Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

Skleritis adalah peradangan pada lapisan sklera yang ditandai dengan adanya infiltrasi
seluler, kerusakan kolagen, dan perubahan vaskuler.1 Proses peradangan ini terjadi karena adanya
proses imunologis, atau karena suatu infeksi. Trauma lokal juga dapat mencetuskan proses
peradangan tersebut. Skleritis sering berasosiasi dengan suatu infeksi sistemik ada suatu penyakit
autoimun.1

Skleritis merupakan penyakit yang jarang ditemui. Insidensi di Amerika Serikat


diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi penduduk. Dari kasus skleritis yang ditemukan, sekitar
94 % merupakan skleritis anterior dan sisanya ialah skleritis posterior.2 Skleritis lebih sering
dijumpai pada wanita, pada umumnya sekitar umur 20-60 tahun. Hampir separuh dari kasus
skleritis terjadi secara bilateral.2

Adapun gejala-gejala umum yang biasa terjadi pada skleritis yaitu rasa nyeri berat yang
dapat menyebar ke dahi, alis, dan dagu. Rasa nyeri ini terkadang dapat membangunkan dari tidur
akibat sakitnya yang sering kambuh. Pergerakan bola mata dan penekanan pada bulbus okuli
juga dapat memperparah rasa nyeri tersebut. Rasa nyeri yang berat pada skleritis dapat dibedakan
dari rasa nyeri ringan yang terjadi pada episkleritis yang lebih sering dideskripsikan pasien
sebagai sensasi benda asing di dalam mata.3 Selain itu terdapat pula mata merah berair, fotofobia,
dan penurunan tajam penglihatan.

Terapi inisial untuk skleritis adalah dengan pemberian NSAIDs. Bisa diberikan
Indometasin 75 mg setiap hari atau Ibuprofen 600 mg setiap hari. Kebanyakan kasus
menunjukkan penurunan rasa sakit yang bermakna dengan pemberian NSAIDs ini. Apabila terapi
ini tidak menunjukkan respon yang baik selama 1-2 minggu, dapat diberikan Prednison oral 0,5-
1,5 mg/kg/hari. Pada kasus yang berat terkadang diperlukan Metilprednisolon 1 gram intravena.
Apabila mikroorganisme penyebab telah teridentifikasi, maka sebaiknya diberikan antibiotik
spesifik.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi dan Fisiologi sklera


II.1.1. Anatomi sklera
Sklera yang juga dikenal sebagai bagian putih bola mata, merupakan kelanjutan dari
kornea. Sklera berwarna putih buram dan tidak tembus cahaya, kecuali di bagian depan bersifat
transparan yang disebut kornea. Sklera merupakan dinding bola mata yang paling keras dengan
jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan
dengan berbagai ukuran. Pada anak-anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen,
yang tampak sebagai warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak,
sklera tampak sebagai garis kuning.4

Gambar 1.
Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir pada kanalis
optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular disisipkan ke dalam sklera. Jaringan
sklera menerima rangsangan sensoris dari nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa
vaskularisasi, menerima rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan.
Pleksus koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah tersusun
melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh darah yang melekat
pada sklera.3 Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada bola mata
posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea, untuk menentukan bentuk
2
bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan menyediakan kebutuhan bagi penempatan
otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati
foramen skleralis posterior. Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung
dural, sedangkan 1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk
suatu penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar melalui serat
optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm pada kutub posterior hingga
0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau akuator.1

Gambar 2.

Sklera mempunyai 2 lubang utama yaitu:


Foramen sklerasis anterior, yang berdekatan dengan kornea dan merupakan tempat
meletaknya kornea pada sklera.
Foramen sklerasis posterior atau kanalis sklerasis, merupakan pintu keluar nervus
optikus. Pada foramen ini terdapat lamina kribosa yang terdiri dari sejumlah membran
seperti saringan yang tersusun transversal melintas foramen sklerasis posterior. Serabut
saraf optikus lewat lubang ini untuk menuju ke otak.1.5
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-berkas
jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-16 m dan lebar 100-
140 m, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan endotelium. Struktur histologis sklera sangat
mirip dengan struktur kornea.6

II.1.2 Fisiologi Sklera

3
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra okular.
Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan pergerakan bola mata tanpa
menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya. Pendukung dasar dari sklera adalah adanya
aktifitas sklera yang rendah dan vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang
terlalu tinggi pada sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera
dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan perbandingan
yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket. Perbandingan ini sering
terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit yang mengenai struktur artikular sampai
pembungkus sklera dan episklera.1

II.2. Skleritis
II.2.1. Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.1
II.2.2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat insidensi kejadian
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan, didapatkan 94%
adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada
penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset
perlahan atau mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.2 Peningkatan
insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras. Wanita lebih banyak terkena
daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun,
dengan usia rata-rata 52 tahun.2
II.2.3. Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh proses imunologi
yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan tipe III (kompleks imun) dan
disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus, mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan
pada sejumlah kasus proses imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal,
misalnya bedah katarak.6
1. Autoimun (48%)
o Penyakit jaringan ikat dan kondisi peradangan lainnya, antara lain:1.6

