Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN TUTORIAL

“SAKIT KEPALA”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 4:

1. Rohid s, arahman 09402011013


2. Amalia sumayah ammarie 09402011038
3. Fitria anggaina a. Mustafa 09402011020
4. Rochmat nurhidayat 09402011048
5. Septiana waraningsih 09402011005
6. Fauziah auliah tamsil 09402011028
7. Puteri puspita sari 09402011011
8. Nia churaesyah saleh 09402011035
9. Fermat mangiwa pongsinaran 09402011019
10. M. riswandi siboboy 09402011041
11. Rafli ardiansyah 09402011042

BLOK NEUROSPIKIATRI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS KHAIRUN

2022
skenario

Seorang perempuan berusia 35 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sakit kepalaberdenyut sejak 1
minggu yang lalu hilang timbul. Keluhan juga disertai dengan mual,muntah. Demam (-), riwayat trauma
(-)

Kalimat Kunci :

1. Perempuan berusia 35 tahun

2. Keluhan sakit kepala berdenyut 1 minggu yang lalu hilang timbul

3. Keluhan disertai mual, muntah

4. Demam(-)

5. Riwayat trauma(-)

Kata Sulit : Hilang Timbul

Sumber:

- Ed. Anindhita, Tiara, dkk. 2017. Buku Ajar Neurologi UI Jilid 2. Jakarta: Departemen Neurologi FK
UI

- Susanti, Restu. 2020. POTENTIAL GENDER DIFFERENCES IN PATHOPHYSIOLOGY OF


MIGRAINE AND TENSION TYPE HEADACHE. Jurnal Human Care. Vol. 5 (2).

Pertanyaan :

1. Jelaskan anatomi & fisiologi dari bangun peka nyeri!

2. Jelaskan apa itu nyeri kepala!

3. Bagaimana patomekanisme terjadinya nyeri kepala berdenyut yang disertai mual dan muntah
pada skenario?
4. Apa saja pertanyaan tambahan yang perlu ditanyakan kepada pasien untuk menegakkan
diagnosis?

5. Jelaskan pemeriksaan fisik neurologis yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasien!

6. Apa Differential Diagnosis dari skenario?Jelaskan!

JAWABAN:

1. Jelaskan anatomi & fisiologi dari bangun peka nyeri!

Sruktur peka nyeri kepala


Intrakranial
 Pembuluh darah arteri, vena dan sinus venosus
 Arteri di basis kranii yang membentuk sirkulus willisi dan cabang-cabang besarnya
 Meningens, Pia mater dan duramater
 Arteri dari duramater (a. meningea media)
 Saraf otak : N. Trigeminus, N Fascialis, N Glossofaringeus, N. Vagus
Ekstrakranial
 Kulit,scalp,otot,tendon dan fascia daerah kepala, jaringan subkutaneus
 Mukosa sinus paranasalis dan cavum nasi
 Arteri ekstrakranial
 Periosteum tulang kepala,supra orbita,temporal
 Gigi

Sumber: Jurnal Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

Nyeri kepala dapat ditimbulkan oleh karena


1. Inflamasi pada struktur bangunan peka nyeri intrakranial maupun ekstrakranial, ditandai dengan
pelepasan kaskade zat substansi dari berbagai neuron di sekitar daerah injury, dimana makrofag
melepaskan sitokin yaitu interleukin IL-1, IL-6, tumor necrosis factor/TNF-a, dan nerve growth
factor/NGF, neuron yang rusak melepaskan adenosin trifosfat/ATP dan proton, sel mast melepaskan
histamin, prostaglandin, serotonin, dan asam arakidonat yang memiliki kemampuan melakukan sensitisasi
terminal neuron. Terjadi pula proses upregulasi beberapa reseptor yaitu VR-1, sensory specific
sodium/SNS-1, SNS-2, dan peptida yaitu calcitonine gene related protein/CGRP dan substansi P
Nyeri akibat inflamasi disebabkan oleh sensitisasi sentral dan peningkatan input noxious perifer. Sebagai
penambah pencetus sensitisasi dari aferen primer, proses inflamasi menghasilkan sinyal kimiawi yang
memasuki darah dan menembus susunan saraf pusat untuk menghasilkan IL-la dan ekspresi
cyclooxigenase! COX di susunan saraf pusat. Aktivitas COX merangsang produksi prostaglandin (PGE2)
di daerah injury dan setelah diinduksi di susunan saraf pusat. Hal ini berkontribusi terhadap
perkembangan nyeri inflamasi.
2. Inflamasi neurogenik steril selanjutnya akan mengakibatkan proses vasodilatasi dan ekstravasasi
plasma protein yang mengikuti pelepasan peptida vasoaktif CGRP, substansi P, dan neurokinin/NKA dari
nerve ending.
3. Aktivasi mekanoreseptor pada ujung terminal saraf sensoris vaskuler untuk melepaskan L-glutamat dan
aktivasi termoreseptor.
4. Distensi atau dilatasi pembuluh darah intrakranial dan ekstrakranial.
5. Traksi pada arteri sirkulus Willisii, sinus venosus dan vena-vena yang mensuplai sinus tersebut, dan
arteri meningea media.
6. Pergeseran bangunan peka nyeri karena suatu desakan (massa, kista, oedema perifokal, dan
sebagainya).
7. Peningkatan TIK yang terjadi melalui dua mekanisme dasar yaitu bertambahnya volume otak dan
adanya obstruksi CSS dan sistem vena.
8. Kontraksi kronik otot-otot kepala dan leher.
9. Tekanan langsung pada saraf-saraf yang mengandung serabut-serabut untuk rasa nyeri di daerah
kepala.
Semua penyebab nyeri kepala ini menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral di nosiseptor meningeal dan
neuron ganglion trigeminale, sehingga muncul persepsi nyeri kepala.
Pemberian rangsang pada struktur peka nyeri yang terletak di tentorium serebelli maupun di atasnya, akan
timbul rasa nyeri menjalar pada daerah di depan batas garis vertikal yang ditarik dari kedua telinga kiri
dan kanan melewati puncak kepala (frontotemporal dan parietal anterior). Rasa nyeri ini ditransmisi oleh
nervus trigeminus. Sedangkan rangsangan terhadap struktur peka nyeri di bawah tentorium serebeli, yaitu
pada fossa kranii posterior, radiks servikalis bagian atas dengan cabang-cabang saraf perifernya akan
menimbulkan nyeri di daerah belakang garis tersebut di atas (oksipital, sub oksipital, servikal bagian
atas). Nyeri ini ditransmisi oleh nervus IX, X, dan saraf spinal C1, C2, C3. Kadang kadang radiks
servikalis bagian atas dapat menjalarkan nyeri ke frontal dan mata ipsilateral melalui refleks
Trigeminoservikal. Refleks ini dapat dibuktikan dengan cara pemberian stimulasi pada nervus
supraorbital dan direkam dengan pemasangan elektrode pada otot sternokleidomastoideus. Input
eksteroseptif dan nosiseptif refleks Trigeminoservikal ditransmisikan melalui rute polisinaptik, termasuk
nukleus spinal trigeminal lalu mencapai motorneuron servikal. Hal ini menunjukkan adanya hubungan
erat antara inti-inti trigeminus dengan radiks dorsalis segmen servikal atas sehingga menunjukkan bahwa
nyeri di daerah leher dapat dirasakan atau diteruskan ke arah kepala atau sebaliknya. Refleks ini juga
menunjukkan adanya keterlibatan batang otak yaitu dengan munculnya rasa nyeri kepala, nausea dan
muntah.
Sumber : Jurnal Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta
Sumber : netter dan jurnal kedokteran muhamadiyah Surakarta

2. Jelaskan apa itu nyeri kepala !

Nyeri kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan suatu sensasi tidak
nyaman yang dirasakan pada daerah kepala. Nyeri kepala umumnya diklasifikasikan sebagai
nyeri kepala primer dan nyeri kepala sekunder, kemudian dibagi menjadi beberapa jenis nyeri
kepala tertentu. Gangguan nyeri kepala primer adalah nyeri kepala yang sifatnya “idiopatik” nyeri
kepala yang tidak terkait dengan kondisi patologi atau penyebab lain yang mendasari.
Berdasarkan pemeriksaan neurologis dan tes pencitraan biasanya normal, tidak peduli sebera
parah gejala. Kejadian nyeri kepala primer lebih sering terjadi dibandingkan nyeri kepala
sekunder. Nyeri kepala sekunder adalah nyeri kepala yang dikaitkan dengan kondisi patologis
yang mendasari seperti adanya tumor otak, anurisma, penyakit inflamasi.

