Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

EPISKLERITIS - SKLERITIS

Oleh:
Dea Gratia Putri S. Sumbayak
1618012109

Perceptor:
Dr. Rani Himayani, Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
2018

1
BAB I
PENDAHULUAN

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar. Jaringan


ini padat dan berwarna putih serta bersambungan dengan kornea di sebelah
anterior dan duramater nervus optikus di belakang. Permukaan luar sklera anterior
dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus, episklera yang
mengandung banyak pembuluh darah yang memasok sklera. Di bagian depan mata,
episklera terbungkus oleh konjungtiva.
Episkleritis adalah suatu peradangan pada episklera. Episkleritis adalah
suatu kondisi yang relatif umum yang dapat mempengaruhi pada satu atau kedua
mata. Angka kejadian pasti tidak diketahui karena banyaknya pasien yang tidak
berobat. Tidak ada perbedaan jenis kelamin, namun terdapat laporan 74 % kasus
terjadi pada perempuan dan sering terjadi pada usia dekade 4-5. Pada anak-anak
episkleritis biasanya menghilang dalam 7-10 hari dan jarang rekuren. Pada
dewasa, 30 % kasus berhubungan dengan penyakit jaringan ikat penyertanya,
penyakit inflamasi saluran cerna, infeksi herpes, gout, dan vaskulitis.
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis. Di Amerika Serikat insidensi kejadian
diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien yang ditemukan,
didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya adalah skleritis
posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit ini. Penyakit ini
dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau mendadak, dan
dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.
Episkleritis dan skleritis dapat menimbulkan berbagai komplikasi jika tidak
ditangani dengan baik berupa keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. Penatalaksanaan
skleritis tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Oleh karena itu perlu
diagnosis yang tepat sesuai dengan etiologinya guna penatalaksanaan lebih lanjut.
Tujuan penyusunan referat ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai definisi, anatomi fisiologi, etiologi, klasifikasi, penanganan, dan
pencegahan pada episkleritis dan skleritis.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Sklera
1.1.1. Anatomi
Sklera merupakan jaringan kuat yang lentur dan berwarna putih pada bola
mata yang bersama-sama dengan kornea merupakan pembungkus di bagian
belakang dan pelindung isi bola mata. Sklera meliputi 5/6 anterior dari bola mata
dengan diameter lebih kurang 22 mm. Di anterior sklera berhubungan kuat dengan
kornea dalam bentuk lingkaran yang disebut limbus, sedangkan di posterior
dengan duramater nervus optikus. Sklera merupakan dinding bola mata yang
paling keras dengan jaringan pengikat yang tebal, yang tersusun oleh serat
kolagen, jaringan fibrosa dan proteoglikan dengan berbagai ukuran. Pada anak-
anak, sklera lebih tipis dan menunjukkan sejumlah pigmen, yang tampak sebagai
warna biru. Sedangkan pada dewasa karena terdapatnya deposit lemak, sklera
tampak sebagai garis kuning.1,2

Gambar 1. Anatomi Mata

Sklera dimulai dari limbus, dimana berlanjut dengan kornea dan berakhir
pada kanalis optikus yang berlanjut dengan dura. Enam otot ekstraokular

3
disisipkan ke dalam sklera. Jaringan sklera menerima rangsangan sensoris dari
nervus siliaris posterior. Sklera merupakan organ tanpa vaskularisasi, menerima
rangsangan tersebut dari jaringan pembuluh darah yang berdekatan. Pleksus
koroidalis terdapat di bawah sklera dan pleksus episkleral di atasnya. Episklera
mempunyai dua cabang, yang pertama pada permukaan dimana pembuluh darah
tersusun melingkar, dan yang satunya lagi yang lebih di dalam, terdapat pembuluh
darah yang melekat pada sklera.1,2
Sklera membentuk 5/6 bagian dari pembungkus jaringan pengikat pada
bola mata posterior. Sklera kemudian dilanjutkan oleh duramater dan kornea,
untuk menentukan bentuk bola mata, penahan terhadap tekanan dari luar dan
menyediakan kebutuhan bagi penempatan otot-otot ekstra okular. Sklera ditembus
oleh banyak saraf dan pembuluh darah yang melewati foramen skleralis posterior.
Pada cakram optikus, 2/3 bagian sklera berlanjut menjadi sarung dural, sedangkan
1/3 lainnya berlanjut dengan beberapa jaringan koroidalis yang membentuk suatu
penampang yakni lamina kribrosa yang melewati nervus optikus yang keluar
melalui serat optikus atau fasikulus. Kedalaman sklera bervariasi mulai dari 1 mm
pada kutub posterior hingga 0,3 mm pada penyisipan muskulus rektus atau
akuator.2

