Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN

SMALL GROUP DISCUSSION LBM 4


BLOK MATA & THT
“HIDUNG MAMPET”

OLEH :

Putu Shanti Ayudiana Budi

019.06.0082

Kelompok 5/ Kelas A

Tutor : dr. Rona Narasafa, S.Ked

PENDIDIKAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat-Nya dan dengan kemampuan yang kami miliki, penyusunan makalah SGD
(Small Group Discussion) LBM 4 yang berjudul “HIDUNG MAMPET” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa


(LBM) 4 yang berjudul “HIDUNG MAMPET” meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan
lancar tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini
kami mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. Rona Narasafa, S.Ked sebagai dosen fasilitator SGD 5 yang


senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan
SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi kami
dalam berdiskusi.
3. Keluarga yang kami cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan
motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman kami yang terbatas untuk
menyusun makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak
sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 27 Oktober 2021

Penyusun

LBM 4 “Hidung Mampet” 2


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2
DAFTAR ISI .......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 4
1.1 Skenario ................................................................................................... 4

1.2 Data Kasus .............................................................................................. 4

1.3 Deskripsi Masalah .................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 8


2.1 Anatomi, Histologi serta Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal ............ 8

2.1.1 Anatomi Hidung.................................................................................... 8

2.1.2 Histologi Hidung ................................................................................... 9

2.13 Fisiologi Hidung ................................................................................... 10

2.1.4 Sinus Paranasal ................................................................................... 12

2.2 Pembahasan Diagnosis Banding .............................................................. 13

2.2.1 Rinitis Alergi ....................................................................................... 13

2.2.2 Rinitis Vasomotor ............................................................................... 16

2.2.3 Rinitis Medikamentosa ....................................................................... 19

2.2.4 Sinusistis .............................................................................................. 20

2.2.5 Rinosinusitis ........................................................................................ 21

2.3 Penegakkan Diagnosis Kerja ............................................................... 23

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 28


3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 28

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29

LBM 4 “Hidung Mampet” 3


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario
“Hidung Mampet”

Nn. S usia 17 tahun datang ke puskemas, dengan keluhan hidung mampet


sejak 3 hari. Hidung mampet disertai meler yang dirasakan terutama saat pagi
hari. Keluhan lain seperti bersin-bersin diakui. Keluhan lain seperti batuk, demam,
nyeri wajah disangkal. Nn. S seorang pelajar dan mengeluhkan aktivitas belajar
menjadi terganggu. Pasien menyangkal memiliki alergi. Dari hasil wawancara
ayah Nn.S memiliki riwayat penyakit asma. Hasil pemeriksaan otoskopi ADS:
dalam batas normal. Rinoskopi anterior : terdapat kelainan. Pemeriksaan faring:
dalam batas normal. Setelah melakukan pemeriksaan dokter memberikan obat dan
edukasi kepada pasien. Pasien bertanya apa penyebab keluhannya dan apakah bisa
sembuh ?.

1.2 Data Kasus

Identitas Pasien

Nama : Nn. S

Umur : 17 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Data Dasar

a. Data subyektif

Pada anamnesis didapatkan data yaitu pasien mengeluhkan hidung mampet


sejak 3 hari yang lalu, keluhan disertai meler terutama pada pagi hari. Pasien tidak

LBM 4 “Hidung Mampet” 4


mengeluhkan demam, batuk dan nyeri pada wajah. Tidak ada riwayat alergi pada
pasien.

b. Data obyektif

Pada pemeriksaan didapatkan sebagai berikut :

Otoskopi : normal
Rhinoskopi anterior : ada kelainan
Faring : normal

1.3 Deskripsi Masalah

Berdasarkan hasil diskusi maka kelompok kami merumuskan beberapa


permasalahan yang penting untuk dikaji dan di diskusikan bersama untuk
menduga suatu diagnosis yang diambil dari keluhan pasien diantaranya yaitu
penyebab dari keluhan yang dialami pasien dimana keluhan utama nya adalah
hidung mampet sejak 3 hari. Hidung mampet disertai meler yang dirasakan
terutama saat pagi hari disebabkan oleh infeksi virus pada mukosa hidung
menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga timbul
gejala klinis hidung tersumbat dan sekret hidung yang merupakan gejala utama
rinitis. Keluhan lain seperti bersin- bersin disebabkan oleh stimulasi kolinergik
menyebabkan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan bersin.

