Anda di halaman 1dari 15

Tugas Ujian

G4P3A0 Gravida 25 – 26 minggu dengan Prematur Kontraksi + PEB + Riwayat


Obstetrik Buruk

Pembimbing:
dr. Yedi Fourdiana Sukardi, SpOG

Disusun:
Virta Andhika
1102015245

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI GINEKOLOGI FAKULTAS


KEDOKTERAN
UNIVERITAS YARSI RSUD KABUPATEN BEKASI
27 September 2020 – 07 November 2020
Pertanyaan Tugas:

1. Lengkapi Diagnosis
2. Bagaimana Patofisiologi lepasnya plasenta pada Solusio Plasenta
3. Sebutkan penyebab IUFD pada KPD
4. Bagaimana pemberian MgSO4
5. Tatalaksana PEB
6. Syarat Kesejahteraan Janin
7. Pembentukan cairan Ketuban dan Etiologi KPD

Jawaban:

1. Lengkapi Diagnosis:
Ibu: G4P3A0 Gravida 25 – 26 minggu dengan Prematur Kontraksi + PEB + Riwayat
Obstetrik Buruk
Janin: Janin Tunggal Hidup Intrauterin Presentasi Kepala DJJ 137 – 141 x/menit
Reguler
2. Bagaimana Patofisiologi lepasnya plasenta pada Solusio Plasenta:

Faktor Risiko Hubungan dengan risiko

Meningkatnya usia dan paritas 1.3–1.5

Preeklampsia 2.1–4.0

Hipertensi kronik 1.8–3.0

Ketuban pecah dini 2.4–4.9

Kehamilan ganda 2.1

Hidroamnion 2.0

Wanita perokok 1.4–1.9

Trombofilia 3–7

2
Penggunaan kokain NA

Riwayat solusio plasenta 10–25

Mioma dibelakang plasenta 8 dari 14

Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang

Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui , tetapi terdapat beberapa
keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio
plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko, seperti hipertensi, riwayat trauma,
kebiasaan merokok, usia ibu, dan paritas yang tinggi.
Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari
suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis plasenta dari tempat
implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu
patofisiologinya bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas
karena robeknya pembuluh darah desidua1.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang
disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan
pembentukan trombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vaskular vili dapat
berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah
sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut
menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap melekat pada
miometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas
pembentukan hematom yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi
dan kerusakan pada bagian plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum
ada gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang baru lahir.
Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta disebabkan oleh
putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi
penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin.
Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih
luas/banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput
ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed
hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena uterus yang lagi mengandung tidak
mampu berkontraksi untuk menjepit pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun

3
jarang terdapat perdarahan tinggal terperangkap di dalam uterus (concealed
hemorrhage)1,2.
Nikotin dan kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa
menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark,
oksidatif stres, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak
hubungan uterus dengan plasenta yang berujung kepada solusio plasenta. Dilaporkan
merokok berperan pada 15% sampai 25% dari insidensi solusio plasenta. Merokok satu
bungkus perhari menaikkan insiden menjadi 40%2.
1. Bagaimana penyebab IUFD pada KPD
Komplikasi pada KPD dapat menyebabkan IUFD akibat kekurangan nya air ketuban
sebanyak 200-500 ml menyebabkan oligohidramion sehingga tali pusat mengalami
penakanan atau kompresi tali pusat yang dapat mengganggu pertukaran O2 dan CO2
pada plasenta menyebabkan hipoksia hingga iskemia yang menyebabkan janin berakhir
dengan kematian. Pecahnya ketuban lama sebelum kelahiran dapat mengakibatkan
terinfeksinya cairan ketuban dan selanjutnya dapat membawa infeksi paru-paru serta
infeksi sistemik pada janin3-4
2. Bagaimana pemberian MgSO4

4
 Dosis awal: 4gram MgSO4 (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%) dilarutkan
kedalam 100cc NaCl/RL, diberikan selama 15-20 menit.
Cara pemberian: Siapkan cairan RL 100 cc selanjutnya kurangi 10cc bila menggunakan
MgSO4 40% atau 20cc bila menggunakan MgSO4 20%, kedalam larutan sisa tersebut
ditambahkan 10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%. Tetesan 50 gtt/menit akan
habis dalam 15-20 menit.
 Dosis Pemeliharaan: 10gram (25cc MgSO4 40%) dalam 500cc cairan RL. Cara
pemberiaan: Bila menggunakan MgSO4 40% cairan 500cc RL dikurangi 25cc,
selanjutnya ditambahkan 25 cc MgSO4 40%. Bila menggunakan MgSO4 20% cairan
RL 500 cc dikurangi 50cc, selanjutnya ditambahkan 50cc MgSO4 20%. Kecepatan 1-
2 gram/jam (20-30 tetes/menit).6

