REFERAT PSIKIATRI
INSOMNIA DAN HIPERSOMNIA
DISUSUN OLEH :
Maya Riska
N 111 15 002
PEMBIMBING KLINIK
dr. Andi Soraya T.U M.Kes., Sp.KJ
Universitas : Tadulako
RSD Madani
Universitas Tadulako
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Elektrofisiologi Tidur
Siklus bangun tidur adalah suatu variasi siklik normal dalam kesadaran
akan lingkungan. Berbeda dari keadaan terjaga, orang yang tidur tidak secara
sadar mengetahui dunia eksternal, tetapi mereka memiliki pengalaman
keseadaran dunia internal misalnya mimpi. Selain itu, mereka dapat
dibangunkan dengan rangsangan luar, misalnya bunyi alarm. Tidur adalah
suatu proses aktif, bukan sekedar hilangnya keadaan terjaga. Tingkat aktivitas
otak keseluruhan tidak berkurang selama tidur. Selama tahap-tahap tertentu
tidur, penyerapan O2 oleh otak bahkan meningkat melebihi tingkat normal
sewaktu terjaga.[4]
Terdapat dua jenis tidur yang berlainan ; tidur non rapid eye movement
(NREM) dan tidur rapid eye movement (REM). Tidur NREM dibagi menjadi
4 stadium. Seorang yang baru tertidur stadium 1, yang ditandai oleh aktivitas
EEG frekuensi tinggi dengan amplitudo yang rendah. Stadium 2 ditandai oleh
munculnya kumparan tidur (sleep spindle). Disini terjadi letupan gelombang
mirip alfa, gelombang 10-14 Hz, 50 µV. Pada stadium 3, pola yang timbul
adalah gelombang EEG dengan frekuensi yang lebih rendah dan amplitudo
meningkat. Perlambatan maksimum dengan gelombang besar dijumpai pada
stadium 4.[5]
Pada permulaan tidur, berpindah dari tidur ringan (tidur ayam) stadium 1
menjadi tidur dalam stadium 4 dalam waktu 30 sampai 45 menit; kemudian
berbalik melalui stadium-stadium yang sama dalam periode waktu yang sama.
Pada akhir masing-masing siklus tidur gelombang lambat terdapat episode
tidur paradoksal 10 sampai 15 menit. Secara paradoks, pola EEG selama
periode ini mendadak berubah seperti dalam keadaan terjaga, meskipun masih
dalam keadaan tidur lelap (karena itu dinamai tidur paradoksal).[4]
Selama tidur paradoksal, terjadi gerakan mata yang cepat dan acak, dan
karena hal inilah tidur tersebut dinamakan tidur REM. Tidur gelombang
4
lambat tidak memperlihatkan gerakan semacam itu sehingga dinamakan tidur
NREM. Ciri lain tidur tidur REM adalah adanya potensial fasik besar, dalam
kelompok-kelompok yang terdiri dari 3-5 gelombang, yang berasal dari pons
dan cepat berpindah ke corpus geniculatum laterale dan dari sini ke korteks
oksipitalis. Oleh karena itu, potensial ini disebut ponto-geniculo-occipital-
spike, PGO. Tonus otot rangka di leher sangat menurun selama tidur REM.