Dari hasil wawancara ayah Nn.S memiliki riwayat penyakit asma tanpa
adanya riwayat alergi. Reaksi alergi dapat mempengaruhi hampir semua jaringan,
atau organ dalam tubuh. Manifestasi klinis umum dari alergi termasuk asma,
dermatitis atopik, rinitis alergik, dan urtikaria/angioedema. Alergi makanan dan
dermatitis atopik lebih sering terjadi pada bayi dan anak-anak yang lebih muda,
sedangkan asma dan rinits alergi sering terjadi pada usia yang lebih besar.
Manifestasi alergi dapat mengancam hidup seperti asma berat dan reaksi
anafilaksis. Rhinitis alergi dan asma merupakan penyakit radang dengan etiologi
yang serupa. Selain itu, keduanya juga memiliki mekanisme inflamasi serupa
yang dimediasi oleh berbagai jenis sel. Beberapa mediator seperti IgE yang

LBM 4 “Hidung Mampet” 5


diproduksi secara lokal dan sistemik serta keterlibatan sumsum tulang secara
sistemik, keduanya memiliki hubungan. Konsep tersebut juga didukung oleh
penelitian yang melibatkan provokasi menggunakan alerge yaitu infiltrasi
inflamasi yang diinduksi alergen dan mobilitas mediator menunjukkan tidak
adanya perbedaan, baik antara cairan hidung dan bronkial maupun mukosa hidung
dan bronkial.

Oleh karena itu kelompok kami merumuskan beberapa diagnosis banding


yang memiliki manifestasi klinis seperti di scenario diantaranya yaitu :

Rinitis Alergi Rinitis Vasomotor Rinitis Medikamentosa


Manifestasi Serangan bersin Hidung tersumbat Hidung tersumbat terus
Klinis berulang, rinorea bergantian kiri dan menerus
(keluar ingus) yang kanan tergantung
encer dan banyak, pada posisi pasien,
hidung tersumbat, gejala dapat
hidung dan mata memburuk di pagi
gatal, kadang hari karena
lakrimasi perubahan suhu.
Pemeriksaan Rhinoskopi anterior : Rhinoskopi anterior : Mukosa hidung “beefy red”
mukosa edema, edema mukosa
basah pucat/ livid, hidung, konka
secret encer, mukosa berwarna merah
inferior tampak gelap/ merah tua
hipertrofi tetapi bisa pucat,
permukaan konka
dapat licin /
berbenjol- benjol.
Pada rongga hidung
terdapat secret

LBM 4 “Hidung Mampet” 6


mukoid.

Rinosinusitis Sinusitis
Sumbatan hidung, hidung meler, nyeri wajah, gangguan Hidung tersumbat disertai nyeri tekan pada
penghidu/ batuk pada anak kecil wajah dan ingus purulen yang sering turun ke
tenggorok. Dapat disertai gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Nyeri tekan sinus (akut).
Gejala lan : sakit kepala, hiposmia/ anosmia
Polip, secret mukopurulen/ sumbatan/ edema Adanya pus di meatus medius/ meatus superior.
Mukosa edema dan hiperemis (akut),
pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius (anak).
Transluminasi gelap

LBM 4 “Hidung Mampet” 7


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi, Histologi serta Fisiologi Hidung dan Sinus Paranasal

2.1.1 Anatomi Hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian- bagiannya dari atas ke


bawah :

1) Pangkal hidung (bridge),


2) Batang hidung (dorsum nasi),
3) Puncak hidung (tip),
4) Ala nasi,
5) Kolumela dan
6) Lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi
oleh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari :

1) Tulang hidung (os nasal),


2) Prosesus frontalis os maksila dan
3) Prosesus nasalis os frontal;

Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan
yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu

LBM 4 “Hidung Mampet” 8


1) Sepasang kartilago nasalis lateralis superior,
2) Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor dan
3) Tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke


belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di
belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit
yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrise (Tortora, Gerard J. Bryan Derrickson).