3. Tatalaksana PEB
Manajemen Ekspektatif Atau Aktif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran perinatal
dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa
membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus
preeklampsia tanpa gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan
evaluasi maternal dan janin yang lebih ketat. Perawatan poliklinis secara ketat dapat
dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa gejala berat. Evaluasi ketat yang dilakukan
adalah6-8 :
1. Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari
2. Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis
3. Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu Evaluasi USG dan
kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam seminggu)
4. Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan doppler
velocimetry terhadap arteri umbilikal direkomendasikan.
Indikasi untuk dilakukan Pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai berikut:
 Kehamilan > 34 minggu
 Adanya gejala impending eklamsia
 Gagal perawatan konservatif
 Diduga solusio plasenta
 Adanya fetal distress/ gawat janin

5
 IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
 Terjadi Oligohidramion
 Tanda tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit yang
cepat.

Gambar. Manejemen Ekspektatif Preeklamsia tanpa Gejala Berat

6
Gambar. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat

7
Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia berat dengan
usia kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil.
Manajemen ekspektatif pada preeklampsia berat juga direkomendasikan untuk
melakukan perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan
intensif bagi maternal dan neonatal. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif
preekklamsia berat, pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu
pematangan paru janin. Pasien dengan preeklampsia berat direkomendasikan untuk
melakukan rawat inap selama melakukan perawatan ekspektatif5-8.
a. Perawatan Konservatif
Indikasi perawatan konservatif adalah bila kehamilan < 34 minggu tanpa disertai
tanda – tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Pemberian MgSO4
diberhentikan bila ibu telah mencapai tanda – tanda preeklamsia ringan, selambat –
lambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila dua kali 24 jam tidak ada perbaikan maka keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan perawat konservatif. Dianjurkan untuk dilakukan terminasi.5-8
b. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di Eropa
dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada preeklampsia

8
adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia, serta mengurangi
morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum
dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan
vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan
uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor
N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel
dan dapat terjadi kejang.
Efek samping dan toksisitas magnesium sulfat Penggunaan magnesium sulfat
berhubungan dengan efek samping minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat, flushing,
nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi. Dari uji acak
dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 – 67% kasus. Efek samping ini
merupakan penyebab utama wanita menghentikan pengobatan.
Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat magnesium sulfat dibandingkan
0,5% pada plasebo, namun tidak ada bukti nyata perbedaan risiko hilangnya atau
berkurangnya refleks tendon. Meskipun depresi napas dan masalah pernapasan jarang
ditemukanrisiko relatif meningkat pada kelompok yang diberikan magnesium sulfat.
Untuk mengatasi terjadinya toksisitas, bisa berikan kalsium glukonas 10% 1 g (10 ml)
dapat diberikan IV secara perlahan selama 3 – 5 menit.
Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang atau kejang berulang
dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis yang digunakan7,13,16:
 Dosis awal: 4gram MgSO4 (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%) dilarutkan
kedalam 100cc NaCl/RL, diberikan selama 15-20 menit.
Cara pemberian: Siapkan cairan RL 100 cc selanjutnya kurangi 10cc bila menggunakan
MgSO4 40% atau 20cc bila menggunakan MgSO4 20%, kedalam larutan sisa tersebut
ditambahkan 10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%. Tetesan 50 gtt/menit akan
habis dalam 15-20 menit.
 Dosis Pemeliharaan: 10gram (25cc MgSO4 40%) dalam 500cc cairan RL. Cara
pemberiaan: Bila menggunakan MgSO4 40% cairan 500cc RL dikurangi 25cc,
selanjutnya ditambahkan 25 cc MgSO4 40%. Bila menggunakan MgSO4 20% cairan
RL 500 cc dikurangi 50cc, selanjutnya ditambahkan 50cc MgSO4 20%. Kecepatan 1-
2 gram/jam (20-30 tetes/menit).

