Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

MIGRAINE

Disusun Oleh:

dr. Veradita Dharmayanti Kusumafirsti

Pembimbing

dr. M. Rehulina, M. Kes (Epid)

PROGRAM DOKTER INTERNSIP

ANGKATAN IV TAHUN 2019

PERIODE 15 MARET 2019 – 15 JULI 2019

PUSKESMAS REMBANG II

2019
BAB I

PENDAHULUAN

Sakit kepala adalah salah suatu keluhan yang sering dikemukakan


dalam praktek ilmu penyakit saraf. Menurut International Headache Society, sakit
kepala dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu sakit kepala primer dan sakit
kepala sekunder. Sakit kepala primer adalah sakit kepala tanpa penyebab yang
jelas dan tidak berhubungan dengan penyakit lain. Contohnya adalah sakit kepala
tipe tension, migrain, dan cluster. Sedangkan sakit kepala sekunder adalah sakit
kepala yang disebabkan oleh penyakit lain seperti akibat infeksi virus, adanya
massa tumor, cairan otak, darah, serta stroke.
Migrain adalah nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan
selama 4-72 jam. Karekteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas
sedang atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti
dengan nausea dan/atau fotofobia dan fonofobia. Migrain secara umum dibagi
menjadi 2 yaitu migraine klasik dan migraine umum dimana migraine umum 5
kali lebih sering terjadi daripada migrain klasik.
Migrain dapat terjadi pada 18% dari wanita dan 6% dari pria sepanjang
hidupnya. Prevalensi tertinggi berada diantara umur 25-55 tahun. Migrain timbul
pada 11% masyarakat Amerika Serikat yaitu kira-kira 28 juta orang. Migrain lebih
sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan sebelum
usia 12 tahun, tetapi lebih sering ditemukan pada wanita setelah pubertas, yaitu
paling sering pada kelompok umur 25-44 tahun.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk membuat
laporan kasus tentang migrain.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Migrain berasal dari bahasa Yunani yaitu hemicranias (hemi : setengah,


cranium : tengkorak kepala) adalah nyeri kepala yang umumnya unilateral yang
berlangsung selama 4 - 72 jam, sekitar 2/3 penderita migrain predileksinya
unilateral, dengan sifat nyeri yang berdenyut, dan lokasi nyeri umumnya di daerah
frontotemporal dan diperberat dengan aktivitas fisik. Prevalensi migraine lebih
sering pada perempuan dibanding laki-laki, diperkirakan dua sampai tiga kali
lebih sering pada perempuan.

Migrain merupakan gangguan nyeri kepala berulang, dengan serangan


berlangsung selama 4–72 jam dengan karakteristik berlokasi unilateral, nyeri
berdenyut (pulsating), intensitas sedang atau berat, diperberat oleh aktivitas fisik
rutin, dan berhubungan dengan mual dan/atau fotofobia serta fonofobia (Headache
Classification Subcommittee of the International Headache Society).

Migrain adalah salah satu jenis nyeri kepala primer yang diklasifikasikan
oleh International Headache Society (IHS) dan merupakan penyebab nyeri kepala
primer kedua setelah Tension Type Headache (TTH).

B. Etiologi

Penyebab terjadinya migraine masih belum diketahui secara pasti, namun


ada beberapa faktor atau pemicu yang dapat menyebabkan terjadinya migraine.

1. Riwayat penyakit migren dalam keluarga. 70-80% penderita migraine memiliki


anggota keluarga dekat dengan riwayat migraine juga.

2. Perubahan hormone (esterogen dan progesterone) pada wanita, khususnya pada


fase luteal siklus menstruasi.
3. Makanan yang bersifat vasodilator (anggur merah, natrium nitrat)
vasokonstriktor (keju, coklat) serta zat tambahan pada makanan.

4. Stres

5. Faktor fisik, tidur tidak teratur

6. Rangsang sensorik (cahaya silau dan bau menyengat)

7. Alkohol dan Merokok

C. Anatomi

Cranium atau tulang tengkorak adalah sekumpulan tulang yang saling


berhubungan satu sama lain yang didalamnya terdapat cavum cranii yang
berisi otak atau encephalon. Cranium dibagi menjadi neurocranium dan
viscerocranium, yang melindungi otak adalah neurocranium dan yang
membentuk tulang wajah adalah viscerocranium. Disebelah profunda dari
cranium terdapat lembaran jaringan ikat yang juga berfungsi melindungi otak
disebut meninx yang terdiri dari atas 3 lapis yaitu duramater, arachnoidmater,
dan piamater. Selain itu kulit kepala, otot, tendon, dan jaringan ikat atau
fascia kepala yang letaknya lebih superficial juga ikut berperan dalam
melindungi otak.4
Dari semua struktur cranium diatas ada yang memiliki reseptor peka nyeri
dan ada yang tidak memiliki reseptor nyeri. Yang memiliki reseptor nyeri
dibagi menjadi struktur peka nyeri ekstrakranial dan intracranial. Struktur
peka nyeri ekstrakranial antara lain, kulit kepala, otot kepala, tendon, fascia
kepala, periosteum, sinus paranasalis, gigi geligi, telinga luar, nervus
cervicalis C2 C3, dan arteri ekstrakranial. Struktur peka nyeri intracranial
antara lain, meninx, sinus venosus duramater, arteri meningea, nervus
cranialis. Sedangkan struktur yang tidak peka nyeri antara lain, tulang kepala,
parenkim otak, ventrikel dan plexus choroideus.
Apabila terjadi rangsangan yang melibatkan reseptor peka nyeri pada
struktur cranium diatas maka akan menyebabkan nyeri kepala atau cephalgia.
Jika nyeri kepala melibatkan struktur di 2/3 fossa cranium anterior atau
supratentorial maka nyeri akan diproyeksikan ke daerah frontal, temporal dan
parietal yang diperantarai oleh nervus trigeminal, dan jika nyeri kepala
melibatkan struktur di daerah fossa cranii posterior atau infratentorial maka
nyeri akan diproyeksikan ke daerah occipital, leher dan belakang telinga yang
diperantarai oleh nervus cervicalis atas C1, C2 dan C3.