2.1.2 Histologi Hidung


Hidung merupakan indra yang kita gunakan untuk mengenali lingkungan
sekitar atau sesuatu dari aroma yang dihasilkan. Di dalam hidung terdapat banyak
sel kemoreseptor untuk mengenali bau. Ketika udara akan masuk ke paru, udara
lebih dahulu melewati mulut atau rongga hidung. Di bagian superior dan lateral
atap hidung terdapat rak hidung bertulang yang disebut konka. Bagian ini dilapisi
epitel berlapis semu yang sangat khusus dan disebut dengan epitel olfaktorius
yang mendeteksi dan menyalurkan bau ke otak. Epitel ini terdiri atas tiga jenis sel:
penunjang (sustentakular), basal, dan olfaktorik (sensorik). Dibawah epitel di
dalam jaringan ikat, terdapat kelenjar olfaktori serosa (Bowman). Berbeda dari
epitel pernafasan yang terletak di dekat epitel olfaktori, epitel olfaktori berlapis
semu berbeda karena tidak ada sel goblet atau ada silia yang dapat bergerak di
permukaan selnya (Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro. 2007).

Reseptor- reseptor olfaktorius merupakan sel- sel khusus, berupa sel-sel


saraf bersilia yang terletak di dalam epitel olfaktorius pada rongga hidung. Akson-
akson sel tersebut bergabung menjadi bungkusanbungkusan kecil yang banyak

LBM 4 “Hidung Mampet” 9


jumlahnya (nervus olfaktorius sebenarnya) yang memasuki rongga tengkorak
melalui foramina lamina kribiformis dari tulang etmoidalis dan kemudian
menempel ke bulbus olfaktorius pada permukaan inferior lobus frontalis. Proses
awal informasi olfaktorius terjadi di dalam bulbus olfaktorius, yang berisi sel-sel
interneuron dan mitral besar; akson-akson dari sel-sel mitral besar meninggalkan
bulbus melewati traktus olfaktorius (Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro.
2007)

Bagian reseptor sel reseptor olfaktorius terdiri dari sebuah tonjolan yang
membesar dan mengandung beberapa silia panjang yang berjalan seperti hiasan
rumbai-rumbai ke permukaan mukosa. Silia ini mengandung tempat untuk
mengikat odoran, molekul yang dapat dihidu. Selama bernafas tenang, odoran
biasanya mencapai reseptor sensitif hanya dengan difusi karena mukosa
olfaktorius berada di atas jalur normal aliran udara. Tindakan mengendus
meningkatkan proses ini dengan menarik arus udara ke arah atas di dalam rongga
hidung sehingga lebih banyak molekul odoriferosa di udara yang berkontak
dengan mukosa olfaktorius. Odoran juga mencapai mukosa olfaktorius sewaktu
makan dengan naik ke hidung dari mulut melalui faring (belakang tenggorokan)
(Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro. 2007).

2.13 Fisiologi Hidung


Berdasarkan teon struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi
fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah :

1) Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning),


penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran
tekanan dan mekanisme imunologik lokal;
2) Fungsi penghidu karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir
udara untuk menampung stimulus penghidu;
3) Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang;

LBM 4 “Hidung Mampet” 10


4) Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi
terhadap trauma dan pelindung panas,
5) Refleks nasal.

Fungsi Respirasi

Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares


anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke
arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir Pada musim
panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara
inspirasi oleh lendir, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.