Gambar 2.
Sklera

Beberapa lembar jaringan sklera berjalan melintang bagian anterior nervus optikus
sebagai lamina kribrosa. Bagian dalam sklera berwarna hitam, coklat disebut
lamina fuschka, dihubungkan dengan koroid oleh filamen-filamen yang terdiri

4
dari jaringan ikat yang mengandung pigmen dan membuat dinding luar dari ruang
suprakoroid dan ditembus oleh serat saraf dan pembuluh darah. Permukaan luar
sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis dari jaringan elastik halus yaitu
episklera.

1.1.2. Histologi
Secara histologis, sklera terdiri dari banyak pita padat yang sejajar dan berkas-
berkas jaringan fibrosa yang teranyam, yang masing-masing mempunyai tebal 10-
16 µm dan lebar 100-140 µm, yakni episklera, stroma, lamina fuska dan
endotelium. Struktur histologis sklera sangat mirip dengan struktur kornea.

1.1.3. Fisiologi
Sklera berfungsi untuk menyediakan perlindungan terhadap komponen intra
okular. Pembungkus okular yang bersifat viskoelastis ini memungkinkan
pergerakan bola mata tanpa menimbulkan deformitas otot-otot penggeraknya.
Pendukung dasar dari sklera adalah adanya aktifitas sklera yang rendah dan
vaskularisasi yang baik pada sklera dan koroid. Hidrasi yang terlalu tinggi pada
sclera menyebabkan kekeruhan pada jaringan sklera. Jaringan kolagen sklera
dan jaringan pendukungnya berperan seperti cairan sinovial yang memungkinkan
perbandingan yang normal sehingga terjadi hubungan antara bola mata dan socket.
Perbandingan ini sering terganggu sehingga menyebabkan beberapa penyakit
yang mengenai struktur artikular sampai pembungkus sklera dan episklera.3

1.2. Episklera

Episklera mengandung banyak pembuluh darah yang menyediakan nutrisi


untuk sklera dan permeabel terhadap air, glukosa dan protein. Episklera juga
berfungsi sebagai lapisan pelicin bagi jaringan kolagen dan elastis dari sklera dan
akan bereaksi hebat jika terjadi inflamasi pada sklera.
Jaringan fibroelastis dari episklera mempunyai dua lapisan yaitu lapisan
viseral yang lebih dekat ke sklera dan lapisan parietal yang bergabung dengan

5
fasia dari otot dan konjungtiva dekat limbus. Pleksus episklera posterior berasal
dari siliari posterior , sementara itu di episklera anterior berhubungan dengan
pleksus konjungtiva, pleksus episklera superfisial dan pleksus episkera profunda.

1.3. Episkleritis
1.3.1. Definisi
Episkleritis merupakan suatu reaksi inflamasi pada jaringan episklera yang
terletak diantara konjungtiva dan permukaan sklera, bersifat ringan,
dapat sembuh sendiri, dan bersifat r e k u r e n s i . Sklera terdiri dari serat-serat
jaringan ikat yang membentuk dinding putih mata yang kuat. Sklera dibungkus
oleh lapisan episklera yang merupakan tipis yang banyak mengandung pembuluh
darah untuk memberi makan sklera. Dibagian depan mata, episklera dibungkus
oleh konjungtiva.1,4
Episklera adalah suatu kondisi yang relatif umum yang dapat mempengaruhi
pada satu atau kedua mata. Episkleritis terjadi pada perempuan lebih banyak
daripada laki-laki dan paling sering terjadi antara usia 40-50 tahun.4

Gambar 3. Episkleritis

1.3.2. Etiologi
Hingga sekarang belum diketahui penyebab pasti dari episkleritis. Namun,
ada beberapa kondisi kesehatan tertentu yang selalu berhubungan dengan

6
terjadinya episkleritis. Kondisi-kondisi tersebut merupakan diseabkan oleh reaksi
hiperventinitasadalah penyakit yang mempengaruhi tulang, tulang rawan, tendon,
atau jaringan ikat lain dari tubuh, seperti : Rheumatoid arthritis, Ankylosing
spondylitis, Lupus ( systemic lupus erythematosus), Gout.