4
Rheumatoid arthritis

Systemic lupus erythematosus

Ankylosing spondylitis

Reactive arthritis

Psoriatic arthritis

Gouty arthritis

Inflammatory bowel diseases

Relapsing polychondritis

Polymyositis

Sjgren syndrome

Mixed connective tissue disease

Progressive systemic sclerosis

o Penyakit vaskulitik, antara lain:1

Polyarteritis nodosa

Allergic angiitis of Churg-Strauss syndrome

Wegeners granulomatosis

Behet disease

Giant cell arteritis

5
Cogan syndrome

2. Infeksi dan Granulomatosa (7%)1


o Tuberkulosis
o Sifilis
o Sarkoidosis
o Toksoplasmosis
o Herpes simpleks
o Herpes zoster
o Infeksi Pseudomonas
o Infeksi Streptokokus
o Infeksi Stafilokokus
o Aspergilosis
o Leprosi
3. Lain-lain (2%)

o Atopi

o Sekunder dikarenakan benda asing, trauma kimia, atau obat - obatan (pamidronate,
alendronate, risedronate, zoledronic acid, ibandronate).

4. Idiopatik

II.2.4. Patofisiologi
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi sel T dan
makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis. Inflamasi dari sklera bisa
berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan menyebabkan penipisan pada sklera dan
perforasi dari bola mata. Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit
imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit auto imun secara
umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses inflamasi bisa disebabkan oleh
kompleks imun yang berhubungan dengan kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III
dan respon kronik granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah
bagian dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat deposisi
kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang menyebabkan perforasi kapiler dan
venula post kapiler dan respon imun sel perantara.2

6
II.2.5. Klasifikasi
Skleritis di klasifikasikan menjadi 3 yaitu:2.3
1. Episkleritis
a. Simple
Biasanya jinak, sering bilateral, reaksi inflamasi terjadi pada usia muda yang berpotensi
mengalami rekurensi. Gejala klinis yang muncul berupa rasa tidak nyaman pada mata,
disertai berbagai derajat inflamasi dan fotofobia. Terdapat pelebaran pembuluh darah baik
difus maupun segmental. Wanita lebih banyak terkena daripada pria dan sering mengenai
usia dekade 40-an.6
b. Nodular
Baik bentuk maupun insidensinya hampir sama dengan bentuk simple scleritis. Sekitar
30% penyebab skleritis nodular dihubungkan dengan dengan penyakit sistemik, 5%
dihubungkan dengan penyakit kolagen vaskular seperti artritis rematoid, 7%
dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dan 3% dihubungkan dengan gout.6

Gambar 4. Diffuse Anterior Scleritis.

Gamar 5. a.Nodular Anterior Scleritis b.Penipisan dari sclera setelah resolusi dari nodul .

2. Skleritis Anterior

7
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis anterior sebesar 40%
dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45% setiap tahunnya. Skleritis nekrotik
terjadi sekitar 14% yang biasanya berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya
tidak dihubungkan dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan
prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian skleritis anterior
kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri. Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit
diobati.6
a. Difus Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus dan
gout.
b. Nodular Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus.
c. Necrotizing Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan visus. 29%
pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun. Bentuk skleritis nekrotik
terbagi 2 yaitu:6
i. Dengan inflamasi
ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)

Gambar 6. Skleritis anterior


3. Skleritis Posterior
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama dengan skleritis anterior.
Biasanya skleritis posterior ditandai dengan rasa nyeri dan penurunan kemampuan
melihat. Dari pemeriksaan objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya
perlengketan massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem Aacular. Inflamasi skleritis posterior yang lanjut
dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal, proptosis, pergerakan ekstra ocular
yang terbatas dan retraksi kelopak mata bawah.6

8
Gambar 7 . sklertis posterior

II.2.6. Diagnosa
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan didukung oleh
berbagai pemeriksaan penunjang:4
1. ANAMNESIS
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, riwayat
penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun riwayat pembedahan juga perlu
pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh. Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,
fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah.
Nyeri adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi yang aktif..
Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf akibat adanya inflamasi.
Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat, nyeri tajam menyebar ke dahi, alis,
rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang malam, kambuh akibat sentuhan .8 Nyeri dapat
hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair atau fotofobia pada skleritis
tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh
perluasan dari skleritis ke struktur yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis,
uveitis, glaucoma, katarak dan fundus yang abnormal.4

