A 48 years old woman went to Puskesmas with a complaint of headache in recurrence for 2
years. Location: all of area in head, felt like throbbing headache; frequency: twice or more a day and
get worse month by month; now it felt continue for a whole day, duration: more than 20 hour per day;
intensity: high so she couldn’t do her daily activity; quality: headache that throbbing in all of her
head, get worse in the morning after wake up for asleep. And now she also felt blurred vision, nausea
and vomiting, especially in the morning. She is a mother of 2 children and used birth control pills for
these pass approximately 15 years. In the examination we found patient is concious, no aphasia,
strength of right extremity is 444, babinsky and chaddock at right extremity positive, nasolabial angle
more slight than left side, there is also deviation of tongue to the right side and visus aquity
decreasing. Further examination are require in this case.
Step 1
2. Babinsky : reflek yang timbul ketika telapak kaki dirangsang dgn benda tumpul; reflek
patologis biasanya muncul apabila ada lesi pada UMN (upper motor neuron); biasanya defek
di interneuron
4. Sudut nasolabial : garis singgung columella dan garis singgung bibir atas, normal 90-110
derajat, penghitungan columella 90% dr sudut bibir atas
5. Chaddock : timbul ketika malleolus lateral dirangsang, reflek patologis jk ada kerusakan
corticospinalis tract
Step 2
3. Mengapa pasien mengeluh penglihatan kabur, mual muntah pada pagi hari?
Step 3
Mekanisme headache :
Sakit kepala sering diakibatkan oleh traksi atau iritasi pada meninges dan pembuluh darah.
Reseptor rasa sakit dapat dirangsang oleh trauma kepala atau tumor dan menyebabkan
sakit kepala. Kejang pembuluh darah, pembuluh darah melebar, peradangan atau infeksi
meninges dan ketegangan otot juga dapat merangsang reseptor rasa sakit. Setelah
dirangsang nocireceptor mengirimkan pesan sepanjang serat saraf ke sel-sel saraf di
otak, menandakan bahwa bagian tubuh sakit.
3. Sensitisasi perifer
Pada kasus dimana tekanan intrakranial menyebabkan iritasi lama pada struktur peka nyeri,
cabang aferen yang menginervasi pembuluh darah serebri, vena, dan piamater (merupakan
pleksus serabut tidak bermielin yang berasal dari divisi oftalmika n.trigeminus dan radiks dorsal
servikal superior), dan mencetuskan pelepasan neuropeptida pro inflamasi yang akhirnya
menyebabkan edema vaskuler dan infiltrasi sel imun. Reaksi antidromik fokal ini diketahui
sebagai inflamasi neurogenik, fenomena yang terlibat dalam pelepasan substansia P dan CGRP,
yang dianggap mendasari beberapa bentuk nyeri kepala refrakter. Substansia P dan calcitonin
gene-related peptide (CGRP) memfasilitasi ekstravasasi protein plasma, permeabilitas vaskuler
dan degranulasi sel mast, masing-masing berperan dalam sensitisasi perifer dari serabut
nosiseptif. Bila berkepanjangan, inflamasi neurogenik dapat menyebabkan perubahan struktural
pada duramater yang akan menyebabkan nyeri kepala menetap bahkan saat TIK sudah
diturunkan
Migrain
The main subtypes are migraine with and without aura. An aura is a fully
reversible set of nervous system symptoms, most often visual or sensory
symptoms, that typically develops gradually, recedes, and is then followed by
headache accompanied by nausea, vomiting, photophobia, and phonophobia. Less
common symptoms of aura include speech/ language symptoms, motor or brainstem
symptoms, or retinal symptoms. If an aura contains multiple features, symptoms
usually occur in succession of at least 5 or so minutes each, with a total symptom
complex of 5-60 minutes.
Thus, visual symptoms, both positive, such as scintillations, and negative, such as
scotomata, are typically noted at the outset, followed by development of sensory
complaints, then a mixed dysarthric/aphasic language disorder, followed by
gradual clearing. The headache usually begins within 60 minutes after the resolution
of the neurologic symptoms.
The overall clinical picture of migraine may be divided into 4 phases: prodrome,
aura, headache phase, and postdrome.
Food cravings, such as for chocolate, may be present and result in these foods being
blamed for triggering the attack when in fact the craving was simply part of the onset.
