Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini terjadi karena
adanya proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu
infeksi sistemik pada suatu penyakit autoimun.2 Episkleritis adalah suatu reaksi inflamasi pada
jaringan episklera yang terletak di antara konjungtiva dan sklera, bersifat ringan, dapat sembuh
sendiri, dan bersifat rekurensi. 3 Episkleritis adalah penyakit pada episklera yang sering, ringan,
dapat sembuh sendiri dan biasanya mengenai orang dewasa dan berhubungan dengan penyakit
sistemik penyertanya tetapi tidak dapat berkembang menjadi skleritis.4

Saat ini angka kejadian pasti skleritis dan episkleritis tidak diketahui karena banyaknya
pasien yang tidak berobat. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, namun terdapat laporan 74 %
3
kasus terjadi pada perempuan dan sering terjadi pada usia dekade 4-5. Pada anak-anak
episkleritis biasanya menghilang dalam 7-10 hari dan jarang rekuren. Pada dewasa, 30 % kasus
berhubungan dengan penyakit jaringan ikat penyertanya, penyakit inflamasi saluran cerna,
infeksi herpes, gout, dan vaskulitis. Penyakit sistemik biasanya jarang menyebabkan skleritis
dan episkleritis pada anak-anak. 5

Skleritis dan episkleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak ditangani
dengan baik berupa keratitis, uveitis, glaukoma, granuloma subretina, ablasio retina eksudatif,
proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan tergantung pada penyakit yang
mendasarinya. Oleh karena itu perlu diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna
penatalaksanaan lebih lanjut.1,2

Pada makalah ini akan dipaparkan sebuah tinjauan pustaka mengenai skleritis dan
episkleritis. Pembahasannya akan meliputi anatomi dan fisiologi sklera, epidemiologi,
klasifikasi, patogenesis, diagnosis, pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan pada skleritis
dan episkleritis serta komplikasinya.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
2.1.1 Sklera

Sklera merupakan jaringan kuat yang lentur dan berwarna putih pada bola mata yang
bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus di bagian belakang dan pelindung isi
bola mata. Sklera meliputi 5/6 anterior dari bola mata dengan diameter lebih kurang 22 mm. Di
anterior sklera berhubungan kuat dengan kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus,
sedangkan di posterior dengan duramater nervus optikus.5

Secara histologis sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 mikro dan lebar
100-150 mikro. Dibandingkan dengan kornea jaringan fibrosa sklera mempunyai daya
pembiasan yang lebih kuat, tidak mempunyai jarak yang tetap antara berkas jaringan
fibrosanya, dan mempunyai diameter yang berbeda-beda. Hal inilah yang membuat sklera
menjadi opak.5 Sklera mempunyai kekakuan tertentu sehingga mempengaruhi pengukuran
tekanan bola mata walaupun sklera kaku dan tebalnya 1mm sklera masih tahan terhadap
kontusio trauma tumpul. Ketebalan sklera bervariasi, maksimum 1 mm terdapat di dekat nervus
optikus dan minimum 0,3 mm pada insersio otot-otot rektus.

Di sekitar nervus optikus sklera ditembus oleh arteri siliaris posterior longus dan brevis
dan nervus siliaris longus dan brevis. Arteri siliaris longus dan nervus siliaris longus berjalan
dari nervus optikus menuju ke korpus siliaris di sebuah lekukan dangkal pada permukaan dalam
sklera pada meredian jam 3 dan 9. Sekitar 4 mm di belakang limbus, sklera ditembus oleh 4
arteri dan vena siliaris anterior. 1

Beberapa lembar jaringan sklera berjalan melintang bagian anterior nervus optikus
sebagai lamina kribrosa. Bagian dalam sklera berwarna hitam, coklat disebut lamina fuschka,
dihubungkan dengan koroid oleh filamen-filamen yang terdiri dari jaringan ikat yang
mengandung pigmen dan membuat dinding luar dari ruang suprakoroid dan ditembus oleh serat
saraf dan pembuluh darah. Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis
dari jaringan elastik halus yaitu episklera.5

2
2.1.2 Episklera5

Episklera mengandung banyak pembuluh darah yang menyediakan nutrisi untuk sklera
dan permeabel terhadap air, glukosa dan protein. Episklera juga berfungsi sebagai lapisan
pelicin bagi jaringan kolagen dan elastis dari sklera dan akan bereaksi hebat jika terjadi
inflamasi pada sklera .