1.3.3. Klasifikasi
Episkleritis terdiri dari 2 jenis yaitu :
1. Episkleritis Simple
Ini adalah jenis episkleritis yang paling umum dari episkleritis.
Peradangan biasanya ringan dan terjadi dengan cepat. Hanya
berlangsung selama sekitar 7-10 hari dan akan hilang sepenuhnya
setelah dua sampai tiga minggu. Pasien dapat mengalami serangan dari
kondisi tersebut, biasanya setiap satu sampai tiga bulan. Penyebabnya
seringkali tidak diketahui.2,5
2. Episkleritis Nodular
Hal ini sering lebih menyakitkan daripada episkleritis simple dan
berlangsung lebih lama. Peradangan biasanya terbatas pada satu bagian
mata saja dan mungkin terdapat suatu daerah penonjolan atau benjolan
pada permukaan mata. Ini sering berkaitan dengan kondisi kesehatan,
seperti rheumatoid arthritis, colitis dan lupus.2,5

1.3.4. Manifestasi Klinis


Gejala episkleritis meliputi :
- Sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar
- Mata merah pada bagian putih mata
- Kepekaan terhadap cahaya
- Tidak mempengaruhi visus
Jika pasien mengalami episkleritis nodular, pasien mungkin memiliki satu
atau lebih benjolan kecil atau benjolan pada daerah putih mata. Pasien mungkin
merasakan bahwa benjolan tersebut dapat bergerak di permukaan bola mata.4

1.3.5. Prognosis
Prognosis akhirnya baik karena biasanya akan sembuh dengan sendirinya

7
dalam 1-2 minggu, dan tidak akan mempengaruhi visus.
\
1.3.6. Penatalaksanaan
Episkleritis biasanya akan hilang sendiri dalam waktu sekitar 10 hari dan
biasanya tidak memerlukan pengobatan apapun. Air mata buatan (misalnya
hypromellose) dapat berguna dalam menghilangkan gejala mata kering.6
Jika gejala semakin parah atau bertahan lama, dokter  mungkin akan
meresepkan beberapa obat berikut:
 Non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID), seperti flurbiprofen.
Obat ini akan membantu meredakan nyeri dan bengkak dan
mengurangi peradangan.
 Steroid eye drops, seperti dexamethasone. Obat ini akan membantu
untuk mengurangi peradangan dan mempercepat pemulihan pasien.
Namun, ada beberapa risiko terkait dengan penggunaan tetes mata
steroid, sehingga pasien perlu dipantau ketat oleh dokter.
Setiap penemuan kondisi kesehatan yang mendasari terjadinya episkleritis
juga memerlukan pengobatan. Pasien mungkin akan dirujuk ke spesialis lain
seperti rheumatologist (seorang dokter yang mengkhususkan diri dalam
mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mempengaruhi sistem
muskuloskeletal, terutama sendi dan jaringan sekitarnya) untuk pengobatan.6

1.3.7. Komplikasi
Sebuah komplikasi episkleritis yang mungkin terjadi adalah iritis. Sekitar satu
dari 10 orang dengan episkleritis akan berkembang ke arah iritis ringan.5

1.4. Skleritis
1.4.1. Definisi
Skleritis didefinisikan sebagai gangguan granulomatosa kronik yang
ditandai oleh destruksi kolagen, sebukan sel dan kelainan vaskular yang
mengisyaratkan adanya vaskulitis.1 Kelainan ini murni diperantarai oleh proses
imunologik, yakni reaksi tipe IV (hipersensitivitas tipe lambat) dan tipe III
(kompleks imun) dan disertai atau disebabkan oleh penyakit sistemik (penyakit

8
jaringan ikat, paska herpes, sifilis, dan gout). Kadang – kadang disebabkan
tuberkulosis, bakteri (pseudomonas), sarkoidosis, hipertensi, benda asing, dan
paska bedah.
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Penyakit ini bersifat
unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau kambuh.
1.4.2. Epidemiologi
Skleritis adalah penyakit yang jarang dijumpai. Di Amerika Serikat
insidensi kejadian diperkirakan 6 kasus per 10.000 populasi. Dari pasien-pasien
yang ditemukan, didapatkan 94% adalah skleritis anterior, sedangkan 6%nya
adalah skleritis posterior. Di Indonesia belum ada penelitian mengenai penyakit
ini. Penyakit ini dapat terjadi unilateral atau bilateral, dengan onset perlahan atau
mendadak, dan dapat berlangsung sekali atau kambuh-kambuhan.1,6
Peningkatan insiden skleritis tidak bergantung pada geografi maupun ras.
Wanita lebih banyak terkena daripada pria dengan perbandingan 1,6 : 1. Insiden
skleritis terutama terjadi antara 11-87 tahun, dengan usia rata-rata 52 tahun.
1.4.3. Etiologi
Pada banyak kasus, kelainan-kelainan skelritis murni diperantarai oleh
proses imunologi yakni terjadi reaksi tipe IV (hipersensitifitas tipe lambat) dan
tipe III (kompleks imun) dan disertai penyakit sistemik. Pada beberapa kasus,
mungkin terjadi invasi mikroba langsung, dan pada sejumlah kasus proses
imunologisnya tampaknya dicetuskan oleh proses-proses lokal, misalnya bedah
katarak dan operasi pterygium.1,7
Berikut ini adalah beberapa penyebab skleritis, yaitu :2,7