Fungsi Penghidu

Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik napas dengan kuat.

Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Hidung membantu proses
pembentukan kata- kata. Kata dibentuk oleh lidah, bibir, dan palatum mole. Pada
pembentukan konsonan nasal (m, n, ng) rongga mulut tertutup dan hidung
terbuka, palatum mole turun untuk aliran udara.

LBM 4 “Hidung Mampet” 11


Refleks Nasal

Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan


saluran cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. lritasi mukosa hidung akan
menyebabkan refleks bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pancreas (Sherwood, Laurelee).

2.1.4 Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsi karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Ada empat
pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maksila, sinus frontal,
sinus etmoid dan sinus sphenoid kanan dan kiri. Sinus paranasal merupakan hasil
pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di dalam tulang.
Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga hidung (Soepardi,
Efiaty Arsyad., dkk. 2007).

Fungsi Sinus Paranasal

Sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus
paranasal. Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal ini tidak mempunyai
fungsi apa- apa, karena terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain

(1) Sebagai pengatur kondisi udara,


(2) Sebagai penahan suhu,
(3) Membantu keseimbangan kepala,
(4) Membantu resonansi suara,
(5) Peredam perubahan tekanan udara dan
(6) Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung
(Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007).

LBM 4 “Hidung Mampet” 12


2.2 Pembahasan Diagnosis Banding

2.2.1 Rinitis Alergi


Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its
lmpact on Asthma) adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin- bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah rnukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh lg E (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007).

Etiologi dan Faktor Resiko

Respon alergi dengan mediator histamine, hiperresponsif yang dimediasi


non-IgE, hiperreaktif mukosa hidung. Faktor risiko untuk mengembangkan AR
termasuk riwayat keluarga dengan atopi, jenis kelamin laki-laki, adanya IgE
spesifik alergen, IgE serum lebih besar dari 100 IU/mL sebelum usia 6 tahun, dan
status sosial ekonomi yang lebih tinggi (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007).

Manifestasi Klinis

Pasien dengan rinitis alergi intermiten atau musiman memiliki gejala bersin,
rinore, dan mata berair, sedangkan pasien dengan AR kronis sering mengeluhkan
postnasal drip, hidung tersumbat kronis, dan obstruksi. Pasien-pasien ini akan
sering memiliki riwayat keluarga dengan rinitis alergi atau riwayat asma
pribadi. Pasien dengan rinitis intermiten dapat melaporkan pemicu seperti serbuk
sari, bulu binatang, lantai/pelapis, jamur, kelembapan, parfum, dan/atau asap
tembakau. Pada pemeriksaan fisik, klinisi mungkin melihat pernapasan mulut,
sering mengendus dan/atau membersihkan tenggorokan, lipatan hidung supra-tip
melintang, dan lingkaran hitam di bawah mata (penyemir alergi). Rhinoskopi

LBM 4 “Hidung Mampet” 13


anterior biasanya menunjukkan pembengkakan mukosa hidung dan sekret yang
encer dan jernih. Konka inferior dapat berwarna kebiruan, dan mungkin ada
cobblestoning pada mukosa hidung. Bila memungkinkan, pemeriksaan endoskopi
internal rongga hidung harus dilakukan untuk menilai polip hidung dan kelainan
struktural. Otoskopi pneumatik dapat digunakan untuk menilai disfungsi tuba
eustachius, yang dapat menjadi temuan umum pada pasien dengan rinitis
alergi. Palpasi sinus dapat menimbulkan nyeri tekan pada pasien dengan gejala
kronis. Pasien- pasien ini juga harus menjalani pemeriksaan hati-hati untuk tanda-
tanda asma atau dermatitis (Akhouri, Shweta., House, Steven. 2021).

Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi


dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis
saja Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau
bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme
fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin
initerutama merupakan gejala pada MFC dan kadang-kadang pada RAFL sebagai
akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Sering kali gejala yang timbul
tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang- kadang keluhan hidung tersumbat
merupakan keluhan utama atau satu- satunya gejala yang diutarakan oleh pasien
(Akhouri, Shweta., House, Steven. 2021).