Gambar 3. skleritis

9
Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit sistemik,
trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan skleritis seperti :4
Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
Penyakit infeksi
Penyakit miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid dan
ibandronate.
Post pembedahan pada mata
Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati, penyakit ginjal,
hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya
Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung dan
responnya terhadap pengobatan.
2. PEMERIKSAAN FISIK SKLERA
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah serangan yang
berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan translusen juga dapat muncul dan
juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam, abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh
inflamasi yang aktif yang mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis
berlanjut, area pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di
tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa diganti
secara bertahap dengan 11 jaringan granulasi meninggalkan uvea yang kosong atau
lapisan tipis dari konjungtiva.6
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera dengan beberapa
bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi anterior dan posterior cahaya slit
lamp bergeser ke depan karena episklera dan sklera edema. Pada skleritis dengan
pemakaian fenilefrin hanya terlihat jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek
yang signifikan pada jaringan dalam episklera.6
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai kongesti vaskular
yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru dan juga area yang avaskular

10
total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum pada mata meliputi otot ekstra okular,
kornea, uvea, lensa, tekanan intraokular dan fundus.6
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan pemeriksaan fisik dapat
ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau menyingkirkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan skleritis. Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi :6
Hitung darah lengkap dan laju endap darah
Kadar komplemen serum (C3)
Kompleks imun serum
Faktor rematoid serum
Antibodi antinukleus serum
Antibodi antineutrofil sitoplasmik
Imunoglobulin E
Kadar asam urat serum
Urinalisis
Rata-rata Sedimen Eritrosit
Tes serologis
HBs Ag

II.2.7. Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis adalah obat anti
inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin 100 mg perhari atau ibuprofen
300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri cepat mereda diikuti oleh pengurangan
peradangan. Apabila tidak timbul respon dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak
penyumbatan vaskular harus segera dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini
biasanya diberikan peroral yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2
minggu sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang berat
mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g setiap minggu.7
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. 2 Siklofosfamid sangat bermanfaat
apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid topikal saja tidak bermanfaat
tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi
adanya infeksi, harus diberikan terapi spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan
ditentukan oleh sifat proses penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon
hipersensitif atau efek dari invasi langsung mikroba.7

11
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi sklera atau
kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi kerusakan hebat akibat invasi
langsung mikroba, atau pada granulomatosis Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai
penyulit perforasi kornea. Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan
jarang menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah digunakan
sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur semacam itu tidak jarang
mencair kecuali apabila juga disertai pemberia kemoterapi.6
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila terapi diberikan
pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini jarang timbul gejala, sebagian besar
kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.6

II.2.8. Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina
eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Keratitis bermanifestasi sebagai pembentukan
alur perifer, vaskularisasi perifer, atau vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea.
Uveitis adalah tanda buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering
disertai oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut terbuka
dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.1
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti uveitis atau
keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera atau skleromalasia maka
dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan,
dimana terjadi kekeruhan kornea akibat peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan
adalah segitiga yang terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat
gangguan susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi neovaskularisasi ke
dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu berupa menjadi jernihnya kornea yang
dimulai dari bagian sentral. Sering bagian sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.

II.2.9. Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana termasuk tipe
skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata Skleritis pada penyakit Wagener

12
adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan buta permanen dimana termasuk tipe skleritis
nekrotik dengan komplikasi pada mata.3
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus, nodular atau
nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada penyakit sistemik selalu lebih
jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik
dapat ringan, durasi yang pendek, dan lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe
nekrotik merupakan tipe yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas
atau yang 15 telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe
skleritis yang lain.3

13
BAB III
KESIMPULAN
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang ditandai oleh
destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang mengisyaratkan adanya vaskulitis.
Skleritis disebabkan oleh berbagai macam penyakit baik penyakit autoimun ataupun penyakit
sistemik, infeksi, trauma dan idiopatik.
Skleritis dapat diklasifikasikan menjadi episkleritis, skleritis anterior dan skleritis
posterior. Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme,
dan penurunan ketajaman penglihatan. Terapi skleritis meliputi terapi medikamentosa dan
pembedahan. Komplikasi berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina, ablasio retina
eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Prognosis skleritis tergantung pada penyakit
penyebabnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. 2008. General Ophtalmology. Edisi 16.The


McGraw-Hill Companies: United States.
2. Gaeta, TJ. Scleritis in Emergency Medicin. http://www.emedicine.com. [diakses 12
Januari 2017]
3. Episcleritis and Scleritis. Written for patient. [diakses 12 Januari 2016]
4. Foulks GN, Langston DP. Cornea and External Disease. In: Manual of Ocular Diagnosis
and Therapy. Second Edition. United States of America: Library of Congress Catalog.
1988; 111-6
5. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata, edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,2007.
6. Peter G. Watson. Scleritis and Episcleritis. http://www.ncbi.nlm.nih.gov [diakses 14
Januari 2016]
7. Ilyas, Prof. dr, Sidarta,dkk. 2010. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 2. CV Sagung Seto. Jakarta

15

Anda mungkin juga menyukai