Jaringan fibroelastis dari episklera mempunyai dua lapisan yaitu lapisan viseral yang
lebih dekat ke sklera dan lapisan parietal yang bergabung dengan fasia dari otot dan konjungtiva
dekat limbus.

Pleksus episklera posterior berasal dari siliari posterior , sementara itu di episklera
anterior berhubungan dengan pleksus konjungtiva, pleksus episklera superfisial dan pleksus
episkera profunda.

2.2 Skleritis dan Episklera


2.2.1 Definisi
Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1
Episkleritis adalah suatu reaksi inflamasi pada jaringan episklera yang terletak di antara
konjungtiva dan sklera, bersifat ringan, dapat sembuh sendiri, dan bersifat rekurensi. 3
2.2.2 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi
unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan dapat bersifat rekuren.2
Peningkatan insiden skleritis dan episkleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.2
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis dan
episkleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.2

2.2.3 Etiologi
Skleritis dan episkleritis biasanya disebabkan reaksi hipersensivitas terhadap suatu
penyakit sistemik seperti tuberkulosis, reumatoid artritis, SLE, dan lainnya. Pada skleritis
biasanya lebih sering disebabkan penyakit jaringan ikat, pasca infeksi virus herpes, sifilis, dan
gout. Kadang-kadang disebabkan bakteri (pseudomonas), sarkoidosis, hipertensi, benda asing,
dan pasca bedah.6

3
2.2.4 Patofisiologi
Sekitar 50 persen kasus skleritis dan episkleritis biasanya berhubungan dengan penyakit
sistemik. Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah rheumatoid
arthritis, ankylosing spondylitis, systemic lupus erythematosus, polyarteritis nodosa, Wegener's
granulomatosis, herpes zoster virus, gout dan sifilis.7
Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah gejala utama
dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan regulasi autoimun pada pasien
yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi penyebab terjadinya skleritis. Faktor
pencetus dapat berupa organisme menular, bahan endogen, atau trauma. Proses peradangan
dapat disebabkan oleh kompleks imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular
(hipersensitivitas tipe III) ataupun respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).8,9
Hipersensitivitas tipe III dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari antibody IgG
dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi lokal (reaksi Arthus) dan reaksi
sistemik. Reaksi lokal dapat diperagakan dengan menginjeksi secara subkutan larutan antigen
kepada penjamu yang memiliki titer IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor
dengan daya ikat rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini lebih tinggi
dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan dengan tipe I,
secara umum memakan waktu maksimal 4 8 jam dan bersifat lebih menyeluruh. Reaksi
sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang mengakibatkan pembentukan
kompleks antigen antibodi yang dapat larut dalam sirkulasi. Patologi utama dikarenakan
deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan
oleh pengaktivasian dari sel mast melalui FcgammaRIII. Kompleks imun yang terdeposisi
menyebabkan netrofil mengeluarkan isi granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan
membran basement sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada bermacam macam
lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering dari hipersensitivitas tipe III adalah
komplikasi post infeksi seperti arthritis dan glomerulonefritis.10
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu satunya reaksi hipersensitivitas yang disebabkan
oleh sel T spesifik antigen. Tipe hipersensitivitas ini disebut juga hipersensitivitas tipe lambat.
Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu
memprosesnya dan menunjukkan pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II,
kemudian mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan. Aktivasi dari sel T
tersebut, membuatnya memproduksi sitokin seperti kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,
dan juga kepada netrofil. Konsekuensi dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana

4
sel mononuklear (sel T dan makrofag) cenderung mendominasi. Reaksi maksimal memakan
waktu 48 72 jam. Contoh klasik dari hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh
yang paling sering adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang
individu dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.10
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata.11
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit imun sistemik
dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara umum
merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks
imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon
kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian dari
sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi kompleks imun
pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan venula post
kapiler dan respon imun sel perantara.7
Adanya autoantibodi dan mediator inflamasi pada serum pasien dengan skleritis
membuktikan adanya keterlibatan sistem imun. Antibodi antipospolipid dan meningkatnya
TNF pada serum penderita skleritis pernah dilaporkan. Studi terkini melaporkan bahwa untuk
pertama kalinya muncul antibodi spesifik sklera dalam serum pasien dengan tipe skleritis non
infeksius.9

5
Tabel 1. Non sklera spesifik autoantibodi9

Tabel 2. Sklera spesifik autoantibodi9

Kemunculan spesifik autoantibodi pada kornea, iris, kristalin, dan beberapa protein dari
segmen posterior seperti antigen-S dan rodopsin pernah dilaporkan, khususnya pada kejadian
uveitis idiopatik. Meskipun tidak ada literatur yang melaorkan autoantibodi pada idiopatic
skleritis. Akhir-akhir ini diperlihatkan autoantibodi secara langsung melawan dua polipeptida

6
yang muncul pada ekstraksi jaringan sklera ini berhubungan dan memunculkan kemungkinan
adanya proses autoimun organ spesifik.9
Sama seperti pada infiltrat radang pada rheumatoid artritis, terjadinya skleritis
memperlihatkan adanya proses infiltrat seluleroleh makrofag dan limfosit T CD-4, yang mana
biasanya tidak ditemukan pada sklera normal.9
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera, yaitu deposisi
kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler (peradangan mikroangiopati).
Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau
bagian posterior mata. 9
Faktor lain seperti trauma lokal juga dapat mencetuskan terjadinya skleritis akibat dari
operasi mata. Proses operasi mengawali terjadinya paparan antigen ke dalam mata dibawah
proses lingkungan yang meradang yang dapat mencetuskan tersensitisasinya kedua imunitas
humoral dan seluler.9

2.2.5 Klasifikasi
Episkleritis dibagi menjadi tipe sederhana dan nodular. Tidak seperti episkleritis,
peradangan pada skleritis dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata,
sehingga dapat di klasifikasikan menjadi skleritis anterior dan skleritis posterior:1,12,13
a. Klasifikasi episkleritis:
1. Episkleritis Sederhana

Gambaran yang paling sering ditandai dengan kemerahan sektoral dan gambaran yang
lebih jarang adalah kemerahan difus. Jenis ini biasanya sembuh spontan dalam 1-2 minggu.

2. Episkleritis Noduler

Ditandai dengan adanya kemerahan yang terlokalisir, dengan nodul kongestif dan
biasanya sembuh dalam waktu yang lebih lama.

Pemeriksaan dengan Slit Lamp yang tidak menunjukkan peningkatan permukaan sklera
anterior mengindikasikan bahwa sklera tidak membengkak.
Pada kasus rekuren, lamela sklera superfisial dapat membentuk garis yang paralel
sehinggga menyebabkan sklera tampak lebih translusen. Gambaran seperti ini jangan disalah
diagnosa dengan penipisan sklera

7
b. Klasifikasi skleritis
1. Skleritis Anterior

95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi
sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak
dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan prognosis
diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior kebanyakan jinak
dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

1. Difus. Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout. Ditandai dengan peradangan yang meluas pada seluruh permukaan sklera.
Merupakan skleritis yang paling umum terjadi.

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis


2. Nodular. Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus. Ditandai dengan
adanya satu atau lebih nodul radang yang eritem, tidak dapat digerakkan, dan nyeri pada
sklera anterior. Sekitar 20% kasus berkembang menjadi skleritis nekrosis.