Spondilitis ankylosing, Artritis rheumatoid,


Poliartritis nodosa, Polikondritis berulang,
Penyakit Autoimun Granulomatosis Wegener, Lupus eritematosus
sistemik, Pioderma gangrenosum, Kolitis
ulserativa, Nefropati IgA, Artritis psoriatik

Penyakit Tuberkulosis, Sifilis, Sarkoidosis, Lepra,


Granulomatosa Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (jarang)

Gangguan Metabolik Gout, Tirotoksikosis, Penyakit jantung rematik

9
aktif

Onkoserkiasis, Toksoplasmosis, Herpes Zoster,


Infeksi Herpes Simpleks, Infeksi oleh Pseudomonas,
Aspergillus, Streptococcus, Staphylococcus

Fisik (radiasi, luka bakar termal), Kimia (luka


Lain-lain bakarasam atau basa), Mekanis (cedera tembus),
Limfoma, Rosasea, Pasca ekstraksi katarak

1.4.4. Patofisiologi
Penyakit tersering yang menyebabkan skleritis antara lain adalah
rheumatoid arthritis, ankylosing spondylitis,systemic lupus erythematosus,
polyarteritis nodosa, Wegener's granulomatosis,herpes zoster virus, gout  dan
sifilis.Karena sklera terdiri dari jaringan ikat dan serat kolagen, skleritis adalah
gejala utama dari gangguan vaskular kolagen pada 15% dari kasus. Gangguan
regulasi autoimun pada pasien yang memiliki predisposisi genetik dapat menjadi
penyebab terjadinya skleritis. Faktor pencetus dapat berupa organisme menular,
bahan endogen, atau trauma.Proses peradangan dapat disebabkan oleh kompleks
imun yang mengakibatkan kerusakan vaskular (hipersensitivitas tipe III) atau pun
respon granulomatosa kronik (hipersensitivitas tipe IV).

Hipersensitivitas tipe III  dimediasi oleh kompleks imun yang terdiri dari
antibody IgG dengan antigen. Hipersensitivitas tipe III terbagi menjadi reaksi
local (reaksi Arthus) dan reaksi sistemik.Reaksi lokal dapat diperagakan dengan
menginjeksi secara subkutan larutan antigen kepada penjamu yang memiliki titer
IgG yang signifikan. Karena FcgammaRIII adalah reseptor dengan daya ikat
rendah dan juga karena ambang batas aktivasi melalui reseptor ini    lebih tinggi
dari pada untuk reseptor IgE, reaksi hipersensitivitas lebih lama dibandingkan
dengan tipe I, secara  umum memakan waktu maksimal 4 – 8 jam dan bersifat
lebih menyeluruh. 
Reaksi sistemik terjadi dengan adanya antigen dalam sirkulasi yang
mengakibatkan pembentukan kompleks antigen – antibodi yang dapat larut dalam
sirkulasi.Patologiutama dikarenakan deposisi kompleks yang ditingkatkan oleh    