SUMBER: JURNAL KEDOKTERAN UNIVERSITAS DI PENOGORO

3. Bagaimana patomekanisme terjadinya nyeri kepala berdenyut yang disertai mual dan
muntah pada skenario?
Mekanisme aktivasi sistem trigeminovaskular tidak sepenuhnya dimengerti. Diduga
aktivitas sistem trigeminovaskular diatur oleh noradrenergik dan neuron serotonergik di dalam
batang otak. Oleh karena itu, terjadinya migrain berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
aktivitas neuron serotonergik dan noradrenergik dalam batang otak . Ketidakseimbangan ini
mengakibatkan terjadinya pengaktivan nukleus kaudalis trigeminal pada medula (pusat pengolah
nyeri untuk bagian wajah dan kepala) yang menyebabkan pelepasan vasoaktif neuropeptide yang
meliputi substansi P dan calcitonin gene related peptide (CGRP) dari nervus trigeminal terminal
saraf. Neurotransmitter peptida ini menginduksi inflamasi steril yang mengaktifkan nociceptive
afferent trigeminal pada pembuluh darah yang menyebabkan diproduksinya nyeri. Selain itu,
transmisi nyeri juga berjalan ke sentral menuju otak dan mengaktifkan nucleus-nukleus di otak
yang menyebabkan terjadinya beberapa gejala seperti mual , muntah (Neil H. Raskin, Harrison’
s, Principles of Internal Medicine, 16 th edition).
Merangsang reseptor pada daerah tersebut. Dan impuls/sinyal yang diberikan akan
dilanjutkan ke dorsolateral formatio reticularis yang merangsang pusat muntah. Tiga fase emesis
mual (nuasea), muntah-muntah (retcing), dan muntah (vomiting). Nausea berupa kebutuhan
untuk segera muntah → retcing : gerakan yg diusahakan otot perut dan dada sebelum
muntah → vomit: pengeluaran isi lambung yang disebabkan oleh retroperistalsis GI. Muntah di
pacu oleh impuls aferen ke pusat muntah → inti sel pada medulla oblongata. Impuls
diterima  dari pusat muntah di medulla berupa sinya melalui CTZ ( chemoreceptor trigger zone).
Hasil → efferent impulses to the salivation center, respiratory center, and the pharyngeal, GI, and
abdominal muscles → vomiting. CTZ→ terletak di daerah postrema ventrikel otak, adalah organ
chemosensory utama bagi emesis dan biasanya terkait dengan muntah secara kimiawi. Karena
lokasinya → racun dapat terbawa oleh darah dan cairan cerebrospinal yang memiliki akses
mudah ke CTZ → merangsang muntah. BeberapaReseptor neurotransmiter  terletak di
pusat muntah, CTZ, dan saluran pencernaan,yaitu kolinergik, histaminic, dopaminergik, opiat,
serotonergik, neurokinin, dan reseptor benzodiazepine. Agen kemoterapi dan metabolitnya, atau
senyawa penyebab muntahlain yg secara teoritis  memicu proses emesis melalui stimulasi dari
satu atau lebih dari reseptor ini.  Antiemetik efektif memblokir reseptor emetogenik. 

Sumber:
[1] Corwin , JE 2001 . Buku Saku Patofisiologi . Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta: EGC.
[2] Kasper DL, Braunwald E,Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Editors. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. 16th Edition. New York: McGraw Hill; 2005: 535.

4. Apa saja pertanyaan tambahan yang perlu ditanyakan kepada pasien untuk menegakkan
diagnosis?

1) Lokasi sakit kepalanya di bagian mana? Satu sisi saja atau dua sisi? Apakah menjalar
atau tidak?

Informasi mengenai lokasi sakit kepala dapat membantu diagnosa. Pola penyebaran nyeri sejak
onsetnya juga perlu diperhatikan.Beberapa tipe nyeri berubah lokasinya atau menyebar jauh dari
area awal munculnya, misalnya lokasi tubuh yang kena trauma.Arah penyebaran juga
memberikan petunjuk yang penting untuk memperkirakan etiologi dan dalam menegakkan
diagnosis dan pengobatannya. Migraine biasanya unilateral, berdenyut , nyerinya moderate –
severe dan berlangsung beberapa menit - jam , dan bisa diperparah oleh aktivitas fisik rutin. Bisa
disertai adanya aura, mual muntah dan fonofobia atau fotofobia. Untuk TTH gejala nyeri
berulang , non – disabilitas, keluhan nyeri kepala bersifat ringan – sedang, dan bilateral.

2) Apakah sakit kepalanya muncul tiba-tiba atau secara perlahan? sakit kepala bisa
berlangsung berapa lama? selama seminggu ini sudah berapa kali sakitnya?

Penting sekali untuk mengetahui kapan dan bagaimana keluhan nyeri berawal. Onset nyeri harus
digambarkan dan dicatat (misalnya nyeri datangnya mendadak, sedikit demi sedikit, atau
cepat).Bila awal nyeri bersifat gradual, mengidentifikasi waktu munculnya atau onset nyeri
kemungkinan sulit ditentukan. Dalam kasus dengan kejadian yang jelas, tanggal dan keadaan saat
munculnya nyeri dapat membantu dalam menentukan penyebabnya. Kondisi penderita saat onset
nyeri muncul perlu dicermati. Dalam kasus-kasus trauma pada tabrakan antara kendaraan
bermotor atau trauma pada saat bekerja, keadaan penderita sebelum dan selama terjadinya trauma
harus diketahui dengan jelas dan didokumentasikan. Waktu dan lamanya serangan saat onset
nyeri bisa juga sangat penting artinya.Bila kejadian nyeri berdurasi pendek, seperti dalam akut
nyeri, pengobatan nyeri difokuskan pada penyebab yang mendasari.Dalam nyeri kronik,
penyebabnya biasanya sudah sembuh dan pengobatan nyeri difokuskan pada manajemen nyeri
jangka panjang yang optimal.

3) Seberapa berat sakit kepalanya? jika diberi angka 0-10 sakitnya ada di angka berapa?

Keluhan nyeri bersifat subjektif sehingga hanya dapat dibandingkan dengan keluhan nyerinya
sendiri dalam sebuah periode waktu, dengan kata lain, keluhan nyeri seseorang tidak dapat
dibandingkan dengan keluhan nyeri yang disampaikan individu lainnya.Beberapa skala nyeri
dimanfaatkan untuk melaporkan tingkatan nyeri yang dialami pasien.Skala yang sering
dimanfaatkan ialah Visual Analog Scale dari intensitas nyeri. Pasien menggunakan skala ini
diinstruksikan untuk menunjuk atau menandai nyerinya dalam sebuah garis 100-milimeter di
antara “tidak ada nyeri’ dan “nyeri paling buruk yang terbayangkan”. Tanda yang dibuat pasien
diukur dengan penggaris standar dan dicatat sebagai nilai numeric antara 0 dan 100. Metoda
alternatif untuk melaporkan intensitas nyeri adalah dengan menggunakan skala rating numeric
verbal.Pasien memilih angka antara 0 (tidak nyeri) dan 10 (nyeri paling buruk yang
terbayangkan). Skala rating numeric verbal sering dimanfaatkan dalam praktek klinis. Metoda
lain yang sering dimanfaatkan adalah skala kategorik verbal, dengan rentang intensitas dari tidak
nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat, sampai dengan nyeri paling buruk yang
terbayangkan.

4) Apakah ada faktor memperberat/memperingan sakit kepala pasien?misalnya sakit kepala


tersebut diperberat oleh aktivitas dan diperingan oleh beristirahat? atau ada faktor yang
memperberat/memperingan lainnya
Faktor-faktor yang memperberat keluhan nyeri bila diketahui dapat menerangkan mekanisme
patofisiologi nyeri yang terjadi.Stimulus yang dapat mengeksaserbasi nyeri.Factor-faktor mekanis
yang mengeksaserbasi nyeri, misalnya posisi tubuh tertentu atau aktivitas misalnya duduk,
berdiri, berjalan, membungkukkan badan, dan mengangkat benda dapat membantu dalam
mengidentifikasi penyebab nyeri. Perubahan biokimiawi (misalnya kadar glukosa dan elektrolit
dan ketidakseimbangan hormonal), faktor psikologis (misalnya depresi, stress, dan problem
emosional lainnya), dan trigger dari lingkungan (pengaruh diet dan perubahan cuaca, termasuk
perubahan tekanan udara) dapat menjadi petunjuk diagnostic yang penting.

Factor-faktor yang mengurangi keluhan nyeri juga penting. Posisi tubuh tertentu akan
mengurangi nyeri lebih baik (misalnya pada sebagian besar kasus klaudikasio neurogenic, duduk
adalah factor yang mengurangi nyeri, sedangkan berdiri atau berjalan memperburuk nyerinya).
Terapi farmakologi dan “blok-saraf” membantu klinikus dalam menentukan diagnosis dan
memilih pengobatan yang sesuai.

5) Apakah keluhan disertai fotofobia dan fonofobia?

Pada keluhan migrain seringkali disertai dengan keluhan ini.

6) Apakah pernah mengalami sakit kepala yang sama sebelumnya atau baru pertama kali?

Pasien yang datang dengan sakit kepala yang baru dirasakan dan berat/parah memiliki diagnosis
banding yang sangat berbeda dari pasien dengan sakit kepala berulang selama bertahun-tahun. Di
awitan baru dan sakit kepala parah, kemungkinan menemukan penyebab yang berpotensi serius
jauh lebih besar daripada pada sakit kepala berulang. Pasien dengan onset nyeri baru,
memerlukan evaluasi yang cepat dan pengobatan yang tepat. Penyebab serius yang harus
dipertimbangkan termasuk meningitis, perdarahan subarachnoid, hematoma epidural atau
subdural, glaukoma, tumor, dan sinusitis purulent.

7) Apakah ada penyakit lain yang pernah atau sedang diderita misalnya, hipertensi, diabetes
melitus, asam urat?

Berkaitan dengan faktor risiko nyeri kepala.

8) Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit/keluhan yang sama?

Riwayat keluarga yang lengkap, termasuk status kesehatan orangtua pasien, saudara kandung, dan
keturunan, memberikan petunjuk penting dalam memahami aspek biologik dan genetik
pasien.Eksistensi penyakit yang jarang perlu dicatat.Riwayat nyeri kronik, penyalahgunaan zat,
disabilitas dalam anggota keluarga (termasuk pasangan hidup pasien) harus dipastikan.Bahkan
petunjuk yang tidak mengarah pada dasar beiologik dan genetic dapat memunculkan mekanisme
coping dan perilaku ko-dependen dalam diri pasien.

9) Apakah pasien seorang perokok atau peminum minuman keras?

Kebiasaan merokok dan riwayat penyalahgunaan obat dan alkohol juga penting dalam
mengevaluasi dan merancang strategi pengobatan. Pertanyaan-pertanyaan terkait lifestyle,
misalnya waktu yang dipakai untuk liburan atau menonton televisi, kegiatan rekreasi dan hobi
yang paling disukai, olahraga, dan pola tidur, akan memberikan gambaran yang komprehensif
tentang pasien.