Otot lain tetap mempertahankan tonusnya, tetapi terdapat paralisis relative
pada aktivitas volunter yang tergantung lokus serelus. [5]
Siklus bangun tidur serta berbagai tahapan tidur disebabkan oleh
hubungan timbal-balik antara tiga sistem saraf : (1) sistem keterjagaan, yaitu
bagian dari reticular activating system yang berasal dari batang otak, (2)
pusat tidur gelombang lambat di hipotalamus yang mengandung neuron tidur
yang menginduksi tidur, dan (3) pusat tidur paradoksal di batang otak yang
mengandung neuron tidur REM, yang menjadi sangat aktif sewaktu tidur
REM. Pola interaksi di antara ketiga region saraf ini, yang menghasilkan
rangkaian siklis yang dapat diperkirakan antara keadaan terjaga dan kedua
jenis tidur, kini menjadi bahan penelitian intensif. Para ilmuwan saraf baru-
baru ini mempeljari bahwa neuron yang membuat anda terjaga melepaskan
muatan secara otonom dan terus-menerus. Neuron-neuron ini harus dihambat
agar kita dapat tidur, mungkin oleh PPI yang dihasilkan oleh masukan dari
neuoron tidur atau oleh masukan inhibitorik lain. Neuron tidur REM
dipercayai berfungsi sebagai tombol antara tidur gelombang lambat dan tidur
REM.[4]
Siklus tidur normal dapat mudah diinterupsi, dengan sistem yang
membuat kita terjaga lebih mudah mengalahkan sistem tidur daripada
kebalikannya; yaitu lebih mudah terjaga ketika mengantuk daripada jatuh
tertidur ketika terjaga penuh. Sistem keterjagaan dapat diaktifkan oleh
masukan sensorik aferen (sebagai contoh, seseorang mengalami kesulitan
untuk tidur jika lingkungan berisik) atau oleh masukan yang turun ke batang
otak dari daerah-daerah emosi yang lebih tinggi. Konsentrasi penuh atau
keadaan emosi yang kuat, misalnya rasa cemas atau kegembiraan, dapat
5
mencegah orang tidur, demikian juga aktivitas motorik, misalnya bangkit dan
berjalan-jalan dapat membangunkan orang yang mengantuk.[4]
6
sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya siklus tidur
NREM tahap IV dan tidur REM serta seringnya terjaga saat tidur.
6) Stimulan dan alkohol
Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat merangsang SSP
sehingga dapat mengganggu pola tidur. Konsumsi alkohol yang berlebihan
dapat mengganggu siklus tidur REM. Pengaruh alkohol yang telah hilang
dapat menyebabkan individu sering kali mengalami mimpi buruk.
7) Diet
Penurunan berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan
seringnya terjaga di malam hari. Penambahan berat badan dikaitkan
dengan peningkatan total tidur dan sedikitnya periode terjaga di malam
hari.
8) Merokok
Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi pada tubuh.
Perokok sering kali kesulitan untuk tidur dan mudah terbangun di malam
hari.
9) Medikasi
Obat-obatan tertentu dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang.
Hipnotik dapat mengganggu tahap III dan IV tidur NREM, betablocker
dapat menyebabkan insomnia dan mimpi buruk, sedangkan narkotik
(misalnya: meperidin hidroklorida dan morfin) diketahui dapat menekan
tidur REM dan menyebabkan seringnya terjaga di malam hari.
10) Motivasi
Keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan lelah
seseorang. Perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk terjaga sering
kali dapat mendatangkan kantuk.
7
tinggi dan rendah maupun orang muda, serta yang paling sering ditemukan
pada usia lanjut. Oleh karena itu, perlu diketahui beberapa macam penyebab
terjadinya gangguan tidur. Tiga penyebab utama yang paling berpengaruh
menyebabkan gangguan tidur yaitu kondisi medis, kondisi psikiatri, dan
kondisi lingkungan sekitar seseorang.[7]
1) Kondisi medis
Berbagai kondisi medis yang buruk dari seseorang dapat menyebabkan
seseorang mengalami gangguan tidur. Misalnya gangguan pada paru yang
menyebabkan gangguan nafas seperti asma dan penyakit paru obstruktif
kronis. Akibat gangguan pernafasan yang dialami, maka seseorang
tentunya saja akan mengalami gangguan tidur. Kondisi jantung yang juga
berpengaruh meyebabkan gangguan tidur pada seseorang seperti iskemia
dan gagal jantung kongestif. Berbagai penyakit neurologis seperti stroke,
kerusakan saraf perifer, apnea tidur tipe sentral dan gangguan
endokrinologis seperti pada kehamilan, gangguan siklus menstruasi,
hipertiroid juga dapat menyebabkan gangguan tidur. Selain itu, kondisi
gastrointestinal yang sangat mengganggu tidur yaitu gastroesophageal
reflux disease (GERD) karena asam lambung yang naik ke esophagus akan
menyebabkan rasa yang mengganggu.