10
peningkatan permeabilitas vaskular yang diakibatkan oleh pengaktivasian dari sel
mast    melalui FcgammaRIII.
Kompleks imun yang terdeposisi menyebabkan netrofil mengeluarkan isi
granul dan membuat kerusakan pada endotelium dan membrane
basement  sekitarnya. Kompleks tersebut dapat terdisposisi pada
bermacam – macam lokasi seperti kulit, ginjal, atau sendi. Contoh paling sering
dari hipersensitivitas tipe III adalah komplikasi post –infeksi seperti arthritis dan
glomerulonefritis.4
Hipersensitivitas tipe IV adalah satu – satunya reaksi hipersensitivitas
yang disebabkan oleh sel T spesifik  – antigen.Tipe hipersensitivitas ini disebut
juga hipersensitivitas tipe lambat. Hipersensitivitas tipe lambat terjadi saat sel
jaringan dendritik telah mengangkat antigen lalu memprosesnya dan menunjukkan
pecahan peptida yang sesuai berikatan dengan MHC kelas II, kemudian
mengalami kontak dengan sell TH1 yang berada dalam jaringan.
Aktivasi dari sel T tersebut,membuatnya memproduksi sitokin seperti
kemokin untuk makrofag, sel T lainnya,dan juga kepada netrofil. Konsekuensi
dari hal ini adalah adanya infiltrasi seluler yang mana sel mononuklear (sel T dan
makrofag) cenderung mendominasi.4
Reaksi maksimal memakan waktu 48– 72 jam. Contoh klasik dari
hipersensitivitas tipe lambat adalah tuberkulosis. Contoh yang paling sering
adalah hipersensitivitas kontak yang diakibatkan dari pemaparan seorang individu
dengan garam metal atau bahan kimia reaktif.
Jaringan imun yang terbentuk dapat mengakibatkan kerusakan sklera,
yaitu deposisi kompleks imun di kapiler episklera, sklera dan venul poskapiler
(peradangan mikroangiopati). Tidak seperti episkleritis, peradangan pada skleritis
dapat menyebar pada bagian anterior atau bagian posterior mata.
Degradasi enzim dari serat kolagen dan invasi dari sel-sel radang meliputi
sel T dan makrofag pada sklera memegang peranan penting terjadinya skleritis.
Inflamasi dari sklera bisa berkembang menjadi iskemia dan nekrosis yang akan
menyebabkan penipisan pada sklera dan perforasi dari bola mata.
Inflamasi yang mempengaruhi sklera berhubungan erat dengan penyakit
imun sistemik dan penyakit kolagen pada vaskular. Disregulasi pada penyakit

11
auto imun secara umum merupakan faktor predisposisi dari skleritis. Proses
inflamasi bisa disebabkan oleh kompleks imun yang berhubungan dengan
kerusakan vaskular (reaksi hipersensitivitas tipe III dan respon kronik
granulomatous (reaksi hipersensitivitas tipe IV). Interaksi tersebut adalah bagian
dari sistem imun aktif dimana dapat menyebabkan kerusakan sklera akibat
deposisi kompleks imun pada pembuluh di episklera dan sklera yang
menyebabkan perforasi kapiler dan venula post kapiler dan respon imun sel
perantara.
1.4.5. Klasifikasi1,8
Skleritis diklasifikasikan menjadi:
1. Skleritis Anterior 
95% penyebab skleritis adalah skleritis anterior. Insidensi skleritis
anterior sebesar 40% dan skleritis anterior nodular terjadi sekitar 45%
setiap tahunnya. Skleritis nekrotik terjadi sekitar 14% yang biasanya
berbahaya. Bentuk spesifik dari skleritis biasanya tidak dihubungkan
dengan penyebab penyakit khusus, walaupun penyebab klinis dan
prognosis diperkirakan berasal dari suatu inflamasi. Berbagai varian
skleritis anterior kebanyakan jinak dimana tipe nodular lebih nyeri.
Tipe nekrotik lebih bahaya dan sulit diobati.

Gambar 4. Skleritis Anterior

a. Difus
Bentuk ini dihubungkan dengan artritis rematoid, herpes zoster oftalmikus
dan gout dimana lebih sering mengenai kedua mata.
b. Nodular

12
Bentuk ini dihubungkan dengan herpes zoster oftalmikus dimana lebih
sering mengenai satu mata saja.
c. Necrotizing
Bentuk ini lebih berat dan dihubungkan sebagai komplikasi sistemik atau
komplikasi okular pada sebagian pasien. 40% menunjukkan penurunan
visus. 29% pasien dengan skleritis nekrotik meninggal dalam 5 tahun.
Bentuk skleritis nekrotik terbagi 2 yaitu:
i. Dengan inflamasi
ii. Tanpa inflamasi (scleromalacia perforans)

2. Skleritis Posterior 
Sebanyak 43% kasus skleritis posterior didiagnosis bersama
dengan skleritis anterior. Biasanya skleritis posterior ditandai dengan
rasa nyeri dan penurunan kemampuan melihat. Dari pemeriksaan
objektif didapatkan adanya perubahan fundus, adanya perlengketan
massa eksudat di sebagian retina, perlengketan cincin koroid, massa di
retina, udem nervus optikus dan udem makular. Inflamasi skleritis
posterior yang lanjut dapat menyebabkan ruang okuli anterior dangkal,
proptosis, pergerakan ekstra ocular yang terbatas dan retraksi kelopak
mata bawah.