A subset of patients will then experience an aura but not necessarily with each and
every attack. The headache in migraine is typically described as unilateral
(approximately 60%) and of moderate to severe intensity, and though an individual’s
headache attacks tend to be fairly stereotyped, many variations can be present.
Finally, the headache may be followed by a postdrome, characterized by impaired
concentration and feelings of fatigue or feeling “washed out.” Some patients
alternatively report feeling refreshed and rejuvenated after an attack.16 Migraine
pathophysiology, can be viewed u
Nyeri kepala primer umumnya terjadi pada kelompok usia 18-65 tahun. Nyeri kepala primer
lebih sering terjadi pada orang-orang yang berpendidikan tinggi, yaitu setingkat sekolah
menengah atas atau lebih. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya nyeri kepala, antara
lain stres emosional, menstruasi, kurang tidur, kelelahan, perubahan cuaca, dan makanan.
1. Migren
Migren merupakan nyeri kepala vaskuler yang paroksismal dan berulang, berlangsung 2-72
jam, serta bebas nyeri kepala dan kelainan neurologic antar serangan. Sering ada factor
keturunan. Gambaran klinis migren berupa serangan nyeri kepala yang timbul tiba-tiba dan
biasanya unilateral (80%), paroksismal dan rekuren. Nyeri kepala dirasakan sebagai nyeri
kepala berdenyut, menusuk-nusuk, atau rasa kepala mau pecah. Gejala prodroma atau aura
yang dapat terjadi bersamaan atau mendahului serangan migren berupa;
• Fenomena visual negatif (penglihatan semakin kabur, seperti berawan sampai semuanya
tampak gelap).
• Anoreksia, mual, muntah, diare, takut cahaya (fotofobia), dan /atau kelainan lainnya.
Kadang-kadang terdapat kelainan neurologic (misalnya gangguan motorik, sensorik,
kejiwaan) yang menyertai, timbul kemudian atau mendahului serangan migren dan biasanya
berlangsung sepintas.
Nyeri kepala tegang otot merupakan nyeri kepala yang timbul karena kontraksi terus menerus
otot-otot kepala dan tengkuk (m.splenius kapitis, m.temporalis, m.maseter,
m.sternokleidomastoideus, m.trapezius, m.servikalis posterior, dan m.levator skapule).
Kontraksi terus-menerus otot-otot kepala dan tengkuk dapat diakibatkan oleh ketegangan
jiwa, misalnya kecemasan khronik atau depresi; nyeri kepala kontraksi/tegang otot primer,
atau karena rangsangan langsung struktur peka nyeri, nyeri acuan (referred pain), secara
reflex; nyeri kepala kontraksi otot sekunder, misalnya karena perangsangan fisik, kelainan
pada mata, THT, leher, gigi dan mulut.
Gejala klinis dari nyeri kepala ini dirasakan seperti kepala berat, pegal, seperti diikat tali yang
melingkari kepala, kencang dan menekan. Kadang-kadang disertai nyeri kepala yang
berdenyut. Bila berlangsung lama, pada palpasi dapat ditemukan daerah yang membenjol
keras dan nyeri tekan
Dapat disertai mual, kadang-kadang muntah, vertigo, lesu, sukar tidur, mimpi buruk, sering
terbangun menjelang pagi dan sulit tidur kembali, hiperventilasi, perut kembung, singultus
berlebihan, sering flatus, berdebar-debar, kadang-kadang sesak, parestesia pada ekstremitas,
sulit berkonsentrasi, mudah tersinggung, cepat marah, sedih, hilangnya kemauan untuk
bekerja atau belajar, anoreksia, dan keluhan depresi yang lain.
Merupakan nyeri kepala yang juga dikenal sebagai nyeri kepala Horton, nyeri kepala
histamine, sindrom Bing, neuralgia migrenosa, atau migren merah (red migraine) karena pada
waktu serangan akan tampak merah pada sisi wajah yang nyeri. Nyeri kepala yang dirasakan
sesisi biasanya hebat seperti ditusuk tusuk pada separuh kepala; di sekitar, di belakang atau di
dalam bola mata, pipi, lubang hidung, langitlangit, gusi dan menjalar ke frontal, temporal
sampai oksiput. Nyeri kepala ini disertai gejala yang khas yaitu mata sesisi menjadi merah
dan berair, konjingtiva bengkak dan merah, hidung tersumbat, sisi kepala yang sakit menjadi
merah-panas dan nyeri tekan. Serangan biasanya mengenai satu sisi kepala, tetapi kadang-
kadang berganti kanan dan kiri atau bilateral.
