OLEH :
019.06.0082
Kelompok 5/ Kelas A
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 4 yang berjudul “HIDUNG MAMPET” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Penyusun
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
“Hidung Mampet”
Identitas Pasien
Nama : Nn. S
Umur : 17 tahun
Data Dasar
a. Data subyektif
b. Data obyektif
Otoskopi : normal
Rhinoskopi anterior : ada kelainan
Faring : normal
Dari hasil wawancara ayah Nn.S memiliki riwayat penyakit asma tanpa
adanya riwayat alergi. Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir semua jaringan,
atau organ dalam tubuh. Manifestasi klinis umum dari alergi termasuk asma,
dermatitis atopik, rinitis alergik, dan urtikaria/angioedema. Alergi makanan dan
dermatitis atopik lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak yang lebih muda,
sedangkan asma dan rinits alergi sering terjadi pada usia yang lebih besar.
Manifestasi alergi dapat mengancam hidup seperti asma berat dan reaksi
anafilaksis. Rhinitis alergi dan asma merupakan penyakit radang dengan etiologi
yang serupa. Selain itu, keduanya juga memiliki mekanisme inflamasi serupa
yang dimediasi oleh berbagai jenis sel. Beberapa mediator seperti IgE yang
Rinosinusitis Sinusitis
Sumbatan hidung, hidung meler, nyeri wajah, gangguan Hidung tersumbat disertai nyeri tekan pada
penghidu/ batuk pada anak kecil wajah dan ingus purulen yang sering turun ke
tenggorok. Dapat disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Nyeri tekan sinus (akut).
Gejala lan : sakit kepala, hiposmia/ anosmia
Polip, secret mukopurulen/ sumbatan/ edema Adanya pus di meatus medius/ meatus superior.
Mukosa edema dan hiperemis (akut),
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius (anak).
Transluminasi gelap
PEMBAHASAN
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu
Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise (Tortora, Gerard J. Bryan Derrickson).
Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tonjolan yang
membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang berjalan seperti hiasan
rumbai-rumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat untuk
mengikat odoran, molekul yang dapat dihidu. Selama bernafas tenang, odoran
biasanya mencapai reseptor sensitif hanya dengan difusi karena mukosa
olfaktorius berada di atas jalur normal aliran udara. Tindakan mengendus
meningkatkan proses ini dengan menarik arus udara ke arah atas di dalam rongga
hidung sehingga lebih banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak
dengan mukosa olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu
makan dengan naik ke hidung dari mulut melalui faring (belakang tenggorokan)
(Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro. 2007).
Fungsi Respirasi
Fungsi Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.
Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
pembentukan kata- kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.
Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa- apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
lmpact on Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin- bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah rnukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh lg E (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007).
Manifestasi Klinis
Pasien dengan rinitis alergi intermiten atau musiman memiliki gejala bersin,
rinore, dan mata berair, sedangkan pasien dengan AR kronis sering mengeluhkan
postnasal drip, hidung tersumbat kronis, dan obstruksi. Pasien-pasien ini akan
sering memiliki riwayat keluarga dengan rinitis alergi atau riwayat asma
pribadi. Pasien dengan rinitis intermiten dapat melaporkan pemicu seperti serbuk
sari, bulu binatang, lantai/pelapis, jamur, kelembapan, parfum, dan/atau asap
tembakau. Pada pemeriksaan fisik, klinisi mungkin melihat pernapasan mulut,
sering mengendus dan/atau membersihkan tenggorokan, lipatan hidung supra-tip
melintang, dan lingkaran hitam di bawah mata (penyemir alergi). Rhinoskopi
Diagnosis
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, benltrama pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langitlangit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
partumbuhan gigi- geligi. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobble stone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue) (Akhouri, Shweta., House, Steven.
2021).
Pemeriksaan Penunjang
1. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan lgE total (prist-paper radio immunosorbent test) barangkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada. bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri
2. In vivo :
Manifestasi Klinis
2. Neuropeptida
3. Nitrit Oksida
Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangsangan non- spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifi tias serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung.
4. Trauma
Diagnosis
Manifestasi Klinis
Etiologi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanital hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik (Battisti, Amanda., Modi, Pranav., Pangia, Jon.
2021.)
2.2.5 Rinosinusitis
Definisi
Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior atau posterior) (EPOS. 2007.)
Etiologi
- Idiopatik
- Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin
via aktivasi reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui
respon T Helper ( Th) tipe 2
- Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting
dari bakteri Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis (EPOS.
2007.)
Manifestasi Klinis
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior), nyeri
wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu dengan interval
bebas gejala bila terjadi rekurensi dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal dip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang- kadang hanya 1 atau 2 dari gejala- gejala
meliputi sakit kepala kronik, posf nasa/ drip, baluk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (EPOS. 2007.)
Diagnosis
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
Patofisiologi
IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor lg E
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (P reformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (113, lL4, lL5,
lL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. lnilah
yang disebut sebagai ReaksiAlergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan
merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin- bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid.
Penatalaksanaan
Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
1. Medikamentosa
2. Operatif
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan /gG
blocking antibody dan penurunan lgE (Arief, Akbar. 2020.)
Komplikasi
1. Polip hidung
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak- anak
3. Sinusitis paranasal (Arief, Akbar. 2020.)
KIE
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien di
skenario memiliki diagnosis “Rinitis Alergi”. Hal ini dirumuskan dengan
keterangan di scenario yang mengatakan pasien memiliki keluhan utama hidung
mampet berair atau biasa disebut dengan rinorea merupakan keluhan khas pada
rhinitis. Keluhan pasien tanpa riwayat demam, batuk, dan nyeri wajah berhasil
menyingkirkan dugaan diagnosis rinosinusitis dan sinusitis. Adapun
penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah dengan pemberian antihistamin,
apabila tidak cukup dengan medikamentosa maka dapat dilakukan tindakan
operatif seperti konkotomi. Untuk upaya preventif nya dapat dilakukan terapi
imun / immunotherapy. Oleh sebab itu diperlukan penatalaksanaan preventif,
kuratif dan rehabilitative untuk memberikan prognosis yang baik untuk pasien.
Arief, Akbar. 2020. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Vol 11, No, 1, Juni 2020, pp;353-
357 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563 DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.293 https://akper-sandikarsa.e-
journal.id/JIKSH/article/view/293 (Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2021)
Boies., Adams., Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT (BOIES
Fundamental of Otolaryngology). Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro. 2007. Histologi dasar, teks dan atlas.
10th ed. Jakarta: EGC;
Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC
Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan ; Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Edisi 6.