Gambar 5. Skleritis Posterior

1.4.6. Manifestasi Klinis


Gejala-gejala pada skleritis dapat meliputi rasa nyeri, mata berair,
fotofobia, spasme, dan penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah
perubahan difus pada sklera yaitu mata merah disertai pembengkakkan. Nyeri

13
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan atau digerakkan.1,9
Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata
berair atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan
ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur
yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma,
katarak dan fundus yang abnormal.1,5
1.4.7. Diagnosis
Skleritis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
didukung oleh berbagai pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesa1,9
Pada saat anamnesis perlu ditanyakan keluhan utama pasien, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit dahulu termasuk riwayat infeksi, trauma ataupun
riwayat pembedahan juga perlu pemeriksaan dari semua sistem pada tubuh.
Gejala-gejala dapat meliputi rasa nyeri, mata berair, fotofobia, spasme, dan
penurunan ketajaman penglihatan. Tanda primernya adalah mata merah. Nyeri
adalah gejala yang paling sering dan merupakan indikator terjadinya inflamasi
yang aktif. Nyeri timbul dari stimulasi langsung dan peregangan ujung saraf
akibat adanya inflamasi. Karakteristik nyeri pada skleritis yaitu nyeri terasa berat,
nyeri tajam menyebar ke dahi, alis, rahang dan sinus, pasien terbangun sepanjang
malam, kambuh akibat sentuhan.
Nyeri dapat hilang sementara dengan penggunaan obat analgetik. Mata berair
atau fotofobia pada skleritis tanpa disertai sekret mukopurulen. Penurunan
ketajaman penglihatan biasa disebabkan oleh perluasan dari skleritis ke struktur
yang berdekatan yaitu dapat berkembang menjadi keratitis, uveitis, glaucoma,
katarak dan fundus yang abnormal.1,4

14
Gambar 6. Skleritis

Riwayat penyakit dahulu dan riwayat pada mata menjelaskan adanya penyakit
sistemik, trauma, obat-obatan atau prosedur pembedahan dapat menyebabkan
skleritis seperti :1,8
 Penyakit vaskular atau penyakit jaringan ikat
 Penyakit infeksi
 Penyakit Miscellanous ( atopi,gout, trauma kimia, rosasea)
 Trauma tumpul atau trauma tajam pada mata
 Obat-obatan seperti pamidronate, alendronate, risedronate, zoledronic acid
dan ibandronate.
 Post pembedahan pada mata
 Riwayat penyakit dahulu seperti ulserasi gaster, diabetes, penyaki hati,
penyakit ginjal, hipertensi dimana mempengaruhi pengobatan selanjutnya.
 Pengobatan yang sudah didapat dan pengobatan yang sedang berlangsung
dan responnya terhadap pengobatan.
b. Pemeriksaan Fisik1,8
1. Daylight
Sklera bisa terlihat merah kebiruan atau keunguan yang difus. Setelah
serangan yang berat dari inflamasi sklera, daerah penipisan sklera dan
translusen juga dapat muncul dan juga terlihat uvea yang gelap. Area hitam,
abu-abu dan coklat yang dikelilingi oleh inflamasi yang aktif yang
mengindikasikan adanya proses nekrotik. Jika jaringan nekrosis berlanjut, area
pada sklera bisa menjadi avaskular yang menghasilkan sekuester putih di
tengah yang dikelilingi lingkaran coklat kehitaman. Proses pengelupasan bisa

15
diganti secara bertahap dengan jaringan granulasi meninggalkan uvea yang
kosong atau lapisan tipis dari konjungtiva.
2. Pemeriksaan Slit Lamp
Pada skleritis, terjadi bendungan yang masif di jaringan dalam episklera
dengan beberapa bendungan pada jaringan superfisial episklera. Pada tepi
anterior dan posterior cahaya slit lamp bergeser ke depan karena episklera dan
sklera edema. Pada skleritis dengan pemakaian fenilefrin hanya terlihat
jaringan superfisial episklera yang pucat tanpa efek yang signifikan pada
jaringan dalam episklera.
3. Pemeriksaan Red-free Light
Pemeriksaan ini dapat membantu menegakkan area yang mempunyai
kongesti vaskular yang maksimum, area dengan tampilan vaskular yang baru
dan juga area yang avaskular total. Selain itu perlu pemeriksaan secara umum
pada mata meliputi otot ekstra okular, kornea, uvea, lensa, tekanan
intraokular dan fundus.
c. Pemeriksaan Penunjang1,5,10
Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan sistemik dan
pemeriksaan fisik dapat ditentukan tes yang cocok untuk memastikan atau
menyingkirkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan skleritis.
Adapun pemeriksaan laboratorium tersebut meliputi:
 Hitung darah lengkap dan laju endap darah
 Kadar komplemen serum (C3)
 Kompleks imun serum
 Faktor rematoid serum
 Antibodi antinukleus serum
 Antibodi antineutrofil sitoplasmik 
 Imunoglobulin E
 Kadar asam urat serum
 Urinalisis
 Rata-rata Sedimen Eritrosit
 Tes serologis
 HBs Ag