9
Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai waktu yang
optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan pemeliharaan), rute
administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.7,13
d. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan - sedang
(tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial. European
Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan pemberian
antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada
wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau kerusakan organ
subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan yang lain, pemberian
antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg. 6-7
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat, atau
tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolic ≥ 110 mmHg. Target penurunan
tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg. Pemberian
antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol
parenteral. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin, metildopa,
labetalol. Dapat diberikan:
1. Nifedipine:
Merupakan Calcium Channel Blocker (CCB) dapat menurunkan perfusi dari
uteroplacental. Dosis yang dapat diberikan adalah 10 mg PO dapat diulang setiap 30
menit (maks 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan MABP kurang dari 20%
 Dosis rumatan 3x10mg
 Tidak diperkenankan penggunaan sublingual
 Dopamet (3x250 mg) diulang tiap 8 jam
2. Nikardipine:
Merupakan lini kedua yang dapat diberikan jika nifedipine dan methyldopa tidak ada
perubahan atau diberikan bila tekanana darah ≥180/110 mmHg atau hipertensi
emergensi dengan dosisi 1 ampul 10 mg dalam larutan 50cc per jam atau 2 ampul 10
mg dalam larutan 100cc tetes per menit mikro drip. Pelarut yang tidak dapat
digunakan adalah RL dan bikarbonat natrikus5,6,8.
3. Methyldopa

10
Dapat menstimulasi alpha adrenergic recptor yang menurunkan saraf simpatis
noreprinefrin ke jantung, ginja, dan pembuluh darah. Metildopa dapat digunakan pada
wanita hamil. Wanita dengan pre eclampsia lebih baik diberikan metildopa dari pada
labetalol karena labetalol dapat menyebabkan hepatotoksik. Methyldopa diberikan
kepada pasien dengan PE yang berat dengan dosis 0,5 – 3 gr/ hari dibagi dalam 2
dosis14.
e. NSAID
NSAID dapat diberikan sebagai analgetic yang baik daripada golongan opioid.
NSAID juga dapat diberikan pada wanita dengan postpartum untuk membantu
menurunkan tekanan darah.
4. Syarat Kesejahteraan Janin
Penilaian kesejahteraan janin dilakukan dengan teknik biophysical composite score
yang meliputi 5 komponen, antara lain:
 Fetal movement
Gerakan janin dapat ditemukan normal secara subjektif (normal rata – rata 7 kali/ 20
menit) atau secara objektif dengan tokografi (normal 10 kali/20 menit). Pada usia 28
minggu setidaknya terdapat 10 kali gerakan dalam 10 jam
 Non-stress test
Non-stress test adalah tes prenatal non invasif yang umum digunakan untuk
memeriksa kesehatan bayi. Selama non-stress test, detak jantung bayi dipantau untuk
melihat bagaimana responsnya terhadap gerakan bayi. Istilah "non-stress" mengacu
pada tidak adanya perlakuan yang dilakukan untuk memberikan tekanan pada bayi
selama tes.
Biasanya, non-stress test disarankan jika diyakini bahwa bayi memiliki risiko
kematian yang lebih tinggi. Non-stress test dapat dilakukan setelah 26 hingga 28
minggu kehamilan.
Dua percepatan pada 15 denyut/ menit selama 15 detik dalam 20 - 40 menit.
 Fetal breathing movements
Satu atau lebih episode gerakan pernapasan janin yang ritmis selama 30 detik atau
lebih dalam waktu 30 menit.
 Fetal tone
Satu atau lebih episode ekstensi ekstremitas janin dengan kembali ke fleksi, atau
membuka atau menutup tangan.