2) Kondisi psikiatri
Kondisi psikiatri seperti depresi dapat menyebabkan gangguan tidur tipr
REM. Gangguan stres post trauma sering menyebabkan gangguan tidur
teror pada malam hari. Selain itu, gangguan anxietas, panic disorder paling
sering menyebabkan insomnia atau sulit tidur pada banyak pasien. Selain
itu, juga perlu diketahui bahwa, penggunaan obat-obatan pada kondisi
psikiatri seperti anti depresan dapat mengganggu tidur pola tidur REM.
Obat-obat benzodiazepin yang terlalu sering digunakan dan dalam dosis
yang tinggi dapat menyebabkan rebound insomnia (gangguan untuk tertidur
akibat pemakaian obat sehingga apabila obat dihentikan, pasien menjadi
merasa sulit tertidur).
8
3) Kondisi lingkungan
Gangguan tidur sering disebabkan lingkungan yang bising atau oleh karena
suhu lingkungan yang tidak nyaman. Pertukaran jam kerja yang tidak
teratur sering menyebabkan gangguan siklus tidur, seperti halnya yang juga
terjadi pada jetlag akibat bepergian ke tempat yang mempunyai waktu yang
tidak cocok dengan daerah asal. Pergantian ketinggian yang signifikan juga
dapat menyebabkan gangguan tidur.
D. Gangguan Tidur
Gangguan Tidur
a. Disomnia
1. Insomnia
Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur.
Gangguan ini merupakan keluhan tidur yang paling lazim ditemui dan
dapat bersifat sementara atau menetap.[3]
Suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan ansietas,
baik sebagai gejala sisa suatu pengalaman yang mencemaskan atau
9
antisipasi pengalaman yang mencetuskan ansietas (contoh, ujian atau
wawancara pekerjaan yang akan berlangsung). Pada beebrapa orang,
insomnia sementara ini dapat disebabkan berkabung, kehilangan atau
nyaris semua perubahan kehidupan maupun stres. Keadaan ini cenderung
tidak berat, meskipun episode psikotik atau depresi berat kadang-kadang
dimulai dengan insomnia akut. Terapi spesifik untuk keadaan ini biaanya
tidak diperlukan. Jika diindikasikan obat hipnotik, dokterdan pasien harus
sama-sama memahami bahwa terapi ini berdurasi singkat dan beberapa
gejala seperti kekambuhan singkat insomnia dapat terjadi jika obat
dihentikan.[3]
Insomnia menetap adalah kelompok keadaan yang cukup lazim
ditemukan dengan masalah yang paling sering adalah kesulitan untuk jatuh
tertidur bukannya untuk tetap mempertahankan tidur. Insomnia ini
melibatkan dua masalaah yang kadang-kadang dapat dipisahkan , tetapi
sering saling berkaitan, yaitu: tegangan somatisasi serta ansietas dan
respons asosiatif yang dipelajari. Pasien sering tidak memiliki keluhan
yang jelas selain insomnia. Mereka mungkin tidak mengalami ansietas itu
sendiri tetapi melepaskan ansietasnya melalui saluran fisiologis; mereka
terutama dapat mengeluhakan perasaan gelisah atau pikiran yang
mendalam dan tampaknya membuat mereka tetap terjaga. Kadang-kadang,
seorang pasien menjelaskan perburukan gejala terjadi saat stres di tempat
kerja atau di rumah dan perbaikan terjadi saat sedang berlibur.[3]
Kriteria Diagnostik
- Insomnia Primer
Insomnia primer didiagnosis jika keluhan utama adalah tidur yang tidak
bersifat menyegarkan atau kesulitan memulai atau memperthankan
tidur, dan keluhan ini terus menerus berlangsung sedikitnya satu bulan.
Istilah primer menunjukkan bahwa insomnia bebas dari adanya
gangguan fisik atau psikologis. Bangun psikologis atauu fisiologis di
malam hari yang makin sering serta pembelajaran negatif untuk tidur
10
sering tampak. Pasien dengan insomnia primer secara umum memiliki
preokupasi mengenai tidur cukup. Semakin mereka mencoba tidur,
semakin besar rasa frustasidan penderitaan serta makin sulit terjadinya
tidur.[3]
11
dan pekerjaan.