D. Klasifikasi

Menurut The International Headache Society, klasifikasi migren adalah


sebagai berikut:
1. Migren tanpa aura
2. Migren dengan aura
a. Migren dengan aura yang khas
b. Migren dengan aura yang diperpanjang
c. Migren dengan lumpuh separuh badan (familial hemiflegic migraine)
d. Migren dengan basilaris
e. Migren aura tanpa nyeri kepala
f. Migren dengan awitan aura akut
3. Migren oftalmoplegik
4. Migren retinal
5. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
6. Migren dengan komplikasi
a. Status migren (serangan migren dengan sakit kepala lebih dari 72 jam)
• Tanpa kelebihan penggunaan obat
• Kelebihan penggunaan obat untuk migren
b. Infark migren
7. Gangguan seperti migren yang tidak terklasifikasikan
Dahulu dikenal adanya classic migraine dan common migraine. Classic
migraine didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologik fokal,
misalnya gangguan penglihatan, sensorik, atau wicara. Sedangkan common
migraine tidak didahului atau disertai dengan fenomena defisit neurologic
fokal. Oleh Ad Hoc Committee of the International Headache Society
diajukan perubahan nama atau sebutan untukkeduanya menjadi migren
dengan aura untuk classic migraine dan migren tanpa aura untuk common
migraine.
E. Patofosiologi
Ada 3 hipotesa dalam hal patofisiologi migren yaitu
1. Pada migren yang tidak disertai CA, berarti sensitisasi neuron ganglion
trigeminal sensoris yang meng-inervasi duramater.
2. Pada migren yang menunjukkan adanya CA hanya pada daerah referred
pain, berarti terjadi sensitisasi perifer dari reseptor meninggal (first
order) dan sensitisasi sentral dari neuron komu dorsalis medula spinalis
(second order) dengan daerah reseptif periorbital.
3. Pada migren yang disertai CA yang meluas keluar dari area referred
pain, terdiri atas penumpukan dan pertambahan sensitisasi neuron
talamik (third order) yang meliputi daerah reseptif seluruh tubuh.
Pada penderita migren, disamping terdapat nyeri intrakranial juga
disertai peninggian sensitivitas kulit. Sehingga patofisiologi migren diduga
bukan hanya adanya iritasi pain fiber perifer yang terdapat di pembuluh
darah intrakranial, akan tetapi juga terjadi kenaikan sensitisasi set safar
sentral terutama pada sistem trigeminal, yang memproses informasi yang
berasal dari struktur intrakranial dan kulit.
Pada beberapa penelitian terhadap penderita migren dengan aura,
pada saat paling awal serangan migren diketemukan adanya penurunan
cerebral blood flow (CBF) yang dimulai pada daerah oksipital dan meluas
pelan-pelan ke depan sebagai seperti suatu gelombang ("spreading
oligemia”), dan dapat menyeberang korteks dengan kecepatan 2-3 mm per
menit. hal ini berlangsung beberapa jam dan kemudian barulah diikuti
proses hiperemia. Pembuluh darah vasodilatasi, blood flow berkurang,
kemudian terjadi reaktif hiperglikemia dan oligemia pada daerah oksipital,
kejadian depolarisasi sel saraf menghasilkan gejala scintillating aura,
kemudian aktifitas sel saraf menurun menimbulkan gejala skotoma.
Peristiwa kejadian tersebut disebut suatu cortical spreading depression
(CDS). CDS menyebabkan hiperemia yang berlama didalam duramater,
edema neurogenik didalam meningens dan aktivasi neuronal didalam TNC
(trigeminal nucleus caudalis) ipsilateral. Timbulnya CSD dan aura migren
tersebut mempunyai kontribusi pada aktivasi trigeminal, yang akan
mencetuskan timbulnya nyeri kepala.
Pada serangan migren, akan terjadi fenomena pain pathway pada
sistem trigeminovaskuler, dimana terjadi aktivasi reseptor NMDA, yang
kemudian diikuti peninggian Ca sebagai penghantar yang menaikkan
aktivasi proteinkinase seperti misalnya 5-HT, bradykinine, prostaglandin,
dan juga mengaktivasi enzym NOS. Proses tersebutlah sebagai penyebab
adanya penyebaran nyeri, allodynia dan hiperalgesia pada penderita
migren.
Fase sentral sensitisasi pada migren, induksi nyeri ditimbulkan
oleh komponen inflamasi yang dilepas dari dura, seperti oleh ion
potasium, protons, histamin, 5HT (serotonin), bradikin, prostaglandin E di
pembuluh darah serebral, dan serabut saraf yang dapat menimbulkan nyeri
kepala. Pengalih komponen inflamasi tersebut terhadap reseptor C fiber di
meningens dapat dihambat dengan obat-obatan NSAIDs (non steroid anti
inflammation drugs) dan 5-HT 1B/1D agonist, yang memblokade reseptor
vanilloid dan reseptor acid-sensittive ion channel yang juga berperan
melepaskan unsur protein inflamator).
Fase berikutnya dari sensitisasi sentral dimediasi oleh aktivasi
reseptor presinap NMDA purinergic yang mengikat adenosine triphosphat
(reseptor P2X3) dan reseptor 5-HT IB/ID pada terminal sentral dari
nosiseptor C-fiber. Nosiseptor C-fiber memperbanyak pelepasan
transmitter. Jadi obat-obatan yang mengurangi pelepasan transmitter
seperti opiate, adenosine dan 5-HT1B/1D reseptor agonist, dapat
mengurangi induksi daripada sensitisasi sentral. Proses sensitisasi di
reseptor meningeal perivaskuler mengakibatkan hipersensitivitas
intrakranial dengan manifestasi sebagai perasaan nyeri yang ditimbulkan
oleh berbatuk, rasa mengikat di kepala, atau pada saat menolehkan kepala.
Sedangkan sensitivitas pada sentral neuron trigeminal menerangkan proses
timbulnya nyeri tekan pada daerah ektrakranial dan cutaneus allodynia.
Sehingga ada pendapat bahwa adanya cutaneus allodynia (CA) dapat
sebagai marker dari adanya sentral sensitisasi pada migren.
Pada pemberian sumaptriptan maka aktivitas batang otak akan
stabil dan menyebabkan gejala migren pun akan menghilang sesuai
dengan pengurangan aktivasi di cingulate, auditory dan visual association
cortical. Hal itu menunjukkan bahwa patogenesis migren sehubungan
dengan adanya aktivitas yang imbalance antara brain stem nuclei
regulating antinoception dengan vascular control. Juga diduga bahwa
adanya aktivasi batang otak yang menetap itu berkaitan dengan durasi
serangan migren dan adanya serangan ulang migren sesudah efek obat
sumatriptan tersebut menghilang.
Beberapa tahun belakangan ini telah banyak penelitian yang
menjelaskan patomekanisme terjadinya migraine. Paling tidak ada 3 teori
yang diyakini dapat menjelaskan mekanisme migraine.
1. Teori Vascular
Vasokontriksi intrakranial di bagian luar korteks berperan dalam
terjadinya migren dengan aura. Pendapat ini diperkuat dengan adanya
nyeri kepala disertai denyut yang sama dengan jantung. Pembuluh darah
yang mengalami konstriksi terutama terletak di perifer otak akibat aktivasi
saraf nosiseptif setempat.
Teori ini dicetuskan atas observasi bahwa pembuluh darah
ekstrakranial mengalami vasodilatasi sehingga akan teraba denyut jantung.
Vasodilatasi ini akan menstimulasi orang untuk merasakan sakit kepala.
Dalam keadaan yang demikian, vasokonstriktor seperti ergotamin akan
mengurangi sakit kepala, sedangkan vasodilator seperti nitrogliserin akan
memperburuk sakit kepala.
2. Teori Neurovascular-Neurokimia (Trigeminovascular)
Teori vaskular berkembang menjadi teori neurovaskular yang
dianut oleh para neurologist di dunia. Pada saat serangan migraine terjadi,
nervus trigeminus mengeluarkan CGRP (Calcitonin Gene-related Peptide)
dalam jumlah besar. Hal inilah yang mengakibatkan vasodilatasi
pembuluh darah multipel, sehingga menimbulkan nyeri kepala. CGRP
adalah peptida yang tergolong dalam anggota keluarga calcitonin yang
terdiri dari calcitonin, adrenomedulin, dan amilin. Seperti calcitonin,
CGRP ada dalam jumlah besar di sel C dari kelenjar tiroid. Namun CGRP
juga terdistribusi luas di dalam sistem saraf sentral dan perifer, sistem
kardiovaskular, sistem gastrointestinal, dan sistem urologenital. Ketika
CGRP diinjeksikan ke sistem saraf, CGRP dapat menimbulkan berbagai
efek seperti hipertensi dan penekanan pemberian nutrisi. Namun jika
diinjeksikan ke sirkulasi sistemik maka yang akan terjadi adalah hipotensi
dan takikardia.
CGRP adalah peptida yang memiliki aksi kerja sebagai vasodilator
poten. Aksi keja CGRP dimediasi oleh 2 reseptor yaitu CGRP 1 dan
CGRP 2. Pada prinsipnya, penderita migraine yang sedang tidak
mengalami serangan mengalami hipereksitabilitas neuron pada korteks
serebral, terutama di korteks oksipital, yang diketahui dari studi rekaman
MRI dan stimulasi magnetik transkranial.
Hipereksitabilitas ini menyebabkan penderita migraine menjadi
rentan mendapat serangan, sebuah keadaan yang sama dengan para
pengidap epilepsi. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa pada saat serangan
migraine, sering terjadi alodinia (hipersensitif nyeri) kulit karena jalur
trigeminotalamus ikut tersensitisasi saat episode migraine.
Mekanisme migraine berwujud sebagai refleks trigeminal vaskular
yang tidak stabil dengan cacat segmental pada jalur nyeri. Cacat segmental
ini yang memasukkan aferen secara berlebihan yang kemudian akan terjadi
dorongan pada kortibular yang berlebihan. Dengan adanya rangsangan
aferen pada pembuluh darah, maka menimbulkan nyeri berdenyut.
3. Teori Cortical Spreading Depresion
Patofisiologi migraine dengan aura dikenal dengan teori cortical
spreading depression (CSD). Aura terjadi karena terdapat eksitasi neuron
di substansia nigra yang menyebar dengan kecepatan 2-6 mm/menit.
Penyebaran ini diikuti dengan gelombang supresi neuron dengan pola
yang sama sehingga membentuk irama vasodilatasi yang diikuti dengan
vasokonstriksi. Prinsip neurokimia CSD ialah pelepasan Kalium atau asam
amino eksitatorik seperti glutamat dari jaringan neural sehingga terjadi
depolarisasi dan pelepasan neurotransmiter lagi.
F. Manifestasi Klinis

Secara keseluruhan, manifestasi klinis penderita migren bervariasi pada


setiap individu. Terdapat 4 fase umum yang terjadi pada penderita migren, tetapi
semuanya tidak harus dialami oleh tiap individu. Fase-fase tersebut antara lain:

1. Fase Prodormal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren. Gejalanya


berupa perubahan mood, irritable, depresi, atau euphoria, perasaan lemah,
letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis makanan tertentu (seperti
coklat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul beberapa jam atau hari
sebelum fase nyeri kepala. Fase ini member pertanda kepada penderita
atau keluarga bahwa akan terjadi serangan migren.
2. Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang
mendahului atau menyertai serangan migren. Fase ini muncul bertahap
selama 5-20 menit. Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik,
atau kombinasi dari aura-aura tersebut.
Aura visual muncul pada 64% pasien dan merupakan gejala
neurologis yang paling umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah
scintillating scotoma (tampak bintik-bintik kecil yang banyak), gangguan
visual homonim, gangguan salah satu sisi lapang pandang, persepsi adanya
cahaya berbagai warna yang bergerak pelan (fenomena positif). Kelainan
visual lainnya adalah adanya scotoma (fenomena negatif) yang timbul
pada salah satu mata atau kedua mata. Kedua fenomena ini dapat muncul
bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada migren biasanya hilang
dalam beberapa menit dan kemudian diikuti dengan periode laten sebelum
timbul nyeri kepala, walaupun ada yang melaporkan tanpa periode laten.
3. Fase Nyeri Kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut, unilateral
dan awalnya berlangsung didaerah frontotemporalis dan ocular, kemudian
setelah 1-2 jam menyebar secara difus kea rah posterior. Serangan
berlangsung selama 4-72 jam pada orang dewasa, sedangkan pada anak-
aak berlangsung selama 1-48 jam. Intensitas nyeri bervariasi, dari sedang
sampai berat, dan kadang sangat mengganggu pasien dalam menjalani
aktivitas sehari-hari.
4. Fase Postdormal. Pasien mungkin merasa lelah, irritable, konsentrasi
menurun, dan terjadi perubahan mood. Akan tetapi beberapa orang merasa
“segar” atau euphoria setelah terjadi serangan, sedangkan yang lainnya
merasa depresi dan lemas.
Gejala diatas tersebut terjadi pada penderita migren dengan aura, sementara
pada penderita migren tanpa aura, hanya ada 3 fase saja, yaitu fase prodormal,
fase nyeri kepala, dan fase postdormal.

G. Diagnosis
1. Migren dengan aura
Kriteria diagnostik IHS untuk migren dengan aura mensyaratkan
bahwa harus terdapat paling tidak tiga dari empat karakteristik berikut
: (1) migren dengan satu atau lebih aura reversibel yang
mengindikasikan disfungsi serebral korteks dan atau tanpa disfungsi
batang otak, (2) paling tidak ada satu aura yang terbentuk berangsur –
angsur lebih dari 4 menit, (3) aura tidak bertahan lebih dari 60 menit,
(4) sakit kepala mengikuti aura dalam interval bebas waktu tidak
mencapai 60 menit.
2. Migren tanpa aura
Kriteria diagnostik IHS untuk migren tanpa aura mensyaratkan
bahwa harus terdapat paling sedikit lima kali serangan nyeri kepala
seumur hidup yang memenuhi kriteria berikut : (a) berlangsung 4 – 72
jam, (b) paling sedikit memenuhi dua dari : (1) unilateral , (2) sensasi
berdenyut, (3) intensitas sedang berat, (4) diperburuk oleh aktifitas,
(3) bisa terjadi mual muntah, fotofobia dan fonofobia.
3. Migren Hemiplegik familial
Migren dengan aura termasuk hemiparesis dengan criteria klinik
yang sama seperti diatas dan sekurang-kurangnya salah satu anggota
keluarga terdekatnya mempunyai riwayat migren yang sama
4. Migren basilaris
Migren dengan aura yang jelas berasal dari batang otak atau dari
kedua lobi oksipitales. Kriteria klinik sama dengan yang diatas dengan
tambahan dua atau lebih dari gejala aura seperti berikut ini:
 Gangguan lapangan penglihatan temporal dan nasal bilateral
 Disartia
 Vertigo
 Tinitus
 Penurunan pendengaran
 Diplospi
 Ataksia
 Parastesia bilateral
 Parestesia bilateral dan penurunan kesadaran
5. Migren aura tanpa nyeri kepala
Migren jenis ini memiliki gejala aura yang khas tetapi tanpa
diikuti oleh nyeri kepala. Biasanya terdapat pada individu yang
berumur lebih dari 40 tahun.
6. Migren dengan awitan aura akut
Migren dengan aura yang berlangsung penuh kurang dari 5 menit.
Kriteria diagnosisnya sama dengan criteria migren dengan aura,
dimana gejala neurologik (aura) terjadi seketika lebih kurang 4 menit,
nyeri kepala teradi selama 4-72 jam (bila tidak diobati atau dengan
pengobatan tetapi tidak berhasil), selama nyeri berlangsung
sekurangnya disertai dengan mual atau muntah, fonofobia/fotofobia.
Untuk menyingkirkan TIA maka dilakukan pemeriksaan angiografi
dan pemeriksaan jantung serta darah.
7. Migren oftalmoplegik
Migren jenis ini dicirikan oleh serangan yang berulangpulang yang
berhubungan dengan paresis satu atau lebih saraf otak okular dan
tidak didapatkan kelainan organik. Kriteria diagnosis terdiri dari
sekurang-kurangnya 2 serangan disertai paresisi saraf otak III, IV, dan
VI serta tidak didapatkan kelainan serebrospinal.
8. Migren retinal
Terjadi serangan berulang kali dalam bentuk skotoma monokular atau
buta tidak lebih dari satu jam. Dapet berhubungan dengan nyeri
kepala atau tidak. Gangguan ocular dan vascular tidak dijumpai.
9. Migren yang berhubungan dengan gangguan intrakranial
Migren dan gangguan intracranial berhubungan dengan awitan
secara temporal. Aura dan lokasi nyeri kepala berhubungan erat
dengan lesi intracranial. Keberhasilan pengobatan lesi intrakranial
akan diikuti oleh hilangnya serangan migren.
H. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk menegakkan diagnosis
migraine. Gejala migren yang timbul perlu diuji dengan melakukan
pemeriksaan lanjutan untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit lain dan
kemungkinan lain yang menyebabkan sakit kepala. Pemeriksaan lanjutan
tersebut adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Dilakukan untuk menyingkirkan sakit kepala yang diakibatkan oleh penyakit
struktural, metabolik, dan kausa lainnya yang memiliki gejala hampir sama
dengan migraine. Selain itu, pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
apakah ada penyakit komorbid yang dapat memperparah sakit kepala dan
mempersulit pengobatannya.
2. Pencitraan
CTscan dan MRI dapa dilakukan dengan indikasi tertentu, seperti: pasien baru
pertama kali mengalami sakit kepala, ada perubahan dalam frekuensi serta
derajat keparahan sakit kepala, pasien mengeluh sakit kepala hebat, sakit
kepala persisten, adanya pemeriksaan neurologis abnormal, pasien tidak
merespon terhadap pengobatan, sakit kepala unilateral selalu pada sisi yang
sama disertai gejala neurologis kontralateral.
3. Pungsi Lumbal
Indikasinya adalah jika pasien baru pertama kali mengalami sakit kepala, sakit
kepala yang dirasakan adalah yang terburuk sepanjang hidupnya, sakit kepala
rekuren, onset cepat, progresif, kronik, dan sulit disembuhkan. Sebelum
dilakukan LP seharusnya dilakukan CT scan atau MRI terlebih dulu untuk
menyingkirkan adanya massa lesi yang dapat meningkatkan tekanan
intracranial.
I. Terapi
Tujuan terapi migren adalah membantu penyesuaian psikologis dan
fisiologis, mencegah berlanjutnya dilatasi ekstrakranial, menghambat aksi
media humoral ( misalnya serotonin dan histamin), dan mencegah
vasokonstriksi arteri intrakranial untuk memperbaiki aliran darah otak.
Terapi tahap akut adalah ergotamin tatrat, secara subkutan atau IM
diberikan sebanyak 0,25 – 0,5 mg. Dosis tidak boleh melewati 1mg/24 jam.
Secara oral atau sublingual dapat diberikan 2 mg segera setelah nyeri timbul.
Dosis tidak boleh melewati 10 mg/minggu. Dosis untuk pemberian nasal
adalah 0,5 mg (sekali semprot). Dosis tidak boleh melewati 2 mg (4
semprotan). Kontraindikasi adalah sepsis, penyakit pembuluh darah,
trombofebilitis, wanita haid, hamil atau sedang menggunakan pil anti hamil.
Pada wanita hamil, haid atau sedang menggunakan pil anti hamil berikan
pethidin 50 mg IM. Pada penderita penyakit jantung iskemik gunakan
pizotifen 3 sampai 5 kali 0,5 mg sehari. Selain ergotamin juga bisa obat – obat
lain. Terapi profilaksis menggunakan metilgliserid malead, siproheptidin
hidroklorida, pizotifen, dan propranolol
Selain menggunakan obat – obatan, migren dapat diatasi dengan
menghindari faktor penyebab, manajemen lingkungan, memperkirakan siklus
menstruasi, yoga, meditasi, dan hipnotis.
Pendekatan terapi migraine dapat dibagi kedalam terapi nonfarmakologis
dan farmakologis.
 Terapi nonfarmakologis meliputi:
a. edukasi kepada penderita mengenai penyakit yang dialaminya
b. mekanisme penyakit
c. pendekatan terapeutik, dan
d. mengubah pola hidup dalam upaya menghindari pemicu serangan
migraine.
e. Tidur yang teratur
f. Makan yang teratur
g. Olahraga
h. Mencegah puncak stres melalui relaksasi, serta mencegah makanan
pemicu.
Pesan yang penting adalah, penderita lebih baik berupaya menjaga
keteraturan hidup (regularity of habits), daripada membatasi beragam
makanan dan aktivitas. Yang tidak dapat diketahui adalah sensitivitas dari
otak terhadap pemicu-pemicu pada waktu tertentu. Ketidakpastian ini
mengakibatkan banyak penderita menjadi putus asa menghadapi fakta bahwa
berbagai upaya yang dilakukannya untuk menghindari terpicunya serangan
migren memberikan hasil yang berbeda pada hari yang berlainan. Penting
dijelaskan pada penderita sifat alamiah dari variabilitas tersebut diatas. Saat
ini telah dipublikasikan evidence-based review dari pendekatan
nonfarmakologis dalam terapi migraine.
 Terapi Farmakologis
Medikamentosa untuk terapi migraine dapat dibagi menjadi: obat yang
diminumkan setiap hari tidak tergantung dari ada atau tidak nyeri kepala yang
bertujuan mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan serangan (terapi
preventif), dan obat yang diminumkan untuk menghentikan serangan saat
kemunculannya (terapi abortif).
Terapi untuk menghentikan serangan akut (terapi abortif) dapat dibagi
menjadi: terapi nonspesifik dan terapi spesifik migraine (migraine-specific
treatments).
Yang tergolong kedalam terapi nonspesifik seperti:
a. Aspirin
b. Acetaminophen
c. Nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAID)
Pada banyak penderita, migraine menunjukkan respon yang baik
menggunakan terapi sederhana yang diberikan pada waktu serangan. Terdapat
sejumlah kunci bagi keberhasilan penggunaan analgetik dan NSAID, setelah
terlebih dahulu mempertimbangkan keinginan penderita dan kontraindikasi:
obat harus diminum sesegera mungkin begitu komponen nyeri kepala dari
serangan mulai dirasakan; dosis obat harus adekuat, sebagai contoh, 900 mg
aspirin, 1000 mg acetaminophen, 500 sampai 1000 mg naproxen, 400 sampai
800 mg ibuprofen, atau kombinasinya dengan dosis yang memadai.
Penambahan menggunakan antiemetik atau obat yang meningkatkan motilitas
gaster dapat meningkatkan absorpsi obat utama, sehingga juga akan
membantu meredakan serangan. Penggunaan yang terlalu sering dari
kelompok obat-obatan ini harus dihindari; sebagai contoh, penggunaan tidak
boleh melebihi dua sampai tiga hari dalam seminggu, dan catatan harian
(headache diary) penderita perlu diperiksa dan dipantau untuk mengetahui
adanya peningkatan penggunaan obat-obatan. Yang penting diketahui adalah
bahwa tingkat keparahan serangan migraine dan responnya terhadap
pengobatan dapat berubah-ubah; sehingga suatu ketika penderita dapat hanya
memerlukan satu macam obat, sementara dilain waktu dapat memerlukan
sejumlah macam obat untuk mengatasi serangan yang lebih berat.
d. Opiat .Sebenarnya penggunaan opiat saat ini dihindari karena hanya
meredam nyeri tanpa menekan mekanisme patofisiologi yang
melatarbelakangi serangan, dan seringkali menimbulkan gangguan kognitif;
penggunaannya juga dapat menimbulkan adiksi, serta pada sebahagian besar
penderita tidak memberikan khasiat yang melebihi obat spesifik untuk
migraine (migraine-specific therapy).
e. Analgetik kombinasi juga dipergunakan untuk mengatasi beragam
gangguan nyeri.
Sedangkan terapi spesifik yang meliputi:
a. Derivat Ergon
Kelebihan umum dari derivat ergot (ergotamine dan dihydroergotamine)
adalah biaya pengobatan yang rendah dan pengalaman dari sejarah panjang
penggunaannya. Kekurangannya adalah aspek farmakologinya yang
kompleks, farmakokinetiknya yang sulit diperhitungkan (erratic
pharmacokinetics), kurangnya pembuktian mengenai dosis yang efektif, efek
vasokonstriktor menyeluruhnya yang bersifat poten dan menetap, yang dapat
menimbulkan gangguan vaskular yang merugikan, serta adanya resiko tinggi
terjadinya overuse syndromes dan rebound headaches.
b. Triptan
Dibandingkan dengan derivat ergot, golongan triptan memiliki banyak
kelebihan terutama, farmakologi yang bersifat selektif, farmakokinetik yang
jelas dan konsisten, aturan penggunaan yang telah menjalani pembuktian
(evidence-based prescription instructions), efikasi yang telah dibuktikan
melalui sejumlah uji klinis (well-designed controlled trials), efek samping
berderajat sedang, dan tingkat keamanan pemakaian yang telah diketahui
(well-established safety record). Kekurangan yang paling penting dari
golongan triptan adalah biaya pengobatan yang tinggi dan keterbatasan
penggunaannya pada keadaan adanya penyakit kardiovaskular termasuk
perdarahan subarachnoid dan menginitis.
 Terapi Preventif
Keputusan untuk memulai terapi preventif terhadap penderita migraine
sebaiknya diambil melalui persetujuan penderita; dengan mendasarkan
pertimbangan pada kombinasi dari frekuensi, durasi, tingkat keparahan, dan
resistensi (tractability) dari serangan akut yang dialami, termasuk juga
keinginan penderita. Penderita yang mengalami serangan yang tidak responsif
menggunakan obat-obat untuk serangan akut serta serangan yang
mengakibatkan disabilitas yang signifikan merupakan kandidat untuk
mendapatkan terapi preventif. Pertimbangan yang memiliki probabilitas lebih
baik untuk memutuskan memulai terapi preventif ketimbang menunggu
keadaan menjadi lebih buruk meliputi:
• serangan migraine menunjukkan frekuensi sekurang-kurangnya dua kali
per bulan,
• penderita berisiko mengalami rebound headache, atau
• isian migraine diary yang dibuat oleh penderita menunjukkan trend yang
jelas adanya peningkatan frekuensi serangan.
Tidaklah jelas bagaimana mekanisme dari terapi preventif bekerja,
meskipun tampaknya melalui cara memodifikasi sensitivitas otak yang
mendasari terjadinya migraine.
Secara umum, apabila jumlah hari nyeri kepala terjadi sebanyak satu
sampai dua hari per bulan, umumnya tidak memerlukan terapi preventif;
namun apabila mencapai tiga sampai empat hari per bulan, maka terapi
preventif perlu menjadi pertimbangan; dan apabila jumlah hari nyeri kepala
mencapai lima hari atau lebih per bulan, maka terapi preventif harus menjadi
pertimbangan yang serius. Pilihan medikamentosa disajikan pada Tabel 3, dan
pembuktian penggunaannya telah mendapatkan penelusuran luas.
Sering kali dosis yang dibutuhkan dalam upaya menurunkan frekuensi
serangan nyeri kepala dapat sampai menimbulkan efek samping yang nyata
dan tidak dapat ditoleransi penderita. Masing-masing obat pilihan harus
dimulai pemberiannya dengan dosis rendah, dan dosis selanjutnya perlu
dinaikkan secara bertahap sampai dosis maksimum; dalam hal ini penderita
perlu diberitahukan bahwa pendekatan terapeutik seperti ini seringkali
memperpanjang waktu tercapainya efikasi yang diharapkan.
Rata-rata, sebanyak duapertiga penderita yang mendapatkan salah satu dari
obat-obatan dalam Tabel 3 tersebut akan mengalami penurunan frekuensi
serangan sakit kepala sebanyak 50%. Klinisi perlu menjelaskan efek samping
dari obat-obatan tersebut diatas serta melibatkan penderita dalam proses
pengambilan keputusan pengobatan. Hindari penggunaan methysergide,
setidak-tidaknya pada permulaan penanganan, oleh karena potensi
komplikasinya yang berupa fibrosis; dan menerangkan pula potensi
teratogenik dari divalproex (valproate).
J. Komplikasi
1. Status Migren
Serangan migren dengan nyeri kepala lebih dari 72 jam walaupun telah
diobati sebagaimana mestinya. Telah diupayakan memberi obat yang
berlebihan namaun demikian nyeri kepala tidak kunjung berhenti. Contoh
pemberian obat yang berlebihan misalnya minum ergotamin setiap hari lebih
dari 30 mg tiap bulan, aspirin lebih dari 45 gr, morfin lebih dari 2 kali per
bulan, dan telah mengkonsumsi lebih dari 300 mg diazepam atau sejenisnya
setiap bulannya.
2. Infark Migren
Penderita termasuk dalam kriteria migren dengan aura. Serangan yang
terjadi sama tetapi defisit neurologik tetap ada setelah 3 minggu dan
pemeriksaan CT scan menunjukkan hipodensitas yang nyata. Sementara itu
penyebab lain terjadinya infark dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
angiografi, pemeriksaan jantung dan darah.
K. Prognosis
Prognosis migren dapat sembuh sempurna dengan menghindari faktor
pencetus dan meminum obat yang teratur. Tetapi berdasarkan penelitian dalam
beberapa tahun terakhir risiko untuk menderita stroke pada pasien riwayat
migren meningkat. Sekitar 19% dari seluruh kasus stroke terjadi pada orang
dengan riwayat migraine.
BAB III
LAPORAN KASUS

No. RM : 009xxx

Nama Pasien : Ny. N

Jenis Kelamin : Perempuan

Umur : 37 tahun

Alamat : Kasreman, Rembang

I Anamnesis

Anamnesa dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 17 Juni


2019 di Poli Umum Puskesmas Rembang 2.

A. Keluhan Utama

Nyeri kepala sebelah kanan

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala di sebelah kanan, rasanya


berdenyut, sakit kepala di rasakan berulang- ulang sehari bisa 3-4 kali.
Mual (+), muntah (+), muntah berupa makanan. Pasien menyangkal
melihat kilatan cahaya saat serangan nyeri kepala. Keluhan bertambah saat
ada suara keras dan berada di ruangan yang terang. Keluhan mereda saat
beristirahat terutama di tempat yang sepi di ruangan yang tidak banyak
cahaya. Pasien tidak memiliki alergi pada obat tertentu.

C. Riwayat Penyakit Dulu

Riwayat Keluhan Serupa: diakui

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat peny jantung : disangkal


D. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat keluhan serupa: disangkal

Riwayat Hipertensi : disangkal

Riwayat DM : disangkal

Riwayat peny jantung : disangkal

II Pemeriksaan Fisik

A. Kesan Umum : tampak sakit sedang


B. Vital sign :
TD : 130/80 mmHg RR : 22 x/menit
HR : 98 x/menit Suhu : 37,0◦C
C. Status gizi : BB = 60 kg
TB = 157 cm

BMI : BB(kg) / TB²(m²) = 24,3 kg/m2

D. Status Interna
• Kepala : mesochephale
• Mata : konjungtiva palpebra anemis (-), sklera ikterik (-)
• Hidung : secret (-), napas cuping hidung (-)
• Mulut : bibir kering (-),sianosis (-)
• Telinga : normotia, sekret (-/-)
• Leher : simetris, pembesaran KGB (-)

• Thorax :
 Paru
Inspeksi :Simetris dalam keadaan statis dan dinamis,
retraksi (-)

Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama.


Perkusi : sonor
Auskultasi : Suara dasar : vesikuler, Suara tambahan :
wheezing (-), ronkhi (-)

 Jantung
Inspeksi : ictus codis tak tampak

Palpasi : ictus cordis teraba dengan 1 jari dari ICS


5 linea midclavikula 2 cm ke medial, tidak
melebar, tidak kuat angkat

Perkusi :-

Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-)

Kesan: Normal

 Abdomen
Inspeksi : Datar, gerakan peristaltik (-)
Auskultasi : bising usus (+)
Perkusi : Tymphani di seluruh kuadran
Palpasi : Supel (+),hepar/lien tidak teraba
 Ekstremitas
Superior Inferior

Edema -/- -/-

Akral dingin -/- -/-

Sianosis -/- -/-

Capillary refill time < 2”/ < 2” < 2”/ < 2”

E. Status Neurologi
a. GCS : E4V5M6
b. Meningeal Sign :
i. Brudzinski I-IV : DBN
ii. Laseque : DBN
c. N. Craniales
i. N. Olfaktorius : tidak dilakukan
ii. N. Opticus :
1. Visual Acuity : DBN
2. Visual Field : DBN
3. Warna : DBN
4. Funduskopi : tidak dilakukan
iii. N. Oculomotor, N. Abducens, N. Trochlearis : DBN
iv. N. Trigeminus :
1. Sensorik : DBN
2. Motorik :
 Rapat gigi : Normal
 Buka Mulut : DBN
 Gigit tongue spatel : tidak dilakukan
 Gerak rahang : DBN
v. N. Facialis :
1. Motorik :
 Diam : DBN
 Bergerak : DBN
2. Sensorik : Tidak dilakukan
vi. N. Stato-akustikus : DBN
vii. N. Glossopharyngeus & N Vagus:
1. Menelan air : DBN
2. Suara parau : DBN
viii. N. Accessorius : DBN
ix. N. Hypoglossus :
1. Diam : DBN (tidak ada fasikulasi)
2. Bergerak : DBN

d. Motorik
i. Observasi : datang sendiri, pucat
ii. Palpasi : tidak ada atrofi, kenyal padat normal
iii. Perkusi : normal (cekung 1-2 detik)
iv. Tonus : normo tonus , kuat tonus atas 5/5, bawah 5/5 (dgn
nyeri)
v. Kekuatan otot :
1. Ex atas : tidak dilakukan
2. Ex bawah :
 M. Iliopsoas : DBN
 M. Quadriceps : DBN
 M. Hamstring : DBN
 M. Tibialis Anterior : DBN
 M. Gastrocnemius : DBN
 M. Soleus : DBN
e. Sensorik
i. Protopatik (nyeri/suhu, raba halus/kasar) : DBN
ii. Propioseptif (gerak/posisi, getar tekan) : DBN
iii. Kombinasi :
1. 2 point tactile : DBN
2. Sensory extinction : DBN
3. Loss of Body image : DBN
iv. Reflek Fisiologi
1. BHR : DBN
2. Cremaster : tidak dilakukan
v. Reflek tendon : DBN

f. Reflek Patologis :
i. Babinski : -/-
ii. Chaddock : -/-
iii. Oppenheim : -/-
iv. Gordon : -/-
v. Stransky : -/-
vi. Gonda : -/-
vii. Schaeffer : -/-
viii. Rossolimo : -/-
ix. Mendel-Bechtrew : -/-
x. Hoffman : -/-
xi. Tromner : -/-

g. Px Cerebellum :
i. Koordinasi : tidak dilakukan
ii. Keseimbangan : tidak dilakukan
iii. Berjalan / gait : tidak dilakukan
iv. Tonus : DBN
v. Tremor : DBN
h. Px fungsi luhur : tidak dilakukan
i. Tes sendi sakro iliaka :
i. Patrick’s : -/-
ii. Kontra patrick’s : -/-
j. Tes Provokasi n. Ischiadicus :
i. Laseque : -/-
ii. Sicard : -/-
iii. Reverse laseque : -/-
iv. Bragard’s : -/-
v. Doorbell’s : -/-

III ASSESMENT

A. Klinis : Nyeri kepala sisi kanan


B. Topis : ekstra kranial
C. Etiologi : Migrain tanpa aura

IV PLANNING

A. Diagnosa
 CT scan kepala tanpa kontras
 EEG
B. Therapi :
 Domperidon 10 mg (jika mual)
 Na Diklofenak 25 mg 3x1
C. Monitoring : Keadaan Umum + Vital Sign (Tensi)
D. Edukasi :
 Istirahat
 Kurangi faktor pencetus stress
 Makan makanan bergizi
BAB IV
KESIMPULAN

Migren adalah nyeri kepala vaskular berulang dengan serangan nyeri yang
berlangsung 4-72 jam. Nyeri biasanya sesisi (unilateral), sifatnya berdenyut,
intensitas nyerinya sedang sampai berat, diperberat oleh aktivitas, dan dapat
disertai dengan mual dan atau muntah, fotofobia, dan fonofobia.
Migren diklasifikasikan menjadi; migren dengan aura, migren tanpa aura,
migren oftalmoplegik, migren retinal, migren yang berhubungan dengan
gangguan intracranial, migren dengan komplikasi, dan gangguan seperti migren
yang tidak terklasifikasikan. Diagnosis migren dapat ditemukan dengan
memperhatikan ciri-ciri khusus dari beberapa klasifikasi migren diatas. Selain itu
dibutuhkan pemeriksaan CT scan dan MRI untuk menyingkirkan diagnosis
banding.
Penatalaksaan migrain secara garis besar dapat dilakukan dengan
mengurangi faktor resiko, terapi farmakologi dan non farmakologi dan terapi
preventif yang disarankan untuk penderita yang tidak mengalami perbaikan
dengan obat-obatan serangan akut (terapi abortif).
Diharapkan di kemudian hari akan lebih banyak penelitian-penelitian
tentang migrain agar dapat mencegah terjadinya migrain dan mencegah terjadinya
komplikasi. Oleh sebab itu perbaikan dan pembuatan tutorial ini perlu dilakukan
di kemudian hari untuk meningkatkan wawasan para calon-calon dokter mengenai
migrain. Penulis mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam tutorial ini dan
semoga bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Anonim, 2016, Bahan Ajar Sistem Neuropsikiatri “Migren” :Fakultas


Kedokteran Unhas.
2. Anurogo, Dito. Penatalaksanaan Migren. RS PKU Muhammadiyah
Palangkaraya, Kalimantan Tengah. 2012.
3. Gladstein. Migraine headache-Prognosis. [Internet]; 2010 Jun 3. Available
from:
http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_migraines_000097_2.
htm
4. Maria Piane, et al. 2007. Genetics of Migraine and pharmacogenomics:
some consideration. URL:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2779399

5. Peter J. Goadsby, M.D., D.Sc.et al. 2002. Migraine - Current


Understanding and Treatment. URL :
http://content.nejm.org/cgi/content/short/346/4/257

6. Sidharta Priguna. 2004. Neurologi Klinis dalam Praktek Umum. Dian


Rakyat:Jakarta.

7. Suharjanti, Isti. Strategi Pengobatan Akut Migrain. Fakultas Kedokteran


Universitas Airlangga. 2013.

Anda mungkin juga menyukai