2. Pemeriksaan fisik

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, benltrama pucat atau
livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

LBM 4 “Hidung Mampet” 14


inferior tampak hipertrofi Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap
di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok- gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan.

Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini
lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi
bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langitlangit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan
partumbuhan gigi- geligi. Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
(cobble stone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak
seperti gambaran peta (geographic tongue) (Akhouri, Shweta., House, Steven.
2021).

Pemeriksaan Penunjang

1. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian
pula pemeriksaan lgE total (prist-paper radio immunosorbent test) barangkali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu
macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronchial atau
urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada. bayi
atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan
sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna
sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan
adanya infeksi bakteri

2. In vivo :

LBM 4 “Hidung Mampet” 15


Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji
intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan
SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk
desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir- akhir ini
banyak dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(\PDFI), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi ("Challenge Test"). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu lima hari. Karena itu pada "Challenge Test", makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati
reaksinya (Akhouri, Shweta., House, Steven. 2021).

2.2.2 Rinitis Vasomotor


Definisi

Rintis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa


adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan honncnd (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin
dan obat topikal hidung dekongestan). Rinitis ini digolongkan menjadi non- alergi
bila adanya alergi/ alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan
alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi lgE spesifik serum)
(Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007.)

Manifestasi Klinis

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan


non- spesifik, seperti asap/ rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman
beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan,
perubahan kelembaban, perubahan suhu luar, kelelahan dan stres/ emosi. Pada
keadaan normal faktor- faktor tadi tidak dirasakan sebagai gangguan oleh individu

LBM 4 “Hidung Mampet” 16


tersebut. Kelainan ini mempunyai gejala yang mirip dengan .rinitis alergi, namun
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan,
tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinore yang mukoid atau serosa.
Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata. Gejala dapat memburuk pada pagi
hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara
lembab juga oleh karena asap rokok dan sebagainya (Soepardi, Efiaty Arsyad.,
dkk. 2007.)

Berdasarkan gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam 3


golongan, yaitu :

1. Golongan bersin (sneezers), gejala biasanya memberikan respon yang


baik dengan terapi antihistamin dan glukokortikosteroid topical
2. Golongan rinore (runners), gejala dapat diatasi dengan dengan
pemberian anti kolinergik topikal ; dan
3. Golongan tersumbat (blockers), kongesti umumnya memberikan respon
yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topical dan vasokonstriktor
oral (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007.)

Etiologi & Patofisiologi

Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis


telah dikemukakan untuk menerangkan patofisiologi rintis vasomotor:

1. Neurogenik (disfungsi sistem otonom)

Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-2,


menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut
simpatis melepaskan ko-transmiter noradrenalin dan neuropeptida Y yang
menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan sekresi hidung.

2. Neuropeptida

Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh


meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di hidung. Adanya

LBM 4 “Hidung Mampet” 17


rangsangan abnormal saraf sensoris ini akan diikuti dengan peningkatan pelepasan
neuropeptida seperti substance P dan calcitonin gene-related protein yang
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular dan sekresi kelenjar.

3. Nitrit Oksida

Kadar nitrik oksida (NO) yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung
dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga
rangsangan non- spesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub-epitel. Akibatnya
terjadi peningkatan reaktifi tias serabut trigeminal dan recruitment refleks
vaskular dan kelenjar mukosa hidung.

4. Trauma

Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma


hidung (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007.)

Diagnosis

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan


adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat. Dalam
anamnesis dicari .faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior tampak gambaran yng khas berupa edema mukosa hidung,
konka benvarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu
dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-
benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat secret mukoid, biasanya sedikit.
Akan tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan ialah serosa dan banyak
jumlahnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan


rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada secret hidung, akan tetapi
dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar lgE spesifik tidak
meningkat (Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007.)