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi, anxietas, atau
obsesi tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
Semua ko-morbiditas harus dicantumkan karena membutuhkan terapi
tersendiri
Kriteria lama tidur (kuantitas) tidak digunakan untuk
menentukan adanya gangguan, oleh karena luasnya variasi
individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria diatas
(seperti pada “transient insomnia”) tidak di-diagnosis disini,
dapat dimasukkan dalam Reaksi Stress Akut (F43.0) atau
Gangguan Penyesuaian (F43.2)(8)
Terapi
Terapi insomnia primer merupakan salah satu terapi yang paling sulit pada
gangguan tidur. Ketika komponen yang dipelajari jelas, teknik
deconditioning mungkin berguna. Pasien diminta menggunakan
menggunakan tempat tidurnya hanya untuk tidur dan bukan untuk hal lain;
jika mereka tidak tertidur dalam 5 menit berada di tempat tidur, mereka
diminta segera bangun dan melakuakan hal lain. Kadang-kadang, berganti
tempat tidur atau ruangan lain berguna bagi pasien ini. Ketika ketegangan
somatisasi dan ketegangan otak tampak jelas, kaset relaksasi, meditasi
transdental, dan mempraktikkan respon relaksasi serta biofeedback
terkadang dapat membantu. Psikoterapibelum terlalu berguna dalam terapi
insomnia primer. Pengalaman seksual yang memuaskan lebih
meningkatkan tidur pada laki-laki daripada perempuan.[3]
Terapi obat
Insomnia primer biasanya diterapi dengna benzodiazepine, zolpidem,
zaleplon, serta hipnotik lainnya. Obat hipnotik harus digunakan dengan
hati-hati. Bantuan tidur yang dijual bebas memiliki efektivitas terbatas.
Obat tidur yang bekerja lama (flurazepam, quazepam) paling baik
12
menangani insomnia malam hari; obat yang bekerja singkat (zolpidem,
triazolam) berguna untuk pasien yang kesulitan untuk jatuh tidur. Pda
umumnya, obat tidur sebaiknya tidak diresepkan untuk lebih dari 2 minggu
karena toleransi dan putus obat dapat terjadi.[3]
Obat Anti-Insomnia
Penggolongan obat anti insomnia[9]
1. Benzodiazepine : Nitrazepam, Flurazepam, Eztazolam
2. Non benzodiazepine : zolpidem
No Nama Generik Sediaan Dosis Anjuran
1 Nitrazepam Tab 5 mg 5 – 10 mg/malam
2 Zolpidem Tab 10 mg 10 – 20 mg/malam
3 Eztazolam Tab 1 mg, 2 mg 1 – 2 mg/malam
4 Flurazepam Tab 15 mg 15 – 10 mg/malam
Pengaturan Dosis[9]
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 – 30 menit sebelum pergi tidur
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan 1
– 2 minggu, kemudian secepatnya tappering off untuk mencegah timbulnya
rebound dan toleransi obat.
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan doss perlahan-lahan,
untuk menghindari oversedation dan intoksikasi.
Ada laporan menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2 – 3 kali
seminggu untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.
Lama pemberian[8]
- Pemakaian obat anti insomnia sebaiknya sekitar 1 – 2 minggu sakja tidak lebih
dari 2 minggu, agar risiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2
minggu dapat menimbulkan perubahan sleep EEG yang menetap sekitar 6
bulan lamanya.
13
- Kesulitan pemberhentian obat sering kali oleh karena “psychological
dependence” sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat
ditanggulangi.
Prognosis
Pengobatan insomnia dapat meningkatkan taraf kesehatan,fungsi, dan
kualitas hidup pasien. Konsekuensi insomnia tidak diobati dapat meliputi:
[10]
14
pengukuran tidur selama 3 hari berturut-turut di 578 subyek menunjukkan
bahwa durasi tidur yang lebih singkat dan pemeliharaan tidur lebih rendah
diprediksi keduanya mengakibatkan tekanan darah secara signifikan lebih
tinggi dan perubahan negatif dalam darah tekanan selama 5 tahun ke
depan. [10]
Pasien dengan insomnia dilaporkan memiliki penurunan kualitas
hidup dibandingkan dengan kontrol orang normal dalam semua dimensi
36-item SHORT Form Health Survey (SF-36). Pasien dengan insomnia
dilaporkan memiliki kelelahan berlebih yang diukur dengan Fatigue
Severity Scale dan Profiles of Mood Status (POMS).[10]
2. Hipersomnia
Hipersomnia tampak sebagai tidur yang berlebihan, rasa mengantuk
(somnolen) di siang hari ayng berlebihan, atau kadang-kadang keduanya.
Istilah somnolen harus diberikan kepada pasien yang mengeluhkan
keadaan mengantuk dan memiliki kecenderungna yang tampak jelas untuk
jatuh tertidur tiba-tiba pada keadaan terjaga, yang mengalami serangan
tidur, dan yang tidak dapat tetap terjaga; istilah ini sebaiknya tidak
digunakan untuk orang yang secara fisik lelah atau letih. Meskipun
demikian, perbedaannya tidak terlalu jelas. Keluhan hipersomnia jauh
lebih jarang dibandingkan dengan keluhan insomnia, namun keluhan
hipersomnia akan sebenarnya tidak jarang jika klinisi menyadari keluhan
tersebut. Narkolepsi hanyalah suatu keadaan yang dikenal menimbulkan
hipersomnia. Diperkirakan lebih dari 100.000 penderita narkolepsi tinggal
di Amerika Serikat. Jika keadaan terkait zat dimasukkan, hipersomnia
menjadi gejala yang lazim ditemukan. Menurut survei terkini, keadaan
yang paling lazim menyebabkan hipersomnia yang cukup berat untuk
dapat dievaluasi oleh perekaman sepanjang malam pada sentra gangguan
tidur adalah apnea tidur dan narkolepsi.[3]
Hipersomnia sementara dan situasional merupakan gangguan pola
tidur-bangun normal; gangguan ini ditandai dengan kesulitan yang
15
berlebihan untuk tetap terjaga serta kecenderungan untuk tetap berada di
tempat tidur dalam periode waktu yang sangat lama atau sering kembali ke
tempat tidur untuk tidur di siang hari. Pola ini dialami tiba-tiba sebagai
respons terhadap perubahan kehidupan, konflik atau kehilangan saat ini
yang dapat diketahui. Gangguan ini jarang ditandai dengan serangan tidur
yang pasti atau tidur yang tidak dapat dihindari, tetapi lebih ditandai oleh
kelelahan atau jatuh tertidur lebih awal daripada biasanya dan kesulitan
bangun di pagi hari.[3]
Hipersomnia Primer
Hipersomnia primer didiagnosis jika tida ada penyebab lain yang
ditemukan untuk somnolen berlebihan yang terjadi dalam waktu
sedikitnya 1 bulan. Beberapa orang merupakan penidur panjang yang,
seperti penidur pendek, menunjukkan variasi normal. Meskipun panjang,
struktur dan fisiologi tidur mereka normal. Efisiensi tidur dan jadwal tidur-
bangun normal. Pasien ini tidak mengeluhkan kualitas tidur, rasa
mengatuk di siang hari, atua kesulitan dengan moods saat bangun,
motivasi dan kinerja.[3]
Beberapa orang memiliki keluhan subjektif berupa kantuk tetapi
tanpa temuan objektif. Mereka tidak memiliki kecenderungan jatuh
tertidur lebih sering daripada normal dan tidak meiliki tanda objektif.
Klinisi harus mencoba menyingkirkan penyebab jelas somnolen yang
berlebihan. Menurut DSM-IV-TR, gangguan ini harus diberi kode sebagai
berulang jika pasien memiliki periode rasa mengantuk berlebihan yang
berlangsung selama 3 hari dan terjadi beberapa kali dalam satu tahun
selama sedikitnya 2 tahun.[3]
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Hipersomnia Primer
A. Keluhan yang dominan adalah rasa kantuk berlebihan untuk waktu
sedikitnya 1 bulan (atau kurang jika berulang) yang tampak baik
dengan episode tidur lama atau episode tidur siang hari yang terjadi
hampir setiap hari.
B. Rasa mengangtuk yang berlebihan menyebabkan penderitaan yang
16
secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan atau area
fungsi penting lain.
C. Rasa mengantuk sebaiknya tidak disebabkan insomnia dan tidak
hanya terjadi selama perjalnan gangguan tidur lain (cth narkolepsi,
gangguan tidur yang terkait dengan pernapasan, gangguan tidur irama
sirkardian, atau parasomnia) dan tidak dapat disebabkan karena
kurangnya tidur.
D. Gangguan ini tidak hanya terjadi selam perjalanan gangguan jiwa lain
(gangguan depresi berat, gangguan ansietas menyeluruh, delirium).
E. Gangguan ini bukan disebabkan efek fisiologis langsung suatu zat
(penyalahgunaan obat, suatu obat) atau keadaan medis umum.
Terapi
Terapi hipersomnia primer terutama terdiri atas obat stimulan, seperti
amfetamin, yang diberikan pagi atau sore hari. Obat antidepresan
nonsedasi seperti buprpprion dan stimulan baru seperti modafinil juga
mungkin berguna pada beebrapa pasien.[3]
Hipersomnia Non-Organik
Pedoman Diagnostik[8]
Gambaran klinis di bawah ini adalah esensial untuk
diagnosis pasti:
a. Rasa kantuk pada siang hari yang berlebihan atau adanya serangan
tidur (tidak disebabkna oleh tidur yang kurang), dan atau transisi
yang memanjang dari saat mulai bagun tidur sampai sadar
sepenuhnya.
b. Gangguan tidur terjadi setiap hari selama lebih dari 1 bulan atau
berulang dalam kurn waktu yang lebih pendek, menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dalam mempengaruhi fungsi dalam
sosial dan pekerjaan.
c. Tidak ada gejala tambahan narcolepsy atau bukti klinis sleep
17
apnoe
d. Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang menunjukkan gejala
rasa kantuk pada siang hari.
Bila hipersomnia hanya merupakan salah satu gejala dari
gangguanjiwa lain, misalnya gangguan afektif, maka
diagnosis harus sesuai dengan gangguan yang
mendasarinya. Diagnosis hipersomnia psikogenik harus
ditambahkan bila hipersomnia merupakan keluhan yang
dominan dari penderita gangguan jiwa lainnya.
3. Narkolepsi
Narkolepsi terdiri atas rasa mengantuk yang belebihan di siang hari
serta menifestasi abnormal tidur Rapid eye movement (REM) yang terjadi
setiap hari selama sedikitnya 3 bulan. Serangan tidur ini khasnya terjadi
dua sampai enam kali sehari dan berlangsung 10 hingga 20 menit.
Serangan ini dapat terjadi pada saat yang tidak tepat (contoh, saat makan,
berbicara, atau menyetir dan saat berhubungan seksual). Tidur REM
mencakup halusinasi hipnagogik dan hipnopompoik, katapleksi dan
paralisis tidur. Adanya tidur REM dalam 10 menit sejak onset tidur
(periode REM onset tidur) juga dianggap bukti narkolepsi. Gangguan ini
dapat berbahaya karena dapat menyebabkan kecelakaan mobil dan
industri.[3]
A. Serangan tidur yang menyegarkan dan tidak dapat ditahan yang tejadi setiap hari
selama sedikitnya 3 bulan.
B. Adanya satu atau kedua hal berikut:
1) Katapleksi, episode singkat hilangnya tonus otot bilateral tiba-tiba, paling
sering berkaitan dengan emosi yang intens.
2) Gangguan unsure tidur REM berulang ke dalam transisi antara tidur dan
18
bangun, seperti yang ditunjukkan dengan halusinasi hipnagogik dan
hipnopompik atau paralisis tidur di awal atau akhir episode tidur.