11
 Determination of the amniotic fluid volume
Satu kantong vertikal berisi cairan ketuban melebihi 2 cm dianggap sebagai bukti
adanya cairan ketuban yang memadai
Masing-masing komponen diberi skor 2 (normal atau ada) atau 0 (abnormal, tidak ada
atau tidak cukup). Hasil skor 8 atau 10 adalah normal, skor 6 samar-samar dan skor 4
atau kurang tidak normal. Dengan adanya oligohidramnion, evaluasi lebih lanjut
diperlukan terlepas dari skor gabungannya.12
5. Pembentukan cairan Ketuban dan Etiologi KPD
Cairan amnion diproduksi oleh janin maupun ibu, dan keduanya memiliki peran
tersendiri pada setiap usia kehamilan. Pada kehamilan awal, cairan amnion berasal dari
ultrafiltrat plasma ibu dan sebagian besar diproduksi oleh sekresi epitel selaput amnion.
Dengan bertambahnya usia kehamilan, produksi cairan amnion didominasi oleh kulit
janin dengan cara difusi membran yang mencerminkan komposisi plasma janin. Pada
kehamilan 20 minggu, saat kulit janin mulai kehilangan permeabilitas, ginjal
janin mengambil alih peran tersebut dalam memproduksi cairan amnion. 13
Menurut Rukiyah dan Yulianti untuk meningkatkan air ketuban ibu dengan
oligohidramnion yaitu :
1. Tirah baring
2. Hidrasi dengan kecukupan cairan
Kehamilan cukup bulan menyebabkan peningkatan berat badan sekitar 12,5 kg,
sebagian besar terdiri dari air, sehingga total cairan tubuh meningkat 6-8 liter,
yang terdapat di cairan amnion, plasenta dan cairan ekstraseluler dan
intraseluler. Kebutuhan cairan sangat tergantung terhadap asupan energi dari
makanan, yaitu 1-1.5 ml cairan untuk setiap kilogram kalori asupan energi.
Kebutuhan energi saat kehamilan rata-rata meningkat 300 kkal/hari, oleh karena
itu ibu hamil memerlukan setidaknya 300 ml asupan air tambahan. Pada
umumnya ibu hamil dianjurkan untuk minum minimal 8-10 gelas air setiap
harinya. hidrasi air pada ibu meningkatkan indeks cairan amnion baik pada
oligohidramnion maupun normoamnion. Fait et al. menunjukkan bahwa 75%
ibu oligohidramnion yang mengkonsumsi air dua liter per hari, memperlihatkan
peningkatan indeks cairan amnion sebesar 50%.
3. Perbaikan nutrisi
4. Pemantauan kesejahteraan janin (hitung pergerakan janin)
5. Pemeriksaan USG yang umum dari volume cairan amnion
12
Etiologi KPD9-11:
1. Infeksi saat kehamilan
Infeksi yang terjadi dapat berasal langsung dari dalam cairan amnion yang ada di
membran maupun secara ascenden dari vagina atau serviks
2. Macrosomia adalah berat badan neonatus > 4000gram kehamilan dengan makrosomia
menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan menyebabkan
tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban, manyebabkan
selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi berkurang,
menimbulkan selaput ketuban mudah pecah. Kehamilan dengan usia kurang dari 20
tahun dan lebih dari 35 tahun
3. KPD pada kehamilan sebelumnya
4. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam, maupun
amniosintesis menyebabkan terdinya KPD karena biasanya disertai infeksi.
5. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul (PAP) yang dapat mengahalangi tekanan terhadap membrane
bagian bawah.
6. Malnutrisi termasuk zat besi dan asam asorbik
7. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
tumor, hidromnion, gemelli
8. Perdarahan pada vagina pada trimester 2 atau 3.
9. Plasenta abruption/solusio

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan;


Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu);
Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4. Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. h. 492-513.
2. Suyono,Lulu,Gita,Harum,Endang. 2007. Hubungan Antara Umur Ibu Hamil Dengan
Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi Surakarta; Dalam: Cermin Dunia
Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238
3. Rufaida, Z. 2017. Proporsi Asfiksia Neonatorum pada Kasus KPD dengan Non KPD di
RSUD dr. Mohamad Soewandhie Surabaya. Jurnal Kebidanan Midwiferia. Vol 2 No 1
4. Blumenfeld Y. J., Lee H. C, Gould J. B., Langen E. S., Jafari A.. El-Sayed Y. Y. 2010.
The Effect of Preterm Premature Rupture of Membranes on Neonatal Mortality Rates.
Obstetrics & Gynecology. 116(6): 1381-1386.
5. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Preeklampsia. Perkumpulan
Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Diakses pada tgl
02 November 2020 https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/
6. Phipps E, Prasanna D, Brima W. 2016. Preeclampsia: Updates In Pathogenesis,
Definitions, and Guidelines. Diakses pada tgl 02 November 2020
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4891761/
7. Espinoza, J. Vidaeff, A. et al. 2020. Gestational Hypertension and Preeclampsia. ACOG
Practice Bulletin Summary. Clinical Management Guidline for Obstetrician-
Gynecologists. Vol 135 No 6
8. Saifuddin A, Rcahimhadhi, T. et al. 2016. Hipertensi Dalam Kehamilan. Ilmu Kebidanan
Sarwono Edisi Keempat. Jakarta
9. POGI (Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia). 2016. “Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini”. Hal 1-23.
10. Cunningham, Leveno, Bloom et al. Preterm Birth Chapter 42. William Obstetric 25th
Edition. 2018.
11. Assefa NE, Berhe Hailemariam, et al. 2016. Risk factors of premature rupture of
membranes in public hospitals at Mekele city, Tigray, a case control study. Ethiopia: BMC
Pregnancy and Chilbirth
12. ACOG Guidelines on Antepartum Fetal Surveillance:
https://www.aafp.org/afp/2000/0901/p1184.html#:~:text=BIOPHYSICAL%20PROFIL,

14
The%20biophysical%20profile&text=Each%20of%20the%20components%20is,4%20or
%20less%20is%20abnormal. (diakses pada 2 November 2020) diakses pada 2 November
2020.
13. Fatmawati, E. Hadiati, D. 2018. Hubungan Asupan Cairan Ibu Hamil Terhadap Indeks
Cairan Amnion. Jurnal Kesehatan Reproduksi. Vol 5 No 2.

15

Anda mungkin juga menyukai