8
Gambar 5. a) Nodular Anterior Scleritis. b) Penipisan dari sklera setelah resolusi dari
nodul
3.
Necrotizing. Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29%
pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Skleritis nekrotik yang
diakibatkan operasi biasanya dapat terjadi setelah operasi katarak, trabekulektomi, dan
operasi retina. Muncul sebagai akibat dari imflamasi pada fokal area akibat insisi sklera
atau limbus.
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
Dengan inflamasi. Biasa mengikuti penyakit sistemik seperti rheumatoid
arthtitis. Nyeri sangat berat dan kerusakan pada sklera terlihat jelas. Apabila
disertai dengan inflamasi kornea, dikenal sebagai sklerokeratitis.
Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans). Biasa terjadi pada pasien yang
sudah lama menderita rheumatoid arthritis. Diakibatkan oleh pembentukan
nodul rematoid dan absennya gejala. Juga dikenal sebagai skleromalasia
perforans.

2. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat.
9
Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan massa
eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di retina, edema nervus optikus
dan edema makular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut dapat menyebabkan kamera okuli
anterior dangkal, proptosis, pergerakan otot ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak
mata bawah. Terdapat perataan dari bagian posterior bola mata, penebalan lapisan posterior
mata (koroid dan sklera), dan edema retrobulbar. Pada skleritis posterior dapat dijumpai ablasio
retina eksudatif, edema makular, dan papiledema.

Gambar 6. Skleritis Posterior

2.2.6. Diagnosis
Penegakan diagnosis skleritis dilakukan dengan:

1. Anamnesis
Gejala utama dari skleritis adalah mata merah disertai nyeri yang berat, nyeri tajam
menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus dengan onset bertahap dimana gejala smakin
bertambah berat setiap hari, selain itu terdapat juga keluhan fotofobia, mata merah, berair,
tidak ada sekret, keluhan terutama dirasakan saat malam hari sehingga pasien terbangun
sepanjang malam dan saat bangun pagi. Dapat kambuh akibat sentuhan atau digerakkan.
Pasien dengan necrotizing anterior scleritis akan mengeluhkan rasa nyeri yang hebat disertai
tajam penglihatan yang menurun, bahkan dapat terjadi kebutaan. Tajam penglihatan pasien
dengan non-necrotizing scleritis biasanya tidak akan terganggu, kecuali bila terjadi
komplikasi seperti uveitis. Tingkat keparahan dapat dilihat dari adanya penunan berat badan
dan gangguan tidur di malam hari namun berkurang dengan pemberian analgetik. Pada
anamnesis perlu ditanyakan adakah riwayat penyakit dahulu seperti infeksi, trauma, penyakit
sistemik dan pembedahan.14,15

10
Pada pasien episkleritis biasanya mengeluhkan rasa tidak nyaman (mild to moderate)
yang berlangsung akut, seringkali bersifat unilateral, walaupun ada yang melaporkan tidak
nyeri, kemerahan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri saat ditekan, dan lakrimasi. Pada tipe
noduler gejala lebih hebat dan disertai perasaan ada yang mengganjal.

Tanda objektif dapat ditemukan kelopak mata bengkak, konjungtiva bulbi kemosis
disertai pelebaran pembuluh darah episklera dan konjungtiva. 1,3,16