C. Gangguan ini bukan disebabkan efek fisologis langsung suatu zat atau keadaan
medis umum.
19
Gangguan tidur irama sirkadian mecakup suatu kisaran luas
keadaan yang melibatkan ketidaksejajaran antara periode tidur yang
sebenarnya dengan periode tidur yang diinginkan. DSM-IV-TR
mendafarkan empat jenis ganggguan tidur irama sirkadian: tipe fase tidur
tertnda, tipe jet lag, tipe kerja bergiliran, dan tidak tergolongkan.[3]
Tentukan tipenya:
- Tipe fase tidur tertunda (delayed): pola onset tidur dan waktu bangun
tertunda yang menetap, dengan ketidakmampuan untuk jatuh tertidur
dan terbangun pada waktu lebih awal yang diinginkan.
- Tipe jet lag : rasa mengantuk dans sadar yang terjadi pada saat yang
tidak tepat dibandingkan dengan waktu setempat, terjadi setelah
perjalanan berulang melintasi lebih dari satu zona waktu.
- Tipe kerja giliran : insomnia selama periode tidur utama atau rasa
mengantuk yang berlebihan selama periode bangun yang utama karena
pekerjaan dengan giliran malam atau sering berubahnya jadwal
bergiliran.
- Tipe tidak tergolongkan
20
6. Disomnia yang tidak tergolongkan
21
pengukuran endokrin laboratorium belum dilaporkan. Kadar serotonin
di dalam cairan serebrospinal telah teridentifikasi pada satu pasien.[3]
b. Parasomnia
22
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Mimpi Buruk
A. Bangun berulang dari periode tidur utama atau tidur siang dengan ingatan
yang rinci mengenai mimpi yang lama dan sangat menakutkan, biasanya
melibatkan ancaman terhadap kelangsungan hidup, keamanan atau harga diri.
Bangun biasanya terjadi selama paru kedua periode tidur.
B. Saat bangun dari mimpi yang menakutkan, orang tersebut dengan cepat
memiliki orientasi dan kesiagaan (berlawanan dengan kebingungan dan
disorientasi yang ditemukan pad terot tidur dan beberapa bentuk epilepsi).
C. Pengalaman mimpi atau gangguan tidur terjadi akibat bangun, menyebabkan
penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi soial, pekerjaan
atau area sungsi penting lain.
D. Mimpi buruk tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan jiwa lain (cth.,
delirium, gangguan stres pascatrauma) dan tidak disebabkan efek fisiologis
langsung suatu zat atau keadaan medis umum.
23
selama episode ini.
D. Tidak ingat mimpi dengan rinci dan terdapat amnestik untuk episode ini.
E. Episode ini menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi soial, pekerjaan atau area sungsi penting lain.
F. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung suatu zat atau
keadaan medis umum.
24
bermakna atau hendaya fungsi sosial, pekerjaan dan area fungsi
oenting lain..
F. Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung suatu
zat atau keadaan medis umum.
25
- Bruksisme terkait tidur. Bruksisme atau menggeretakkan gigi, terjadi
sepanjang malam, paling menonjol pada tidur tahap 2.[3]
26
aibat ansietas yang merupakan bagian dari berbagai gangguan jiwa
yang masuk dalam daftar. Insomnia lebih lazim pada perempuan
dibanding laki-laki. Pada kasus yang sangat jelas, yang ansietasnya
memiliki akar psikologis, terapi psikiatrik ansietas (contoh, psikoterapi
individual, psikotrapi kelompok, atau terapi keluarga) sering meredakan
insomnia. [3]
Insomnia yang terkait dengan gangguan depresif berat melibatkan onset
tidur yang relatif normal tetapi disertai bangun berulang pada paruh
kedua malam dan bangun sangat dini di pagi hari, biasanya dengan
mood yang tidak nyaman di pagi hari (pagi hari merupakan waktu
terrburuk pada sebagian pasien dengan depresi berat). Polisomnografi
menunjukkan berkurangnya tahap tidur 3 dan 4, sering disertai latensi
REM singkat, dan periode REM yang pertama lama. Penggunaan
pengurangan tidur parsialatau total dapat mempercepat respons
terhadap obat anti-depresan.[3]
27
zar (cth, penyalahgunaan obat, suatu obat) atau keadaan medis
umum.
28
BAB III
KESIMPULAN
29
2. Apabila seseorang tidak bisa melakukan proses tidur, maka orang tersebut
dicurigai mengalami gangguan tidur.
3. Empat gejala utama menandai sebagian besar gangguan tidur; insomnia,
hipersomnia, parasomnia dan gangguan jadwal tidur bangun.
4. Gangguan tidur diklasifikasikan sebagai berikut
1) Disomnia
- Insomnia
- Hipersomnia
- Narkolepsi
- Gangguan tidur yang terkait dengan Pernapasan
- Gangguan tidur irama sirkadian
- Disomnia yang tidak tergolongkan
Mioklonus nocturnal
Restless leg syndrome
Sindrom Kleine-levin
Sindrom yang terkait menstruasi
Gangguan tidur saat hamil
Tidur yang tidak cukup
Sleep Drunkenness
2) Parasomnia
- Gangguan mimpi buruk
- Gangguan terror tidur
- Gangguan berjalan sambil tidur
- Parasomnia yang tidak tergolongkan
Bruksisme terkait tidur
Gangguan prilaku tidur REM
Berbicara sambil tertidur (Somniloquy)
Membenturkan kepala terkait tidur
Paralisis tidur
3) Gangguan tidur akibat gangguan jiwa lain
30
- Insomnia akibat gangguan jiwa lain
- Hipersomnia akibat gangguan jiwa lain
5. Insomnia adalah kesulitan memulai atau mempertahankan tidur. Gangguan ini
merupakan keluhan tidur yang paling lazim ditemui dan dapat bersifat
sementara atau menetap.
6. Hipersomnia tampak sebagai tidur yang berlebihan, rasa mengantuk
(somnolen) di siang hari ayng berlebihan, atau kadang-kadang keduanya.
7. Klasifikasi menurut DSM-IV-TR :
- Insomnia
Insomnia Primer
Insomnia Akibat Gangguan Jiwa lain
- Hipersomnia
Hipersomnia Primer
Hipersomnia Akibat Gangguan Jiwa Lain
8. Terapi farmakologi untuk insomnia dengan obat anti insomnia, yaitu
golongan benzodiazepine (nitrazepam, flurazepam, eztazolam) dan golongan
nonbenzodiazepine (zolpidem)
9. Terapi hipersomnia primer terutama terdiri atas obat stimulan, seperti
amfetamin, yang diberikan pagi atau sore hari. Obat antidepresan nonsedasi
seperti buprpprion dan stimulan baru seperti modafinil juga mungkin berguna
pada beebrapa pasien
DAFTAR PUSTAKA
31
2. Permana M.G.C., Insomnia dan Hubungannya Terhadap Faktor Psikososial
Pada Pelayanan Kesehatan Primer, Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas
Kedokteran Udayana, 2010.
3. Kaplan.H.I, Sadock. B.J, 2010, Buku Ajar Psikiatri Klinis, Edisi kedua, EGC,
Jakarta
4. Sherwood L., Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. 2011 : EGC.Hal
183
5. Ganong W.F., Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. 2008 : EGC. Hal
205
6. Hidayat., Tinjauan Pustaka : Gangguan Tidur. Univrsitas Diponegoro. 2012.
Diakses 03 Februari 2016. Dari < http://eprints.undip.ac.id/33160/2/BAB2.
pdf>.
7. Ardinata, D., Tinjauan Pustaka: Gangguan Tidur. Universitas Sumatera
Utara. 2013. Diakses 03 Februari 2016. Dari < http://repository.usu.ac.id/
bitstream/123456789/38690/4/Chapter%20II.pdf>.
8. Maslim R, 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta.
9. Maslim R, 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
(Psychotropic Medication). Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya, Jakarta.
10. Chawla, Insomnia Treatment & Management, Loyola University Medical
Center, America, Page 1 – 20.
32