fase 1
Fase ini merupakan fase perpindahan dari fase jaga ke fase tidur disebut juga
twilight sensation. Fase ini ditandai dengan berkurangnya gelombang alfa dan munculnya
gelombang teta (4-7 Hz), atau disebut juga gelombang low voltage mix frequencies
(LVM). Pada EOG tidak tampak kedip mata atau REM, tetapi lebih banyak gerakan
rolling (R) yang lambat dan terjadi penurunan potensial EMG. Pada orang normal fase 1
ini tidak berlangsung lama yaitu antara lima sampai sepuluh menit kemudian memasuki
fase berikutnya.
3. Fase 2
Pada fase ini, tampak kompleks K pada gelombang EEG, sleep spindle (S) atau
gelombang delta (maksimum 20%). Elektrokulogram sama sekali tidak terdapat REM
atau R dan kedip mata. EMG potensialnya lebih rendah dari fase 1. Fase 2 ini berjalan
relatif lebih lama dari fase 1 yaitu antara 20 sampai 40 menit dan bervariasi pada tiap
individu.
4. Fase 3
Pada fase ini gelombang delta menjadi lebih banyak (maksimum 50%) dan
gambaran lain masih seperti pada fase 2. Fase ini lebih lama pada dewasa tua, tetapi lebih
singkat pada dewasa muda. Pada dewasa muda setelah 5 – 10 menit fase 3 akan diikuti
fase 4.
5. Fase 4
Pada fase ini gelombang EEG didominasi oleh gelombang delta (gelombang
delta 50%) sedangkan gambaran lain masih seperti fase 2. Pada fase 4 ini berlangsung
cukup lama yaitu hampir 30 menit.
6. Fase REM .
Gambaran EEG tidak lagi didominasi oleh delta tetapi oleh LVM seperti fase 1,
sedangkan pada EOG didapat gerakan mata (EM) dan gambaran EMG tetap sama seperti
pada fase 3. Fase ini sering dinamakan fase REM yang 6 biasanya berlangsung 10 –15
menit.[2], [3]
Tahap tidur
NREM/tidur REM/tidur
biasa paradoksal/tidur
nyenyak
Definisi Gangguan
Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya
gangguan dalam jumlah, kualitas, atau waktu tidur pada seorang individu. Kuantitas tidur
inadekuat adalah durasi tidur yang inadekuat berdasarkan kebutuhan tidur sesuai usia akibat
kesulitan memulai (awitan tidur yang terlambat) dan/atau mempertahankan tidur (periode panjang
terjaga di malam hari). Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat
periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.[4], [5]
Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut PPDGJ III, gangguan tidur secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu
dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor emosional. Termasuk
dalam golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur.
Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama masa tidur. Termasuk
dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan mimpi buruk. Penggolongan gangguan
tidur lain berdasarkan PPDGJ III adalah gangguan tidur organic
Menurut DSM IV-TR, gangguan tidur dibagi menjadi insomnia primer, hipersomnia
primer, narkolepsi, gangguan tidur yang berhubungan dengan pemapasan, gangguan tidur irama
sirkadian, gangguan mimpi buruk, gangguan teror tidur, gangguan tidur berjalan, gangguan tidur
terkait kondisi medis, dan gangguan tidur yang diinduksi zat. Sedangkan, Nelson et al membuat
klasifikasi gangguan tidur spesifik pada anak dan remaja, karena pola gangguan tidur pada anak
berbeda dengan pola gangguan tidur pada dewasa. Pola tidur mengalami perubahan yang
progresif seiring bertambahnya usia; dari masa bayi, anak, hingga remaja; kearah pola tidur
dewasa, yaitu durasi tidur yang berkurang, siklus tidur yang lebih panjang, dan berkurangnya
waktu tidur siang. [1], [4], [6]
Sumber:
Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending Reticulary
Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan tidur. Aktifitas
ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan terjaga. Aktifitas ARAS ini sangat
dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, adrenergik, kholonergik,
histaminergik dan system hormon.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah tryptopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga meningkat
akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan terhambat
pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga. Jaras serotonin yang berasal dari
nuklei rafe batang otak akan menghambat perangsangan RAS dan mempercepat tidur REM
maupun non-REM. Kerusakan nuklei ini akan menimbulkan sulit tidur.
• Sistem Adrenergik
• Sistem Kholinergik
• Sistem histaminergik
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti ACTH,
GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur oleh kelenjar
pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini secara teratur mempengaruhi
pengeluaran neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin yang bertugas menagtur
mekanisme tidur dan bangun.
Gangguan tidur memiliki dampak yang tidak baik untuk seseorang karena akan
mempengaruhi aktivitas di siang hari akibat dari stamina yang menurun. Apabila seseorang
mengalami gangguan dalam tidur secara terus menerus serta kualitas tidur yang buruk juga
tentunya akan memperlihatkan perasaan lelah. Perasaan lelah dapat ditunjukkan dengan seseorang
yang mudah gelisah, lesu dan apatis, tidak bersemangat dalam menjalankan aktivitas, dan sering
menguap atau mengantuk.
EPIDEMIOLOGI
Kejadian depresi tertinggi berada di wilayah Asia Tenggara sebanyak 86,94 (27%) dari
322 miliar individu. Indonesia sendiri berada di urutan ke lima dengan angka kejadian depresi
sebesar (3,7%) menurut WHO (2017). Di Indonesia sendiri angka kejadian depresi pada umur ≥
15 tahun berdasarkan hasil RISKESDA 2018, menunjukkan bahwa (6,1%) yang mengalami
depresi, dengan kejadian lebih tinggi terjadi di provinsi Sulawesi Tengah sebesar (12,3%)
(Kemenkes RI, 2018).[10]
ETIOLOGI
Etiologi depresi adalah terjadinya gangguan actornsmitter serotonin yang berfungsi
sebagai pengontrol afek, agresivitas, tidur, dan nafsu makan. Teori lain yaitu terganggunya
regulasi actor kortisol yang berfungsi dalam mengatur tidur, nafsu makan, fungsi ginjal, actor
imun, dan semua actor penting dalam kehidupan.[11]
KLASIFIKASI
Gangguan mood pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu gangguan unipolar dan
gangguan bipolar. Pasien diklasifikasikan sebagai gangguan unipolar dan gangguan bipolar.