LBM 4 “Hidung Mampet” 18


2.2.3 Rinitis Medikamentosa
Definisi

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan


respons normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor
topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan,
sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa
hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (drug abuse) (Soepardi,
Efiaty Arsyad., dkk. 2007.)

Manifestasi Klinis

Pasien mengeluh hidungnya tersurnbat terus menerus dan berair. Pada


pemeriksaan tampak edema / hipertrofi konka dengan secret hidung yang
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang
(Boies., Adams., Higler. 1997.)

Etiologi & Patofisiologi

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan


atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topical vasokonstriktor. Obat
topikal vasokonstriktor dari golongan simpatomimetik akan menyebabkan siklus
nasi terganggu dan akan berfungsi normal kembali apabila pemakaian obat itu
dihentikan. Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam waktu
lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation)
setelah vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi, Adanya gejala obstruksi
ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi memakai obat tersebut.
Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa- adrenergik yang tinggi di mukosa
hidung (Boies., Adams., Higler. 1997.)

LBM 4 “Hidung Mampet” 19


2.2.4 Sinusistis
Definisi

Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter


sehari- hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan
tersering di seluruh dunia. Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan
infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri (Battisti,
Amanda., Modi, Pranav., Pangia, Jon. 2021.)

Etiologi

Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rhinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanital hamil,
polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka,
sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan
imunologik, diskinesia silia seperti pada sindroma Kartagener, dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik (Battisti, Amanda., Modi, Pranav., Pangia, Jon.
2021.)

Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Faktor utama termasuk nyeri/tekanan wajah, kongesti/rasa penuh pada


wajah, sumbatan hidung, purulensia hidung atau postnasal, hiposmia, dan demam.
Faktor minor (hanya signifikan secara diagnostik dengan satu atau lebih faktor
mayor) termasuk sakit kepala, bau mulut, kelelahan, malaise, sakit gigi, batuk,
dan otalgia. Pemeriksaan fisik paling baik dilakukan setelah dekongestan
topikal. Pada pemeriksaan, cari pembengkakan wajah, eritema, edema (paling
sering periorbital), adenopati serviks, drainase postnasal atau
faringitis. Rhinoskopi anterior dapat mengungkapkan edema mukosa, pengerasan
kulit, purulen, polip obstruktif atau cacat anatomi lainnya. Perkusi dahi dan pipi

LBM 4 “Hidung Mampet” 20


untuk kelembutan yang dalam. Transiluminasi sinus dapat membantu. Ada lima
prediktor independen sinusitis: nyeri gigi rahang atas, transiluminasi sinus
abnormal, respons yang buruk terhadap dekongestan hidung atau antihistamin,
sekret hidung berwarna, dan tampak mukopurulen pada pemeriksaan. Kehadiran
empat atau lebih sangat prediktif sinusitis (Battisti, Amanda., Modi, Pranav.,
Pangia, Jon. 2021.)

2.2.5 Rinosinusitis
Definisi

Inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau
lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau
pilek (sekret hidung anterior atau posterior) (EPOS. 2007.)

Etiologi

- Idiopatik
- Jamur mengandung protease intrinsik yang dapat menginduksi sitokin
via aktivasi reseptor PAR pada berbagai jenis sel, mungkin melalui
respon T Helper ( Th) tipe 2
- Berdasarkan teknik kultur, telah lama menemukan peranan penting
dari bakteri Staphylococcus aureus pada rhinosinusitis kronis (EPOS.
2007.)

Manifestasi Klinis

Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/ posterior), nyeri
wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu dengan interval
bebas gejala bila terjadi rekurensi dengan validasi anamnesis tentang gejala alergi,
seperti bersin, ingus encer seperti air, hidung gatal dan mata gatal serta berair.