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum pada kulit, sendi, jantung dan paru paru dapat dilakukan
apabila dicurigai adanya penyakit sistemik.
Pemeriksaan tajam penglihatan. Pada pemeriksaan tajam penglihatan visus dapat berada
dalam keadaan normal atau menurun. Gangguan tajam penglihatan visus lebih jelas
pada skleritis posterior.
Pemeriksaan sklera. Pada pemeriksaan, sklera tampak difus, merah kebiru biruan
dan setelah beberapa peradangan, akan terlihat daerah penipisan sklera dan
menimbulkan uvea gelap. Area berwarna hitam, abu abu, atau coklat yang dikelilingi
oleh peradangan aktif menandakan proses nekrosis. Apabila proses berlanjut, maka
area tersebut akan menjadi avaskular dan menghasilkan sequestrum berwarna putih di
tengah, dan di kelilingi oleh lingkaran berwarna hitam atau coklat gelap. Pemeriksaan
cahaya alami berguna untuk membedakan skleritis dan episkleritis. Pada pemeriksaan
slit-lamp pembuluh darah skleral yang meradang sering memiliki pola silang dan
menempel pada sklera. Pembuluh darah tersebut tidak dapat dipindahkan dengan
cotton bud. Hal tersebut membedakan skelritis dan episkleritis. Pada pemeriksaan
dengan menggunakan phenylephrine 2,5-10%, pembuluh darah tetap berwarna merah
pada skleritis, sedangkan pada episkleritis pembuluh darah ini mengecil. Pada
episkleritis juga ditandai dengan adanya hiperemia lokal sehingga bola mata tampak
berwarna merah muda atau keunguan. Juga terdapat infiltrasi, kongesti, dan edem
episklera, konjungtiva diatasnya dan kapsula tenon di bawahnya. 1
Pemeriksaan skleritis posterior. Pada pemeriksaan dapat ditemukan tahanan gerakan
mata, sensitivitas pada palpasi dan proptosis. Dilatasi fundus dapat berguna dalam
mengenali skleritis posterior. Pemeriksaan funduskopi dapat menunjukan papiledema,

11
lipatan koroid, dan perdarahan atau ablasio retina. B-Scan Ultrasonography juga dapat
membantu mendeteksi adanya skleritis posterior.

3. Pemeriksaan Penunjang
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditentukan pemeriksaan penunjang apa
yang perlu dilakukan untuk mencari adanya kemungkinan penyakit sistemik yang
mendasari terjadinya skleritis dan episkleritis. Pemeriksaan yang dilakukan antara
lain:
1. Pemeriksaan darah lengkap dan laju endap darah
2. Faktor rheumatoid dalam serum
3. Antibodi antinuklear serum (ANA)
4. Serum antineutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA)
5. PPD (Purified protein derivative/mantoux test), rontgen toraks
6. Serum FTA-ABS, VDRL
7. Serum asam urat
8. X-ray thorax, CT-scan, MRI

2.2.7 Diagnosis Banding


Episkleritis sering tampak seperti skleritis. Pada episkleritis proses peradangan dan
eritema hanya terjadi pada episklera, yaitu perbatasan antara sklera dan konjungtiva. Onset
episkleritis lebih akut dan gejala lebih ringan dibandingkan dengan skleritis. Pada episkleritis,
pembuluh darah berwarna kemerahan dibandingkan skleritis yang berwarna kebiruan.
Pembuluh darah superfisial memucat dengan pemberian phenylephrine 2,5-10% sementara
pembuluh yang lebih dalam tidak terpengaruh.17

Konjungtivitis juga sering di diagnosis bandingkan dengan skleritis atau episkleritis,


diagnosis konjungtivitis bisa disingkirkan dengan tidak adanya keterlibatan konjungtiva
palpebra. 16

Pada konjungtivitis ditandai dengan adanya sekret dan tampak adanya folikel atau papil
pada konjungtiva tarsal inferior. 18

12
Scleritis. Engorged scleral vessels do not blanch with application of topical
phenylephrine 2.5 percent.

Episcleritis. Engorged episcleral vessels give the eye a bright red appearance.
Blanching of the vessels occurs with application of topical phenylephrine 2.5 percent.