10) Apakah sudah melakukan pengobatan sebelumnya? jika sudah, obat apa yang diminum?

Pertanyaan tentang upaya pengobatan sebelumnya penting untuk dicatat. Mengetahui seberapa
besar pengurangan nyeri, durasi pengobatan, dan dosis dan reaksi terhadap pengobatan yang tidak
diharapkan, akan membantu untuk menghindari hal-hal tersebut harus berulang. Daftar
pengobatan sebelumnya termasuk berbagai modalitas pengobatan, termasuk terapi fisik, terapi
okupasi, manipulasi chiropraktik, akupuntur, intervensi psikologis, dan kunjungan ke klinik nyeri
sebelumnya.

Suwondo, B. S., Meliala, L., & Sudadi. 2017. Buku Ajar Nyeri. Indonesia Pain Society
Adam R.D., Victor M., Ropper A.H., 2019. Principles of Neurology (11th ed). New
York:McGraw Hill.

5. Jelaskan pemeriksaan fisik neurologis yang perlu dilakukan untuk menegakkan


diagnosis pasien!
Penilaian derajat kesadaran secara kuantitatif yang sampai saat ini masih digunakan
adalah Glasgow Coma Scale (GCS). GCS adalah suatu skala neurologik yang dipakai
untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang. GCS pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan J. Jennett, professor
bedah saraf pada Institute of Neurological Sciences,Universitas Glasgow. GCS kini
sangat luas digunakan oleh dokter umum maupun para medis karena patokan/kriteria
yang lebih jelas dan sistematis.
GCS terdiri dari 3 pemeriksaan, yaitu penilaian: respons membuka mata (eye
opening), respons motorik terbaik(best motor response), dan respons verbal terbaik(best
verbal response).
Sumber : Wuysang, D dan Bahar, A. Keterampilan Klinis CSL IV Blok
Neuropsikiatri. Universitas Hasanudin. 2015

PEMERIKSAAN FUNDUSKOPI
1. Tujuan: untuk melihat dan menilai kelainan dan keadaan segmen posterior.
2. Dasar: cahaya dimasukkan kedalam fundus akan memberikan reflex fundus.
Gambaran fundus mata akan terlihat bila diberi sinar.
3. Alat: Oftalmoskop
Obat pelebar pupil: tropicamide 0.5%-1% atau fenilefrin hidroklorida 2.5%/10% .
Perhatian Sebaiknya sebelum melebarkan pupil, diukur tekanan bola mata terlebih
dahulu. Apabila tekanan bola mata pasien tinggi (>20), maka penggunaan obat pelebar
pupil tidak disarankan.

Untuk hasil pemeriksaan normal yang bisa dilihat adanya diskus optik berbentuk
bulat sedikit oval dengan warna pink karena adanya kapiler yang sangat kecil. Tepi
diskus harus tajam (tegas) dan dibagian tengah ada cekungan yang disebut physiologic
cup.Perbandingan antara diskus dengan cup di tengahnya pada keadaan normal berkisar
antara 0.3-0.4 yang disebut cup disc ratio.Pembuluh darah retina harus terlihat bercabang
ke arah 4 kuadran retina.Hal yang paling penting untuk dilihat adalah perbandingan
ukuran antara Vena dan arteri adalah 3:2 dengan posisi yang saling sejajar tidak
bersilangan. Dengan tekstur halus tidak ada penggembungan di bagian manapun. Retina
normal akan berwarna orange kemerahan karena pigmen yang dimiliki. Refleks makula
terletak di temporal diskus optikus.
Adapun kelainan-kelainan yang dapat ditemukan adalah:
1. Pada Papil saraf optik
a. Papiledema
b. Hilangnya pulsasi vena saraf optik
c. Ekskavasi papil saraf optik pada glaukoma
d. Atrofi saraf optik.

2. Pada retina
a. Pendarahan subhialoid
b. Pendarahan intra retina, flame shape, dots, blots
c. Eksudat
d. Edema retina
e. Edema macula.

3. Pada Pembuluh darah retina


a. Perbandingan atau rasio arteri vena
b. Perubahan bentuk/pola arteri vena
c. Adanya mikroanerisma dari vena.

Sumber : Budhiastra, P dkk. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Kesehatan Mata.
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2017

PEMERIKSAAN STATUS MENTAL


Pemeriksaan status mental meliputi penilaian status mental, penilaian kesadaran,
penilaian aktivitas psikomotorik, penilaian orientasi, penilaian persepsi, penilaian bentuk
dan isi pikir, penilaian mood dan afek, penilaian pengendalian impuls, penilaian menilai
realitas, penilaian kemampuan tilikan (insight), penilaian kemampuan fungsional.

Indikasi Pemeriksaan status mental dilakukan untuk :


1. Mengetahui diagnosis dari seorang pasien
2. Membantu dokter dalam melakukan tindakan selanjutnya pada pasien
3. Mengetahui perkembangan serta kemajuan terapi pada pasien
4. Digunakan sebagai standar pelayanan dalam memberikan pelayanan paripurna
terhadap pasien

Deskripsi umum
1. Penampilan : Posture, sikap, pakaian, perawatan diri, rambut, kuku, sehat, sakit,
marah, takut, apatis, bingung, merendahkan, tenang, tampak lebih tua, tampak lebih
muda, bersifat seperti wanita, bersifat seperti laki-laki, tanda-tanda kecemasan–tangan
basah, dahi berkeringat, gelisah, tubuh tegang, suara tegang, mata melebar, tingkat
kecemasan berubah-ubah selama wawancara atau dengan topik khusus.
2. Perilaku dan aktivitas psikomotorik : Cara berjalan, mannerisme, tics, gerak–
isyarat, berkejang-kejang (twitches), stereotipik, memetik, menyentuh pemeriksa,
ekopraksia, janggal / kikuk (clumsy), tangkas (agile), pincang (limp), kaku, lamban,
hiperaktif, agitasi, melawan (combative), bersikap seperti lilin (waxy)
3. Sikap terhadap pemeriksa : Kooperatif, penuh perhatian, menarik perhatian,
menantang (frack), sikap bertahan, bermusuhan, main-main, mengelak (evasive), berhati-
hati (guarded)

Sumber : Skill Lab Neuropsikiatri.2014. Buku Panduan Mahasiswa Tehnik


Keterampilan Pemeriksaan Status Mental. Makassar : Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanudin.

6. Jelaskan diferensial diagnose

 Migrain

Definisi

Migrain migrain adalah nyeri kepala dengan serangan nyeri yang berlangsung 4 - 72 jam. Nyeri biasanya
unilateral, sifatnya berdenyut, intensitas nyerinya sendang sampai berat dan diperberat oleh aktivitas, dan
dapat disertai mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
Sumber : Journal Of Vacational Health Studies 2018

Epidemiologi

Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO), migren menempati urutan keenam dari semua
penyakit dan urutan pertama dari semua kelainan saraf sebagai gangguan yang menyebabkan kecacatan.
Persentase penyakit ini berkisar antara 15-18% pada rentang usia 22-55 tahun.

Keluhan migren umumnya mulai dirasakan di sekitar masa pubertas dan lebih banyak terjadi pada
perempuan-laki-laki dengan rasio 3: 1 Migren juga dapat ditemukan pada anak-anak dengan rasio antara
laki-laki dan perempuan adalah 1: 1 Pada usia produktif, Kesehatan Nasional Survei Wawancara (NHIS)
menemukan bahwa perbedaan terbesar dalam prevalensi perempuan dan laki-laki terjadi pada usia 30,2
tahun.

Sumber : Jurnal Sinaps, Vol. 3, No. 3, 2020. Hlm. 1-13

ETIOLOGI

Penyebab migrain bersifat multifaktorial meliputi komponen faktor genetik dan faktor lingkungan.

Sumber : Hershey AD. Current approaches to the diagnosis and management of paediatric
migraine.Lancet Neurol. 2010;9:190–204.