LBM 4 “Hidung Mampet” 21


Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri/ rasa
tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok. Dapat
disertai gejala sistemik seperti de.mam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan
di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-
kadang nyeri juga terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan
sinusitis maksila, nyeri di antara atau di belakang ke dua bola mata menandakan
sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal.
Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata
dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi
dan telinga (EPOS. 2007.)

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/ anosmia, halitosis, post-nasal dip
yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis kronik tidak
khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang- kadang hanya 1 atau 2 dari gejala- gejala
meliputi sakit kepala kronik, posf nasa/ drip, baluk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke
paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah
serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang
tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (EPOS. 2007.)

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan
posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang
lebih tepat dan dini.Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid). Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan
hiperemis. Pada anak sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus
medius (EPOS. 2007.)

Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi Waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi

LBM 4 “Hidung Mampet” 22


sinus- sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu


menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara
keseluruhan dan perluasannya. Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit
akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena
sangat terbatas kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi
dilakukan dengan mengambil sekret dari meatus medius/ superior, untuk
mendapat antibiotik yang tepat guna. Sinuskopi dilakukan dengan pungsi
menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat
endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat
dilakukan irigasi sinus untuk terapi (EPOS. 2007.)

2.3 Penegakkan Diagnosis Kerja


Berdasarkan hasil pembahasan dari kelompok kami dari semua differensial
diagnosis, sesuai dengan manifestasi klinis yang paling dominan adalah pada
“Rhinitis Alergi”, akan dijelaskan dalam tabel berikut :

Keluhan scenario Rinitis Rinosinusitis Sinusitis


Rinitis Rinitis Rinitis
Alergi Medikamentosa Vasomotor
Perempuan 17 tahum +/- +/- +/- +/- +/-
Hidung mampet disertai + + ++ + +
meler (terutama di pagi
hari)
Bersin ++ +/- +/- + +/-
Batuk - - - + +
Demam - - - - -
Nyeri wajah - - - + +
Riwayat alergi ++ - + - -
Keturunan asma + +/- + - -

LBM 4 “Hidung Mampet” 23


Epidemiologi

Studi epidemiologik menunjukkan kalau asma dan rhinitis seringkali


diderita oleh pasien yang sama. Terdapat lebih dari 80% penderita asma
mengalami rhinitis dan 10– 40% pasien dengan rhinitis menderita asma.
Prevalensi asma pada subjek tanpa rhinitis seringkali <2%. Selain itu, di AS
sendiri terdapat sekitar 56 juta orang atau 20% penduduk menderita rhinitis alergi
dan 5% nya menderita asma. Tidak hanya di AS, penelitian epidemiologi
menyatakan kalau prevalensi rhinitis alergi dan asma meningkat di seluruh dunia.
Adanya rhinitis alergi biasanya dapat memperburuk kejadian asma, meningkatkan
risiko serangan asma, dan lebih butuh melakukan kunjungan darurat maupun
rawat inap terkait asmanya (Arief, Akbar. 2020.)

Patofisiologi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan


tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Reaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi
Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat
(RAFL) yang berlangsung 24 jam dengan puncak 6- 8 jam (fase hiper- reaktifitas)

LBM 4 “Hidung Mampet” 24


setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24- 48 jam. Pada kontak
pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap
allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen
akan membentuk fragmen pendek peptida dan bergabung dengan molekul HLA
kelas ll membentuk komplek peptida MHC kelas ll (Major Histo- compatibility
Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th 0). Kemudian sel
penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (lL 1) yang akan mengaktifkan
ThO untuk berproliferasi menjadi Th 1 dan Th 2. Th 2 akan menghasilkan
berbagai sitokin seperti lL 3, lL 4, lL 5 dan lL 13. lL 4 dan Ll 13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi lmunoglobulin E (IgE).

IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor lg E
di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga ke dua sel ini
menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang
sama, maka kedua rantai lgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi
degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (P reformed Mediators) terutama histamin.
Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain
prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF) dan berbagai sitokin. (113, lL4, lL5,
lL6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dll. lnilah
yang disebut sebagai ReaksiAlergi Fase Cepat (RAFC). Histamin akan
merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin- bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler
meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid.

Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan


rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular

LBM 4 “Hidung Mampet” 25


Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan
molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan
berlanjut dan mencapai puncak 6 - 8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini
ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin
seperti lL3, lL4, lL5 dan Granulocyte Magrophag Colony Stimulating Factor
(GM- CSF) dan ICAM 1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi
dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived
Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).
Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat
memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca
dan kelembaban udara yang tinggi (Arief, Akbar. 2020.)

Penatalaksanaan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen
penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

1. Medikamentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja


secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan
dekongestan secara per oral.

2. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),


konkoplasti perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

LBM 4 “Hidung Mampet” 26


3. lmunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan /gG
blocking antibody dan penurunan lgE (Arief, Akbar. 2020.)

Komplikasi

1. Polip hidung
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak- anak
3. Sinusitis paranasal (Arief, Akbar. 2020.)

KIE

Menjauhkan faktor allergen, mengantisipasi faktor lingkungan seperti


memakai masker untuk menjaga tubuh dari suhu yang ekstrim.

LBM 4 “Hidung Mampet” 27


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pasien di
skenario memiliki diagnosis “Rinitis Alergi”. Hal ini dirumuskan dengan
keterangan di scenario yang mengatakan pasien memiliki keluhan utama hidung
mampet berair atau biasa disebut dengan rinorea merupakan keluhan khas pada
rhinitis. Keluhan pasien tanpa riwayat demam, batuk, dan nyeri wajah berhasil
menyingkirkan dugaan diagnosis rinosinusitis dan sinusitis. Adapun
penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah dengan pemberian antihistamin,
apabila tidak cukup dengan medikamentosa maka dapat dilakukan tindakan
operatif seperti konkotomi. Untuk upaya preventif nya dapat dilakukan terapi
imun / immunotherapy. Oleh sebab itu diperlukan penatalaksanaan preventif,
kuratif dan rehabilitative untuk memberikan prognosis yang baik untuk pasien.

LBM 4 “Hidung Mampet” 28


DAFTAR PUSTAKA
Akhouri, Shweta., House, Steven. 2021. Allergic Rhinitis. StatPearls.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538186/ (Diunduh pada tanggal
27 Oktober 2021)

Arief, Akbar. 2020. Hubungan Rhinitis Alergi dengan Kejadian Asma Bronkial.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. Vol 11, No, 1, Juni 2020, pp;353-
357 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563 DOI:
10.35816/jiskh.v10i2.293 https://akper-sandikarsa.e-
journal.id/JIKSH/article/view/293 (Diunduh pada tanggal 27 Oktober 2021)

Battisti, Amanda., Modi, Pranav., Pangia, Jon. 2021. Sinusitis. StatPearls.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/ (Diunduh pada tanggal
27 Oktober 2021)

Boies., Adams., Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT (BOIES
Fundamental of Otolaryngology). Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

EPOS. 2007. European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyposis.


Rhinology, Supplement. www.rhinologyjournal.com; www.eaaci.net.

Junqueira, Luis Carlos dan Jose Carneiro. 2007. Histologi dasar, teks dan atlas.
10th ed. Jakarta: EGC;

Kowalak, dkk. 2014. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC

Price, Sylvia., Wilson Lorraine. 2005. Patofisiologi; Konsep Klinis Proses-


Proses Penyakit. Penerbit EGC. Edisi. 6

Sherwood, Laurelee. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 9

Soepardi, Efiaty Arsyad., dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan ; Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Edisi 6.

Tortora, Gerard J. Bryan Derrickson. Dasar Anatomi dan Fisiologi :


Pemeliharaan dan Kontinuitas Tubuh Manusia. Edisi 13 Volume 2.

LBM 4 “Hidung Mampet” 29

Anda mungkin juga menyukai