13
2.2.8 Penatalaksanaan
Terdapat perbedaan terapi pada skleritis dan episkleritis, dimana pada episkleritis
terapinya adalah vasokontstriktor, tetapi pada keadaan berat dapat diberikan kortikosteroid tetes
mata, sistemik atau salisilat.6 sedangkan pada skleritis terapi awalnya adalah obat anti-inflamasi
nonsteroid sistemik. Obat pilihannya yaitu Indometasin 75 mg per hari, atau Ibuprofen 600 mg
per hari. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu, atau jika penyumbatan maupun
ketiadaan perfusi pembuluh-pembuluh besar di episklera yang tampak secara klinis menjadi
lebih jelas, terapi Prednisone oral 0,5-1,5 mg/kgbb per hari harus segera dimulai. Penyakit yang
berat mengharuskan terapi pulsasi intravena dengan metilprednisolon 1 gram. Obat-obat
imunosupresif dapat diberikan seperti Cyclophospamide, jika terdapat ancaman perforasi.
Terapi topikal saja tidak bermanfaat tapi dapat menjadi tambahan untuk terapi sistemik,
terutama bila terdapat uveitis. Terapi antimikroba spesifik harus diberikan jika diketahui
terdapat penyebab infeksi. Pembedahan dapat dilakukan untuk memperbaiki perforasi sclera
atau kornea.14,17

2.2.9 Komplikasi
Skleritis dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi. Tanpa pengobatan
segera dapat terjadi kondisi seperti keratitis perifer (37%), penipisan sklera (33%), uveitis
(30%), glaukoma (18%), and katarak (7%). Uveitis anterior terjadi pada sekitar 30% kasus
skleritis. Uveitis posterior terjadi pada semua pasien skleritis posterior dan dapat juga pada
pasien skleritis anterior. Makular edema juga dapat terjadi karena perluasan peradangan di
sklera bagian posterior sampai koroid, retina, dan saraf optik. Makular edema dapat
mengakibatkan penurunan penglihatan. Komplikasi lainnya yaitu perforasi dari sklera yang
mengakibatkan hilangnya kemampuan mata untuk melihat.17 Sedangkan pada episkleritis,
biasanya jarang menimbulkan komplikasi, tetapi biasanya terjadi kekambuhan selama
bertahun-tahun.4

2.2.10 Prognosis
Prognosis episkleritis lebih baik dibanding skleritis, karena Umumnya kelainan ini
sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Namun kekambuhan dapat terjadi selama bertahun-tahun.4
Pada kebanyakan kasus perjalanan penyakit dipersingkat dengan pengobatan yang baik.
Sedangkan pada skleritis prognosis tergantung pada klasifikasi dan penyakit
penyebabnya, dapat sembuh sendiri sampai terjadi proses nekrotik dengan komplikasi
14
kehilangan penglihatan. Pasien dengan skleritis ringan sampai sedang biasanya masih
memiliki daya penglihatan yang baik. Skleritis pada spondiloartropati atau pada SLE biasanya
relatif jinak dimana termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada
mata.1,4

Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan
penipisan sklera yang luas atau yang telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang
lebih buruk daripada tipe skleritis yang lainnya yang dapat mengakibatkan hilangnya
penglihatan dan peningkatan mortalitas.15,19

15
BAB III

KESIMPULAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler. Sedangkan episkleritis adalah suatu
reaksi inflamasi pada jaringan episklera yang terletak di antara konjungtiva dan sklera,
bersifat ringan, dapat sembuh sendiri, dan bersifat rekurensi. Kelainan ini murni diperantarai
oleh proses imunologik (kompleks imun) dan disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik
(penyakit jaringan ikat, paska herpes, sifilis, dan gout). Adanya trauma lokal dapat
menyebabkan peradangan.

Penegakkan diagnosis skleritis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gejala klinis skleritis adalah nyeri yang berat, nyeri tajam
menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus dengan onset bertahap dimana gejala smakin
bertambah berat setiap hari, fotofobia, mata merah, berair, tidak ada sekret, keluhan terutama
dirasakan saat malam hari sehinggapasien terbangun sepanjang malam dan saat bangun pagi.
Pada pasien episkleritis biasanya mengeluhkan rasa tidak nyaman (mild to moderate) yang
berlangsung akut, seringkali bersifat unilateral, walaupun ada yang melaporkan tidak nyeri,
kemerahan, nyeri seperti ditusuk-tusuk, nyeri saat ditekan, dan lakrimasi. Pada tipe noduler
gejala lebih hebat dan disertai perasaan ada yang mengganjal.