Klasifikasi
Migren tanpa aura
a. Setidaknya lima serangan yang memenuhi kriteria B-D
b. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam ( baik tidak diobati atau tidak berhasil
diobati)
c. Setidaknya dua dari empat karakteristik:
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang sampai berat
4. Serangan diperburuk atau menyebabkan pasien menghindari aktivitas fisik rutin (misalnya
berjalan atau menaiki tangga).
d. Selama nyeri kepala terdapat setidaknya satu dari:
1. Mual dan/atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
e. Tidak lebih baik dijelaskan oleh diagnosis lain dalam ICHD-3
Migren dengan aura
a. Setidaknya dua serangkaian yang memenuhi kriteria B dan C
b. Satu atau lebih aura berikut yang bersifat reversible:
1. Visual
2. Sensorik
3. Bicara dan/atau bahasa
4. Mototrik
5. Batang otak
6. Retina
Tiga dari enam karakterisktik dibawah ini :
1. Setidaknya satu gejala aura berkembang secara bertahap  ≥5 menit
2. Dua atau lebih gejala aura terjadi berturut-turut
3. Setiap gejala aura berlangsung 5-60 menit
4. Setidaknya saru gejala bersifat unilateral
5. Setidaknya satu gejala merupakan aura positif
6. Aura disertai atau diikuti nyeri kepala dalam 60 menit
Tidak lebih baik dijelaskan oleh diagnosis lain dalam ICHD-3
Migren kronik
a. Nyeri kepala (seperti ogren atau jenis ketegangan) ≥15 hari/bulan selama > 3 bulan, dan
memenuhi kriteria B dan C terjadi pada pasien memiliki setiadaknya lima serangan memenuhi
kriteria B-D untuk migren tanpa aura dan/atau kriteria B dan C untuk mogren dengan aura
b. berlangsung ≥8 hari/bulan selama > 3 bulan, memenuhi salahsatu dari kriteria berikut :
1. kriteria C dan D untuk migren dengan aura
2. kriteria B dan C untuk migren dengan aura
3. diyakini oleh pasien sebagai migren saat awitan dan lega dengan turunan triptan atau ergot
tidak lebih baik dijelaskan oleh diagnosis lain dalam ICHD-3
Patofisiologi
Mekanisme munculnya nyeri pada migren belum sepenuhnya dimengerti, ada beberapa teori, yaitu:
1. Teori Vaskular
Berdasarkan teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial
yang menginduksi iskemia jaringan. Selanjutnya, terjadi rebound vasodilatasi dan mengaktitkan saraf
nosiseptif perivaskular yang akhirnya menyebabkan nyeri kepala. Namun teori ini memiliki kelemahan,
sehingga digantikan oleh teori neurovaskular.
2. Teori Neurovaskular
Menurut teori ini, migren pada awalnya merupakan proses neurogenik yang kemudian diikuti dengan
perubahan perfusi erebral (neuro ke vaskular). Pada teori ini, dikatakan orang dengan migren memiliki
saraf yang gam pang dieksitasi pada korteks serebral, terutama pada daerah oksipital. Perubahan-
perubahan neurokimiawi (terutama dopamin dan serotonin) menyebabkan hilangnya pengendalian neural
sentral (Couch,1995). Akhirnya keseimbangan vaskular pembuluh-pembuluh kranial terganggu dan
pembuluh-pembuluh tersebut melebar sehingga plasma keluar menuju ruang perivaskular. Aferen
trigeminus yang mempersarafi pemebuluh-pembuluh ini secara reaktif membebaskan berbagai
neuropeptida vasoaktif seperti CGRP yang memicu respon peradangan steril disekitar dinding pembuluh
darah (Cady, 1999). Aferen trigeminus yang mempersarafi pemebuluh-pembuluh ini secara reaktif
membebaskan berbagai neuropeptida vasoaktif seperti CGRP yang memicu respon peradangan steril
disekitar dinding pembuluh darah (Cady, 1999). Dengan demikian, riset mengisyaratkan bahwa
permulaan serangan migren terutama melibatkan disfungsi SSP yang kemudian disertai oleh pengaktivan
sistem trigeminovaskular, dan pembebasan peptida terutama neuropeptida terkait gen kalsitonin, mungkin
dari serat C (Edvinsson, 2001). Mekanisme migrain berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular yang
tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental ini yang memasukkan aferen secara
berlebihan yang kemudian akan terjadi dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya
rangsangan aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut (Antonaci et al., 2011).
3. Cortical Spreading Depression (CSD)
CSD merupakan teori yang menjelaskan mekanisme migren dengan aura. CSD merupakan gelombang
eksitasi neuronal pada substansia grisea yang menyebar dari satu sisi ke sisi lain otak dengan kecepatan 2-
6mmjmenit. Depolarisasi seluler ini menyebabkan fenomena korteks primer atau biasa disebut dengan
aura. Selanjutnya, proses depolarisasi akan menstimulasi aktivasi neuron nosiseptif pada pembuluh darah
dura yang kemudian mengaktivasi saraf trigeminus dan pacta akhirnya menghasilkan nyeri kepala.
Aktivasi neuron
nosiseptif dilakukan melalui pelepasan berbagai protein plasma dan substansi yang menstimulus
inflamasi, seperti calcitonin gene-related peptide (CGRP), substansi P, peptida intestinal vasoaktif, dan
neurokinin A. Proses inflamasi ini kemudian merangsang vasodilatasi dan akanditeruskan ke korteks
sensorik sebagai rasa nyeri yang berdenyut.
Sumber :
A, sylvia., M, Lorraine. (2015). Patofisiologi Edisi 6 Vo 2 Konsep Klinis Proses-proses Penyakit.
Jakarta :ECG. Appley, A. G & Somon.2010.
Sumber : - Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017

Faktor risiko
Migrain dapat dipicu oleh beberapa factor:
stres emosional (80%), hormon pada perempuan (65%), tidak makan (57%), cuaca (53%), gangguan tidur
(50%), bau-bauan (44%), nyeri leher (38%), cahaya (38%), alkohol (38%), asap rokok (36%), tidur larut
(32%), panas (30%), makanan (27%), olahraga (22%), aktivitas seksual (5%).

Sumber : Abyuda, Kadek PP dan Shahdevi, Nandar. 2021. Complicated Migraine. Malang. Jurnal of
Pain Headache and Vertigp (JPHV)

Manifestasi Klinis

1. Penderita mengalami serangan berulang, berat, dan membatasi, biasanya unilateral dan berpulsasi,
bersamaan dengan gejala gangguan sensori seperti sensitivitas terhadap cahaya, suara, dan bau. Mual dan
kaku leher adalah gejala yang umum dijumpai, dan gejala dapat memburuk dengan gerakan.

2. Beberapa mengalamai pusing selama serangan

3. 20-30% mengalama aura dan gejala neurologis (misalnya gangguan

visual) yang biasanya mengawali fase serangan nyeri kepala

4. Gejala penanda seperti menguap, iritabel, kelelahan, kelaparan, dan sulit

konsentrasi biasanya mengawali onset nyeri kepala.

Sumber : JURNAL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA TAHUN 2017

DIAGNOSIS

Banding Terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk sebagai penyaring adanya migren
pada pasien dengan nyeri kepala, termasuk juga untuk menilai derajat keparahan dan disabilitas yang
ditimbulkannya. lnstrumen /D-MigraineTM dan Migraine Screen Questionnaire (MS-Q) telah terbukti
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik, bahkan MS-Q sudah divalidasi ke dalam bahasa
Indonesia.

Migren pada anak juga cukup sering dan lebih sulit dideteksi, oleh karena itu dapat menggunakan
Pediatric migraine disability assessment (PedMIDAS).

Penegakan diagnosis migren ditegakkan terutama melalui anamnesis berdasarkan kriteria diagnosis IHS
yang dibagi menjadi migren tanpa aura dan migren dengan aura.

1. Migren tanpa Aura Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:

a. Nyeri kepala minimal berlangsung selama 4-72 jam (baik dalam kondisi belum diobati
atau sudah diobati namun belum berhasil).
b. Nyeri kepala memiliki minimal dua di an tara karakteristik berikut:
• Unilateral
• Kualitas berdenyut
• Intensitasnya nyeri sedang sampai be rat
• Diperberat dengan aktivitas fisik rutin maupun tidak rutin (seperti: berjalan jauh,
naik tangga)
c. Terdapat salah satu gejala penyerta di bawah ini:
• Mual danfatau muntah
• Fotofobia dan fonofobia
d. Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain (nyeri kepala sekunder).

2. Migren dengan Aura Migren dengan aura adalah serangan nyeri kepala berulang yang didahului
dengan gejala neurologis fokal yang reversibel secara bertahap dalam waktu 5-20 menit.

Gejala neurologis fokal ini dikenal dengan aura dan berlangsung dalam waktu kurang dari 60 menit.
Scanned for Pablo Kriteria diagnostik berdasarkan IHS:

a) Sekurang-kurangnya telah terjadi 2 serangan nyeri kepala yang memenuhi kriteria migren tanpa
aura.

b) Terdapat aura tipikal yang dapat berupa aura visual dan atau sensoris dan atau gangguan
berbahasa.

c) Nyeri kepala tidak berkaitan dengan penyakit lain ( nyeri kepala sekunder).

Sumber : Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017.

PENATALAKSANAAN

Tujuan terapi migren adalah mengurangi serangan, atau kalaupun muncul, serangannya tidak terlalu berat
dan tidak menggartggu kehidupan sehari-hari. Hal ini terutama dapat dicapai dengan menghindari
pencetus dan penggunaan terapi yang sesuai. Perlu edukasi yang jelas kepada pasien, karena serangan
yang berulang atau terapi yang tidak adekuat akan membuat ambang nyeri menurun dan lebih susah
diatasi. Oleh karena itu, secara umum terapi migren dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu terapi abortif,
nonmedikamentosa, dan profilaksis.
Terapi Abortif

Terapi abortif adalah terapi yang dibutuhkan saat pasien sedang dalam serangan akut dan berfungsi untuk
menghentikan progresi nyeri. Pengobatan harus diberikan sesegera mungkin dengan obat yang bekerja
cepat. Pemilihan jenis obat didasarkan pada durasi dan intensitas nyeri, gejala penyerta, derajat
disabilitas, respons terhadap pengobatan, dan penyakit komorbid. Jika pasien mengalami gejala penyerta
berupa mual dan atau Nyeri Kepala muntah, obat harus diberikan melalui rektal, nasal, subkutan, atau
intravena.

Terapi abortif dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: terapi abortif nonspesifik dan terapi abortif spesifik.

1. Terapi AbortifNonspesifik: Terapi ini diperuntukkan bagi pasien dengan serangan migren ringan
sampai sedang atau serangan berat yang berespons baik terhadap obat yang sama. Obat yang
digunakan pada terapi abortif nonspesifik adalah obat dari golongan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) atau obat nyeri over the counter (OTC).

Berikut ini adalah beberapa obat yang menjadi pilihan:

a. Parasetamol 500-1000mg tiap 6-8 jam, dosis maksimal 4gfhari


b. Ibuprofen 400-SOOmg tiap 6 jam, dosis maksimal 2,4gfhari
c. Natrium naproksen 275-550mg tiap 2-6jam, dosis maksimal1,5gfhari
d. Kalium diklofenak (powder) 50-100mg/ hari dosis tunggal
e. Metoklopramid 10 mg IV atau oral 20-30 menit sebelum atau bersamaan dengan
pemberian analgetik, OAINS atau derivat ergotamin. Obat ini efektif menghilangkan
nyeri yang disertai mual dan muntah, serta memperbaiki motilitas lambung,
mempertinggi absorpsi obat dalam usus dan efektif jika dikombinasikan dengan
dihidroergotamin intravena
f. Ketorolak 60mg IM per 15-30 menit. Dosis maksimal 12mgfhari dan diberikan tidak
lebih dari 5 hari
g. Butorfanol spray 1mg dalam sediaan nostril yang dapat diberikan dan diulang tiap 1 jam.
Maksimal 4 spray I hari dan penggunaannya terbatas 2 kali dalam seminggu
h. Proklorperazin 25mg oral atau suppositoria. Dosis maksimal 75mg dalam 24jam
i. Steroid seperti deksametason atau metilprednisolon merupakan obat pilihan untuk status
migrenosus.