16
Berbagai macam pemeriksaan radiologis yang diperlukan dalam
menentukan penyebab dari skleritis adalah sebagai berikut :10
 Foto thorax
 Rontgen sinus paranasal
 Foto lumbosacral
 Foto sendi tulang panjang
 Ultrasonography ( Scan A dan B)
 CT-Scan
 MRI
Pemeriksaan lain yang diperlukan antara lain :
 Skin Test dan Tes usapan dan kultur
1.4.8. Diagnosis Banding1,4,7
Berikut ini adalah beberapa diagnosis banding dari skleritis :
 Konjunctivitis alergika
 Episkleritis
 Gout
 Herpes zoster 
 Rosasea okular 
 Karsinoma sel skuamosa pada konjunctiva
 Karsinoma sel skuamosa pada palpebra
 Uveitis anterior nongranulomatosa

1.4.9. Penatalaksanaan
Terapi skleritis disesuaikan dengan penyebabnya. Terapi awal skleritis
adalah obat anti inflamasi non-steroid sistemik. Obat pilihan adalah indometasin
100 mg perhari atau ibuprofen 300 mg perhari. Pada sebagian besar kasus, nyeri
cepat mereda diikuti oleh pengurangan peradangan. Apabila tidak timbul respon
dalam 1-2 minggu atau segera setelah tampak penyumbatan vaskular harus segera
dimulai terapi steroid sistemik dosis tinggi. Steroid ini biasanya diberikan peroral
yaitu prednison 80 mg perhari yang ditirunkan dengan cepat dalam 2 minggu
sampai dosis pemeliharaan sekitar 10 mg perhari. Kadangkala, penyakit yang

17
berat mengharuskan terapi intravena berdenyut dengan metil prednisolon 1 g
setiap minggu.
Obat-obat imunosupresif lain juga dapat digunakan. Siklofosfamid sangat
bermanfaat apabila terdapat banyak kompleks imun dalam darah. Tetapi steroid
topikal saja tidak bermanfaat tetapi dapat dapat menjadi terapi tambahan untuk
terapi sistemik. Apabila dapat diidentifikasi adanya infeksi, harus diberikan terapi
spesifik. Peran terapi steroid sistemik kemudian akan ditentukan oleh sifat proses
penyakitnya, yakni apakah penyakitnya merupakan suatu respon hipersensitif atau
efek dari invasi langsung mikroba.
Tindakan bedah jarang dilakukan kecuali untuk memperbaiki perforasi
sklera atau kornea. Tindakan ini kemungkinan besar diperlukan apabila terjadi
kerusakan hebat akibat invasi langsung mikroba, atau pada granulomatosis
Wegener atau poliarteritis nodosa yang disertai penyulit perforasi kornea.
Penipisan sklera pada skleritis yang semata-mata akibat peradangan jarang
menimbulkan perforasi kecuali apabila juga terdapat galukoma atau terjadi trauma
langsung terutama pada usaha mengambil sediaan biopsi. Tandur sklera pernah
digunakan sebagai tindakan profilaktik dalam terapi skleritis, tetapi tandur
semacam itu tidak jarang mencair kecuali apabila juga disertai pemberia
kemoterapi.8,9
Skleromalasia perforans tidak terpengaruh oleh terapi kecuali apabila
terapi diberikan pada stadium paling dini penyakit. Karena pada stadium ini
jarang timbul gejala, sebagian besar kasus tidak diobati sampai timbul penyulit.

1.4.10. Komplikasi
Penyulit sleritis adalah keratitis, uveitis, galukoma, granuloma subretina,
ablasio retina eksudatif, proptosis, katarak, dan hipermetropia. 3,4 Keratitis
bermanifestasi sebagai pembentukan alur perifer, vaskularisasi perifer, atau
vaskularisasi dalam dengan atau tanpa pengaruh kornea. Uveitis adalah tanda
buruk karena sering tidak berespon terhadap terapi. Kelainan ini sering disertai
oleh penurunan penglihatan akibat edema makula. Dapat terjadi galukoma sudut
terbuka dan tertutup. Juga dapat terjadi glaukom akibat steroid.
Skleritis biasanya disertai dengan peradangan di daerah sekitarnya seperti

18
uveitis atau keratitis sklerotikan. Pada skleritis akibat terjadinya nekrosis sklera
atau skleromalasia maka dapat terjadi perforasi pada sklera. Penyulit pada kornea
dapat dalam bentuk keratitis sklerotikan, dimana terjadi kekeruhan kornea akibat
peradangan sklera terdekat. Bentuk keratitis sklerotikan adalah segitiga yang
terletak dekat skleritis yang sedang meradang. Hal ini terjadi akibat gangguan
susunan serat kolagen stroma. Pada keadaan initidak pernah terjadi
neovaskularisasi ke dalam stroma kornea. Proses penyembuhan kornea yaitu
berupa menjadi jernihnya kornea yang dimulai dari bagian sentral. Sering bagian
sentral kornea tidak terlihat pada keratitis sklerotikan.8
1.4.11. Prognosis
Prognosis skleritis tergantung pada penyakit penyebabnya. Skleritis pada
spondiloartropati atau pada SLE biasanya relatif jinak dan sembuh sendiri dimana
termasuk tipe skleritis difus atau skleritis nodular tanpa komplikasi pada mata
Skleritis pada penyakit Wagener adalah penyakit berat yang dapat menyebabkan
buta permanen dimana termasuk tipe skleritis nekrotik dengan komplikasi pada
mata.
Skleritis pada rematoid artritis atau polikondritis adalah tipe skleritis difus,
nodular atau nekrotik dengan atau tanpa komplikasi pada mata. Skleritis pada
penyakit sistemik selalu lebih jinak daripada skleritis dengan penyakit infeksi atau
autoimun. Pada kasus skleritis idiopatik dapat ringan, durasi yang pendek, dan
lebih respon terhadap tetes mata steroid. Skleritis tipe nekrotik merupakan tipe
yang paling destruktif dan skleritis dengan penipisan sklera yang luas atau yang
telah mengalami perforasi mempunyai prognosis yang lebih buruk daripada tipe
skleritis yang lainnya.

19
BAB II
KESIMPULAN

 Episkleritis adalah peradangan pada episklera sedangkan skleritis adalah


peradangan pada sklera
 Penyebab dari episkleritis dan skleritis belum diketahui, tetapi dapat
diakibatkan oleh penyakit sistemik
 Gejala episkleritis yaitu sakit mata dengan rasa nyeri atau sensasi terbakar,
mata merah pada bagian putih mata, kepekaan terhadap cahaya tetapi tidak

20
mempengaruhi visus.
 Gejala dari skleritis adalah rasa nyeri yang berat dan dapat menjalar ke
alis, dahi, rahang dan sinus, mata berair, fotofobia, dan penurunan tajam
penglihatan.
 Terapi dari episkleritis dan skleritis dapat berupa non-steroid dan steroid
 Episkleritis dapat menimbulkan komplikasi berupa iritis sedangkan
skleritis berupa keratitis, uveitis, glukoma, katarak,dll.
 Prognosis dari episkleritis adalah baik, sedangkan pada skleritis dapat baik
dan dapat buruk tergantung penyebabnya.

DAFTAR PUSTAKA

21
1. American Academy of Ophthalmology. External disease and cornea.
http://www.aao.org/images/eyewiki/scleritis
2. Ilyas, S. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Balai Penerbit FKUI,
2008. 118-20
3. James, Bruce. Chew, Chris. Bron, Anthony. Lecture Notes Oftalmologi. Edisi
Sembilan. Jakarta : Balai Penerbit Erlangga, 2005. Hal 74.
4. Ilyas, Sidarta. Mailangkay, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Edisi Kedua. Jakarta:
Balai Penerbit CV. Sagung Seto, 2002. Hal 109-111.
5. Necrotising Scleritis After Bare Sclera Excision of Pterygium.
http://www.bjo.bmj.com/content/84/9/1050
6. Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta : EGC, 2009. Hal
165-168.
7. Necrotizing Scleritis. Diagnosis and Therapy.
http://www.uveitis.org/docs/dm/necrotizing-scleritis-diagnosis-therapy.pdf
8. Gaeta, TJ. Scleritis. http://emedicine.medscape.com/article/809166-
treatment#d11
9. Iljas, Ramatjandra. Iljas, Sidarta. Klasifikasi dan Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit Mata. Jakarta: balai Penerbit FKUI, 1991. Hal 148-155.
10. Galor A, Thorne J. Scleritis and Peripheral Ulcerative Keratitis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2212596/

22

Anda mungkin juga menyukai