Penatalaksaan skleritis dapat diberikan anti-inflamasi nonsteroid sistemik. Obat


pilihannya yaitu Indometasin 75 mg per hari, atau Ibuprofen 600 mg per hari. Apabila tidak
ada perbaikan dapat diberikan obat anti-inflamasi steroid dan obat imunosupresif. pada
episkleritis terapinya adalah vasokontstriktor, tetapi pada keadaan berat dapat diberikan
kortikosteroid tetes mata, sistemik atau salisilat.

Prognosis episkleritis lebih baik dibanding skleritis, karena Umumnya kelainan ini
sembuh sendiri dalam 1-2 minggu. Namun kekambuhan dapat terjadi selama bertahun-tahun.
Prognosis skleritis tergantung pada klasifikasi dan penyakit penyebabnya, dapat sembuh
sendiri sampai terjadi proses nekrotik dengan komplikasi kehilangan penglihatan.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Eva PR. Sklera. Dalam:Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P, Suyono J, Editor.


Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: EGC, 2000.169-73

2. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library o Congress Catalog.
1988; 111-6

3. Roy Hampton, Episcleritis in Http://www.emedicine.com/oph/topic641.htm


4. Kanski J. Jack, Disorders of the Cornea and Sclera in Clinical Ophthalmology 5th Edition pp.
151-2. Great Britain. 2003. Butterworth-Heinemann

5. Pavan-Langston, Cornea and External Disease in Manual of Ocular Diagnosis and Therapy 5th
Edition pp. 125-126. Philadelphia. 2002. Lippincott Williams & Wilkins
6. Sidarta I. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2008; 118-20

7. Maite S.M, Nicolas M, Luis A.G, Priyanka P, Joseph T, and Stephen F. Skleritis
Theraphy. Ophthalmology 2012;119:5158
8. Douglas A. J, Abdulbkhi M, J.P. DUNN and Martha J. M. Episcleritis and Scleritis:
Clinical Features and Treatment Results. Ophthalmol 2000;130:469476
9. Wagner K.A, Luciene B.S, Virgnia F.M.T, Hellen F and Lus E.C. A. Sclera-Specific
and Non-Sclera-Specific Autoantibodies in the Serum of Patients with Non-Infectious
Anterior Scleritis.Rev Bras Reumatol; 2007;47(3):174-179
10. Scott O et all. Haemophilus influenzae associated scleritis. Br J Ophthalmol
1999;83:410413
11. Zainah A, Donald T H T, and S-P Chee. Necrotising scleritis after bare sclera excision
of pterygium. Br J Ophthalmol 2000;84:10501052
12. Srikant K S, Sujata D, Savitri S and Kalyani S. Clinico-Microbiological Profile and
Treatment Outcome of Infectious Scleritis: Experience from a Tertiary Eye Care Center
of India. International Journal of Inflammation:2012:1-8
13. Jacquelin M, et all. Comparative study of ophthalmological and serological
manifestations and the therapeutic response of patients with isolated scleritis and
scleritis associated with systemic diseases. Arq Bras Oftalmol . 2011;74(6):405-9

17
14. Riordan-Eva, Paul, John P.Whitcher. Vaughan & Asburys General Ophthalmology.
USA: Mc.GrawHill; 2008.
15. Venki S, Allon B, Lucy B. Oxford Specialty Training: training in ophthalmology 2nd
edition. United Kingdom: Oxford University Press; 2016. p. 270-271.

16. Kanski J. Jack, Disorders of the Cornea and Sclera in Clinical Ophthalmology 4th Edition pp. 151-
2. Great Britain. 1999. Butterworth-Heinemann.
17. American Academy of Ophthalmology. External Disease and Cornea 2015; 202-210.

18. Rhee Douglas and Pyfer Mark, Episcleritis in The Wills Eye Manual 3rd Edition pp133-134.
United States of America. 1999. Lippincott Williams & Wilkins
19. FeinbergEdward,EpiscleritisinHttp://www.pennhealthj.com/ency/article/001019.htm.

18

Anda mungkin juga menyukai