2. Terapi Abortif Spesifik

a. Obatgolonganagonis SHT18/10 (triptans) seperti sumatriptan 6mg subkutan atau


sumatriptan 50-100mg peroral.
b. Derivat ergot seperti ergotamin 1-2mg yang dapat diberikan secara oral, subkutan,
maupun per rektal.
3. Terapi Nonmedikamentosa

Pasien harus menghindari faktor pencetus munculnya migren, seperti: perubahan pola tidur,
makananfminuman (keju, cokelat, monosodium glutamatfMSG, alkohol), stres, cahaya terang, cahaya
kelap-kelip, perubahan cuaca, tempat yang tinggi (seperti: gunung atau pesawat udara), dan rutinita:>
sehari-hari 576 yang dapat memicu serangan migren.

4. Terapi Profilaksis

Sebelum memberikan obat sebagai terapi preventif migren, harus diperhatikan perubahan pola hidup
untuk mendukung kerja obat profilaksis yang meliputi SEEDS, yaitu: • Sleep hygiene (tidur cukup
dengan jadwal teratur) • Eating schedules (makan bergizi dan teratur) • Exercise regimen (olahraga
teratur) • Drinking water (minum cukup air) • Stress reduction (kurangi stres)

lndikasi terapi profilaksis, yaitu:

1. Terganggunya aktivitas sehari-hari akibat serangan migren walaupun


pasien telah mendapat pengobatan nonmedikamentosa maupun abortif
2. Frekuensi serangan migren terlalu sering sehingga pasien berisiko
mengalami ketergantungan terhadap obat abortif migren (medication
overuse) Scanned for Pablo
3. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren sedang sampai berat
lebih dari 3 hari dalam 1 bulan dan sudah tidak responsif dengan
pemberian pengobatan abortif
4. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren lebih dari 8 kali sehari
walaupun pengobatan abortifnya efektif
5. Pasien mengalami serangan nyeri kepala migren yang berula:ng
>2xjminggu dan mengganggu aktiv1tas, walaupun telah diberikan
pengobatan abortif yang adekuat
6. Nyeri kepala migren yang berlangsung sering dan >48 jam
7. Pengohatan abortif gaga! atau tidak efektif
8. Munculnya gejala-gejala dan kondisi yang luar biasa, misalnya migren
basiler hemiplegik, aura yang memanjang
9. Pasien menginginkan obat profilaksis.

Sumber : Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta: Departemen
Neurologi FK UI; 2017.

PROGNOSIS

Migren adalah suatu penyakit kronik, tetapi dapat terjadi remisi dalam waktu panjang. Pada suatu studi
diketahui bahwa pada orang-orangyang mengalami migren dengan onset pada masa anak-anak, 62% akan
be bas serangan selama 2 tahun atau lebih pada saat pubertas. Keparahan dan frekuensi migren cenderung
untuk menurun seiring dengan penambahan usia. Setelah 15 tahun seringkali mengalami serangan
migren, sekitar 30% lelaki dan 40% perempuan tidak lagi mengalami serangan di usia lanjut.

Sumber: Buku Neurologis FK UI. 2017. Hal.579


KOMPLIKASI

Komplikasi migrain antara lain sebagai berikut:

1. Migrain kronis
2. Kejang yang dipicu migrain
3. Infark migrain (stroke dengan migrain)
4. Aura persisten (misalnya, 30-60 menit) tanpa infark

Sumber: Jasvinder Chawla, MD, MBA Chief of Neurology, Hines Veterans Affairs Hospital; Professor
of Neurology, Loyola University Medical Center, Medscape Neurology, 1 October.2021

PENCEGAHAN

Pendidikan pasien adalah kunci keberhasilan manajemen jangka panjang. Migrain adalah gangguan
neurologis kronis yang membutuhkan perubahan gaya hidup pada tingkat tertentu.

Sumber: Jasvinder Chawla, MD, MBA Chief of Neurology, Hines Veterans Affairs Hospital; Professor
of Neurology, Loyola University Medical Center, Medscape Neurology, 1 October.2021

 CLUSTER HEADACHE
(NYERI KEPALA KLASTER)

DEFENISI

Nyeri kepala tipe klaster atau cluster headache (CH) merupakan nyeri kepala tersering pada
TAC,sehingga fokus pembahasan pada bagian ini ialah mengenai CH.

CH memiliki karakteristik berupa nyeri kepala hebat yang disertai gejala otonom di tempat yang spesifik,
seperti orbita,supra-orbita,temporal,atau kombinasi tempat-tempat tersebut. Nyeri tersebut berlangsung
secara periodik, sehingga disebut sebagai klaster (cluster),dalam waktu 15-180 menit dengan frekuensi
dari 1 kali tiap 2 hari hingga 8 kali sehari. Serangan nyeri kepala selalu disertai satu atau lebih gejala,
seperti injeksi konjungtiva,lakrimasi,kongsti nasal,rhinorrhea,berkeringat dikening dan wajah,
miosis,ptosis,dan edema palpebral. Semua gejala tersebut bersifat ipsilateral, pasien sebagian besar
gelisah dan agitasi selama serangan CH berlangsung.

SUMBER:BUKU AJAR NEUROLOGI JILID 1 EDITOR TIARA ANINDITHA;,WINNUGROHO


WIRATMAN;,DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
INDONESIA;,RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO;,JAKARTA ;,2017

EPIDEMIOLOGI
Di Asia, CH berjumlah <3% dari total penderita nyeri kepala. Penderita CH sebagian besar merupakan
laki-laki dan terjadi pada usia 10-68 tahun dengan puncak 20 dan 29 tahun.

SUMBER:BUKU AJAR NEUROLOGI JILID 1 EDITOR TIARA ANINDITHA;,WINNUGROHO


WIRATMAN;,DEPARTEMEN NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
INDONESIA;,RUMAH SAKIT CIPTO MANGUNKUSUMO;,JAKARTA ;,2017

ETIOLOGI

Penyebab pasti sakit kepala cluster (CH) tidak diketahui. Gangguan ini sporadis, meskipun kasus yang
jarang dari pola autosomal dominan dalam satu keluarga telah dilaporkan; CH mungkin autosomal
dominan pada sekitar 5% kasus.

Beberapa faktor telah terbukti memprovokasi serangan CH. Injeksi histamin subkutan memicu serangan
pada 69% pasien. Stres, alergen, perubahan musim, atau nitrogliserin dapat memicu serangan pada
beberapa pasien. Alkohol menginduksi serangan selama cluster tetapi tidak selama remisi. Sekitar 80%
pasien CH adalah perokok berat, dan 50% memiliki riwayat penggunaan etanol berat.

Sumber:

Michelle Blanda, MD ed all. Cluster Headache. MedScape. 13 May 2021.

KLASIFIKASI

CH Episodik: minimal 2 ch dengan durasi 7 hari hingga 1 tahun yang diselilingi periode bebas nyeri
selama ≥ 1 bulan.

CH kronik: CH yang terjadi selama ≥1 tahun terus menerus tanpa remisi atau dengan remisi ≥1 bulan.

KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN JILID 2 EDISI 5

PATOFISOLOGI

sudah dikenal sejak lama, tetapi pnyakit ini gejalanya hingga saat ini masih belum bisa dimengerti secara
jelas.

Untuk memudahkan pemahaman penyakit ini, maka dilakukan pendekatan patofisiologis berdasarkan
gejala yang dialami pasien, yaitu:

1. nyeri kepala;
2. gejala otonom
3. periodisitas yang stereotipik.
Stimulus nyeri kepala disampaikan ke sistem saraf pusat melalui cabang nosiseptif oftalmikus nervus
Trigeminus. Cabang saraf ini menginervasi struktur intrakranial yang sensitif terhadap nyeri, seperti:
duramater dan pembuluh darah dural. Ketika saraf atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua jenis neuropeptida
trigeminovaskular ini merangsang inflamasi neurogenik dan dilatasi pembuluh darah yang kemudian
menimbulkan sensasi nyeri kepala. Gejala otonom pada nyeri kepala klaster merupakan indikasi adanya
aktivasi saraf parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang dari neuron orde pertama nukleus salivatorius
superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nukleus trigeminus. Serabut saraf ini selanjutnya
memanjang sejajar nervus fasialis dan bersinaps di ganglion pterigopalatina. Saraf post-ganglionik
berfungsi sebagai vasomotor dan sekretomotor pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan mukosa
hidung. Hal lain yang juga memicu munculnya gejala otonom adalah perubahan vaskular yang
menginduksi gangguan aktivitas saraf simpatis. Munculnya gejala sindroma Horner (ptosis, miosis,
injeksi konjungtiva) selama serangan nyeri kepala klaster, mengindikasikan adanya pengaruh pleksus
simpatis karotis, terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna segmen kavernosus.

Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan adanya disfungsi aktivitas
hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas kadar harmon kelenjar hipofisis yang
mengindikasikan adanya perubahan ritme sekretorik hipotalamus.

Nyeri Kepala

Gejalah Otonom

periodisitas yang
. stereotipik

Nyeri kepala klaster

SUMBER: KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN JILID 2 EDISI 5

FAKTOR RESIKO

• Jenis kelamin pria

• Usia 20-40 tahun

• Riwayat keluarga CH

• Merokok

• Kebiasaan minum alkohol

• Trauma kepala
Sumber : Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017.