Gangguan unipolar atau gangguan depresi adalah gangguan fungsional kesehatan mental yang
berhubungan dengan beban penyakit yang berat sehingga berdampak pada pasien, keluarga,
komunitas dan juga ekonomi (Weise, 2011; Gellis & McCracken, 2010). Gangguan bipolar
merupakan gangguan mood dimana pasien memiliki baik periode gangguan depresi maupun
gangguan manik (Aziz et al., 2006).[12]
PATOMEKANIME
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter aminergik.
Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi impuls dapat terganggu
apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter di celah sinaps atau adanya gangguan
sensitivitas pada reseptor neurotransmiter tersebut di post sinaps sistem saraf pusat. Pada depresi
telah di identifikasi 2 sub tipe reseptor utama serotonin yaitu reseptor 5HTIA dan 5HT2A. Kedua
reseptor inilah yang terlibat dalam mekanisme biokimiawi depresi dan memberikan respon pada
semua golongan anti depresan. Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat
pula sejumlah neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif satu atau
beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama pada sistem limbik.
Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan sebagai berikut :
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang menyebutkan
bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas neurotransmisi serotogenik yang
berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang
berlebih ini mengakibatkan gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena
dijumpai gangguan pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini
dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin Re-uptake
Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan menghambat. Dengan
demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat dan sistem neurotransmisi menjadi
lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki gejala-gejala depresi. Mekanisme biokimiawi yang
sudah diketahui tersebut menjadi dasar penggunaan dan pengembangan obat-obat anti depresan.
[13]
FAKTOR RISIKO
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Depresi
Banyak hal yang bisa menjadi faktor risiko timbulnya depresi, yaitu :
1) Usia
Rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah kira-kira 40 tahun; dan 50% dari pasien
memiliki onset anatara usia 20-50 tahun.
2) Jenis kelamin
Pada pengamatan yang hampir uiversal, terlepas dari kultur atau negara, terdapat prevalensi
gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar pada wanita dibandingkan laki-laki. Hal ini
mungkin disebabkan oleh rendahnya kesehatan maternal.
3) Pendidikan
Terdapat hubungan yang signifikan pendidikan dengan depresi pada usia dewasa-tua. Tingkat
pendidikan berkaitan dengan kesehatan fisik yang baik. Penelitian di Inggris menyebutkan bahwa
lansia yang hanya menamatkan pendidikan dasar mempunyai risiko terhadap depresi 2,2 kali
lebih besar.
4) Status pernikahan
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang tercerai atau berpisah.[14]
MANIFESTASI KLINIS
Depresi tidak menetap : Gejala merasa sedih, patah semangat, kecewa, menangis,
dan merasa lelah serta tak peduli
Depresi ringan : Gejalanya bertambah menjadi menolak perasaan, marah, cemas,
merasa bersalah, putus asa, tidak berdaya, regresi, agitasi, menarik diri,
menyalahkan diri atau orang lain, mengalami gangguan tidur, dan makan
Depresi sedang : Merasa pesimis, harga diri rendah, perilaku menyakiti diri, tidak
mampu merawat diri, sulit berkonsentrasi dan nyeri abdominal
Depresi berat : Gejalanya bertambah dengan merasa putus asa total, tidak berguna,
afek datar, pergerakan tidak terarah, bingung, gangguan isi pikir, halusinasi, dan
berpikir untuk bunuh diri. [15]
DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis gangguan depresi berat
A. Pasien mengalami mood terdepresi (sebagai contoh., sedih atau pera saan kosong) atau
kehilangan minat atau kesenangan sepanjang waktu selama 2 minggu atau lebih ditambah 4 atau
lebih gejala-gejala berikut ini.
Tidur. Insomnia atau somnia hampir setiap hari hiper Minat Menurunnya minat atau kesenangan
hampir pada semua kegiatan hampir sepanjang waktu
Rasa bersalah. Perasaan ber salah yang berlebihan atau tidak sesuai atau rasa tidak berharga
hampir sepanjang waktu
Energi. Kehilangan energi atau letih hampir sepanjang waktu Konsentrasi. Menurunnya ke
mampuan untuk berpikir atau konsentrasi; sulit membuat keputusan hampir sepanjang waktu
Selera makan. Dapat menurun atau meningkat
Psikomotor. Dalampengamatan ditemukan agitasi / retardasi Bunuh diri. Timbul pikiran
berulang tentang mati / ingin bunuh diri
B. Gejalanya tidak memenuhi un tuk kriteria episode campuran (episode depresi berat dan
episode manik)
C. Gejalanya menimbulkan penderitaan atau hendaya sosial, pekerjaan atau fungsi penting
lainnya yang bermakna secara klinik.
D. Gejalanya bukanlah merupakan efek fisiologi langsung dari zat
(sebagai contoh: penyalahgunaan obat, atau medikasi) atau suatu kondisi medik umum (sebagai
contoh: hypotroidisme)
E. Gejalanya tidak lebih baik dibandingkan dengan dukacita, misalnya, setelah kehilangan
seseorang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan atau ditandai hendaya fungsi yang
jelas, preokupasi rasa ketidak bahagian yang abnormal, ide bunuh diri, gejala psikotik atau
retardası psikomotor.[1]
Insomnia
DEFINISI
Insomnia adalah keadaan yang ditandai oleh adanya kesulitan tidur, mempertahankan
tidur (sering terbangun dengan kesulitan untuk kembali tidur), atau bangun lebih awal, disertai
dengan gangguan fungsi siang hari (kelelahan, lekas marah, dan kurangnya perhatian).[16]
ETIOLOGI
Penyebab insomnia meliputi gangguan tidur primer, gangguan tidur lain, gangguan irama
sirkadian tidur-bangun, penyakit medis, neurologi, psikiatri, gangguan perilaku, dan penggunaan
obat atau akibat withdrawal. Etiologi pasti gangguan tidur belum diketahui, namun diperkirakan
mencakup faktor biologis, psikologis, dan sosiodemografik.
Faktor Biologis
Pola tidur, yang mencakup durasi dan waktu tidur, diatur oleh banyak gen dan
bersifat diwariskan. Sehingga terdapat individu-individu yang secara genetik rentan
mengalami gangguan tidur.
Perubahan jam biologis, misalnya karena perubahan shift kerja atau bepergian ke
zona waktu yang berbeda, juga bisa memicu timbulnya gangguan tidur. Irama sirkadian
fisiologis juga bisa berubah seiring bertambahnya usia sebagaimana yang terjadi pada
lansia. Selain itu, paparan terhadap blue light yang berlebih dari peralatan elektronik juga
dapat mengganggu irama sirkadian dan pola tidur.
Faktor Psikologis
Gangguan tidur merupakan gejala yang umum ditemukan pada berbagai
gangguan psikiatri, misalnya gangguan afektif, gangguan cemas, gangguan makan,
penyalahgunaan zat, dan schizophrenia. Insomnia juga sering berhubungan dengan
gangguan fisik yang menimbulkan nyeri dan ketidaknyamanan. Stressor psikologis juga
bisa menjadi pemicu timbulnya gangguan tidur.
Faktor Sosiodemografik
Biasanya gangguan tidur timbul ketika seseorang sedang mengalami stressor,
misalnya masalah pekerjaan atau perkawinan. Selain itu, insomnia lebih sering ditemukan
pada jenis kelamin perempuan, pasien usia lanjut, dan status sosial ekonomi yang rendah.
[16], [17]
EPIDEMIOLOGI
Epidemiologi gangguan tidur dilaporkan cukup besar dan dapat mengenai seluruh
kelompok usia. Prevalensi gangguan tidur di dunia diperkirakan antara 5-15%. Di antara mereka
yang mengalami gangguan tidur, 31-75% berkembang menjadi masalah insomnia kronik.
Diperkirakan bahwa 40-70% lansia mengalami gangguan tidur kronik. Angka ini semakin besar
pada lansia yang mempunyai komorbiditas gangguan medis atau psikiatri. Insomnia merupakan
gangguan tidur yang paling banyak ditemukan, meliputi 20-40% kasus gangguan tidur pada
lansia dan 9-15% kasus pada populasi umum.
Penelitian oleh Nur aini et al melaporkan prevalensi gangguan tidur pada remaja di
Indonesia adalah 38% untuk remaja di daerah urban dan 37,7% di daerah suburban. Namun
penelitian ini menggunakan instrument self report dan metode cross sectional. Penelitian lanjutan
untuk mengetahui epidemiologi gangguan tidur secara nasional masih dibutuhkan. [16], [18]
KLASIFIKASI
2. Menurut durasi dan perjalanan penyakitnya, insomnia dapat dibagi 3 jenis yaitu :
Transient insomnia, → terjadi dalam beberapa hari saja (biasanya 2-3 hari), Etiologi :
seperti kecemasan terhadap ujian yang akan dihadapi, wawancara kerja, dan berangkat
liburan.
Short term insomnia → terjadi selama 2-3 minggu, Etiologi : pekerjaan penting yang
menimbulkan stress, kehilangan pekerjaan, masalah perkawinan atau keluarga,
kehilangan seseorang.
Chronic insomnia → terjadi selama 3 minggu sampai bertahun-tahun. Etiologi: depresi,
penyakit lain berupa artritis, gangguan ginjal, gagal jantung, sleep apnea, Parkinson, dan
hipertiroidisme.
3. Menurut gangguan pola bangun-tidur, terdapat 3 jenis insomnia, yaitu :
Insomnia awal (Initial insomnia /Difficulty Initiating Sleep (DIS) yaitu latensi tidur yang
panjang atau insomnia yang sulit masuk tidur.
Insomnia pemeliharaan (Sleep maintenance insomnia/Difficulty Maintaining Sleep
(DMS) yaitu insomnia dimana subjek selalu terbangun sehingga mempunyai kualitas
tidur yang sangat buruk
Insomnia akhir (Terminal insomnia / Early Morning Awakening (EMA), yaitu insomnia
dimana subjek terbangun dini hari dan sulit tidur kembali.[16], [19]
PATOFISIOLOGI
Tidur merupakan suatu ritme biologis yang bekerja 24 jam yang bertujuan untuk
mengembalikan stamina untuk kembali beraktivitas. Tidur dan terbangun diatur oleh batang otak,
thalamus, hypothalamus dan beberapa neurohormon dan neurotransmitter juga dihubungkan
dengan tidur. Hasil yang diproduksi oleh mekanisme serebral dalam batang otak yaitu serotonin.
Serotonin ini merupakan neurotransmitter yang berperan sangat penting dalam menginduksi rasa
kantuk, juga sebagai medula kerja otak.
Dalam tubuh serotonin diubah menjadi melatonin yang merupakan hormon katekolamin
yang diproduksi secara alami oleh tubuh. Adanya lesi pada pusat pengatur tidur di hypothalamus
juga dapat mengakibatkan keadaan siaga tidur. Katekolamin yang dilepaskan akan menghasilkan
hormone norepineprin yang akan merangsang otak untuk melakukan peningkatan aktivitas. Stress
juga merupakan salah satu factor pemicu, dimana dalam keadaan stress atau cemas, kadar
hormone katekolamin akan meningkat dalam darah yang akan merangsang sistem saraf simpatik
sehingga seseorang akan terus terjaga.[20]
FAKTOR RISIKO
Beberapa faktor risiko kejadian insomnia pernah diteliti. Diantara faktor-faktor yang
dianggap mempengaruhi kejadian insomnia adalah:
GEJALA KLINIS
Manifestasi insomnia bisa berupa :
a) Kesulitan untuk jatuh tertidur pada waktu yang normal (initial insomnia)
Didefinisikan sebagai kesulitan tertidur yang lebih dari 30 menit. Biasanya disebabkan karena
tingkat kesadaran yang tinggi yang berhubungan dengan anxietas atau faktor lain.
b) Kesulitan untuk mempertahankan tidur / sering terbangun dari tidur lalu sulit tertidur kembali.
Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau muncul pada waktu-waktu tertentu,
seperti selama fase tidur REM.
c) Terbangun lebih cepat di pagi hari. (terminal insomnia)
Kondisi ini cukup seirng ditemukan pada orang tua. Merasa tetap lelah dan mengantuk meskipun
durasi tidur sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati waktu tidur.
d) paling tidak meliputi satu atau lebih dari gejala berikut: terasa letih atau mengantuk di waktu
siang menyebabkan kerap tidur di siang hari; gangguan atensi atau perhatian, konsentrasi atau
memori; gangguan mood, iritabilita atau sensitif; kurang energi atau motivasi; sakit kepala atau
gangguan pencernaan.[22]
A. Pasien melaporkan, atau orang tua atau pengasuh pasien mengamati, satu atau lebih hal
berikut:
1) Kesulitan memulai tidur.
2) Kesulitan mempertahankan tidur.
3) Bangun lebih awal dari yang diinginkan.
4) Penolakan untuk tidur pada jadwal yang sesuai.
5) Kesulitan tidur tanpa intervensi orang tua atau pengasuh.
B. Pasien melaporkan, atau orang tua atau pengasuh pasien mengamati, satu atau lebih hal
berikut yang berhubungan dengan kesulitan tidur malam hari:
1) Kelelahan/malaise.
2) Perhatian, konsentrasi atau gangguan memori.
3) Gangguan kinerja sosial, keluarga, pekerjaan atau akademik.
4) Gangguan suasana hati/iritabilitas.
5) kantuk di siang hari.
6) Masalah perilaku (misalnya hiperaktif, impulsif, agresi).
7) Berkurangnya motivasi/energi/inisiatif.
8) Rawan kesalahan/kecelakaan.
9) Kekhawatiran tentang atau ketidakpuasan dengan tidur.
C. Keluhan tidur/bangun yang dilaporkan tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh
kesempatan yang tidak memadai (yaitu cukup waktu yang diberikan untuk tidur) atau
keadaan yang tidak memadai (yaitu lingkungan yang aman, gelap, tenang dan nyaman)
untuk tidur.
D. Gangguan tidur dan gejala siang hari yang terkait terjadi setidaknya tiga kali per minggu.
E. Gangguan tidur dan gejala siang hari yang terkait telah ada setidaknya selama 3 bulan.
Kesulitan tidur/bangun tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan tidur lainnya. [24]
DIAGNOSIS
Anamnesis
1. Riwayat medis dan pemeriksaan (rekomendasi kuat)
Anamnesis harus mencakup pengasuh jika perlu
Gangguan somatik sebelumnya dan sekarang (termasuk nyeri)
Penggunaan zat (obat, alkohol, kafein, nikotin, obat-obatan terlarang)
2. Riwayat psikiatri/psikologis (rekomendasi kuat)
Gangguan jiwa dulu dan sekarang
Faktor kepribadian
Situasi kerja dan kemitraan
Konflik antar pribadi
3. Riwayat tidur (rekomendasi kuat)
Riwayat gangguan tidur, termasuk faktor pencetusnya
Informasi dari pasangan tempat tidur (gerakan anggota tubuh secara berkala saat
tidur, jeda saat bernafas)
Waktu kerja/faktor sirkadian (kerja shift dan malam, fase maju, penundaan)
Pola tidur-bangun, termasuk tidur siang hari (buku harian tidur, kuesioner tidur)[24]
Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda gangguan tidur adalah sebagai berikut:
• Konsentrasi yang buruk
• Mengantuk
• Waktu reaksi diperlambat
• Hipertensi (yang dapat disebabkan oleh apnea tidur)
• Pertumbuhan yang buruk, amandel membesar, dan jalan napas menyempit (temuan OSA)[25]
Pemeriksaan Penunjang
Tindakan tambahan (jika diindikasikan):
1) Pengujian laboratorium termasuk, mis. hitung darah, tiroid, parameter hati dan ginjal,
CRP, hemoglobin, feritin dan vitamin B12
2) EKG, EEG, CT/MRT
3) Penanda sirkadian (melatonin, suhu tubuh inti)
4) Actigraphy
Dalam kasus kecurigaan klinis jadwal tidur-bangun yang tidak teratur atau gangguan
ritme sirkadian (rekomendasi kuat)
Untuk menilai parameter tidur kuantitatif (rekomendasi lemah)
5) Polisomnografi
Dalam kasus kecurigaan klinis gangguan tidur lainnya seperti gangguan gerakan
tungkai periodik, sleep apnea atau narkolepsi (rekomendasi kuat)
Insomnia yang resistan terhadap pengobatan (rekomendasi kuat)
Insomnia pada kelompok berisiko pekerjaan, mis. pengemudi profesional
(rekomendasi kuat)
Dalam kasus kecurigaan klinis perbedaan besar antara pengalaman subjektif dan tidur
yang diukur secara polisomnografi (rekomendasi kuat)[24]
TATALAKSANA
Farmakologi
Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat
keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia jangka
pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa pertimbangan dalam
memberikan pengobatan insomnia :
1) memiliki efek samping yang minimal;
2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur; dan
3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya digunakan dalam
waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu. Secara dasarnya, penanganan dengan obat-obatan
bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-benzodiazepine dan miscellaneous sleep
promoting agent.
1. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita insomnia
karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun akhir-akhir ini, obat
golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering menyebab ketergantungan, efek toleran dan
menimbulkan gejala withdrawal pada kebanyakan penderita yang menggunakannya. Selain itu,
munculnya obat baru yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini.
Kerja obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post- synaptic, dimana
obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang memberi efek
sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat dari golongan ini adalah :
triazolam, temazepam, dan lorazepam.
Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan dengan teliti. Efek
samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi dan juga distress respirasi. Oleh
sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-hati pada penderita yang masalah respirasi kronis
seperti penyakit paru obstrutif kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan
dengan fraktur akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan
kerja yang lama maupun kerja singkat.
2. Non-benzodiazepine
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip denganbenzodiazepine,
tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan. Efek samping seperti distress pernafasan,
amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang
telah dilakukan.
Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak digunakan
untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor selektif α-1 subunit
GABAAreseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan hipnotik tanpa menimbulkan efek
anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical
trial yang dilakukan, obat ini dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu
tidur dan mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek
rebound dan ketergantungan pada penderita.
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat pyrazolopyrimidine. Obat ini
mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat pendek yaitu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti
zolpidem yaitu pada reseptor subunit α-1 GABAAreseptor. Efektivitasnya sangat mirip dengan
zolpidem, tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior
berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia produktif karena
masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu aktivitas sehari-hari.
Pada sesetengah penelitian, ada menyatakan pilihan lain seperti eszopiclone dan
Ramelteon dimana mempunyai efektifitas yang mirip dengan zolpidem dan zaleplon.
KOMPLIKASI
Gangguan tidur yang tidak diobati dapat menyebabkan perkembangan berbagai
komplikasi serius. Gangguan mood dan kecemasan bisa berkembang. Kurang tidur dapat
menyebabkan pembentukan memori palsu dan penurunan fungsi kognitif. Pasien dengan
gangguan gerakan tungkai periodik saat tidur memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecelakaan
serebrovaskular.. Apnea tidur obstruktif, selain kurang tidur, dapat merusak otak, dan
memengaruhi sistem kardiovaskular. Apnea tidur obstruktif juga dapat mengurangi ketebalan
lapisan serat saraf retinal.[25]
PROGNOSIS
Tidur yang tidak cukup dapat menyebabkan kecelakaan industri atau kendaraan bermotor,
penurunan performa kerja, dan disfungsi kognitif. Prognosis gangguan tidur sangat bergantung
pada penyebab gangguan tidur tersebut. Insomnia akibat OSA umumnya sembuh dengan
pengobatan, sedangkan penderita insomnia kronis mengalami peningkatan risiko depresi,
kecemasan, dan penurunan kualitas hidup.[25]
.
PENCEGAHAN
Semua pasien harus dididik dengan baik dan didorong untuk mempraktikkan kebersihan
tidur yang baik. "Sleep hygiene" adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebiasaan
tidur yang baik.
Nasihat berikut harus diberikan kepada pasien untuk mempraktikkan kebersihan tidur
yang baik:
• Pertahankan jadwal yang teratur yaitu pergi tidur dan bangun pada waktu yang samasetiap hari
• Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur dan seks. Hindari menonton televisi, melihat ponsel
atau membaca di tempat tidur senam hampir setiap hari, tetapi tidak tepat sebelum waktu tidur
• Hindari kafein atau merokok terutama pada malam hari. Pertahankan lingkungan gelap,sejuk,
dan tenang di kamar tidur
• Hindari berjuang untuk tertidur di tempat tidur. Jika Anda tidak bisa tidur, bangun dan
coba lagi nanti atau ganti tempat tidur
Juga, jika pasien memakai obat penenang-hipnotik, itu harus didokumentasikan dengan jelas
dalam rekam medis. Pasien harus dinasihati untuk menghindari mengemudi dan mengoperasikan
mesin saat sedang menggunakan penenng-hipnotik.[25].
Gangguan axietas menyeluruh
DEFINISI
Gangguan cemas menyeluruh merupakan kondisi gangguan yang ditandai oleh
kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak rasional bahkan terkadang tidak realistik
terhadap berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. [27]
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi gangguan cemas menyeluruh dalam satu tahun diperkirakan 3-8%. Studi
lainnya National Comorbidity Study melaporkan 1 dari 4 orang memenuhi setidaknya salah satu
kriteria gangguan cemas. Studi ini juga melaporkan prevalensi gangguan cemas cukup tinggi
yakni 17,7%
ETIOLOGI
Terdapat beberapa teori yang mengungkapkan kemungkinan etiologi terjadinya gangguan cemas
menyeluruh, yakni:
Teori Biologi
Lobus oksipitalis pada otak dihipotesiskan berkaitan dengan kejadian gangguan cemas
menyeluruh. Area ini memiliki reseptor benzodiazepin tertinggi di otak. Selain itu, dihipotesiskan
juga terdapat keterlibatan bagian lain di otak yakni basal ganglia, sistem limbik dan korteks
frontal. Pada pemeriksaan PET ditemukan bahwa pada penderita gangguan cemas menyeluruh
terdapat penurunan metabolisme di ganglia basal dan massa putih otak.
Selain keterlibatan bagian-bagian tertentu di otak, pada pasien gangguan cemas
menyeluruh juga ditemukan perubahan pada neurotransmitter. Pada penderita gangguan cemas
menyeluruh ditemukan abnormalitas serotonin. Selain itu, beberapa neurotransmitter yang
berkaitan dengan kejadian gangguan cemas menyeluruh adalah GABA, norepinefrin, glutamat,
dan kolesistokinin.
Teori Genetik
Pada penelitian didapatkan bahwa terdapat hubungan genetik pasien gangguan cemas
menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada perempuan. Sekitar 25% dari keluarga tingkat
pertama penderita gangguan cemas menyeluruh juga menderita gangguan yang sama. Penelitian
pada pasien kembar mendapatkan bahwa pasien gangguan cemas menyeluruh yang terlahir
kembar monozigotik kemungkinan kembarannya menderita gangguan cemas menyeluruh adalah
50% sedangkan pada kembar dizigotik hanya 15%
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalisis menyatakan bahwa kecemasan muncul sebagai akibat dari konflik
pikiran bawah sadar yang tidak terselesaikan. Pada tingkatan paling primitif, kecemasan
dihubungkan dengan perpisahan dengan objek cinta. Pada tingkatan yang lebih matang,
kecemasan dihubungkan dengan kehilangan cinta dari objek yang penting. Kecemasan kastrasi
berhubungan dengan fase oedipal sedangkan kecemasan superego merupakan perwujudan
ketakutan seseorang untuk mengecewakan nilai dan pandangannya sendiri. Bentuk kecemasan ini
adalah kecemasan yang paling matang.
Teori Kognitif-Perilaku
Menurut teori kognitif perilaku gangguan cemas menyeluruh muncul akibat respons
penderita yang salah dan tidak tepat terhadap ancaman yang muncul akibat perhatian yang
berfokus pada hal-hal yang negatif pada lingkungan. Selain itu, gangguan cemas menyeluruh juga
muncul akibat distorsi pada pemrosesan informasi serta pandangan yang negatif pada
kemampuan diri sendiri untuk menghadapi ancaman.
PATOFISIOLOGI
Sistem saraf pusat menerima suatu persepsi ancaman. Persepsi ini timbul akibat adanya
rangsangan dari luar dan dalam yang berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Kemudian
rangsangan dipersepsi oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem syaraf pusat
melibatkan jalur cortex cerebri – limbic system – reticular activating system – hypothalamus yang
memberikan impuls kepada kelenjar hipofise untuk mensekresi mediator hormonal terhadap
target organ yaitu kelenjar adrenal yang kemudian memicu pelepasan neurotransmitter untuk
merangsang syaraf otonom. Neurotransmitter adalah faktor biologik yang berperan terhadap
gangguan kecemasan. Terdapat tiga neurotransmitter utama yang berperan pada gangguan
kecemasan yaitu, norepinefrin, serotonin, dan gamma amino butiric acid atau GABA.
Selanjutnya, hormone/neurotransmitter tersebut berinteraksi dengan otak dan tubuh dalam
berbagai mekanisme yang kompleks sehingga dapat terjadi gangguan kecemasan.
Teori umum mengenai peran norepinefrin dalam gangguan ansietas adalah bahwa pasien
yang mengalami ansietas dapat memiliki sistem adrenergik yang diatur dengan buruk dengan
ledakan aktivitas yang kadang-kadang terjadi. Badan sel sistem noradrenergik terutama terletak
pada locus ceruleus di pons pars rostralis dan badan sel ini menjulurkan aksonnya ke korteks
serebri, sistem limbik, batang otak, serta medula spinalis. Stimulus pada locus cereleus akan
memberikan respon takut.
Identifikasi banyak jenis reseptor serotonin memicu pencarian peran serotonin dalam
patogenesis gangguan ansietas. Jalur serotonergik yang timbul dari badan sel sebagian besar
neuron serotonergik yang terletak di raphe nuclei di batang otak pars rostralis dan menyalurkan
impuls ke korteks serebri, sistem limbik (khususnya amigdala dan hipokampus), serta
hipotalamus. Walaupun pernberian agen serotonergik pada hewan menimbulkan perilaku yang
mengesankan ansietas, data mengenai efek serupa pada manusia kurang kuat. Seseorang yang
mengalami gangguan kecemasan menunjukkan adanya masalah pada reseptor serotonin tertentu
yaitu 5HT-1A, dapat di bedakan pada penderita dengan hipersekresi kortisol yang akan
menunjukkan gambaran gejala berupa stress berat.
GABA adalah neurotransmiter inhibitor penting dalam sistem saraf pusat dan mengatur
banyak rangsangan di daerah otak. Peran GABA dalam gangguan ansietas paling kuat didukung
oleh efektivitas benzodiazepin yang tidak meragukan, yang meningkatkan aktivitas GABA di
reseptor GABAo, di dalam terapi beberapa jenis gangguan ansietas. GABA juga dapat
mempengaruhi tingkat kecemasan dengan memediasi pelepasan neurotransmitter lain seperti
cholecystokinin dan menekan aktivitas saraf pada sistem serotonergik dan noradrenergik.
Neurotransmitter lain yang diduga terlibat dalam gangguan anxietas termasuk dopamine,
glutamine dan neurokinin. Meskipun kemungkinan patofisiologi yang berbeda mendasari
berbagai gangguan anxietas, secara luas diyakini bahwa GABA merupakan salah satu sistem yang
terlibat secara integral pada gangguan anxietas.[2]
FAKTOR RISIKO
Timbulnya gangguan kecemasan umum murni sering dikaitkan dengan stres yang timbul
dari kehilangan emosional dan situasi berbahaya. Termasuk kehilangan kerabat dekat atau
perpisahan jangka panjang dari pasangan. Kesulitan masa kanak-kanak memiliki hubungan
32,4% dengan gangguan kecemasan.
Umur
Jenis kelamin
Genetik
Studi genetik telah menghasilkan data yang solid bahwa sedikitnya beberapa
komponen genetik turut berperan dalam timbulnya gangguan ansietas. Studi kembar telah
menunjukkan bahwa ada risiko genetik moderat gangguan kecemasan umum,
diperkirakan antara 15% dan 20%, tetapi mungkin setinggi sepertiga.
Etnis/ras
Populasi kulit putih lebih mungkin terkena dibandingkan dengan etnis Afrika, Asia, atau
Hispanik
– Pengobatan sendiri
KLASIFIKASI
Secara umum kecemasan dibagi menjadi dua tingkatan, yaitu psikologis dan fisiologis.
a. Tingkat Psikologis
Di tingkat ini kecemasan dapat berwujud sebagai gejala-gejala kejiwaan, seperti tegang,
bingung, khawatir, susah berkonsentrasi, perasaan tidak menentu dan lain-lain. Ada dua
komponen pada tingkatan ini yaitu komponen emosional dan komponen kognitif. Dalam
komponen emosional, individu mengalami perasaan takut yang intens dan disadari. Sedangkan
dalam komponen kognitif, peningkatan rasa takut akan mengacaukan kemampuan individu
untuk berpikir jernih.
b. Tingkat Fisiologis
Pada tingkatan ini, kecemasan sudah mempengaruhi atau terwujud sebagai gejala-gejala
fisik, terutama di fungsi sistem saraf seperti tidak dapat tidur, jantung berdebar-debar, gemetar,
perut mual, dan lain- lain. Pada kondisi ini tubuh merespons ketakutan dengan memobilisasi
diri untuk bertindak, baik dikehendaki ataupun tidak. Respon ini merupakan hasil kerja sistem
saraf otonom yang mengendalikan sebagai otot dan kelenjar tubuh. Respon fisiologis bisa
berwujud detak jantung meningkat, irama napas lebih cepat, pupil mata melebar, proses
pencernaan terhenti, kelenjar adrenalin meningkat, dan lain-lain. Keadaan-keadaan ini bisa
menyebabkan seseorang menjadi tegang dan siap melakukan tindakan menyerang atau
melarikan diri dari situasi yang ada.
Menurut carpenito (dalam Aizid, 2015), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan
yaitu:
1. Kecemasan ringan
2. Kecemasan sedang
3. Kecemasan berat
Pada tingkat ini penderita cenderung memusatkan terhadap sesuatu yang terperinci
dan spesifik serta tidak dapat berpikir tentang hal yang lain. Semua perilaku ditujukan
untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan pengarahan agar dapat
memusatkan terhadap masalah lain. Tanda dan gejala kecemasan berat yaitu
persepsinya sangat kurang, berfokus terhadap hal yang detail, tidak dapat
berkomunikasi lebih, sangat mudah mengalihkan perhatian dan tidak mampu
berkonsentrasi.
4. Panik
Kecemasan ini berhubungan dengan adanya pengaruh ketakutan dan teror. Tanda dan
gejala tingkat pani yaitu peningkatan aktivitas motori, menurunnya kemampuan untuk
berhubungan dengan orang lain dan persepsi yang menyimpang.
DIAGNOSIS
A. Kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan yang timbul hampir setiap hari, sepanjang hari,
terjadi selama sekurangnya 6 bulan, tentang sejumlah aktivitas atau kejadian (seperti pekerjaan
atau aktivitas sekolah)
C. Kecemasan dan kekkhawatiran disertai tiga atau lebih dari enam gejala berikut ini (dengan
sekurangnya beberapa gejala lebih banyak terjadi dibandingkan tidak terjadi selama 6 bulan
terakhir). Catatan: hanya satu nomor yang diperlukan pada anak
1. Kegelisahan
4. Iritabilitas
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (sulit tertidur. atau tetap tidur, atau tidur gelisah, dan tidak memuaskan)
D. Fokus kecemasan dan kekhawatiran tidak terbatas pada gangguan aksis 1, misalnya,
kecemasan atau ketakutan adalah bukan tentang menderita. suatu serangan panik (seperti pada
gangguan panik), merasa malu pada situasi umum (seperti pada fobia sosial), terkontaminasi
(seperti pada gangguan obsesif kompulsif), merasa jauh dari rumah atau sanak saudara dekat
(seperi gangguan cemas perpisahan), penambahan berat badan (seperti pada anoreksia nervosa),
menderita keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau menderita penyakit
serius (seperti pada hipokondriasis) serta kecemasan dan kekhawatiran tidak terjadi semata-mata
selama gangguan stres pasca trauma.
E. Kesemasan, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan penderitaan yang bermakna secara
klinis, atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
F. Gangguan yang terjadi adalah bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan zat, medikasi) atau kondisi medis umum (misalnya hipertiroidisme) dan tidak
terjadi semata-mata selama suatu gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan per
kembangan pervasive.[1]
PENATALAKSANAAN
a. Farmakoterapi
Benzodiazepin
Merupakan pilihan obat pertama. Jenis obat-obat golongan Benzodiazepine ini adalah
Diazepam, Klordiazepoksid, Lorazepam, Klobazam, Bromazepam, Oksazolam, Klorazepat,
Alprazolam atau Prazepam. Pemberian benzodazepin dimulai dengan dosis terendah dan
ditingkatkan sampai mencapai respons terapi. Penggunaan sediaan dengan waktu paruh menengah
dan dosis terbagi dapat mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan. Lama pengobatan rata-
rata adalah 2-6 minggu, dilanjutkan dengan masa tapering off selama 1-2 minggu.
Buspiron efektif pada 60-80% pen derita GAD. Buspiron lebih efektif dalam memperbaiki
gejala kognitif dibanding gejala somatik pada GAD. Tidak menyebabkan withdrawl. Keku
rangannya adalah efek klinisnya baru. terasa setelah 2-3 minggu. Terdapat bukti bahwa penderita
GAD yang sudah menggunakan benzodiazepin tidak akan memberikan respons yang baik dengan
buspiron. Dapat dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepin dengan buspiron kemudian
dilakukan tapering benzodiazepin setelah 2-3 minggu, disaat efek terapi buspiron sudah mencapai
maksimal.
Sertraline dan paroxetin merupakan pili han yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian
fluoksetin dapat meningkatkan anxietas sesaat. SSRI sefektif terutama pada pasien GAD dengan
riwayat depresi.
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi kog nitif dan
pendekatan perilaku, mengenali gejala somatik secara langsung. Teknik utama yang digunakan
pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.
Terapi Suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada dan belum
tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
Terapi ini mengajak pasien untuk men capai penyingkapan konflik bawah sadar, menilik
egostrength, relasi obyek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan komponen-komponen
tersebut, kita sebagai terapis dapat memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk
menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi
dalam fungsi sosial dan pekerjaannya.[1]
KOMPLIKASI
Gangguan Panik
Gangguan Obsesif Kompulsif
PROGNOSIS
Gangguan cemas merupakan suatu keadaan kronis yang mungkin berlangsung seumur hidup.
Sebanyak 25% penderita akhirnya mengalami gangguan panik, juga dapat mengalami gangguan
depresi mayor.[1]
PENCEGAHAN
Pencegahan Primer
• Sikap Reaktif
Sikap mental yang ditandai dengan reaksi yang cepat, tegang, agresif terhadap keadaan yang
terjadi dan menyebabkan kecemasan dan kepanikan. Contoh perilakunya adalah: memborong bahan
makanan, masker, hands-sanitizer, vitamin dll. Sikap reaktif ini dapat dikendalikan dengan cara
mencari berbagai info atau masukan dari banyak orang sebelum mengambil keputusan.
• Sikap Responsif
Sikap mental yang ditandai dengan sikap tenang, terukur, mencari tahu apa yang harus
dilakukan dan memberikan respons yang tepat dan wajar. Sikap responsif dapat dikembangkan agar
tidak terjadi masalah kesehatan jiwa dan psikososial.
Kegiatan keluarga yang konstruktif semakin menguatkan ikatan emosional dan keluarga
semakin harmonis. Keluarga dapat merencanakan kegiatan 5B: belajar, beribadah, bermain, bercakap-
cakap dan berkreasi bersama.
3. Pencegahan masalah kesehatan jiwa dan psikososial di sekolah dan tempat kerja
Proses pembelajaran yang dilakukan secara daring dapat menimbulkan kebosanan/ kejenuhan,
sehingga mengakibatkan meningkatnya stress pada anak didik. Sekolah dan kampus dapat
mengorganisasikan proses pembelajaran yang menarik dan komunikatif seperti voice note atau video
mengajar, pertemuan lewat daring yang santai dan fleksibel, serta dapat menggunakan surel dan
media sosial.
Di tempat kerja, dibuat jadwal bekerja yang fleksibel, sehingga membuat lebih nyaman dalam bekerja
untuk mencegah penurunan imunitas karyawannya. Pimpinan harus memiliki protokol standar
kesehatan dan keselamatan dalam bekerja.[29]
Pencegahan Sekunder
Psikoterapi yang terpilih untuk gangguan ini adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT).
Terdapat beberapa metode CBT, beberapa diantaranya yakni metode restrukturisasi, terapi relaksasi,
terapi bernapas, dan terapi interocepative. Inti dari terapi CBT adalah membantu pasien dalam
memahami cara kerja pemikiran otomatis dan keyakinan yang salah dapat menimbulkan respon
emosional yang berlebihan, seperti pada gangguan panik.
Terapi restrukturisasi, melalui terapi ini pasien dapat merestrukturisasi isi pikirannya dengan
cara mengganti semua pikiran-pikiran negatif yang dapat mengakibatkan perasaan tidak
menyenangkan yang dapat memicu serangan panik dengan pemikiran-pemikiran positif. Terapi
relaksasi dan bernapas dapat digunakan untuk membantu pasien mengontrol kadar kecemasan dan
mencegah hypocapnia ketika serangan panik terjadi.[30]
Daftar pustaka
[1] S. Elvira and H. Gitayanti, Buku Ajar Psikiatri Edisi 3.
[2] B. J. sadock and V. A. Sadock, Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis . Jakarta, 2010.
[3] A. R. Arifin, R. Dan, and E. Burhan, “Fisiologi Tidur dan Pernapasan.”
[4] “Jurnal Universitas Diponegoro,” 2018.
[5] “Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology.”
[6] R. Muslim, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III dan DSM-5.
Depok.
[7] S. A. Prince, Buku Ajar Patofisiologi: Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC, 2012.
[8] Dr ISKANDAR JAPARDI, “Gangguan Tidur,” Fakultas Kedokteran Bagian Bedah, Universitas
Sumatera Utara, vol. 47, no. 2, pp. 224–240, 2002.
[9] S. Y. Trisnawati, “Neurofisiologi Sistem ARAS (Ascending Reticular Activating System),” pp. 1–27,
2015.
[10] “Indonesian Jurnal of Health Development,” vol. 2, Feb. 2020.
[11] N. Amir, “Aspek Nerobiologi Molekuler Depresi. JIWA,” XXXVII, 2004.
[12] “Jurnal Kedokteran Universitas Airlangga,” ISSN-2620-5890, vol. 06, Jun. 2021.
[13] “Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,” 2017.
[14] “Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro”.
[15] “Program Pendidikan Dokter Spesialis ,” 2018.
[16] Sp. S. dr. Sri Budi Rinawati and Sp. S. dr. Badrul Munir, Buku A jar Neurologi. Jakarta, 2017.
[17] M. Kryger and T. Roth, Principles and Practice of Sleep Medicine, Sixth. Philadelphia: PA.
[18] S. Praharaj and R. dan G. N. Gupta, “Clinical Practice Guideline on Management of Sleep Disorders
in the Elderly,” pp. 83–96, 2018.
[19] WHO, “The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders ,” 2007.
[20] J. Levenson and D. and B. D. Kay, “The Pathophysiology of Insomnia,” pp. 79–92, 2015.
[21] “Jurnal Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang”.
[22] M. Summers and MD et al, Recent Develompment in the Classification, Evaluation, and Treatment of
Insomnia . 2011.
[23] E. Mai and M.D et al, “Insomnia : Prevelance, Impact, Pathogenesis, Differential Diagnosis, and
Evaluation,” no 4, vol. VII, pp. 491–498, 2009.
[24] Dieter. , et al Rieman, “European Guideline for the Diagnosis and Treatment of Insomnia ,” vol. 26,
no. 6 pp. 657–700, May 2017.
[25] I. Maulana, “Sleep Disorder ,” 2017.
[26] M. Ghadaffi, “Tatalaksanan Insomnia dengan Farmakologi atau Non-farmakologi ”.
[27] P. Redayanti, Buku Ajar Psikiatri , 2nd ed. Jakarta , 2014.
[28] J.M. Gorman, “Generalized anxiety disorder,” vol. 3, no. no.3, pp, pp. 37–43, 2016.
[29] S. Utami and dkk Diah, “Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Pandemi,” 2020.
[30] O. Diferiansyah, “Gangguan Ceman Menyeluruh ,” vol. 5, 2016.