Neuralgia trigeminus idiopatik merupakan neuralgia dengan nyeri yang paroksismal dan
berulang, dirasakan lebih sering di daerah sensibilitas cabang mandibularis (20%), cabang
maksilaris (14%), atau cabang maksilaris dan mandibularis (36%), dan oftalmikus (36%), dan
sama sekali tidak ada rasa nyeri di luar serangan. Serangan nyeri pada wajah yang sifatnya
tajam membakar dan menusuk-nusuk. Serangan nyeri terjadi secara tiba-tiba, singkat dan
kemudian menghilang secara tibatiba pula, serta terjadi berulang-ulang pada distribusi satu
atau lebih cabang nervus trigeminus. Tidak ada defisit motorik atau sensorik.
Serangan nyeri dapat dicetuskan oleh perangsangan ringan pada daerah picu („trigger zone‟)
di daerah nyeri, misalnya sewaktu mengunyah makanan, gosok gigi, menguap, menelan,
mencukur kumis atau jenggot, mengusap wajah, dll.
4. Arteritis Temporalis
Nyeri kepala timbul mendadak, dirasakan berdenyut di daerah temporo-parietal unilateral atau
bilateral dengan intensitas makin meningkat dalam beberapa jam sehingga seluruh kepala
terasa nyeri. Arteri temporalis pada pelipis tersa sangat nyeri, tidak berdenyut, mengeras,
berkelok-kelok tidak teratur, dan teraba ada nodulus pada beberapa tempat. Bila tidak
mendapat terapi, dapat terjadi kebutaan (10-40% dari jumlah kasus) pada sisi lesi yang
biasanya berhungan dengan thrombosis a.sentralis retina. Biasanya penderita sudah menderita
gangguan umum dalam beberapa bulan sebelumnya, seperti perasaan lesu, lelah, tidak ada
nafsu makan, berat badan menurun, nyeri pada otot-otot proksimal (polimialgia rematika),
kurang tidur dan berkeringat malam, subfebris.
Patients present with acute, subacute, or chronic headaches, occurring either intermittently or
continuously. An acute headache is one that has been present for hours or days, a
subacute headache for days or weeks, and a chronic headache for months or years.
Acute headaches are usually severe and patients frequently present in the emergency
department; subacute and chronic headaches usually present in the physician’s office.
Diagnosis depends, to a great extent, on the pattern of presentation, but whatever the
presentation, headache is always a valid complaint that should always be seriously
investigated.
Acute headache
Headache not caused by trauma is responsible for 1% to 2% of all emergency department
visits [3]. Men and women are equally represented, and 80% of the patients are between 15
and 54 years of age. The most frequent diagnosis is muscle-contraction headache (32%),
followed by migraine (22%), and upper respiratory infection (12%). Sinusitis, hypertension,
gastroenteritis, cerebral tumor, and cervical spine degeneration each account for 5% or less.
The neurologic causes of headache, such as subarachnoid hemorrhage, meningitis,
ophthalmic zoster, temporal arteritis, and subdural hematoma, each account for less than 1%.
Subacute headache
Cerebral tumor, pseudotumor cerebri, ophthalmic zoster, temporal arteritis, and subdural
hematoma are possible causes of subacute headache
Chronic headache
Headaches are considered chronic if they have been present intermittently or continuously for
more than several weeks. Chronic headaches may persist for months, years, or even decades.
Patients are generally between 20 and 50 years of age and are more likely to be female. Men
and women suffer from headaches with equal frequency, but headaches of moderate and
severe intensity are twice as common in women as in men, resulting in a higher incidence of
women seeking medical attention
Spierings, E. L. . (2003). Acute, subacute, and chronic headache. Otolaryngologic Clinics of
North America, 36(6), 1095–1107. doi:10.1016/s0030-6665(03)00128-2
Standar Kompetensi Spesialis Saraf 2006, KNI PERDOSSI
Kristina M. Tocce, MD, and Stephanie B. Teal, MD, MPH. How to choose a contraceptive for a patient