GEJALA KLINIS

Gejala yang paling sering dikeluhkan berupa serangan nyeri pada wajah unilateral yang bersifat episodik,
spontan, menusuk, dan seperti tersengat listrik pada daerah wajah yang di persarafi oleh percabangan
nervus trigeminus. Nyeri bersifat progresif dalam waktu 20 detik, sehingga pasien terlihat kesakitan yang
kemudian menghilang dan menyisakan rasa terbakar yang bertahan beberapa detik hingga menit.

Neuralgia yang klasik biasanya memiliki titik picu (trigger point) daerah wajah yang dipersarafi nervus
trigeminus cabang kedua atau ketiga (terutama daerah pipi dan dagu). Hanya >5% pasien yang memiliki
titik picu di daerah nervus trigeminus cabang pertama. Pada 60% kasus, nyeri berasal dari ujung mulut
hingga ke arah sudut rahang, sedangkan 30% dari bibir atas atau gigi taring atas hingga ke sekitar mata
dan alis.

Nyeri tidak pernah menjalar dari satu sisi ke sisi lainnya, tetapi nyeri pada beberapa kasus dapat bilateral,
umumnya penyebab sentral berupa multipel sklerosis. Umum-nya akan ada periode bebas nyeri yang
dapat berlangsung beberapa minggu hingga beberapa tahun. Di antara dua serangan dapat terasa nyeri
tumpul yang bertahan dan menetap di beberapa kasus. Sesudah serangan nyeri umumnya akan ada
periode refrakter, yaitu suatu periode bebas rasa nyeri (kondisi tidak dapat dipicu).

Saat nyeri rekuren, titik picu umumnya akan berada pada tempat yang sama. Pemeriksaan neurologis
akan menunjukkan kondisi normal, kecuali jika dilakukan pemeriksaan segera setelah nyeri muncul,
berupa berkurangnya fungsi sensoris pada daerah nyeri sebanyak 60% pasien dapat melokalisasi titik picu
nyeri

DIAGNOSIS

Anamnesis : Nyeri kepala hebat, menyiksa, nyeri tajam, terasa seperti menusuk”. Nyeri mayoritas bersifat
unilateral di orbita, supraorbita, temporal atau kombinasi dari tempat-tempat tersebut, berlangsung 15-180
menit dan terjadi dengan frekuensi yang beragam (mulai dari sekali tiap dua hari hingga 8 kali sehari)

Pemeriksaan fisik : bisa ditemukan tanda keterlibatan saraf autonom, seperti rhinorrhea, lakrimasi, dan
injeksi konjungtiva.

Kriteria diagnostik cluster headache adaiah:

a. Terdapat minimal 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D

b. Nyeri hebat atau sangat hebat di orbita, supraorbita, dan temporal yang unilateral,
berlangsung 15-180 menit bila tidak diobati

c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu dari gejala berikut:

1. Injeksi konjungtiva dan atau lakrimasi ipsilateral


2. Kongesti nasal dan atau rhinorrhoea ipsilateral

3. Edema palpebra ipsilateral

4. Dahi dan wajah berkeringat ipsilateral

5. Miosis dan ptosis ipsilateral

6. Perasaan gelisah atau agitasi

d. Serangan-serangan tersebut mempunyai frekuensi: dari 1 kali setiap 2 hari sampai 8 kali per
hari

e. Tidak berkaitan dengan gangguan lain

Diagnosis Banding: migren

TATALAKSANA

Pada prinsipnya tata laksana nyeri kepala klaster bertujuan untuk menekan periode serangan,
menghentikan serangan alcut, mengurangi frekttensi serangan, serta me-ngurangi berat atau intensitas
serangan.

Terapi untuk serangan akut nyeri kepala klaster:

1. Inhalasi oksigen 100% 7 L/menit selama 15 menit dengan sungkup

Dihidroergotamin (DHE) 0,5-1,5mg se-cara intravcna akan mengurangi nycri dalam 10 menit. Pemberian
melalui tramuskular atau nasal memeiliki awitan lebih Iama.

2. Sumatriptan injeksi subkutan 6mg akan mengurangi nyeri dalam waktu 5-15 menit.
Dapat diulang setelah 24 jam. Suma-triptan dikontraindikasi untuk pasien dengan
penyakit jantung iskemik dan hipertensi tidak terkontrol. Suma-triptan nasal spray 20mg
juga dapat di-berikan, tetapi kurang efektif jika dibandingkan sumatriptan injeksi
subkutan. Efek sampingnya adalah pusing, letih, parestesia, dan kelemahan di wajah.

3. Anestesi lokal lmL lidokain 4% yang diteteskan pada kapas kemudian kapas diletakkan
di tiap lubang hidung selama 5 menit.

Indikasi terapi profilaksis:

a. Nyeri kepala klaster yang sulit hilang walaupun telah diberikan terapi abortif (gagal
terapi abortif)

b. Nyeri kepala klaster terjadi setiap hari dan berlangsung selama lebih dari 15 menit

c. Pasien yang bersedia dan mampu mengonsumsi obat setiap hari


Obat yang dapat digunakan untuk profilaksis:

1. Verapamil 120-160mg dapat diberikan 3-4 kali sehari (merupakan pilihan pertama
terapi profilaksis). Selain itu dapat juga menggunakan nimodipin 240mg/ hari atau
nifedipin 40-120mg/hari.

2. Prednisolon 50-75mg/hari. Dosis di kurangi 10% pada hari ketiga. Obat ini tidak
boleh diberikan dalam jangka wak-tu yang lama. Efektif mencegah serangan pada
80-90% kasus.

3. Litium 300-1500mg/hari per oral (rata-rata pemberian 600-900mg/hari)

4. Metisergid 4-10 mg/hari per oral

5. Ergotamin tartrat 2mg diberikan 2-3 kali per hari. Dapat diberikan dengan cara 2mg
per oral atau lmg per rektal, 2 jam sebelum serangan terutama pada malam hari.

Selain terapi medikamentosa, pasien perlu disarankan untuk membiasakan diri hidup dan istirahat teratur,
hindari konsumsi alkohol, batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin, hati-hati bila sedang berada
di ketinggian, serta hindari paparan terhadap produk tembakau dan sinar yang terlalu terang atau suara
yang terlalu gaduh (glare and bright light).

Sumber: buku ajar neurologi departemen neurologi fakultas kedokteran universitas Indonesia

KOMPLIKASI

Penderita CH rentan mengalami depresi karena nyeri CH sangat hebat dan dapat mengganggu aktivitas
sehari-hari

PROGNOSIS

Prognosis pada pasien CH dapat bervariasi, mulai dari persistennya serangan yang berulang,
memanjangnya masa remisi, hingga berubahnya CH episodik menjadi CH kronik. Tidak ada laporan
mortalitas akibat CH, namun banyak pasien dikatakan mengalami depresi dan bunuh diri akibat serangan
CH yang periodic

PENCEGAHAN

Menyarankan pasien untuk :

• Membiasakan diri hidup dan istirahat teratur

• Hindari konsumsi alkohol

• Batasi paparan terhadap zat volatil seperti gasolin

• Hati-hati bila sedang berada di ketinggian

• Serta hindari paparan terhadap produk tembakau dan sinar yang terlalu terang atau suara yang
terlalu gaduh
Sumber : Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017.

 Tension type headache

DEFINISI

Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau nyeri kepala tipe tegang adalah nyeri
kepala dari daerah orbita sampai ke daerah oksiput yang merupakan bentuk sakit kepala yang paling
sering dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu dan peningkatan stres. Nyeri kepala
memiliki karakteristik bilateral, rasa menekan atau mengikat dengan intensitas ringan sampai sedang.
Nyeri tidak bertambah pada aktifitas fisik rutin, tidak didapatkan mual tapi bisa ada fotofobia atau
fonofobia.

Sumber : Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016

ETIOLOGI

Secara umum penyebab TTH diklasifikasikan sebagai berikut:

a. organik, seperti: tumor serebral, meningitis, hidrosefalus, dan sifilis


b. gangguan fungsional, misalnya: lelah, bekerja tak kenal waktu, anemia, gout, ketidaknormalan
endokrin, obesitas, intoksikasi, dan nyeri yang direfleksikan.
Buruknya upaya kesehatan diri sendiri (poor self-related health), tidak mampu relaks setelah
bekerja, gangguan tidur, dan usia muda adalah faktor risiko terjadinya TTH. Pencetus TTH antara lain:
kelaparan, dehidrasi, pekerjaan/beban yang terlalu berat (overexertion), perubahan pola tidur, caffeine
withdrawal, pemutusan penggunaan alkohol mendadak, dan fluktuasi hormonal wanita. Stres dan konflik
emosional adalah pemicu tersering TTH.

Sumber : Millea PJ, Brodie JJ. Tension-Type Headache. Am Fam Physician 2002;66:797-805.

EPIDEMIOLOGI

Data epidemiologi menunjukkan bahwa tension type headache (TTH) merupakan tipe nyeri
kepala dari nyeri kepala primer yang tersering.

Global

Sebuah penelitian tahun 2007, menyatakan bahwa 46% populasi global mengalami nyeri kepala, dengan
prevalensi global dari tension type headache (TTH) merupakan yang terbesar yaitu 42% pada orang
dewasa. Studi Global Burden of Diseases, Injuries, and Risk Factors (GBD) studies pada 2016
menyatakan bahwa terdapat 1,89 juta orang di dunia yang menderita TTH pada tahun 2016.

Sumber : GBD 2016 Headache Collaborators. Global, regional, and national burden of migraine and
tension-type headache, 1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study 2016,
Lancet Neurol, 2018, 17: 954–76
Indonesia

Tidak banyak data epidemiologi mengenai tension type headache (TTH) di Indonesia. Sebuah
penelitian di Bali yang dilakukan pada mahasiswa senior fakultas kedokteran, melaporkan bahwa TTH
ditemukan pada 60,3% dari 73 orang.

Sumber : E.E. Suryawijaya, E. Widyadharma, O. Adnyana. Kolerasi Tension-Type Headache dengan


Gangguan Kualitas Hidup Mahasiswa Kedokteran Universitas Udayanan. Neurona, 2017, 34 : 97-100.

TTH dapat menyerang segala usia. Usia terbanyak adalah 25-30 tahun, namun puncak prevalensi
meningkat di usia 30-39 tahun. Sekitar 40% penderita TTH memiliki riwayat keluarga dengan TTH, 25%
penderita TTH juga menderita migren. Prevalensi seumur hidup pada perempuan mencapai 88%,
sedangkan pada laki-laki hanya 69%.

Nyeri kepala ini lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan perbandingan
3:1. TTH dapat mengenai semua usia, namun sebagian besar pasien adalah dewasa muda yang berusia
sekitar antara 20-40 tahun.

Sumber : Buku Ajar Neurologi dari Laboratorium Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya 2017

KLASIFIKASI

IHS (International Headache Society) membagi TTH menjadi beberapa subklasifikasi :

TTH episodik jarang (Infrequent episodic tension type headache)

TTH episodik yang jarang dapat bertahan dari hitungan menit hingga hari, nyeri dirasakan bilateral
dengan kualitas yang dirasakan menekan dan mengikat, nyeri dapat dirasakan dengan intensitas ringan
hingga sedang, tidak diperberat dengan aktivitas rutin, tidak mengalami mual namun fotofobia atau
fonofobia dapat muncul.
Pada infrequent episodic tension type headache, memiliki kriteria diagnostik:
a. Setidaknya ada 10 kali serangan dihitung dengan serangan yang datang 1 serangan per bulan
atau kurang dari 12 nyeri kepala per tahun
b. Nyeri kepala terjadi selama 30 menit sampai 7 hari
c. Nyeri kepala memiliki setidaknya 2 dari karakteristik berikut:
- Lokasi bilateral
- Bersifat menekan/mengikat dan tidak berdenyut
- Intensitas nyeri dari ringan hingga sedang
- Tidak diperburuk dengan aktivitas fisik rutin seperti berjalan atau naik tangga
d. Memiliki semua karakteristik:
- Tidak ada mual (anoreksia dapat terjadi)
- Fotofobia atau fonofobia (dapat terjadi salah satu tapi tidak keduanya)
e. Tidak ada hubungan/kaitan ke penyakit lain

1) TTH episodik sering (Frequent episodic tension type headache)


Kriteria diagnosis TTH episodik yang sering sama seperti TTH episodik yang jarang
kecuali pada TTH episodik yang sering kemunculan serangan muncul 10 kali dalam ≥ 1
tapi <15 hari per bulan paling sedikit dalam 3 bulan (>12 dan <180 hari per tahun) dan
memenuhi kriteria B-E pada TTH episodik yang jarang.

2) TTH kronik (Chronic tension type headache/CTTH)


TTH kronis dapat bertahan dari hitungan menit hingga hari, nyeri dirasakan bilateral
dengan kualitas yang dirasakan menekan dan mengikat, nyeri dapat dirasakan dengan
intensitas ringan hingga sedang, tidak diperberat dengan aktivitas rutin, dapat mengalami
mual ringan dan dapat muncul fotofobia atau fonofobia.
Kriteria diagnosis TTH kronik:
a. Nyeri kepala terjadi rata-rata ≥ 15 hari per bulan selama > 3 bulan atau 180 hari per tahun
b. Serangan bertahan pada hitungan jam atau dapat berkelanjutan
c. Nyeri kepala memiliki setidaknya 2 dari karakteristik berikut:
- Lokasi bilateral
- Bersifat menekan/mengikat dan tidak berdenyut
- Intensitas nyeri dari ringan hingga sedang
- Tidak diperburuk dengan aktivitas fisik rutin seperti berjalan atau naik tangga
d. Memenuhi semua :
- Tidak terjadi lebih dari satu fotofobia, fonofobia atau mual ringan
- Juga tidak ada mual sedang atau berat maupun muntah
e. Tidak ada hubungan/kaitan ke penyakit lain

sumber : jurnal univ. muhammadiyah semarang 2021

PATOFISIOLOGI
Sumber : Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017.

TTH umumnya muncul pada postur yang kurang baik, misalnya posisi tidur yang
kurang baik atau kepala yang telalu lama menunduk. Kontraksi terus menerus
menyebabkan penurunan perfusi lalu hipoksia. Keadaan tersebut memicu produksi
substrat nyeri, yaitu asam piruvat dan laktat. Stres dan depresi bukan merupakan
penyebab langsung meliankan mendorong pasien membuat yang kurang baik. Hipotesis
lain menyatatkan stres dan nyeri terus menerus menyebabkan sensitisasi nyeri sentral dan
perifer sehingga ambang nyeri turun. Kemudian, frekuensi dan durasi nyeri menjadi lebih
besar
Sumber: Buku kapita selekta edisi V,hal. 887

FAKTOR RESIKO

 kecemasan dan depresi


 tidak mampu relaks setelah bekerja
 gangguan tidur
 usia muda
sumber : Artikel penelitian “KORELASI TINGKAT KECEMASAN DENGAN
TENSION TYPE HEADACHE” univ. pattimura 2018
jurnal univ. muhammadiyah semarang 2021
Gejala Klinis
Nyeri kepala tipe tegang atau Tension type headache dirasakan bilateral (kedua sisi). Intensitasnya dari
ringan sampai sedang. Rasa nyeri yang dirasakan adalah tumpul seperti diikat atau ditekan, tidak
berdenyut, menyeluruh, disertai rasa tegang di sekitar leher dan kepala belakang. Pada TTH tidak
ditemukan mual muntah. Terjadi secara spontan, memburuk apabila stress, insomnia, kelelahan kronis,
iritabilitas, gangguan konsentrasi, kadang terjadi vertigo, dan rasa tidak nyaman pada bagian leher,
rahang, serta pada temporomandibular. Nyeri kepala ini akan berlangsung hanya 30 menit akan tetapi
dapat juga terjadi secara terus-menerus hingga 7 hari dengan intensitas bervariasi mulai dari ringan pada
waktu bangun tidur, semakin lama semakin berat dan membaik lagi ketika akan tidur.
Sumber: Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta:
Departemen Neurologi FK UI; 2017.
Diagnosis
1) Anamnesis
 Nyeri tersebar secara difus, intensitas nyerinya mulai dari ringan sampai sedang.
 Waktu berlangsungnya nyeri kepala selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri timbul sesaat
atau terus menerus.
 Lokasi nyeri pada awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke
kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat
menjalar ke bahu.
 Sifat nyeri kepala dirasakan seperti berat di kepala, pegal, rasa kencang pada daerah bitemporal
dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala. Nyeri kepalanya tidak berdenyut.
 Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah.
 Pada TTH yang kronis biasanya merupakan manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya
seperti kecemasan dan depresi.

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis dalam batas normal. Tidak menutup kemungkinan, pada keadaan
tertentu ada trigger point, yaitu otot tegang sehingga nyeri saat ditekan pada bagian leher dan kepala.
3) Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium: darah rutin, elektrolit, kadar gula darah,dll (atas indikasi untuk menyingkirkan penyebab
sekunder)
Radiologi : atas indikasi (untuk menyingkirkan penyebab sekunder).
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis TTH Episodik Infrekuen:
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata rata <1 hari/bulan (<12 hari/tahun) dan
memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitasnya ringan atau sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga.
D. Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: foto fobia atau fonofobia.
E. Tidak ada yang lebih sesuai dengan diagnosis lain dari ICHD-3
Disebut sebagai nyeri kepala TTH Episodik frekuen bila terjadi sedikitnya 10 episode yang timbul
selama 1–14 hari/bulan selama paling tidak 3 bulan (12– 180 hari/tahun) atau TTH kronik bila nyeri
kepala timbul > 15 hari per bulan, berlangsung > 3 bulan (≥180 hari/tahun).
Dapat disertai/tidak adanya nyeri tekan perikranial (pericranial tenderness) yaitu nyeri tekan pada otot
perikranial (otot frontal, temporal, masseter, pteryangoid, sternokleidomastoid, splenius dan
trapezius) pada waktu palpasi manual, yaitu dengan menekan secara keras dengan gerakan kecil
memutar oleh jari-jari tangan kedua dan ketiga pemeriksa. Hal ini merupakan tanda yang paling
signifikan pada pasien TTH.
Sumber: PERDOSSI. 2016. Acuan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI. p.11-12
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan tension-type headache
Berikut dijelaskan prinsip penanganan tension-type headache:
1. Terapi tension-type headache meliputi modifikasi gaya hidup untuk mengurangi kambuhan nyeri
kepala, modalitas terapi non farmakologis, dan terapi farmakologis akut maupun profilaksis.
2. Tahap awal penting pada tata laksana tension-type headache adalah edukasi mengenai faktor
pencetus dan implementasi tatalaksana stres dan latihan untuk mencegah/mengurangi tension-
type headache.
3. Tension-type headache akut membaik dengan sendirinya atau dikelola dengan analgesik yang
dijual bebas seperti asetaminofen, NSAID atau asam asetilsalisilat. Kombinasi dengan kafein juga
efektif.
4. Terapi non farmakologis meliputi terapi relaksasi, cognitive-behavioral therapy dan pemijatan.
5. Terapi profilaksis diberikan hila nyeri kepalafrequent, berhubungan dengan pekerjaan, sekolah
dan kualitas hidup, dan/atau penggunaan analgesik yang dijual bebas meningkat (>10-15 hari per
bulan). Pilihan terapi profilaksis meliputi antidepresan trisiklik seperti amitriptyline dan
nortriptyline. Jenis terapi penanganan tension-type headache
Jenis terapi penanganan tension-type headache dibedakan menjadi:
1. Terapi Farmakologis Tension-type Headache
a. Pada serangan akut tidak boleh lebih dari 2 hari/minggu
1) Analgesik: aspirin 1000 mg/hari, asetaminofen 1000 mg/hari, NSAIDs
(Naproxen 660-750 mg/hari, Ketoprofen 25-50 mg/hari, tolfenamic 200-400
mg/hari, asam mefenamat, fenoprofen, ibuprofen 800 mg/hari, diklofenac 50-100
mg/ hari). Pemberian analgesik dalam waktu lama dapat menyebabkan iritasi
gastrointestinal, penyakit ginjal dan hepar, gangguan fungsi platelet.
2) Kafein (analgesik aj uvan) 65 mg.
3) Kombinasi: 325 mg aspirin, asetaminofen 65-200 mg kafein.
b. Pada tipe kronis:
1) Antidepresan
Jenis trisiklik: amitriptyline, sebagai obat terapeutik maupun sebagai pencegahan tension-
type headache. Obat ini mempunyai efek analgesik dengan cara mengurangi firing rate of
trigeminal nucleus caudatus. Dalam jangka lama semua trisiklik dapat menyebabkan
penambahan berat badan (merangsang nafsu makan), mengganggu jantung, hipotensi
ortostatik dan efek antikolinergik seperti mulut kering, mata kabur, tremor dan dysuria,
retensi urine, dan konstipasi.
2) Antiansietas
Baik pada pengobatan kronis dan preventif terutama pada penderita dengan komorbid
ansietas. Golongan benzodiazepine dan butalbutal sering dipakai. Kekurangan obat ini
bersifat adiktif, dan sulit dikontrol sehingga dapat memperburuk nyeri kepalanya.
2. Terapi Non Farmakologis