who has headaches. OBG Management | February 2011 | Vol. 23 No. 2
5. Mengapa pasien mengeluh penglihatan kabur, mual muntah pada pagi hari?
Penglihatan kabur
- Nyeri kepala saat bangun tidur, penglihatan kabur, mual muntah waktu tidur sakit
kepala terbawa saat bangun krn ada regulasi di hipotalamus, letaknya di ciasma
optikum, hipotalamus mengatur tidur tumor mengganggu sirkulasi melatonin dan
serotonin di tubuh mempengaruhi sirkulasi n. trigeminus mempengaruhi n
optalmikus, n maxillaris n, mandibularis
- Buka mata saat tidur melakukan rem (rapid eye movement) banyak vaskularisasi yg
diarahkan ke situ melatonin udah mengganggu n. trigeminus gang penglihatan
Mual muntah
- Karna tekanan intracranial meningkat selama tidur malam, tekanan PCO2 serebral
meningkat
PENGLIHATAN KABUR
Pada tumor otak biasanya gangguan penglihatan disebabkan oleh karena terjadinya
papiloedema atau karena pendesakan oleh tumor itu sendiri. Gangguan penglihatan yang
terjadi pada pasien ini kemungkinan juga disebabkan peningkatan tekanan intrakranial hingga
mendesak chiasma optikum sehingga terjadi gangguan penglihatan berupa penurunan visus
pada kedua mata.
Karena pada NC serabut sarafnya dadalah serabut saraf sensoris jadi predilepsi/port de entry
rangsangan lewat CN II apabila berkaitan dengan penglihatan
Diyakini ada hubungannya dengan TIK
Prinsip TIK diuraikan pertama kali oleh Profesor Monroe dan Kellie pada tahun 1820. Orang
dewasa normal menghasilkan sekitar 500 mL cairan serebrospinal (CSF) dalam waktu 24 jam.
Setiap saat, kira-kira150 mL ada didalam ruang intrakranial. Ruang intradural terdiri dari
ruang intraspinal ditambah ruang intrakranial. Total volume ruang ini pada orang dewasa
sekitar 1700 mL, dimana sekitar 8% adalah cairan serebrospinal, 12% volume darah, dan 80%
jaringan otak dan medulla spinalis. Karena kantung dura tulang belakang tidak selalu penuh
tegang, maka beberapa peningkatan volume ruang intradural dapat dicapai dengan kompresi
terhadap pembuluh darah epidural tulang belakang. Setelah kantung dural sepenuhnya tegang,
apapun penambahan volume selanjutnya akan meningkatkan salah satu komponen ruang
intrakranial yang harus diimbangi dengan penurunan volume salah satu komponen yang lain.
Pertambahan volume dari suatu kompartemen hanya dapat terjadi jika terdapat penekanan
(kompresi) pada kompartemen yang lain. Satu-satunya bagian yang memilik kapasitas dalam
mengimbangi (buffer capacity) adalah terjadinya kompresi terhadap sinus venosus dan terjadi
perpindahan LCS ke arah aksis lumbosakral. Ketika manifestasi di atas sudah maksimal maka
terdapat kecenderungan terjadinya peningkatan volume pada kompartemen (seperti pada
massa di otak) akan menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Nilai normal TIK
masih ada perbedaan diantara beberapa penulis, dan bervariasi sesuai dengan usia, angka 8-10
mmHg masih dianggap normal untuk bayi, nilai kurang dari 15 mmHg masih dianggap
normal untuk anak dan dewasa, sedangkan bila lebih dari 20 mmHg dan sudah menetap
dalam waktu lebih dari 20 menit dikatakan sebagai hipertensi intrkranial. Tekanan
intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral (CPP / Cerebral perfusion pressure).
CPP dapat dihitung sebagai selisih antara rerata tekanan arterial (MAP) dan tekanan
intrakranial (ICP/TIK).
Ini dipakai ketika kranium sedang terbuka (saat operasi) dan ICP-nya nol. Jadi perubahan
pada tekanan intrakranial akan mempengaruhi tekanan perfusi cerebral, dimana ini akan
berakibat terjadinya iskemia otak. Bila terjadi kenaikan yang relatif kecil dari volume
otak, keadaan ini tidak akan cepat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Sebab
volume yang meninggi ini dapat dikompensasi dengan memindahkan cairan
serebrospinalis dari rongga tengkorak ke kanalis spinalis dan disamping itu volume darah
intrakranial akan menurun oleh karena berkurangnya peregangan durameter. Hubungan
antara tekanan dan volume ini dikenal dengan complience. Jika otak, darah dan cairan
serebrospinalis volumenya terus menerus meninggi, maka mekanisme penyesuaian ini
akan gagal dan terjadilah peningkatan tekanan intrakranial.
- MUAL MUNTAH
Muntah projectile vaunting akibat peningkatan ICP. Muntah akibat PTIK tidak selalu sering
dijumpai pada orang dewasa. Muntah disebabkan adanya kelainan di infratentorial atau akibat
penekanan langsung pada pusat muntah, belum diketahui secara lengkapnya. Muntah dapat
didahului mual/dyspepsia jika terjadi adanya aktivasi saraf-saraf ke otot bantu pernafasan
akibat kontraksi mendadak otot-otot abdomen dan thoraks.
Mumenthaler, Mark. 1995. Neurology. Jakarta : Bina Rupa Aksara, (Siska dan Zam | Space
Occupying Lesion (SOL) J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017|71 )
Sedangkan untuk sakit kepala (nyeri kepala) terjadi akibat peregangan struktur
intracranial yang peka nyeri (durameter, pembuluh darah besar basis kranji, sinus nervus
dan bridging veins). Nyeri terjadi akibat penekanan langsung akibat pelebaran pembuluh
darah saat kompensasi. Dan sering terjadi pada pagi hari dikarenakan secara normal
terjadi peningkatan aktivitas metabolisme yang paling tinggi saat pagi hari, dimana pada
saat tidur menjelang bangun pagi fase REM (Rapid Eye Movement) mengaktifkan
metabolisme dan produksi CO2. Dengan peningkatan kadar CO2 terjadilah vasodilatasi.
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku Ed.3. Jakarta : EGC,
Mumenthaler, Mark. 1995. Neurology. Jakarta : Bina Rupa Aksara, (Siska dan Zam |
Space Occupying Lesion (SOL) J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017|71 )
Nyeri kepala dikaitkan dengan lesi massa biasanya memburuk di pagi hari karena edema otak
yang meningkat sepanjang malam akibat efek gravitasi pada posisi tidur terlentang (akibat
kurangnya drainase sistem vena yang dibantu oleh gravitasi) dan karena tidur umumnya
meningkatkan kadar PCO2, yang mencetuskan vasodilatasi, sehingga hasil akhirnya adalah
peningkatan TIK.
Nyeri Kepala pada Tumor Otak Oleh : dr. IGN Purna Putra, Sp.S (K). UNUD
ESTROGEN
Hormones, mainly estrogens, may influence the development and control of brain
tumor growth by interacting with their receptors or activating potentially oncogenic
mediators. Estrogens seem to have a protective effect on the development of gliomas
because they occur more commonly in men than in women. In women, the incidence of
gliomas increases during the postmenopausal period, when estrogen levels are low.
The majority of these effects are mediated by ERα and ERβ. The former was initially
characterized and cloned in 1986, and the latter was sequenced in 1996. These
receptors are highly homologous, despite being products of different genes; ERα is
located on chromosome 6q25.1 and ERβ is situated on chromosome 14q22-24 6.
At least five ERβ (ERβ 1-5) isoforms have been identified. These isoforms have an
identical N-terminal sequence, but the amino acid sequences diverge at amino acid 469
and extend to the C-terminus. In vitro studies have shown different transcription
activities among these isoforms.
The function of ERα in several neoplasms has been widely investigated, while the role of
ERβ in the pathophysiology of cancer remains unknown. The presence of these
receptors decreases with higher tumor grades of astrocytomas, suggesting that ERβ may
play a neuroprotective role.
ERβ agonists and SERMs inhibit glioma tumor growth and promote tumor cell death.
These findings suggest that estrogens may decrease tumor proliferation by interacting
with nuclear receptors.
On the other hand, an in vitro study conducted with cell cultures by González-Arenas et
al. showed that estradiol induced astrocyte growth through its interaction with ERα,
recruitment of SRC-1 and SRC-2 coactivators and regulation of gene expression involved
in the cell cycle, angiogenesis and metastases.
The loss of ERβ expression has been suggested as an important step in estrogen-
dependent tumor progression. In breast tumors, high levels of ERβ receptors are
associated with low-grade tumors, a favorable prognosis and a good response to
tamoxifen. However, this anti-proliferative capacity has also been demonstrated in
hormone-independent tumors, e.g. colon and lung neoplasms. Different mechanisms
have been proposed for this anti-proliferative action, such as inhibition of ERα
transcription, inhibition of phase S+G2/M and inhibition of hypoxia-inducible factor 1
(HIF1) transcription activity.
Although few studies have examined ERβ expression in brain tissue, ERβ is known to
exist in neurons of the hippocampus, astrocytes, pituitary tumors and glial tumors.
However, the specific function of ERβ in the pathogenesis, progression and prognosis of
these neoplasms remains unknown
PROGRESTERON
Progesterone participates in the regulation of various reproductive processes, including
ovulation and sexual behavior. Nevertheless, it also influences neuronal excitability,
learning and the proliferation of brain tumors, such as meningiomas, chordomas and
astrocytomas.
There is abundant evidence showing that progesterone plays a neuroprotective role
after injury to the central and peripheral nervous systems, limiting tissue damage or
improving functional prognosis after traumatic brain injury, strokes, spinal cord injury,
diabetic neuropathy and other types of acute neurologic injuries.
Progesterone crosses the blood-brain barrier rapidly, decreasing the inflammatory
process and edema that accompanies severe traumatic brain injury.
The actual mechanisms responsible for these effects remain unknown. However, the
major causes are the synthesis and stimulated secretion of neuroprotective substances,
including neuronal growth factor (NGF), brain-derived neurotrophic growth factor
(BDNF) and glial cell line-derived neurotrophic factor (GDNF).
Progesterone is derived from cholesterol and exerts its effects through two major
mechanisms, termed the classical and non-classical pathways. The former involves an
interaction with intracellular PRs, while the latter requires the participation of
membrane receptors and ion channels. These receptors are ligands of transcription
factors for several genes that are involved in the metabolism, development,
reproduction and progression of the cell cycle.
Two PR isoforms have been described in humans, PR-A and PR-B, and both isoforms
have the same genetic origin. They are differentially expressed in various brain regions
and may exert distinct functions in the same cell because they are regulated by different
promoters. In general, PR-B is a stronger transcriptional activator than PR-A.
PRs are regulated differently by estradiol and progesterone in different cells and tissues.
Normally, PR function is increased (up-regulated) by estradiol and decreased (down-
regulated) by progesterone.
The action of estradiol is mediated by estrogen response elements that are located in PR
promoters. Progesterone causes proteolysis of PRs by means of phosphorylation and
this finding led us to conduct a review on ER and PR expression in astrocytomas.
Both ERα and ERβ are expressed in astrocytomas, with a predominance of isoform
alpha. In the majority of studies, the presence of both ERs was shown to decrease with
increasing histological tumor malignancy, suggesting a neuroprotective role, particularly
of the ER beta isoform.
Both PR-A and PR-B have been reported in astrocytomas, with a predominance of the
beta isoform. The presence of both PRs was shown to increase with higher tumor
grades.
Tavares CB, Gomes-Braga Fd, Costa-Silva DR, et al. Expression of estrogen and
progesterone receptors in astrocytomas: a literature review. Clinics (Sao Paulo).
2016;71(8):481‐486. doi:10.6061/clinics/2016(08)12
Babinsky dan chaddock : krn ada lesi di UMN, misal di hemisfer serebri kiri
- The Babinski sign might be released by dysfunction ofpyramidal tract fibres that project on
interneuronalzone, at least on those interneurons that subserve theflexion reflex synergy, of
which the Babinski sign is apart. As these interneurons are necessarily inter-connected
across the segments of the lumbosacralspinal cord, a Babinski sign would always be
accompanied by hyperactivity in other, more proximalflexor muscles. Alternatively, this sign
might resultfrom interference with pyramidal fibres projectingdirectly on motor neurons of
the EHL. In that case, theeffector of the sign, the EHL would be less responsiveto descending
impulses through interneurons.
- Chaddock
Tanda Chaddock ditimbulkan dengan menstimulasi aspek lateral kaki dengan ujung tumpul
seperti saat menimbulkan Babinski. Stimulus diberikan pada bawah dan sekitar maleolus
eksternal dengan arah melingkar, tetapi juga ke aspek lateral kaki, dibawah maleolus, dari
arah tumit ke kelingking kaki
: Lakukan goresan sepanjang tepi lateral punggung kaki di luar telapak kaki, dari tumit ke
depan. Jika posistif maka akan timbul reflek seperti Babinski. Mengindikasi adanya disfungsi
tractus kortikospinalis.
Reflex patologis yang lain (selain chaddock dan babinsky)
- Babinsky : Respons Babinsky adalah refleks di mana hallux (atau jempol kaki) bergerak ke
atas dan otot yang memanjang kontrak hallux ketika telapak kaki dielus dari tumit ke
pangkal jari kaki. Sementara normal pada masa bayi, respons Babinsky menunjukkan
gangguan neurologis jika ada pada anak yang lebih besar atau orang dewasa.
Cara : otot-otot tungkai bawah harus rileks. Tepi luar telapak kaki dirangsang dengan
menggaruk benda tumpul dengan kuat seperti kunci atau tongkat sepanjang dari tumit ke
arah jari kelingking.
Babinski mengindikasikan adanya defek pada system pyramidal
This eponym refers to the dorsiflexion of the great toewith or without fanning of the other
toes andwithdrawal of the leg, on plantar stimulation inpatients with pyramidal tract
dysfunction. Thecharacteristic response is dorsiflexion of the great toe by recruitment of
extensor hallucis longus (EHL)muscle. In most mammals the limbs are
automaticallyretracted on painful stimulation as a defence reflex,which is more
pronounced in hind limbs.
Pyramidal system :
The motor neurons of the leg muscles are laminated into separate columns within the
anterior horn of thecord, each of which supply proximal or distal muscles,flexor or extensor
muscles. In addition, there areimportant pyramidal tract projections to theintermediate
(interneuronal) zone. This divergence ofpyramidal tract projections allows the following
twoexplanations for the Babinski sign.
The Babinski sign might be released by dysfunction ofpyramidal tract fibres that project on
interneuronalzone, at least on those interneurons that subserve theflexion reflex synergy, of
which the Babinski sign is apart. As these interneurons are necessarily inter-connected
across the segments of the lumbosacralspinal cord, a Babinski sign would always be
accompanied by hyperactivity in other, more proximalflexor muscles. Alternatively, this sign
might resultfrom interference with pyramidal fibres projectingdirectly on motor neurons of
the EHL. In that case, theeffector of the sign, the EHL would be less responsiveto descending
impulses through interneurons.
- Jenis kelamin : laki-laki lebih sering terkena, kecuali tumor spesifik spt meningioma (lbh
sering perempuan)
- Pekerjaan dan lingkungan : tinggal di daerah industri, meningkatkan factor resiko terkena
tumor
- Riwayat terkena infeksi virus dan allergen : EBV dpt meningkatan CNS limfoma
- Radiasi : paparan sinar x dan sinar gamma, radiofrekuensi elektromagnetik (dr hp)
- Ras dan etnik : orang kulit putih lebih sering terkena glioma, orang kulit hitam lebih
sering terkena meningioma
Etiologic: Mutase protoonkogen, tumor supresor gen, dari bawaan genetic dari
anggota keluarga, idiopatik
Faktor pencetus timbulnya migren dapat dibagi dalam faktor ekstrinsik dan
faktor intrinsik.
- Faktor ekstrinsik, misalnya ketegangan jiwa (stress), baik emosional maupun fisik
atau setelah istirahat dari ketegangan, makanan tertentu, misalnya buah jeruk,
pisang, coklat, keju, minuman yang mengandung alkohol, sosis yang ada bahan
pengawetnya. Lain-lain faktor pencetus seperti hawa terlalu panas, terik matahari,
lingkungan kerja yang tak menyenangkan, bau atau suara yang tak menyenangkan.-
- Faktor intrinsik, misalnya perubahan hormonal pada wanita yang nyeri kepalanya
berhubungan dengan hari tertentu siklus haid. Dikatakan bahwa migren menstruasi
ini jarang terdapat, hanya didapatkan pada 3 dari 600-700 penderita.
Pemberian pil KB dan waktu menopause sering mempengaruhi serangan migren. Mual
dan muntah mungkin disebabkan oleh kerja dopamin atau serotonin pada pusat muntah
di batang otak (chemoreseptor trigger zone/ CTZ). Sedangkan pacuan pada hipotalamus
akan menimbulkan fotofobia. Proyeksi/pacuan dari LC ke korteks serebri dapat
mengakibatkan oligemia kortikal dan mungkin menyebabkan penekanan aliran darah,
sehingga timbulah aura7. Pencetus (trigger) migren berasal dari:
1. Korteks serebri: sebagai respon terhadap emosi atau stress,
2. Talamus: sebagai respon terhadap stimulasi afferen yang berlebihan: cahaya yang
menyilaukan
Nyeri kepalamigren adalah suatu sindrom nyeri rekuren episodic yang sekarang
diklasifikasikan menjadi 3 tipe :
- Migren tanpa aura (dahulu disebut migrenbiasa)
- Migren dengan aura (dahulu migren klasik)
- Varian migren (migren retina, migren oftalmoplegik, migren hemiplegic familial, dan
confusional migraine pada anak)
Kapita Selekta Kedokteran, Pengenalan Dini Faktor Resiko dan Gejala Dini Tumor
Otak Juli 2018 | Vol. 22 | No. 3 | ISSN : 1410645
www.rsudrsoetomo.jatimprov.go.id
Anamnesis
• Sakit kepala yang memburuk terutama di malam hari
• Mual dan muntah bersamaan dengan sakit kepala yang memberat
• Penurunan kesadaran
• Paresis saraf-saraf kranialis
• Perubahan mood, memori, atau kemampuan untuk berkonsentrasi
• Gangguan fungsi kognitif dan memori
• Kejang
• Kelemahan dan/atau rasa baal, tingling pada ekstremitas.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologis, funduskopi, fungsi luhur (MMSE dan Moca-Ina), neurooftalmologi.
Pemeriksaan Penunjang
• CT Scan dengan kontras
• MRI dengan kontras
• MR Spectroscopy
• Fungsi luhur
• EEG/EMG/BAEP atas indikasi
• Foto thoraks
• Tumor marker
• Biopsi tumor
Sitologi cairan serebrospinal (plus flowcytometri)
PANDUAN PRAKTIK KLINIS NEUROLOGI. PERDOSSI. 2016
- Pemeriksaan Laboratorium
terutama dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya untuk terapi
yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan,
yaitu: darah lengkap, hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B
dan C, dan elektrolit lengkap.
- Pemeriksaan Radiologis
yang perlu dilakukan antara lain CT scan dengan kontras; MRI dengan kontras, MRS, dan
DWI; serta PET CT (atas indikasi). Pemeriksaan radiologi standar adalah CT scan dan MRI
dengan kontras.
CT scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal penegakkan
diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang
tengkorak.
MRI dapat melihat gambaran jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk
tumor infratentorial, namun mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi.
Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah
nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun
biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian juga pemeriksaan DWI.
Pemeriksaan positron emission tomography (PET) dapat berguna pascaterapi untuk
membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi.
Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis
leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependimoma.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tumor Otak. 2017. Oleh Komite Penanggulangan Kanker Nasional (KPKN)
Computed Tomography scan (CT scan) kini menjadi prosedur diagnostik yang paling penting
pada pasien yang diduga menderita neoplasma intrakranial. CT scan tidak hanya dapat
mendeteksi adanya neoplasma intrakranial tetapi juga dapat mengungkap perbedaan antara
jenis neoplasma yang satu dengan yang lain, karena masing-masing jenis neoplasma
intrakranial mempunyai karakteristik tertentu pada gambaran CT scan. Pemeriksaan ini
relatif mudah, sederhana, non invasif, tidak berbahaya, waktu pemeriksaan lebih singkat. CT
scan lebih unggul daripada foto polos kranium, dimana pada foto polos tidak semua
informasi yang dibawa oleh setiap gelombang sinar roentgen (sinar X) dapat tercatat, karena
film yang mencatat gelombang sinar tersebut setelah menembus tubuh tidak peka terhadap
perbedaan intensitas yang halus. Penilaian pada CT scan adalah meliputi penilaian adakah
tanda proses desak ruang berupa pergeseran struktur garis tengah otak, maupun penekanan
dan perubahan bentuk ventrikel otak, adakah kelainan densitas pada lesi berupa hipodens,
hiperdens atau kombinasi, kalsifikasi maupun perdarahan, serta adakah oedema perifokal.
Kekurangan CT scan adalah kurang peka dalam mendeteksi massa neoplasma yang kecil,
massa yang berdekatan dengan struktur tulang kranium (misalnya adenoma hipofisis,
neurinoma akustikus), dan massa pada batang otak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif dalam mendeteksi massa yang berukuran
kecil, memberikan visualisasi yang lebih detail terutama untuk daerah basis kranium, batang
otak, dan fossa posterior. MRI juga lebih baik dalam memberikan gambaran lesi perdarahan,
kistik, atau massa padat jaringan neoplasma intrakranial. Penggunaan kontras gadolinium
akan memperjelas gambaran lesi massa. MRI dengan kontras ini perlu diperhatikan faktor
biaya yang relatif mahal bila dibandingkan dengan CT scan dengan kontras.