 Kontrol diet
 Terapi fisik
 Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif, dan ergotamin
 Behaviour Treatment

Pengobatan Fisik
a. Latihan postur dan posisi
b. Masase, ultrasound, terapi manual, kompres panas/dingin
c. Akupuntur TENS (transcutaneous electrical stimulation)

Obat Anastesi ataupun Bahan Lain pada Trigger Point


Terapi behaviour
Dapat dilakukan biofeedback, stress management therapy, reassurance, konseling, terapi relaksasi,
cognitive-behavioural therapy. Harus diberikan keterangan yang jelas mengenai patofisiologi sederhana
dan pengobatannya serta tension-type headache bukanlah penyakit yang serius seperti tumor otak,
perdarahan otak dan sebagainya sehingga dapat mengurangi ketegangan penderita.
Penanganan psikologis Dalam hal ini harus diberikan penjelasan agar penderita dapat menerima hasil
yang didapat dan cukup realistik.
3. Terapi Preventif Farmakologis
Indikasi:
Perlu diberikan pada penderita yang sering mendapat serangan nyeri kepala pada tension-type headache
episodik dan serangan yang lebih dari 15 hari dalam satu bulan (chronic tension-type headache).
Indikasi terapi preventif:

a. Terapi preventif direkomendasikan pada kasus disabilitas akibat nyeri kepala ≥ 4 hari/bulan atau tidak
ada respons terhadap terapi simtomatis, bahkan bila frekuensi nyeri kepalanya rendah.
b. Terapi dikatakan efektif bila mengurangi frekuensi serangan dan/atau derajat keparahan minimal 50%.
c. Identifikasi faktor pencetus dan yang mengurangi nyeri kepala, jika memungkinkan juga berperan
dalam mengurangi frekuensi serangan.
d. Penyakit komorbid yang lain ikut menentukan pemilihan terapi (misal: penggunaan amitriptyline
dikontraindikasikan pada hipertrofi prostat dan glaukoma).
e. Perhatian khusus terhadap adanya interaksi obat.
f. Terapi preventif seharusnya berbasis obat tunggal yang dititrasi pada dosis rendah yang efektif dan
ditoleransi dengan baik
g. Pasien harus dilibatkan dalam pemilihan terapi dan sedapat mungkin dianjurkan untuk tidak
mengonsumsi obat dalam jumlah banyak (kepatuhan minum obat berkebalikan dengan jumlah obat yang
dikonsumsi).
h. Pasien harus diinformasikan mengenai bagaimana dan kapan obat seharusnya diminum, efikasi dan
efek sampingnya. Pasien disarankan untuk mencatat serangan nyeri kepala pada diary nyeri kepala untuk
mengetahui frekuensi dan durasi nyeri kepala, gangguan fungsional, jumlah obat simtomatis yang
diminum, efikasi terapi prevensi dan efek samping yang mungkin muncul.
Prinsip-prinsip pemilihan pengobatan:
a. Obat berdasarkan efektivitas lini pertama, efek samping, dan komorbid penderita.
b. Mulai dengan dosis rendah, dinaikkan sampai efektif atau tercapai dosis maksimal.
c. Obat diberikan dalam jangka waktu seminggu/lebih.
d. Dapat diganti dengan obat lain bila obat pertama gagal.
e. Sedapat mungkin monoterapi.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2018. Diagnosis dan Penatalaksanaan Nyeri
Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala: Konsensus Nasional V Pokdi.

PPT
Manifestasi Klinis

 Nyeri dirasakan bilateral


 Intensitas ringan-sedang
 Nyeri dirasakan tumpul seperti diikat atau ditekan, tidak berdenyut, menyeluruh, serta rasa tegang
di sekitar leher dan kepala belakang
 Terjadi secara spontan, berlangsung 30 menit tetapi dapat terjadi hingga 7 hari
Anindhita T, Wiratman W. Buku Ajar Neurologi, Jilid 2. Edisi Pertama. Jakarta: Departemen Neurologi
FK UI; 2017.
Diagnosis
1) Anamnesis
2) Pemeriksaan Fisik
Dalam batas normal
3) Pemeriksaan Penunjang
Lab: darah rutin, elektrolit, kadar gula darah,dll
Radiologi: atas indikasi
Kriteria Diagnosis
Infrekuen TTH:
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata rata <1 hari/bulan (<12 hari/tahun) dan
memenuhi kriteria B-D.
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari.
C. Nyeri kepala paling tidak terdapat 2 gejala khas:
1. Lokasi bilateral.
2. Menekan/mengikat (tidak berdenyut).
3. Intensitasnya ringan/sedang.
4. Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan/naik tangga.
D. Tidak didapatkan:
1. Mual/muntah (bisa anoreksia).
2. Lebih dari satu keluhan: fotofobia/fonofobia.
E. Tidak ada yang lebih sesuai dengan diagnosis lain dari ICHD-3
Frekuen TTH:
Bila terjadi sedikitnya 10 episode yang timbul selama 1–14 hari/bulan selama paling tidak 3 bulan
(12–180 hari/tahun) atau TTH kronik bila nyeri kepala timbul > 15 hari per bulan, berlangsung > 3
bulan (≥180 hari/tahun).
PERDOSSI. 2016. Acuan Praktik Klinis Neurologi. PERDOSSI. p.11-12

Penatalaksanaan
1) Terapi Farmakologi
a. Pada serangan akut tidak boleh lebih dari 2 hari/minggu, yaitu dengan:
Analgetik:
1. Aspirin 1000 mg/hari,
2. Asetaminofen 1000 mg/hari,
3. NSAIDs (Naproxen 660-750 mg/hari, Ketoprofen 25-50 mg/hari, asam mefenamat, ibuprofen
800 mg/hari, diklofenak 50-100 mg/hari).
4. Kafein (analgetik ajuvan) 65 mg.
5. Kombinasi: 325 mg aspirin, asetaminofen + 40 mg kafein.
b. Pada tipe kronis
1. Antidepresan: Jenis trisiklin yaitu amytriptiline, sebagai obat terapeutik maupun sebagai pencegahan
tension-type headache.
2. Antiansietas: Golongan benzodiazepin dan butalbutal sering dipakai.
2) Terapi nonfarmakologi
 Kontrol diet
 Terapi fisik
 Hindari pemakaian harian obat analgetik, sedatif dan ergotamin
 Behaviour treatment
Pengobatan Fisik
o Latihan postur dan posisi.
o Massage, ultrasound, manual terapi, kompres panas/dingin.
o Akupuntur TENS (transcutaneus electrical stimulation)

Sumber: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). 2018. Diagnosis dan
Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Kelompok Studi Nyeri Kepala: Konsensus Nasional V Pokdi.

Komplikasi
1. Terapi Analgetik
2. OAINS jangka lama
• Tukak Duodenum
• Anemia sekunder
• Gangguan fungsi trombosit
• Nefropati analgesic
Sumber : Farmakologi dan Terapi FK UI, Edisi5. Hal 230-234
Pencegahan
Obat lini pertama untuk pencegahan tension type headache (TTH) adalah amitriptyline. Edukasi dan
promosi kesehatan terhadap tension type headache (TTH) di antaranya adalah penggunaan profilaksis
medikamentosa dan penekanan agar pasien hanya mengonsumsi analgesik jika sedang terjadi serangan
akut saja untuk menghindari penggunaan berlebihan.

1. Edukasi Pasien
Edukasi pasien tension type headache (TTH) di antaranya adalah cara untuk mengelola stres, memiliki
waktu tidur yang cukup, dan tidak menggunakan obat antinyeri lebih dari 3 hari per minggu.

Sumber: J.C Rains, R.E Davis, T.A Smitherman. Tension-type Headache and Sleep. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2015,15(2):520.
Hanson GR, Venturelli PJ, Fleckenstein AE. Drugs and Society, edisi ke-12. Jones & Bartlett
Learning LLC, 2015; hlm. 174-196.
Prognosis
Walaupun tidak berbahaya, TTH dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Kasus TTH terbanyak adalah
kasus TTH episodik, namun akan sangat mudah menjadi kronik dan akan meningkat jika pemicu stress
tidak bisa diatasi.
Sumber: buku ajar neurologi departemen neurologi fakultas kedokteran universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai