Anda di halaman 1dari 461

LAPORAN TUGAS PENYAKIT DALAM OBSTETRI &

GYNEKOLOGI

Pembimbing:
dr. Moch. Ma’roef, Sp. OG

Oleh:
Kelompok Q32
Muhammad Zulfan R. 201910401011032
Mafida Wida R. 201910401011003
Farah Ibnu Khan 201910401011014
Fadhillah Ainurrohmah H. 201910401011099
Intan Aliyatul Ummah 201910401011090

SMF OBSGYN RSUD DR SOEDOMO TRENGGGALEK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2020
PREEKLAMPSIA

A. Definisi

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang spesifik

pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada

kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit).Meskipun patofisiologi

preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak pada

awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu kegagalan

total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu

kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas

ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan

metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal

yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi

kebutuhan yang makin meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang

tampak secara klinis sebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap

perlu ditinjau kembali.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi

klasik  preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru

hipertensi (didefinisikan sebagai suatu tekanan darah yang

menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya

normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai

protein urine > 300mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih

tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema yang

bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir


dilaporkan bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai

kriteria diagnosis.

B. Epidemiologi

Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibuhamil

nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar antara 4-

18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia beratterjadi 25%.

Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnyakurang dari 34

minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan riwayat

preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal. Pada ibu hamil

primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita preeklampsia

dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya adalah usia ibu hamil

dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa, polihidramnion dan

diabetes.Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya

preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang

mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:

a Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua. Pada

wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada wanita hamil

berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua risiko

lebih tinggi untuk preeklampsia berat.


c. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor risiko

meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait), yang

ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia merupakan

penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada anak wanita dari

ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat preeklampsia/eklampsia dalam

keluarga.

d. Diet/gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian

yang tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang

obese/overweight.

e. Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok

selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin

terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat

baring yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi

dalam kehamilan.

f. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada

kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan

muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada

preeklampsia.

h. Obesitas

Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya

preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada

wanita dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.

i. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda

dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu

karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor

penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan

Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat

mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2

(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

C. Etiologi

Apa yang menjadi penyebab terjadinya preeklampsia hingga saat ini belum

diketahui. Terdapat banyak teori yang ingin menjelaskan tentang penyebab dari

penyakit ini tetapi tidak ada yang memberikan jawaban yang memuaskan. Teori yang

dapat diterima harus dapat menjelaskan tentang mengapa preeklampsia meningkat


prevalensinya pada primigravida, hidramnion, kehamilan ganda dan mola hidatidosa.

Selain itu teori tersebut harus dapat menjelaskan penyebab bertambahnya frekuensi

preeklampsia dengan bertambahnya usia kehamilan, penyebab terjadinya perbaikan

keadaan penderita setelah janin mati dalam kandungan, dan penyebab timbulnya

gejala-gejala seperti hipertensi, edema, proteinuria, kejang dan koma. Banyak teori-

teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya,

oleh karena itu disebut “penyakit teori”. Namun belum ada yang memberikan

jawaban yang memuaskan. Teori sekarang yang dipakai sebagai penyebab

preeklampsia adalah teori “iskemia plasenta”. Teori ini pun belum dapat

menerangkan semua hal yang berkaitan dengan penyakit ini.

Adapun teori-teori tersebut adalah:

1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan

Pada preeklampsia dan eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel

vaskuler, sehingga sekresi vasodilatator prostasiklin oleh sel-sel endotelial plasenta

berkurang, sedangkan pada kehamilan normal, prostasiklin meningkat. Sekresi

tromboksan oleh trombosit bertambah sehingga timbul vasokonstriksi generalisata

dan sekresi aldosteron menurun. Akibat perubahan ini menyebabkan pengurangan

perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi dan penurunan volume plasma.

2. Peran Faktor Imunologis

Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama karena pada kehamilan

pertama terjadi pembentukan blocking antibodies terhadap antigen plasenta tidak

sempurna sehingga timbul respons imun yang tidak menguntungkan terhadap


Histikompatibilitas Plasenta. Pada preeklampsia terjadi kompleks imun humoral

dan aktivasi komplemen. Hal ini dapat diikuti dengan terjadinya pembentukan

proteinuria.

3. Peran Faktor Genetik

Menurut Chesley dan Cooper bahwa Preeklampsia/eklampsia bersifat

diturunkan melalui gen resesif tunggal. Beberapa bukti yang menunjukkan peran

faktor genetik pada kejadian Preeklampsia-Eklampsia antara lain:

a) Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.

b) Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekuensi PreeklampsiaEklampsia

pada anak-anak dari ibu yang menderita Preeklampsia-Eklampsia.

4. Iskemik dari uterus.

Sperof menyatakan bahwa dasar terjadinya Preeklampsia adalah iskemik

uteroplasentar, sehingga terjadi ketidakseimbangan antara massa plasenta yang

meningkat dengan aliran perfusi sirkulasi darah plasenta yang berkurang.

Disfungsi plasenta juga ditemukan pada preeklampsia, sehingga terjadi penurunan

kadar 1 α-25 (OH)2 dan Human Placental Lagtogen (HPL), akibatnya terjadi

penurunan absorpsi kalsium dari saluran cerna. Untuk mempertahankan

penyediaan kalsium pada janin, terjadi perangsangan kelenjar paratiroid yang

mengekskresi paratiroid hormon (PTH) disertai penurunan kadar kalsitonin yang

mengakibatkan peningkatan absorpsi kalsium tulang yang dibawa melalui sirkulasi

ke dalam intra sel. Peningkatan kadar kalsium intra sel mengakibatkan


peningkatan kontraksi pembuluh darah, sehingga terjadi peningkatan tekanan

darah.

Pada preekslampsia terjadi perubahan arus darah di uterus, koriodesidua dan

plasenta adalah patofisiologi yang terpenting pada preeklampsia, dan merupakan

faktor yang menentukan hasil akhir kehamilan. Perubahan aliran darah uterus dan

plasenta menyebabkan terjadi iskemia uteroplasenter, menyebabkan

ketidakseimbangan antara massa plasenta yang meningkat dengan aliran perfusi

darah sirkulasi yang berkurang. Selain itu hipoperfusi uterus menjadi rangsangan

produksi renin di uteroplasenta, yang mengakibatkan vasokonstriksi vaskular

daerah itu. Renin juga meningkatkan kepekaan vaskular terhadap zat-zat

vasokonstriktor lain (angiotensin, aldosteron) sehingga terjadi tonus pembuluh

darah yang lebih tinggi. Oleh karena gangguan sirkulasi uteroplasenter ini, terjadi

penurunan suplai oksigen dan nutrisi ke janin. Akibatnya terjadi gangguan

pertumbuhan janin sampai hipoksia dan kematian janin.

5. Disfungsi dan aktivasi dari endotelial.

Kerusakan sel endotel vaskuler maternal memiliki peranan penting dalam

pathogenesis terjadinya preeklampsia. Fibronektin dilepaskan oleh sel endotel

yang mengalami kerusakan dan meningkat secara signifikan dalam darah wanita

hamil dengan preeklampsia. Kenaikan kadar fibronektin sudah dimulai pada

trimester pertama kehamilan dan kadar fibronektin akan meningkat sesuai dengan

kemajuan kehamilan.
Jika endotel mengalami gangguan oleh berbagai hal seperti shear stress

hemodinamik, stress oksidatif maupun paparan dengan sitokin inflamasi dan

hiperkolesterolemia, maka fungsi pengatur menjadi abnormal dan disebut

disfungsi endotel. Pada keadaan ini terjadi ketidakseimbangan substansi vasoaktif

sehingga dapat terjadi hipertensi. Disfungsi endotel juga menyebabkan

permeabilitas vaskular meningkat sehingga menyebabkan edema dan proteinuria.

Jika terjadi disfungsi endotel maka pada permukaan endotel akan diekspresikan

molekul adhesi. seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan

intercellular cell adhesion molecule-1 (ICAM-1). Peningkatan kadar soluble

VCAM-1 ditemukan dalam supernatant kultur sel endotel yang diinkubasi dengan

serum penderita preeklampsia, tetapi tidak dijumpai peningkatan molekul adhesi

lain seperti ICAM-1 dan E-selektin. Oleh karena itu diduga VCAM-1 mempunyai

peranan pada preeklampsia.

Namun belum diketahui apakah tingginya kadar sVCAM-1 dalam serum

mempunyai hubungan dengan beratnya penyakit. Disfungsi endotel juga

mengakibatkan permukaan non trombogenik berubah menjadi trombogenik,

sehingga bisa terjadi aktivasi koagulasi. Sebagai petanda aktivasi koagulasi dapat

diperiksa D-dimer, kompleks trombin-antitrombin, fragmen protrombin 1 dan 2

atau fibrin monomer.

D. Patofisiologi

Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler


Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan

pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif

(vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada

kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi

penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang

mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap

rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.

2. Hipovolemia Intravaskuler

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai

45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga

mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan

hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada

jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi

gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan.

Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi

janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat

(Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.

3. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac

output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan

dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahanbahan


vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan

cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada

sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakan suatu

sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi

vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.

Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa

preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang

menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat

nekrosis berbagai organ.Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan

sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah

ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa

merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos

pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan

menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan

mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin,

tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,

prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan

pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen darah

termasuk platelet dan fibrinogen.

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada

fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas

efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara

simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap
perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,

serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena

penurunan perfusi uteroplasenta.

E. Manifestasi Klinis

Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.

Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat

endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar

ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau

perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut

hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.

Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien hipertensi

dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien preeklampsia, aliran

darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam batas normal. Pemakaian

oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.(2)Perubahan Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia

dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan

peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara nyata

dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia kehamilan atau yang

secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid intravena, dan

aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang ektravaskular terutama paru.(4)


Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau menyeluruh

pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri

retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan

berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Pada preeklampsia

dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler dan merupakan

indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina ini biasanya disertai

kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan 15 wanita dengan

preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan yang dikemukakan oleh

Cunningham.

Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh

perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam retina.

Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia dan

merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh kardiogenik

ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada beberapa kasus

terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan cairan yang sangat

banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan tekanan onkotik koloid

plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai pengganti darah yang

hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.


Hati

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali serum

disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk , dengan menggunakan sonografi

Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri hepatika.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan

besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada lesi

ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul hepar dan

membentuk hematom subkapsular.

Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus meningkat

cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan filtrasi glomerulus

menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia, glomeruloendoteliosis, adalah

pembengkakan dari kapiler endotel glomerular yang menyebabkan penurunan perfusi

dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam urat plasma biasanya meningkat, terutama

pada wanita dengan penyakit berat.

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat berkurangnya volume

plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali lipat dibandingkan dengan

kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun pada beberapa kasus
preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan kreatinin plasma dapat

meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak hamil atau berkisar hingga

2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh perubahan intrinsik ginjal

yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang dikemukakan oleh Pritchard (1984)

dalam Cunningham (2005).

Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan

retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan bahwa

preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin karena

meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat reabsorpsi

meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus. Penurunan filtrasi

glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan filtrasi natrium melalui

glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam dan juga retensi air.

Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat proteinuria.

Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita mungkin sudah

melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994) menekankan bahwa yang

diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau

lebih dengan dipstick memperkirakan minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam

pada 92% kasus. Sebaliknya, proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki

nilai prediktif negatif hanya 34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau

+4 hanya bersifat prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.

Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas terhadap

sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi Filtrasi yang

menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun, bahkan pada
keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria. Lee (1987) dalam

Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel normal pada tujuh

wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria dan menyimpulkan

bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.

Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,

globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh

glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya proses

glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi kemudian

direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan destruksi

eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut Baker (1999)

dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan yang sangat sering,

biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan pada 15-20% pasien.

Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien preeklampsia dibandingkan

dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level fibrinogen yang rendah pada

pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan terlepasnya plasenta sebelum

waktunya (placental abruption).

Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan

terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,

peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi

peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke

normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa

menetap selama seminggu.

Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi, sekresi

renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses penghasilan

aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam darah.

Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida natriuretik

atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan meningkatnya

curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada normotensif

maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya resistensi vaskular

perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum diketahui

penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang intravaskuler ke

ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan hematokrit, peningkatan

protein serum, edema yang dapat menyebabkan berkurangnya volume plasma,

viskositas darah meningkat dan waktu peredaran darah tepi meningkat. Hal tersebut

mengakibatkan aliran darah ke jaringan berkurang dan terjadi hipoksia.


Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak

dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya

penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal tidak

mengalami perubahan.

Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi plasenta.

Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada hipertensi

yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat kurangnya

oksigenisasi untuk janin.

Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering

terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus prematurus

pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua masalah, yaitu arteri

spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat mempertahankan struktur

muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang pada segmen miometrium dari

arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis arteriopati pada ujung-ujung plasenta

yang mirip dengan lesi pada hipertensi malignan. Atheroma akut juga dapat

menyebabkan penyempitan kaliber dari lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi

pengangkatan lengkap dari pembuluh darah yang bertanggung jawab terhadap

terjadinya infark plasenta.


F. Klasifikasi

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia

Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and

Gynecologists, yaitu:

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

• Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,

atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan

dengan riwayat tekanan darah normal.

• Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam

atau kualitatif 1+ atau 2+ pada urine kateter atau

midstream.

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

• Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.

• Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.

• Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5

cc/kgBB/jam.

• Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di

epigastrium.

• Terdapat edema paru dan sianosis

• Hemolisis mikroangiopatik

• Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat)

• Gangguan fungsi hati.


• Pertumbuhan janin terhambat.

• Sindrom HELLP.

G. Diagnosis

Gejala subjektif

Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,

penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntahmuntah. Gejala-

gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan merupakan

petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia). Tekanan darah pun

akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah meningkat.

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan

sistolik 30 mmHg dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah

meningkat ≥ 140/90 mmHg pada preeklampsia ringan dan ≥

160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita juga

akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan

kesadaran, hipertensi ensefalopati, hiperefleksia, sampai

tanda-tanda pendarahan otak.

Penemuan Laboratorium

Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan

laboratorium penderita preeklampsia yaitu ditemukannya


protein pada urine. Pada penderita preeklampsia ringan

kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24

jam atau secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter

atau midstream. Sementara pada preeklampsia berat kadanya

mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara

kualitatif ≥ +3.

Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat

hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi benang

fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat diatas 6

mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada preeklampsia

berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat dehidrogenase bisa

sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan elektrolit pada pasien

preeklampsia biasanya dalam batas normal,

H. Penatalaksanaan

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin

dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta mencegah

gangguan fungsi organ vital.

1.Preeklampsia Ringan

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan


aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada

ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga

bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan

volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan

kejadian edema. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi

glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan

ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi

vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah

rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam

rahim.

Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi

ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti

fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang

mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.

Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi

pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila

komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan

yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah

karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan

obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan

laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.Apabila

preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka dalam

hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.


Rawat inap

Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di

rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria

selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia

berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan

Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion.

Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan

bagian mata, jantung dan lain lain.

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan

antara 22 minggu sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan

preterm (<37 minggu) bila tekanan darah mencapai normal,

selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.

Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu),

persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau

dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada

taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan

secara spontan, bila perlu memperpendek kala II.


2.Preeklampsia Berat

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk

mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah

diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada

neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta

baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada

saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit

organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti

diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,

gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu

dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran tekanan

darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.

Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia

ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu

pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya ialah

manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan

hemodinamika sudah stabil.

Medikamentosa
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting

pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia

dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan

oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang

sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,

vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik

koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input

cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi

sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah

cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda

edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat

berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam

atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer

laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.

Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi

bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan

antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat

menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup

protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

Pemberian obat antikejang


MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding

fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897

penderita eklampsia.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium

sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar

kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat.

Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk antikejang

pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)

selama 15 menit

- Maintenance dose : Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau

diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram im

tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit

- Refleks patella (+) kuat


- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24

jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium

sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari

pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau

fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin

sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan

otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium

diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50

mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.

Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paruparu,

payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.

Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,


memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,

memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang

penentuan batas (cut off) tekanan darah, untuk pemberian

antihipertensi. Misalnya Belfort mengusulkan cut off yang

dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126 mmHg.

Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah

pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik

≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan

darah diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25%

dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan

mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi

yang diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang

harus dihindari secara mutlak yakni pemberian diazokside,

ketanserin dan nimodipin.

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin

(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada

arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,

sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah

labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat

antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin


(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan

dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama

- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120 mg

dalam 24 jam

Antihipertensi lini kedua

- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg iv/kg/5

menit.

- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah

jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat

kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat

menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan ibu.

Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan pada

sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap

terhadap kehamilannya dibagi menjadi:


1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan

pemberian medikamentosa.

2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan

dengan pemberian medikamentosa.

Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan

preterm ≤ 37 minggu tanpa disertai tanda –tanda impending

eklampsia dengan keadaan janin baik. Diberi pengobatan

yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada

pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif,

sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan

evaluasi sama seperti perawatan aktif, kehamilan tidak

diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah

mencapai tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-

lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelaah 24 jam tidak

ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan

pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi.

Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke

gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.

Perawatan aktif

Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah

ini, yaitu:
Ibu

1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan

laboratorik memburuk

4. Diduga terjadi solusio plasenta

5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin

1. Adanya tanda-tanda fetal distress

2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction

3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorium

1.Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit

dengan cepat

Referensi

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.

Universitas Sriwijaya. 2002

2. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.

Sumatera Utara. FK USU. 2009


3. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas Jendral

Sudirman. 2011

4. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi

Preeklampsia. Maluku. Universitas Pattimura. 2009

5. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.

Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005

6. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at may, 17 2012)(update on

2005). Available From http://www.scribd.com

7. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007

8. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam Kehamilan.

Jakarta. PT Bina Pustaka. 2012. Hal : 542-50\

9. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp, Intra

Uterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil Preterm

BelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

EKLAMPSIA
1. Definisi

Eklampsia merupakan keadaan dimana ditemukan serangan kejang tiba- tiba

yang dapat disusul dengan koma pada wanita hamil, persalinan atau masa nifas yang

menunjukan gejala preeklampsia sebelumnya. Kejang disini bersifat grand mal dan

bukan diakibatkan oleh kelainan neurologis.3,4

2. Etiologi

1. Primigravida atau nullipara, terutama pada umur reproduksi ekstrem, yaitu 16

tahun dan umur 35 tahun ke atas

2. Multigravida dengan kondisi klinis:

- Kehamilan ganda dan hidrops fetalis.

- Penyakit vaskuler termasuk hipertensi esensial kronik dan diabetes

mellitus.

- Penyakit-penyakit ginjal.

3. Hiperplasentosis Molahidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi

besar,diabetes mellitus.

4. Riwayat keluarga pernah pre-eklamsia atau eklamsia.

5. Obesitas dan hidramnion.

6. Gizi yang kurang dan anemi.

7. Kasus-kasus dengan kadar asam urat yang tinggi, defisiensi kalsium,

defisiensi asam lemak tidak jenuh, kurang antioksidans.


3. Diagnosis dan Gambaran Klinik Eklampsia

Seluruh kejang eklampsia didahului dengan preeklampsia.Preeklampsia dibagi

menjdai ringan dan berat. Penyakit digolongkan berat bila ada satu atau lebih tanda

dibawah ini :

1. Tekanan sistolik 160 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik 110 mmHg

atau lebih.

2. Proteinuria 5 gr atau lebih dalam24 jam; 3+ atau 4+ pada pemetiksaan

kualitatif

3. Oliguria, diuresis 400 ml atau kurang dalam 24 jam

4. Keluhan serebral, gangguan penglihatan atau nyeri di daerah epigastrium

5. Edema paru atau sianosis. Pada umumnya serangan kejang didahului

dengan memburuknya preeklampsia dan terjadinya gejala-gejala nyeri

kepala di daerah frontal, gangguan penglihatan, mual keras, nyeri di daerah

epigastrium, dan hiperrefleksia.

4. Etiologi, Patofisiologi Eklampsia dan Hipertensi dalam Kehamilan

1) Genetik

2) Iskemia Plasenta Pada kehamilan normal

3) Prostasiklin-tromboksan

4) Imunologis
Managemen umum

✔ Jika tekanan diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi sampai tekanan

diastolik antara 90-100 mmHg

✔ Pasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar no.16 atau lebih

✔ Ukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload

✔ Kateterisasi urin untuk pengukuran volume dan pemeriksaan proteinuria.

Infus cairan dipertahankan 1.5 - 2 liter/24 jam

✔ Jangan tinggalkan pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat

mengakibatkan kematian ibu dan janin

✔  Observasi tanda vital, refleks dan denyut jantung janin setiap 1 jam

Auskultasi paru untuk mencari tanda edema paru. Adanya krepitasi


merupakan tanda adanya edema paru. Jika ada edema paru, hentikan

pemberian cairan dan berikan diuretik (mis. Furosemide 40 mg IV)

✔ Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan. Jika pembekuan tidak

terjadi setelah 7 menit, kemungkinan terdapat koagulopati

Anti konvulsan

1.

2. Komplikasi:

1) Edema paru

2) perdarahan otak yang hebat.

3) Ablasio retina, yaitu lepasnya retina yang ringan sampai berat.


4) Psikosis

5) sindroma HELLP.

DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka.

2. Lindheimer MD., Taler SJ, Cunningham FG. `2014. Hipertension in

pregnancy. In: Journal of the American Society of Hypertension.

3. Rambulangi J, Ong T. Preeklampsia dan Eklampsia. In: Rangkuman Protap

Obgyn Unhas.

4. Galan, H. et al.  Obstetrics Normal and Problem Pregnancies. USA: Elsevier.

2014

5. JNPK-KR. Buku Acuan Pelatihan Klinik Pelayanan Obstetri Emergensi

Dasar. Jakarta. 2015

6. Pokharel SM, Chattopadhyay SK. HELLP Syndrome – a pregnancy disorder

with poor diagnosis. 2014

7. Greer IA, Walters B, Nelson C. Maternal Medicine. London: Elsevier. 2012


JANIN TUMBUH LAMBAT

1. Definisi

IUGR (intrauterine growth retardation), yaitu gangguan pertumbuhan

pada janin dan bayi baru lahir yang meliputi semua parameter (lingkar kepala,

berat badan, panjang badan). Bayi yang beratnya dibawah 10 persentil untuk usia

gestasionalnya. Bayi-bayi antara persentil 10 dan 90 diklasifikasikan sebagai

kelompok dengan berat sesuai usia gestasional.

2. Faktor Resiko

Ada beberapa penyebab dari terjadinya IUGR. Beberapa bayi lahir kecil

karena adanya faktor genetik, tetapi kebanyakan bayi dengan IUGR desebabkan

oleh beberapa hal:

● Tingginya tekanan darah ibu (Eklampsi, Preeklampsi)


● Diabetes

● Penyakit ginjal pada ibu

● Infeksi

● Malnutrisi atau gangguan pola makan

● Anemia

● Rokok,obat,alkohol

● Kelainan plasenta dan tali pusat

● Multiple gestation

● Malformasi janin.

3. Klasifikasi.

Retardasi pertumbuhan janin dibagi menjadi 2 tipe klinis: tipe I atau

tipe simetris dan tipe II atau tipe asimetris. Kedua tipe ini kemungkinan terjadi

akibat perbedaan saat mula timbul dan lama kejadian yang menyebabkan

pertumbuhan tersebut mengalami retardasi. Winick (1971) mengemukakan tiga

fase pertumbuhan seluler dalam plasenta dan janin. Fase pertama terdiri dari

peningkatan jumlah sel (hiperplasi), fase kedua adalah peningkatan jumlah dan

ukuran sel (hiperplasia dan hipertrofi) dan fase ketiga hipertofi lebih lanjut.

Tipe I (simetris)

Retardasi pertumbuhan yang simetris, kemungkinan terjadi akibat cedera

toksik yang sangat dini, yaitu pada saat pertumbuhan janin terutama berasal dari

hipoplasia. Karakteristik dari tipe simetris ini adanya pertumbuhan kepala, badan

dan ekstremitas yang tidak adekuat, dan biasanya terjadi pada 25% kasus IUGR.
Paling sering disebabkan kelainan struktur dan kromosom atau infeksi kongenital

dini seperti Rubella.

Tipe II (Asimetris)

Retardasi pertumbuhan yang asimetris, atau tipe II,paling sering terjadi

akibat efek yang merugikan pada fase hipertrofi seluler yaitu fase yang terdapat

kemudian dalam kehamilan. Jadi, mayoritas janin dengan retardasi pertumbuhan

yang asimetris akan mempunyai jumlah sel yang sesuai tetapi berukuran lebih

kecil dari normalnya. Cedera janin pada saat ini diperkirakan akan menimbulkan

kerusakan yang sama beratnya seperti gangguan yang terjadi dini pada kehamilan,

dan keadaan ini benar-benar terlihat secara klinis.

Penyebab retardasi pertumbuhan yang asimetris tidak dapat dijelaskan

hanya dengan penguragan ukuran sel; keadaan ini kemungkinan pula merupakan

penyebab dari penyelamatan sel-sel tertentu, misalnya sel-sel pada sistem saraf

pusat. Proses patologis yang paling sering mengakibatkan retardasi pertumbuhan

asimetris adalah penyakit maternal yang bersifat ekstrinsikbagi janin. Penyakit-

penyakit ini dapat mengubah ukuran janin dengan mengurangi airan darah

uteroplasenta sebagaimana pada penyakit hipertensi, atau dengan membatasi

pengangkutan oksigen serta nutrien sebagaimana mungkin terjadi pada pemyakit

sel sabit, atau dengan berkurangnya ukuran plasenta pada keadaan infark.

Kombinasi semua kejadian tersebu dapat terlihat pada janin kembar ketika suplai
darah dan ukuran plasenta kedua-duanya berkurang setelah kehamilan mencapai

stadium lanjut akibat ”penggunaan bersama”.

Semua perubahan dalam aliran darah uteroplasenta danpengangkutan

oksigen serta nutrien berlangsung dalam suatu periode yang panjang, yang

memungkinkan janin untuk beradaptasi dengan mengarahkan kembali aliran

darahnya ke dalam otak untuk mengurangi aliran darah ke organ-organ visceral

seperti hati serta ginjal. Mekanisme kompensatorik ini dapat menghasilkan

pertumbuhan kepala yang normal atau penyelamatan otak; tetapi, hati dan organ-

organ viseral lainnya termasuk intestinum, suplai darahnya berkurang sehingga

tedapat hati dan lingkaran abdomen yang lebih kecil akibat bekurangnya

simpanan glikogen dalam hati. Berkurangnya alirandarah intestinal juga dapat

menjadi faktor yang turut menyebabkan terjadinya enterokolitis nekrotikan.


Tipe intermediate (Kombinasi simetrik dan asimetrik)

Tipe retardasi pertumbuhan kombinasi sering merupakan akibat dari

kombinasi efek maternal dan fetal di samping saat mula timbul dan lama cedera.

a. Obat-obatan teratogenik

Contoh: tembakau, narkotika yang akan menurunkan masukan makanan ibu

dan jumlah sel janin, alcohol, antikonvulsan

b. Malnutrisi berat

4. Gejala klinik

Gejala klinik yang spesifik tidak ada. Biasanya IUGR diketahui setelah

diadakan pemeriksaan. Pada IUGR simetris terdapat pertumbuhan kepala dan

tubuh yang tidak cukup, rasio lingkar kepala dan lingkar perut mungkin normal

tapi laju pertumbuhan mutlak menurun.

Pada IUGR asimetris biasanya terjadi di akhir kehamilan. Otak akan

terhindar, sehingga ukuran kepala lebih besar daripada ukuran perut. Baik IUGR

simetris maupun asimetris mengakibatkan janin kecil untuk masa kehamilan,

biasanya plasenta kecil dan jumlah cairan amnion berkurang.


5. Diagnosa

Salah satu dari pemeriksaan yang paling efektif dalam mendiagnosis

IUGR adalah evaluasi sonografik pada parameter janin.

Penilaian sonografik yang lebih menyeluruh harus dilakukan bila:

a. tinggi fundus uteri berkurang lebih dari 2 cm dibanding umur gestasi yang

sudah ditegakkan dengan baik

b. ibu menghadapi keadaan yang beresiko tinggi seperti hipertensi kronis,

penyakit ginjal kronis, diabetes, preeklamsia/eklamsia, infeksi, kebiasaan

merokok atau minum minuman beralkohol, dan adanya kelainan autoimmune.

Dan penilaian sonografik dilakukan terutama melalui serangkaian penetapan

enam parameter berikut :

a. diameter biparietal janin (DBP)

b. lingkar kepala

c. lingkar perut

d. rasio kepala terhadap tubuh

e. panjang femur

f. perhitungan berat janin

Pemeriksaan Klinis

1. Berat badan/tinggi badan ibu

2. Tekanan darah

3. Denyut nadi
4. Pemeriksaan sistemik

5. IPPA

6. Pengukuran tinggi fundus uteri dibanding estimasi umur janin

Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan gula darah → bila ada indikasi diabetes mellitus

2. Screening penyakit infeksi → waspada infeksi TORCH, Syphilis

3. Pengukuran kadar enzim transaminase → waspada Hepatitis B dan C

Pemeriksaan Penunjang

1. USG, untuk mengetahui:

- Perbandingan perkembangan kepala dengan abdomen

- Perbandingan biparietal

2. Doppler untuk DJJ

6. Diagnosis banding

Janin kecil pada ibu yang ukuran tubuhnya kecil pula. Wanita yang

tubuhnya kecil secara khas akan memiliki bayi yang berukuran kecil pula. Jika wanita

itu memulai kehamilannya dengan berat badan kurang dari 100 pound. Resiko

melahirkan bayi yang kecil menurut usia gestasionalnya akan meningkat paling tidak

dengan sebanyak dua kali lipat (Eastman dan Jackson,1986;Simpson dkk.,1975).

Pada wanita yang kecil dengan ukuran panggul yang kecil, kelahiran bayi yang kecil
dengan berat lahir yang secara genetic dibawah berat lahir rata-rata untuk masyarakat

umum, tidak selalu merupakan kejadian yang tidak dikehendaki.

Penatalaksanaan

Tatalaksana tergantung dari berat ringannya dari keterbelakangan

pertumbuhan dalam rahim(IUGR) dan seberapa cepat masalah ini dimulai pada

kehamilan. Pada umumnya, semakin cepat dan semakin berat dari keterbelakangan

pertumbuhan dalam rahim (IUGR) itu terjadi, maka resiko yang dihadapi akan

semakin besar pada janinnya. Monitoring yang teliti terhadap janin dengan IUGR dan

test yang terus menerus akan sangat dibutuhkan.

Di bawah ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui adanya

masalah yang potensial pada IUGR :

⮚ Fetal movement counting

o Melihat gerakan dan tendangan dari fetus. Perubahan jumlah atau

frekuensi dapat berarti bahwa fetus sedang berada dalam tekanan.

⮚ Nonstress testing (NST) / Uji nonstress

o Melihat detik jantung dari fetus yang meningkat saat fetus melakukan

gerakan, yang merupakan gambaran dari kesehatan atau kesejahteraan

dari fetus.

⮚ Biophysical profile / Profil biofisik


o Test yang merupakan kombinasi dari The nonstress test dan

Ultrasound, untuk mengevaluasi kesejahteraan atau kesehatan dari

fetus.

⮚ Ultrasound

o Sebuah tekhnik diagnostic imaging dimana menggunakan gelombang

suara frekuensi tinggi dan computer untuk membuat gambaran tentang

pembuluh darah, jaringan, dan organ. Ultrasound digunakan untuk

melihat organ dalam sesuai fungsinya, dan untuk menilai aliran darah

melalui berbagai pembuluh darah. Ultrasound juga digunakan untuk

mengikuti dari pertumbuhan fetus.

o Serial ultrasound juga penting dilakukan untuk melihat progresivitas

dan berat atau ringannya dari IUGR.

⮚ Doppler flow studies

o Salah satu type dari ultrasound yang menggunakan gelombang suara

untuk menilai rasio sistolik terhadap diastolic arteri umbilicalis.

⮚ Ocytocin Challenge Test (OCT) / Uji tantangan oxytocin

- Pada IUGR yang ringan, pengujian setiap minggu diindikasikan.

- Pada IUGR yang sedang, pengujian dua kali setiap minggu diindikasikan.

✔ Kalau NST reaktif atau OCT negative dan volume cairan amnion memadai,

kehamilan harus dibiarkan berlanjut, karena tidak ada data untuk menyokong
kelahiran dini dari bayi ini dengan tidak adanya bukti gawat janin. Rangkaian

penilaian ultrasonic untuk pertumbuhan janin harus dilakukan tiga kali

seminggu.

✔ Kalau NST menjadi nonreaktif disertai dengan OCT yang positif dan terdapat

paru-paru janin yang matang, penghentian kehamilan diperlukan.

7. Pengobatan

⮚ Sebelum Kehamilan :

Yang paling penting adalah memperkirakan resiko yang dapat terjadi sebelum

wanita menjadi hamil.

Perbaikan nutrisi dan berhenti merokok adalah dua pendekatan yang pasti

memperbaiki pertumbuhan janin pada wanita yang terlalu kurus atau yang

merokok atau keduanya.

Aspirin dosis rendah (81 mg/hr) pada kehamilan dini dapat mengurangi

kemungkinan berulangnya IUGR pada wanita yang antibody fosfolipidnya

berhubungan dengan kelahiran dari bayi penderita IUGR sebelumnya.

⮚ Antepartum :

Karena tidak memungkinkan untuk meniadakan IUGR, maka ada beberapa

terapi yang dapat membantu untuk memperlambat progresivitas atau

meminimalkan efeknya.

Terapi spesifik untuk IUGR didasarkan pada :

1. Kehamilan, kesehatan secara keseluruhan, dan riwayat pengobatan


2. Tingkat dari penyakit

3. Toleransi terhadap pengobatan yang spesifik, prosedur atau terapi

4. Perjalanan penyakit

Yang termasuk dalam terapinya :

1. Nutrisi

Dengan meningkatkan nutrisi dari si ibu, maka akan meningkatkan berat

badan lahir dan pertumbuhan fetus

2. Merokok

Karena merokok mempengaruhi berat lahir pada setengah kehamilan,

maka penghentian merokok dapat mempunyai suatu dampak positif

3. Bed rest

Istirahat di rumah sakit atau di rumah pada posisi lateral kiri dapat

membantu memperbaiki sirkulasi dari fetus dengan meningkatkan aliran

darah rahim dan mempunyai potensi untuk memperbaiki nutrisi janin

yang menghadapi resiko

4. Persalinan

Jika IUGR membahayakan atau mengancam kesehatan dari fetus, maka

mempercepat kelahiran akan dibutuhkan

8. Prevensi

IUGR tetap dapat terjadi walaupun si ibu sedang dalam kondisi

kesehatan yang baik. Bagaimanapun, beberapa factor dapat meningkatkan resiko


dari IUGR, seperti merokok dan nutrisi maternal yang buruk. Dengan

menghindari gaya hidup yang buruk(membahayakan untuk kesehatan),

mengkonsumsi makanan yang sehat, dan mendapatkan pelayanan prenatal dapat

membantu menurunkan resiko dari IUGR. Deteksi dini juga dapat membantu

terapi dan hasilnya.

9. Prognosis

✔ Pada IUGR tipeI (simetris) → pertumbuhan bayi lambat sesudah kelahiran

✔ Pada IUGR tipe II (asimetris) → akan mengejar ketertinggalan pertumbuhan

sesudah kelahiran

✔ Untuk perkembangan kognitif dan neurology akan berjalan lebih baik daripada

perkembangan somatik

✔ Resiko berulangnya IUGR meningkat pada wanita dengan lingkungan

sosioekonomi yang rendah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric

patologi edisi ke 2. Jakarta: EGC.

2. Wikojosastro, Hanifa. 2005. Ilmu Kandungan Edisi ke2 Cetakan ke4. Jakarta:

YBB-SP

3. Cunningham, Gary. 1995. Obstetri Williams edisi ke 18. Jakarta: EGC

Anonymous,2007.http://www.medicastore.com/med/detail_pyk.php?

id=&iddtl=398&idktg=19&idobat=&UID=20080222191500125.164.203.26
TORSI DAN RUPTUR KISTA

1. Definisi

Kista ovarium adalah sebuah kantung yang berisi cairan atau material semiliquid

yang timbul pada ovarium. 1

2. Epidemiologi

Kista ovarium dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih sering ditemukan pada

wanita usia reproduktif dibandingkan wanita menopause. Kista ovarium ditemukan

pada pemeriksaan transvaginal sonogram hampir pada semua wanita usia produktif

dan hanya 18% ditemukan pada wanita postmenopause. Menurut penelitian, angka

kejadian pada usia 30-54 tahun sangat tinggi pada wanita berkulit putih. 1

a. Tipe Kista

Gambar : Tipe kista


b. Kegawatan Kista Ovarium

1. Torsi Kista Ovarium

1.1 Definisi

Torsi kista ovarium juga disebut sebagai rotasi aksial. Torsi adnexa

merupakan kegawatan bedah ginekologi kelima tersering, dengan prevalensi sekitar 3

%. 2

1.2 Patofisiologi

Faktor pencetus terjadinya torsi kista adalah gerakan berpilin mendadak dari

batang kista. Sekalinya terjadi, proses torsi akan menyebabkan tertekannya pembuluh

darah. Ketika vena tertekan, akan terjadi hambatan. Obstruksi limfatik akan

menyebabkan edema. Hal ini diikuti dengan perdarahan intersisial. Hal ini akan

menyebabkan nyeri yang hebat pada perut. 2

1.3 Diagnosis

Anamnesis

Biasanya pasien tidak menyadari bahwa terdapat kista. Pasien akan

mengeluhkan nyeri perut hebat. Sebelumnya terdapat riwayat nyeri perut yang

intermitten. Gejala busa diikuti dengan mual, muntah dan tanda bladder & bowel

irritability, atau perdarahan vagina. 2

Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, tetapi tanda-tanda vital lain

biasanya dalam batas normal. Pada saat pemeriksaan abdomen didapatkan distensi

pada palpasi. Dapat terasa massa pada pelvis. Pada pemeriksaan pelvis, didapatkan

massa adnexa yang teraba lunak. Untuk memastikan kista ovarium, harus dilakukan

palpasi bagian pole bawah melalui fornix. 2

Pemeriksaan Penunjang 2

- Laboratorium: leukosiyosis biasanya ditemukan pada pasiren dengan torsi

kista

- Tes kehamilan: untuk menyingkirkan diagnosis banding kehamilan ektopik

- USG: terlihat adanya nassa kistik pada adnexa dan terdapat torsi pada bagian

batangnya.

- Colour Doppler: untuk melihat adanya penurunan aliran darah menuju

ovarium

1.4 Diagnosis Banding 2

- Kehamilan ektopik

- Acute Pelvis Inflamatory Disease

- Ruptur kista ovarium

1.5 Penatalaksanaan

Ketika diagnosis ditegakkan, pasien membutuhkan pembedahan segera untuk

mempertahankan fungsi ovarium. Pada beberapa tahun yang lalu, laparoskopi

merupakan satu-satunya penanganan pada kasus ini, akan tetapi dengan

perkembangan endoskopi, laparoskopi hanya sebagai alat untuk tumor ovarium. 2

2. Ruptur kista Ovarium


2.1 Definisi

Ruptur kista akan terjadi jika dinding kista rusak oleh degenerasi iskemik

sebelumnya atau jika terdapat keganasan. 2

2.2 Patofisiologi

Ruptur spontan kista akan menyebabkan cairan pseudomusin masuk ke

rongga peritoneal. Pada kebanyakan kasus, tidak didapatkan efek samping yang

serius, akan tetapi walaupun jarang terjadi, koagulasi material pseudomusin

menyebabkan adhesi pada omentum dan usus sehingga menyebabkan psudomyxoma

peritonei. Faktor eksternal seperti trauma, pemeriksaan pelvis, koitus atau persalinan

juga dapat menyebabkan ruptur kista. 2

2.3 Diagnosis

Anamnesis

Pasien biasanya mengeluh nyeri perut akut, disertai dengan keluhan seperti

perdarahan vagina, mual dan/ atau muntah, lemah, sinkop. 3

Pemeriksaan Fisik

Karena kehilangan darah minimal, jarang didapatkan hippovolemi dan tanda-tanda

vital lain biasanya dalam batas normal. Iritasi peritoneum karena bocornya cairan

kista dapat menyebabkan tanda-tanda seperti nyeri tekan perut, distensi abdomen, dan

hipoperistaltik. 2,3

Pemeriksaan Penunjang 3

- Laboratorium: leukositosis

- Tes kehamilan: untuk menyingkirkan dugaan kehamilan ektopik

- USG: adanya cairan bebas di rongga peritoneum


- Culdocentesis: dilakukan jika USG tidak dapat dilakukan

2.4 Diagnosis Banding 3

- Kehamilan ektopik

- Ruptur kista ovarium

2.5 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan adalah membersihkan rongga peritoneal dari cairan

kista diikuti dengan pengangkatan kista. Pada pasien yang terdiagnosis dini,

dianjurkan untuk laparoskopi. Pada kasus yang terlambat datang, dimana terdapat

resiko adhesi pada usus, disarankan laparotomi. Setelah pengangkatan isi kista,

dilanjutkan dengan pencucian rongga peritoneum hingga bersih. 2

2.6 Prognosis

Prognosis pseudomyxoma peritonei buruk, walaupun kista sudah diambil. 2


DAFTAR PUSTAKA

1. Grabosch S.M. 2016. Ovarian Cysts. (16/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/255865-overview#showall

2. Mishra J. 2013. Accident to Ovarian Cysts. Journal of Universal College Of

Medical Science, Vol 1, No.02. (11/03/2019), available at:

http://www.nepjol.info/index.php/JUCMS/article/download/8412/6822.

3. Webb N. 2017. Ovarian Cysts Rupture. (11/03/2019), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/253620-overview#showall
MASTITIS

1. Definisi Mastitis

Mastitis adalah peradangan payudara, yang dapat disertai atau tidak disertai

infeksi. Penyakit ini biasanya menyertai laktasi, sehingga disebut juga mastitis

laktasional atau mastitis puerperalis. Mastitis laktasi dapat terjadi ketika bakteri

memasuki payudara sementara menyusui. Puting susu dapat menjadi retak atau sakit

akibat menyusui. Hal ini dapat terjadi bila posisi bayi pada saat menyusui tidak

sesuai. Mastitis dapat mempengaruhi satu atau kedua payudara.7

Mastitis nonlaktasi disebabkan oleh infeksi pada kulit sekitar areola dan

puting. Penanganan mastitis karena infeksi yang tidak adekuat atau lambat

menyebabkan kerusakan jaringan payudara yang lebih luas atau terjadinya abses.

Abses yang luas dapat mempengaruhi laktasi selanjutnya pada 10% perempuan,

bahkan dapat menghasilkan bentuk payudara yang tidak baik atau kehilangan

payudara akibat reseksi payudara atau mastektomi.8

2. Epidemiologi Mastitis

1. Insiden

Mastitis dan abses payudara terjadi pada semua populasi, dengan atau tanpa

kebiasaan menyusui. Insiden yang dilaporkan bervariasi dari sedikit sampai 33%

wanita menyusui, tetapi biasanya di bawah 10%.7

2. Mula Timbul

Mastitis paling sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga pasca kelahiran,

dengan sebagian besar laporan menunjukkan bahwa 74% sampai 95% kasus terjadi
dalam 12 minggu pertama. Namun, mastitis dapat terjadi pada setiap tahap laktasi,

termasuk pada tahun kedua. Abses payudara juga paling sering terjadi pada 6 minggu

pertama pasca kelahiran.7

3. Etiologi & Patogenesis Mastitis

Mastitis memiliki dua etiologi utama, yaitu stasis ASI dan infeksi. Stasis ASI

biasanya merupakan penyebab primer, yang dapat disertai atau berkembang menuju

infeksi. Gunther pada tahun 1958 menyimpulkan dari pengamatan klinis bahwa

mastitis diakibatkan oleh stagnansi ASI di dalam payudara, dan bahwa pengeluaran

ASI yang efisien dapat mencegah keadaan tersebut. Ia menyatakan bahwa infeksi,

bila terjadi, bukan primer, tetapi diakibatkan oleh stagnansi ASI sebagai media

pertumbuhan bakteri. Berikut ini keterangan mengenai 2 penyebab utama mastitis :

a. Stasis ASI

Stasis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari

payudara. Hal ini dapat terjadi bila payudara terbendung segera setelah

melahirkan atau saat bayi tidak mengisap ASI, yang dihasilkan oleh sebagian

atau seluruh payudara. Penyebabnya termasuk pengisapan bayi yang buruk

pada payudara, pengisapan yang tidak efektif, pembatasan frekuensi atau

durasi menyusui dan sumbatan pada saluran ASI. Situasi lain yang

mempengaruhi predisposisi terhadap stasis ASI, termasuk suplai ASI yang

sangat berlebihan, atau menyusui untuk kembar dua atau lebih. Berikut ini

merupakan faktor-faktor penyebab stasis ASI :9

1. Bendungan payudara
Kondisi ini tidak terjadi bila bayi disusui segera setelah lahir,

sehingga stasis ASI terhindarkan. Pentingnya pengeluaran ASI yang segera

pada tahap awal mastitis, atau kongesti, untuk mencegah perkembangan

penyakit dan pernbentukan abses. Isapan bayi adalah sarana pengeluaran

ASI yang efektif.

2. Frekuensi menyusui

Tahun 1952, Illingworth dan Stone secara formal menunjukkan

dalam uji coba dengan kontro1, bahwa insiden stasis ASI dapat dikurangi

hingga setengahnya bila bayi disusui tanpa batas. Hubungan antara

pembatasan frekuensi dan durasi menyusui dan mastitis telah diuraikan

oleh beberapa penulis. Banyak wanita menderita mastitis bila mereka tidak

menyusui atau bila bayi mereka, tidak seperti biasanya, tertidur semalaman

dan waktu antar menyusui semakin lama.

3. Pengisapan pada payudara

Pengisapan yang buruk sebagai penyebab pengeluaran ASI yang tidak

efisien, saat ini dianggap sebagai faktor predisposisi utama mastitis. Nyeri

puting dan puting pecah-pecah sering ditemukan bersama dengan mastitis.

Penyebab nyeri dan trauma puting yang tersering adalah pengisapan yang

buruk pada payudara, kedua kondisi ini dapat terjadi bersama-sama. Selain

itu, nyeri puting akan menyebabkan ibu menghindar untuk menyusui pada

payudara yang sakit dan karena itu mencetuskan stasis ASI dan bendungan.

4. Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien


Banyak ibu merasa lebih mudah untuk menyusui bayinya pada satu sisi

payudara dibandingkan dengan payudara yang lain. Selain itu telah

dinyatakan bahwa pengisapan yang tidak tepat, yang menyebabkan stasis

ASI dan mastitis, lebih mungkin terjadi pada sisi payudara yang lebih sulit

untuk menyusui.

5. Faktor mekanis lain

Frenulum lidah yang pendek (tounge tie) pada bayi mengganggu

pengisapan pada payudara dan menyebabkan puting luka dan pecah-pecah.

Hal ini juga mengurangi efisiensi pengeluaran ASI dan predisposisi untuk

mastitis.

b. Infeksi

1. Organisme penyebab infeksi

Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses

payudara adalah organisme koagulase-positif Staphylococcus aureus dan

Staph. albus, kadang-kadang ditemukan Escherichia coli dan

Streptococcus, dan organisme infeksi streptokokal neonatus ditemukan

pada sedikit kasus. M.tuberculosis adalah penyebab mastitis lain yang

jarang ditemukan. Dalam populasi yang endemik tuberkulosis,

M.tuberbulosis dapat ditemukan pada kira-kira 1% dari kasus mastitis dan

berkaitan dengan beberapa kasus tonsillitis tuberkulosis pada bayi.10

Bakteri sering ditemukan dalam ASI dari payudara yang

asimtomatik di negara-negara industri dan berkembang. Spektrum bakteri

sering serupa dengan yang ditemukan di kulit. Berdasarkan penelitian,


hanya 50% biakan AS1 bersifat steril, sedangkan yang lain menunjukkan

hitungan koloni "normal" dari 0-2.500 koloni per ml. Oleh karena itu,

adanya bakteri dalam ASl tidak selalu menunjukkan terjadinya infeksi,

bahkan bila bakteri bukan kontaminan dari kulit.10

2. Rute infeksi

Mekanisme pasti mengenai infeksi payudara belum dapat diketahui.

Beberapa dugaan terkait dengan pathway menyebutkan, infeksi masuk

melalui duktus laktiferus ke dalam lobus, dengan penyebaran hematogen

dan melalui fisura puting susu ke dalam sistem limfatik periduktal.

Frekuensi fisura puting susu telah dilaporkan meningkat dengan adanya

mastitis. Seringkali fisura menjadi titik masuk infeksi.10

4. Klasifikasi Mastitis

Thomsen dan kawan-kawan pada tahun 1984 menghasilkan bukti tambahan

tentang pentingnya stasis ASI. Mereka menghitung leukosit dan bakteri dalam ASI

dari payudara dengan tanda klinis mastitis dan mengajukan klasifikasi berikut ini :8

1. Stasis ASI, didapatkan <106 leukosit dan bakteri <103 membaik hanya dengan

terus menyusui atau pengeluaran ASI.

2. Inflamasi non infeksiosa (atau mastitis non infeksiosa), didapatkan leukosit >10 6

dan bakteri <103 yang diterapi dengan sesering mungkin pengeluaran ASI atau

dengan tindakan pemerasan ASI setelah menyusui, tanpa diobati.

3. Mastitis infeksiosa, didapatkan leukosit >106 dan bakteri >103, yang hanya dapat

diobati dengan efektif dengan pemerasan ASI dan antibiotik sistemik

Berdasarkan kondisinya, mastitis dibagi menjadi


a. Mastitis Periduktal, biasanya muncul pada wanita di usia menjelang

menopause, penyebab utamanya tidak jelas diketahui. Keadaan ini dikenal

dengan sebutan mammary duct ectasia, yang berarti peleburan saluran karena

adanya penyumbatan pada saluran di payudara.

Gambar : Mastitis Periduktal

b. Mastitis Puerperalis/Laktasional, banyak dialami oleh wanita hamil atau

menyusui. Penyebab utamanya adalah kuman yang menginfeksi payudara ibu

yang ditransmisi ke puting ibu dengan kontak langsung

c. Mastitis Supurativa, paling banyak dijumpai. Penyebabnya bisa dari kuman

Staphylococcus, jamur, kuman TBC dan juga sifilis. Infeksi kuman TBC

memerlukan penanganan yang ekstra intensif. Bila penanganannya tidak tuntas

bisa menyebabkan pengangkatan payudara/mastektomi.

Keterlambatan terapi menyebabkan pembentukan abses pada 11% kasus, dan

hanya 15% kembali ke laktasi normal. Sering mengosongkan payudara yang

terinfeksi dengan perawatan lanjut mengurangi resiko pembentukan abses, namun


hanya 51% kembali ke laktasi normal. Terapi antibiotik tambahan meningkatkan

kembali laktasi normal pada 97% dengan resolusi gejala dalam 21 hari. Tanpa

pengeluaran ASI yang efektif, mastitis non infeksiosa sering berkembang menjadi

mastitis infeksiosa, dan mastitis infeksiosa menjadi pembentukan abses.7

5. Penegakkan Diagnosis Mastitis

1. Anamnesis

a. Mastitis akut

Pada peradangan dalam taraf permulaan penderita hanya merasa nyeri

setempat pada salah satu lobus payudara yang diperberat jika bayi

menyusu.8

b. Mastitis lanjut

Hampir selalu orang datang sudah dalam tingkat abses. Dari tingkat

radang ke abses berlangsung sangat cepat karena oleh radang duktulus-

duktulus menjadi edematous, air susu terbendung, dan air susu yang

terbendung itu segera bercampur dengan nanah. Gejala nyeri dapat diikuti

gejala lain seperti flu, demam, nyeri otot, sakit kepala, keputihan.8

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital, ibu dengan mastitis biasanya

mengalami peningkatan suhu badan hingga lebih dari 38 oC, keadaan

payudara pada ibu dengan mastitis biasanya berwarna kemerahan, bengkak,

nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat nanah jika terjadi abses.7

Pada abses, nyeri bertambah hebat di payudara, kulit di atas abses

mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada payudara yang
sakit, seolah-olah dia tahu bahwa susu di bagian tersebut bercampur dengan

nanah.8

Tanda dan gejala lain mastitis meliputi :8

a. Peningkatan suhu yang cepat dari 39,5 - 40

b. Peningkatan kecepatan nadi.

c. Menggigil

d. Malaise umum, sakit kepala.

e. Nyeri hebat, bengkak, inflamasi, area payudara keras.

f. Kemerahan dengan batas jelas

g. Biasanya hanya satu payudara

h. Terjadi antara 3-4 minggu pasca persalinan

i. Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak

menyusu karena ASI terasa asin

j. Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan lain untuk menunjang

diagnosis tidak selalu diperlukan. World Health Organization (WHO)

menganjurkan pemeriksaan kultur dan uji sensitivitas pada beberapa keadaan

yaitu bila :7

a. pengobatan dengan antibiotik tidak memperlihatkan respons yang baik

dalam 2 hari

b. terjadi mastitis berulang


c. mastitis terjadi di rumah sakit

d. penderita alergi terhadap antibiotik atau pada kasus yang berat.

Bahan kultur diambil dari ASI pancar tengah hasil dari perahan tangan

yang langsung ditampung menggunakan penampung urin steril. Puting harus

dibersihkan terlebih dulu dan bibir penampung diusahakan tidak menyentuh

puting untuk mengurangi kontaminasi dari kuman yang terdapat di kulit

yang dapat memberikan hasil positif palsu dari kultur. Beberapa penelitian

memperlihatkan beratnya gejala yang muncul berhubungan erat dengan

tingginya jumlah bakteri atau patogenitas bakteri. Pada ibu dengan abses

payudara dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui ada

tidaknya bakteri Stapylococcus aureus pada pus.11

6. Penatalaksanaan Mastitis

Tujuan dari penatalaksanaan mastitis adalah pencegahan terhadap infeksi dan

komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa non medikamentosa dengan tindakan

suportif dan medikamentosa dengan pemberian antibiotik dan pemberian analgesik.

1. Non medikamentosa

Jika diduga mastitis, intervensi dini berupa tindakan suportif dapat mencegah

perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan hygienitas dan kenyamanan :7

a. Bra yang cukup menyangga tetapi tidak ketat

b. Perhatian yang cermat saat mencuci tangan dan perawatan payudara

c. Kompres hangat pada area yang terkena


d. Masase area saat menyusui untuk memfasilitasi aliran air susu, Jangan

lakukan pemijatan jika dikhawatirkan justru membuat kuman tersebar ke

seluruh bagian payudara dan menambah risiko infeksi.

e. Peningkatan asupan gizi dan cairan

f. Edukasi

2. Medikamentosa

a. Antibiotik

Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak terdapat

perbaikan, terapi antibiotik meliputi :10

1) Penicillin resistan-penisilinase atau sepalosporin.

2) Eritromisin mungkin digunakan jika wanita alergi terhadap penicillin.

3) Terapi awal yang paling umum adalah :10

- Dikloksasilin 500 mg peroral 4 kali sehari untuk 10- 14 hari.

- Amoxicillin-clavulanate 500mg atau 875mg untuk 10-14 hari.

- Clindamycin 300mg untuk 10 – 14 hari.

- Trimethoprim-sulfamethoxazole dosis tunggal untuk 10-14 hari.

Pada setiap kasus, penting untuk dilakukan tindak lanjut dalam 72 jam

untuk mengevaluasi kemajuan. Jika infeksi tidak hilang kultur air susu

harus dilakukan.10

b. Analgesik

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat produksi hormon oksitosin

yang berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk


mengurangi rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah

obat anti inflamasi seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam

menurunkan gejala yang berhubungan dengan peradangan dibandingkan

parasetamol atau asetaminofen. Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari

tidak terdeteksi pada ASI sehingga direkomendasikan untuk ibu menyusui

yang mengalami mastitis.7

3. Penanganan abses

Dalam keadaan abses mammae perlu dilakukan insisi agar nanahnya dapat

dikeluarkan untuk mempercepat kesembuhan. Sesudah itu dipasang pipa ke

tengah abses, agar nanah bisa keluar terus. Untuk mencegah kerusakan pada

duktus laktiferus, sayatan dibuat sejajar dengan jalannya duktus-duktus itu.

Pengalaman menunjukkan bahwa drainase ini sesudah 72 jam bertukar sifat

menjadi kebocoran air susu yang tidak sedikit melalui luka insisi. Dianjurkan

memakai perban elastic yang ketat pada payudara, untuk menghentikan laktasi.8

Pada persiapan insisi, kulit di atas abses akan dibersihkan oleh swabbing

lembut dengan larutan antiseptik. Pada tahap rehabilitasi, sebagian besar sakit di

sekitar abses akan lenyap sesudah pembedahan. Penyembuhan biasanya sangat

cepat. Setelah tabung diambil keluar, antibiotik dapat dilanjutkan untuk beberapa

hari. Menerapkan panas dan menjaga wilayah yang terkena dampak ditinggikan

dapat membantu meringankan peradangan.8

4. Pemantauan

Respon klinik terhadap penatalaksanaan di atas terbagi menjadi respon klinik

cepat dan respon klinik dramatis. Jika gejalanya tidak berkurang dalam beberapa
hari dengan terapi yang adekuat termasuk antibiotik, harus dipertimbangkan

diagnosis banding. Pemeriksaan lebih lanjut mungkin diperlukan untuk

mengidentifikasi kuman-kuman yang resisten, adanya abses atau massa padat

yang mendasari terjadinya mastitis seperti karsinoma duktal atau limfoma non

Hodgkin. Berulangnya kejadian mastitis lebih dari dua kali pada tempat yang

sama juga menjadi alasan dilakukan pemeriksaan ultrasonografi (USG) untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya massa tumor, kista atau galaktokel.11

7. Komplikasi Mastitis

1. Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena

pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba

keras, merah dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan

kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis

berlanjut menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk

mengidentifikasi adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan

dengan aspirasi jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik sekaligus

terapi, bahkan mungkin diperlukan aspirasi jarum secara serial. Pada abses

yang sangat besar terkadang diperlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini

dilakukan ibu harus mendapat antibiotik. ASI dari sekitar tempat abses juga

perlu dikul tur agar antibiotik yang diberikan sesuai dengan jenis

kumannya.1
Gambar : Abses Payudara

2. Mastitis berulang/kronis

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau

tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum, makanan

dengan gizi berimbang, serta mengatasi stress. Pada kasus mastitis berulang

karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah (Eritromisin 500 mg

sekali sehari) selama masa menyusui.11

3. Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur

seperti Candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat

terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa

rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Di antara waktu

menyusu permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak

kelainan. Ibu dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles

Nystatin krim yang juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap

selesai bayi menyusu dan bayi juga harus diberi Nystatin oral pada saat yang

sama.11
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan edisi Keempat. PT. Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo: Jakarta.2013

2. WHO. Maternal Mortality: World Health Organization; 2014.

3. WHO. World Health Statistics : World Health Organization; 2015.

4. Depkes RI. Rencana Strategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di

Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2010.

5. Netter, Frank H. Atlas Of Human Anatomy 25th Edition. Jakarta: EGC, 2014.

6. Guyton, AC. Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.Jakarta. EGC.

2007.

7. Inch S, Xylander S. 2000. Mastitis : causes and management. New York : World

Health Organization

8. Lisa, H. A., Suzane, T., & Kvist, L.J., 2014. Diagnosis and Treatment of Mastitis

in Breastfeeding Women. Journal of Human Lactation. 30 (1). 10-13.

9. Anasari,T. & Sumarni, 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian

Mastitis di RSUD Prof. Margono Soekarjo. Jurnal Involusi Kebidanan 4(7) 50-52.

10. Arroyo, R., Martin, V., & Maldonando, A. 2014. Treatment of Infectious Mastitis

during Lactation: Antibiotics versus Oral Administration of Lactobacilli Isolated

from Breast Milk. Journal CID of Oxfords. 50 (15) 1551-1558.

11. Liu, L., Zhou, F., Wang, P., & Yu, L. 2017. Periductal Mastitis: An Inflammatory

Disease Related to Bacterial Infection and Consequent Immune Responses.

Mediator Inflammation Journals.


CRACKED NIPPLE

1. Definisi

Trauma kulit pada papilla mamae, nama lain fissura papilla mamae. Sebagian

besar karena breastfeeding atau menyusui, dan terasa nyeri saat menyusui.Fisura

terjadi pada hari pertama sampai beberapa pekan setelah melahirkan (postpartum).

Fisura tersebut dapat menjadi tempat masuknya bakteri piogenik patogen dan

beberapa jenis jamur, fisura papilla mamae juga berhubungan dengan keadian

mastitis setelahnya.1

2. Etiopatogenesis

Penyebab trauma adalah trauma mekanik akibat menyusui. Apabila aliran

susu menurun, tekanan intraoral dari bayi baru lahir akan meningkat karena daya

pengisapan bayi berlebihan, sehingga menyebabkan daerah papila mamae edema dan

kemerahan setelah menyusui. Infeksi disebabkan oleh masuknya mikroorganisme

melalui fisura puting dan paparan konstan kulit puting dengan flora oral bayi.

Penyebab aliran susu menurun sangat banyak, salah satunya adalah posisi menyusui
dan kelekatan yang tidak benar.Selain itu, adanya fisura berkaitan dengan adanya

pengaruh dari gaya gesek dan arah gaya gesek terhadap kulit (papilla mamae).1

2. Penatalaksanaan

Prinsipnya adalah memroteksi luka dengan memberi pengobatan topikal,

menyusui lebih diutamakan kepada papilla yang sehat (papila yang lain), sedangkan

papila yang trauma air susunya harus tetap dikeluarkan secara berkala dengan

menggunakan pompa atau pijatan sampai luka benar-benar sembuh untuk mencegah

statis air susu. Tatalaksana dibagi menjadi 3, yaitu saat menyusui, setelah menyusui,

dan diantara menyusui (apabila tidak menyusui).1

a. Saat menyusui

● Pakai papilla yang sehat dahulu, lalu pakai papilla yang sakit. Karena

isapan bayi pada papilla yang sakit tidak sekuat pada isapan yang pertama

● Mencoba berbagai posisi menyusui yang paling nyaman, namun tetap

benar

● Apabila menyusui sakit, pakai breastpump, apabila tetap sakit, stimulasi

dengan pijatan pada papilla mamae. Hal ini dilakukan untuk mencegah

statis asi, mencegah mastitis, dan mempertahankan supply dari asi

sendiri.1

b. Setelah menyusui2

● Setelah menyusui, cuci papilla mamae dengan normal salin (air saja

cukup), keringkan dengan handuk lembut dan bersih


● Setelah kering oleskan medical grade lanolin ointment, atau vaseline.

Lanolin adalah salep berasal dari lemak domba yang berfungsi sebagai

penjaga kelembaban dan sebagai proteksi dengan membentuk barrier

sehingga mencegah bakteri masuk melalui fisura. Lanolin juga memulai

proses “moist wound healing” yang memiliki banyak keuntungan seperti

mengurangi sel sel yang mati dan dehidrasi, meredakan nyeri,

meningkatkan angiogenesis, meningkatkan reepitelisasi dari papilla

mamae, sehingga proses penyembuhan lebih cepat.

● Selain lanolin, dapat pula dipakai All Purpose Nipple Ointment, yang

berisi antibiotik, anti fungal, dan anti inflamasi. Karena pada beberapa

kasus didapatkan pula infeksi dari jamur candida albicans.

Dexpanthenol adalah salah satu obat yang termasuk keluarga vitamin B

kompleks. Obat ini berfungsi sebagai pelembab dengan mengurangi


kehilangan air melalui epidermis dan menjaga kelembutan dan elastisitas

kulit.

● Ramuan peppermint yang merupakan tanaman asli ke Iran, secara luas

digunakan untuk pengobatan mati rasa kulit, luka bakar, bekas luka, gatal

dan peradangan. Peppermint meningkatkan fleksibilitas jaringan dan

mencegah fisura.

● Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Shanazi dkk dengan uji coba

terkontrol acak (double blind) pada 126 ibu menyusui di pusat-pusat

kesehatan dan rumah sakit anak-anak di Kota Sanandaj. Para peserta yang

dipilih secara acak dibagi menjadi tiga kelompok; lanolin, peppermint, dan

kelompok krim dexpanthenol. Nyeri puting diukur menggunakan skala

Store sementara trauma diukur dengan skala Champion. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa skor rata-rata nyeri puting dan trauma puting pada

tahap intervensi sebelum, ketiga, tujuh, dan empat belas hari intervensi

tidak berbeda secara signifikan antara tiga kelompok. Namun, pengukuran

berulang ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam

perbandingan dari empat periode waktu intervensi pada masing-masing

kelompok yang menunjukkan adanya perbaikan dari nyeri puting pada

ibu. Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa obat-obatan

lanolin, peppermint, dan dexpanthenol memiliki efek terapeutik yang

sama pada puting traumatik.

c. Diantara menyusui1

● Menjaga personal hygene dari payudara.


● Menggunakan sabun non-antibakterial dan non-perfume apabila ingin

membersihkan payudara, menggunakan sabun pada daerah papila mamae

yang luka tidak dianjurkan.

3. Edukasi1

Edukasi mengenai prinsip dasar menyusui yaitu teknik benar, susui sesuai

permintaan bayi, ibu rileks dan percaya diri saat menyusui.

Penilaian proses menyusui.

● B= Body Position : Rileks, nyaman, ibu memegang seluruh tubuh bayi, kepala

tegak lurus, dagu bayi menyentuh payudara, seluruh tubuh bayi menghadap ibu,

payudara ibu mendekati bayi, bukan bayi mendekati payudara ibu.

● R= Response : Bayi mencari puting, menghisap tenang, dan asi keluar. Isapan

bayi lambat dan tenang, ada jeda diantra isapan, ada gerakan menelan dari bayi.

● E= Emotion : Ibu merangkul dengan yakin, atensi ibu baik (menatap bayi).

● A= Anatomy : Payudara lunak setelah menyusui dan terasa lebih ringan

● S= Suckling : Isapan bayi, kekuatan normal. Kelekatan mulut bayi yang baik:

- Dagu menyentuh payudara

- Mulut bayi terbuka lebar

- Bibir Bawah keluar

- Areola mama sedikit terlihat, biasanya bagian bawah tidak terlihat, bagian

atas sedikit terlihat.


Gambar : Kelekatan yang benar.

Gambar : Kelekatan yang salah.

● T= Time : 15-20 menit bayi akan melepas sendiri apabila teknik dan posisi

menyusui benar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kamila Juliana, 2018, Prevalence and factors associated with cracked nipples

in the first month postpartum, BMC Pregnancy and Childbirth, pp.112-118

2. Buck, Miranda L. et al. 2014. Nipple pain, Damage, And Vasospasm in the

First 8 Week Postpartum. Breastfeeding Medicine Vol.9 hal.56-62

3. Shanazi, M, et al. 2015. Comparison of the Effects of Lanolin, Peppermint,

and Dexpanthenol Creams on Treatment of Traumatic Nipples in

Breastfeeding Mothers. Journal of Caring Sciences. Vol. 4 pp. 297-307 [Cited

March, 11, 2019] https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4699508/

INVERTED NIPPLE
1. Definisi

Suatu kondisi dimana putting tertarik ke dalam payudara. Pada beberapa

kasus, puting dapat muncul keluar bila di stimulasi, namun pada kasus-kasus lain,

retraksi ini menetap.

Pada kasus inversi puting secara kongenital, kelainan ini terjadi pada tahap

perkembangan embrionik dari payudara. Proses pembentukan puting pada embriologi

manusia dimulai dengan penebalan dan penonjolan bagian ektoderm di regio dimana

kelenjar akan berada nantinya pada minggu keempat kehamilan. Penebalan ektoderm
menjadi terdepresi ke mesoderm di bawahnya, sehingga permukaan bagian mammae

kemudian menjadi datar dan akhirnya masuk lebih dalam dari epidermis di

sekitarnya. Mesoderm yang berhubungan dengan pertumbuhan ke dalam dari

ektoderm menjadi terkompresi, dan bagian dari mesoderm ini menjadi tersusun

menjadi lapisan konsentris dan nantinya akan menjadi stroma dari kelenjar. Dengan

pembelahan dan percabangan, massa yang tumbuh ke dalam dari sel ektodermal akan

membentuk lobus dan lobulus dan nantinya juga membentuk alveoli. Saat usia gestasi

16 minggu, tahap percabangan telah menghasilkan 15 hingga 25 garis epitelial pada

fetus yang nantinya akan menjadi alveoli sekretorik. Pada saat gestasi 28 minggu,

hormon seksual plasental memasuki sirkulasi fetal dan menyebabkan kanalisasi pada

jaringan mammae fetal. Duktus laktiferus dan cabangnya terbentuk dari

perkembangan di lumen. Duktus ini membuka ke arah depresi dangkal dari epidermal

yang dikenal sebagai mammary pit. Cekungan ini menjadi terelevasi sebagai hasil

dari proliferasi mesenkimal yang membentuk puting dan areola. Inversi puting adalah

kegagalan dari elevasi cekungan ini.

2. Etiologi

a. Penyebab yang sering terjadi- Faktor menyusui:

● Penyusuan yang tertunda.

● Perlekatan yang tidak baik.

● Penyusuan yang jarang atau dilakukan dalam waktu singkat.

● Tidak menyusui pada malam hari.


● Pemberian botol atau empeng.

● Pemberian minuman lain selain ASI.

b. Faktor psikologis ibu:

● Kurang percaya diri

● Ibu khawatir / terlalu stress

● Ibu terlalu lelah

● Ibu tidak suka menyusui

● Ibu mengalami baby blues

3. Diagnosis

Inversi puting kongenital dapat diklasifikasikan secara klinis ke dalam tiga

kelompok (Karacaoglu, 2012):


● Grade I : dapat dengan mudah ditarik keluar secara manual dan menjaga

proyeksinya dengan baik tanpa traksi. Puting keluar dengan palpasi ringan

di sekitar areola. Jaringan lunak intak pada bentuk ini dan duktus

laktiferus normal.

● Grade II : juga dapat keluar dengan palpasi namun tidak semudah pada

grade I. Puting cenderung teretraksi. Puting memiliki fibrosis sedang dan

duktus laktiferus secara ringan teretraksi namun tidak memerlukan

pemotongan untuk melepaskan fibrosis. Puting ini telah terbukti memiliki

stromata kolagen yang kaya dengan sekumpulan otot polos.

● Grade III merupakan bentuk yang parah dimana inversi dan retraksi

signifikan. Mengeluarkan puting secara manual cukup sulit. Jahitan traksi

diperlukan untuk mempertahankan puting untuk menonjol. Fibrosis di

bawah puting berpengaruh signifikan dan jaringan lunak tidak mencukupi.

Pada pemeriksaan histologis, duktus terminal laktiferus dan unit lobuler

menjadi atropi dan digantikan dengan fibrosis berat.


4. Manajemen Inversi Putting

Masalah mengenai inversi puting bervariasi dari masalah estetika,

fungsional, hingga psikologis. Inversi puting dapat menyebabkan masalah

mekanis pada saat menyusui bayi, meski demikian banyak ibu yang masih dapat

menyusui tanpa kesulitan, kemungkinan hal ini disebabkan oleh perubahan yang

terjadi pada payudara selama kehamilan.

Gambar: Mekanisme latch on bayi pada puting

Perlekatan kongenital dari puting ke fascia yang mendasari didiagnosa

menggunakan pinch test dengan menekan bagian terluar dari areola; biasanya,

puting akan menonjol keluar. Perlekatan yang berat termanifestasi sebagai

inversi puting. Bentuk yang paling berat ini terjadi kurang dari 1% dari wanita.
Gambar: Pinch test untuk mendiagnosa perlekatan

Meski keberhasilan menyusui dapat tercapai pada keadaan yang berat ini,

konsultasi prenatal dan tindak lanjut ketat sangat penting untuk mengidentifikasi

dan menangani transfer air susu yang buruk. Puting datar atau terinversi

kebanyakan jarang mempengaruhi keberhasilan menyusui.

Telah dijelaskan tiga metode non pembedahan menangani puting yang

terlekat ini, yaitu: menarik puting, latihan Hoffman, dan cup (shell) payudara.

Pada awal periode neonatal, pompa payudara mungkin membantu pada wanita

dengan puting datar atau terinversi. Payudara secara lembut dipompa pelan

hingga puting tertarik keluar. Bayi kemudian segera didekatkan pada puting.

Prosedur yang sama dilakukan pada sisi lainnya. Biasanya hal ini diperlukan

selama beberapa hari.

Metode menarik puting atau dikenal juga dengan nipple rolling (tug and

roll) merupakan intervensi pertama dari inversi puting. Latihan ini dilakukan tiga

hingga empat kali setiap hari. Ibu secara lembut menarik dan menggulirkan
puting keluar dengan jari-jari dan ibujarinya hingga ia merasa terenggang.

Rotasikan jari-jari dan ibu jari di sekitar puting dan kemudian diulang kembali

Teknik Hoffman dapat dilakukan dengan meletakkan kedua ibu jari pada

dasar puting dan dengan lembut dilakukan gerakan menjauhkan kedua ibu jari

satu sama lain. Latihan menggunakan teknik Hoffman ini dilakukan tiga hingga

empat kali sehari untuk memisahkan adhesi yang mungkin menyebabkan retraksi

atau inversi dari puting. Latihan ini dilakukan dengan arah gerakan kedua ibu jari

secara horizontal dan kemudian dilanjutkan dengan arah gerakan vertikal

(Lawrence dan Lawrence, 2014; Newton, 2011; Alexander et al, 1992).

Gambar : Teknik Hoffman

Penggunaan cup (shell) payudara, dengan ukuran yang sesuai dengan

ukuran bra, memberikan tekanan lembut ke payudara. Penggunaan cup (shell)


payudara ini awalnya digunakan selama satu hingga dua jam per hari, perlahan

penggunaannya semakin lama hingga satu hari penuh. Cup (shell) payudara harus

dilepas saat tidur untuk mencegah terjadinya blokade saluran air susu. Dengan

penekanan lembut dari cup (shell) payudara, puting dan areola akan menonjol ke

bagian tengah dari shell. Pada cup (shell) payudara terdapat lubang udara yang

sebaiknya diposisikan di atas sehingga mencegah kebocoran air susu ke baju.

Gambar : Breast shell

Jika diperlukan lebih dari beberapa hari, bisa digunakan niplette atau

dapat alternatif yang relatif murah dapat dibuat dari spuit plastik 10 atau 20 ml,

ukuran bergantung pada ukuran puting. Ujung dari spuit dimana jarum terpasang

dipotong dan pendorong dipasang terbalik. Puting diletakkan pada ujung halus

lubang pendorong dari spuit dan traksi lembut diaplikasikan hingga puting

tereversikan. Meski memompa dan suction spuit merupakan solusi praktis, tidak

ada percobaan terkontrol yang mendukung kemanjurannya.


Gambar : Niplette (kiri) dan alat sederhana menggunakan spuit (kanan)

Terdapat pula berbagai macam prosedur yang telah dijelaskan untuk

koreksi pembedahan, akan tetapi terjadinya hiposensitisasi dan kehilangan

kemampuan untuk menyusui merupakan masalah utama dari prosedur

pembedahan ini. Kebanyakan prosedur melibatkan insisi kecil areolar atau insisi

pada dasar puting. Jaringan ikat yang menempel akan terenggangkan namun

seringkali diperlukan pembelahan dari duktus.

5. Tatalaksana

a. Tatalaksana Umum

● Jka retraksi tidak dalam, susu dapat diperoleh dengan menggunakan pompa

payudara.
● Jika puting masuk sangat dalam, suatu usaha harus dilakukan untuk

mengeluarkan puting dengan jari pada beberapa bulan sebelum melahirkan.


DAFTAR PUSTAKA

Lawrence, Robert M; Lawrence, Ruth A. 2017. The Breast and the Physiology of

Lactation. Creasy and Resnik’s Maternal-Fetal Medicine: Principle and

Practice. Elsevier.

Karacaoglu, Ercan. 2015. Correction of Inverted Nipple: Comparison of Techniques

with Novel Approaches. Current Concepts in Plastic Surgery. InTech: Eropa.

Kulkarni, Dhananjay; Dixon, J Michael. 2011. Congenital Abnormalities of the

Breast. Women’s Health 8(1): halaman 75-88

Priebe, Jan; Howell, Fiona; Bue, Maria Carmela Lo. 2014. Examining the Role of

‘Modernisation’ and Health-Care Demand in Shaping Optimal Breastfeeding

Practices: Evidence on Exclusive Breastfeeding from Eastern Indonesia.

TNP2K: Jakarta
KARSINOMA PAYUDARA

1. Definisi

Kanker payudara (Carcinoma mammaee) dalam bahasa inggrisnya disebut

breast cancer merupakan kanker pada jaringan payudara. Kanker payudara merupakan

suatu keganasan akibat pertumbuhan sel yang tidak terkendali pada kelenjar penghasil susu

(lobular), saluran kelenjar dari lobular ke puting payudara (duktus), dan jaringan penunjang

payudara yang mengelilingi lobular, duktus, pembuluh darah dan pembuluh limfe, tetapi

tidak termasuk kulit payudara. Penyakit ini oleh World Health Organization (WHO)

dimasukkan ke dalam International Classification of Diseases (ICD) dengan kode

nomor 17.(Mukhlis,2015)

2. Epidemiologi

Kanker payudara menjadi pembunuh wanita terbanyak di dunia. Namun begitu,

laki-laki juga bisa terkena penyakit ini, tetapi kemungkinan pada wanita 100 kali lipat

dibandingkan pada laki-laki. Sebagian besar kanker payudara berasal dari sel-sel

duktus (86%), kemudian lobular (12%), dan sisanya berasal dari jaringan lain

(Globocan. 2018).

Kanker payudara merupakan masalah yang dihadapi oleh negara berkembang

dan negara maju. Menurut Data Globocan 2018, Untuk kedua jenis kelamin, kanker

paru-paru adalah kanker yang paling umum didiagnosis (11,6% dari total kasus) dan

penyebab utama kematian akibat kanker (18,4% dari total kematian akibat kanker),

diikuti oleh kanker payudara wanita (11,6%), kolorektal kanker (10,2%), dan kanker
prostat (7,1%) . Berdasarkan jenis kelamin, kanker paru-paru adalah kanker yang

paling sering didiagnosis dan penyebab utama kematian akibat kanker pada laki-laki,

diikuti oleh kanker prostat dan kolorektal. Di antara wanita, kanker payudara adalah

kanker yang paling umum didiagnosis dan penyebab utama kematian akibat kanker,

diikuti oleh kanker kolorektal dan paru-paru, kanker serviks menempati urutan

keempat untuk insiden dan kematian (Globocan. 2018).

Di Indonesia sendiri, diperkirakan terdapat 100 penderita kanker baru untuk

setiap 100.000 penduduk per tahunnya. Menurut Data Riset Kesehatan Dasar

Indonesia tahun 2013, pravelensi tertinggi kanker payudara berada di D.I.

Yogyakarta, sebesar 2,4% (Kemenkes RI 2015)

3. Etiologi

Etiologi pasti dari kanker payudara masih belum jelas. Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa wanita dengan faktor risiko tertentu lebih sering untuk

berkembang menjadi kanker payudara dibandingkan yang tidak memiliki beberapa

faktor risiko tersebut. Beberapa faktor risiko tersebut : (Kamińska,2015)

● Umur :

Kemungkinan untuk menjadi kanker payudara semakin meningkat seiring

bertambahnya umur seorang wanita. Angka kejadian kanker payudara rata-rata

pada wanita usia 45 tahun ke atas. Kanker jarang timbul sebelum menopause.

Kanker dapat didiagnosis pada wanita premenopause atau sebelum usia 35 tahun,
tetapi kankernya cenderung lebih agresif, derajat tumor yang lebih tinggi, dan

stadiumnya lebih lanjut, sehingga survival rates-nya lebih rendah. (Shah, 2014)

● Riwayat kanker payudara :

Wanita dengan riwayat pernah mempunyai kanker pada satu payudara

mempunyai risiko untuk berkembang menjadi kanker pada payudara yang

lainnya. (Kamińska,2015)

● Riwayat Keluarga :

Riwayat keluarga yang mengidap kanker payudara telah lama dikenal sebagai

salah satu faktor resiko kanker payudara, namun hana 5-10% wanita yang

mengidap kanker payudara mempunyai predisposisi turunan yang sebenarnya.

Wanita dengan riwayat keluarga positif lebih berisiko terkena kanker payudara

atau memiliki predisposisi mutasi genetik. Risiko bekembangannya kanker

payudara meningkat 1,5-3 kali lipat pada wanita yang mempunyai ibu atau

saudara perempuan dengan kanker payudara. (Morrow, M., 2015)

● Perubahan payudara tertentu :

Beberapa wanita mempunyai sel-sel dari jaringan payudaranya yang terlihat

abnormal pada pemeriksaan mikroskopik. Risiko kanker akan meningkat bila

memiliki tipe-tipe sel abnormal tertentu, seperti atypical hyperplasia dan lobular

carcinoma in situ [LCIS]. (Kamińska,2015)

● Perubahan Genetik :
Suatu studi analisa tentang hubungan faktor genetik menyatakan bahwa

ketidak normalan sering ada pada cabang pendek kromosom 17 pada wanita-

wanita dengan riwayat famili kanker payudara dini. Dua tumor suppresorgen

yang paling berperan pada kanker payudara yaitu BRCA1 dan BRCA2. Secara

umum, gen BRCA-1 beruhubungan dengan invasive ductal carcinoma,poorly

differentiated, dan tidak mempunyai reseptor hormon, sedangkan BRCA-2

berhubungan dengan invasive ductal carcinoma yang lebih well differentiated dan

mengekspresikan reseptor hormon. Wanita yang memiliki gen BRCA1 dan

BRCA2 akan mempunyai risiko kanker payudara 40-85%. Wanita dengan gen

BRCA1 yang abnormal cenderung untuk berkembang menjadi kanker payudara

pada usia yang lebih dini (probabilitas untuk terjadi kanker payudara sebesar 60%

pada umur 50 tahun dan sebesar 85% pada umur 70 tahun). (Robbins, et al, 2007)

● Riwayat reproduksi dan menstruasi :

Meningkatnya paparan estrogen berhubungan dengan peningkatan risiko

untuk berkembangnya kanker payudara, sedangkan berkurangnya paparan justru

memberikan efek protektif. Beberapa faktor yang meningkatkan jumlah siklus

menstruasi seperti menarche dini (sebelum usia 12 tahun), nuliparitas, dan

menopause yang terlambat (di atas 55 tahun) berhubungan juga dengan

peningkatan risiko kanker.

Diferensiasi akhir dari epitel payudara yang terjadi pada akhir kehamilan akan

memberi efek protektif, sehingga semakin tua umur seorang wanita melahirkan

anak pertamanya, risiko kanker meningkat. Wanita yang mendapatkan


menopausal hormone therapy memakai estrogen, atau mengkonsumsi estrogen

ditambah progestin setelah menopause juga meningkatkan risiko kanker.

(Kamińska,2015)

● Ras :

Kanker payudara lebih sering terdiagnosis pada wanita kulit putih,

dibandingkan wanita Latin Amerika, Asia, or Afrika. Insidensi lebih tinggi pada

wanita yang tinggal di daerah industrialisasi. (Kamińska,2015)

● Wanita yang mendapat terapi radiasi pada daerah dada :

Paparan radiasi pengion meningkatkan risiko kanker payudara, dan risiko

meningkat pada wanita dengan paparan di usia muda. Wanita yang saat anak-anak

atau orang dewasa muda diobati dengan terapi radiasi di dada karena kanker lain

(seperti penyakit Hodgkin atau limfoma non-Hodgkin) memiliki risiko kanker

payudara yang jauh lebih tinggi. Risiko ini bervariasi sesuai dengan usia pasien

saat mereka mendapat radiasi. Risiko terkena kanker payudara dari radiasi dada

paling tinggi jika wanita terpapar radiasi selama masa remaja, saat payudara

masih berkembang. (American Cancer Society. 2016)

● Overweight atau Obese setelah menopause:

Kemungkinan untuk mendapatkan kanker payudara setelah menopause

meningkat pada wanita yang overweight atau obese, karena sumber

estrogen utama pada wanita postmenopause berasal dari

konversi androstenedione menjadi estrone yang berasal


dari jaringan lemak, dengan kata lain obesitas

berhubungan dengan peningkatan paparan estrogen jangka

panjang. Obesitas dikaitkan dengan peningkatan risiko

pengembangan kanker payudara pada wanita

pascamenopause dan peningkatan angka kematian kanker

payudara. Wanita dengan indeks massa tubuh ≥31.1

memiliki risiko 2,5 kali lipat lebih besar terkena kanker

payudara daripada mereka yang memiliki indeks massa

tubuh ≤22.6. (morrow,2015)

● Kurangnya aktivitas fisik :

Wanita yang aktivitas fisik sepanjang hidupnya kurang, risiko untuk menjadi

kanker payudara meningkat. Dengan aktivitas fisik akan membantu mengurangi

peningkatan berat badan dan obesitas. (Kamińska,2015)

● Diet :

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang sering minum alkohol

mempunyai risiko kanker payudara yang lebih besar. Karena alkohol akan

meningkatkan kadar estriol serum. Sering mengkonsumsi banyak makan

berlemak dalam jangka panjang akan meningkatkan kadar estrogen serum,

sehingga akan meningkatkan risiko kanker. (Kamińska,2015)

4. Klasifikasi
Klasifikasi histopatologi kanker payudara berdasarkan WHO tahun 2012

adalah sebagai berikut:

● Non invasive carcinoma

a. Ductal carcinoma in situ

Ductal carcinoma in situ, juga disebut intraductal cancer, merujuk

pada sel kanker yang telah terbentuk dalam saluran dan belum menyebar.

Saluran menjadi tersumbat dan membesar seiring bertambahnya sel

kanker di dalamnya. Kalsium cenderung terkumpul dalam saluran yang

tersumbat dan terlihat dalam mamografi sebagai kalsifikasi terkluster atau

tak beraturan (clustered or irregular calcifications) atau disebut kalsifikasi

mikro (microcalcifications) pada hasil mammogram seorang wanita tanpa

gejala kanker.

DCIS muncul dengan dua tipe sel yang berbeda, dimana salah satu sel

cenderung lebih invasif dari tipe satunya. Tipe pertama, dengan

perkembangan lebih lambat, terlihat lebih kecil dibandingkan sel normal.

Sel ini disebut solid, papillary atau cribiform. Tipe kedua, disebut

comedeonecrosis, sering bersifat progresif di awal perkembangannya,

terlihat sebagai sel yang lebih besar dengan bentuk tak beraturan.
Gambar : Ductal Carcinoma in situ (A) dan Sel-sel
kanker menyebar keluar dari ductus, menginvasi jaringan sekitar dalam mammae (B)

b. Lobular carcinoma in situ

Meskipun sebenarnya ini bukan kanker, tetapi LCIS kadang

digolongkan sebagai tipe kanker payudara non-invasif. Bermula dari

kelenjar yang memproduksi air susu, tetapi tidak berkembang

melewati dinding lobulus. Mengacu pada National Cancer Institute,

Amerika Serikat, seorang wanita dengan LCIS memiliki peluang 25%

munculnya kanker invasive (lobular atau lebih umum sebagai

infiltrating ductal carcinoma) sepanjang hidupnya. (Kim, J.2017)


Gambar : Lobular carcinoma in situ

● Invasive carcinoma

a. Paget’s disease dari papilla mammae

Paget’s disease dari papilla mammae pertama kali dikemukakan pada

tahun 1974. Seringnya muncul sebagai erupsi eksim kronik dari papilla

mammae, dapat berupa lesi bertangkai, ulserasi, atau halus. Paget's

disease biasanya berhubungan dengan DCIS (Ductal Carcinoma in situ)

yang luas dan mungkin berhubungan dengan kanker invasif. Biopsi papilla

mammae akan menunjukkan suatu populasi sel yang identik (gambaran

atau perubahan pagetoid). Patognomonis dari kanker ini adalah

terdapatnya sel besar pucat dan bervakuola (Paget's cells) dalam deretan

epitel.
b. Adenocarcinoma with productive fibrosis (scirrhous, simplex, NST)

(80%)

Kanker ini ditemukan sekitar 80% dari kanker payudara dan pada 60%

kasus kanker ini mengadakan metastasis (baik mikro maupun makroskopik)

ke KGB aksila. Kanker ini biasanya terdapat pada wanita perimenopause or

postmenopause dekade kelima sampai keenam, sebagai massa soliter dan

keras. Batasnya kurang tegas dan pada potongan meilntang, tampak

permukaannya membentuk konfigurasi bintang di bagian tengah dengan garis

berwarna putih kapur atau kuning menyebar ke sekeliling jaringan payudara.

Sel-sel kanker sering berkumpul dalam kelompok kecil, dengan gambaran

histologi yang bervariasi.

c. Medullary carcinoma (4%)

Medullary carcinoma adalah tipe khusus dari kanker payudara, berkisar

4% dari seluruh kanker payudara yang invasif dan merupakan kanker

payudara herediter yang berhubungan dengan BRCA-1. Peningkatan ukuran

yang cepat dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis dan perdarahan. 20%

kasus ditemukan bilateral. Karakterisitik mikroskopik dari medullary

carcinoma berupa (1) infiltrat limforetikular yang padat terutama terdiri dari

sel limfosit dan plasma; (2) inti pleomorfik besar yang berdiferensiasi buruk

dan mitosis aktif; (3) pola pertumbuhan seperti rantai, dengan minimal atau

tidak ada diferensiasi duktus atau alveolar. Sekitar 50% kanker ini

berhubungan dengan DCIS dengan karakteristik terdapatnya kanker perifer,

dan kurang dari 10% menunjukkan reseptor hormon. Wanita dengan kanker
ini mempunyai 5-year survival rate yang lebih baik dibandingkan NST atau

invasive lobular carcinoma.

d. Mucinous (colloid) carcinoma (2%)

Mucinous carcinoma (colloid carcinoma), merupakan tipe khusus lain

dari kanker payudara, sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif,

biasanya muncul sebagai massa tumor yang besar dan ditemukan pada wanita

yang lebih tua. Karena komponen musinnya, sel-sel kanker ini dapat tidak

terlihat pada pemeriksaan mikroskopik.

e. Papillary carcinoma (2%)

Papillary carcinoma merupakan tipe khusus dari kanker payudara sekitar

2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya ditemukan pada

wanita dekade ketujuh dan sering menyerang wanita non kulit putih.

Ukurannya kecil dan jarang mencapai diameter 3 cm. McDivitt dan kawan-

kawan menunjukkan frekuensi metastasis ke KGB aksila yang rendah dan 5-

and 10-year survival rate mirip mucinous dan tubular carcinoma.

f. Tubular carcinoma (2%)

Tubular carcinoma merupakan tipe khusus lain dari kanker payudara

sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya ditemukan

pada wanita perimenopause dan pada periode awal menopause. Long-term

survival mendekati 100%.

g. Invasive lobular carcinoma (10%)

Invasive lobular carcinoma sekitar 10% dari kanker payudara. Gambaran

histopatologi meliputi sel-sel kecil dengan inti yang bulat, nucleoli tidak jelas,
dan sedikit sitoplasma. Pewarnaan khusus dapat mengkonfirmasi adanya

musin dalam sitoplasma, yang dapat menggantikan inti (signet-ring cell

carcinoma). Seringnya multifokal, multisentrik, dan bilateral. Karena

pertumbuhannya yang tersembunyi sehingga sulit untuk dideteksi.

(Morrow,2015)

Pembagian molekuler kanker payudara (Devita,2015)


Subtype Profil Prognosis Respon pada terapi
Molekuler

Luminal A ER/PR +++, HER2 Baik Terapi endokrin + kemoterapi


Jarang, Ki-67
rendah

Luminal B ER/PR +, Intermediate Terapi endokrin + Kemoterapi


HER2-/+, Ki67 ++ + Trastuzumab (jika HER2 +)

HER2 over- ER/PR +/-, HER 2 Buruk Kemoterapi + Trastuzumab


expression +, Ki-67 tinggi

Basal ER/PR -, HER 2 -, Poor Kemoterapi


Ki-67 tinggi

Kanker payudara diklasifikasikan berdasarkan sistem TNM (Tumor, Nodus

limfatikus regional, dan Metastasis) oleh AJCC (American Joint Committee on

Cancer) tahun 2010 dan UICC (Union Internationale Contre Cancere) tahun 2014

sebagai berikut:

1. T = Ukuran Tumor Primer Kanker Payudara

Ukuran dibuat berdasarkan ukuran klinis diameter tumor terpanjang dalam “cm”,

ataupun radiologis (MRI) yang lebih akurat dalam menilai volume tumor.
Tx : Tumor primer tidak dapat dinilai

T0 : Tumor primer tidak ditemukan

Tis : Karsinoma insitu

Tis (DCIS) : Ductal Carcinoma insitu

Tis (LCIS) : Lobular Carcinoma insitu

Tis (Paget) : Penyakit Paget pada puting tanpa ada massa tumor

(Penyakit Paget dengan massa tumor dikelompokan berdasar ukuran tumor)

T1 : Tumor dengan ukuran terpanjang 2 cm atau kurang

T1mic : Ada mikroinvasi ukuran 0,1 cm atau kurang

T1a : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,1 cm sampai 0,5 cm

T1b : Tumor dengan ukuran lebih dari 0,5 cm sampai 1 cm

T1c : Tumor dengan ukuran lebih dari 1 cm sampai 2 cm

T2 : Tumor dengan ukuran diameter terbesarnya lebih dari 2

cmsampai 5 cm

T3 : Tumor dengan ukuran diameter terbesar lebih dari 5 cm

T4 : Ukuran tumor berapapun dengan infiltrasi / ekstensi

langsung ke dinding dada atau kulit.


Catatan: Dinding dada adalah termasuk iga / kosta, otot interkostalis, dan otot

serratus anterior, tetapi tidak termasuk otot pektoralis (eksterna ataupun interna).

T4a : Infiltrasi ke dinding dada (tidak termasuk otot pektoralis)

T4b : Infiltrasi ke kulit, dalam hal ini termasuk peau d’orange,

ulserasi nodul satelit pada kulit terbatas pada satu payudara

yang terkena

T4c : Infiltrasi baik pada dinding dada maupun kulit

T4d : Mastitis karsinomatosa (Inflammatory Breast Cancer / IBC).

2. N = Nodes (Kelenjar Getah Bening / KGB)

Nx : Kelenjar getah bening tidak bisa dinilai

N0 : Tidak terdapat metastasis pada KGB

N1 : Metastasis ke KGB aksila ipsilateral, masih mobil

N2 : Metastasis ke KGB aksila ipsilateral terfiksasi, dan konglomerasi

(beberapa KGB menyatu), atau klinis adanya metastasis pada KGB

mamaria interna meskipun tanpa metastasis KGB aksila

N2a : Metastasis ke KGB aksila terfiksasi atau konglomerasi ataupun

melekat pada struktur lain / jaringan sekitar

N2b : Klinis metastasis hanya pada KGB mamaria interna ipsilateral dan

tidak terdapat metastasis pada KGB aksila


N3 :Klinis ada metastasis pada KGB infraklavikula ipsilateral dengan atau

tanpa metastasis pada KGB aksila, atau klinis terdapatmetastasis pada

KGB mamaria interna dan metastasis KGB aksila

N3a : Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral

N3b : Metastasis ke KGB mamaria interna dan KGB aksila

N3c : Metastasis ke KGB supraklavikula

Catatan : Terdeteksi secara klinis artinya terdeteksi dengan pemeriksaan fisik

dan imaging (di luar “scintigraphy”)

3. M : Metastasis jauh

Mx : Metastasis jauh belum dapat dinilai

M0 : Tidak terdapat metastasis jauh

M1 : Terdapat metastasis jauh

Setelah kategori T, N dan M ditentukan maka informasi ini akan digabung

untuk proses dinamakan pengelompokan stadium (stage grouping). Kanker dengan

stadium yang sama cenderung memiliki prognosis sama dan sering diterapi sama.

Stadium ditulis dengan angka romawi dari I sampai IV. Kanker non invasif ditulis

stadium 0.
Gambar : Klasifikasi Stadium TNM

5. Patogenesis

Menurut pemahaman etiopatogenesis terkini, kanker payudara timbul akibat

alterasi molekuler (DNA) pada tingkat sel yang menyebabkan sel epitel payudara

berproliferasi secara tidak terkontrol. Pemetaan genetik menunjukkan bahwa alterasi

yang paling berpengaruh adalah estrogen receptor (ER), progesterone receptor (PR),

and human epidermal growth factor receptor 2 (HER2). Bukti dari The Cancer

Genome Atlas Network (TCGA) menunjukkan bahwa kanker payudara basal like

dapat menunjukkan respon positif terhadap terapi kanker ovarium serous dikarenakan
mempunyai karakteristik molekuler yang sama seperti tipe dan frekuensi mutasi gen.

(Pierce A,2016)

Onkogen yang teraktivasi (HER2, protein Ki-67) dan tumor suppresor gen

yang termutasi (BRCA1 atau BRCA2, serta PTEN atauTP53) dianggap sebagai “high

penetrance” karena 2 hal ini sering menyebabkan peningkatan risiko terjadinya

kanker. Low penetrance mutasi gen dapat mempengaruhi level hormon dan

metabolisme yang dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya kanker khususnya

faktor keluarga. Mutasi onkogen dan tumor suppresor gen dapat disebabkan karena

radiasi atau bahan kimiawi. (Pierce A,2016)

Pada awalnya terjadi hiperplasia sel-sel dengan perkembangan sel-sel atipik.

Sel-sel ini akan berlanjut menjadi karsinoma in situ dan menginvasi stroma. Kanker

tumbuh dari sebuah sel tunggal sampai menjadi massa yang cukup besar untuk dapat

diraba (kira-kira berdiameter 1 cm). Pada ukuran itu, kira- kira seperempat dari

kanker payudara telah bermetastase. Kebanyakan dari kanker ditemukan jika sudah

teraba, biasanya oleh wanita itu sendiri. Gejala kedua yang paling sering terjadi

adalah cairan yang keluar dari muara duktus satu payudara, dan mungkin berdarah.

Jika penyakit telah berkembang lanjut, benjolan-benjolan pada kulit dapat pecah dan

menjadi ulserasi. (Pierce A,2016)

Karsinoma inflamasi, adalah tumor yang tumbuh dengan cepat terjadi kira-

kira 1-2% wanita dengan kanker payudara gejala-gejalanya mirip dengan infeksi

payudara akut. Kulit menjadi merah, panas, edematoda, dan nyeri. Karsinoma ini
menginvasi kulit dan jaringan limfe. Tempat yang paling sering untuk metastase

jauhadalah paru, pleura, dan tulang. Karsinoma payudara bermetastase dengan

penyebaran langsung kejaringan sekitarnya, dan juga melalui saluran limfe dan aliran

darah. Kanker payudara tersebut menimbulkan metastase dapat ke organ yang dekat

maupun yang jauh antara lain limfogen yang menjalar ke kelenjar limfe aksilaris dan

terjadi benjolan, dari sel epidermis penting menjadi invasi timbul krusta pada organ

pulmo mengakibatkan ekspansi paru tidak optimal. (Pierce A,2016)

6. Penegakan Diagnosis

Diagnosis kanker payudara ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan

fisik, dan pemeriksaan penunjang.

a. Anamnesis

1. Anamnesis bertujuan unutk mengidentifikasi identitas penderita, faktor resiko,

perjalanan penyakit, tanda dan gejala kanker payudara, riwayat pengobatan dan

riwayat penyakit yang pernah diderita. Keluhan utama yang sering umumnya

berupa timbulnya benjolan di payudara.

Nyeri payudara dan nipple discharge adalah keluhan yang jarang pada kanker

payudara dan keadaan ini sering ditemukan pada kelainan jinak seperti penyakit

fibrokistik dan papiloma intraduktal. Malaise, nyeri tulang, sesak napas dan

kehilangan berat badan adalah keluhan yang jarang, tapi merupakan inidkasi

adanya metastase jauh (PERABOI,2015)

Keluhan-keluhan kanker payudara pada umumnya adalah:

- Sebagian besar berupa benjolan yang padat keras


- Perubahan bentuk puting

o Retraksi puting

o Puting mengeluarkan darah (nipple discharge)

o Eksem sekitar puting (penyakit paget)

- Perubahan kulit

o Lesung pada kulit (dimpling)

o Berkerut seperti kulit jeruk (peau d’orange)

o Borok (ulkus)

o Eritema, edema

o Nodul satelit

- Benjolan di aksila

Keluhan tambvahan pada kanker payudara stadiu lanjut merupakan

manifestasi adanya metastasis regional, metastasis jauh ataupun komplikasi. Keluhan

tambahan ini meliputi: (PERABOI,2015)

- Tangan bengkak

- Nyeri pinggang/punggung atau tulang belakang, lemah atau kelumpuhan

tungkai, atau patah tulang

- Batuk-batuk kering yang tidak kunjung sembuh

- Sesak napas bila sudah timbul pleural efusi atau metastasis di paenkim paru

yang luas

- Rasa penuh, mual, dan mata kuning

- Nyeri kepala yang hebat, kejang, kesadaran menurun


- Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas

b. Pemeriksaan Fisik

Karena organ payudara dipengaruhi oleh faktor hormonal antara lain estrogen

dan progesteron maka sebaiknya pemeriksaan payudara dilakukan disaat pengaruh

hormonal ini seminimal mungkin, yaitu setelah menstruasi lebih kurang satu minggu

dari hari pertama menstruasi.

1. Inspeksi

Inspeksi bentuk, ukuran, dan simetris dari kedua payudara, ada benjolan

tumor atau perubahan patologik kulit (misal cekungan, kemerahan, edema,erosi,

nodul satelit, dll), apakah terdapat edema (peau d’orange), retraksi kulit atau puting

susu, dan eritema, perhatikan kedua papila mammae apakah simetri, ada retraksi,

distorsi, erosi, dan kelainan lain (Farida,2017)

Gambar : Inspeksi pada pemeriksaan payudara


2. Palpasi

Palpasi umumnya dalam posisi berbaring, juga dapat kombinasi duduk dan

baring. Waktu periksa rapatkan keempat jari, gunakan ujung dan perut jari

berlawanan arah jarum jam atau searah jarum jam. Kemudian dengan lembut pijat

areola mammae, lihat apakah keluar sekret maupun massa, termasuk palpasi kelenjar

limfe di aksila, supraklavikula, dan parasternal. Setiap massa yang teraba atau suatu

lymphadenopathy, harus dinilai lokasinya, ukurannya, konsistensinya, bentuk,

mobilitas atau fiksasinya, kondisi batas, permukaan mobilitas, nyeri tekan. Ketika

memeriksa apakah tumor melekat ke dasarnya, harus meminta lengan pasien sisi lesi

bertolak pinggang, agar m. Pektoralis mayor berkerut. Jika tumor dan kulit atau dasar

melekat, mobilitas terkekang, kemungkinan kanker sangat besar. Jika terdapat sekret

papila mammae, harus buat sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi.

Pemeriksaan kelenjar limfe regional paling baik posisi duduk. Ketika

memeriksa aksila kanan, dengan tangan kiri topang siku kanan pasien, dengan ujung

jari kiri palpasi seluruh fosa aksila secara berurutan. Waktu memeriksa fosa aksila

kiri sebaliknya, dan terakhir periksa kelenjar supraklavikular (Farida,2017).


Gambar : Teknik Palpasi Pada Pemeriksaan Payudara

Teknik pemeriksaan fisik sebagai berikut : (Farida,2017)

▪ Posisi tegak

Lengan penderita jatuh bebas di samping tubuh, pemeriksa berdiri didepan

dalam posisi yang lebih kurang sama tinggi. Pada inspeksi dilihat simetri payudara

kiri dan kanan, kelainan papila, letak dan bentuknya, adakah retraksi puting susu,

kelainan kulit ,tanda-tanda radang, peau d’orange, dimpling, u lserasi dan lain-lain.

▪ Posisi duduk

Lakukan inspeksi pada pasien dengan posisi tangan jatuh bebas ke samping

dan pemeriksa berdiri di depan dalam posisi lebih kurang sama tinggi. Perhatikan

keadaan payudara kiri dan kanan, simetris / tidak; adakah kelainan papilla, letak dan

bentuknya, retraksi putting susu, kelainan kulit berupa peau d’orange, dimpling,

ulserasi, atau tanda-tanda radang. Lakukan juga dalam keadan kedua lengan di angkat

ke atas untuk melihat apakah ada bayangan tumor di bawah kulit yang ikut bergerak

atau adakah bagian yang tertinggal, dimpling dan lain-lain.


▪ Posisi berbaring

Penderita berbaring dan di usahakan agar payudara jatuh tersebar rata di atas

lapangan dada, jika perlu bahu atau punggung diganjal dengan bantal terutama pada

penderita yang payudaranya besar.Palpasi dilakukan dengan mempergunakan falamg

distal dan falang medialjari II,III dan IV, yang dikerjakan secara sistematis mulai dari

kranial setinggi iga ke 6 sampai daerah sentral subareolar dan papil atau dari tepi ke

sentral (sentrifugal) berakhir didaerah papil. Terakhir diadakan pemeriksaan kalau

ada cairan keluar dengan menekan daerah sekitar papil. Pada pemeriksaan ini

ditentukan lokasi tumor berdasarkan kuadran, ukuran tumor (diameter terbesar),

konsistensi, batas tumor dan mobilitasnya terhadap kulit dan dinding dada.

▪ Pemeriksaan KGB regional di daerah :

a. Aksila, yang ditentukan kelompok kelenjar :

⮚ Mammaria eksterna di anterior, dibawah tepi otot pectoralis

⮚ Subskapularis di posterior aksila

⮚ Apikal di ujung atas fasia aksilaris

Sebaiknya dalam posisi duduk, pada pemeriksaan aksila kanan tangan

kanan penderita diletakkan ditangan kanan pemeriksa dan aksila diperiksa

dengan tangan kiri pemeriksa. Diraba kelompok KGB mammari eksterna

dibagian anterior dan di bawah tepi muskulus pektoralis aksila, subskapularis

diposterior aksila, sentral dibagian pusat aksila dan apikal diujung atas fossa

aksilaris. Pada perabaan ditentukan besar, konsistensi, jumlah, apakah terfiksasi


satu sama lain atau ke jaringan sekitarnya.Supra dan infra klavikular Dipalpasi

dengan cermat dan teliti.

b. Supra dan infraklavikula, serta KGB leher utama.

▪ Organ lain yang diperiksa untuk melihat adanya metastasis yaitu hepar, lien,

tulang belakang, dan paru. Metastasis jauh dapat bergejala sebagai berikut:

⮚ Otak: nyeri kepala, mual, muntah, epilepsi, ataksia, paresis, paralisis.

⮚ Paru: efusi pleura, coint lesion foto paru, atelektasis,

⮚ Hati: hepatomegali, fungsi hati terganggu SGOT/SGPT, ikterus, asites.

⮚ Tulang: nyeri tekan, osteolytic lesion, destruksi tulang, lesi osteoblastik.

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Mammografi

Mamografi merupakan alat diagnostik yang paling banyak dipakai saat

ini disamping sitologi. Pemeriksaan ini dapat menemukan massa tumor yang

sangat kecil yang sulit teraba saat pemeriksaan fisik (Kabel,, 2015)
Gambar : Mammografi Payudara Normal
Diagnosis imaging mamografi, mempunyai kriteria2 tersendiri untuk

kecurigaan kanker payudara, yang dibagi dalam tanda-tanda mayor dan tanda

minor.

Tanda mayor:

● Kepadatan lesi atau tumor dengan batas permukaan yang irreguler dan

kabur makin ketengah semakin padat dibandingkan bagian tepi.

● Tepi bayangan tumor memberi gambaran menyebar “speculated“ secara

radier ataubayangan bulat kecil berupa satelit dari tumor.

● Adanya gambaran mikro kalsifikasi spesifik didalam tumor kadang

kelihatan menyebar “scatered“

● Perbedaan ukuran tumor pada mamografi dibidang klinis.

● Gambaran klinis ukurannya jauh lebih besar dari gambaran mamografi.

Tanda minor atau sekunder:


● Adanya perubahan berupa penebalan atau tarikan kulit payudara

● Vaskularisasi yang bertambah dan asimetri

● Kepadatan asimetri pada kedua payudara

● Struktur jaringan fibroglanduler yang tidak teratur disekitar tumor

● Pembesaran kelenjar getah bening axilla pada mamografi terutama dengan

ukuran lebih dari 1 cm.

● Perubahan ketebalan lapisan lemak sub kutis atau dibagian bawah

payudara.

The American College of Radiology telah mengembangkan pembacaan

standar mammogram.Interpretasi mammogram ini dikelompokkan menjadi

Breast Imaging Reporting and Data System (BIRADS) 1 sampai 6.

● Kategori 1 : Negatif

Tidak ditemukan adanya kelainan.

● Kategori 2 : Jinak

Jika ditemukan adanya kelainan seperti fibroadenoma, kalsifikasi kulit, lesi yang

mengandung lemak seperti lipoma, galaktokel, dan hamartoma.Pada

kategori ini, tidak menunjukkan adanya tanda tanda keganasan.

● Kategori 3 : Kemungkinan jinak

Jika ditemukan adanya massa solid yang tidak terkalsifikasi, focal asymmetry,

dan kelompok soliter kalsifikasi punctate. Dianjurkan untuk melakukan

pemeriksaan ulang selama 6 bulan.

● Kategori 4 : Mencurigakan
Tidak ditemukan tanda tanda keganasan tapi tidak menutup kemungkinan adanya

keganasan seperti adanya limfadenopati unilateral tanpa adanya kelainan

pada payudara, kista padat yang dapat dipalpasi, massa dengan batas yang

tidak jelas, dan kalsifikasi berbentuk linier. Kategori ini memerlukan

pemeriksaan lebih lanjut seperti biopsy.

● Kategori 5 : Curiga ganas

Jika ditemukan adanya massa densitas tinggi berbentuk ireguler spiculated,

kalsifikasi berbentuk linier yang bersegmen, dan massa spiculated

irregular yang disertai adanya kalsifikasi pleomorphic.

● Kategori 6 : Keganasan

Dapat dikatakan hasil mamografi kategori 6 apabila sudah menjalani incomplete

excision atau untuk monitoring setelah terapi neoadjuvant.( Sickles,

EA,2013)

b. USG

Salah satu kelebihan USG dalam mendeteksi massa kistik. Seerupa dengan

mammografi, American College of Radiolgy juga menyusun bahasa standar

untuk pembacaan dan pelaporan USG.

Karakteristi yang dideskripsikan adalah:

1. Bentuk massa

2. Margin

3. Orientasi

4. Jenis posterior akustik


5. Batas lesi

6. Pola echo

Gambaran USG pada benjolan yang harus dicurigai ganas di antaranya:

1. Permukaan tidak rata

2. Taller than wider

3. Tepi hiperekoik

4. Echo interna heterogen

Vaskularisasi meningkat, tidak beraturan masuk kedalm tumor

membentuk sudut 90 derajat (PRABOI,2015)

c. MRI

MRI dilakukan pada pasien muda karena gambaran mammografi yang

kurang jelas ada payudara wanita muda. Selain itu MRI digunakan untuk

mendeteksi adanya rekurensi pasca BCT dan pada wanita yang menggunakan

implant payudara.( Shah,2014)

d. Pemeriksaan Biopsi Jarum Halus (Fine Needle Aspiration Biopsy /

FNAB)

FNA atau Fine Neddle Aspiration merupakan metode yang cepat untuk

mendiagnosa keganasan pada orang dengan benjolan di payudaranya.Di

negara maju akurasi FNAB sangat baik sehingga dapat dijadikan standar

diagnosis pasti KPD. Di Indonesia, akurasi FNAB sudah semakin baik

(>90%) sehingga pada beberapa center direkomendasikan penggunaan FNAB.

(Ramli,2015)

e. Pemeriksaan Histopatologis
● Stereotactic biopsy dengan bantuan USG atau mammogram pada lesi

nonpalpable

● Core Needle Biopsy (micro-specimen)

● Vacuum assisted biopsy (mammotome)

● Biopsi insisional untuk tumor:

– operabel dengan diameter > 3 cm, sebelum operasi definitif

– Inoperabel

● Biopsi eksisional

● Spesimen mastektomi disertai pemeriksaan KGB regional

Pemeriksaan Imunohistokimia (IHC) terhadap ER, PR, HER-2 / Neu

(recommended), Cathepsin-D, VEGF, BCL-2, P53, Ki-67 dan sebagainya

(optional research)

f. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium rutin dan kimia darah guna kepentingan

pengobatan dan informasi kemungkinan adanya metastasis (transaminase,

alkali-fosfatase, kalsium darah, tumor marker / penanda tumor “CA 15-3;

CEA”).

Pemeriksaan enzim transaminase penting dilakukan untuk memperkirakan

adanya metastasis pada liver, sedangkan alkali fosfatase dan kalsium untuk

memprediksi adanya metastasis pada tulang.Pemeriksaan penanda tumor

seperti CA-15-3 dan CEA (dalam kombinasi) lebih penting gunanya untuk
menentukan rekurensi dari kanker payudara, dan belum merupakan penanda

diagnosis ataupun skrining.(PRABOI,2015)

8. Penatalaksanaan

Prinsip pengobatan kanker payudara ini adalah multidisiplin; yang

modalitasnya terdiri dari :

1. Operasi (pembedahan)

2. Radiasi

3. Khemoterapi

4. Hormonal terapi

5. Imunoterapi

Pada “early breast cancer” terapi pilihan adalah pembedahan, dengan atau

tanpa terapi adjuvant atau kombinasi dengan yang lain. Pilihan terapi adjuvant atau

kombinasi ditentukan oleh penilaian faktor prognostik diatas khususnya pemeriksaan

imunohistokimia.

Dikenal berbagai jenis operasi kanker payudara; mulai dari :

a. Classic Radical Mastectomy (CRM)/Halstedt Radical Mastectomy

CRM adalah operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara beserta tumor,

nipple areola komplek, kulit diatas tumor, otot pektoralis mayor dan minor serta
diseksi aksila level I-III. Operasi ini dilakukan bila ada infiltrasi tumor ke fasia atau

otot pektoralis tanpa adanya metastasis jauh.

b. Modified Radical Mastectomy (MRM)

● Pattey (memotong muskulus pektoralis minor untuk dapat melakukan diseksi

aksila sampai level 3

● Unchincloss & Maaden (mempertahankan muskulus pektoralis mayor dan

minor)

c. Breast Conserving Surgery (BCS)

BCS adalah terapi dengan melakukan eksisi tumor primer dengan atau tanpa

diseksi aksila dan radioterapi. Terapi ini memberikan survival yang sama dengan

MRM namun

Radioterapi

Radioterapi merupakan terapi loko-regional dan umumnya dilakukan

eksternal dengan Co60 ataupun terapi dengan sinar X. Radioterapi dapat dilakukan

sebagai berikut:

a. Radioterapi neoadjuvant (sebelum pembedahan)

b. Radioterapi adjuvant (setelah pembedahan)

c. Radioterapi palliative yang diberikan sebagai terapi paliatif,baik pada tumor

primer maupun metastasis tulang, cerebral, dan sebagainya)

Kemoterapi

Kemoterapi merupakan salah satu terapi sistemik yang dapat digunakan

sebagai terapi adjuvan atau paliatif. Kemoterapi adjuvan dapat diberikan pada pasien
pascamastektomi yang pada pemeriksaan histopatologik ditemukan metastasis di

sebuah atau beberapa kelenjar. Kemoterapi juga dapat diberikan sebelum

pembedahan pada Ca mamma yang besar namun masih operabel pada stadium lokal

lanjut (neoadjuvant). Kemoterapi neoadjuvant ini dapat mengecilkan ukuran tumor

sehingga memudahkan pembedahan. Kemoterapi paliatif dapat diberikan pada pasien

yang telah menderita metastasis sistemik. Regimen kemoterapi adalah sebagai

berikut:

Regimen kemoterapi adalah sebagai berikut:

● TAC : Docetaxel (Taxotere) 75 mg / m2 IV pada hari 1 ditambah doxorubicin

(Adriamycin) 50 mg / m2 IV pada hari 1 ditambah cyclophosphamide 500 mg /

m2 IV pada hari 1 setiap 3 minggu untuk enam siklus atau

● Dose-dense ACP : Doxorubicin 60 mg / m2 IV ditambah siklofosfamid 600 mg /

m2 setiap 2 minggu selama empat siklus; diikuti oleh paclitaxel 175 mg / m 2

setiap 2 minggu dengan dukungan colony-stimulating factor (CSF) (lebih efektif

daripada jadwal 3 minggu pada ER-negatif atau progesteron (PR) -negatif

penyakit), Atau

● Dose-dense ACP: Doxorubicin 60 mg / m2 IV ditambah siklofosfamid 600 mg /

m2 setiap 2 minggu selama empat siklus; diikuti oleh paclitaxel 175 mg / m 2

Setiap 2 minggu dengan dukungan faktor stimulasi koloni (CSF)

● AC: Doxorubicin 60 mg / m2 IV ditambah cyclophosphamide 600 mg / m2 IV

pada hari 1 setiap 3 minggu selama empat siklus (sebanding dengan CMF

[cyclophosphamide, methotrexate, fluorouracil]) atau


● TC: Docetaxel 75 mg / m2 IV pada hari 1 ditambah siklofosfamid 600 mg / m 2 IV

pada hari 1 setiap 3 minggu selama empat siklus

 Untuk tumor HER2-positif, rejimen neoadjuvant berikut diberikan setiap 3

minggu selama tiga hingga enam siklus:

● Pertuzumab (Perjeta): 840 mg IV infus lebih dari 60 menit, kemudian 420 mg IV

infus lebih dari 30-60 menit plus

● Trastuzumab: 8 mg / kg IV infus lebih dari 90 mnt awalnya, kemudian 6 mg / kg

IV infus lebih dari 30-90 mnt ditambah

● Docetaxel: 75 mg / m² IV infus awalnya; dapat meningkat hingga 100 mg / m²

infus IV jika dosis awal ditoleransi dengan baik (Kiluk JV,2018)

Terapi Hormonal

Pasien dengan ER + atau PR+ dianjurkan agar diberikan terapi hormonal

sebagai ajuvan, obat yang dapat diberikan berupa :

● Tamoxifen

● Aromatase inhibitor (Golongan nonsteroid : anastroxole dan letrozole;

Golongan steroid : exemestane)

● Luteinizing hormone releasing hormone analog (LHRH)

Pemberian regimen terbagi menjadi dua yaitu premenopause dan postmenopause

rekurensinya lebih besar.


Penatalaksanaan sesuai stadium

1. Kanker payudara stadium 0 (TIS / T0, N0M0)

Bedah : Terapi bedah yang dpat dilakukan adalah lumpectomy bila sel kanker

masih berada dalam area payudara, namun apabila sel kanker sudah meluas

keluar daerah kelenjar payudara maka dilakukan mastektomi

Radiasi : Terapi radiasi mampu membantu membunuh sel kaknker dan

mencegah penyebaran, terapi ini dapat dimulai ketika luka operasi sembuh

Hormon : Pada orang kanker payudara dengan ER+ (Estrogen Receptor-

positive) atau PR+ (Progesterone Receptor-positive) terapi hormonal dapat

dilakukan

2. Kanker payudara stadium 1

Bedah : Pada stadium ini dapat dilakukan lumpektomi atau mastektomi.

Radiasi : Terapi radiasi merupakan penatalaksanaan standar pada kanker

payudara stadium 1

Hormonal : Apabila ER+ atau PR+ maka dapat dilakukan terapi hormonal

untuk menurunkan resiko kekambuhan.

Kemoterapi : Orang yang mendapatkan kemoterapi adalah orang yang sudah

tidak mempan atau tidak sensitive terhadap terapi hormonal, yaitu ER-, PR-

dan HER2- (Human Epidermal Growth Factor receptor 2-negative)

3. Kanker payudara stadium 2

Bedah : Pada stadium ini dapat dilakukan lumpektomi

atau mastektomi

Kombinasi : Pada stadium ini pula terapi kombinasi


antara bedah, radiasi, kemoterapi, hormonal (bila

sensititf) dianjurkan

4. Kanker payudara stadium 3

Kombinasi : Pada stadium ini dilakukan terapi kombinasi

antara kemoterapi, bedah, radiasi, hormonal (bila

sensitif).

Radiasi : Dokter bedah biasanya memberikan terapi

radiasi sebelum pembedahan untuk mengecilkan ukuran

5. Kanker payudara stadium 4

Kombinasi : Kanker payudara pada stadium 4 harus dilakukan terapi

kombinasi antara kemoterapi, radiasi dan hormonal (bila sesuai).

Bedah : Pembedahan bukan merupakan opsi utama pada stadium ini (Azu

M,2018)

9. Prognosis

Survival rate (%) pada pasien dengan Ca mamma berdasarkan stadium TNM

yaitu sebagai berikut:

Stadium TNM Five years Ten years

0 95 90

I 85 70

IIA 70 50

IIB 60 40

IIIA 55 30

IIIB 30 20
IV 5-10 2

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2016. Breast Cancer. Available at:

https://old.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/00309pdf.pdf

American Cancer Society. Breast Cancer Survival Rate, by Stage [internet]. 2015

[cited 2018 Januari 22]. Available at :

http://www.cancer.org/cancer/breastcancer/detailedguide/breast-cancer-

survival-by-stage

Azu M, Cadman B. 2018. What Happens at Each Stage of Breast Cancer. Medical

News Today https://www.medicalnewstoday. com/ articles/322760.php

Desen, Wan. 2011. Buku Ajar Onkologi Klinis. Ed ke-2. Willie Japaries. Beijing :

Science Publication. Terjemahan dari : Clinical Oncology.

Devita, V.T, Hellman, and Rosenberg, S.A. 2015. Cancer Principles & Practice of

Oncology 2015. 10th ed. Wolters Kluwer Health

Farida Sobri Briani… [et al.]. Manajemen Terkini Kaker Payudara. 2017. Jakarta,

Ga: Media Aesculapius.

Globocan. 2018. Estimated Cancer Incidence, Mortality, Prevalence and Disability-

adjusted life years (DALYs) Worldwide in 2008. IARC Cancer Base No. 11

Hoskins, et al, 2015. Breast Cancer. In: Principles and Practice of Gynecologic and

Oncology. 4th Edition. Philadelphia:Lippincott Williams and Wilkins


Kabel, AM., dan Baali, FH. 2015. Breast Cancer: Insight into Risk Factor,

Phatogenesis, and Management. Journal of Cancer Research and Treatment. 3

(2) : 28-33

Kamińska, M., Ciszewski, T., Łopacka-Szatan, K., Miotła, P., & Starosławska, E.

(2015). Breast cancer risk factors. Przeglad Menopauzalny, 14(3), 196–202.

https://doi.org/10.5114/pm.2015.54346

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia .Situasi Penyakit Kanker. 2015. [cited

2018 Januari 22] Available at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin-

kanker.pdf

Kiluk JV, Sparano JA. 2018. Breast Cancer Treatment Protocols. Medscape

https://emedicine.medscape.com/article/ 2006464-overview#a1

Moore, K.L., Dalley, A.F., Agur, A.M.R. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis; edisi 5

jilid 1. Indonesia : Penerbit Erlangga.

Morrow, M., Burstein HJ., dan Harris JR. 2015. Malignant Tumors of the Breast.

Dalam: DeVita VT, Lawrence TS, dan Rosenberg SA (Editor). Cancer

Principles & Practice of Oncology, 10th Edition. Wolters Kluwer, hal 1117-

1156Moningkey, Shirley Ivonne, 2012. Epidemiologi Kanker Payudara.

Medika; Jakarta.

Muchlis Ramli. 2015. Update Breast Cancer Management Diagnostic And Treatment.

Majalah Kedokteran Andalas, Vol. 38, No. Supl. 1


Osbone, MP dan Bool Bos SK. Breast Anatomy and Development. 2014. In Haris RJ,

Lippmain, Morrow M, Osborne KC, editor. Diseases of the Breast 5th Ed.

Philaadelpia: Wolters Kluwer Health. P 2-14

Perhimpunan Ahli Bedah Onkologi Indonesia. 2015. Panduan Penatalaksanaan

Kanker Payudara. Jakarta: PERABOI

Pierce A. Grace n Neil R. Borley, At a Glance, ilmu bedah. 2006. Edisi III. Jakarta:

Penerbit Erlangga

Robbins, et al, Buku Ajar Patologi, Edisi 7. Jakarta : EGC, 2007.

Shah, Rupen., Rosso, Kelly., dan Nathanson, SD. 2014. Pathogenesis, prevention,

diagnosis and treatment of breast cancer. World Journal of Clinical Oncology.

5(3): 283-298

Sickles, EA, D’Orsi CJ, Bassett LW, E. Al. (2013). ACR BI-RADS®

Mammography. ACR BI-RADS® Atlas, Breast Imaging Reporting and Data

System, 135. https://doi.org/10.1002/ejoc.201200111

Snell, Richard S. 2014. Anatomi Klinik ed. 6. Jakarta: EGC.


BAKTERIAL VAGINOSIS

Definisi Bakterial Vaginosis

Bakterial Vaginosis, juga disebut BV merupakan infeksi vagina yang paling

umum pada wanita usia subur. hal ini terjadi ketika keseimbangan normal bakteri di

vagina terganggu dan digantikan oleh pertumbuhan berlebih dari bakteri tertentu..

Vaginosis bakterial didefinisikan sebagai suatu keadaan abnormal pada

ekosistem vagina yang dikarakterisasi oleh pergantian konsentrasi Lactobacillus yang

tinggi sebagai flora normal vagina oleh konsentrasi bakteri anaerob yang tinggi,

terutama Bacteroides sp., Mobilincus sp., Gardnerella vaginalis, dan Mycoplasma

hominis. Jadi vaginosis bakterial bukan suatu infeksi yang disebabkan oleh satu

organisme, tetapi timbul akibat perubahan kimiawi dan pertumbuhan berlebih dari

bakteri yang berkolonisasi di vagina.

Etiologi

Ekosistem vagina normal adalah sangat kompleks. Lactobacillus merupakan

spesies bakteri yang dominan (flora normal) pada vagina wanita usia subur, tetapi ada

juga bakteri lainnya yaitu bakteri aerob dan anaerob. Pada saat bakterial vaginosis

muncul, terdapat pertumbuhan berlebihan dari beberapa spesies bakteri yang

ditemukan, dimana dalam keadaan normal ada dalam konsentrasi rendah.

Penyebab bakterial vaginosis bukan organisme tunggal. Pada suatu analisis dari

data flora vagina memperlihatkan bahwa ada 4 kategori dari bakteri vagina yang

berhubungan dengan bakterial vaginosis, yaitu :

●Gardnerella vaginalis
Berbagai kepustakaan selama 30 tahun terakhir membenarkan observasi Gardner dan

Dukes’ bahwa Gardnerella vaginalis sangat erat hubungannya dengan bakterial

vaginosis.

Gambar : Gardnerella vaginalis

Organisme ini mula-mula dikenal sebagai H. vaginalis kemudian diubah menjadi

genus Gardnerella atas dasar penyelidikan mengenai fenetopik dan asam dioksi-

ribonukleat. Tidak mempunyai kapsul, tidak bergerak dan berbentuk batang gram

negatif atau variabel gram. Tes katalase, oksidase, reduksi nitrat, indole, dan urease

semuanya negatif.

Kuman ini bersifat fakultatif, dengan produksi akhir utama pada fermentasi

berupa asam asetat, banyak galur yang juga menghasilkan asam laktat dan asam

format. Ditemukan juga galur anaerob obligat. Dan untuk pertumbuhannya

dibutuhkan tiamin, riboflavin, niasin, asam folat, biotin, purin, dan pirimidin.
Berbagai literatura dalam 30 tahun terakhir membuktikan bahwa G. vaginalis

berhubungan dengan bacterial vaginalis. Bagaimanapun dengan media kultur yang

lebih sensitive G. Vaginalis dapat diisolasi dalam konsentrasi yang tinggi pada wanita

tanpa tanda-tanda infeksi vagina. Saat ini dipercaya bahwa G. vaginalis berinteraksi

dengan bakteri anaerob dan hominis menyebabkan bakterial vaginosis.

• Mycoplasma hominis

Pertumbuhan Mycoplasma hominis mungkin distimulasi oleh putrescine, satu dari

amin yang konsentrasinya meningkat pada bakterial vaginosis. Konsentrasi normal

bakteri dalam vagina biasanya 105 organisme/ml cairan vagina dan meningkat

menjadi 108-9 organisme/ml pada bakterial vaginosis. Terjadi peningkatan

konsentrasi Gardnerella vaginalis dan bakteri anaerob termasuk Bacteroides,

Leptostreptococcus, dan Mobilincus Spp sebesar 100-1000 kali lipat.


Gambar : Mycoplasma hominis

● Bakteri anaerob : Mobilincus Spp dan Bacteriodes Spp

Spiegel menyimpulkan bahwa bakteri anaerob berinteraksi dengan G. vaginalis untuk

menimbulkan vaginosis. Peneliti lain memperkuat adanya hubungan antara bakteri

anaerob dengan bakterial vaginosis. Menurut pengalaman, Bacteroides Spp paling

sering dihubungkan dengan bakterial vaginosis.

Gambar : Bacteroides Spp

Mikroorganisme anaerob yang lain yaitu Mobilincus Spp, merupakan batang

anaerob lengkung yang juga ditemukan pada vagina bersama-sama dengan organisme

lain yang dihubungkan dengan bakterial vaginosis. Mobilincus Spp hampir tidak

pernah ditemukan pada wanita normal, 85 % wanita dengan bakterial vaginosis

mengandung organisme ini.


Gambar : Mobilincus Spp

Aktivitas seksual diduga mempunyai peranan dalam hal timbulnya bakterial

vaginosis, bagaimanapun melakukan hubungan seksual bebas dan berganti-ganti

pasangan akan meningkatkan resiko wanita itu mendapat bakterial vaginosis.

Faktor Resiko

Faktor Resiko terjadinya Vaginosis Baterial :

1. Pasangan seksual yang baru

2. Merokok

3. AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim)

4. Pembilasan vagina yang terlampau sering, menyebabkan menurunnya jumlah

laktobaksil penghasil hidrogen peroksida yang menyebabkan pertumbuhan

berlebihan dari bakteri lain khususnya yang berasal dari bakteri anerobik.

5. Vagina yang terlalu sering dalam keadaan lembab dan jarang mengganti

celana dalam.

Patogenesis

Ekosistem vagina adalah biokomuniti yang dinamik dan kompleks yang terdiri

dari unsur-unsur yang berbeda yang saling mempengaruhi. Salah satu komponen

lengkap dari ekosistem vagina adalah mikroflora vagina endogen, yang terdiri dari

gram positif dan gram negatif aerobik, bakteri fakultatif dan obligat anaerobik. Aksi
sinergetik dan antagonistik antara mikroflora vagina endogen bersama dengan

komponen lain, mengakibatkan tetap stabilnya sistem ekologi yang mengarah pada

kesehatan ekosistem vagina.

Beberapa faktor / kondisi yang menghasilkan perubahan keseimbangan

menyebabkan ketidakseimbangan dalam ekosistem vagina dan perubahan pada

mikroflora vagina. Dalam keseimbangannya, ekosistem vagina didominasi oleh

bakteri Lactobacillus yang menghasilkan asam organik seperti asam laktat, hidrogen

peroksida (H2O2), dan bakteriosin.Asam laktat seperti organic acid lanilla yang

dihasilkan oleh Lactobacillus, memegang peranan yang penting dalam memelihara

pH tetap di bawah 4,5 (antara 3,8 - 4,2), dimana merupakan tempat yang tidak sesuai

bagi pertumbuhan bakteri khususnya mikroorganisme yang patogen bagi vagina.

Kemampuan memproduksi H2O2 adalah mekanisme lain yang menyebabkan

Lactobacillus hidup dominan daripada bakteri obligat anaerob yang kekurangan

enzim katalase. Hidrogen peroksida dominan terdapat pada ekosistem vagina normal

tetapi tidak pada bakterial vaginosis. Mekanisme ketiga pertahanan yang diproduksi

oleh Lactobacillus adalah bakteriosin yang merupakan suatu protein dengan berat

molekul rendah yang menghambat pertumbuhan banyak bakteri khususnya

Gardnerella vaginalis.

G. vaginalis sendiri juga merupakan bakteri anaerob batang variabel gram yang

mengalami hiperpopulasi sehingga menggantikan flora normal vagina dari yang

tadinya bersifat asam menjadi bersifat basa. Perubahan ini terjadi akibat

berkurangnya jumlah Lactobacillus yang menghasilkan hidrogen peroksida.

Lactobacillus sendiri merupakan bakteri anaerob batang besar yang membantu


menjaga keasaman vagina dan menghambat mikroorganisme anaerob lain untuk

tumbuh di vagina.

Sekret vagina adalah suatu yang umum dan normal pada wanita usia produktif.

Dalam kondisi normal, kelenjar pada serviks menghasilkan suatu cairan jernih yang

keluar, bercampur dengan bakteri, sel-sel vagina yang terlepas dan sekresi dari

kelenjar Bartolini. Pada wanita, sekret vagina ini merupakan suatu hal yang alami

dari tubuh untuk membersihkan diri, sebagai pelicin, dan pertahanan dari berbagai

infeksi.

Dalam kondisi normal, sekret vagina tersebut tampak jernih, putih keruh, atau

berwarna kekuningan ketika mengering di pakaian, memiliki pH kurang dari 5,0

terdiri dari sel-sel epitel yang matur, sejumlah normal leukosit, tanpa jamur,

Trichomonas, tanpa clue cell.

Pada bakterial vaginosis dapat terjadi simbiosis antara G.vaginalis sebagai

pembentuk asam amino dan kuman anaerob beserta bakteri fakultatif dalam vagina

yang mengubah asam amino menjadi amin sehingga menaikkan pH sekret vagina

sampai suasana yang sesuai bagi pertumbuhan G. vaginalis. Beberapa amin diketahui

menyebabkan iritasi kulit dan menambah pelepasan sel epitel dan menyebabkan duh

tubuh berbau tidak sedap yang keluar dari vagina. Basil-basil anaerob yang menyertai

bakterial vaginosis diantaranya Bacteroides bivins, B. Capilosus dan B. disiens yang

dapat diisolasikan dari infeksi genitalia.

G. vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro, kemudian menambahkan

deskuamasi sel epitel vagina sehingga terjadi perlekatan duh tubuh pada dinding

vagina. Organisme ini tidak invasive dan respon inflamasi lokal yang terbatas dapat
dibuktikan dengan sedikitnya jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan

pemeriksaan histopatologis. Timbulnya bakterial vaginosis ada hubungannya dengan

aktivitas seksual atau pernah menderita infeksi Trichomonas.

Bakterial vaginosis yang sering rekurens bisa disebabkan oleh kurangnya

pengetahuan tentang faktor penyebab berulangnya atau etiologi penyakit ini.

Walaupun alasan sering rekurennya belum sepenuhnya dipahami namun ada 4

kemungkinan yang dapat menjelaskan yaitu :

1. Infeksi berulang dari pasangan yang telah ada mikroorganisme penyebab bakterial

vaginosis. Laki-laki yang mitra seksual wanitanya terinfeksi G. vaginalis

mengandung G. vaginalis dengan biotipe yang sama dalam uretra tetapi tidak

menyebabkan uretritis pada laki-laki (asimptomatik) sehingga wanita yang telah

mengalami pengobatan bakterial vaginosis cenderung untuk kambuh lagi akibat

kontak seksual yang tidak menggunakan pelindung.

2. Kekambuhan disebabkan oleh mikroorganisme bakterial vaginosis yang hanya

dihambat pertumbuhannya tetapi tidak dibunuh.

3. Kegagalan selama pengobatan untuk mengembalikan Lactobacillus sebagai flora

normal yang berfungsi sebagai protektor dalam vagina.

4. Menetapnya mikroorganisme lain yang belum diidentifikasi faktor hostnya pada

penderita, membuatnya rentan terhadap kekambuhan.


3.5 Patofisiologi

ETIOLOGI

Bakteriosin : H2O :
menghambat mempertahankan
pertumbuhan Lactobasilus
mikroorganisme ke amanan Vagina

an aerob lain di vagina

Lactobasilus

G vaginalis Vaginitis
G Vaginitis + Human an aerob + bakteri fakultatif

SIMBIOSIS

Perlekatan pada dinding


Vagina
Asam Amino

Radang Supuratif
Amin

Peningkatan sekret gatal


Menyebabkan
iritasi kulit dan Bau

MK : Resiko
Kerusakan
MK : Gangguan rasa Kulit Gatal
nyaman
Gambaran Klinis

Wanita dengan bakterial vaginosis dapat tanpa gejala. Gejala yang paling sering

pada bakterial vaginosis adalah adanya cairan vagina yang abnormal (terutama

setelah melakukan hubungan seksual) dengan adanya bau vagina yang khas yaitu bau

amis/bau ikan (fishy odor).

Bau tersebut disebabkan oleh adanya amin yang menguap bila cairan vagina

menjadi basa. Cairan seminal yang basa (pH 7,2) menimbulkan terlepasnya amin dari

perlekatannya pada protein dan amin yang menguap menimbulkan bau yang khas.

Walaupun beberapa wanita mempunyai gejala yang khas, namun pada sebagian besar

wanita dapat asimptomatik. Iritasi daerah vagina atau sekitar vagina (gatal, rasa

terbakar), kalau ditemukan lebih ringan daripada yang disebabkan oleh Trichomonas

vaginalis atau C.albicans. Sepertiga penderita mengeluh gatal dan rasa terbakar, dan

seperlima timbul kemerahan dan edema pada vulva. Nyeri abdomen, disuria, atau

nyeri waktu kencing jarang terjadi, dan kalau ada karena penyakit lain.

Pada pemeriksaan biasanya menunjukkan sekret vagina yang tipis dan sering

berwarna putih atau abu-abu, viskositas rendah atau normal, homogen, dan jarang

berbusa.Sekret tersebut melekat pada dinding vagina dan terlihat sebagai lapisan tipis
atau kelainan yang difus. Gejala peradangan umum tidak ada. Sebaliknya sekret

vagina normal, lebih tebal dan terdiri atas kumpulan sel epitel vagina yang

memberikan gambaran bergerombol.

Pada penderita dengan bakterial vaginosis tidak ditemukan inflamasi pada vagina

dan vulva. Bakterial vaginosis dapat timbul bersama infeksi traktus genital bawah

seperti trikomoniasis dan servisitis sehingga menimbulkan gejala genital yang tidak

spesifik.

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan preparat basah

Dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes cairan NaCl 0,9% pada sekret

vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan coverslip. Dan dilakukan

pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi (400 kali) untuk melihat

clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang diselubungi dengan bakteri

(terutama Gardnerella vaginalis). Pemeriksaan preparat basah mempunyai

sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial vaginosis. Clue

cells adalah penanda bakterial vaginosis.

Cara pemeriksaannya :

Pemeriksaan preparat basah;dilakukan dengan meneteskan satu atau dua tetes

cairan NaCl 0,9% pada sekret vagina diatas objek glass kemudian ditutupi dengan

coverslip. Dan dilakukan pemeriksaan mikroskopik menggunakan kekuatan tinggi

(400 kali) untuk melihat clue cells, yang merupakan sel epitel vagina yang

diselubungi dengan bakteri (terutama Gardnerella vaginalis).Pemeriksaan preparat

basah mempunyai sensitifitas 60% dan spesifitas 98% untuk mendeteksi bakterial
vaginosis. Clue cells adalah penanda bakterial vaginosis, > 20% pada preparat

basah atau pewarnaan Gram.

Skoring jumlah bakteri yang normal pada vagina atau vaginosis bakterial dengan

pewarnaan Gram :

Lactobacilli Gardnerella/ Mobilincus sp

Bacteroides

(4+) : 0 (1+) : 1 (1+)-(2+) : 1

(3+) : 1 (2+) : 2 (3+)-(4+) : 2

(2+) : 2 (3+) : 3

(1+) : 3 (4+) : 3

(0) : 4
Skor 0-3 dinyatakan normal; 4-6 dinyatakan sebagai intermediate; 7-10

dinyatakan sebagai vaginosis bakterial.

Kriteria diagnosis vaginosis bakterial berdasarkan pewarnan Gram :

a. derajat 1: normal, di dominasi oleh Lactobacillus

b. derajat 2: intermediate, jumlah Lactobacillus berkurang

c. derajat 3: abnormal, tidak ditemukan Lactobacillus atau hanya ditemukan

beberapa kuman tersebut, disertai dengan bertambahnya jumlah Gardnerella

vaginalis atau lainnya.

1. Whiff test

Whiff test dinyatakan positif bila bau amis atau bau amin terdeteksi dengan

penambahan satu tetes KOH 10-20% pada sekret vagina. Bau muncul sebagai
akibat pelepasan amin dan asam organik hasil alkalisasi bakteri anaerob. Whiff

test positif menunjukkan bakterial vaginosis.

2. Tes lakmus untuk Ph

Kertas lakmus ditempatkan pada dinding lateral vagina. Warna kertas

dibandingkan dengan warna standar. pH vagina normal 3,8 - 4,2. Pada 80-90%

bakterial vaginosis ditemukan pH > 4,5.

3. Pewarnaan gram sekret vagina

Pewarnaan gram sekret vagina dari bakterial vaginosis tidak ditemukan

Lactobacillus sebaliknya ditemukan pertumbuhan berlebihan dari Gardnerella

vaginalis dan atau Mobilincus Spp dan bakteri anaerob lainnya.

4. Kultur vagina

Kultur Gardnerella vaginalis kurang bermanfaat untuk diagnosis bakterial

vaginosis. Kultur vagina positif untuk G. vaginalis pada bakterial vaginosis tanpa

grjala klinis tidak perlu mendapat pengobatan.

5. Uji H2O2 :

Pemberian setetes H2O2 (hidrogen peroksida) pada sekret vagina diatas gelas

objek akan segera membentuk gelembung busa ( foaming bubbles) karena

adanya sel darah putih yang karakteristik untuk trikomoniasis atau pada vaginitis

deskuamatif, sedangkan pada vaginosis bakterialis atau kandidiasis vulvovaginal

tidak bereaksi.

Diagnosis

Diagnosis bakterial vaginosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan mikroskopis. Anamnesis menggambarkan riwayat sekresi vagina terus-


menerus dengan bau yang tidak sedap. Kadang penderita mengeluh iritasi pada vagina

disertai disuria/dispareunia, atau nyeri abdomen. Pada pemeriksaan fisis relatif tidak

banyak ditemukan apa-apa, kecuali hanya sedikit inflamasi dapat juga ditemukan

sekret vagina yang berwarna putih atau abu-abu yang melekat pada dinding vagina.

Gardner dan Dukes (1980) menyatakan bahwa setiap wanita dengan aktivitas

ovum normal mengeluarkan cairan vagina berwarna abu-abu, homogen, berbau

dengan pH 5 - 5,5 dan tidak ditemukan T.vaginalis, kemungkinan besar menderita

bakterial vaginosis. WHO (1980) menjelaskan bahwa diagnosis dibuat atas dasar

ditemukannya clue cells, pH vagina lebih besar dari 4,5, tes amin positif dan adanya

G. vaginalis sebagai flora vagina utama menggantikan Lactobacillus. Balckwell

(1982) menegakkan diagnosis berdasarkan adanya cairan vagina yang berbau amis

dan ditemukannya clue cells tanpa T. vaginalis. Tes amin yang positif serta pH vagina

yang tinggi akan memperkuat diagnosis.

Dengan hanya mendapat satu gejala, tidak dapat menegakkan suatu diagnosis,

oleh sebab itu didapatkan kriteria klinis untuk bakterial vaginosis yang sering disebut

sebagai kriteria Amsel (1983) yang berpendapat bahwa terdapat tiga dari empat gejala,

yaitu :

1. Adanya sekret vagina yang homogen, tipis, putih, melekat pada dinding vagina dan

abnormal.

2. pH vagina > 4,5

3. Tes amin yang positif, yangmana sekret vagina yang berbau amis sebelum atau

setelah penambahan KOH 10% (Whiff test)

4. Adanya clue cells pada sediaan basah (sedikitnya 20 dari seluruh epitel)
Gejala diatas sudah cukup untuk menegakkan diagnosis.

Diagnosis Banding

Ada beberapa penyakit yang menggambarkan keadaan klinik yang mirip dengan

bakterial vaginosis, antara lain :

1. Trikomoniasis

Trikomoniasis merupakan penyakit menular seksual yang disebabkan oleh

Trichomonas vaginalis. Biasanya penyakit ini tidak bergejala tapi pada beberapa

keadaan trikomoniasis akan menunjukkan gejala. Terdapat duh tubuh vagina

berwarna kuning kehijauan, berbusa dan berbau. Eritem dan edem pada vulva, juga

vagina dan serviks pada beberapa perempuan. Serta pruritos, disuria, dan dispareunia.

Pemeriksaan apusan vagina Trikomoniasis sering sangat menyerupai

penampakan pemeriksaan apusan bakterial vaginosis. Tapi Mobilincus dan clue cell

tidak perbah ditemukan pada Trikomoniasis. Pemeriksaan mikroskopoik tampak

peningkatan sel polimorfonuklear dan dengan pemeriksaan preparat basah ditemukan

protozoa untuk diagnosis. Whiff test dapat positif pada trikomoniasis dan pH vagina

5 pada trikomoniasis.

2. Kandidiasis
Kandidiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh Candida albicans atau

kadang Candida yang lain. Gejala yang awalnya muncul pada kandidiasis adalah

pruritus akut dan keputihan. Keputihan seringkali tidak ada dan hanya sedikit.

Kadang dijumpai gambaran khas berupa vaginal thrush yaitu bercak putih yang terdiri

dari gumpalan jamur, jaringan nekrosis epitel yang menempel pada vagina. Dapat

juga disertai rasa sakit pada vagina iritasi, rasa panas dan sakit saat berkemih.

Pada pemeriksaan mikroskopik, sekret vagina ditambah KOH 10% berguna

untuk mendeteksi hifa dan spora Candida. Keluhan yang paling sering pada

kandidiasis adalah gatal dan iritasi vagina. Sekret vagina biasanya putih dan tebal,

tanpa bau dan pH normal.

Pencegahan

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam menjaga kondisi tubuh adalah sbb :

1. Bersihkan organ intim dengan pembersih yang tidak mengganggu kestabilan

pH di sekitar vagina. Salah satunya produk pembersih yang terbuat dari bahan

dasar susu. Produk seperti ini mampu menjaga seimbangan pH sekaligus

meningkatkan pertumbuhan flora normal dan menekan pertumbuhan bakteri

yang tak bersahabat. Sabun antiseptik biasa umumnya bersifat keras dan dapat

flora normal di vagina. Ini tidak menguntungkan bagi kesehatan vagina dalam

jangka panjang.

2. Hindari pemakaian bedak pada organ kewanitaan dengan tujuan agar vagina

harum dan kering sepanjang hari. Bedak memiliki partikel-partikel halus yang

mudah terselip disana-sini dan akhirnya mengundang jamur dan bakteri

bersarang di tempat itu.


3. Selalu keringkan vagina sebelum berpakaian

4. Gunakan celana dalam yang kering. Seandainya basah atau lembab, usahakan

cepat mengganti dengan yang bersih dan belum dipakai. Tak ada salahnya

Anda membawa cadangan celana dalam tas kecil untuk berjaga-jaga manakala

perlu menggantinya.

5. Gunakan celana dalam yang bahannya menyerap keringat, seperti katun.

6. Celana dari bahan satin atau bahan sintetik lain membuat suasana disekitar

organ intim panas dan lembab.

7. Pakaian luar juga perlu diperhatikan. Celana jeans tidak dianjurkan karena

pori-porinya sangat rapat. Pilihlah seperti rok atau celana bahan non-jeans agar

sirkulasi udara di sekitar organ intim bergerak leluasa

8. Ketika haid, sering-seringlah berganti pembalut

9. Gunakan panty liner disaat perlu saja. Jangan terlalu lama. Misalkan saat

bepergian ke luar rumah dan lepaskan sekembalinya kerumah.

Penatalaksanaan

Penyakit baktrerial vaginosis merupakan penyakit yang cukup banyak ditemukan

dengan gambaran klinis ringan tanpa komplikasi. Sekitar 1 dari 4 wanita akan sembuh

dengan sendirinya, hal ini diakibatkan karena organisme Lactobacillus vagina kembali

meningkat ke level normal, dan bakteri lain mengalami penurunan jumlah. Namun

pada beberapa wanita, bila bakterial vaginosis tidak diberi pengobatan, akan

menimbulkan keadaan yang lebih parah. Oleh karena itu perlu mendapatkan

pengobatan, dimana jenis obat yang digunakan hendaknya tidak membahayakan dan

sedikit efek sampingnya.


Semua wanita dengan bakterial vaginosis simtomatik memerlukan

pengobatan, termasuk wanita hamil. Setelah ditemukan hubungan antara

bakterial vaginosis dengan wanita hamil dengan prematuritas atau endometritis

pasca partus, maka penting untuk mencari obat-obat yang efektif yang bisa

digunakan pada masa kehamilan. Ahli medis biasanya menggunakan antibiotik

seperti metronidazol dan klindamisin untuk mengobati bakterial vaginosis.

a. Terapi sistemik

1. Metronidazol merupakan antibiotik yang paling sering digunakan yang

memberikan keberhasilan penyembuhan lebih dari 90%, dengan dosis 2 x

400 mg atau 500 mg setiap hari selama 7 hari. Jika pengobatan ini gagal,

maka diberikan ampisilin oral (atau amoksisilin) yang merupakan pilihan

kedua dari pengobatan keberhasilan penyembuhan sekitar 66%).

- Kurang efektif bila dibandingkan regimen 7 hari

- Mempunyai aktivitas sedang terhadap G.vaginalis, tetapi sangat aktif

terhadap bakteri anaerob, efektifitasnya berhubungan dengan inhibisi


anaerob. Metronidazol dapat menyebabkan mual dan urin menjadi

gelap.

2. Klindamisin 300 mg, 2 x sehari selama 7 hari. Sama efektifnya dengan

metronidazol untuk pengobatan bakterial vaginosis dengan angka

kesembuhan 94%. Aman diberikan pada wanita hamil. Sejumlah kecil

klindamisin dapat menembus ASI, oleh karena itu sebaiknya menggunakan

pengobatan intravagina untuk perempuan menyusui.

3. Amoklav (500 mg amoksisilin dan 125 mg asam klavulanat) 3 x sehari

selama 7 hari. Cukup efektif untuk wanita hamil dan intoleransi terhadap

metronidazol

4. Tetrasiklin 250 mg, 4 x sehari selama 5 hari.

5. Doksisiklin 100 mg, 2 x sehari selama 5 hari.

6. Eritromisin 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

7. Cefaleksia 500 mg, 4 x sehari selama 7 hari.

b. Terapi Topikal

1. Metronidazol gel intravagina (0,75%) 5 gram, 1 x sehari selama 5 hari.

2. Klindamisin krim (2%) 5 gram, 1 x sehari selama 7 hari.

3. Tetrasiklin intravagina 100 mg, 1 x sehari.

4. Triple sulfonamide cream(Sulfactamid 2,86%, Sulfabenzamid 3,7% dan

Sulfatiazol 3,42%), 2 x sehari selama 10 hari, tapi akhir-akhir ini dilaporkan

angka penyembuhannya hanya 15 – 45 %.

c. Pengobatan bakterial vaginosis pada masa kehamilan


Terapi secara rutin pada masa kehamilan tidak dianjurkan karena dapat

muncul masalah. Metronidazol tidak digunakan pada trimester pertama

kehamilan karena mempunyai efek samping terhadap fetus. Dosis yang lebih

rendah dianjurkan selama kehamilan untuk mengurangi efek samping

(Metronidazol 200-250 mg, 3 x sehari selama 7 hari untuk wanita hamil).

Penisilin aman digunakan selama kehamilan, tetapi ampisilin dan

amoksisilin jelas tidak sama efektifnya dengan metronidazol pada wanita

tidak hamil dimana kedua antibiotik tersebut memberi angka kesembuhan

yang rendah.

Pada trimester pertama diberikan krim klindamisin vaginal karena

klindamisin tidak mempunyai efek samping terhadap fetus. Pada trimester II

dan III dapat digunakan metronidazol oral walaupun mungkin lebih disukai

gel metronidazol vaginal atau klindamisin krim.

d. Untuk keputihan yang ditularkan melalui hubungan seksual

Terapi juga diberikan kepada pasangan seksual dan dianjurkan tidak

berhubungan selama masih dalam pengobatan.

Komplikasi

Pada kebanyakan kasus, bakterial vaginosis tidak menimbulkan komplikasi

setelah pengobatan. Namun pada keadaan tertentu, dapat terjadi komplikasi yang

berat. Bakterial vaginosis sering dikaitkan dengan penyakit radang panggul (Pelvic

Inflamatory Disease/PID), dimana angka kejadian bakterial vaginosis tinggi pada

penderita PID.
Pada penderita bakterial vaginosis yang sedang hamil, dapat menimbulkan

komplikasi antara lain : kelahiran prematur, ketuban pecah dini, bayi berat lahir

rendah, dan endometritis post partum. Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan

agar semua wanita hamil yang sebelumnya melahirkan bayi prematur agar

memeriksakan diri untuk screening vaginosis bakterial, walaupun tidak menunjukkan

gejala sama sekali. Bakterial vaginosis disertai peningkatan resiko infeksi traktus

urinarius.

Prinsip bahwa konsentrasi tinggi bakteri pada suatu tempat meningkatkan

frekuensi di tempat yang berdekatan. Terjadi peningkatan infeksi traktus genitalis atas

berhubungan dengan bakterial vaginosis. Lebih mudah terjadi infeksi Gonorrhoea dan

Klamidia. Meningkatkan kerentanan terhadap HIV dan infeksi penyakit menular

seksual lainnya.

Prognosis

Bakterial vaginosis dapat timbul kembali pada 20-30% wanita walaupun tidak

menunjukkan gejala. Pengobatan ulang dengan antibiotik yang sama dapat dipakai.

Prognosis bakterial vaginosis sangat baik, karena infeksinya dapat disembuhkan.

Dilaporkan terjadi perbaikan spontan pada lebih dari 1/3 kasus. Dengan pengobatan

metronidazol dan klindamisin memberi angka kesembuhan yang tinggi (84-96%).

Daftar Pustaka

Morgan, Geri &Carol Hamilton.2011. Obsterti dan Ginekologi Panduan Praktis.

Jakarta :EGC
Hacker, & Moore. 2001. Esensial Obsterti dan Ginekologi. Jakarta : EGC

Turovskiy Y, NollKS, Chikindas ML. The aetology of bacterial vaginosis. J App

Micro. 2011; 110 (5): 1105-28.

Kumar N, Behera B, Sagiri SS, Pal K, Ray SS, Roy S. Bacterial vaginosis: Etiology

and modalities of treatment.J Pharm Bioallied Sci. 2011; 3 (4): 496-503.

Truter I, Graz M. Bacterial vaginosis: Literature review of treatment option with

specific emphasis on non-antibiotic treatment. Arf J Pharm

Pharmacol. 2013; 7 (48): 3060-7.

SALPINGITIS
1. Definisi

Salpingitis adalah radang pada tuba falopi, paling sering disebabkan

oleh infeksi. Salpingitis akut sering disebut penyakit radang panggul atau

Pelvic Inflammatory Disease (PID) (Ross, 2017)

Gambar 4.1 Salpingitis Akut (CDC)

2. Etio-Patofisiologi

Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatis sudah

teridentifikasi sebagai penyebab utama dari PID. Namun mycoplasma

genitalium dan bakteri anaerob juga memegang peranan dalam infeksi ini.

Mikroorganisme yang berasal dari flora normal vagina seperti streptococci,

staphylococci, Escherichia coli dan Haemophilus influenzae dapat pula

menyebabkan infeksi genitalia bagian atas. Kombinasi dari berbagai

mikroorganisme juga sering didapatkan (Ross, 2017).


Infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhea dan

Chlamydia trachomatis. Flora normal vagina seperti Gardnerella vaginalis,

Haemophilus influenzae, batang ram negatif dari usus dan streptococcus

agalactiae, dapat juga disebabkan oleh CMV, Mycoplasma hominis,

Ureaplasma urelayticum. Infeksi asenden berasal dari infeksi alat genitalia

bagian bawah, seperti sistitis, uretritis, vulvitis, vaginitis, vaginosis bakterial,

servisitis, infeksi kelenjar Bartholin, serta terjadi karena pemasangan IUD,

tindakan biopsi, sondase, kuretase, pascasalin dan pasca operasi yang tidak

memperhatikan upayaupaya pencegahan infeksi. Bisa juga terjadi penyakit

radang panggul karena penularan dari infeksi traktus intestinalis, paling sering

karena apendisitis.

Gambar 4.1 Patofisiologi salpingitis

PID biasanya dimulai oleh servisitis (A). Hal ini diikuti oleh

perubahan kondisi mikroba di vagina dan serviks (B). Mengakibatkan


vaginosis bakterial (C) Patogen (baik yang awal maupun BV akan naik ke

traktus genital atas. Bagian yang berwarna abu-abu adalah bagian yang

terkena.

Gambar 4.2 Salpingitis

3. Epidemiologi

Satu dari 7 wanita Amerika telah menjalani perawatan karena infeksi

ini dan kurang lebih satu juta kasus baru terjadi setiap tahun • Penyakit radang

panggul sebagian besar (90%) terjadi karena infeksi asenden, selebihnya dapat

terjadi karena tindakan medis, atau penyebaran limfogen atau hematogen.

4. Diagnosis

Gejala dari salpingitis dapat simpotomatis dan asimptomatis. Sebagian

besar pasien datang dengan keluhan nyeri perut bagian bawah yang pada

umumnya bilateral, dispareunia, terdapat perdarahan abnormal (intermenstrual


bleeding, postcoital bleeding and menorrhagia) dan terdapat sekret abnormal

pada vagina. Sementara pada pemeriksaan fisik pada umumnya didapatkan

nyeri tekan pada abdomen bagian bawah, nyeri servikal pada pemeriksaan

bimanual dan demam lebih dari 38 C (Ross, 2017).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menetapkan

pedoman untuk diagnosis PID akut dan kriteria klinis minimum untuk

memulai pengobatan.

a. Kriteria minimal untuk diagnosis klinis PID

Pengobatan empiris harus dimulai pada wanita muda yang aktif secara

seksual dan lainnya yang berisiko terkena PMS jika semua kriteria

minimal berikut terpenuhi dan tidak ada penyebab lain dari penyakit ini

yang dapat diidentifikasi:

● Sakit perut bagian bawah

● Nyeri tekan adneksa bilateral

● Gerakan kelembutan serviks

b. Kriteria tambahan berguna dalam mendiagnosis PID

Karena diagnosis dan manajemen yang salah dapat menyebabkan

morbiditas yang tidak perlu, kriteria berikut harus digunakan untuk

meningkatkan spesifisitas diagnosis.


● Rutin

⮚ Suhu mulut lebih besar dari 38,3°C

⮚ Abnormal cervical atau sekret vagina

⮚ Peningkatan kadar ESR dan /atau C- protein reaktif

⮚ Bukti kultur atau nonkultur infeksi serviks dengan

N.gonorrhoeae atau C.trachomatis

● Terperinci

⮚ Bukti histopatologis endometritis pada biopsi

endometrium

⮚ Abses tubo-ovarium (TOA) atau tuba berisi cairan kental

dengan atau tanpa cairan bebas pada USG atau teknik

pencitraan lainnya.

⮚ Temuan laparoskopi

5. Manajemen

Pasien dapat diobati sebagai pasien rawat jalan. Namun, sesuai dengan

pedoman CDC 2006, rawat inap pasien harus digunakan sesuai kebijaksanaan

dokter. Beberapa kriteria untuk rawat inap disarankan :

● Kehamilan
● Presence of TOA

● Pasien tidak patuh atau tidak dapat mentoleransi terapi oral

● Gejalanya sangat parah dan termasuk mual, muntah, dan demam

tinggi

● Respon terhadap regimen rawat jalan tidak memadai

● Diagnosis dan keadaan darurat yang tidak pasti tidak dapat

dikesampingkan (misalnya, radang usus buntu)

Tidak ada bukti bahwa IUD harus dikeluarkan pada pasien yang

didiagnosis dengan PID. Wanita yang mempertahankan IUD memiliki hasil

yang sama dengan mereka yang IUD-nya dikeluarkan. Menutup tindak lanjut

wanita yang mempertahankan IUD adalah wajib, karena pengangkatan

dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan klinis setelah 72

jam pengobatan untuk PID.

Regimen rawat jalan dapat dipertimbangkan pada PID ringan sampai

sedang. Regimen meliputi:


Gambar 4.3 regimen salpingitis rawat jalan

Dalam pemutakhiran kritis pada tanggal 12 April 2007, CDC tidak

merekomendasikan penggunaan Fluoroquinolones untuk pengobatan infeksi

gonokokus dan kondisi terkait seperti PID. Akibatnya, hanya 1 kelas obat,

sefalosporin, masih dianjurkan dan tersedia untuk pengobatan gonore.

Regimen rawat inap meliputi:


Gambar 4.4 Regimen rawat inap

6. Komplikasi

Komplikasi potensial yang dapat terjadi akibat salpingitis meliputi ooforitis,

peritonitis, piosalping, abses tuboovarium, tromboflebitis septik, limfangitis,

selulitis, perihepatitis, dan abses didalam ligamentum latum, Infertilitas

dimasa depan, dan kehamilan ektopik akibat kerusakan tuba. Tanpa

pengobatan, salpingitis dapat menyebabkan berbagai komplikasi, termasuk:

● Infeksi lebih lanjut - infeksi dapat menyebar ke struktur di dekatnya,

seperti indung telur atau rahim

● Infeksi pasangan seks - mitra wanita atau mitra bisa mengontrak

bakteri dan terinfeksi juga


● Tubo-ovarium abses - sekitar 15 persen dari wanita dengan salpingitis

mengembangkan abses, yang membutuhkan rawat inap

● Kehamilan ektopik - tabung falopi diblokir mencegah telur dibuahi

memasuki rahim. Embrio kemudian mulai tumbuh di dalam ruang

terbatas dari tabung falopi. Risiko kehamilan ektopik untuk wanita

dengan salpingitis sebelumnya atau bentuk lain dari penyakit radang

panggul (PID) adalah sekitar satu dari 20.

● Infertilitas - tabung tuba dapat menjadi cacat atau bekas luka

sedemikian rupa bahwa telur dan sperma tidak dapat bertemu. Setelah

satu serangan PID salpingitis atau lainnya, risiko seorang wanita

infertilitas adalah sekitar 15 persen. Ini meningkat sampai 50 persen

setelah tiga bulan.


DAFTAR PUSTAKA

1. Department Of Health And Human Services Centers For Disease Control

Prevention viewed on Sep 11 2018 from :

https://www.cdc.gov/std/training/picturecards/acute-salpingitis-pid.pdf

2. Ross et all. 2017. European guideline for the management of pelvic

inflammatory disease,International Journal of STD & AIDS, pp: 1-7 viewed

on Sep 11 2018 from :

https://www.iusti.org/regions/europe/pdf/2017/IUSTIPIDGuideline2017.pdf

3. http://edunakes.bppsdmk.kemkes.go.id/images/pdf/Obsgin_4_Juni_2014/Bl

ok%2010/Penyakit%20Radang%20Panggul%20ppt.pdf diakses pada 11

September 2018.
VULVITIS

A. Definisi

Vulvitis adalah peradangan pada alat kelamin perempuan eksternal,

disebut vulva. Hal ini dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur atau

parasit. Vulvovaginitis menyebabkan adanya duh vagina, iritasi, dan gatal.

Bakterial vaginosis merupakan penyebab paling penting vulvovaginitis. (whg

pc, 2013).

B. Epidemiologi

Infeksi BV adalah penyebab paling umum dari gejala-gejala yang

terjadi pada vagina wanita. Bakterial vaginosis terjadi pada sepertiga wanita di

Amerika Serikat, yaitu sekitar 21 juta wanita. Setiap tahun, 10 juta wanita

datang ke dokter dengan keluhan sekret vagina. Peningkatan prevalensi ini

diduga berhubungan dengan merokok, obesitas, single/tidak pernah menikah,

kehamilan, dan riwayat abortus. Gardnerella vaginalis didapatkan pada

hampir 100% wanita dengan keluhan bakterial vaginosis dan hampir 70%

pada wanita tanpa keluhan bakterial vaginosis. Sebagian besar wanita

denganinfeksi BV (84%) melaporkan tidak merasakan adanya gejala. Wanita

yang belum melakukan hubungan seks vaginal, oral, atau anal masih bisa

terinfeksi BV (18,8%), demikian pula pada wanita hamil (25%), dan wanita

yang sudah pernah hamil (31,7%). Prevalensi infeksi BV meningkat

berdasarkan jumlah pasangan seksual seumur hidup. (Djuanda dkk., 2007).

C. Etiologi

Penyebabnya bisa berupa (whg pc, 2013) :


1. Infeksi

a. Bakteri (misalnya klamidia, gonokokus)

b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes, wanita

hamil dan pemakaiantibiotik

c. Protozoa (misalnya Trichomonas vaginalis)

d. Virus (misalnya virus papiloma manusia dan virus herpes).

2. Zat atau benda yang bersifat iritatif

a. Spermisida, pelumas, kondom, diafragma, penutup serviks dan spons

b. Sabun cuci dan pelembut pakaian

c. Deodoran

d. Zat di dalam air mandi

e. Pembilas vagina

f. Pakaian dalam yang terlalu ketat, tidak berpori-pori dan tidak menyerap

keringat

g. Tinja

3. Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya

4. Terapi penyinaran

5. Obat-obatan

6. Perubahan hormonal.

D. Patogenesis

Meskipun penyebab dari bakterial vaginosis belum diketahui dengan

pasti, kondisi ini diduga karena perubahan keseimbangan flora normal di

vagina akibat peningkatan Phlokal yang mungkin merupakan akibat dari


berkurangnya Lactobacillus yang memproduksi hydrogen peroksida.

Normalnya, di dalam vagina terdapat Lactobacillus dalam jumlah yang

banyak. Sedangkan hampir semua bakteri anaerob hanya memiliki enzim

katalase peroksidase dalam jumlah sedikit sehingga tidak bisa menghilangkan

hydrogen peroksida. Pada bakterial vaginosis, jumlah Lactobacillus

berkurang, sehingga terjadi peningkatan jumlah bakteri anaerob, termasuk

G.vaginalis. Lactobacillus merupakan bakteri yang membantu metabolism

glikogen menjadi asam laktat di dalam vagina dan menjaga Ph normal vagina.

Kadar Ph normal membantu melawan proliferasi bakteri patogen. Jika

mekanisme pertahanan ini gagal, maka banyak bakteri patogen di dalam

vagina (misalnya: Bacteroide ssp, Pepto streptococcu ssp, Gardnerella

vaginalis, G.mobiluncus, Mycoplasma hominis) akan berploriferasi dan

menimbulkan keluhan. Sekitar 50% wanita terdapat G.vaginalis sebagai flora

di vaginanya tapi tidak berkembang menjadi infeksi (Curran, 2010).

Gardnerella vaginalis melekat pada sel-sel epitel vagina in vitro,

kemudian menambah deskuamasi sel epitel vagina, sehingga terjadi

perlekatan secret pada dinding vagina. Organisme ini tidak invasive dan

respons inflamasi lokal yang terbatas dapat dibuktikan dengan sedikitnya

jumlah leukosit dalam sekret vagina dan dengan pemeriksaan histopatologis

tidak ditemukan imunitas (Djuanda dkk., 2007).

E. Patofisiologi
Bila keseimbangan mikroorganisme berubah maka organisme yang

berpotensi patogen, yang merupakan bagian flora normal, misalnya C.

Albicans pada kasus infeksi monolia serta G. Vaginalis dan bakteri anaerob

pada kasus vaginitis non spesifik berproliferasi sampai suatu konsentrasi yang

berhubungan dengan gejala. Pada mekanisme lainya, organisme ditularkan

melalui hubungan seksual dan bukan merupakan bagian flora normal seperti

trichomonas vaginalis dan nisseria gonorrhoea dapat menimbulkan gejala.

Gejala yang timbul bila proses meningkatkan respon peradangan terhadap

organisme yang menginfeksi dengan menarik leukosit serta melepaskan

prostaglandin dan komponen respon peradangan lainnya (Andrew, 2011).

Gejala ketidaknyamanan dan pruritus vagina berasal dari respon

peradangan vagina lokal terhadap infeksi T. Vaginalis atau C.

Albicans,Organisme tertentu yang menarik leukosit , termasuk T.Vaginalis ,

menghasilkan secret purulen. Diantara wanita dengan vaginitis  non spesifik.

Baunya disebabkan oleh terdapatnya amina dibentuk sebagai hasil

metabolisme bakteri anaerob. Histamin dapat menimbulkan ketidaknyamanan

oleh efek vasodilatasi local. Produk lainya dapat merusak sel – sel epitel

dengan cara sama dengan infeksi lainya (Andrew, 2011).

F. Tanda dan Gejala

Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan

abnormal dari vagina. Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak,

baunya menyengat atau disertai gatal-gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal
sering tampak lebih kental dibandingkan cairan yang normal dan warnanya

bermacam-macam. Misalnya bisa seperti keju, atau kuning kehijauan atau

kemerahan (Sudung, 2010).

Infeksi vagina karena bakteri cenderung mengeluarkan cairan

berwarna putih, abu-abu atau keruh kekuningan dan berbau amis. Setelah

melakukan hubungan seksual atau mencuci vagina dengan sabun, bau

cairannya semakin menyengat karena terjadi penurunan keasaman vagina

sehingga bakteri semakin banyak yang tumbuh. Vulva terasa agak gatal dan

mengalami iritasi (Sudung, 2010).

Infeksi jamur menyebabkan gatal-gatal sedang sampai hebat dan rasa

terbakar pada vulva dan vagina. Kulit tampak merah dan terasa kasar. Dari

vagina keluar cairan kental seperti keju. Infeksi ini cenderung berulang pada

wanita penderita diabetes dan wanita yang mengkonsumsi antibiotik (Sudung,

2010).

Infeksi karena Trichomonas vaginalis menghasilkan cairan berbusa

yang berwarna putih, hijau keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak

sedap. Gatal-gatalnya sangat hebat (Sudung, 2010).

Cairan yang encer dan terutama jika mengandung darah, bisa

disebakan oleh kanker vagina, serviks (leher rahim) atau endometrium. Polip

pada serviks bisa menyebabkan perdarahan vagina setelah melakukan

hubungan seksual. Rasa gatal atau rasa tidak enak pada vulva bisa disebabkan

oleh infeksi virus papiloma manusia maupun karsinoma in situ (kanker

stadium awal yang belum menyebar ke daerah lain) (Sudung, 2010).


Luka terbuka yang menimbulkan nyeri di vulva bisa disebabkan oleh

infeksi herpes atau abses. Luka terbuka tanpa rasa nyeri bisa disebabkan ole

kanker atau sifilis. Kutu kemaluan (pedikulosis pubis) bisa menyebabkan

gatal-gatal di daerah vulva (Sudung, 2010).

G. Penegakan Diagnosis

3. Anamnesa

Anamnesis didapatkan (Lin dkk., 2010) :

a. Ekstrim dan konstan gatal.

b. Sebuah sensasi terbakar di daerah vulva

4. Pemeriksaan Fisik (Lin dkk., 2010) :

a. Keputihan

b. Retak kecil pada kulit vulva

c. Kemerahan dan pembengkakan pada vulva dan labia (bibir vagina)

d. Lecet pada vulva

e. Bersisik, patch keputihan tebal di vulva

5. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan leukosit esterase dengan dipstik merupakan pemeriksaan

skrining yang cepat dalam menegakkan diagnosis vaginitis dan servisitis.

Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi trikomonas, kandida, dan vaginosis

bakterial, serta infeksi oleh gonokokus dan klamidia. Biakan sekret

vagina,sitologi, dan vaginoskopi perlu dilakukan untuk evaluasi

vulvovaginitis, namun pada kebanyakan kasus vulvitis primer nonspesifik

tidak diperlukan vaginoskopi. Vaginoskopi biasanya diperlukan pada


vulvovaginitis persisten atau berulang, perdarahan vagina, kecurigaan

terhadap benda asing, neoplasma, atau anomali kongenital (Wijayanti, 2014).

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah

(Wijayanti, 2014):

a. Pengukuran pH

Penentuan pH dengan kertas indicator (N: 3.0-4.5)

Hasil pengukuran pH cairan vagina

- Pada pH vagina 6.8-8.5 sering disebabkan oleh Gonokokus

- Pada pH vagina 5.0-6.5 sering disebabkan oleh Gardanerrella

vaginalis

- Pada pH vagina 4.0-6.8 sering disebabkan candida albican

- Pada pH vagina 4,0-7.5 sering disebabkan oleh trichomoniasis

tetapi tidak cukup spesifik.

b. Penilaian sedian basah

Penilaian diambil untuk pemeriksaan sedian basah dengan KOH

10% dan garam fisiologis (NaCl 0.9%). Cairan dapat diperiksa

dengan melarutkan sampel dengan 2 tetes larutan NaCl 0,9% diatas

objek glass dan sampel kedua di larutkan dalam KOH 10%.

Penutup objek glass ditutup dan diperiksa dibawah mikroskop.

- Trikomonas vaginalis akan terlihat jelas dengan NaCl 0.9% sebagai

parasit berbentuk lonjong dengan flagelnya dan gerakannya yang

cepat.

- Candida albicans akan terlihat jelas dengan KOH 10% tampak sel
ragi (blastospora) atau hifa semu.

- Vaginitis non spesifik yang disebabkan oleh Gardnerella vaginalis

pada sediaan dapat ditemukan beberapa kelompok basil, lekosit

yang tidak seberapa banyak dan banyak sel-selepitel yang sebagian

besar permukannya berbintik-bintik. Sel-sel ini disebut clue cell

yang merupakan cirri khas infeksi Gardnerella vaginalis.

c. Perwarnaan Gram

- Neisseria Gonorhoea memberikan gambaran adanya gonokokus

intra dan ekstraseluler.

- Gardnerella vaginalis memberikan gambaran batang-batang

berukuran kecil gram negative yang tidak dapat dihitung jumlahnya

dan banyak sel epitel dengan koko basil, tanpa ditemukan lakto

basil.

d. Kultur

Dengan kultur akan dapat ditemukan kuman penyebab secara

pasti, tetapi seringkali kuman tidak tumbuh sehingga harus hati-hati

dalam penafsiran.

e. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendeteksi Herpes

Genitalis dan Human Papiloma Virus dengan pemeriksaan ELISA.

f. Tes Pap Smear


Pemeriksaan ini ditujukan untuk mendeteksi adanya keganasan

pada serviks, infeksi Human Papiloma Virus, peradangan, sitologi

hormonal, dan evaluasi hasil terapi.

H. Penatalaksanaan

a. Terapi lama

1. Jika cairan yang keluar dari vagina normal, kadang pembilasan dengan

air bisa membantu mengurangi jumlah cairan.

2. Cairan vagina akibat vaginitis perlu diobati secara khusus sesuai

dengan penyebabnya.

3. Jika penyebabnya adalah infeksi, diberikan antibiotik, anti-jamur atau

anti-virus, tergantung kepada organism penyebabnya.

4. Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan pembilasan vagina

dengan campuran cuka dan air. Tetapi pembilasan ini tidak boleh

dilakukan terlalu lama dan terlalu sering karena bisa meningkatkan

resiko terjadinya peradangan panggul.

5. Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit di sekitar vagina dan uretra)

menjadi menempel satu sama lain, bisa dioleskan krim estrogen selama

7-10 hari.

6. Selain antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam

propionat agar cairan vagina lebih asam sehingga mengurangi

pertumbuhan bakteri.

7. Pada infeksi menular seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi,

kedua pasangan seksual diobati pada saat yang sama.


8. Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi sulih

estrogen. Estrogen bisa diberikan dalam bentuk tablet, plester kulit

maupun krim yang dioleskan langsung ke vulva dan vagina.

b. Terapi baru

Jenis infeksi Pengobatan


● Miconazole, clotrimazole, butoconazole atau

terconazole (krim, tablet vagina atau supositoria)

Jamur ● Fluconazole atau ketoconazole < (tablet)

Biasanya metronidazole atau clindamycin (tablet vagina)

atau metronidazole (tablet).

Jika penyebabnya gonokokus biasanya diberikan suntikan

Bakteri ceftriaxon & tablet doxicyclin


Klamidia Doxicyclin atau azithromycin (tablet)
Trikomonas Metronidazole (tablet)
Virus papiloma Asam triklor asetat (dioleskan ke kutil), untuk infeksi yg

manusia berat digunakan larutan nitrogen atau fluorouracil

(kutilgenitalis) (dioleskan kekutil)


Virus herpes Acyclovir (tablet atau salep)

I. PENCEGAHAN

1. Hindari bathtub dan pusaran air panas spa. Bilas sabun dari luar daerah

genital Anda setelah mandi, dan keringkan area itu dengan baik untuk
mencegah iritasi. Jangan gunakan sabun wangi atau kasar, seperti yang

dengan deodoran atau antibakteri.

2. Hindari iritasi. Ini termasuk tampon dan bantalan berparfum.

3. Usap dari depan ke belakang setelah menggunakan toilet. Hindari

penyebaran bakteri dari tinja ke vagina.

4. Jangan gunakan douche. Vagina anda tidak memerlukan pembersihan lain

dari mandi biasa. Berulang menggunakan douche mengganggu organisme

normal yang berada di vagina dan dapat benar-benar meningkatkan risiko

infeksi vagina. Douche tidak menghilangkan sebuah infeksi vagina.

5. Gunakan kondom lateks laki-laki. Ini membantu mencegah infeksi yang

ditularkan melalui hubungan seksual.

6. Pakailah pakaian katun dan stoking dengan pembalut di selangkangannya.

Jika Anda merasa nyaman tanpa itu, langsung mengenakan pakaian tidur.

Ragi tumbuh subur di lingkungan lembab.

J. Komplikasi

1. Komplikasi (Sunarso, 2012)

a. Endometrititis

Peningkatan konsentrasi flora anaerob, yang sebagian mungkin

karena perubahan PH, bisa menyebabkan peningkatan angka

endometritis.

b. Salpingitis

Radang pada saluran telur dapat terjadi bila infeksi serviks menyebar

ke tuba uterine.
c. Servisitis

Peradangan ini dapat terjadi bila infeksi menyebar ke serviks.

K. Prognosis

Secara umum baik dengan penatalaksanaan yang tepat dan pencegahan yang benar

(Sunarso, 2012).
DAFTAR PUSTAKA

Andrew, Epidermal Nevi, Neoplasm, and Cysts. 10thEdition. Andrew’s Disease of

the Skin. Page : 627.

Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

Lin, M.-T., Rohwedder, A., Mysliborski, J., Leopold, K., Wilson, V. L. and Carlson,

J. A. (2010), ‘HPV vulvitis’ revisited: frequent and persistent detection of

novel epidermodysplasia verruciformis-associated HPV genotypes. Journal of

Cutaneous Pathology; 35: 259–272. 

Pardede, Sudung O. Vulvovaginitis Pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 8, No. 1, Juni :

2010 : 75-83.

Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan

Bina Pustaka.

Sutoyo, Sunarso. 2012. Candidiasis Mukosa. Universitas Airlangga Surabaya :

UNAIR Press

Wijayanti, Wakhidah Ummi.Vulvovaginitis Pada Remaja.Jurnal Kebidanan, Vol.

VI, No. 01, Juni 2014


VAGINITIS

1.     Definisi

Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi di

pelayanan primer. Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini

disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal.

Vaginitis merupakan infeksi vagina yang dapat terjadi secara langsung pada luka

vagina atau melalui perineum. Permukaan mukosa membengkak dan kemerahan,

terjadi ulkus. Penyebaran dapat terjadi, tetapi pada umumnya infeksi tinggal terbatas.

(Wiknjosastro, 2015).

Vaginitis adalah infeksi pada vagina yang disebabkan oleh vaginisis

bakterial, kandidiasis/ trikomoniasis vulvo vaginal, dan zat yang bersifat iritatif

(Mochtar, 2014)

2.     Etiologi

Vaginitis dapat disebabkan oleh:

1.   Infeksi

a. Bakteri (misalnya klamedia gonokokus)

b. Jamur (misalnya kandida), terutama pada penderita diabetes dan wanita

hamil serta pemakai antibiotic.

c. Protozoa (misalnya trikomonas vaginalis)

d. Virus (misalnya HPV dan Herpes)

2.   Zat atau benda yang bersifat iritatif


Misalnya spermisida, pelumas, diafragma, penutup serviks dan spons, pembilas

vagina, pakaian dalam yang terlalu ketat yang tidak berpori dan tidak menyerap

keringat.

3.   Tumor ataupun jaringan abnormal lainnya.

4.   Perubahan hormonal.

3. Patofisiologi

Flora vagina terdiri atas banyak jenis kuman, antar lain basil doderlein,

streptokokkus, stafilokokkus, difteroid, yang dalam keadaan normal hidup dalam

simbiosis diantara mereka. Jika simbiosis ini terganggu, dan jika kuman-kuman

seperti streptokokkus, stafilokokkus, basil koli dan lain-lain dapat berkembang biak,

timbullah vaginitis non spesifik. Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, stress dan

hormone dapat merubah lingkungan vagina dan dapat memungkinkan organism

pathogen tumbuh. Pada vaginosis bacterial dipercayai bahwa beberapa kejadian yang

provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroksida yang diproduksi C. acidophilus

organism. Hasil dari perubahan pH yang terjadi memungkinkan perkembangbiakan

berbagai organism yang biasanya ditekan pertumbuhannya seperti G. vaginalis,

M.Hominis, dan Mobiluncus spesies.

Organism tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti amine,

yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan ekspoliasi sel epitel vagina.

Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi vaginosis

bacterial dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina, seperti

peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat progesterone karena
kontrasepsi oral memperkuat penempelan C.albikans ke sel epitel vagina dan

memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan ini dapat mentransformasi kondisi

kolonissi organism yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik. Pada

pasien dengan trikomoniasis perubahan tingkat estrogen dan progesterone

sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen dapat memperkuat

pertumbuhan dan virulensi trikomonas vaginalis.

4.      Tanda dan Gejala

Gejala yang paling sering ditemukan adalah keluarnya cairan abnormal dari

vagina. Dikatakan abnormal jika jumlahnya sangat banyak, baunya menyengat atau

disertai gatal-gatal dan nyeri. Cairan yang abnormal sering tampak lebih kental

dibandingkan cairan yang normal dan warnanya bermacam-macam. Misalnya bisa

seperti keju atau kuning kehijauan atau kemerahan.

Infeksi vagina karena bakteri cenderung mengeluarkan cairan berwarna

putih, abu-abu atau keruh kekuningan dan berbau amis. Setelah melakukan hubungan

seksual atau mencuci vagina dengan sabun, bau cairannya semakin menyengat karena

terjadi penurunan keasaman vagina sehingga bakteri semakin banyak yang tumbuh.

Vulva terasa agak gatal dan mengalami iritasi.

Infeksi jamur menyebabkan gatal-gatal sedang sampai hebat dan rasa

terbakar pada vulva dan vagina. Kulit tampak merah dan terasa kasar. Dari vagina

keluar cairan kental seperti keju. Infeksi ini cenderung berulang pada wanita

penderita diabetes dan wanita yang mengkonsumsi antibiotik.Infeksi karena

Trichomonas vaginalis menghasilkan cairan berbusa yang berwarna putih, hijau


keabuan atau kekuningan dengan bau yang tidak sedap. Gatal-gatalnya sangat

hebat.

Cairan yang encer dan terutama jika mengandung darah, bisa disebakan oleh

kanker vagina, serviks (leher rahim) atau endometrium. Polip pada serviks bisa

menyebabkan perdarahan vagina setelah melakukan hubungan seksual. Rasa gatal

atau rasa tidak enak pada vulva bisa disebabkan oleh infeksi virus papiloma manusia

maupun karsinoma in situ (kanker stadium awal yang belum menyebar ke daerah

lain). Luka terbuka yang menimbulkan nyeri di vulva bisa disebabkan oleh infeksi

herpes atau abses. Luka terbuka tanpa rasa nyeri bisa disebabkan ole kanker atau

sifilis. Kutu kemaluan (pedikulosis pubis) bisa menyebabkan gatal-gatal di daerah

vulva.

5. Jenis-Jenis Vaginitis

1. Vaginitis trichomonas vaginalis

Infeksi ini disebabkan oleh trichomonas vaginalis yang mempunyai bentuk kecil,

berambut getar dan lincah bergerak. Gejala utamanya : terdapat keputihan encer

sampai kental, warna kekuning-kuningan, terasa gatal dan terasa membakar, berbau,

ada bintik pada dinding vagina.

2. Vaginitis kandidiasis

Infeksi ini disebabkan oleh jamur candida albikans. Vaginitis kandidiasis sering

dijumpai pada wanita hamil, karena terdapat perubahan asam basa. Gejala vaginitis

kandidiasis antara lain : terdapat keputihan kental bergumpal, terasa sangat gatal dan
mengganggu, pada dinding vagina sering dijumpai membran putih yang bila

dihapuskan dapat menimbulkan perdarahan.

6. Diagnosis

1.   Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala, hasil pemeriksaan fisik dan

karakteristik cairan yang keluar dari vagina

2. Untuk mengetahui adanya keganasan, dilakukan pemeriksaan Pap smear

3.   Apabila kecurigaan kemungkinan adalah jamur periksa cairan vagina dengan

KOH 10 – 40 % dilihat secara mikroskopis

4.   Pemeriksaan hapusan / swab vagina dengan pewarnaan untuk ,mengetahui

jenis bakteri

5.   pada pemeriksaan di bawah mikroskop, > 20% sel epitel vagina adalah sel

”clue” (sel dengan batas tidak jelas, dotted with bacteria)

6.   sekret berwarna abu-abu seperti susu, homogen, sekret kental/menempel

7. Penatalaksanaan

1.     Pencegahan

Kebersihan yang baik dapat mencegah beberapa jenis vaginitis dari berulang

dan dapat meredakan beberapa gejala:

a.       Hindari bathtub dan pusaran air panas spa. Bilas sabun dari luar daerah

genital Anda setelah mandi, dan keringkan area itu dengan baik untuk mencegah

iritasi. Jangan gunakan sabun wangi atau kasar, seperti yang dengan deodoran

atau antibakteri.
b. Hindari iritasi. Ini termasuk tampon dan bantalan berparfum.

c. Usap dari depan ke belakang setelah menggunakan toilet. Hindari penyebaran

bakteri dari tinja ke vagina.

Hal-hal lain yang dapat membantu mencegah vaginitis meliputi:

a. Jangan gunakan douche. Vagina anda tidak memerlukan pembersihan lain dari

mandi biasa. Berulang menggunakan douche mengganggu organisme normal

yang berada di vagina dan dapat benar-benar meningkatkan risiko infeksi vagina.

Douche tidak menghilangkan sebuah infeksi vagina.

b. Gunakan kondom lateks laki-laki. Ini membantu mencegah infeksi yang

ditularkan melalui hubungan seksual.

c. Pakailah pakaian katun dan stoking dengan pembalut di selangkangannya. Jika

Anda merasa nyaman tanpa itu, langsung mengenakan pakaian tidur. Ragi

tumbuh subur di lingkungan lembab.

2.      Pengobatan

Jika cairan yang keluar dari vagina normal, kadang pembilasan dengan air

bisa membantu mengurangi jumlah cairan. Cairan vagina akibat vaginitis perlu

diobati secara khusus sesuai dengan penyebabnya. Jika penyebabnya adalah infeksi,

diberikan antibiotik, anti-jamur atau anti-virus, tergantung kepada organisme

penyebabnya. Untuk mengendalikan gejalanya bisa dilakukan pembilasan vagina

dengan campuran cuka dan air. Tetapi pembilasan ini tidak boleh dilakukan terlalu

lama dan terlalu sering karena bisa meningkatkan resiko terjadinya peradangan

panggul.
Jika akibat infeksi labia (lipatan kulit di sekitar vagina dan uretra) menjadi

menempel satu sama lain, bisa dioleskan krim estrogen selama 7-10 hari.Selain

antibiotik, untuk infeksi bakteri juga diberikan jeli asam propionat agar cairan vagina

lebih asam sehingga mengurangi pertumbuhan.bakteri. Pada infeksi menular

seksual, untuk mencegah berulangnya infeksi, kedua pasangan seksual diobati pada

saat.yang.sama.

Penipisan lapisan vagina pasca menopause diatasi dengan terapi sulih

estrogen. Estrogen bisa diberikan dalam bentuk tablet, plester kulit maupun krim

yang dioleskan langsung ke vulva dan vagina.

Jenis Infeksi Pengobatan

Jamur Mia. Miconazole, clotrimazole, atau terconazole (krim, tablet

vagina atau supositoria)

b.   b. Fluconazole atau ketoonazole (tablet)

Bakteri Biasanya metronidazole atau clindamycin (tablet vagina) atau

metronidazole. Jika penyebabnya gonokokus biasanya diberikan

suntikan ceffriaxon dan tablet doxicylin.

Klamidia Doxicylin atau ozithromycin (tablet)

Trikomonas Metronidazole (tablet)

HPV Asam triklorasetat (dioleskan ke kutil), untuk infeksi yang berat

digunakan larutan nitrogen atau fluorouracil (dioleskan dikutil)

Virus Herpes Acyclovir (tablet atau salep)


Selain obat-obatan, penderita juga sebaiknya memakai pakaian dalam yang

tidak terlalu ketat dan menyerap keringat sehingga sirkulasi udara tetap terjaga

(misalnya terbuat dari katun) serta menjaga kebersihan vulva (sebaiknya gunakan

sabun gliserin).

Untuk mengurangi nyeri dan gatal-gatal bisa dibantu dengan kompres

dingin pada vulva atau berendam dalam air dingin. Untuk mengurangi gatal-gatal

yang bukan disebabkan oleh infeksi bisa dioleskan krim atau salep corticosteroid dan

antihistamin per-oral (tablet).

Krim atau tablet acyclovir diberikan untuk mengurangi gejala dan memperpendek

lamanya infeksi herpes. Untuk mengurangi nyeri bisa diberikan obat pereda

nyeri.

8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi karena vaginitis yaitu serviksitis, penyakit

radang panggul dan infeksi traktus urinarius.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, Rozi. 2015.“Vaginitis dan Vulvitis”

http://bukusakudokter.org/2012/10/07/vaginitis-vulvitis/ diakses pada tanggal 16

Mei 2017.

2. Andrew, Epidermal Nevi, Neoplasm, and Cysts. 10 thEdition. Andrew’s Disease

of the Skin. Page : 627.

3. Djuanda, dkk.2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 6. Jakarta: Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. p. 3-4, 7-8.

4. Lin, M.-T., Rohwedder, A., Mysliborski, J., Leopold, K., Wilson, V. L. and

Carlson, J. A. (2010), ‘HPV vulvitis’ revisited: frequent and persistent detection

of novel epidermodysplasia verruciformis-associated HPV genotypes. Journal of

Cutaneous Pathology; 35: 259–272. 

5. Pardede, Sudung O. Vulvovaginitis Pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 8, No. 1, Juni

: 2010 : 75-83.

6. Prawirohardjo, Sarwono. 2011. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan

Bina Pustaka.

7. Sutoyo, Sunarso. 2012. Candidiasis Mukosa. Universitas Airlangga Surabaya :

UNAIR Press

8. The Women’s Health Group. 2013. “Vulvitis”. [online] [Diakses tanggal 16 Mei

2017]. Diunduh dari URL:http://www.whg-

pc.com/webdocuments/Menopause/Vulva-Vulvitis.pdf

9. Wijayanti, Wakhidah Ummi.Vulvovaginitis Pada Remaja.Jurnal Kebidanan,

Vol. VI, No. 01, Juni 2014


ABSES FOLIKEL RAMBUT ATAU KELENJAR SEBASEA

1. Definisi
Abses atau furunkel adalah peradangan pada folikel rambut dan jaringan yang

disekitarnya, yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Apabila furunkelnya

lebih dari satu maka disebut furunkolosis. Suatu furunkel, biasanya dikenal sebagai

suatu bisul atau boil, ditandai suatu massa material bernanah timbul dari folikel

rambut dan meluas pada jaringan subkutan.1

2. Etiologi

Abses sebagian besar disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Furunkulosis

dapat disebabkan oleh berbagai faktor antaralain akibat iritasi, kebersihan yang

kurang, dan daya tahan tubuh yang kurang. Infeksi dimulai dengan adanya

peradangan pada folikel rambut di kulit (folikulitis), kemudian menyebar kejaringan

sekitarnya. Penularannya dapat melalui kontak atau auto inokulasi dari lesi penderita.

Furunkulosis dapatmenjadi kelainan sistemik karena faktor predisposisi antara lain,

alcohol, malnutrisi, diskrasia darah, iatrogenic atau keadaan imunosupresi termasuk

AIDS dan diabetes mellitus.2


3. Patogenesis

Kulit memiliki flora normal, salah satunya S.aureus yang merupakan

floranormal pada permukaan kulit dan kadang-kadang pada tenggorokan dansaluran

hidung. Kejadian terbesar penyakit ini pada wajah, leher, ketiak, pantatatau paha.

Bakteri tersebut masuk melalui luka, goresan, robekan dan iritasipada kulit.

Selanjutnya, bakteri tersebut berkolonisasi di jaringan kulit. Responprimer host

terhadap infeksi S.aureus adalah pengerahan sel PMN ke tempatmasuk kuman

tersebut untuk melawan infeksi yang terjadi. Sel PMN ini ditarikke tempat infeksi

oleh komponen bakteri seperti formylated peptides ataupeptidoglikan dan sitokin

TNF (tumor necrosis factor) dan interleukin (IL) 1 dan6 yang dikeluarkan oleh sel

endotel dan makrofag yang teraktivasi. Hal tersebutmenimbulkan inflamasi dan pada

akhirnya membentuk pus yang terdiri dari seldarah putih, bakteri dan sel kulit yang

mati.2

Didapatkan keluhan utama dan keluhan tambahan pada perjalanan

daripenyakit furunkel. Lesi mula-mula berupa infiltrat kecil, dalam waktu

singkatmembesar kemudian membentuk nodula eritematosa berbentuk

kerucut.Kemudian pada tempat rambut keluar tampak bintik-bintik putih sebagai

matabisul. Nodus tadi akan melunak (supurasi) menjadi abses yang akan memecah

melalui lokus minoris resistensi yaitu di muara folikel, sehingga rambut menjadi

rontok atau terlepas. Jaringan nekrotik keluar sebagai pus dan terbentuk fistel.Karena

adanya mikrolesi baik karena garukan atau gesekan baju, maka kumanmasuk ke

dalam kulit. Beberapa faktor eksogen yang mempengaruhi timbulnyafurunkel yaitu,

musim panas (karena produksi keringat berlebih), kebersihan dan hygiene yang
kurang, lingkungan yang kurang bersih. Sedangkan faktor endogen yang

mempengaruhi timbulnya furunkel yaitu, diabetes, obesitas, hiperhidrosis, anemia,

stres emosional, penurunan fungsi neutrofil (penurunan kemotaksis yang

berhubungan dengan eksim dan peningkatan kadar IgE).1,2

4. Manifestasi klinis

Bakteri masuk ke dalam folikel rambut sehingga tampak sebagai

noduskemerahan dan sangat nyeri. Pada bagian tengah lesi terdapat bintikkekuningan

yang merupakan jaringan nekrotik, dan disebut mata bisul (core).Apabila higinis

penderita jelek atau menderita diebetes militus, furunkel menjadisering kambuh.

Predileksi penyakit ini biasanya pada daerah yang berambut misalnya pada leher,

wajah, punggung, kepala, ketiak, bokong dan ekstrimitas, dan terutama pada daerah

yang banyak terkena gesekan atau yang tertutup. Mula-mula nodul kecil

yangmengalami keradangan pada folikel rambut, kemudian menjadi pustule

danmengalami nekrosis dan menyembuh setelah pus keluar dengan

meninggalkansikatriks. Awal juga dapat berupa macula eritematosa lentikular

setempat,kemudian menjadi nodula lentikular setempat, kemudian menjadi

nodulalentikuler-numular berbentukkerucut. Nyeri terjadi terutama pada furunkel

yang akut, besar, dan lokasinya dihidung dan lubang telinga luar. Bisa timbul gejala

kostitusional yang sedang,seperti panas badan, malaise, mual.1,2

5. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang.3

a. Anamnesis
Penderita datang dengan keluhan terdapat nodul yang nyeri. Ukuran nodul

tersebut meningkat dalam beberapa hari. Beberapa pasien mengeluh demam dan

malaise.3

b. Pemeriksaan Fisik

Terdapat nodul berwarna merah, hangat dan berisi pus. Supurasiterjadi setelah

kira-kira 5-7 hari dan pus dikeluarkan melalui salurankeluar tunggal (single follicular

orifices). Furunkel yang pecah dan keringkemudian membentuk lubang yang kuning

keabuan ireguler pada bagiantengah dan sembuh perlahan dengan granulasi.3

c. Pemeriksaan Penunjang

Furunkel biasanya menunjukkan leukositosis. Pemeriksaan histologisdari

furunkel menunjukkan proses inflamasi dengan PMN yang banyak didermis dan

lemak subkutan. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkangambaran klinis yang

dikonfirmasi dengan pewarnaan gram dan kultur bakteri.Pewarnaan gram S.aureus

akan menunjukkan sekelompok kokus berwarnaungu (gram positif) bergerombol

seperti anggur, dan tidak bergerak. Kulturpada medium agar MSA (Manitot Salt

Agar) selektif untuk S.aureus. Bakteri inidapat memfermentasikan manitol sehingga

terjadi perubahan medium agar dariwarna merah menjadi kuning. Kultur S. aureus

pada agar darah menghasilkankoloni bakteri yang lebar (6-8 mm), permukaan halus,

sedikit cembung, danwarna kuning keemasan. Uji sensitivitas antibiotik diperlukan

untukpenggunaan antibiotik secara tepat.3

6. Diagnosis Banding

a. Kista Epidermal
Diagnosa banding yang paling utama dari furunkeladalah kista epidermal

yang mengalami inflamasi. Kista epidermal yangmengalami inflamasi dapat dengan

tiba-tiba menjadi merah, nyeri tekan danukurannya bertambah dalam satu atau

beberapa hari sehingga dapat menjadidiagnosa banding furunkel. Diagnosa banding

ini dapat disingkirkanberdasarkan terdapatnya riwayat kista sebelumnya pada tempat

yang sama,terdapatnya orificium kista yang terlihat jelas dan penekanan lesi tersebut

akanmengeluarkan masa seperti keju yang berbau tidak sedap sedangkan

padafurunkel mengeluarkan material purulen.4

b. Hidradenitis Suppurativa

Hidradenitis suppurativa (apokrinitis) seringmembuat salah diagnosis

furunkel. Berbeda dengan furunkel, penyakit iniditandai oleh abses steril dan sering

berulang. Selain itu, daerah predileksinyaberbeda dengan furunkel yaitu pada aksila,

lipat paha, pantat atau dibawahpayudara. Adanya jaringan parut yang lama, adanya

saluran sinus serta kulturbakteri yang negatif memastikan diagnosis penyakit ini dan
jugamembedakannya dengan furunkel.4

d. Blastomikosis

Didapatkan benjolan multipel dengan beberapa pustula,daerah sekitarnya

melunak.2

e. Skrofuloderma

Biasanya berbentuk lonjong, livid, dan ditemukanjembatan-jembatan kulit

(skin bridges).1
7. Penatalaksanaan

Pengobatan topikal, bila lesi masih basah atau kotor dikompres dengan

solusio sodium chloride 0,9% atau kompres hangat. Antibiotik sistemik mempercepat

resolusi penyembuhan dan wajib diberikan pada seseorang yang beresiko mengalami

bakteremia dan gejala sistemik. Infeksi yang luas, berat, atau di tempat yang rawan

dapat diberikan antibiotik dengan rute parenteral seperti Vancomycin 1-2 gram IV

dosis terbagi. Antibiotik diberikan selama minimal tujuh hari sampai sepuluh hari.

Lebih baiknya, antibiotik diberikan sesuai denganhasil kultur bakteri terhadap

sensitivitas antibiotik. Jika lesi sangat besar, nyeri, berfluktuasi, maka insisi dan

drainase merupakan tindakan yang tepat untuk dilakukan.1,2

a. Topikal2

Lini pertama : Mupirocin, Asam fusidat, Retapamulin

b. Sistemik2

1. Lini pertama : Dicloxacillin (drug of choice) (adults) qid for 10 days

Amoxicillin plus clavulanic acid (Betha-lactamase

inhibitor) 250–500mg; 20 mg/kg per day tid for 10 days

2. Lini kedua : Azithromycin: 500 mg on day 1, then 250mg qd days

2–5

Clindamycin 150-300 mg (adults) qid for 10 days;

15mg/kg per day

(children) qid for 10 days

Penicillinase-resistant
Penicillins

- Cloxacillin 250–500 mg (adults) qid for 10 days

- Nafcillin 1.0–2.0 g IV q4h

- Oxacillin 1.0–2.0 g IV q4h

Aminopenicillins

- Amoxicillin 500 mg tid or 875 mg q12h

- Ampicillin 250–500 mg qid for 7–10 days

Cephalosporins

- Cephalexin (drug of choice) 250-500 mg (adults) qid for 10 days; 40– 50

mg/kg per day (children) for 10 days

- Cephradine 250–500 mg (adults) qid for 10 days; 40–50 mg/kg per day

(children) for 10 days

- Cefaclor 250–500 mg q8h

- Cefprozil 250–500 mg q12h

- Cefuroxime axetil 125–500 mg q12h

- Cefixime 200–400 mg q12–24h

Erythromycin group

- Erythromycin ethylsuccinate 250–500 mg (adults) qid for 10 days; 40mg/kg

per day (children) qid for 10 days

- Clarithromycin 500 mg bid for 10 days

- Azithromycin Azithromycin: 500 mg on day 1, then 250mg qd days 2–5

Clindamycin

150-300 mg (adults) qid for 10 days; 15mg/kg per day (children) qid for 10 days
Tetracylines

- Minocycline 100 mg bid for 10 days

- Doxycycline 100 mg bid

- Tetracycline 250–500 mg qid

Miscellaneous agents

- Trimethoprim-sulfamethoxazole 160 mg TMP + 800 mg SMX bid

- Metronidazole 500 mg qid

- Ciprofloxacin 500 mg bid for 7 days

Bila infeksi berasal dari methicillin resistent Streptococcus aureus(MRSA)

dapat diberikan vankomisin sebesar 1 gram tiap 12 jam. Pilihan lainadalah tetrasiklin,

namun obat ini berbahaya untuk anak-anak. Terapi pilihanuntuk golongan

penicilinase-resistant penicillin adalah dicloxacilin Padapenderita yang alergi

terhadap penisilin dapat dipilih golongan eritromisin. Padaorang yang alergi terhadap

β-lactam antibiotic dapat diberikan vancomisin.2

Tindakan insisi dapat dilakukan apabila telah terjadi supurasi. Higienekulit

harus ditingkatkan. Jika masih berupa infiltrat, pengobatan topikal dapatdiberikan

kompres salep iktiol 5% atau salep antibotik. Adanya penyakit yang mendasari

seperti diabetes mellitus, harus dilakukan pengobatan yang tepat dan adekuat untuk

mencegah terjadinya rekurensi. Terapi antimikrobial harus dilanjutkan sampai semua

bukti inflamasiberkurang. Lesi yang didrainase harus ditutupi untuk mencegah

autoinokulasi.Pasien dengan furunkel yang berulang memerlukan evaluasi dan

penanganan lebih komplek.2


DAFTAR PUSTAKA

1. Ibler Kristina, 2018, Recurrent furunculosis - Challenges and management: A


review di akses 9 September 2018
https://www.researchgate.net/publication/260486816_Recurrent_furunculo
sis_-_Challenges_and_management_A_review, in Clinical, Cosmetic and
Investigational Dermatology 7:59-64 ·
2. Anjum S. Kaka,2017, Disseminated BlastomycosisThe New England Journal

Medicine, di akses 9 September 2018,

https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm1606811

3. James, Elston, Berger. 2011. Andrew’s Disease of the Skin Clinical Dermatology Ed.

11. USA: Saunders Elsevier.

4. Goldsmith, Katz, Gilchrest, Paller, et al. 2012. Fitzpatrick’s Dermatology in General

Medicine Ed. 8. USA: McGraw Hill.

5. Sri L, Kusmarinah B, Wresti I. 2017. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi

7. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Murtiastutik, D. 2010. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-2.

Surabaya:Dep/SMF Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSUD dr.Soetomo. Hal

30-32
POLIP SERVIKS

Definisi

Polip serviks adalah tumor jinak yang tumbuh menonjo dan bertangkai dari

selaput lendir dibagian tubuh manusia, seperti hidung, telinga, usus dan selaput lendir

lainnya yang terdapat di dalam leher rahim, dalam kata lain adalah tumor jinak yang

ditemukan pada permukaan leher rahim.

Epidemiologi

● Perempuan usia 40 – 50 tahun karena usia tersebut terjadinya pemicu prosuksi

hormone.

● Wanita hamil memiliki resiko yang lebih tinggi karena perubahan peningkatan

hormon.

Patofisiologi

Penyebab timbulnya polip serviks belum diketahui dengan pasti. Namun sering

dihubungkan dengan radang yang kronis, respon terhadap hormon estrogen dan

pelebaran pembuluh darah serviks. Penampilan polip serviks menggambarkan respon

epitel endoservik terhadap proses peradangan. Polip servik dapat menimbulkan

perdarahan pervaginam, perdarahan kontak, pasca coitus merupakan gejala yang

tersering dijumpai. Polip servik yang terjadi sebagai akibat stroma local yang

menutupi daerah antara kedua celah pada kanalis servik. Epitellium silinder yang

menutupi polip dapat mengalami ulserasi. Polip serviks pada dasarnya adalah suatu

reaksi radang, penyebabnya sebagian besar belum diketahui.

karena pada dasarnya adalah reaksi radang, maka ada kemungkinan :


1. Radang sembuh sehingga polip mengecil atau kemudian hilang dengan

sendirinya

2. Polip menetap ukurannya

3. Polip membesar.

Gambaran Klinis

1. Abnormal pendarahan vagina yang terjadi antara periode menstruasi, setelah

menopause, setelah hubungan seksual, dan setelah douching.

2. Polip serviks bisa meradang tetapi jarang menjadi terinfeksi periode normal berat

atau menoragia keluarnya lendir putih atau kuning, sering disebut keputihan.

3. Terjadinya perdarahan diluar haid yang warnanya lebih terang dari darah haid.

Diagnosis

Pemeriksaan Penunjang

-Makroskopis

Dapat tunggal atau multipel dengan ukuran beberapa centimeter, warna

kemerah – merahan dan rapuh. Kadang – kadang tangkainya jadi panjang sampai

menonjol dari introitus.

Kalau asalnya dari portio konsistensinya lebih keras dan pucat dengan tangkai yang

tebal.

- Histologi

Berasal dari mukosa yang dilapisi oleh 1 lapis epitel yang terdiri dari sel – sel

silindris yang tinggi, yang khas berasal dari endocervix, dengan kelenjar cervix dan

stroma dari jaringan ikat yang halus disertai oedem dan infiltrasi sel bulat. Sering pula

disertai ulserasi pada ujungnya yang menyebabkan terjadinya perdarahan. Banyak


polip servic yang menunjukkan metaplasia yang luas, disertai infeksi, menyerupai

permulaan dari carcinum, Ca epidermoid kadang – kadang berasal dari polip.

- Radiologi

1. USG transvaginal. Sebuah perangkat yang ramping berbentuk tongkat di

tempatkan di vagina yang akan menggambarkan rahim penderita.

2. Histeroskopi. Sebuah alat kecil yang disertai dengan kamera bercahaya

dimasukkan melalui vagina dan serviks masuk kedalam rahim. Histeroskopi

memungkinkan dokter melihat secara langsung bagian dalam rahim sekaligus

mengangkat polip

3. Kuretase. Tujuan dari kuret adalah mengangkat polip rahim dengan cara mengikis

dinding bagian dalam rahim. Hal ini bertujuan juga untuk mengumpulkan

specimen (contoh jaringan) untuk pengujian laboratorium. Dokter juga dapat

melakukan kuretase dengan bantuan dari hysteroscope, yang memungkinkan

dokter untuk melihat bagian dalam rahim sebelum dan setelah prosedur.

Gambaran Polip Cervix pada MRI

Penatalaksanaan
Dapat dihapus menggunakan cincin forsep Mereka juga dapat dihapus

dengan mengikatkan tali bedah sekitar polip dan pemotongan itu off. Dasar sisa

polip maka dapat dihilangkan dengan menggunakan laser atau dengan

cauterisation. Jika polip yang terinfeksi, sebuah antibiotik bisa diberikan.

Komplikasi

Polip serviks dapat menyebabkan kanker serviks, hiperplasia endometrium,

karsinoma endometrium.

Prognosis

Polip serviks akan tetap jinak 99% dan 1% akan di beberapa titik

menunjukkan neoplastik berubah. polip serviks tidak akan tumbuh kembali.


Daftar Pustaka

1. Ota, K., Sato, Y., and Shiraishi, S. 2017. Giant Polyp of Uterine Cervix: A

Case Report and Brief Literature Review. Gynaecology and Obstetri Case

Report. Volume 3 No.2:49. pp. 1-4.

2. Bobak, 2005. Buku ajar Keperawatan Maternitas, Jakarta: EGC

3. Manuaba, Ida Bagus Gde. 2003. Penuntun Kepanitraan Klinik Obstetric dan

Ginekologi. Jakarta: EGC.

4. Sarwono. 2012. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohadjo.

5. Sulaiman Sastrawinata, Djamhoer Martaadisoebrata, Firman F. Wirakusumah.

2004. Ilmu Kesehatan Reproduksi : Obstetri Patologi. Ed 2. Jakarta. EGC.


ABSES TUBO OVARIUM

1.1 DEFINISI

Tubo-ovarian abscess (TOA) adalah pembengkakan yang terjadi pada tuba-ovarium

yang ditandai dengan radang bernanah, baik di salah satu tuba-ovarium, maupun

keduanya (Granberg, 2009). TOA Merupakan komplikasi termasuk efek jangka

panjang dari salfingitis akut tetapi biasanya akan muncul dengan infeksi berulang

atau kerusakan kronis dari jaringan adnexa.

1.2 GEJALA KLINIS

Pada semua kasus TOA, termasuk yang disebabkan oleh Pneumococcus,

menunjukkan gejala-gejala berikut: nyeri (88%), demam (35%), massa adneksa

(35%), diare (24%), mual dan muntah (18%), haid tidak teratur (12%).

Pada pemeriksaan touching : nyeri goyang portio, nyeri kiri dan kanan uterus

atau salah satunya, kadang-kadang terdapat penebalan tuba (tuba yang normal, tidak

teraba), seta nyeri pada ovarium karena meradang.

Gejala dapat sangat bervariasi dari asimptomatis sampai terjadinya akut

abdomen sampai syok septik.Karateristik pasien biasanya yang muda serta paritasnya

rendah dengan riwayat infeksi pelvis.Durasi dari gejala pada wanita biasanya kurang

lebih 1 minggu dan onsetnya biasanya terjadi 2 minggu atau lebih setelah siklus

menstruasi.

1.3 ETIOLOGI

TOA biasanya disebabkan oleh bakteri aerob dan anaerob, seperti Escherichia

coli, Hemolytic streptococci and Gonococci, Bacteroides species dan Peptococcus

(Seshadri et al., 2004).Pada beberapa kasus, Hemophilus influenzae, Salmonella,


actinomyces, dan Staphylococcus aureus juga dilaporkan menjadi penyebab

TOA.Sekitar 92% penyebab TOA adalah Streptococci.

1.4 PATOFISIOLOGI

Adanya penyebaran bakteri dari vagina ke uterus lalu ke tuba dan atau

parametrium, terjadilah salpingitis dengan atau tanpa ooforitis.Keadaan ini bisa

terjadi pada pasca abortus, pasca persalinan atau setelah tindakan genekologi

sebelumnya. Pada permulaan proses penyakit, lumen tuba masih terbuka

mengeluarkan eksudat yang purulent dari febriae dan menyebabkan peritonitis,

ovarium sebagaimana struktur lain dalam pelvis mengalami inflamasi, tempat ovulasi

dapat sebagai tempat masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tempat

masuk infeksi. Abses masih bisa terbatas mengenai tuba dan ovarium saja, dapat pula

melibatkan struktur pelvis yang lain seperti usus besar,buli-buli atau adneksa yang

lain. Proses peradangan dapat mereda spontan atau sebagai respon pengobatan,

keadaan ini biasanya memberi perubahan anatomi disertai perlekatan fibrin terhadap

organ terdekatnya. Apabila prosesnya menghebat dapat terjadi pecahnya abses.

1.5 PEMERIKSAAN

a. Pemeriksaan laboratorium: Hasil pemeriksaan yang didapatkan dari

laboratorium kurang bermakna. Hitung jenis sel darah putih bervariasi dari

leukopeni sampai leukositosis. Hasil urinalisis memperlihatkan adanya pyuria

tanpa bakteriuria. Nilai laju endap darah minimal 64 mm/h serta nilai akut C-

reaktif protein minimal 20 mg/L dapat difikirkan ke arah diagnosa TOA.


b. USG

Dapat membantu untuk mendeteksi perubahan seperti terjadinya progressi.

regresi, ruptur atau pembentukan pus. Ultrasound adalah modalitas pencitraan pilihan

pertama untuk diagnosis dan evaluasi TOA. USG menawarkan akurasi, siap

ketersediaan, biaya rendah dan kurangnya radiasi pengion. Namun, tetap memerlukan

keahlian teknis untuk mencapai potensi diagnostik yang akurat. Ini dapat dilakukan

baik transvaginal atau transabdominal: pencitraan yang transvaginal memberikan

gambaran lebih detail, dimana transduser berada di dalam dekat dengan daerah

pemeriksaan, sedangkan pencitraan pelvis yang transabdominal menawarkan

keuntungan imaging dalam satu tampilan organ besar seperti rahim. Habitus tubuh

besar dan adanya loop dari usus di pelvis dapat menimbulkan kesulitan dalam

pencitraan dengan US transabdominal.

c. CT (computed tomography)

Computed tomography telah digunakan, sejak perkembagan dari US

dan MRI, peran terbatas dalam evaluasi radiologi dari PID.Kinerja CT dengan

penggunaan media kontras oral dan intravena meningkatkan metode dari

akurasi diagnostik karena karakterisasi jaringan yang lebih baik. Sejumlah

kecil cairan dalam cul de sac bisa dideteksi oleh CT. Suatu abses Tubo-

ovarium mungkin tergambar sebagai massa peradangan dengan komponen

padat dan kistik, dengan peningkatan semua atau bagian dari komponen padat.

d. Kuldosentesis
Cairan kuldosentesis pada wanita denagn TOA yang tidak ruptur memperlihatkan

gambaran reaction fluid yang sama seperti di salpingitis akut. Apabila terjadi ruptur

TOA maka akan ditemukan cairan yang purulen.

1.6 DIAGNOSIS

Penegakan diagnosis berdasarkan gejala-gejala yang telah didapatkan dan

dapat disertai adanya :

- Riwayat infeksi pelvis

- Adanya massa adnexa, biasanya lunak

- Produksi pus dari kuldesintesis pada ruptur

Diagnosa banding :

a. TOA utuh dan belum memberikan keluhan

- Kistoma ovari, tumor ovari

- KET

- Abses peri, apendikuler

- Mioma uteri

- Hidrosalping

b. TOA utuh dengan keluhan

- Perforasi apendik

- Perforasi divertikel/abses divertikel

- Perforasi ulkus peptikum

- Kelainan sistematis yang memberi distres akut abdominal

- Kista ovari terinfeksi atau terpuntir


1.7 KOMPLIKASI

a. TOA yang utuh: pecah sampai sepsis reinfeksi di kemudian hari, infertilitas

b. TOA yang pecah: syok sepsis, abses intraabdominal, abses subkronik, abses

paru/otak.

1.8 PENATALAKSANAAN

a. Curiga TOA utuh tanpa gejala

- Antibotika dengan masih dipertimbangkan pemakaian golongan :

doksiklin 2x / 100 mg / hari selama 1 minggu atau ampisilin 4 x 500

mg / hari, selama 1 minggu.

- Pengawasan lanjut, bila masa tak mengecil dalam 14 hari atau

mungkin membesar adalah indikasi untuk penanganan lebih lanjut

dengan kemungkinan untuk laparatomi

b. TOA utuh dengan gejala

- Masuk rumah sakit, tirah baring posisi “semi fowler”, observasi ketat

tanda vital dan produksi urine, perksa lingkar abdmen, jika perlu

pasang infuse P2 - Antibiotika massif (bila mungkin gol beta lactar)

minimal 48-72 jam Gol ampisilin 4 x 1-2 gram selama / hari, IV 5-7

hari dan gentamisin 5 mg / kg BB / hari, IV/im terbagi dalam 2x1 hari

selama 5-7 hari dan metronida xole 1 gr reksup 2x / hari atau

kloramfinekol 50 mg / kb BB / hari, IV selama 5 hari metronidazol

atau sefaloosporin generasi III 2-3 x /1 gr / sehari dan metronidazol 2

x1 gr selama 5-7 hari


- Pengawasan ketat mengenai keberhasilan terapi

- Jika perlu dilanjutkan laparatomi, SO unilateral, atau pengangkatan

seluruh organ genetalia interna.

c. TOA yang pecah

TOA yang pecah merupakan kasus darurat: dilakukan laparotomi pasang drain kultur

nanah. Setelah dilakukan laparatomi, diberikan sefalosporin generasi III dan

metronidazol 2 x 1 gr selama 7 hari (1 minggu).

1.9 PROGNOSIS

a. TOA yang utuh

Pada umumnya prognosa baik, apabila dengan pengobatan medidinaslis tidak ada

perbaikan keluhan dan gejalanya maupun pengecilan tumornya lebih baik dikerjakan

laparatomi jangan ditunggu abses menjadi pecah yang mungkin perlu tindakan lebih

luas. Kemampuan fertilitas jelas menurun kemungkinan reinfeksi harus diperhitungan

apabila terapi pembedahan tak dikerjakan

b. TOA yang pecah

Kemungkinan septisemia besar oleh karenanya perlu penanganan dini dantindakan

pembedahan untuk menurunkan angka mortalitasnya.


DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan. Penyakit Kandungan Dan Keluarga

Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC.

2. Prawirohardjo. 2005. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.

3. Sastrawinata, sulaiman. 1981. Ginekologi. Bandung: Elstar offset.


SUBINVOLUNSIO UTERI

Definisi

Subinvolusi adalah kegagalan rahim untuk kembali ke keadaan tidak hamil.

Penyebab paling umum adalah infeksi plasenta.

Subinvolusi uteri adalah proses kembalinya uterus ke ukuran dan bentuk

seperti sebelum hamil yang tidak

Subinvolusi adalah kegagalan uterus untuk mengikuti pola normalinvolusi,

dan keadaan ini merupakan salah satu dari penyebab umum perdarahan pascapartum.

Istilah ini menunjukkan keadaan terhentinyaatau retardasi dalam proses

involusi. Ini diikuti oleh memanjangnya pengeluaran lokia dan perdarahn uterus yang

ireguler atau berlebihan, yang terkadang sangat banyak jumlahnya. Pada pemeriksaan

bimanual, uterus menjadi lebih besar dan lebih lunak daripada seharusnya. Baik

retensi sisa plasenta maupun infeksi pelvis dapat menyebabkan subinvolusi.

Ergonovine atau methylergonovine (methergine), 0,2 mg setiap 3 sampai 4 jam

selama 48 jam, direkomendasikan oleh beberapa kalangan untuk subinvolusi, namun

mamfaatnya masih dipertanyakan. Disisi lain metritisbacterial berespons terhadap

terapi antibiotic oral. Wager dkk (1980) melaporkan bahwa hamper sepertiga kasus

infeksi uterus pascapartum lanjut disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Jadi,

terapi azithromycin atau doxycycline merupakan terapi empiris yang sesuai

Faktor predisposisi

i. Status gizi ibu nifas buruk ( kurang gizi)

ii. Ibu tidak menyusui bayinya

iii. Kurang mobilisasi


iv. Usia

v. Parietas

vi. Terdapat bekuan darah yang tidak keluar

vii. Terdapat sisa plasenta dan selaputnya dalam uterus sehingga proses involusi

uterus tidak berjalan dengan normal atau terlambat

viii. Terjadi infeksi pada endometrium

ix. Inflamasi

x. Mioma uteri

Patofisiologi Subinvolusio Uterus

Kekurangan darah pada uterus. Kekurangan darah bukan hanya karena

kontraksi dan retraksi yang cukup lama, tetapi disebabkan oleh pengurangan aliran

darah yang pergi ke uterus di dalam perut ibu hamil, karena uterus harus membesar

menyesuaikan diri dengan pertumbuhan janin. Untuk memenuhi kebutuhannya, darah

banyak dialirkan ke uterus dapat mengadakan hipertropi dan hiperplasi setelah bayi

dilahirkan tidak diperlukan lagi, maka pengaliran darah berkurang , kembali seperti

biasa. Demikian dengan adanya hal-hal tersebut uterus akan mengalami kekurangan

darah sehingga jaringan otot –otot uterus mengalami atrofi kembali ke ukuran

semula.

Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga

pembuluh darah yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi

terus menerus, menyebabkan permasalahan lainnya baik itu infeksi maupun inflamasi
pada bagian rahim terkhususnya endromatrium. Sehingga proses involusi yang

mestinya terjadi setelah nifas terganggu karena akibat dari permasalahan di atas.

Manifestasi klinis

Biasanya tanda dan gejala subinvolusi tidak tampak, sampai kira-kira 4-6 minggu

pasca nifas.

1. Fundus uteri letaknya tetap tinggi di dalam abdomen atau pelvis dari yang

diperkirakan atau penurunan fundus uteri lambat dan tonus uterus lembek.

2. Keluaran kochia seringkali gagal berubah dari bentuk rubra ke bentuk serosa,

lalu kebentuk kochia alba.

3. Lochia bisa tetap dalam bentuk rubra dalam waktu beberapa hari postpartum atau

lebih dari 2 minggu pasca nifas

4. Lochia bisa lebih banyak daripada yang diperkirakan

5. Leukore dan lochia berbau menyengat, bisa terjadi jika ada infeksi

6. Pucat,pusing, dan tekanan darah rendah

7. Bisa terjadi perdarahan postpartum dalam jumlah yang banyak (>500 ml)

8. Nadi lemah, gelisah, letih, ektrimitas dingin

Diagnosis

a. Anamnesa

1. Identitas pasien

Data diri klien meliputi nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record, dll.

2. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang

Keluhan yang dirasakan ibu saat ini : pengeluaran lochia yang tetap

berwarna merah ( dalam bentuk rubra dalam beberapa hari postpartum atau lebih

dari 2 minggu postpartum adanya leukore an lochia berbau menyengat )

2) Riwayat kesehatan dahulu

Riwayat penyakit jantung, hipertensi, penyakit ginjal kronik hemofilia,

mioma uteri, riwayat preeklamsia, trauma jalan lahir kegagalan kompresi

pembuluh darah, tempat implantasi plasenta retensi sisa plasenta.

3) Riwayat penyakit keluarga

Adanya riwayat keluarga yang pernah/sedang menderita hiertensi,

penyakpit jantung dan preeklamsia, penyakit keturunan hemofilia dan penyakit

menular.

4) Riwayat obstetric

Riwayat menstruasi meliputi : menarche, lama siklusnya, banyaknya, baunya, keluhan

waktu haid.

Riwayat perkawinan meliputi : usia kawin, kawin yang keberapa, usia mulai hamil.

5) Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu

● Riwayat hamil meliputi: waktu hamil muda, hamil tua, apakah ada abortus

● Riwayat persalinan meliputi: Tuanya kehamilan, cara persalinan, penolong,

tempat bersalin, adakah kesulitan dalam persalinan, anak lahir hidup / mati, BB

& panjang anak waktu lahir.


● Riwayat nifas meliputi : keadaan lochia, apakah ada perdarahan, ASI

cukup/tidak,kondisi ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.

● Riwayat kehamilan sekarang

o Hamil muda: keluhan selama hamil muda

o Hamil tua: keluhan selama hamil tua, peningkatan BB, suhu nadi, pernafasan,

peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual atau keluhan lain.

o Riwayat ANC meliuti: dimana tempat pelayanan. berapa kali perawatan serta

pengobatannya yang di dapat.

● Riwayat persalinan sekarang meliputi : tuanya kehamilan, cara persalinan,

penolong tempat bersalin, apakah ada penyulit dalam persalinan (missal: retensio

plasenta, perdarahan yang berlebihan setelah persalinan ,dll), anak lahir

hidup/mati, BB dan panjang anak waktu lahir.

b. Pemeriksaan umum

● Keadaan ibu

● Tanda – tanda vital meliputi: suhu, nadi, tekanan darah, pernapasan

● Kulit dingin, berkeringat, pucat, kering, hangat, kemerahan

● Kandung kemih : distensi, produksi urin menurun / berkurang

c. Pemeriksaaan khusus

● Uterus meliputi: fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya

● Lochia meliputi: warna, banyaknya dan baunya

● Perineum diobservasi untuk melihat apakah ada tanda infeksi dan luka jahitan

● Vulva dilihat apakah ada edema atau tidak


● Payudara dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum

d. Pemeriksaan penunjang

● USG

● Radiologi

● Laboratorium (Hb.golongan darah,eritrosit, leukosit, trombosit, hematokrit, CT,

Blooding time)

● Pemeriksaan patologi jaringan endometrium

Penatalaksanaan

● Pemberian antibiotik

● Pemberian uterotonika

a. Oksitosin

b. Metilergonovin maleat
● Pemberian tansfusi

● Dilakukan kerokan bila disebabkan karena tertinggalnya sisa-sisa plasenta

Komplikasi

Subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga

pembuluh darah yang lebar tidak menutup sempurna, sehingga perdarahan terjadi

terus menerus. Perdarahan postpartum (PPH) merupakan perdarahan vagina yang

lebih dari 24 jam setelah melahirkan. Penyebab utama adalah subinvolusi uterus.

Yakni kondisi dimana uterus tidak dapat berkontraksi dan kembali kebentuk awal.

Ketika miometrium kehilangan kemampuan untuk berkontraksi, pembuluh rahim

mungkin berdarah secara luas dan menyajikan situasi yang mengancam jiwa

mengharuskan histerektomi.

Prognosis

Prognosis baik apabila tindakan segera dilakukan serta perdarahan akibat

subinvolusi uteri segera dihentikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F. Gary . 2012. Obstetri Williams volume 1 edisi 23. Jakarta :

EGC

2. Manuaba, Ida bagus gede. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC

3. Mansjoer,Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius
4. Mescher, L. Anthony. 2011. Histologi Dasar Junqueira Teks dan Atlas edisi

12. Jakarta : EGC

5. Mochtar,Rustam. 1998.Sinopsis Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC

6. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu kebidanan.2005. Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Pillitteri.

KISTA BARTOLINI

Definisi

Kelenjar Bartholin adalah sepasang kelenjar, masing-masing berukuran

sebesar kacang polong, yang sekresinya membantu mengatur kelembaban permukaan

vestibulum vagina. Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid

yang terbentuk di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar

Bartholin terjadi ketika kelenjar ini menjadi tersumbat.


Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi,

peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila saluran kelenjar ini mengalami

infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu sama lain dan menyebabkan

timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi,

menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi

bila kista menjadi terinfeksi.

Gambar Letak Kista Bartholin

Kista adalah tumor iinak di organ reproduksi perempuan yang paling sering

ditemui. Bentuknya kistik, berisi cairan kental, dan ada pula yang berbentuk anggur.

Kista juga ada yang berisi udara, cairan, nanah, ataupun bahan-bahan lainnya. Kista

termasuk tumor jinak yang terbungkus selaput semacam jaringan. Kumpulan sel-sel

tumor itu terpisah dengan jaringan normal di sekitarnya dan tidak dapat menyebar ke

bagian tubuh lain. Itulah sebabnya tumor jinak relatif mudah diangkat dengan jalan

pembedahan, dan tidak membahayakan kesehatan penderitanya.

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk

di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Kista kelenjar Bartholin terjadi

ketika kelenjar ini menjadi tersumbat. Kelenjar Bartolini bisa tersumbat karena
berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka panjang. Apabila

saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini akan melekat satu

sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang dihasilkan oleh

kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar membengkak dan

membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi bila kista menjadi terinfeksi 

Epidemiologi

Dua persen wanita mengalami kista Bartolini atau abses kelenjar pada suatu

saat dalam kehidupannya. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak

daripada kista. Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit

putih dan hitam yang lebih cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses

bartolini daripada wanita hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi

memiliki risiko terendah. Kista Bartolini, yang paling umum terjadi pada labia

majora. Involusi bertahap dari kelenjar Bartolini dapat terjadi pada saat seorang

wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya terjadi

kista Bartolini dan abses selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin

diperlukan lebih dini karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang

menjadi kanker.

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan tidak

diperlukan karena rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker per

100.000 wanita-tahun).Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat

menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartolini atau

abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini adalah masalah yang perlu

dicermati.Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia antara 20 sampai 30 tahun.


Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau

lebih muda.

Tabel Patologi Kista Bartholin

Etiologi

Kista Bartolini berkembang ketika saluran keluar dari kelenjar Bartolini

tersumbat. Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar kemudian terakumulasi,

menyebabkan kelenjar membengkak dan membentuk suatu kista. Suatu abses terjadi

bila kista menjadi terinfeksi. Abses Bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri.

Ini termasuk organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti

Klamidia dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan,
seperti Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis

organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan,

dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Kista dapat

terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini tidak selalu

harus terjadi sebelum abses kelenjar. Kelenjar Bartolini adalah abses polimikrobial.

Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang dominan

mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia

trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran

Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari infeksi

menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan

abses tersebut.

Tabel Etiologi Kista Bartholin

Gejala

Banyak kista Bartolini tidak menyebabkan gejala apapun. Biasanya ditemukan

ketika seorang wanita datang ke dokter untuk pemeriksaan umum tanpa keluhan
apapun, tanpa rasa sakit vagina. Namun, jika kista tumbuh lebih besar dari diameter 1

inci, dapat menyebabkan ketidaknyamanan ketika duduk, atau selama hubungan

seksual. Jika kista menjadi terinfeksi, berisi nanah, dan menjadi bengkak, hal ini

sangat menyakitkan, sehingga sulit bagi seorang wanita untuk duduk, berjalan atau

melakukan hubungan intim. Kista Bartolini menyebabkan pembengkakan labia di

satu sisi, dekat pintu masuk ke vagina. Sebuah kista biasanya tidak sangat

menyakitkan, dan rasa sakit yang signifikan menunjukkan bahwa abses telah

berkembang. Namun, kista yang besar mungkin akan menyakitkan sesuai dengan

ukurannya.Karena letaknya di vagina bagian luar,kista akan terjepit terutama saat

duduk dan berdiri menimbulkan rasa nyeri yang terkadang disertai dengan demam.

Pasien berjalan mengegang ibarat menjepit bisul diselangkangan.

Kista ductus bartholin tidak selalu menimbulkan keluhan, akan tetapi

kadang-kadang dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan kesulitan saat

coitus.
Kista ductus bartholin harus dibedakan dengan massa di valvular lainnya.

Kelenjar bartholin biasanya akan mengecil pada masa menopause, oleh karena itu

jika terjadi pembesaran di daerah valvular pada wanita postmenopause harus

dievaluasi sebagai suatu keganasan, khususnya jika massa berbentuk irregular,

nodular, dan berindurasi.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan dari kista duktus bartholin tergantung dari gejala pada

pasien. Kista yang asimptomatik mungkin tidak memerlukan pengobatan, tetapi

symptomatic kista duktus bartholin dan abses bartholin memerlukan drainage.

Kecuali kalau terjadi rupture spontan, abses jarang sembuh dengan sendirinya.

Insisi dan drainage

• Tindakan ini dilakukan bila terjadi symptomatic Bartholin's gland abscesses .

• Sering terjadi rekurensi

Cara:

• Disinfeksi abses dengan betadine

• Dilakukan anastesi lokal( khlor etil)

• Insisi abses dengan skapel pada titik maksimum fluktuasi

• Dilakukan penjahitan
Insisi abses

Definitive drainage menggunakan Word catheter.

Word catheter biasanya digunakan ada penyembuhan kista duktus

bartholin dan abses bartholin. Panjang tangkai catheter 1 inch dan mempunyai

diameter seperti foley catheter no 10. Balon Catheter hanya bias menampung 3 ml

normal saline.
Cara:
• Disinfeksi dinding abses sampai labia dengan menggunakan betadine.

• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %

• Fiksasi abses dengan menggunakan forsep kecil sebelum dilakukan tindakan

insisi.

• Insisi diatas abses dengan menggunakan mass no 11

• Insisi dilakukan vertikal di dalam introitus eksternal terletak bagian luar ring

himen. Jika insisi terlalu lebar, word catheter akan kembali keluar.

• Selipkan word kateter ke dalam lubang insisi

• Pompa balon word kateter dengan injeksi normal salin sebanyak 2-3 cc

• Ujung Word kateter diletakkan pada vagina.

Proses epithelisasi pada tindakan bedah terjadi setelah 4-6 minggu, word

catheter akan dilepas setelah 4-6 mgg,meskipun epithelisasa bias terbentuk pada 3-4

minggu. Bedrest selama 2-3 hari mempercepat penyembuhan. Meskipun dapat

menimbulkan terjadinya selulitis, antibiotic tidak diperlukan. Antibiotik diberikan

bila terjadi selulitis (jarang).


Marsupialisasi

Banyak literatur menyebutkan tindakan marsupialisasi hanya digunakan

pada kista bartholin.Namun sekarang digunakan juga untuk abses kelenjar bartholin

karena memberi hasil yang sama efektifnya. Marsupialisasi adalah suatu tehnik

membuat muara saluran kelenjar bartholin yang baru sebagai alternatif lain dari

pemasangan word kateter. Komplikasi berupa dispareuni, hematoma, infeksi

Cara:

• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine.

• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %.

• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai diantara

jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar dengan dasar

selaput himen.
• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4 sisi,

sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi dengan

cairan salin.

• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika

memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari tangan), dan

dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil separuhnya, dan dalam

waktu 4 minggu muara baru akan mempunyai ukuran sama dengan muara

saluran kelenjar bartholin sesungguhnya.


Penggunaan antibiotik

• Antibiotik sesuai dengan bakteri penyebab yang diketahui secara pasti dari

hasil pengecatan gram maupun kultur pus dari abses kelenjar bartholin

• Infeksi Neisseria gonorrhoe:

Ciprofloxacin 500 mg single dose

Ofloxacin 400 mg single dose

Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil)

Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)

• Infeksi Chlamidia trachomatis:u

Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po

Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po

• Infeksi Escherichia coli:

Ciprofoxacin 500 mg oral single dose


Ofloxacin 400 mg oral single dose

Cefixime 400 mg single dose

• Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :

Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari

Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.

Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.

Gambar Marsupialisasi dengan CO2 Laser


ABSES BARTOLIINI

Definisi

Abses kelenjar bartholin adalah terbentuknya pus pada kelenjar bartholin

yang ditandai adanya pembesaran (edem) kelenjar bartholin.

Absess Bartolini

Patologi

Kuman masuk melalui muara saluran kelenjar kelenjar bartholin,

menyerang saluran kelenjar bartholin sehingga terjadi keradangan dan edem saluran

kelenjar bartholin. Obstruksi pada distal ductus bartholin dapat menyebebkan retensi

dari sekresi kelenjar bartholin, dengan adanya obstruksi terjadi dilatasi dari ductus

bartholin dan berkembang menjadi kista ductus bartholin. Kista ductus bartholin
menyebabkan terjadinya infeksi primer bakteri patogen (urethra,servik, fecal)

terbentuk abses kelenjar bartholin.

Obstruksi duktus kelenjar bartholin juga bisa disebabkan oleh trauma,

persalinan,episiotomi, post infeksi yang menyebabkan penumpukan sekresi kelenjar

bartholin, sehingga terbentuk kista bartholin infeksi primer bakteri patogen menjadi

abses kelenjar bartholin. Kista ductus bartholin tidak harus terjadi sebagai awal

timbulnya abses kelenjar bartholin.

Infeksi pada kelenjar bartolini sering kali timbul karena bakteri N.

gonorrhoeae. Tetapi bisa juga disebabkan oleh infeksi bakteri lain (table 1).

Isolates from Bartholin's Gland Abscesses

Aerobic organisms Anaerobic organism

Neisseria gonorrhoeae Bacteroides fragilis

Staphylococcus aureus Clostridium perfringens

Streptococcus faecalis Peptostreptococcus species

Escherichia coli Fusobacterium species

Pseudomonas aeruginos

Chlamydia trachomatis

Tanda dan Gejala


Kista ductus bartholin tidak selalu menimbulkan keluhan, akan tetapi

kadang-kadang dirasakan sebagai benda berat dan atau menimbulkan kesulitan saat

coitus.

Kista ductus bartholin dan abses kelenjar harus dibedakan dengan massa

di valvular lainnya. Kelenjar bartholin biasanya akan mengacil pada masa

menopause, oleh karena itu jika terjadi pembesaran di daerah valvular pada wanita

postmenopause harus dievaluasi sebagai suatu keganasan, khususnya jika massa

berbentuk irregular, nodular, dan berindurasi.


Gambar 2. Abses kelenjar Bartholin

Symptom
• Nyeri vulva terutama waktu berjalan, duduk.

• Bengkak (unilateral)

• Dyspareunia

• Demam

Sign

• Nodul kemerahan pada sepertiga bawah labia mayus

• Terdapat fluktuasi dan teraba lunak

• Nyeri tekan lebih ringan

• Keluar pus pada muara saluran kelenjar bartholin

• Bila abses pecah tampak pus keluar melalui vestibula atau permukaan labia

mayus.

Diagnosa

Anamnesa (symptoms)

• bengkak bibir kelamin setelah coitus

• nyeri terutama waktu berjalan, duduk,

• Demam

• Nyeri berkurang disertai keluar cairan nanah

Pemeriksaan fisik (sign)

Pemeriksaan penunjang

• Pengecatan gram (sekret muara duktus kelenjar bartholin, hapusan dinding

urethra,vagina,cervix, pus hasil pungsi/aspirasi/insisi)


• Kultur dan tes sensivitas antibiotik

• Histopatologi/biopsi (menopause).

Penatalaksanaan

Sama seperti Kista bartolini

DAFTAR PUSTAKA

• Lee Min Y., Dalpiaz, A., Schwamb, R., et al. 2014. Clinical Pathology of

Bartholin’s Glands: A Review of the Literature. Current Urology. 2014;8:22–

25.

• Omole, F., Simmons, B., Hacker, Y. 2003. Management of Bartholin’s Duct

Cyst and Gland Abscess. American Family Physician. VOLUME 68,

NUMBER 1 pp. 135-140.

• Lilungulu, A., Mpondo, B.C.T., Mlwati, A., et al. 2017. Recurrent Huge Left

Bartholin’s Gland Abscess for One Year in a Teenager. Case Reports in

Infectious Diseases. Volume 2017. pp. 1-3.

• Speck, N., Boechat, K., Santos, G., et al. 2016. Treatment of Bartholin gland

cyst with CO2 laser. einstein. 2016;14(1):25-9.

• Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

• Woman and Children’s Health. 2016. Bartholin’s Cyst and Abscess. North

Bristol NHS Trust


ENDOMETRITIS

I. PENGERTIAN

- Endometritis adalah infeksi endometrium (lapisan dalam dari rahim) (Geri,

2009).

- Endometritis adalah peradangan pada lapisan endometrium uterus (Rivlin,

2011).

II. ETIOLOGI

Endometritis adalah penyakit yang disebabkan oleh polimikroba, rata-rata 2-

3 organisme. Dalam banyak kasus, muncul dari infeksi ascending dari organisme

yang ditemukan di flora normal vagina (Rivlin, 2011).


Bakteri yang sering menyebabkan infeksi saluran genital pascapartum

adalah:

1. Aerob:

✔ Streptokokus grup A, B dan D

✔ Enterokokus

✔ Bateri gram-negatif – Escherchia coli, Klebsiella dan Proteus

✔ Staphylococcus aureus

✔ Gardnerella vaginalis

2. Anaerob:

✔ Spesies peptokokus

✔ Spesies peptostreptokokus

✔ Golongan Bacteroides fragilis

✔ Spesies klostridium

✔ Spesies fusobakterium

✔ Spesies Mobiluncus

3. Lain-lain:

✔ Spesies Mycoplasma

✔ Chlamydia tracomatis

✔ Neisseria gonorrhoeae (Leveno, 2009).

III. KLASIFIKASI

1. Endometritis Akut
Pada endometritis akut, endometrium mengalami edema dan hiperemi

dan pada pemeriksaan mikroskopik terdapat hiperemi, edema dan infiltrasi

leukosit berinti polimorf yang banyak, serta perdarahan-perdarahan

interstisial. Sebab yang paling penting adalah infeksi gonorea dan infeksi pada

abortus dan partus.

Infeksi gonorea mulai sebagai servisitis akut, dan radang menjalar ke atas

dan menyebabkan endometritis akut.

Infeksi postapartum dan postpartum sering terdapat oleh karena luka-luka

pada serviks uteri, luka pada dinding uterus bekas implantasi plasenta, yang

merupakan porte d’entree bagi kuman-kuman patogen. Selain itu, alat-alat

yang digunakan pada abortus dan partus yang tidak steril dapat membawa

kuman-kuman ke dalam uterus.

Pada abortus septik dan sepsis puerperalis infeksi cepat meluas ke

miometrium dan melalui pembuluh-pembuluh darah dan limfe dapat menjalar

ke parametrium, ke tuba dan ovarium dan ke peritoneum sekitarnya. Gejala-

gejala endometritis akut dalam hal ini diselubungi oleh gejala-gejala penyakit

dalam keseluruhannya. Penderita panas tinggi, kelihatan sakit keras, keluar

leukorea yang bernanah dan uterus serta daerah di sekitarnya nyeri pada

perabaan.

Sebab lain endometritis akut adalah tindakan yang dilakukan dalam

uterus di luar partus atau abortus, seperti kerokan, memasukkan radium ke


dalam uterus, memasukkan IUD ke dalam uterus dan sebagainya. Tergantung

dari virulensi kuman yang dimasukkan dalam uterus, apakah endometritis

tetap terbatas pada endometrium atau menjalar ke jaringan di sekitarnya.

Endometritis akut yang disebabkan oleh kuman-kuman yang tidak seberapa

patogen umumnya dapat diatasi atas kekuatan jaringan sendiri, dibantu dengan

pelepasan lapisan fungsional dari endometrium pada waktu haid

(Prawirohardjo, 2012).

2. Endometritis Kronik

Endometritis kronik tidak seberapa sering ditemukan, oleh karen infeksi

yang tidak dalam masuknya pada miometrium, tidak dapat mempertahankan

diri, karena pelepasan lapisan fungsional endometrium pada waktu haid. Pada

pemeriksaan mikroskopik, ditemukan banyak sel-sel plasma dan limfosit.

Penemuan limfosit saja tidak besar artinya karena sel itu juga ditemukan

dalam keadaan normal dalam endometrium. Gejala klinis endometritis kronik

adalah leukorea dan menoragia. Endometritis kronik ditemukan pada:

- Tuberkulosis

- Jika tertinggal sisa-sisa abortus atau partus

- Jika terdapat korpus alineum di kavum uteri

- Pada polip uterus dengan infeksi

- Pada tumor ganas uterus

- Pada salpingo-ooforitis dan sellulitis pelvik (Prawirohardjo, 2012).


IV. PATOGENESIS.

Bakteri secara normal mengkoloni seviks, vagina, perineum dan saluran

cerna. Meskipun virulensinya rendah, namun berbagai bakteri ini menjadi

patogenik jika terdapat jaringan yang mengalami devitalisasi dan hematom yang

pasti ada dalam persalinan. Infeksi pascapartum bersifat polimikroba (biasanya

dua hingga tiga spesies) dan terjadi di tempat insisi atau implantasi plasenta

(Leveno, 2009).

Infeksi endometrium, atau desidua, biasanya hasil dari infeksi melalui

saluran kelamin. Dari perspektif patologis, endometritis dapat diklasifikasikan

sebagai akut dan kronis. Endometritis akut ditandai oleh adanya neutrofil dalam

kelenjar endometrium. Pada kasus non obstetric, penyakit radang panggul dan

invasif prosedur ginekologi adalah prekursor yang paling umum untuk

endometritis akut. Pada kasus obstetri, infeksi postpartum merupakan masalah

yang umum.

Endometritis kronis ditandai oleh adanya sel plasma dan limfosit dalam

stroma endometrium. Endometritis kronis pada populasi obstetri biasanya

dikaitkan dengan produk konsepsi tertahan setelah melahirkan atau aborsi elektif.

Pada populasi nonobstetric, endometritis kronis terlihat dengan adanya infeksi


(misalnya klamidia, TBC, vaginosis bakteri) dan adanya alat kontrasepsi dalam

rahim (Zieve, 2011).

Endometritis adalah infeksi pada endometrium atau desidua, dengan ekstensi

ke dalam miometrium dan jaringan parametrium. Endometritis biasanya hasil dari

infeksi naik dari saluran bawah kelamin. Dari perspektif patologis, endometritis

dapat diklasifikasikan sebagai akut dan kronis. Endometritis akut dicirikan dengan

adanya neutrofil dalam kelenjar endometrium. Endometritis kronis ditandai

dengan adanya sel plasma dan limfosit dalam stroma endometrium.

Pada populasi non obstetric, PID dan prosedur ginekologi invasif adalah

prekursor paling umum untuk endometritis akut. Pada populasi obstetri, infeksi

postpartum adalah masalah yang paling umum. Endometritis kronis di bidang

kebidanan biasanya terkait dengan hasil konsepsi tertahan setelah melahirkan atau

aborsi elektif. Pada populasi non obstetric, endometritis kronis dapat dilihat dari

infeksi, seperti klamidia, tuberkulosis, dan vaginosis bakteri, dan adanya suatu alat

kontrasepsi (Zieve, 2011).

Ketidaksterilan alat-alat yang digunakan dalam menolong persalinan

menyebabkan bakteri dan ogranisme masuk dan menginfeksi organ reproduksi,

infeksi dapat menyebar melalui jaringan limfa dan dinding uterus (Stright, 2009)

Endometritis tuberkulosa terdapat pada hampir setengah kasus-kasus

tuberkulosis genital. Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan tuberkol pada

tengah-tengah endometrium yang meradang menahun.


Pada abortus incompletus terdapat sisa-sisa desidua dan villikorialis yang

tertinggal dalam uterus dapat menyebabkan radang endometrium yang menahun.

Pada partus dengan sisa plasenta yang masih tertinggal dalam uterus,

terdapat peradangan dari jaringan tersebut disertai gumpalan darah, dan

terbentuklah apa yang disebut polip plasenta.

Endometritis kronika yang lain umumnya akibat infeksi terus menerus

karena adanya benda asing atau polip/tumor di dalam cavum uteri (Prawirohardjo,

2012).

Infeksi gonorhoe mulai sebagai servicitis akuta, dan radang menjalar keatas

dan menyebabkan endometris akuta.

Infeksi post abortus dan post partum sering terdapat oleh karena luka-luka

pada cervik uteri, luka pada dinding uterus bekas tempat plasenta, yang merupakan

pusat masuknya bagi kuman-kuman patogen. Selain itu, alat-alat yang digunakan

pada abortus dan partus tidak steril dapat membawa kuman-kuman kedalam

uterus.

Abortus septik dan sepsis puerperalis cepat meluas ke miometrium dan

melalui pembuluh darah dan limfe menjalar ke parametrium, ke tuba dan ovarium,

dan peritonium di sekitarnya. Gejala-gejala endometritis akut dalam hal ini mirip

oleh gejala-gejala penyakit dalam. Penderita panas tinggi, nyeri, keluar leukorea

yang bernanah, dan uterus serta daerah disekitarnya nyeri pada perabaan. Sebab

lain endometritis akuta adalah tindakan yang dilakukan dalam utterus diluar partus

atau abortus, seperti kuretase, memasukkan radium ke dalam uterus, mamasukkan

IUD (Intra Uterin Device) ke dalam uterus, dsb (Prawirohardjo, 2012).


V. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinik tergantung jenis dan virulensi kuman, daya tahan penderita

dan derajat trauma pada jalan lahir. Infeksi uterus harus menjadi perhatian utama

pada wanita pascapartum dengan demam. Biasanya timbul rabas vagina (lokia)

yang berbau, banyak dan bersemu darah (Lokiametra).

Sering terdapat nyeri tekan abdomen dan parametrium uterus sewaktu

pemeriksaan bimanual. Uterus pada endometritis agak membesar dan lembek.

1. Penderita pada hari-hari pertama tampak kurang sehat dan perut nyeri.

2. Mulai hari ke 3 suhu meningkat, nadi menjadi cepat, akan tetapi dalam

beberapa hari suhu dan nadi menurun dan dalam waktu kurang lebih

satu minggu keadaan akan kembali normal lagi (Prawirohardjo, 2012).

3. Demam ibu pascapartum (pascaoperasi), tanpa causa lain yang jelas,

harus dianggap sebagai endometritis (Leveno, 2009).

VI. FAKTOR RESIKO

1. Persalinan lama, khususnya dengan pecah ketubah

2. Pecah ketuban yang lama sebelum persalinan

3. Bermacam-macam pemeriksaan vagina selama persalinan, khususnya pecah

ketuban

4. Teknik aseptic tidak sempurna


5. Tidak memperhatikan teknik cuci tangan

6. Manipulasi intrauterine (mis, eksplorasi uteri, pelaksanaan placenta manual)

7. Trauma jaringan yang luas atau luka terbuka, seperti laserasi yang tidak

diperbaiki

8. Hematoma

9. Hemoragi, khususnya jika kehilangan darah lebih dari 1000 ml

10. Retensi sissa plasenta atau membrane janin

11. Perawatan perineum tidak memadai

12. Infeksi vagina/serviks atau penyakit menular seksual yang tidak ditangani

(Mis, vaginosis bakteri, klamidia, gonorea)

(Varney, 2008)

13. Infesi dasar: chorioamnionitis & bacterial vaginosis

14. Setelah persalinan spontan, abosrtus spontan atau abortus elektif

15. Adanya benda asing

16. Faktor resiko lain yang berkontribusi, termasuk:

o Anemia

o Obesitas

o Diabetes

o Malnutrisi

o Status imun

o Sosial ekonomi rendah

o Operator tidak punya pengalaman dan / keterampilan


o Waktu operasi lebih dari 1 jam

o General anastesi

(Queenan et al, 2005).

17. Perdarahan pascapartum

18. Pre eklamsia

(Walsh, 2008)

VII. KOMPLIKASI

Komplikasi yang potensial dari endometritis adalah sebagai berikut:

�Luka infeksi

Infeksi luka biasanya terjadi pada hari kelima pasca operasi sebagai demam

menetap meskipun pasien mendapat terapi antimikroba yang adekuat. Biasanya

dijumpai eritema, indurasi, dan drainase insisi

�Karena peritonitis

Peritonitis pasca sesar mirip dengan peritonitis bedah, kecuali rigiditas

abdomen biasanya tidak terlalu mencolok karena peregangan abdomen yang

berkaitan dengan kehamilan. Nyeri mungkin hebat. Jika infeksi berawal di

uterus dan meluas hanya ke peritonium didekatnya (peritonitis panggul), terapi

biasanya medis. Sebaliknya peritonitis abdomen generalisata akibat cedera

usus  atau nekrosis insisi uterus, sebaiknya diterapi secara bedah

�Parametrial phlegmon

Pada sebagian wanita yang mengalami metritis setelah sesar, terjadi selulitis

parametrium yang intensif. Hal ini menyebabkan terbentuknya daerah indursi


yang disebut flegmon, di dalam lembar-lembar ligamentum latum (parametria)

atau dibawah lipatan kandung kemih yang berada di atas insisi uterus. Selulitis

ini umumnya unilateral dan dapat meluas ke lateral ke dinding samping

panggul. Infeksi ini harus dipertimbangkan jika demam menetap setelah 72 jam

meskipun pasien sudah mendapat terapi untuk endomiometritis pasca sesar

�Panggul abses

Flegmon parametrium dapat dapat mengalami supurasi,membentuk abses

ligamentum latum yang fluktuatif. Jika abses ini pecah, dapat timbul peritonitis

yang mengancam nyawa. Dapat dilakukan drainase abses dengan menggunakan

tuntunan computed tomography, kolpotami, atau  melalui abdomen, bergantung

pada lokasi abses

�Abses subfasia dan Terbukanya jaringan parut uterus

Kompilkasi serius endometritis pada wanita yang melahirkan sesaradalah

terbukanya insisi akibat infeksi nekrosis disertai perluasan ke dalam ruang

subfasia di sekitar dan akhirnya pemisahan insisi fasia. Hal ini bermanifestasi

sebagai drainase subfasia pada wanita dengan demam lama. Di perlukan

eksplorasi bedah dan pengangkatan uterus yang terinfeksi

�Septik panggul thrombophlebitis

Di dahului oleh infeksi bakteri di tempat implantasi plasenta atau insisi uterus.

Infeksi dapat meluas di sepanjang rute vena dan munkin mengenai vena-vena di

ovarium
Penyebaran infeksi dari endometrium tabung saluran indung telur, indung telur

atau rongga peritoneal dapat mengakibatkan, salpingitis, oophoritis, karena

peritonitis lokal atau abses tuba ovarium. Salpingitis kemudian mengarah ke

tubal dysmotility dan pelekatan yang mengakibatkan infertilitas, insiden yang

lebih tinggi dari kehamilan ektopik, dan kronis nyeri panggul.

(Cunningham, 2009)

VIII. DIAGNOSA

Tes yang dapat dilakukan:

- Kultur dari serviks untuk clamidia, onore dan organisme lain

- Biopsi endometrium

- ESR (sedimen rate)

- Laparoskopi

- WBC (white blood count)

- Uji mikroskopis lendir

(Zieve, 2011)

IX. PENCEGAHAN

1. Selama kehamilan

● Cegah anemia dengan memperbaiki gizi dan diet yang baik.

● Koitus pada hamil tua sebaiknya dilarang.

2. Selama persalinan

● Batasi masukknya kuman kedalam jalan lahir degan cara sterilisasi alat

partus.
● Jaga persalinan agar tidak berlarut.

● Selesaikan persalinan dengan trauma sedikit mungkin.

● Cegah terjadinya perdarahan banyak.

● Periksa dalam dilakukan hanya bila perlu.

● Transfusi darah harus diberikan menurut keperluan.

3. Selama nifas

● Jaga luka-luka agar tidak dimasuki kuman.

● Batasi pengunjung pada hari-hari pertama nifas.

● Penderita dengan tanda infeksi harus diisolasikan.

X. PENATALAKSANAAN

Sifat polimikroba dari infeksi ini mengharuskan pemberian regimen

antimikroba spektrum luas dalam pengobatan endometritis setelah pelahiran

pervaginam atau sesar. Beberapa regimen yang berbeda dapat digunakan. Di

Parkland Hospital, regimen yang digunakan adalah klindamisin plus gentamisin

dan sudah memadai bagi 95 persen wanita. Beberapa kasus yang gagal berespon

berkaitan dengan Enterococcus dan secara empiris ditambahkan ampisilin jika

tidak ada respon klinis setelah 72 jam pemberian klindamisin plus gentamisin. Jika

demam menetap, penyulit endometritis perlu disingkirkan dengan pemeriksaan

panggul dan pemeriksaan pencitraan. Tanpa penyulit tersebut, wanita endometritis

diberi antibiotik intravena sampai afebris selama 24 jam, pada saat tersebut pasien

dipulangkan tanpa terapi oral. Hal ini biasanya memerlukan waktu 2 sampai 3 hari
dan jarang menyebabkan pasien perlu dirawat ulang atas indikasi infeksi uterus

(Leveno, 2009).

Pasien sebisa mungkin diidolasi, tapi bayi boleh menyusu pada ibunya.

Untuk kelancaran lochea, pasien boleh diletakkan dalam posisi fowler dan diberi

uterotonica serta dianjurkan banyak minum (Saleha, 2009)


DAFTAR PUSTAKA

Geri, Morgan. 2009. Obstetri & Ginekologi: Panduan Praktik. Jakarta: EGC.

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams: Panduan Ringkas. Jakarta: EGC.

Manuaba. 2008. Gawat Darurat Obstetry dan Ginekologi dan Obtetry Ginekologi

Sosial untuk Profesi Bidan. EGC: Jakarta

Prawirohardjo, Sarwono. 2012. Ilmu Kandungan. Jakarta : YBP-SP.

Queenan, John T et al. 2008. Protocols for High-Risk Pregnancies. India. Black

Rivlin, Michel E. 2011. Endometritis. Diakses dari

<http://emedicine.medscape.com/article/254169overview#aw2aab6b2b3aa>.

Varney, Helen. 2008. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. EGC: Jakarta

Walsh. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. EGC: Jakarta

Well Publishing.

Zieve, David. 2011. Endometritis. Diakses dari <http://www.nlm.nih.gov/

medlineplus/ency/article/001484.htm>
SISTOKEL DAN REKTOKEL
Definisi
Sistokel adalah melemahnya fascia penunjang antara vagina dan kandung
kemih yang dapat menyebabkan prolaps kandung kemih ke dalam vagina.
Rektokel adalah melemahnya fascia penunjang antara vagina dan rektum
(fascia rektovagina) yang dapat menyebabkan prolaps rektum ke dalam vagina.
(Obstetri William, Ed. 23)

Diagnosis
- Gambaran Gejala Klinis:
o Perasaan mengganjal di vagina atau menjonjol di genitalia eksterna
o Rasa sakit di panggul atau di pinggang dan bila berbaring akan
berkurang
o Sistokel:
▪ menyerupai gejala polimiksi mula-mula pada siang hari. Bila
prolaps semakin berat akan timbul polimiksi pada malam hari.
▪ Perasaan kandung kemih tidak dapat dikosongkan secara
tuntas
▪ Tidak dapat menahan kencing apabila batuk (stress
incontinence)
▪ Retensi urin
o Rektokel: gangguan defekasi
o Kesulitan bersenggama
- Identifikasi faktor resiko:
o Umur: biasanya pada post menopause, melemahnya fascia karena
menurunnya kadar estrogen
o Riwayat persalinan per vaginam sulit (gemeli, penggunaan forsep,
laserasi perineal, episiotomi)
o Riwayat konstipasi (terutama untuk rektokel)
o Riwayat batuk kronis (penyebab meningkatnya tekanan intraabdomen)
o Riwayat mengangkat benda berat
o Obesitas
o Merokok
- Cara pemeriksaan:
o Penderita dalam posisi jongkok dan disuruh mengejan, kemudian
dengan telunjuk jari, mengidentifikasi, apakah porsio uteri dalam
keadaan normal atau sudah masuk ke dalam introitus vagina
o Melakukan pemeriksaan dalam (vaginal toucher). Dengan
menyesuaikan gejala klinis pasien, pada rektokel terdapat benjolan di
dinding belakang vagina (merupakan prolaps rektum pada vagina),
dapat berisi feses yang dapat dikeluarkan secara manual. Pada sistokel
terdapat benjolan di dinding depan vagina (merupakan prolaps vesica
urinaria pada vagina), dapat berisis stasis urine yang merupakan faktor
predisposisi infeksi (urinary tractus infection)
(Sumber: Ilmu Kandungan Sarwono; Obstetri William Ed.23; NYU Langone Medical
Center)

Terapi
Pengobatan medis:
- Latihan otot-otot dasar panggul (senam Kegel) untuk menguatkan otot-otot
dasar panggul
- Stimulasi otot-otot dengan alat listrik utnuk memacu kontraksi otot-otot dasar
panggul
- Terapi hormon estroge pada pasien menopause. Pada menopause kelemahan
otot dasar panggul akibat menurunnya kandungan estrogen sehingga
pemberian estrogen akan bermanfaat.
Pengobatan operatif:
- Sistokel: kolporafi anterior
- Rektokel: kolpoperineoplastik

Pencegahan
Melatih otot-otot dasar panggul dan dengan menghindari beberapa faktor resiko
obstetri seperti penggunaan foreseps (tanpa indikasi jelas) dan episiotomi.
(Sumber: Ilmu Kandungan Sarwono)

Fistula Urogenital
2.1. Definisi
Fistula urogenital diartikan sebagai suatu hubungan abnormal antara dua atau
bahkan lebih organ internal urogenital atau terbentuknya hubungan antara saluran
kemih (uretra,kandung kemih, ureter) dan saluran genital (vagina, uterus, perineum)
(Clement, 2001).

2.2. Etiologi
Fistula pada rektum dan vagina atau uretra dapat disebabkan oleh etiologi yang
berbeda. Hal ini dapat disebabka oleh kelainan kongenital maupun yang didapat
seperti inflamasi, infeksi, neoplasma atau trauma. Fistula iatrogenik dapat disebabkan
oleh pembedahan pevik (Zmora, 2006 ).

Patofisiologi
Trauma pada kandung kemih saan melakukan tindakan hiaterektomi yang
sulit atau persalinan operatif section cesarean (SC) dapat menimbulakan fistula
vesikovagina. Kebanyakan terbentuk fistula vesikovagina saat melakukan diseksi
tumpul yang luas pada daerah kandung kemih saat melakukan pemisahan lapisan
kandung kemih. Hal ini menyebabkan devaskularisasi atau robekan yang tidak
teridentivikasi pada dinding posterior kandung kemih. Hal lain dalam tindakan
pembedahan yang menyebabkan terjadinya fistula adalah jahitan pada puncak vagina
yang secara kebetulan melibatkan kandung kemih, keadaan ini menjadikan jaringan
sekitarnya iskemia, nekrosis dan selanjutnya menjadi fistula (Elkin, 1994).
Fistula sebagai hasil dari suatu proses persalinan terjadi saat persalinan lama
atau dengan kesulitan. Bagian kepala janin akan menekan bagian trigonal dan leher
kandung kemih dengan menekan ke bagian tulang pubis pada simpisis. Keadaan
demikian juga menyebabkan iskemia dan nekrosis (Vasavada. 2006).
Fistula yang timbul sebagai komplikasi radiasi tidak tampak dalam kurun
waktu tahun setelah radiasi. Manifestasi lambat tersebut disebabkan oleh perubahan
lanjutan efek radiasi. Timbul fibrosis pada jaringan subepiteleal, hialinisasi jaringan
ikat akan tampak dengan pemeriksaan histology. Perubahan pada pembuluh darah
tersebut akan mengkasilkan atropi atau nekrosis pada epitel kandung kemih,
kemudian terjadi ulserasi atau terbentuk fistula(Vasavada, 2006).
Klasifikasi
Belum dijumpai kesepakatan yang menjadi standar untuk menentukan satu
pembagian ataupun tingkat keparahan fistula urogenital. Berbeda penulis nampaknya
menentukan klasifikasi yang berbeda pula. Hamlins menentukan klasifikasi
berdasarkan penilaian subjektif dari hasil penilaian kerusakan yang dijumpai.
Arrowsmith menyarankan pemakaian system scoring untuk dapat memprediksi
luaran penderita fistula (Wall, 2006)
Klasifikasi terdahulu oleh Sims (1852) yang melakukan pembagian fistula
berdasarkan lokasinya pada vagina, klasifikasi tersebut adalah (Wall, 2006) :
1. Uretro-vaginal, yaitu kerusakan terjadi melibatkan uretra
2. Fistula yang melibatkan leher kandung kemih atau pangkal uretra
3. Fistula yang melibatkan dasar kandung kemih
4. Fistula utero-vesikal, dengan bagian terbuka pada uterus dan kanalis serviks

Klasifikasi umum dari fistula urogenital dapat dikelompokkan dalam 4 jenis, yaitu
:
1. Vesikouterina
2. Urethrovaginal
3. Vesikovaginal
4. Ureterovaginal
Fistula vesikovaginal dapat dibagi lagi berdasarkan lokasi anatomi fistula
tersebut. Klasifikasi tersebut adalah (Tafesse, 2006) :
1. Juxtauretral, melibatkan leher kandung kemih dan proksimal uretra dengan
kerusakan mekanisme spingter dan terkadang disertai hilangnya uretra.
2. Midvaginal, tanpa melibatkan leher kandung kemih dan trigonum
3. Juxtaservikal, terbuka sampai forniks anterior dengan kemungkinan
melibatkan ureter bagian distal
4. Vesikoservikal atau vesikouterina
5. Masife, kombinasi 1 sampai 3 dengan bekas parut dan melibatkan tulang
simfisis, sering melibatkan ureter pada pinggir fistula dan prolapsus kandung
kemih melalui lubang fistula yang besar.
6. Compound, melibatkan rektovaginal atau ureterovaginal

Gambar 1. A. Fistula vesikosevikal, B. Juxtaservikalis, C. midvaginal vesikovaginal,


D. Suburethral vesikovaginal, E. Fistula urethrovaginal
Secara sedarhana dapat diklasifikasikan kedalam 2 jenis fistula, yaitu
(Kohli,2007):
1. Fistula simple, panjang vagina normal, fistula diameter tidak lebih 2 cm dan
tidak dijumpai riwayat radiasi atau keganasan vaginal atau serviks.
2. Fistula complex, panjang vagina lebih pendek, terdapat riwayat penyakit
keganasan yang menjalani radiasi dan panjang fistula > 3 cm.

2.7. Penatalaksanaan
2.7.1. Penatalaksaan konservatif
Jika fistula yang dijumpai beberapa hari setelah pembedahan ginekologi,
kateter suprapubis atau transurethral terpasang dan dipertahankan sampai 30 hari.
Fistula vesiko-vagina yang kecil < 1 cm akan hilang atau berkurang selama periode
waktu tersebut.Fistula vagina yang kecil dapat sembuh dengan pemasanngan kateter
foley. Fistula yang terjadi dapat menutup spontan kembali setelah 3 minggu
pemasangan kateter untuk drainase urin. Jika dalam kurun waktu 30 hari setelah
pemasangan kateter tidak terdapat perubahan,menandakan fistula tidak akan menutup
secara spontan (Kohli.2007).
Pemberian kortikosteroid diharapkan dapat mempercepat penyembuhan dengan
mengurangi edema dan fibrosis pada fistula (Junizaf, 2002).
2.8. Penanganan pembedahan
Prinsip dasar pembedahan untuk menutup fistula adalah sama yaitu mobilisasi
jaringan, vaskularisasi yang baik dan penyatuan jaringan yang baik. Keutamaan
dalam pelaksanaan tindakan bedah fistula adalah tampilan fistula yang adekuat,
hemostasis yang baik, mobilisasi yang luas dari vagina dan kandung kemih dan
menghilangkan jaringan yang mengalami devaskularisasi dan benda asing., jaringan
bebas regangan, permukaan jaringan sesuai jalur dan konfirmasi penutupan fistula
dan drainase kandung kemih selama 10-14 hari (Sims, 1995).
Pendekatan operasi untuk fistula urogenital pada prinsipnya ada 3 pilihan
yaitu:
a. Transvaginal
b. Transabdominal
c. Kombinasi transvaginal dan transabdominal
DAFTAR PUSTAKA

Josoprawiro M.J. 2002. Penanganan Fistula Urogenital dengan pendekatan


transvagina. urogeniklogi I. Rekonstruksi obstet dan genikol. FK-UI: Jakarta.
Junizaf. 2002. Fistula Vesiko Vagina, Urogenikologi I, Uroginikologi Rekontruksi
obstet dan genekol. FK-UI : Jakarta.
Kohli N, Miklos J.R. 2007. Managing Vesica-Vagina Fistula, Womens Healt and
Education Center- Urogynology : Boston
Pranata, A. 2007. Karakteristik Kasus Fistula Urogenital di Departemen Obstetri dan
Ginekologi RSUP H. Adam Malik dan RSUD dr. Pirngadi Medan. Tesis. FK-
USU : Medan
Riley V.J. 2004. Vesikovaginal Fistula, available at Emedicine.
Santoso BI. 2002. Fistula Urogenital, Urogenikologi I, Uroginikologi Rekonstruksi
Obstet dan ginekol FK-UI : Jakarta.
Shobeiri SA, Chesson RR, Echols KT. 2011. Cystoscopy Fistulography: A new
technique for the diagnosis of vesikocervical Fistula.
PENYAKIT RADANG PANGGUL

1.1 Definisi

Pelvic inflammatory disease (PID) adalah penyakit infeksi dan inflamasi pada

traktur reproduksi bagian atas, termasuk uterus, tuba fallopi, dan struktur penunjang

pelvis.

1.2 Epidemiologi
PID adalah masalah kesehatan yang cukup sering. Sekitar 1 juta kasus PID

terjadi di Amerika Serikat dalam setahun da total biaya yang dikeluarkan melebihi 7

juta dollar per tahun. Lebih dari seperempat kasus PID membutuhkan rawatan inap.

PID menyebabkan 0,29 kematian per 1000 wanita usia 15-44 tahun.4 Diperkirakan

100000 wanita menjadi infertil diakibatkan oleh PID.

1.3 Faktor Resiko

Terdapat beberapa faktor resiko terjadinya PID, namun yang utama adalah

aktivitas seksual. PID yang timbul setelah periode menstruasi pada wanita dengan

aktivitas seksual berjumlah sekitar 85%, sedangkan 15% disebabkan karena luka pada

mukosa misalnya akbiat AKDR atau kuretase.

1.4 Etiologi

PID biasanya disebabkan oleh mikroorganisme penyebab penyakit menular

seksual seperti N. Gonorrhea dan C. Trachomatis. Mikroorganisme endogen yang

ditemukan di vagina juga sering ditemukan pada traktus genitalia wanita dengan PID.

Mikroorganisme tersebut termasuk bakteri anaerob seperti prevotella dan

peptostreptokokus seperti G. vaginalis. Bakteri tersebut bersama dengan flora vagina

menyebar secara asenden dan secara enzimatis merusak barier mukosa serviks.

1.5 Patofisiologi

PID disebabkan oleh penyebaran mikroorganisme secara asenden ke traktus

genital atas dari vagina dan serviks.Mekanisme pasti yang bertanggung jawab atas

penyebaran tersebut tidak diketahui, namun aktivitas seksual mekanis dan pembukaan

serviks selama menstruasi mungkin berpengaruh.


Banyak kasus PID timbul dengan 2 tahap.Tahap pertama melibatkan akuisisi

dari vagina atau infeksi servikal.Penyakit menular seksual yang menyebabkannya

mungkin asimptomatik.Tahap kedua timbul oleh penyebaran asenden langsung

mikroorganisme dari vagina dan serviks.Mukosa serviks menyediakan barier

fungsional melawan penyebaran ke atas, namun efek dari barier ini mungkin

berkurang akibat pengaruh perubahan hormonal yang timbul selama ovulasi dan

mestruasi.

Gangguan suasana servikovaginal dapat timbul akibat terapi antibiotik dan

penyakit menular seksual yang dapat mengganggu keseimbangan flora endogen,

menyebabkan organisme nonpatogen bertumbuh secara berlebihan dan bergerak ke

atas.Pembukaan serviks selama menstruasi dangan aliran menstrual yang retrograd

dapat memfasilitasi pergerakan asenden dari mikrooragnisme.Hubungan seksual juga

dapat menyebabkan infeksi asenden akibat dari kontraksi uterus mekanis yang

ritmik.Bakteri dapat terbawa bersama sperma menuju uterus dan tuba.

1.6 Jenis-jenis

Salpingitis

Mikroorganisme yang tersering menyebabkan salpingitis adalag N. Gonorhea

dan C. trachomatis.Salpingitis timbul pada remaja yang memiliki pasangan seksual

multiple dan tidak menggunakan kontrasepsi.Gejala meliputi nyeri perut bawah dan

nyeri pelvis yang akut.Nyeri dapat menjalar ke kaki.Dapat timbul sekresi

vagina.Gejala tambahan berupa mual, muntah, dan nyeri kepala.


Abses Tuba Ovarian

Abses ini dapat muncul setelah onset salpingitis, namun lebih sering akibat

infeksi adnexa yang berulang.Pasien dapat asimptomatik atau dalam keadaan septic

shock.Onset ditemukan 2 minggu setelah menstruasi dengan nyeri pelvis dan

abdomen, mual, muntah, demam, dan takikardi.Seluruh abdomen tegang dan

nyeri.Leukosit dapat rendah, normal, atau sangat meningkat.

1.7 Diagnosis

Penegakan diagnosa dimulai dengan anemnese, dimana pasien dapat

mengeluhkan gejala yang bervariasi.Gejala muncul pada saat awal siklus menstruasi

atau pada saat akhir menstruasi.Nyeri abdomen bagian bawah dijumpai pada 90%

kasus dengan kriteria nyeri tumpul, bilateral, dan konstan.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, biasanya didapati :

1. Nyeri tekan perut bagian bawah

2. Pada pemeriksaan pelvis dijumpai : sekresi cairan mukopurulen, nyeri pada

pergerakan serviks, nyeri tekan uteri, nyeri tekan adnexa yang bilateral

3. Mungkin ditemukan adanya massa adnexa

Beberapa tanda tambahan adalah :

● Suhu oral lebih dari 38ºC

Pemeriksaan Laboratorium
1. Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah leukosit lebih dari 100.000

pada 50% kasus.Hitung leukosit mungkin normal, meningkat, atau menurun,

dan tidak dapat digunakan untuk menyingkirkan PID.

2. Peningkatan erythrocyte sediment rate digunakan untuk membantu diagnose

namun tetap tidak spesifik.

3. Peningkatan c-reaktif protein, tidak spesifik.

4. Pemeriksaan DNA dan kultur gonorrhea dan chlamidya digunakan untuk

mengkonfirmasi PID.

Pemeriksaan Radiologi

1. Transvaginal ultrasonografi : pemeriksaan ini memperlihatkan adnexa, uterus,

termasuk ovaroium.Pada pemeriksaan ini PID akut Nampak dengan adanya

ketebalan dinding tuba lebih dari 5 mm, adanya septa inkomplit dalam tuba,

cairan mengisi tuba fallopi, dan tanda cogwheel.Tuba fallopi normal biasanya

tidak terlihat pada USG.

2. CT digunakan untuk mendiagnosa banding PID. Penemuan CT pada PID

adalah servisitis, ooforitis, salpingitis, penebalan ligament uterosakral, dan

adanya abses atau kumpulan cairan pelvis.Penemuan CT scan tidak spesifik

pada kasus PID dimana tidak bukati abses.

3. MRI jarang mengindikasikan PID. Namun jika digunakan akan terlihat

penebalan, tuba yang berisi cairan dengan atau tanpa cairan pelvis bebas atau

kompleks tubaovarian.

1.8 Diagnosis Banding


Beberapa diagnosa banding untuk PID adalah :

1. tumor adnexa

2. appendicitis

3. servisitis

4. kista ovarium

5. torsio ovarium

6. aborsi spontan

7. infeksi saluran kemih

8. kehamilan ektopik

9. endometriosis

1.9 Penatalaksanaan

Terapi pasien rawatan inap

Regimen A : berikan cefoxitin 2 gram iv atau cefotetan 2 gr iv per 12 jam ditambah

doxisiklin 100 mg per oral atau iv per 12 jam. Lanjutkan regimen ini selama 24 jam

setelah pasien pasien membaik secara klinis, lalu mulai doxisiklin 100 mg per oral 2

kali sehari selama 14 hari.Jika terdapat abses tubaovarian, gunakan metronoidazole

atau klindamisin untuk menutupi bakteri anaerob.

Regimen B : berikan clindamisin 900 mg iv per 8 jam tambah gentamisin 2 mg/kg

BB dosis awal iv diikuti dengan dosis lanjutan 1,5 mg/kg BB per 8 jam. Terapi iv

dihentikan 24 jam setelah pasien membaik secara klinis, dan terapi per oral 100 mg

doxisiklin dilanjutkan hingga 14 hari.


Terapi pasien rawatan jalan

Regimen A : berikan ceftriaxone 250 mg im dosis tunggal tambah doxisiklin 100 mg

oral 2 kali sehari selama 14 hari, dengan atau tanpa metronidazole 500 mg 2 kali

sehari selama 14 hari.

Regimen B : berikan cefoxitin 2 gr im dosis tunggal dan proibenecid 1 gr per oral

dosis tunggal atau dosis tunggal cephalosporin generasi ketiga tambah dozisiklin 100

mg oral 2 kali sehari selama 14 hari dengan atau tanpa metronidazole 500 mg oral 2

kali sehari selama 14 hari.

Terapi Pembedahan

Pasien yang tidak mengalami perbaikan klinis setelah 72 jam terapi harus

dievaluasi ulang bila mungkin dengan laparoskopi dan intervensi pembedahan.

Laparotomi digunakan untuk kegawatdaruratan sepeti rupture abses, abses yang tidak

respon terhadap pengobatan, drainase laparoskopi. Penanganan dapat pula berupa

salpingoooforektomi, histerektomi, dan bilateral salpingooforektomi.Idealnya,

pembedahan dilakukan bila infeksi dan inflamasi telah membaik.


DAFTAR PUSTAKA

1. Shepherd, Suzanne M. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/256448-print [diperbaharui tanggal 4

Februari 2010]

2. Reyes, Iris. Pelvic Inflammatory Disease. 2010. Diunduh dari :

http://emedicine.medscape.com/article/796092-print [diperbaharui tanggal

10 September 2010]

3. Berek, Jonathan S. 2007. Pelvic Inflammatory Disease dalam Berek &

Novak’s Gynekology 14th Edition. California : Lippincott William & Wilkins.

4. Pernoll, Martin L. 2001. Pelvic Inflammatory Disease dalam Benson &

Pernoll’s handbook of Obstetric and Gynecology 10 th edition. USA :

McGrawhill Companies.

5. Edmonds, Keith D. 2007. The Role of Ultrasound in Gynaecology dalam

Dewhurst’s Textbook of Obstetric and Gynaecology 7 th edition. London :

Blackwell Publishing.

6. Mudgil, Shikha. 2009. Pelvic Inflammatory Disease/Tubo-ovarian Abscess.

Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/404537-print

[diperbaharui tanggal 10 Agustus 2009]


KORIOAMNIOSITIS

Definisi

Korioamnionitis adalah infeksi pada korion dan amnion.Korioamnionitis

adalah infeksi jaringan membarana fetalis beserta cairan amnion yang terjadi sebelum

partus sampai 24 jam post partum. Insidensi dari chorioamnionitis adalah 1 – 5% dari

kehamilam term dan sekitar 25% dari partus preterm.

Korioamnionitis merupakan inflamasi pada membrane fetal / selaput ketuban

yang merupakan manifestasi dari infeksi intrauterine (IIU).Seringkali berhubungan

dengan pecahnya selabut ketuban yang lama dan persalinan yang lama.Hal ini dapat

dilihat dengan menjadi keruhnya (seperti awan) selaput membrane.Selain itu bau

busuk dapat tercium, tergantung jenis dan konsentrasi bakteri.Ketika mono dan

leukosit polimononuklear (PMN) menginfiltrasi korion, dalam penemuan

mikroskopik maka hal ini dikatakan korioamnionitis.Sel-sel tersbut berasal dari

ibu.Sebaliknya, jika leukosit ditemukan pada cairan amnion (amnionitis) atau selaput

plasenta (funisitis), sel-sel ini berasal dari fetus.

Epidemologi

Dengan adanya korioamnionitis, morbiditas fetus meningkat secara

substansif.Alexander dan kolega (1998) mempelajari 1367 neonatus dengan berat

lahir sangat rendah yang dilahirkan di Rumah Sakit Parkland.Sejumlah 7 %

dilahirkan oleh wanita dengan korioamnionitis, dan hasil akhir dibandingkan dengan

bayi baru lahir tanpa infeksi secara klinis.Para bayi yang baru lahir dengan grup
terinfeksi mempunyai insidensi yang lebih tinggi menderita sepsis, respiratory

distress syndrome, kejang dengan onset awal, perdaraham intraventrikular, dan

leukomalasia periventrikular.

Para peneliti mengkonklusi bahwa bayi-bayi dengan berat badan sangat

rendah tersebut rentan terhadap perlukaan neurologis karena korioamnionitis. Pada

penelitian lain (Yoon dan kolega, 2000) menemukan bahwa infeksi intra amnion pada

bayi preterm berhubungan dengan meningkatnya resiko cerebral palsy pada usia 3

tahun. Petroya dan kolega (2001) mempelajari lebih dari 11 juta kelahiran hidup dari

1995 hingga 1997 yang terdaftar pada National Center for Health Statistics linked

birth-infant death cohort. Selama persalinan, 1,6 % wanita yang mengalami demam

berhubungan secara erat denga infeksi yang menyebabkan kematian baik bayi term

maupu preterm.

Patofisiologi

Jalur bakteri memasuki cairan amnion yang intak masih belum jelas diketahui.

Gyr dan kolega (1994) telah menunjukkan bahwa Escherichia coli dapat

mempenetrasi membrane tang hidup; sehingga, membran bukan barier yang absolut

untuk infeksi ascending. Jalur lain inisiasi bakteri pada persalinan preterm mungkin

tidak membutuhkan cairan amnion. Cox dan rekan kerja (1993) menemukan bahwa

sitokin dan sel-sel mediasi imunitas dapat teraktivasi di dalam jaringan desidual yang

membatasi membrane fetalis.Pada peristiwa ini, produk bakteri seperti endotoksin

menstimulasi monosit desidual untuk memproduksi sitokin, yang kemudian


menstimulasi asam arakidonat dan produksi prostaglandin.Prostaglandin E2 dan F2

bekerja pada parakrin untuk menstimulasi myometriumberkontraksi.

Etiologi

Infeksi pada membran dan cairan amnion dapat disebabkan oleh

mikroorganisme yang bervariasi.Bakteri dapat ditemukan melalui amniosintersis

transabdominal sebanyak 20% pada wanita dengan persalinan preterm tanpa

manifestasi klinis infeksi dan dengan membrane fetalis yang intak (Cox dan rekan

kerja, 1996; Watts dan kolega, 1992).Produk viral juga ditemukan (Reddy and

colleagues, 2001).Infeksi tidak terbatas pada cairan amnion. Pada penelitian yang

dilakukan pada 609 wanita dengan sectio caesarea dengan membrane yang intak,

Hauth dan rekan kerja (1998) mengkonfirmasi bahwa organism dari korioamnion

meningkat secara signifikan dalam persalinan spontan preterm. Proses penyembuhan

dari bakter patogen juga berhubungan secara terbalik dengan usia kehamilan.

Faktor predisposisi

1. Persalinan prematur

2. Persalinan lama

3. Ketuban pecah lama

4. Pemeriksaan dalam yang dilakukan berulang-ulang

5. Adanya bakteri patogen pada traktus genitalia (IMS, BV)


6. Alkohol

7. Rokok

Gambaran Klinis

Ruptur membrane yang memanjang berhubungan dengan morbiditas infeksi

yang meningkat (Ho dan kolega, 2003).Jika korioamnionitis terdiagnosis, usaha

untuk mempengaruhi persalinan, pervaginam yang disarankan, segera dimulai. Tanda

dan gejala yang dapat ditemukan:

● Demam, suhu di atas 38°C (100.4°F) atau lebih tinggi disertai ruptur

membrane menandakan adanya infeksi. 

● Leukositosis pada ibu tersendiri ridak ditemukan berhubungan secara

signifikan oleh para peneliti.

● Takikardia ibu dan takikardia fetus

● Uterine tenderness

● Vaginal discharge yang berbau.

Diagnosis

1. Anamnesis

Para peneliti menemukan bahwa reaksi inflamasi dapat bersifat tidak

spesifik dan tidak selalu terbukti terjadi infeksi pada ibu.Sebagai contoh, Yamada

dan kolega (2000) menemukan bahwa cairan yang terwarna mekonium merupaka
penarik kimiawi bagi leukosit.Sebaliknya, Benirschke dan Kaufmann (2000)

mempercayai bahwa korioamnionitis secara mikroskopik selalu disebabkan

infeksi. Korioamnionitis sering berhubungan dengan rupture membran, kelahiran

preterm, ataupun keduanya. Sering kali sulit dibedakan apakah infeksi terlebih

dahulu atau ruptur membran terlebih dahulu yang terjadi. Gambaran khasnya

adalah selaput ketuban yang terlihat seperti susu dan berkabut (akibat adanya

lekosit polimorfonuklear dan eksudat) disertai infiltrasi leukosit perivaskular pada

tali pusat clan pembuluh darah janin (omfalitis). Peradangan vilus fokal

merupakan manifestasi lanjut.

2. Pemeriksaan Fisis

3. Pemeriksaan Penunjang

− Pemeriksaan hapusan Gram atau kultur pada cairan amnion biasanya 

tidak dilakukan. 

− Pemeriksaan amniosentesis biasanya dilakukan pada preterm labour yang 

refrakter (supaya dapat diputuskan apabila tokolisis tetap dilanjutkan atau 

tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu dilakukan). 

− Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari diagnosis 

diferensial dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, 

memprediksi lung maturity

Korioamnionitis adalah diagnosis klinis yang ditegakkan bila ditemukan demam

>380C dengan 2 atau lebih tanda berikut ini:


● leukositosis >15.000 sel/mm3

● denyut jantung janin >160 kali/menit

● frekuensi nadi ibu >100 kali/menit

● nyeri tekan fundus saat tidak berkontraksi

● cairan amnion berbau

Penatalaksanaan

− Rujuk pasien ke rumah sakit.

− Beri antibiotika kombinasi: ampisilin 2 g IV tiap 6 jam ditambah gentamisin 5

mg/kgBB IV setiap 24 jam.

− Terminasi kehamilan. Nilai serviks untuk menentukan cara persalinan:

o Jika serviks matang: lakukan induksi persalinan dengan oksitosin

o Jika serviks belum matang: matangkan dengan prostaglandin dan infus

oksitosin, atau lakukan seksio sesarea

− Jika persalinan dilakukan pervaginam, hentikan antibiotika setelah persalinan.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea, lanjutkan antibiotika dan

tambahkan metronidazol 500 mg IV tiap 8 jam sampai bebas demam selama 48

jam.

− Jika terdapat metritis (demam, cairan vagina berbau), berikan antibiotika


− Jika bayi mengalami sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah dan

beri antibiotika yang sesuai selama 7-10 hari.

Referensi

1. Duff P. Maternal and perinatal infection. In: Gabbe SG, Niebyl JR, Simpson JL,

eds. Obstetrics: normal and problem pregnancies, 4th ed. Philadelphia, PA:

Churchill Livingston; 2002:1301-3

2. WHO country office for Indonesia. Korioamniositis. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/6-4-11-korioamnionitis/
HEPATITIS B PADA KEHAMILAN

Definisi

Hepatitis B merupakan infeksi menular serius pada hati yang disebabkan oleh

virus hepatitis B. Infeksi akut dapat terjadi pada saat tubuh terinfeksi untuk pertama

kalinya. Infeksi akut ini dapat berubah menjadi kronis setelah beberapa bulan sejak

infeksi pertama kali.

Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang tergolong berbahaya

di dunia, Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB), suatu anggota famili

Hepadnavirus pada sebagian kecil kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati

atau kanker hati yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau

menahun. Seperti halnya Hepatitis C, kedua penyakit ini dapat menjadi kronis dan

akhirnya menjadi kanker hati.

       Penyebab Hepatitis ternyata tak semata-mata virus. Keracunan obat, dan paparan

berbagai macam zat kimia seperti karbon tetraklorida, chlorpromazine, chloroform, =

arsen, fosfor, dan zat-zat lain yang digunakan sebagai obat dalam industri modern,

bisa menyebabkan Hepatitis.

Zat-zat kimia ini mungkin saja tertelan, terhirup atau diserap

melalui kulitpenderita.Menetralkan suatu racun yang beredar di dalam darah adalah

pekerjaan hati. Jika banyak sekali zat kimia beracun yang masuk ke dalam tubuh, hati

bisa saja rusak sehingga tidak dapat lagi menetralkan racun-racun lain.
       Di daerah Timur dan Afrika, beberapa kasus hepatitis B berkembang menjadi

hepatitis menahun, sirosis dan kanker hati.Mula-mula dikenal sebagai serum

hepatitis dan telah menjadi epidemi pada sebagian Asia dan Afrika.Hepatitis B telah

menjadi endemik di Tiongkok dan berbagai Negara Asia.

Faktor Predisposisi

• Kontak lesi atau sekret dengan penderita Hepatitis B

•Transfusi darah

• Belum mendapat vaksinasi Hepatitis B

Mekanisme penularan

a. Kebocoran pada plasenta.

b. Tertelannya cairan amnion yang infeksius.

c. Adanya abrasi kulit selama proses persalinan.

d. Tertelannya darah ibu selama persalinan.

e. Penularan mel selaput lendir.

  Proses penularan Hepatitis B yaitu melalui pertukaran cairan tubuh atau

kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi Hepatitis B. Penularannya tidak

semudah virus hepatitis A. Virus hepatitis B ditularkan melalui darah atau produk

darah. Hepatitis B dapat menyerang siapa saja, tetapi umumnya bagi mereka yang

berusia produktif akan lebih berisiko terkena penyakit.

Proses penularan penyakit Hepatitis B dibedakan menjadi dua:


● Secara vertikal, cara penularan vertikal terjadi dari Ibu yang mengidap virus

Hepatitis B kepada bayi yang dilahirkan yaitu pada saat persalinan atau segera

setelah persalinan.

● Secara horizontal, terjadi akibat penggunaan alat suntik yang tercemar, tindik

telinga, tusuk jarum, transfusi darah, penggunaan pisau cukur dan sikat gigi

secara bersama-sama (jika penderita memiliki penyakit mulut (sariawan, gusi

berdarah) atau luka yang mengeluarkan darah) serta hubungan seksual dengan

penderita atau mitra seksual (baik heteroseksual maupun pria homoseksual).

Tanda dan Gejala

Secara khusus tanda dan gejala terserangnya hepatitis B yang akut adalah demam,

sakit perut dan kuning (terutama pada area mata yang putih / sklera). Penderita hepatitis B

kronik cenderung tidak tampak tanda-tanda tersebut, sehingga penularan kepada orang lain

menjadi lebih berisiko.

Pada umumnya, gejala penyakit Hepatitis B ringan. Gejala tersebut berupa selera

makan hilang, rasa tidak enak di perut, mual sampai muntah, demam ringan, kadang-kadang

disertai nyeri sendi dan bengkak pada perut kanan atas. Setelah satu minggu akan timbul

gejala utama seperti bagian putih pada mata tampak kuning, kulit seluruh tubuh tampak

kuning dan air seni berwarna seperti teh.

Diagnosis:

Adanya infeksi kronik Hepatitis B ditentukan dengan hasil pemeriksaan skrining

HbsAg yang (+)

Penatalaksanaan
a. Tatalaksana Umum

● Setiap ibu hamil perlu dilakukan pemeriksaan HbsAg pada trimester pertama

kehamilannya.

b. Tatalaksana Khusus

● Bila ibu dengan HbsAg positif maka bayi diberikan suntikan HBIG 0,5 ml IM

pada lengan atas segera setelah lahir (dalam 12 jam kelahiran) dan vaksin

hepatitis B dengan dosis 0,5 ml (5 µg) IM pada lengan atas sisi lain pada saat

yang sama kemudian pada usia 1 bulan dan 6 bulan.

● Bila ibu dengan HbsAg negatif maka bayi hanya diberikan vaksin hepatitis B

0,5 ml (5 µg) pada usia ke-0, 1 bulan, dan 6 bulan.

● Tidak ada perbedaan pemberian HBIG dan vaksinasi hepatitis B pada bayi

prematur namun pemberian vaksinasi hepatitis B diberikan dalam empat kali

pemberian yaitu pada bulan ke-0, 1, 6, dan 8 bulan.

● Tidak ada larangan pemberian ASI eksklusif pada bayi dengan ibu

HbsAg positif terutama bila bayi telah divaksinasi dan diberi HBIG setelah

lahir.

Pencegahan

Pencegahan infeksi VHB perinatal :

1. Melakukan pemeriksaan secar rutin HBs Ag pada semua ibu hamil.

2. Imunisasi segera setelah bayi lahir.


3. Ibu hamil dengan HBs Ag (+), periksa HBe Ag, bila (+), beri HBIG dan vaksin

setelah lahir.

4. Ibu hamil dengan HBs Ag (+)/(-), HBe Ag (-), lakukan imunisasi aktif.

Pencegahan infeksi VHB pada neonatus saat persalinan

HBIG diberikan selambatnya 24 jam pasca persalinan 0,5 ml (IM), diulang

setiap bulan 0,16 cc/kg sampai 6 bulan, vaksin diberikan selambatnya 7 hari pasca

persalinan (dianjurkan diberikan segera setelah lahir pada sisi berlawanan untuk

mempercepat efektivitasnya), diulang pada bulan 1 dan 6.


INFEKSI TORCH

Pengertian

TORCH adalah sebuah istilah untuk menggambarkan gabungan dari empat

jenis penyakit infeksi yang menyebabkan kelainan bawaan, yaitu Toxoplasma,

Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes.Keempat jenis penyakit infeksi ini sama-sama

berbahaya bagi janin bila infeksi diderita oleh ibu hamil.

Prinsip dari pemeriksaan ini adalah deteksi adanya zat anti (antibodi) yang

spesifik taerhadap kuman penyebab infeksi tersebut sebagai respon tubuh terhadap

adanya benda asing (kuman.Antibodi yang terburuk dapat berupa Imunoglobulin M

(IgM) dan Imunoglobulin G (IgG).

Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai

keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik

pria maupun wanita.Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan

pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam.

a.         Toxoplasma

Toxoplasmosis penyakit zoonosis yaitu penyakit pada hewan yang

dapat ditularkan ke manusia. Penyakit ini disebabkan oleh sporozoa yang

dikenal dengan nama Toxoplasma gondii. Toxoplasma gondii yaitu suatu

parasit intraselluler yang menginfeksi pada manusia dan hewan.Tboxoplasma

gondii termasuk spesies dari kelas sporozoa (Cocidia), pertama kali

ditemukan pada binatang pengerat Ctenodactylus gundi di Afrika Utara


(Tunisia) oleh Nicolle dan Manceaux tahun 1908. Tahun 1928 Toxoplasma

gondii ditemukan pada manusia pertama kali oleh Castellan

b.         Rubella

Penyakit ini disebabkan oleh virus Rubella yang termasuk famili

Togaviridae dan genus Rubivirus, infeksi virus ini terjadi karena adanya

kontak dengan sekret orang yang terinfeksi; pada wanita hamil penularan ke

janin secara intrauterin.Masa inkubasinya rata-rata 16-18 hari. Periode

prodromal dapattanpa gejala (asimtomatis), dapat juga badan terasa

lemah,demam ringan, nyeri kepala, dan iritasi konjungtiva. Penyakit ini agak

berbeda dari toksoplasmosis karena rubela hanya mengancam janin.

Penyakit yang juga disebabkan oleh virus yang menimbulkan demam

ringan dengan ruam yang menyebar dan kadang-kadang mirip dengan

campak.Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat menimbulkan

kecacatan pada janin. Sindroma rubella congenital terjadi pada 90% bayi yang

dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama

kehamilan, resiko kecacatan ini menurun hinggga kira-kira 10-20% pada

minggu ke 16 dan lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia

kehamilan 20 minggu.

c.         Cyto Megalo Virus (CMV)

Penyakit ini disebabkan oleh Human cytomegalovirus, subfamili

betaherpesvirus, famili herpesviridae. Penularannya lewat paparan jaringan,


sekresi maupun ekskresi tubuh yangterinfeksi (urine, ludah, air susu ibu,

cairan vagina, dan lainlain).

Masa inkubasi penyakit ini antara 3-8 minggu.Pada kehamilan infeksi

pada janin terjadi secara intrauterin. Pada bayi, infeksi yang didapat saat

kelahiran akan menampakkan gejalanya pada minggu ke tiga hingga ke dua

belas; jika didapat pada masa perinatal akan mengakibatkan gejala yang berat.

Infeksi virus ini dapat ditemukan secara luas di masyarakat; sebagian

besar wanita telah terinfeksi virus ini selama masa anak-anak dan tidak

mengakibatkan gejala yang berarti. Tetapi bila seorang wanita baru terinfeksi

pada masa kehamilan maka infeksi primer ini akan menyebabkan manifestasi

gejala klinik infeksi janin bawaan sebagai berikut: hepatosplenomegali,

ikterus, petekie, meningoensefalitis, khorioretinitis dan optic atrophy,

mikrosefali, letargia, kejang, hepatitis dan jaundice, infiltrasi pulmonal

dengan berbagai tingkatan, dan kalsifikasi intrakranial. Jika bayi dapat

bertahan hidup akan disertai retardasi psikomotor maupun kehilangan

pendengaran..

d.        Herpes Simplek

Penyakit ini disebabkan infeksi Herpes simplex virus (HSV); ada 2

tipe HSV yaitu tipe 1 dan 2.Tipe 1 biasanya mempunyai gejala ringan dan

hanya terjadi pada bayi karena adanya kontak dengan lesi genital yang

infektif; sedangkan HSV tipe 2 merupakan herpes genitalis yang menular


lewat hubungan seksual.HSV tipe 1 dan 2 dapat dibedakan secara

imunologi.Masa inkubasi antara 2 hingga 12 hari.

Infeksi herpes superfisial biasanya mudah dikenali misalnya pada kulit

dan membran mukosa juga pada mata.

Penyakit infeksi virus yang ditandai dengan lesi primer terlokalisir,

laten dan adanya kecenderungan untuk kambuh kembali. Ada 2 jenis virus

yaitu virus herpes simpleks (HSV) tipe 1 dan 2 pada umumnya menimbulkan

gejala klinis yang berbeda, tergantung pada jalan masuknya. Dapat menyerang

alat-alat genital atau mukosa mulut.

Cara Penularan

Penularan TORCH pada manusia dapat melalui 2 (dua) cara. Pertama, secara

aktif (didapat) dan yang kedua, secara pasif (bawaan). Penularan secara aktif

disebabkan antara lain sebagai berikut :

a. Makan daging setengah matang yang berasal dari hewan yang terinfeksi

(mengandung sista), misalnya daging sapi, kambing, domba, kerbau, babi, ayam,

kelinci dan lainnya. Kemungkinan terbesar penularan TORCH ke manusia adalah

melalui jalur ini, yaitu melalui masakan sati yang setengah matang atau masakan

lain yang dagingnya dimasak tidak semnpurna, termasuk otak, hati dan lainnya.

b. Makan makanan yang tercemar oosista dari feses (kotoran) kucing yang

menderita TORCH. Feses kucing yang mengandung oosista akan mencemari

tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan baik pada manusia
maupun hewan. Tingginya resiko infeksi TORCH melalui tanah yang tercemar,

disebabkan karena oosista bisa bertahan di tanah sampai beberapa bulan

c. Transfusi darah (trofozoid), transplantasi organ atau cangkok jaringan (trozoid,

sista), kecelakaan di laboratorium yang menyebabkan TORCH masuk ke dalam

tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka.

d. Hubungan seksual antara pria dan wanita juga bisa menyebabkan menularnya

TORCH. Misalnya seorang pria terkena salah satu penyakit TORCH kemudian

melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita (padahal sang wanita

sebelumnya belum terjangkit) maka ada kemungkinan wanita tersebut nantinya

akan terkena penyakit TORCH sebagaimana yang pernah diderita oleh lawan

jenisnya.

e. Ibu hamil yang kebetulan terkena salah satu penyakit TORCH ketika

mengandung maka ada kemungkinan juga anak yang dikandungnya terkena

penyakit TORCH melalui plasenta.

f. Air Susu Ibu (ASI) juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH.

Hal ini bisa terjadi seandainya sang ibu yang menyusui kebetulan terjangkit salah

satu penyakit TORCH maka ketika menyusui penyakit tersebut bisa menular

kepada sang bayi yang sedang disusuinya.

g. Keringat yang menempel pada baju atau pun yang masih menempel di kulit juga

bisa menjadi penyebab menularnya penyakit TORCH. Hal ini bisa terjadi apabila

seorang yang kebetulan kulitnya menmpel atau pun lewat baju yang baru saja

dipakai si penderita penyakit TORCH.


h. Faktor lain yang dapat mengakibatkan terjadinya penularan pada manusia, antara

lain adalah kebiasaan makan sayuran mentah dan buah - buahan segar yang dicuci

kurang bersih, makan tanpa mencuci tangan terlebih dahulu, mengkonsumsi

makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup, sehingga kemungkinan

terkontaminasi oosista lebih besar.

i. Air liur juga bisa sebagai penyebab menularnya penyakit TORCH. Cara

penularannya juga hampir sama dengan penularan pada hubungan seksual.

Berdasarkan kenyataan di atas, penyakit TORCH ini sifatnya menular.Oleh

karena itu dalam satu keluarga biasanya kalau salah satu anggota keluarga terkena

penyakit tersebut maka yang lainnya pun juga bisa terkena. Malah ada beberapa kasus

dalam satu keluarga seluruh anggota keluarganya mulai dari kakek - nenek, kakak -

adik, bapak - ibu, anak - anak semuanya terkena penyakit TORCH.

Gejala klinis

a.         Toxoplasma

Gejala yang diderita biasanya dengan mirip gejala influenza, bisa

timbul rasa lelah, malaise, demam disertai hepatomegali, dan umumnya tidak

menimbulkan masalah,

b.         Herpes Simpleks

Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang dan

menolak untuk makan,.Dengan dilakukan pemeriksaan menunjukan adanya


ulkus dangkal multiple yang nyeri pada mukusa lidah, gusi, dan bukal

denganvesikel pada bibir dan sekitarnya.

c.         Cyto Megalo Virus (CMV)

-          Demam,

-          Penurunan jumlah sel darah putih (leukopenia)

-          Letih

-          Lesu

-          Kulit berwarna kuning,

-          Pembesaran hati dan limpa,

-          Kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti mata, otak,

gangguan mental, dan lain-lain tergantung organ janin mana yang

diserang

-          Umumnya janin yang terinfeksi cmv lahir prematur dan berat badan

lahir rendah

d.        Rubella

Tanda dan gejala yang muncul biasanya bertahan dalam dua hingga

tiga hari dan mungkin melibatkan:

-          Demam ringan 38,9 derajat Celcius atau lebih rendah,


-          Sakit kepala

-          Hidung tersumbat atau pilek

-          Peradangan, mata merah

-          Pembesaran, pelunakan kelenjar getah bening di dasar tengkorak, leher

bagian belakang dan di belakang telinga

-          Muncul ruam warna merah muda/pink di wajah dan dengan cepat

menyebar ke pundak, lengan, kaki sebelum menghilang di sekuens

yang sama.

-          Nyeri pada persendian, khususnya pada perempuan muda.

Diagnosis

Proses diagnosa medis merupakan langkah pertama untuk menangani suatu

penyakit. Tetapi diagnosa berdasarkan pengamatan gejala klinis sering sukar

dilaksanakan, maka dilakukan diagnosa laboratorik dengan memeriksa serum darah,

untuk mengukur titer-titer antibodi IgM atau IgG-nya.

Penderita TORCH kadang tidak menunjukkan gejala klinis yang spesifik,

bahkan bisa jadi sama sekali tidak merasakan sakit. Secara umum keluhan yang

dirasakan adalah mudah pingsan, pusing, vertigo, migran, penglihatan kabur,

pendengaran terganggu, radang tenggorokan, radang sendi, nyeri lambung, lemah

lesu, kesemutan, sulit tidur, epilepsi, dan keluhan lainnya.


Untuk kasus kehamilan: sulit hamil, keguguran, organ tubuh bayi tidak

lengkap, cacat fisik maupun mental, autis, keterlambatan tumbuh kembang anak, dan

ketidaksempurnaan lainnya.

Namun begitu, gejala diatas tentu belum membuktikan adanya penyakit

TORCH sebelum dibuktikan dengan uji laboratorik.

Penatalaksanaan

Adanya infeksi-infeksi ini dapat dideteksi dari pemeriksaan darah.Biasanya

ada 2 petanda yang diperiksa untuk tiap infeksi yaitu Imunoglobulin G (IgG) dan

Imunoglobulin M (IgM).Normalnya keduanya negatif.

Jika IgG positif dan IgMnya negatif,artinya infeksi terjadi dimasa lampau dan

tubuh sudah membentuk antibodi. Pada keadaan ini tidak perlu diobati.Namun, jika

IgG negatif dan Ig M positif, artinya infeksi baru terjadi dan harus diobati.Selama

pengobatan tidak dianjurkan untuk hamil karena ada kemungkinan infeksi ditularkan

ke janin.Kehamilan ditunda sampai 1 bulan setelah pengobatan selesai (umumnya

pengobatan memerlukan waktu 1 bulan). Jika IgG positif dan IgM juga positif,maka

perlu pemeriksaan lanjutan yaitu IgG Aviditas. Jika hasilnya tinggi,maka tidak perlu

pengobatan, namun jika hasilnya rendah maka perlu pengobatan seperti di atas dan

tunda kehamilan. Pada infeksi Toksoplasma,jika dalam pengobatan terjadi kehamilan,

teruskan kehamilan dan lanjutkan terapi sampai melahirkan.Untuk Rubella dan CMV,

jika terjadi kehamilan saat terapi, pertimbangkan untuk menghentikan kehamilan

dengan konsultasi kondisi kehamilan bersama dokter kandungan anda.


Pengobatan TORCH secara medis diyakini bisa dengan menggunakan obat-

obatan seperti isoprinocin, repomicine, valtrex, spiromicine, spiradan, acyclovir,

azithromisin, klindamisin, alancicovir, dan lainnya.Namun tentu pengobatannya

membutuhkan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu,

terdapat pula cara pengobatan alternatif yang mampu menyembuhkan penyakit

TORCH ini, dengan tingkat kesembuhan mencapai 90 %.

Pengobatan TORCH secara medis pada wanita hamil dengan obat spiramisin

(spiromicine), azithromisin dan klindamisin misalnya bertujuan untuk menurunkan

dampak (resiko) infeksi yang timbul pada janin.Namun sayangnya obat-obatan

tersebut seringkali menimbulkan efek mual, muntah dan nyeri perut.Sehingga perlu

disiasati dengan meminum obat-obatan tersebut sesudah atau pada waktu makan.

Berkaitan dengan pengobatan TORCH ini (terutama pengobatan TORCH

untuk menunjang kehamilan), menurut medis apabila IgG nya saja yang positif

sementara IgM negative, maka tidak perlu diobati.Sebaliknya apabila IgM nya positif

(IgG bisa positif atau negative), maka pasien baru perlu mendapatkan pengobatan.
INFEKSI MALARIA

Definisi

Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat akut maupun kronik, disebabkan oleh

protozoa genus Plasmodium, ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali.

Faktor Predisposisi

● Faktor lingkungan (endemis)

● Kontak dengan vektor malaria

Tanda dan gejala malaria tanpa komplikasi:

● Demam

● Menggigil/kedinginan/kaku

● Sakit kepala

● Nyeri otot/persendian

● Kehilangan selera makan

● Mual dan muntah

● Diare

● Mulas seperti his palsu (kontraksi uterus)

● Pembesaran limpa

● Pembesaran hati

Tanda dan gejala malaria berat:


● Penurunan kesadaran dalam berbagai derajat, dengan manifestasi seperti:

kebingungan, mengantuk, sampai penurunan kesadaran yang dalam

● Tidak dapat makan dan minum

● Pucat di bagian dalam kelopak mata, bagian dalam mulut, lidah dan telapak

tangan

● Kelemahan umum (tidak bisa duduk/berdiri)

● Demam sangat tinggi >400C

● Ikterik

● Oliguria

● Urin berwarna coklat kehitaman (black water fever)

Diagnosis

● Diagnosis ditegakkan bila ditemukan parasit pada pemeriksaan apus darah

tepi dengan mikroskop atau hasil positif pada pemeriksaan rapid diagnostic

test (RDT).

● Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:

o Pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit

o Hitung jumlah leukosit dan trombosit

o Kimia darah lain (gula darah, serum bilirubin, SGOT & SGPT,

alkali fosfatase, albumin/globulin, ureum, kreatinin, natrium dan

kalium, analisis gas darah, laktat)

o Urinalisis

Tatalaksana
Terapi malaria tanpa komplikasi

Malaria falsiparum

● Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3×2 tablet selama 7 hari atau

3x10mg/kgBB selama 7 hari ditambah dengan Klindamisin 2x300mg atau

2x10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6

jam bila demam.

● Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP

(dihidroartemisininpiperakuin) 1 x 3 tablet (BB 41-59

kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3 hari ATAU

artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet

selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet

tiap 6 jam bila demam.

Malaria vivaks

● Untuk usia kehamilan <3 bulan, berikan kina 3 x 2 tablet selama 7 hari atau 3

x 10mg/kgBB selama 7 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet tiap 6

jam bila demam.

● Untuk usia kehamilan > 3 bulan, berikan DHP 1 x 3 tablet

(BB 41-59 kg) / 1×4 tablet (BB ≥60 kg) selama 3 hariATAU

artesunat 1 x 4 tablet dan amodiakuin 1 x 4 tablet

selama 3 hari. Dapat DITAMBAH parasetamol 1 tablet

tiap 6 jam bila demam.


Anjuran untuk malaria tanpa komplikasi

● Minum obat sesudah makan atau perut tidak dalam keadaan kosong.

● Apabila memungkinkan awasi pasien secara langsung pada waktu

minum obat.

● Anjurkan pasien untuk meneruskan minum tablet zat besi dan asam folat serta

mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi.

● Anjurkan pasien untuk menggunakan kelambu setiap malam di rumah atau di

kebun.

● Pastikan semua obat yang diberikan dihabiskan, meskipun ibu hamil sudah

merasa mulai membaik.

● Catat informasi dalam kartu pelayanan antenatal dan rekam medis.

● Informasikan kepada pasien untuk kembali ke Puskesmas, Pustu,

atau Polindes segera jika dia merasa tidak lebih baik setelah

menyelesaikan pengobatan.

● Informasikan kepada pasien dan keluarganya untuk kembali ke Puskesmas,

Pustu, atau Polindes segara bila ada 1 atau lebih tanda-tanda bahaya selama

pengobatan, yaitu:

o Tidak dapat makan/minum

o Tidak sadar

o Kejang

o Muntah berulang

o Sangat lemah (tidak dapat duduk atau berdiri)


Tatalaksana malaria berat:

● Lakukan stabilisasi dan rujuk ibu segera jika menunjukkan gejala

malaria berat.

● Tentukan usia kehamilan ibu dan periksa tanda-tanda vital (suhu, tekanan

darah, pernapasan, nadi).

● Segera cari pertolongan tenaga kesehatan lain dan jangan biarkan

ibu sendirian.

● Lindungi ibu dari cedera, tetapi jangan secara aktif mengekangnya.

● Jika ibu tidak sadarkan diri, periksa jalan napasnya dan posisikan ibu dalam

keadaan miring kiri dengan 2 bantal menyangga bagian punggungnya.

● Periksa adanya kaku kuduk.

● Jika ibu kejang, baringkan ibu dalam posisi miring untuk mengurangi risiko

aspirasi apabila ibu muntah dan untuk memastikan bahwa jalan napas terbuka.

Pastikan bahwa kejang tidak disebabkan oleh eklampsia. Lakukan

pemeriksaan berikut untuk menentukan penyebab kejang.


● Bila menemukan ibu hamil dengan gejala malaria berat, maka

lakukan pemeriksaan laboratorium malaria (dengan mikroskop). Bila

terbukti hasilnya positif malaria, yang perlu dilakukan adalah :

o Rujuk ibu ke rumah sakit/fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.

o Sebelum merujuk, berikan satu dosis artemeter IM (untuk ibu hamil

trimester II – III) atau kina hidroklorida IM (untuk ibu hamil trimester

I).

o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB secara IM.

Jika tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter, maka untuk

ibu dengan berat badan sekitar 50 kg berikan suntikan IM sejumlah 2

ampul.

o Kina hidroklorida IM diberikan dengan dosis 10 mg/kgBB.

● Apabila rujukan tidak memungkinkan, pengobatan dilanjutkan

dengan pemberian dosis lengkap artemeter IM.

● Pengobatan malaria berat di RS:

● Untuk kehamilan trimester kedua dan ketiga, berikan:

o Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb IV sebanyak 3

kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgBB IV setiap 24

jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan

dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin (ACT lainnya) +

primakuin, ATAU
o Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB IM, dilanjutkan pada

hari berikutnya 1,6 mg/kgBB IM satu kali sehari sampai penderita

mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat,

pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisininpiperakuin

( ACT lainnya) + primakuin.

● Untuk kehamilan trimester pertama, berikan:

o Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500

ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam

pertama. Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan

dextrose 5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu, diberikan kina dengan dosis

rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl

selama 4 jam. Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose

5% atau NaCl 0,9%. Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di

atas sampai penderita dapat minum kina per oral. Bila sudah dapat

minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet dengan

dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan

bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin

pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak

pemberian kina per infus yang pertama

Referensi

1. Ferdiananto, Achmad,dkk.2011.Asuhan Kebidanan Patologis.Jakarta:Salemba

Medika
2. Holmes, Debbie,dkk.2011.Buku Ajar Ilmu Kebidanan.Jakarta:EGC

3. WHO country office for Indonesia. Hepatitis B. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-5-hepatitis-b/

4. WHO country office for Indonesia. Malaria. 2013. Available at

http://www.edukia.org/web/kbibu/7-5-4-malaria/

Kehamilan Normal

1. Definisi

Kehamilan didefinisikan sebagai fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa

dan ovum dan dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi. Bila dihitung dari saat

fertilisasi hingga lahirnya bayi, kehamilan normal akan brlangsung dalam waktu

40 minggu atau 10 bulan lunar atau 9 bulan menurut kalender internasional.

Kehamilan terbagi dalam 3 trimester, dimana trimester kesatu berlangsung dalam

12 minggu, trimester kedua 15 minggu ( minggu ke 13 – ke 27 ), dan trimester

ketiga 13 minggu (minggu ke – 28 hingga minggu ke 40 ) (Prawiharjo,2014).

2. Proses terjadinya kehamilan menurut Prawiharjo :

Untuk terjadinya kehamilan harus ada spermatozoa, ovum, pembuahan ovum

(konsepsi), dan nidasi (implantasi) hasil konsepsi. Setiap Spermatozoa terdiri atas

tiga bagian yaitu kaput atau kepala yang berbentuk lonjong agak gepeng dan

mengandung bahan nukleus, ekor, dan bagian yang silindrik (leher)

menghubungkan kepla dan ekor. Dengan getaran ekornya spermatozoa dapat

bergerak cepat.
Dalam pertumbuhan embrional spermatogonium berasal dari sel-sel primitif

tubulus-tubulus testis. Setelah janin dilahirkan, jumlah spermatogonium yang ada

tidak mengalami perubahan sampai masa pubertas tiba. Pada masa pubertas sel-

sel sperma togonium tersebut dalam pengaruh sel-sel leydig mulai aktif

mengadakan mitosis, dan terjadilah proses spermatogenesis yang sangat

kompleks. Setiap spermatogonium membelah dua dan menghasilkan spermatosit

primer. Spermatosit primer ini membelah dua da menjadi dua spermatosit

sekunder, kemudian spermatosit sekunder membelah dua lagi dengan hasil dua

spermatid yang masing-masing memiliki jumlah kromosom setengah dari jumlah

yang khas untuk jenis itu. Dari spermatid ini kemudian tumbuh spermatozoa.

Ovum mempunyai diameter 0,1 mm ditengah-tengahnya dijumpai nukleus

yang berada dalam metafase pada pembelahan pematangan kedua, terapung-

apung dalam sitoplasma yang kekuning-kuningan disebut vitelus. Vitelus ini yang

mengandung karbohidrat dan asam amino. Ovum dilingkari oleh zona pelusida.

Diluar zona pelusida ini ditemukan sel-sel korona radiata, dan didalamnya

terdapat ruang perivitelina, tempat benda-benda kutub. Bahan-bahan dari sel-sel

korona radiata dapat disalurkan ke ovum melalui saluran-saluran halus di zona

pelusida. Jumlah sel-sel korona radiata didalam perjalanan ovum diampula tuba

makin berkurang, sehingga ovum hanya dilingkari oleh zona pelusida pada waktu

berada dekat pada perbatasan ampula da ismus tuba, tempat pembuahan

umumnya terjadi.

a) Pembuahan
Jutaan spermatozoa ditumpahkan di forniks vagina dan disekitar porsio pada

waktu koitus. Hanya beberapa ratus ribu spermatozoa dapat terus ke kavum uteri

dan tuba, dan hanya beberapa ratus dapat sampai kebaian ampula tuba dimana

spermatozoa dapat memasuki ovum yang telah siap untuk dibuahi. Hanya satu

spermatozoa yang mempunyai kemampuan (kapasitasi) untuk membuahi.

Fertilisasi (pembuahan) adalah penyatuan ovum dan spermatozoa yag

biasanya berlangsung diampula tuba. Fertilisasi meliputi penetrasi spermatozoa

kedalam ovum, fusi spermatozoa dan ovum, diakhiri dengan fusi materi genetik.

Hanya satu spermatozoa yang telah mengalami proses kapasitasi mampu

melakukan penetrasi membran sel ovum. Untuk mencapai ovum, spermatozoa

harus melewati korona radiata (lapisan sel diluar ovum) dan zona pelusida suatu

bentuk glikoprotein ekstra seluler), yaitu dua lapisan yang menutupi dan

mencegah ovum mengalami fertilisasi lebih dari satu spermatozoa.

Pada saat spermatozoa menembus zona pelusida terjadi reaksi korteks ovum.

Granula korteks didalam ovum berfusi dengan membran plasma sel, sehinga

enzim didalam granula-granula dikeluarkan secara eksositosis ke zona pelusida.

Hal ini menyebabkan glikoprotein di zona pelusida berkaitan satu sama lain

membentuk suatu materi yang keras dan tidak dapat ditembus oleh spermatozoa.

Proses ini mencegah ovum dibuahi lebih dari satu sperma.

Spermatozoa yang telah masuk ke vitelus kehilana membran nukleusnya yang

tinggal hanya pronukleusnya, sedangkan ekor spermatozoa dan mitokondrianya

berdegenerasi. Itulah sebabnya seluruh mitokondria pada manusia barasal dari ibu

(maternal). Masuknya spermatozoa kedalam vitelus membangkitkan nukleus


ovum yang masih dalam metafase untuk proses pembelahan selanjutnya. Sesudah

anafase kemudian timbul telofase, dan benda utub kedua menuju ruang

perivielina. Ovum sekarang hanya mempunyai pronukleus yang haploid.

Pronukleus spermatozoa juga telah mengandung jumlah kromosom yang haploid.

Kedua pronukleus dekat mendekati dan bersatu membentuk zigot yang terdiri

atas bahan genetik dari perempuan dan laki-laki. Pada manusia terdapat 46

kromosom, ialah 44 kromosom otosom dan 2 kromosom kelamin; pada seorang

laki-laki satu X dan satu Y. Sesudah pembelahan kematangan, maka ovum

matang mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X, dan suatu

spermatozoa mempunyai 22 kromosom otosom serta 1 kromosom X atau 22

kromosom otosom serta 1 kromosom Y. Zigot sebagai hasil pembuahan yang

memiliki 44 kromosom otosom serta 2 kromosom X akan umbuh sebagai janin

perempuan, sedang yang memiliki 44 kromosom otosom serta 1 kromosom X dan

1 kromosom Y akan tumbuh sebaai janin laki-laki.

Dalam beberapa jam setelah pembuahan terjadi, mulailah pembelahan zigot.

Hal ini dapat berlangsung oleh karena sitoplasma ovum mengandung banyak zat

asam amino dan enzim. Segera setelah pembelahan ini terjadi, pembelahan-

pembelahan selanjutnya berjalan dengan lancar, dan dalam 3 hari terbentuk suatu

kelompok sel yang sama besarnya. Hasil konsepsi berada dalam stadium morula.

Energi untuk pembelahan ini diperoleh dari vitelus, hingga volume vitelus makin

berkurang dan terisi seluruhnya oleh morula. Dengan demkian, zona pelusida

tetap utuh, atau dengan perkataan lain, besarnya hasil konsepsi tetap sama. Dalam
ukuran yag sama ini hasil konsepsi disalurkan terus sampai ke pars ismika dan

pars interstisialis tuba (bagian-bagian tuba yang sempit) dan terus disalurkan ke

arah kavum uteri oleh arus serta getaran silia pada permukaan sel-sel tuba dan

kontraksi tuba.

b) Nidasi

Pada hari keempat hasil konsepsi mencapai stadium blastula disebut

blastokista, suatu bentuk yang bagian luarnya adalah trofoblas da dibagian

dalamnya disebut massa inner cell. Massa inner cell ini berkembang menjadi

janin dan trofoblas akan berkembang menjadi plasenta. Dengan demikian,

blastokista diselubungi oleh suatu simpai yang disebut trofoblas. Tropoblas ini

sangat kritis untuk keberhasilan kehamilan terkait dengan keberhasilan nidasi,

produksi hormon kehamilan, proteksi imunitas terhadap janin, peningkatan aliran

darah maternal kedalam plasenta, dan kelahiran bayi. Sejak trofoblas terbentuk,

produksi hormon hman chorionic gonadotropin (hCG) dimulai, suatu hormon

yang memastikan bahwa endometrium akan menerima (reseptif) dalam proses

implantasi embrio.

Tropoblas yang mempunyai kemampuan menghancurkan dan mencairkan

jaringan menemukan endometrium dalam masa sekresi, dengan sel-sel desidua.

Sel-sel desidua ini besar-besar dan mengandung lebih banyak glikogen serta

mudah dihancurkan oleh trofoblas. Nidasi diatur oleh suatu proses yang kompleks

antara trofoblas dan endometrium. Di satu sisi trofoblas mempunyai kemampuan

invasif yang kuat, disisi lain endometrium mengontrol invasi trofoblas dengan
menyekresikan faktor-faktor yan aktif setempat (lokal) yaitu inhibitor cytokines

dan protease. Keberhasilan nidasi dan plasentasi yang normal adalah hasil

keseimbangan proses antara trofoblas dan endometrium.

Dalam perkembangan diferensiasi trofoblas, sitotrofoblas yang belum

berdiferensiasi dapat berkembang dan berdiferensiasi menjadi 3 jenis, yaitu 1

sinsiotrofoblas yang aktif menghasilkan hormon, 2 trofoblas jangkar ekstravili

yang akan menempel pada endometrium, dan 3 trofoblas yang invasif.

Invasi trofoblas diatur oleh pengaturan kadar hCG. Sinsisiotrofoblas

menghasilkan hCG yang akan mengubah sitotrofoblas menyekkresikan hormon

yag non invasif. Trofoblas yang semakin dekat dengan endometrium

menghasilkan kadar hCG yang semakin rendah, dan membuat trofoblas

berdiferensiasi dalam sel-sel jangkar yang menghasilkan protein perekat plasenta

yaitu tropouteronectin.Trofoblas-trofoblas invasif lain yang lepas dan bermigrasi

kedalam ndometrium dan miometrium akan menghasilkan protease dan inhibitor

protease yang diduga memfasilitai proses invasi ke dalam jaringan maternal.

Dalam tingkat nidasi, trofoblas antara lain menghasilkan hormon human

chorionic gonadotropin. Produksi huma chorionic gonadotropin meningkat

sampai kurang lebih hari ke-60 kehamilan untuk kemudia turun lagi. Diduga

bahwa fungsinya ialah mempengaruhi korpus luteum untuk tumbuh terus, dan

menghasilkan terus progesteron, sampai plasenta dapat membuat cakup

progenteron sendiri. Hormon korionik gonadotropin inilah yang khas untuk

menentukan ada tdaknya kehamilan. Hormon tersebut dapat ditemukan didalam

air kemih ibu hamil.


Blastokista dengan bagian yang mengandung massa inner cell aktif mudah

masuk dalam lapisan desidua, dan luka pada desidua kemudian menutup kembali.

Kadang-kadangpada saat nidasi yakni masuknya ovum kedalam endometrium

terjadi perdarahan pada luka desidua (tanda Hartman).

Pada umumnya blastokista masuk diendometrium dengan bagian mana massa

inner-cell berlokasi. Dikemukkan bahwa hal inilah yang menyebabkan tali pusat

berpangkal sentral atau parasentral. Bila sebaliknya dengan bagian lain blastokista

memasuki endometrium, maka terdapatlah tali pusat dengan insersio velamentosa.

Umumnya nidasi terjadi di dinding depan atau belakang uterus, dekat pada fundus

uteri. Jika nidasi ini terjadi, barulah dapat disebut adanya kehamilan.

Setelah nidasi berhasil, selanjutnya hasil konsepsi akan bertumbuh dan

berkembang didalam endometrium. Embrio ini selalu terpisahkan dari darah dan

jaringa ibu oleh suatu lapisan sitotrofoblas disisi bagian dalam dan sinsiotrofoblas

disisi bagian luar. Kondisi ini kritis ridak hanya untuk pertukaran nutrisi , tetapi

juga untuk melndungi janin yag bertumbuh dan berkembang dari serangan

imunologik maternal. Bila nidasi telah berhasil terjadi, mulailah diferensiasi sel-

ssel blastokista. Sel-sel yang lebih kecil, yang dekat pada ruang eksoselom,

membentuk entoderm dan yolk sacsedangkan sel-sel yang lebih besar menjadi

ektoderm dan membentuk ruang amnion.

Pertumbuhan embrio terjadi dari embryonal plate yang selanjutnya terdiri atas

tiga unsur lapisan, yakni sel-sel ektoderm, mesoderm, dan entoderm. Sementara

itu, ruang amnion tumbuh dengan cepat dan mendesak eksoselom akhirnya

dinding ruang amnion dan embrio menjadi padat, dinamakan bodystalk, dan
merupakan hubungan antara embrio dan dinding trofoblas. Body stalk menjadi

tali pusat. Dalam tali pusat sendiri yang berasal dari body stalk, terdapat pembulu-

pembuluh darah sehingga ada yang menamakannnyavaskular stalk. Dari

perkembangan ruang amnion dapat dilihat bahwa bagian luar tali pusat berasal

dari lapisan amnion . didalamnya terdapat jaringa lembek, selei wharton, yang

berfungsi melindungi 2 arteria umbilikalis dan 1 vena umbilikalis yang berada di

dalam tali pusat

c) Plasentasi.

Plasentasi adalah proses pembentukan struktur dan jenis plasenta. Setelah

nidasi embrio kedalam endometrium, plasentasi dimulai. Pada manusia plasentasi

berlangsung sampai 12 – 18 minggu setelah fertilisasi.

Dalam 2 minggu pertama perkembangan hasil konsepsi, trofoblas invasif telah

melakukan penetrasi ke pembuluh darah endometrium. Terbentuklah sinus

intertrofoblastik yaitu ruangan-ruangan yang berisi darah maternal dari pembuluh-

pembuluh darah yang dihancurkan. Pertumbuhan ini berjala terus, sehingga

timbul ruangan-ruangan interviler dimana vili korialis seolah-olah terpung-apung

diantara ruangan-ruangan tersebut sampai terbentuknya plasenta.

Tiga minggu pascafertilisasi sirkulasi darah janin dini dapat diidentifikasi dan

dimulai pembentukan vili korialis. Sirkulasi darah jain ini berakhir dilengkung

kapilar (capilarry loops) didalam vili korialis yang ruang intervilinya dipenuhi

dengan darah meternal yang dipasok oleh arteri spiralis dan dikeluarkan melalui

vena uterina. Vili korialis ini akan bertumbuh menjadi suatu massa jaringan yaitu

plasenta.
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi kearah kavum uteri disebut

desidua kapsularis yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut

desidua basalis disitu plasenta akan dibentuk. Desidua yang meliputi dinding

uterus yang lain adalah desidua pariealis. Hasil konsepsi sendiri diselubungi oleh

jonjot-jonjot yang dinamakan vili korialis dan berpangkal pada korion. Sel-sel

fibrolas mesodermal tumbuh disekitar embrio dan melapisi pula sebelah dalam

tropoblas. Dengan demikian, terbentuk chorionic membrane yag kelak menjadi

korion. Selain itu, vili korialis yang behubungan dengan desidua basalis tumbuh

dan bercabang-cabang dengan baik, disinni orion disebut korion frondosum. Yang

berhubungan dengan desidua kapsularis kurang mendapat makanan, karena hasil

konsepsi bertumbuh kearah kavum uteri sehingga lambat-laun menghilang; korion

yag gundul ini disebut korion laeve.

Darah ibu dan janin dipisahkan oleh dinding pembuluh darah janin dan

lapisan korion. Plasenta yang demikian dinamakan plasenta jenis hemokorial.

Disini jelas tidak ada pencampuran darah antara janin dan darah ibu. Ada juga sel-

sel desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh tropoblas dan sel-sel ini akhirnya

membentuk lapisan fibrinoid yang disebut lapisan Nitabuch. Ketika proses

melahirkan, plasenta terlepas dari endometrium pada lapisan Nitabuch ini.

3. Fisiologi Janin

a) Perkembangan Konseptus: Sejak konsepsi perkembangan konseptus

terjadi sangat cepat yaitu zigot mengalami pembelahan menjadi morula (terdiri

atas 16 blastomer), kemudian menjadi blastokis (terdapat cairan di tengah) yang

mencapai uterus, dan kemudian sel-sel mengelompok, berkembang menjadi


embrio (sampai minggu ke-7). Setelah miggu ke-10 hasil konsepsi disebut janin

konseptus ialah semua jaringa konsepsi yang membagi diri menjadi menjadi

berbagai jaringan embrio, korion, amnion, dan plasenta.

b) Embrio dan Janin : Dalam beberapa jam setelah ovulasi akan terjadi

fertilisasi di ampula tuba. Oleh karena itu, sperma harus sudah ada disana

sebelumnya, kemudian terjadilah fertilisasi ovum oleh sperma. Namun,

konseptus tersebut mungkin sempurna, mungkin tidak sempurna.

Embrio akan berkembang sejak usia 3 minggu hasil konsepsi. Secara klinik

pada usia gestasi 4 minggu dengan USG akan tampak sebagai kantong gestasi

berdiameter 1 cm, tetapi embrio belum tampak. Pada minggu ke-6 dari haid

terakhir - usia konsepsi 4 minggu – embrio berukuran mm, kantong gestasi

berukuran 2 – 3 cm. Pada saat itu akan tampak denyut jantung secara USG. Pada

akhir minggu ke-8 usia gestasi – 6 minggu usia embrio – embrio berukuran 22 –

24 mm, dimana akan tampak kepala yang relatif besar dan tonjolan jari.

Gangguan atau teratogen akan mempunyai dampak berat apabila terjadi pada

gestasi kurang dari 12 minggu, terlebih pada minggu ke-3.

Usia gestasi 6 minggu tampak pembentukan organ : Pembentukan hidung, dagu,

palatum, dan tonjolan paru. Jari-jari telah brbentuk, namun masih tergenggam.

Jantung telah terbentuk penuh.

Usia gestasi 7 minggu tampak pembentukan organ : Mata tampak pada muka.

Pembentukan alis dan lidah.


Usia gestasi 8 minggu tampak pembentukan organ : Mirip Bentuk Manusia,

mulai pembentukan genitalia eksterna. Sirkulasi melalui tali pusat dimulai.

Tulang mulai terbentuk.

Usia gestasi 9 minggu tampak pembentukan organ : kepala meliputi separuh

besar janin, terbentuk muka janin; kelopak mata terbentuk namun tak akan

membuka sampai 28 minggu.

Usia gestasi 13 – 16 minggu tampak pembentukan organ : janin berukuran 15

cm. Ini merupakan awal dari trimester ke-2. Kulit janin masih transparan, telah

mulai tumbuh lanugo (rambut janin). Janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan

menelan air ketuban. Telah terbentuk mekonium (feses) dalam usus. Jantung

berdenyut 120 – 150 X/menit.

Usia gestasi 17 – 24 minggu tampak pembentukan organ : Komponen mata

terbentuk penuh, juga sidik jari. Seluruh tubuh diliputi oleh verniks kaseosa

(lemak). Janin mempunyai refleks.

Usia gestasi 25 - 28 minggu tampak pembentukan organ : Saat ini disebut

permulaan trimester ke-3, dimana terdapat perkembangan otak yang cepat.

Sistem saraf mengendalikan gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka.

Kelangsungan hidup pada periode ini sangat sulit bila lahir.

Usia gestasi 29 - 32 minggu tampak pembentukan organ : bila bayi dilahirkan,

ada kemnungkinan untuk hidup ( 50 – 70 % ). Tulang telah terbentuk sempurna ,

gerakan napas telah reguler, suhu relatif stabil.


Usia gestasi 33 - 36 minggu tampak pembentukan organ : berat janin 1500 –

2500 gram. Bulu kulit jannin (lanugo) mulai berkurang, pada saat 35 minggu

paru telah matur. Janin akan dapat hidup tanpa kesulitan.

Usia gestasi 38 - 40 minggu tampak pembentukan organ : sejak 38 minggu

kehamilan disebut aterm, dimana bayi akan meliputi seluruh uterus. Air ketuban

mulai berkurang, tetapi masih dalam batas normal.

c) Sistem Kardiovaskular

Mengingat semua kebutuhan janin disalurkan melalui vena umbilikal, maka

sirkulasi menjadi khusus. Tali pusat berisi satu vena dan 2 arteri. Vena ini

menyalurkan oksigen dan makanan dari plasenta ke janin. Sebaliknya, kedua

arteri menjadi pembuluh balik yang menyalurkan darah kearah plasenta utuk

dibersihkan dari sisa metabolisme.

Perjalanan darah dari plasenta melalui vena umbilikal adalah sebgai berikut.

Setelah melewati dinding abdomen, pembuluh vena umbilikal mengarah ke atas

menuju hati, membagi menjadi 2, yaitu sinus porta ke kanan – memasok darah ke

hati – dan duktus venosus yang berdiameter lebih besar, akan bergabung dengan

vena kava inferior masuk ke atrium kanan. Darah yang masuk ke jantung kanan

ini mempunyai kadar oksigen seperti arteri – meski bercampur sedikit dengan

darah dari vena kava.

Darah ini akan langsung menyemprot melalui foramen ovale pada septum,

masuk ke atrium kiri dan selanjutnya melalui ventrikel kiri akan menuju aorta
dan seluruh tubuh. Darah yang bersi banyak oksigen itu terutama kan

memperdarahi organ vital jantung dan otak.

Adanya krista dividens sebagai pembatas pada vena kava memungkinkan

sebagian besar darah bersih dari duktus venosus langsung akan mengalir kearah

foramen ovale. Sebaliknya, sebagian kecil akan mengalir ke arah ventrikel kanan.

Darah dari ventrikel kanan akan mengalir ke arah paru. Karena paru belum

berkembang, sebagian besar darah dari jantung kanan melalui arteri pulmonalis

akan dialirkan ke aorta melalui suatu pembuluh duktus arteriosus. Darah itu akan

bergabung diaorta desending, bercampur dengan darah bersih yang akan

dialirkan keseluruh tubuh.

Setelah bayi lahir, semua pembuluh umbilikal, duktus venosus, dan duktus

arteriosus akan mengerut. Pada saat lahir akan terjadi perubahan sirkulasi,

dimana terjadi pengembangan paru dan penyempitan tali pusat. Akibat

peningkatan kadar oksigen pada sirkulasi paru dan vena pulmonlis, duktus

arteriosus akan menutup dalam 3 hari dan total pada minggu ke-2.

d) Sistem Respirasi

Gerakan napas janin telah dapat dilihat sejak kehamilan 12 minggu dan pada

34 minggu secara regular gerak napas ialah 40 – 60 X/menit dan diantara jeda

adalah periode apnea. Cairan ketuban akan masuk sampai bronkioli, sementara

didalam alveolus terdapat cairan alveoli.


Alveoli terdiri atas dua lapis sel epitel yang mengandung sel tipe I dan II. Sel

tipe II membuat sekresi fosfolipid suatu surfaktan yang penting untuk fungsi

pengembangan napas. Surfaktan yang utama ialah sfingomielin dan lesitin serta

fosfatidil gliserol. Produksi sfingomielin dan fosfatidil gliserol akan memuncak

pada 32 minggu, sekalipun sudah dihasilkan sejak 24 minggu. Pada kondisi

tertentu, misalnya diabetes, produksi surfaktan ini kurang; juga pada preterm

ternyata dapat dirangsang untuk meningkat dengan cara pemberian kortikosteroid

pada ibunya. Pemeriksaan kadar L/S rasio pada air ketuban merupakan cara

untuk mengukur tingkat kematangan paru, dimana rasio L/S > 2 menandakan

paru sudah matang.

e) Sistem Gastrointestinal

Perkembangan dapat dilihat diatas 12 minggu dimana akan nyata pada

pemeriksaan USG. Pada 26 minggu enzim sudah terbentuk meskipun amilase

baru nyata pada periode neonatal. Janin meminum air ketuban dan akan tampak

gerakan peristaltik usus. Protein dan cairan amnion yang ditelan akan

menghasilkan mekonium didalam usus. Mekonium ini akan tetap tersimpan

sampai partus, kecuali pada kondisi hipoksia dan stres, akan tampak cairan

amnion bercampur mekonium.

f) Sistem Ginjal : Pada 22 minggu akan tampak pembentuka korpuskel ginjal di

zona jukstagglomerularis yang berfungsi filtrasi. Ginjal terbentuk sempurna pada

minggu ke-36. Pada janin hanya 2 % dari curah jantung mengalir ke ginjal,

mengingat sebagian besar sisa metabolisme dialirkan ke plasenta.


g) Sistem Saraf :Mielinisasi saraf spinal terbentuk pada pertengahan kehamilan dan

berlanjut sampai usia bayi 1 tahun. Fungsi saraf sudah tampak pada usia 10

minggu yaitu janin bergerak, fleksi kaki; sedangkan genggaman tangan lengkap

dapat dilihat pada 4 bulan. Janin janin sudah dapat menelan pada sepuluh

minggu, sedangkan gerak respirasi pada 14 – 16 minggu.

Janin sudah mampu mendengar sejak 16 minggu atau 120 hari. Ia akan

mendengar suara ibunya karena rambat suara internal lebih baik dari pada suara

eksternal. Kemampua melihat cahaya agaknya baru jelas pada akhir kehamilan,

sementara gerak bola mata sudah lebih awal. Gerakan ini dikaitkan dengan

perilaku janin.

h) Kelenjar Endokrin : Sistem endokrin janin telah bekerja sebelum sistem saraf

mencapai maturitas. Kelenjar hipofisis anterior mempunyai 5 jenis sel yang

mengeluarkan 6 hormon, yaitu (1) laktotrop, yag menghsilkan prolaktin; (2)

somatotrop, yang menghasilkan hormon pertumbuhan (GH); (3) Kortikotrop,

yang menghasilkan kortikotropin (ACTH); tirotrop, yang menghasilkan TSH;

dan (5) gonadotrof, yang menghasilkan Lh, FSH. Pada kehamilan 7 minggu

sudah dapat diketahui produksi ACTH, dan menjelang 17 minggu semua hormon

sudah dihasilkan.

i) Pembentukan Kelamin :Kelamin janin sudah ditentukan sejak konsepsi. Apabila

terdapat kromosm Y, akan terbentuk testis. Sel benih primordial yang berasal

dari yolk sac bermigrasi kelekukan bakal gonad. Perkembangan testis diatur oleh

gen testis determining factor (TDF) atau disebut sex determining region (SRY).
Sel sertoli pada testis mengeluarkan zat mullerian-inhibiting substance yang

berfungsi represi duktus muller. Testosteron di produksi oleh testis akibat

rangsang hCG dan LH.

Sebaliknya, apabila tidak terdapat testis, akan terbentuk gonad dan fenotip

perempuan. Pada kondisi janin perempuan, akibat terpapar androgen berlebihn,

akan timbul genitalia ambiguitas.

DAFTAR PUSTAKA

Prawiharjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Pustaka.


HIPEREMESIS GRAVIDARUM

Mual dan muntah mempengaruhi hingga > 50% kehamilan. Kebanyakan

perempuan mampu mempertahankan kebutuhan cairan dan nutrisi dengan diet, dan

simptom akan teratasi hingga akhir trimester pertama 1. Hiperemesis gravidarum

merupakan bentuk yang paling berat dari mual dan muntah dalam kehamilan 2.

1.1 Definisi

Hiperemesis gravidarum adalah muntah yang terjadi pada awal kehamilan

sampai umur kehamilan 20 minggu 1. Hiperemesis gravidarum dapat dikarakteristikan

sebagau mual dan muntah yang persisten dan berhubungan dengan penurunan berat

badan dan ketosis 2. Kondisi ini dapat menyebabkan kekurangan cairan, elektrolit dan

ketidakseimbangan asam basa, defisiensi nutrisi, hingga kematian 2.

1.2 Epidemiologi

Beberapa penelitian memperkirakan bahawa mual dan muntah terjadi pada

50-90% kehamilan. Mual muntah pada kehamilan biasanya dimulai dari usia

kehamilan 9-10 minggu, memuncak pada minggu ke 11-13, dan pada sebagian kasus

menurun pada minggu ke 12-14 kehamilan. Pada 1-10% kehamilan, gejala dapat

berlanjut hingga melebihi 20-22 minggu 2.


1.3 Etiologi

Penyebab penyakit ini masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan erat

hubungannya dengan endokrin, biokimiawi dan psikologis 1.

1.4 Patofisiologi

Penyebab hiperemesis gravidarum masih belum diketahui secara pasti.

Hoperemesis gravidarum muncul disebabkan oleh interaksi kompleks dari biologi,

psikologi, dan faktor sosiokultural. Beberapa teori terjadinya hiperemesis gravidarum,

yaitu: 2

a. Perubahan hormonal

Wanita dengan hiperemesis gravidarum sering memiliki kadar hCG yang

menyebabkan hipertiroidisme sementara. Secara fisiologis, hCG dapat

menstimulasi reseptor thyroid stimulating hormone (TSH) pada kelenjar

tiroid. Beberapa wanita dengan hiperemesis gravidarum tampaknya memiliki

hipertiroidisme klinis. TSH secara transien ditekan dan indeks tiroksin bebas

(T4) meningkat (40-73%) tanpa adanya tanda-tanda klinis hipertiroidisme.

Pada hipertiroidisme transien hiperemesis gravidarum, fungsi tiroid akan

kembali normal pada pertengahan trimester kedua tanpa pengobatan antitiroid.

Korelasi positif antara peningkatan kadar hCG dan kadar T4 telah ditemukan,

dan keparahan mual berhubungan dengan tingkat stimulasi tiroid.

b. Disfungsi gastrointestinal
Gastrointestinal memiliki kontraksi peristaltik yang ritmis, aktivitas

myoelektrik abnormal dapat menyebabkan variasi disritmia gaster, dan hal ini

dikaitkan dengan morning sickness. Mekanisme yang menyebabkan disritmia

gaster meliputi peningkatan kadar esterogen atau progesteron, gangguan

tiroid, abnormalitas vagal dan simpatik, dan sekresi vasopresin dalam

menanggapi volume gangguan intravaskular. Banyak faktor-faktor ini hadir

pada awal kehamilan.

c. Gangguan metabolik

Gangguan metabolik mungkin memiliki peran dalam patogenesis hiperemesis

gravidarum. Ergin et al mencatat bahwa perempuan yang memiliki

kekurangan dalam native thiol dan total thiol, berkorelasi dengan keparahan

penyakit. Mereka mencatat bahwa homeostatis serum dinamis tiol-disulfida

bergeser ke sisi oksidatif.

d. Perubahan lipid

Jarnfelt-Samsioe et al menemukan bahwa kadar trigliserida, kolesterol total

dan fosfolipid pada wanita dengan hiperemesis gravidarum meningkat

dibanding dengan yang tidak. Hal ini berhubungan dengan fungsi hepar yang

abnormal pada wanita hamil.

e. Sistem penciuman
Hiperakuitas pada sistem penciuman dapat menjadi faktor yang berkontribusi

terhadap mual dan muntah selama kehamilan. Banyak dilaporkan bahwa bau

dari makanan, terutama daging, sebagai pemicu mual.

f. Genetik

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hiperemesis gravidarum dapat

dipengaruhi oleh genetik. Sebuah studi dilakukan pada 544.087 wanita hamil

di Norway, dimana wanita yang lahir dari kehamilan dengan hiperemesis

gravidarum menunjukkan 3% resiko mengalami hiperemesis pada saat

kehamilan dan wanita yang lahir tanpa adanya hiperemesis saat kehamilan

memiliki resiko 1,1%.

g. Psikologis

Perubahan fisiologis yang berhubungan dengan kehamilan berinteraksi

dengan nilai-nilai negara dan budaya psikologis setiap wanita. Respon

psikologis dapat memperburuk fisiologi mual dan muntah selama kehamilan.

Dalam kasus yang sangat tidak biasa, kasus hiperemesis gravidarum dapat

mewakili penyakit jiwa, termasuk konversi atau gangguan somatisasi atau

depresi berat

1.5 Klasifikasi

Secara klinis dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu: 1

● Tingkat I
Mual terus-menerus, timbul intoleransi terhadap makanan dan minuman, berat

badan menurun, nyeri epigastrium, muntah pertamakeluar makanan, lendir dan

sedikit cairan empedu. Nadi meningkat sampai 100x/menit dan tekanan darah

sistolik menurun. Mata cekung, lidah kering, dan turgor kulit berkurang, serta

urin sedikit tetapi maish normal

● Tingkat II

Gejala lebih berat, segala yang dimakan dan diminum dimuntahkan, haus hebat,

subfebril, nadi cepat > 100-140 x/menit, tekanan darah sistolik < 80 mmHg,

apatis, kulit pucat, aseton, bilirubin dalam urin, dan berat badan cepat menurun

● Tingkat III

Sangat jarang terjadi. Ditandai dengan gangguan kesadaran (delirium-koma),

muntah berkurang atau berhenti, tetapi dapat terjadi sianosis, gangguan jantung,

bilirubin dan proteiuria dalam urin.

1.6 Diagnosis

1.6.1 Anamnesis 1

Mulai terjadi pada trimester pertama, keluhan yang sering adalah mual,

muntah, dan penurunan berat badan, kadang disertai dengan pekerjaan sehari-

hari terganggu.

1.6.2 Pemeriksaan Fisik 1


Pada pemeriksaan fisik ditemukan:

- Fungsi vital: nadi meningkat 100x/menit, tekanan darah menurun pada

keadaan berat, subfebril dan gangguan kesadaran (apatis-koma)

- Fisik: dehidrasi, kulit pucat, ikterus, sianosis, berat badan menurun, pada

vaginal toucher uterus besar sesuai dengan kehamilan, konsistensi lunak,

pada pemeriksaan inspekulo serviks berwarna biru (livide)

1.6.3 Pemeriksaan Penunjang 1,2

- Pemeriksaan USG: untuk mengetahui kondisi kehamilan juga untuk

mengetahui kemungkinan adanya kehamilan kembar ataupun kehamilan

molahidatidosa

- Pemeriksaan Laboratorium: kenaikan relatif hemoglobin dan hematokrit,

shift to the left, benda keton, dan proteinuria

1.7 Penatalaksanaan 1

● Untuk keluhan hiperemesis yang berat, dianjurkan bedrest

● Stop makanan per oral 24-48 jam

● Infus glukosa 10% atau 5% : RL= 2:1, 40 tetes per menit

● Obat

- Vitamin B1, B2, dan B6 masing-masing 50-100 mg/hari/infus


- Vitamin B12 200µg/hari/infus, vitamin C 200 mg/hari/infus

- Antiemetik: tidak dijumpai adanya teratogenitas dengan menggunakan

dopamin antagonis (metoklopramid, domperidon), fenotiazin

(klorpromazin, proklorperazin), antihistamin ( prometazin, siklizin).

Prometazin dapat diberikan 2-3 kali 25 mg/hari per oral, atau

proklorperazin 3x3mg/hari per oral

- Antasida: dapat diberikan 3 x 1 tablet/hari per oral

● Diet sebaikanya meminta saran dari ahli gizi

- Diet hiperemesis I : diberikan pada hiperemesis tingkat III. Makanna

hanya berupa roti kering dna buah-buahan. Cairan tidak diberikan bersama

makanan tetapi 1-2 jam sesudahnya. Maknana ini hanya diberikan selama

beberapa hari saja karena kurang mengandung zat gizi.

- Diet hiperemesis II : diberikan bila rasa mual dan muntah berkurang.

Secara bertahap mulai diberikan bahan makanan bergizi tinggi, minuman

tidak diberikan bersama makanan. Makanna ini rendah dalam semua zat

gizi, kecuali vitamin A dan D

- Diet hiperemesis III : diberikan kepada penderita dengan hiperemesis

ringan. Menurut kesanggupan penderita minuman boleh diberikan

bersama makanan. Makanan ini cukup dalam semua gizi, kecuali kalsium.

1.8 Komplikasi 1
Maternal

Akibat defisiensi tiamin (B1) akan menyebabkan terjadinya diplopia, palsi nervus ke-

6, nistagmus, ataksia, dna kejang. Jika tidak segera ditangani, akan terjadi psikosis

Korsakoff (amnesia, menurunnya kemampuan untuk beraktivitas), ataupun kematian.

Oleh karena itu, untuk hiperemesis tingkat III perlu dipertimbangkan terminasi

kehamilan

Fetal

Penurunan berat badan yang kronis akan meningktakan kejadian gangguan

pertumbuhan janin dalam rahim (IUGR)

DAFTAR PUSTAKA

4. Siddik D. 2014. Kelainan Gastrointestinal, dalam: Sarwono Prawirohardjo, Ilmu

Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h

814-818

5. Ogunyemi D.A. 2017. Hyperemesis Gravidarum. (10/01/2017), available at:

http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#showall
PARTUS LAMA

1. Definisi

Partus tak maju (persalinan macet) berarti meskipun kontraksi uterus kuat, janin tidak

dapat turun karena faktor mekanis.Kemacetan persalinan biasanya terjadi pada pintu atas

panggul, tetapi dapat juga terjadi pada ronga panggul atau pintu bawah panggul.Partus

kasep adalah fase terakhir dari suatu persalinan yang mengalami kemacetan dan

berlangsung lebih lama dari 18 jam, sehingga timbul komplikasi pada ibu maupun anak.

2. Etiologi

Durasi persalinan dipengaruhi oleh berbagai faktor ibu dan janin termasuk usia ibu,

paritas ambang nyeri ibu, jumlahy janin, berat janin, dan posisi janin. Juga dipengaruhi

olehy intervensi yang dilakukan termasuk induksi persalinan, akselerasi, dan persalinan

dengan mengygunakan instrumen. Praktek manajemen obstetri modern melibatkan

manajemen aktif persalinan dengyan mengygunakan partograf sebagai alat monitor. Tujuan

manajemen aktif ini adalah untuk mencegah persalinan ang memanjang berkaitan dengan

meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi.Morbiditas ibu termasuk diantarana

kelelahan pada ibu, gangguan elektrolit, hipoglikemia, resiko persalinan macet, sekuele ang

menyertai seperti ruptur uteri, perdarahan postpartum, dan fistula obstetri.

Penyebab terbanyak dari persalinan macet adalah disproporsi kepala dan panggul

ibu, malpresentasi, abbormalitas janin seperti hidrosefalus, asites janin, dan yang jarang

yaitu sikatriks pada serviks akibat tindakan operatif pada serviks.


3. Diagnosis

Diagnosis dini partus tak maju meliputi :

1. Pemeriksaan Abdomen

Tanda-tanda partus tak maju dapat diketahui melalui pemeriksaan abdomen sebagai

berikut :

1. Kepala janin dapat diraba diatas rongga pelviss karena kepala tidak dapat turun

2. Kontraksi uterus sering dan kuat (tetapi jika seorang ibu mengalami kontraksi

yang lama dalam persalinanya maka kontraksi dapat berhenti karena kelelahan

uterus)

3. Uterus dapat mengalami kontraksi tetanik dan bermolase (kontraksi uterus

bertumpang tindih) ketat disekeliling janin.

4. Cincin Band/Bandles ring ; cincin ini ialah nama yang diberikan pada daerah

diantara segmen atas dan segmen bawah uterus yang dapat dilihat dan diraba

selama persalinan. Dalam persalinan normal, daerah ini disebut cincin retraksi.

Secara normal daerah ini seharusnya tidak terlihat atau teraba pada pemeriksaan

abdomen, cincin bandl adalah tanda akhir dari persalinan tidak maju. Bentuk

uterus seperti kulit kacang dan palpasi akan memastikan tanda-tanda yang

terlihat pada waktu observasi.

2. Pemeriksaan Vagina

Tanda-tandanya sebagai berikut :

1. Bau busuk dari drainase mekonium


2. Cairan amniotik sudah keluar

3. Kateterisasi akan menghasilkan urine pekat yang dapt mengandung mekonium

atau darah

4. Pemeriksaan vagina : edema vulva (terutama jika ibu telah lama mengedan),

vagina panas dan mengering karena dehidrasi, pembukaan serviks tidak komplit.

Kaput suksedaneum yang besar dapat diraba dan penyebab persalinan macet

antara lain kepala sulit bermolase akibat terhambat di pelvis, presentasi bahu

dan lengan prolaps.

3. Pencatatan Partograf

Persalinan macet dapat juga diketahui jika pencatatan pada partograf menunjukan :

1. Kala I persalinan lama (fase aktif) disertai kemacetan sekunder

2. Kala II yang lama

3. Gawat janin (frekuensi jantung janin < dari 120 permenit, bau busuk dari

drainase mekonium sedangkan frekuensi jantung janin normal 120-160

permenit)

4. Pembukaan serviks yang buruk walaupun kontraksi uterus yang kuat.

Melakukan penanganan secepat mungkin untuk mencegah terjadinya

komplikasi, partus tak maju berisiko mengalami infeksi sampai ruptur uterus dan

biasanya ditangani dengan tindakan bedah, seksio caesarea, ekstraksi cunam atau

vacum oleh sebab itu harus dirujuk kerumah sakit.

4. Penatalaksanaan
Protokol manajemen persalinan macet :

a. Penilaian awal keadaan umum ibu, presentasi dan posisi janin, dan ukuran

pelvis

b. Pantau kondisi janin

c. Resusitasi ibu dilakukan dengan cairan intravena, pemberian antibiotik,

kateterisasi, dan transfusi darah bila diperlukan. Swab vagina dilakukan bila

kondisi infeksi

d. Seksio sesaria dilakukan pada kasus dengan keadaan umum baik dan janin

masih hidup, atau pada panggul sempit yang berat dan atau ruptura uteri

mengancam janin yang sudah mati

e. Tindakan operatif destruktif dilakukan pada janin yang mati (bahykan pada

janin yang hidrosefalus hebat, malformasi kongyenital multipel), konjugata

vera < 7,5 cm dan pembukaan serviks sudah lengkap (kecuali pada

hidrosefalus dimana perforasi pada ubun-ubun besar dilakukan segera

setelah serviks terbuka 5 cm), ruptur uteri dieksklusi. Infeksi bukan

merupakan kontraindikasi

f. Semua tindakan dilakukan di bawah anastesi umum

DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar, Rusatam. 2010. Sinopsis Obstetri. EGC. Jakarta

2. Oxorn, Harry. 2015. Ilmu Kebidanan: Patologis & Fisiologi Persalinan.. Yogyakarta
3. Sarwono. 2012. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal.

PT Bina Pustaka. Jakar

KORIOAMNIONITIS

1. Definisi

Korioamnionitis adalah peradangan ketuban, biasanya berkaitan dengan pecah

ketuban lama dan persalinan lama. Korioamnionitis adalah keadaan pada perempuan hamil

dimana korion, amnion, dan cairan ketuban terkena infeksi bakteri.(1)

2. Etiologi

Penyebab korioamnionitis adalah infeksi bakteri yang terutama berasal dari traktus

urogenitalis ibu. Secara spesifik permulaan infeksi berasal dari vagina, anus, atau rektum

dan menjalar ke uterus. Angka kejadian korioamnionitis 1-2 % Faktor resiko terjadinya

korioamninitis adalah kelahiran prematur atau ketuban pecah lama.(3)


3. Patogenesis

Patogenesis korioamnionitis disebabkan oleh organisme yang menginfeksi

korioamnion dan atau tali pusat lalu menjalar ke plasenta. Mulainya infeksi biasanya

disebabkan oleh infeksi secara retrograde atau ascending dari traktus genitalia bawah

(cervix dan vagina). Penyebaran secara hematogen atau tranplacental dan infeksi iatrogenic

karena komplikasi dari amniosintesis atau sampling korionik villous jarang menimbulkan

infeksi. Infeksi anterograde bermula dari peritoneum via tuba falopi. Adanya infeksi dari

mikroorganisme memicu respon inflamasi dari maternal dan fetal sehingga melepaskan

kombinasi proinflamasi dan inhibisi sitokin dan chemokines dari ibu dan janinnya. Respon

inflamasi mungkin menimbulkan tanda-tanda korioamnionitis dan atau dapat memicu

pelepasan prostaglandin, pematangan servik, perlukaan membrane dan persalinan aterm

atau preterm pada umur kehamilan dini. Selain dapat menimbulkan infeksi dan sepsis pada

fetus, respon inflamasi fetus dapat menimbulkan kerusakan pada serebral pada white

matter, yang akhirnya dapat menyebabkan cerebral palsy dan kelainan neurological jangka

pendek dan jangka panjang lainnya. (3)


4. Manifestasi Klinis

Koriomnionitis tidak selalu menimbulkan gejala. Bila timbul gejala antara lain

demam, nadi cepat, berkeringat, uterus pada perabaan lembek, dan cairan berbau keluar

dari vagina. Diagnosis korioamninitis ditegakkan dengan pemeriksaan fisik, gejala-gejala

tersebut di atas, kultur darah, dan cairan amnion. Kesejahteraan janin dapat diperiksa

dengan ultrasound dan kardiotokografi.(2)


Parameter klinis yang digunakan untuk mendiagnosis korioamnionitis

Demam Temperatur > 38 C

Maternal Takikardi >100/menit

Fetal Takikardi >160 / menit

Nyeri tekan pada fundus Nyeri pada palpasi

Lochea Lochea yang bau.

5. Pemeriksaan Penunjang

Uji laboratorium untuk diagnosis seperti pemeriksaan hapusan Gram atau kultur

pada cairan amnion biasanya tidak dilakukan. Pemeriksaan amniosentesis biasanya

dilakukan pada persalinan preterm yang refrakter (supaya dapat diputuskan apabila

tokolisis tetap dilanjutkan atau tidak) dan pada pasien yang PROM (apakah induksi perlu

dilakukan). Indikasi lain dari amniosentesis adalah untuk mencari differential diagnosis

dari Infeksi intramnion, prenatal genetic studies, dan memperediksi kematangan paru. (3)
● Parameter Cairan Amniotik

Kultur Pertumbuhan mikroba

Pewarnaan gram Bakteri atau leukosit

Kadar glukosa <15 mg/dl

IL-6 >7,9 mg/ml

Matrix metalloproteinase Hasilnya positif

Jumlah leukosit >30/mm

Leukosit esterase Positif (dipstick)

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan korioamnionitis terdiri atas pemberian antimikroba, antipiretik, dan

pelahiran janin, sebaiknya melalui vagina. Terapi antibiotik harus dapat memberi

perlindungan terhadap lingkungan polimikroba yang terdapat di vagina dan serviks. Salah

satu regimen korioamnionitis adalah ampicilin 2 g IV setiap 6 jam atau 3 x 1000 mg, dan

gentamisin, 2 mg/kg dosis awal serta selanjutnya 1,5 mg/kg intravena setiap 8 jam atau

5mg/kgBB/hari. Klindamisin, 900 mg setiap 8 jam, dapat diberikan apabila pasien

direncanankan untuk operasi sectio caesar. Untuk pasien dengan alergi terhadap penisilin

dapat diberikan vancomycin. Antibiotik biasanya dilanjutkan setelah persalinan sampai


wanita yang bersangkutan tidak demam dan asimptomatik selama 24 – 48 jam post partum.
(2)

Bila janin telah meninggal upayakan persalinan pervaginam, tindakan

perabdominam (seksio sesarea) cenderung terjadi sepsis. Lakukan induksi atau akselerasi

persalinan.(2) Berikan uterotonika supaya kontraksi uterus baik pasca persalinan. Hal ini

akan mencegah / menghambat invasi mikroorganisme melalui sinus-sinus pembuluh darah

pada dinding uterus.(3)

7. Komplikasi

7.1 Komplikasi Maternal

Chorioamnionitis dapat meningkatkan 2-3 kali lipat persalinan secara perabdominan

dan 2-4 kali lipat terjadinya endomyometritis, infeksi perlukaan, abses pelvik, bakteremia,

dan post partum hemorragic. Peningkatan terjadinya post partum hemorrage kelihatannya

disebabkan oleh kontraksi uterus yang disfungsional karena adanya inflamasi. 10% ibu

dengan korioamnionitis memiliki hasil kultur darah yang positif (bakteremia) sebagian

besar oleh bakteri GBS dan E.coli. Namun komplikasi lainnya seperti DIC, ARDS, septic

shock, kematian maternal jarang terjadi.(3)

7.2 Komplikasi Fetus

Paparan infeksi pada fetus dapat menimbulkan kematian fetus, sepsis neonatus, dan

beberapa komplikasi postnatal lainnya. Respon fetus terhadap infeksi yang disebut Fetal
Inflammatory Response Syndrome (FIRS) dapat menyebabkan komplikasi berikut ini.

FIRS merupakan kebalikan proses dari Systemic Inflammatory Response Syndrome

(SIRS). Karena parameternya hampir sama dengan SIRS, maka agak sulit membedakannya

dengan yang terjadi pada fetus, FIRS sebenarnya dapat dideteksi bila terjadi peningkatan

IL-6 pada darah umbilical (tali pusat) yang biasanya didapatkan pada persalinan preterm

dan PPROM namun kadang dapat muncul pada umur kehamilan aterm..(3)

7.3 Komplikasi jangka panjang untuk neonatus

Neonatus yang terpapar oleh infeksi intrauterin dan inflamasi dapat menampakkan

efek advers saat atau segera setelah lahir. Efek advers yang muncul termasuk kematian

perinatal, asfiksi, sepsis neonatus dini, septic shock, pneumonia, intraventrikular

hemorrhagic (IVH), kerusakan serebral di white matter, dan kelumpuhan jangka panjang

termasuk cerebral palsy.(3)

DAFTAR PUSTAKA

1. William Obstetricss, 22 nd. “ Abnormal of the Plasenta, Umbilical Cord and

Membranes”. 2007; chapter 36. New York : The McGraw-Hill Companies. Inc

2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan, 2012. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

3. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Chorioamnionitis. (homepage on the

internet) http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
4. JM, Alexander. Chorioamnionitis and the prognosis for term infants. (home page on

the internet). Pada website http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10432142

5. Sadler, T.W. Langman’s Medical Embryology, 12 nd. 2012: chapter 8. Baltimore,

Maryland: Lippincott Williams & Wilkins


Anemia Defisiensi Besi pada Ibu Hamil

1. Definisi

Anemia adalah kehamilan dengan kondisi ibu dengan kadar hemoglobin

dibawah 11% pada trimester 1 dan 3 atau kadar <10,5% pada trimester 2. Nilai

batas tersebut perbedaannya dengan kondisi wanita tidak hamil terjadi karena

hemodilusi, terutama pada trimester ke 2.

Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah,

yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi

transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang

menurun.

Pada kehamilan anemia kekurangan besi akan timbul jika keperluan besi

(kira-kira 1000mg pada kehamilan tunggal) tidak dapat dipenuhi dari cadangan besi

dan dari besi yang dapat diabsorpsi dari traktus gastrointestinal.

Volume darah bertambah cepat pada kehamilan trimester 2 sehingga

kekurangan besi seringkali terlihat pada turunnya kadar hemoglobin. Meskipun

bertambahnya volume darah tidak begitu banyak pada trimester 3, tetapi keperluan

akan besi tetap banyak karena penambahan HB ibu terus berlangsung dan lebih

banyak besi yang diangkut melalui plasenta ke neonatus.

Pada kehamilan, kehilangan zat besi akibat pengalihan besi maternal ke janin

untuk eritropoeisis, kehilangan zat darah saat persalinan, dan laktasi yang jumlah
keseluruhannya mencapai 900mg atau setara 2 liter darah. Oleh karena sebagian

besar perempuan mengawali kehamilan dengan cadangan besi yang rendah, maka

kebutuhan tambahan ini berakibat pada anemia defisiensi besi.

2. Epidemiologi

1. Frekuensi ibu hamil dengan anemia cukup tinggi di Indonesia yaitu 63,5%,

sedangkan di amerika hanya 6%. Kekurangan gizi dan perhatian yang kurang

terhadap ibu hamil merupakan predisposisi anemia defesiensi pada ibu hamil di

Indonesia.

2. Menurut WHO, 40% kematian ibu di Negara berkembang berkaitan dengan

anemia dalam kehamilan.

3. Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh anemia defesiensi besi

dan perdarahan akut bahkan tidak jarang keduanya saling berinteraksi.

4. Defeisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering ditemukan baik

di negara maju maupun negara berkembang. Risikonya meningkat pada

kehamilan dan berkaitan dengan asupan besi yang tidak adekuat dibandingkan

kebutuhan pertumbuhan janin yang cepat.

3. Etiologi

Kebanyakan anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi dan

perdarahan akut bahkan tidak jarang keduannya saling berinteraksi. Penyebab

anemia pada umumnya adalah sebagai berikut:


a. Kurang gizi (malnutrisi)

b. Kurang zat besi dalam diit

c. Malabsorpsi

d. Kehilangan darah banyak seperti persalinan yang lalu, haid dan lain-lain

e. Penyakit-penyakit kronik seperti TBC paru, cacing usus, malaria dan lain-

lain

Anemia defisiensi besi pada kehamilan disebabkan oleh :

a. Hipervolemia, menyebabkan terjadinya pengenceran darah.

b.Pertambahan darah tidak sebanding dengan pertambahan plasma.

c.Kurangnya zat besi dalam makanan.

d.Kebutuhan zat besi meningkat.

4. Patofisiologi

Zat besi merupakan zat penting untuk organisme hidup karena berfungsi pada

berbagai proses metabolisme, termasuk transport osigen, sintesis DNA , dan

transport elektron.

Perubahan hermatologi sehubungan dengan kehamilan adalah oleh karena

perubahan sirkulasi yang semakin meningkat terhadap plasenta dan pertumbuhan

payudara. Volume plasma meningkat 45-65% dimulai pada trimester II kehamilan

dan maksimum terjadi pada bulan ke-9 dan meningkat sekitar 1000 ml, menurun

sedikit menjelang atern serta kembali normal 3 bulan setelah partus. Stimulasi yang
meningkatkan volume plasma seperti laktogen plasma, yang menyebabkan

peningkatan sekresi aldesteron.

Selama kehamilan kebutuhan tubuh akan zat besi meningkat sekitar 800-1000

mg untuk mencukupi kebutuhan seperti terjadi peningkatan sel darah merah

membutuhkan 300-400 mg zat besi dan mencapai puncak pada usia kehamilan 32

minggu, janin membutuhkan zat besi sekitar 100-200 mg dan sekitar 190 mg

terbuang selama melahirkan. Dengan demikian jika cadangan zat besi sebelum

kehamilan berkurang maka pada saat hamil pasien dengan mudah mengalami

kekurangan zat besi.

Gangguan pencernaan dan absorbs zat besi bisa menyebabkan seseorang

mengalami anemia defisiensi besi. Walaupun cadangan zat besi didalam tubuh

mencukupi dan asupan nutrisi dan zat besi yang adikuat tetapi bila pasien

mengalami gangguan pencernaan maka zat besi tersebut tidak bisa diabsorbsi dan

dipergunakan oleh tubuh.

Anemia defisiensi besi merupakan manifestasi dari gangguan keseimbangan zat

besi yang negatif, jumlah zat besi yang diabsorbsi tidak mencukupi kebutuhan

tubuh. Pertama-tama untuk mengatasi keseimbanganyang negatif ini tubuh

menggunakan Universitas Sumatera Utara cadangan besi dalam jaringan cadangan.

Pada saat cadangan besi itu habis barulah terlihat tanda dan gejala anemia defisiensi

besi.

Berkembangnya anemia dapat melalui empat tingkatan yang masing-masing

berkaitan dengan ketidaknormalan indikator hematologis tertentu.


1. Tingkatan pertama disebut dengan kurang besi laten yaitu suatu keadaan

dimana banyaknya cadangan besi yang berkurang dibawah normal namun

besi didalam sel darah merah dari jaringan tetap masih normal.

2. Tingkatan kedua disebut anemia kurang besi dini yaitu penurunan besi

cadangan terus berlangsung sampai atau hampir habis tetapi besi didalam

sel darah merah dan jaringan belum berkurang.

3. Tingkatan ketiga disebut dengan anemia kurang besi lanjut yaitu besi

didalam sel darah merah sudah mengalami penurunan namun besi dan

jaringan belum berkurang.

4. Tingkatan keempat disebut dengan kurang besi dalam jaringan yaitu besi

dalam jaringan sudah berkurang atau tidak ada sama sekali.

5. Gejala klinis

Gejala berupa :

- Lemah dan cepat lelah ketika beraktivitas

- Kram pada kaki ketika menaiki tangga

- Craving ice misalnya sayuran dingin untuk di hisap dan di kunyah

- Intoleransi dingin

- Penurunan resistensi terhadap infeksi

- lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang,

- telinga berdenging

- nafsu makan menurun, malaise, konsentrasi hilang

- keluhan mual muntah lebih hebat


Pemeriksaan fisik :

- konjungtiva anemis, lidah luka, jaringan di bawah kuku tampak pucat,

pembesaran kelenjar limpa.

Gejala khas :

- koilonychias, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, disfagia, atrofi mukosa

gaster sehingga menimbulkan akhloridia dan pica.

6. Penatalaksanaan

- Lakukan pemeriksaan hapusan darah tepi terlebih dahulu

- Bila pemeriksaan hapusan darah tepi tidak tersedia, maka berikan suplementasi

tablet besi dan asam folat (60 mg besi elemental dan 250 µg asam folat)

diberikan 3x sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian

tablet sampai 42 hari pasca salin. Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi

dan asam folat kadar Hb tidak meningkat, rujuk pasien.

- Bila hasil hapusan darah tepi menunjukkan mikrositik hipokrom : cek kadar

ferritin. Kadar ferritin < 15ng/ml berikan terapi dosis setara 180 mg besi

elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal lakukan pemeriksaan SI dan

TIBC.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar

dan rujukan. Kementerian kesehatan RI : Jakarta

2. Fatimah, Hadju et al. 2011. Pola konsumsi dan kadar hemoglobin pada ibu hamildi

kabupaten maros Sulawesi selatan. Makalah kesehatan vol. 15 (1):31-36 : Jakarta

3. Rigby, Fidelma. 2016. Anemuia and Trombocytopenia in Pregancy. Emedicine.

Medscape.com.
ABORTUS SPONTAN KOMPLIT

Kata abortus (aborsi, abortion) berasal dari bahasa Latin aboriri-keguguran (to

miscarry). Menurut New Shorter Oxford Dictionary, abortus adalah persalinan kurang

bulan sebelum usia janin yang memungkinkan untuk hidup, dan dalam hal ini kata ini

bersinonim dengan keguguran. Menurut National Center for Health Statistics, Centers for

Diseases Control and Prevention dan World Health Organization mendefinisikan abortus

sebagai penghentian kehamilan sebelum gestasi 20 minggu atau dengan janin memiliki

berat lahir kurang dari 500 gr.

1. DEFINISI

Abortus komplit merupakan abortus spontan yang tidak dapat dihindari. Abotus

komplit (keguguran lengkap) adalah abortus yang hasil konsepsi (desidua dan fetus) keluar

seluruhnya sebelum usia 20 minggu dan berat badan di bawah 500 gram. Ciri terjadinya

abortus komplit adalah perdarahan pervaginam, kontraksi uterus, ostium sudah menutup,
ada keluar jaringan, tidak ada sisa dalam uterus, uterus telah mengecil. Diagnosis abortus

komplit ditegakkan bila jaringan yang keluar juga diperiksa kelengkapannya.

2. EPIDEMIOLOGI

Insiden abortus spontan komplit belum diketahui secara pasti, namun demikian

disebutkan sekitar 60% dari wanita hamil dirawat di rumah sakit dengan perdarahan akibat

mengalami abortus. Insiden abortus spontan secara umum disebutkan sebesar 10% dari

seluruh kehamilan. Angka-angka tersebut berasal dari data-data dengan sekurang-

kurangnya ada dua hal yang selalu berubah, kegagalan untuk menyertakan abortus dini

yang tidak diketahui dan pengikutsertaan abortus yang ditimbulkan secara ilegal serta

dinyatakan sebagai abortus spontan.

Lebih dari 80% abortus terjadi dalam 12 minggu pertama kehamilan dan angka

tersebut kemudian menurun secara cepat pada umur kehamilan selanjutnya. Anomali

kromosom menyebabkan sekurang-kurangnya separuh dari abortus pada trimester pertama,

kemudian menurun menjadi 20-30% pada trimester kedua dan 5-15% pada trimester ketiga.

Risiko abortus spontan semakin meningkat bertambahnya paritas disamping dengan

semakin lanjutnya usia ibu serta ayah. Frekuensi abortus yang dikenali secara klinis

bertambah dari 12% pada wanita yang berusia kurang dari 20 tahun, menjadi 26% pada

wanita yang berumur di atas 40 tahun. Untuk usia paternal yang sama, kenaikannya adalah

dari 12% menjadi 20%. Insiden abortus bertambah pada kehamilan yang belum melebihi

umur 3 bulan.
3. ETIOLOGI

Mekanisme pasti yang bertanggung jawab pada peristiwa abortus tidak selalu tampak

jelas. Pada beberapa bulan pertama kehamilan, ekspulsi hasil konsepsi terjadi secara

spontan hampir selalu didahului kematian embrio atau janin, namun pada kehamilan

beberapa bulan berikutnya sering janin sebelum ekspulsi masih hidup dalam uterus.

Kematian janin sering disebabkan oleh abnormalitas pada ovum, zigot, atau oleh

penyakit sistemik pada ibu, dan kadang-kadang mungkin juga disebabkan oleh penyakit

pada ayahnya.

A. Faktor Maternal

Biasanya penyakit maternal berkaitan dengan abortus euploidi. Peristiwa

abortus tersebut mencapai puncaknya pada kehamilan 13 minggu, ank arena saat

terjadinya abortus lebih belakangan, pada sebagian kasus dapat ditentukan etiologi

abortus yang dapat dikoreksi. Sejumlah penyakit, kondisi kejiwaan, dan kelainan

perkembangan pernah terlibat dalam peristiwa abortus euploidi, dan beberapa hal

lainnya adalah :

a. Infeksi

Organisme seperti Treponema pallidum, Chlamydia trachomatis, Neisseria

gonorroeae, Streptococcus agalactina, Herpes simplex virus, Cytomegalovirus

listeria monocytogenes dicurigai berperan sebagai penyebab abortus. Toxoplasma

juga disebutkan dapat menyebabkan abortus. Isolasi Mycoplasma homonis dan

Ureaplasma urealyticum dari traktus genitalia sebagian wanita yang mengalami

abortus telah menghasilkan hipotesis yang menyatakan bahwa infeksi mikoplasma


yang menyangkut traktus genitalia dapat menyebabkan abortus. Dari kedua

organisme tersebut, Ureaplasma urealyticum merupakan penyebab utama.

b. Penyakit-penyakit Kronis yang Melemahkan

Pada awal kehamilan, penyakit-penyakit kronis yang melemahkan keadaan ibu

misalnya penyakit tuberkulosis atau karsinomatosis jarang menyebabkan abortus.

Hipertensi jarang disertai dengan abortus pada kehamilan sebelum 20 minggu, tetapi

keadaan ini dapat menyebabkan kematian janin dan persalinan premature.

c. Pengaruh Endokrin

Kenaikan insiden abortus bisa disebabkan oleh hipertiroidisme, diabetes

mellitus, dan defisiensi progesterone. Diabetes tidak menyebabkan abortus jika kadar

gula dapat dikendalikan dengan baik. Diabetes maternal pernah ditemukan oleh

sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan, tetapi kejadian ini tidak

ditemukan oleh peneliti lainnya. Defisiensi progesterone karena kurangnya sekresi

hormone tersebut dari korpus luteum atau plasenta mempunya hubungan dengan

kenaikan insiden abortus. Progesterone berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi

hormone tersebut secara teoritis akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan

dengan demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya.

d. Nutrisi

Pada saat ini, hanya malnutrisi umum sangat berat yang paling besar

kemungkinannya menjadi predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Nausea

serta vomitus yang lebih sering ditemukan selama awal kehamilan dan setiap deplesi

nutrient yang ditemukan jarang diikuti dengan abortus spontan. Sebagian besar
mikronutrien pernah dilaporkan sebagai unsur yang penting untuk mengurangi

abortus spontan.

e. Obat-obatan dan Toksin Lingkungan

Beberapa toksin di lingkungan seperti benzene dapat menyebabkan malformasi

fetus dan keguguran. Selain itu bahan kimia lain seperti arsenik, formaldehid, timah,

ethylenoxide, dan diklorodifeniltrikloroethan (DDT) juga dikaitkan.

f. Faktor-faktor Imunologis

Faktor imunologis yang telah terbukti signifikan dapat menyebabkan abortus

spontan yang berulang, antara lain : antikoagulan lupus (LAC) dan antibody anti

cardiolipin (ACA) yang mengakibatkan destrusi vaskuler, thrombosis, abortus, serta

destruksi plasenta.

g. Gamet yang Menua

Baik umur sperma dapat mempengaruhi angka insiden abortus spontan. Insiden

abortus meningkat terhadap kehamilan yang berhasil bila inseminasi terjadi empat

hari sebelum atau tiga hari sesudah peralihan temperature basal tubuh, karena itu

disimpulkan bahwa gamet yang bertambah tua di dalam traktus genitalia wanita

sebelum fertilisasi dapat menaikkan kemungkinan terjadinya abortus. Beberapa

percobaan binatang juga selaras dengan hasil observasi tersebut.

h. Trauma Fisik dan Trauma Emosional

Kebanyakan abortus spontan terjadi beberapa saat setelah kematian embrio atau

kematian janin. Jika abortus disebabkan khususnya oleh trauma, kemungkinan

kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi, tetapi lebih merupakan
kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus. Abortus yang disebabkan

oleh trauma emosional bersifat spekulatif, tidak ada dasar yang mendukung konsep

abortus dipengaruhi oleh rasa ketakutan, marah, ataupun cemas.

i. Kelainan Uterus

Kelainan uterus dapat dibagi menjadi kelainan acquired (didapat) dan kelainan

yang timbul dalam proses perkembangan janin, defek duktus Mulleri yang dapat

terjadi secara spontan atau yang ditimbulkan oleh pemberian dietilstilbestrol

(DES).Malformasi kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang inkomplit yang

dapat menyebabkan uterus unikornus, bikornus atau uterus ganda. Defek pada uterus

yang acquired sering dihubungkan dengan kejadian abortus spontan berulang

termasuk perlengketan uterus atau sinekia dan leiomioma.Leiomioma uterus yang

besar dan majemuk sekalipun tidak selalu disertai dengan abotus, bahkan lokasi

leiomioma tampaknya lebih penting daripada ukurannya. Mioma submucosa, tapi

bukan mioma intamural atau subserosa, lebih besar kemungkinannya untuk

menyebabkan abortus. Namun demikian, leiomioma dapat dianggap sebagai faktor

kausatif hanya bila hasil pemeriksaan klinis lainnya ternyata negatif dan histerogram

menunjukkan adanya defek pengisian dalam kavum endometrium. Miomektomi

sering mengakibatkan jaringan parut uterus yang dapat mengalami rupture pada

kehamilan berikutnya, sebelum atau selama persalinan.

Trauma akibat laparotomy kadang-kadang dapat mencetuskan terjadinya

abortus. Pada umumnya, semakin dekat tempat pembedahan tersebut dengan organ
panggul, semakin besar kemungkinan terjadinya abortus. Meskipun demikian, sering

kali kista ovarium dan mioma bertangkai dapat diangkat pada waktu kehamilan

apabila mengganggu gestasi. Peritonitis dapat menambah besar kemungkinan abortus.

Perlekatan intrauteri (sinekia atau sindroma Ashennen) paling sering terjadi akibat

tindakan kuretasu pada abortus yang terinfeksi atau pada missed abortion atau

mungkin pula akibat komplikasi postpartum. Keadaan tersebut akibat destruksi

endometrium yang sangat luas. Selanjutnya keadaan ini mengakibatkan amenore dan

abortus habitualis yang diyakini terjadi akibat endometrium yang kurang memadai

untuk mendukung implantasi hasil pembuahan.

Gambar 6. a. Uterus Bikornu Komplit

b. Uterus Septata

j. Inkompetensi Serviks

Kejadian abortus pada uterus dengan serviks yang inkompeten biasanya terjadi

pada trimester kedua. Ekspulsi jaringan konsepsi terjadi setelah membran plasenta

mengalami ruptur pada prolaps yang disertai dengan ballooning membran plasenta ke

dalam vagina.
B. Faktor Paternal

Hanya sedikit yang diketahui tentang peranan factor paternal dalam proses

timbulnya abortus spontan. Yang pasti, translokasi kromosom sperma dapat

menimbulkan zigot yang mengandung bahan kromosom yang terlalu sedikit atau

terlalu banyak, sehingga terjadi abortus.

Penyakit ayah: umur lanjut, penyakit kronis seperti TBC, anemia,

dekompensasi kordis, malnutrisi, nefritis, sifilis, keracunan (alcohol, nikotin, Pb, dan

lain-lain), sinar rontgen, avitaminosis.

C. Faktor Fetal

Kelainan pertumbuhan hasil konsepsi dapat menyebabkan kematian janin atau

cacat. Kelainan berat biasanya menyebabkan kematian janin pada hamil muda.

Faktor-faktor yang menyebabkan kelainan dalam pertumbuhan janin antara lain

kelainan kromosom, lingkungan kurang sempurna, dan pengaruh dari luar. Kelainan

kromosom merupakan kelainan yang sering ditemukan pada abortus spontan seperti

trisomi, poliploidi, dan kemungkinan pula kelainan kromosom seks. Trisomi

autosomalmerupakan anomaly yang paling sering ditemukan (52%), kemudian diikuti

oleh poliploidi (21%), dan monosomi X (13%). Lingkungan yang kurang sempurna

terjadi bila lingkungan endometrium di sekitar tempat implantasi kurang sempurna

sehingga pemberian zat-zat makanan pada hasil konsepsi terganggu.

Pengaruh dari luar, seperti radiasi, virus, obat-obat yang sifatnya teratogenik.

D. Faktor Plasenta
Pada plasenta, seperti endarteritis dapat terjadi dalam vili koriales dan

menyebabkan oksigenasi plasenta terganggu, sehingga menyebabkan gangguan

pertumbuhan dan kematian janin, keadaan ini bisa terjadi sejak kehamilan muda,

misalnya karena hipertensi yang menahun.

4. PATOFISIOLOGI

Proses abortus komplit dapat berlangsung secara spontan maupun sebagai komplikasi

dari abortus provokatus kriminalis maupun medisinalis. Proses terjadinya berawal dari

perdarahan pada desidua basalis yang menyebabkan nekrosis jaringan di atasnya.

Selanjutnya, sebagian atau seluruh hasil konsepsi terlepas dari dinding uterus. Hasil

konsepsi yang terlepas menjadi benda asing terhadap uterus sehingga akan dikeluarkan

langsung atau bertahan beberapa waktu. Pada kehamilan kurang dari 8 minggu hasil

konsepsi biasanya dikeluarkan seluruhnya karena vili koriales belum menembus desidua

secara mendalam. Pada kehamilan antara 8 minggu sampai 14 minggu, vili koriales

menembus desidua lebih dalam sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna

yang dapat menyebabkan banyak perdarahan. Pada kehamilan lebih dari 14 minggu

umumnya yang mula-mula dikeluarkan setelah ketuban pecah adalan janin, disusul

kemudian oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk. Perdarahan tidak banyak jika

plasenta segera terlepas dengan lengkap.

5. GAMBARAN KLINIS

a. Ditandai dengan keluarnya seluruh hasil konsepsi.


b. Perdarahan pervaginam ringan terus berlanjut sampai beberapa waktu lamanya.

c. Umumnya pasien datang dengan rasa nyeri abdomen yang sudah hilang.

Umunya terjadi pervaginam derajat sedang sampai berat disertai dengan kram pada

perut bagian bawah, bahkan sampai ke punggung. Janin kemudian sudah keluar bersama-

sama plasenta pada abortus yang terjadi sebelum minggu ke-10, tetapi sesudah usia

kehamilan 10 minggu, pengeluaran janin dan plasenta akan terpisah. Bila plasenta

seluruhnya atau sebagian tetap tertinggal dalam uterus, maka akan terjadi perdarahan.

Cepat atau lambat akan terjadi dan memberikan gejala utama abortus komplit.

Sedangkan, pada usia abortus dalam usia kehamilan yang lebih lanjut, sering perdarahan

berlangsung amat banyak dan kadang-kadang masif sehingga terjadi syok hipovolemik.

6. DIAGNOSIS

Diagnosis abortus spontan komplit ditegakkan berdasarkan gambaran klinis melalui

anamnesis dan hasil pemeriksaan fisik, setelah menyingkirkan kemungkinan diagnosis

banding lain, serta dilengkapi dengan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan fisik mengenai status ginekologis meliputi pemeriksaan abdomen,

inspekulo, dan vaginal toucher. Palpasi tinggi fundus uteri pada abortus spontan komplit

dapat sesuai dengan umur kehamilan atau lebih rendah. Pemeriksaan penunjang berupa

USG akan menunjukkan adanya sisa jaringan. Tidak ada nyeri tekan ataupun tanda cairan

bebas seperti terlihat pada kehamilan ektopik yang terganggu. Pemeriksaan dengan

menggunakan spekulum akan memperlihatkan adanya dilatasi serviks, mungkin disertai

dengan keluarnya jaringan konsepsi atau gumpalan-gumpalan darah. Bimanual palpasi


untuk menentukan besar dan posisi uterus perlu dilakukan sebelum memulai tindakan

evakuasi sisa hasil konsepsi yang masih tertinggal. Menentukan ukuran sondase uterus juga

pentingdilakukan untuk menetukan jenis tindakan yang sesuai.

Tabel 1. Pemeriksaan Fisik pada Pasien Abortus

7. DIAGNOSIS BANDING

A. Molahidatidosa
Mola Hidatidosa adalah suatu kehamilan yang berkembang tidak wajar dimana

tidak ditemukan janin dan hampir seluruh vili korialis mengalami perubahan berupa

degenerasi hidropik. Secara makroskopik mola hidatidosa mudah dikenali yaitu

berupa gelembung-gelembung putih, tembus pandang, berisi cairan jernih, dengan

ukuran bervariasi dari beberapa milimeter sampai 1 atau 2 cm. Secara histopatologi

yang khas dari mola hidatidosa adalah edema stroma vili, tidak ada pembuluh darah

pada vili/degenerasi hidropik dan proliferasi sel-sel trofoblas.

Pada awalnya gejala mola hidatidosa sama pada gejala awal kehamilan namun

kemudian perkembangannya lebih pesat, sehingga didapatkan besar uterus lebih besar

dari usia kehamilan.

Perdarahan merupakan gejala utama mola hidatidosa yang biasa terjadi pada

bulan pertama sampai ke tujuh dengan rata-rata 12-14 minggu. Sifat perdarahan bisa

intermitten sedikit-sedikit atau sekaligus banyak sehingga menyebabkan syok atau

kematian. Mola biasanya disertai dengan preeklampsia hanya perbedaannya

preeklampsia pada mola terjadi pada kehamilan lebih muda dari pada kehamilan

biasa. Pada USG didapatkan gambaran yang khas yaitu berupa badai salju (snow

flake pattern) atau gambaran seperti sarang lebah (honey comb).Pada kehamilan

trimester I gambaran mola hidatidosa tidak spesifik sehingga seringkali sulit

dibedakan dari kehamilan anembrionik, missed abortion, abortus inkomplit, atau

mioma uteri.

B. Kehamilan Ektopik
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan yang pertumbuhan sel telur yang

telah dibuahi tidak menempel pada dinding endometrium kavum uteri. Pada

kehamilan ektopik penderita umumnya menunjukkan gejala-gejala kehamilan muda,

dan mungkin merasa sedikit nyeri di perut bagian bawah yang tidak terlalu

dihiraukan. Pada pemeriksaan vaginal didapatkan uterus membesar dan lembek

walaupun mungkin tidak sebesar tuanya kehamilan. selain itu dapat dilakukan usaha

menggerakkan serviks uteri yang menimbulkan nyeri yang disebut nyeri goyang

serviks (+) atau slinger pain. Demikian pula kavum douglasi menonjol dan nyeri

pada perabaan oleh karena terisi oleh darah.

Apabila kehamilan ektopik mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba

tempat lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu

timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian diikuti dengan syok atau pingsan. Ini

adalah tanda khas terjadinya kehamilan ektopik terganggu.

Pada kehamilan ektopik terganggu nyeri adalah keluhan utama. Rasa nyeri

mula-mula terdapat pada satu sisi tetapi setelah darah masuk ke dalam rongga perut,

rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau ke seluruh perut bawah. Darah dalam

rongga perut dapat merangsang diafragma sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila

membentuk hematokel retrouterina menyebabkan defekasi yang nyeri.

Perdarahan pervaginam merupakan tanda penting kedua pada KET. Hal ini

menunjukkan kematian janin dan berasal dari kavum uteri karena pelepasan desidua.

Perdarahan biasanya berwana coklat tua bila berasal dari uterus.


Pada USG didapatkan gambaran uterus yang tidak memiliki kantong gestasi

dan gambaran kantong gestasi yang berisi mudigah berada diluar uterus. Apabila

sudah terganggu (ruptur) maka kantong gestasi sudah tidak jelas tetapi akan

didapatkan massa hiperekoik yang tidak beraturan , tidak berbatas tegas, dan

disekitarnya didapatkan gambaran cairan bebas (gambaran darah intraabdominal).

Bila tidak tersedia fasilitas USG dapat dilakukan pemeriksaan pungsi kavum

Douglasi (kuldosentesis).

8. PENANGANAN

Penanganan abortus spontan komplit, antara lain :

a. Bila kondisi pasien baik, berikan ergometrin 3 x 1 tablet selama 3-5 hari.

b. Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfuse darah.

c. Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

d. Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.

9. PROGNOSIS

Kecuali adanya inkompetensi serviks, angka kesembuhan yang terlihat sesudah

mengalami tiga kali abortus spontan akan berkisar antara 70-85% tanpa tergantung pada

pengobatan yang dilakukan. Abortus spontan komplit yang dievakuasi lebih dini tanpa

disertai infeksi memberikan prognosis yang baik terhadap ibu.


DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, Hanifa. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwno

Prawirohardjo, 302-312.

2. Cunningham, Gary, F. dkk. 2009. Obstetri Williams Vol. 1. Jakarta: EGC, 226-250.

3. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D.

Ghaderi, E. Farhangi, N. 2016. The Relationship Between Chlamydia trachomatis

Genital Infection and Spontaneous Abotion. Iran: JRI, 17(2):110-116.

4. Ahmadi, A. Khodabandehloo, M. Ramazanzeah, R. Farhadifar, F. Rosham, D.

Ghaderi, E. Farhangi, N. 2014. Association Between Ureaplasma urealyticum

Endocervical Infection and Spotaneous Abortion. Iran: IJM, 392-397.

5. Oakley, C. Warnes, CA. 2007. Heart Disease in Pregnancy 2nd Ed. USA: Blackwell

Publishing, 136.

6. Luisi, S. Lazzeri, L. Genazzani, AR. 2007. Endocrinology of Pregnancy Loss in

Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel: Informa

Healthcare, 79-85.

7. Jung et al. 2015. Body Mass Index at Age 18-20 and Later Risk of Spontaneous

Abortion in The Health Examinees Study (HEXA). BMC Pregnancy and Childbirth,

15:228. Available on http://www.biomedcentral.com/10.1186/s12884-015-0665-2

8. Julia et al. 2009. Exposure To Maternal and Paternal Tobacco Consumption and Risk

of Spontaneous Abortion. Public Health Reports, Vol. 124.


9. Daniel, S. Koren, G. Lanunfeld, E. Bilenko, N. Ratzon, R. Levy, A. 2014. Fetal

Exposure To Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs and Spontaneous Abortions.

CMAJ, 185(5).

10. Twig, G. Sherer, Y. Blank, M. Shoenfeld, Y. 2007. Antiphospholipid Syndrome –

Pathophysiologi in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment.

Israel: Informa Healthcare, 107-111.

11. Torchinsky, A. Toder, V. 2007. Does The Maternal Immune System Regulate The

Embryo’s Response To Teratogens in Recurrent Pregnancy Loss Causes,

Controversies, and Treatment. Israel: Informa Healthcare, 59-64.

12. Andersen, AN. Wohlfahrt, J. Christens, P. Olsen, J. Melbye, M. 2000. Maternal Age

and Fetal Loss: Population Based Register Linkage Study. BMJ Vol 320: 1708-12.

13. Seidman, DS. Goldenberg, M. 2007. Uterine Anomalies And Recurrent Pregnancy

Loss in Recurrent Pregnancy Loss Causes, Controversies, and Treatment. Israel:

Informa Healthcare, 147-152.

14. Mason, VC. de Chabert, RA. 1963. Incompetent Cervix. New York: Journal of The

National Medical Association, 542-561.

15. Wiener-Megnazi, Z. Auslender, R. Dirnfeld, M. 2012. Advanced Paternal Age and

Reproductive Outcome. Asian Journal of Andrology: 14, 69-76.

16. Jalee, R. Khan, A. 2013. Paternal Factors in Spontaneous First Trimester

Miscarriage. Pak J Med Sci: 29(3):748-752. Available on

http://dx.doi.org/10.12669/pjms.293.3388
17. Kim et al. 2010. Chromosomal Abnormalities in Spontaneous Abortion After Assisted

Reproductive Treatment. BMC Medical Genetics, 11:153. Available on

http://www.biomedcentral.com/1471-2350/11/153

18. Bickhaus et al. 2013. Re-examining Sonographic Cut-off Values for Diagnosing Early

Pregnancy Loss. USA: National Institute Public Acces;3(1):1-10.

19. Griebel, C. Halvorsen, J. Golemon, TB. Day, AA. 2005. Management of Spontaneous

Abortion. University of Illinois College of Medicine at Peoria, Illionis. Vol. 72, No. 7.

Available on http://www.aafp.org/afp
BAYI POST MATUR

1. Definisi

Kehamilan posterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu,

kehamilan lewat bulan, prolonged pregnancy, extended pregnancy, postdate atau

poacamaturitas, adalah kehamilan yang berlangsung sampai 42 minggu (294 hari) atau

lebih dihitung dari hari pertama haid terakhir (HPHT).

2. Epidemiologi

Martin et all, 2007 menyebutkan bahwa insiden kehamilan postterm adalah sekitar 7%

dari seluruh kehamilan. Variasi prevalensi tergantung dari karakteristik populasi.

Karakteristik populasi yang mempengaruhi prevalensi adalah presentasi primigravida pada

populasi, presentasi obesitas, kehamilan postterm sebelumnya, serta kecenderungan

genetik.
3. Etiologi

Sampai saat ini sebab terjadinya kehamilan postterm belum jelas. Beberapa

kemungkinan penyebab adalah pengaruh progesteron, kurangnya oksitosin, herediter.

● Pengaruh progesteron

Penurunan progesteron dalam kehamilan merupakan perubahan endokrin yang

penting dalam memacu proses biomolekular pada persalinan dan meningkatkan

sensitivitas uterus terhadap oksitosin. Beberapa studi menduga bahwa terjadinya

kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron.

● Teori Oksitosin

Oksitosin secara fisiologis memegang peranan penting dalam menimbulkan

persalinan dan pelepasan oksitosin dari neurohipofisis ibu hamil yang kurang pada

usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu faktor penyebab kehamilan

postterm.
● Teori Kostisol/ ACTH janin

Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron

berkurang dan memperbesar sekresi esterogen, selanjutnya berpengaruh terhadap

meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kelainan janin seperti anensefalus,

hipoplasia adrenal janin, dan tidak adanya kelenjar hipofisis pada janin akan

menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga kehamilan dapat

berlangsung lewat bulan.

● Herediter

Beberapa studi menyatakan bahwa seorang ibu yang mengalami kehamilan

postterm mempunyai kecenderungan untuk melahirkan lewat bulan pada kehamilan

berikutnya. Mogren (1999) seperti dikutip Cunningham, menyatakan bahwa

bilamana seorangg inbu mengalami kehamilan postterm saat melahirkan anak

perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami

kehamilan postterm.

4. Patofisiologi

Patogenesis kehamilan postterm masih belum diketahui pasti. McLean et all, 1995

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peptide corticotrophin releasing hormone

(CRH) yang diproduksi plasenta dengan usia kehamilan. Sintesis CRH oleh plasenta

meningkat secara eksponensial selama kehamilan dan puncaknya pada saat persalinan. Ellis

et al dan Torricelli et al menyatakan bahwa pada wanita yang melahirkan prematur,

kenaikan eksponensial lebih cepat daripada yang melahirkan cukup bulan, sedangkan pada
wanita yang melahirkan postterm laju kenaikan lebih lambat. Data ini menunjukkan bahwa

persalinan postterm terjadi karena perubahan dalam mekanisme biologis yang mengatur

usia kehamilan.

CRH dapat langsung merangsang produksi adrenal janin dari DHEAS, prekursor

untuk sintesis estriol plasenta. Konsentrasi CRH plasma maternal berhubungan dengan

konsentrasi estriol. Peningkatan estriol akibat meningkatnya CRH pada akhir gestasi lebih

cepat dibandingkan tingkat estradiol yang mengarah ke peningkatan estriol rasio estradiol

untuk menghasilkan suatu lingkungan estrogenik dalam minggu-minggu terakhir

kehamilan. Bersamaan dengan peningkatan konsentrasi progesteron plasma ibu yang terjadi

di masa gestasi, akan menurun saat akhir kehamilan. Hal ini karena inhibisi CRH pada

sintesis progesteron plasenta. Jadi efek progesteron (menyebabkan relaksasi) kehamilan

menurun sebagai tindakan estriol (menyebabkan kontraksi) yang meningkat saat terjadinya

persalinan. Akan tetapi hal ini masih belum diketahu di kehamilan postterm. 2

5. Diagnosis

Dalam menentukan diagnosis kehamilan postterm di samping dari riwayat haid,

sebaiknya dilihat pula hasil pemeriksaan antenatal.

Riwayat Haid 1

Diagnosis kehamilan postterm tidak sulit untuk ditegakkan bilamana HPHT diketahui

dengan pasti. Untuk riwayat haid diperlukan beberapa kriteria:

- Penderita harus yakin betul dengan HPHTnya

- Siklus 28 hari dan teratur

- Tidak minum pil antihamil setidaknya 3 bulan terakhir.


Selanjutnya, diagnosis ditentukan dengan menghitung menurut rumus Naegele.

Berdasarkan riwayat haid, seorang penderita yang ditetapkan sebagai kehamilan postterm

kemungkinan adalah sebagai berikut:

- Terjadi kesalahan dalam menentukan tanggal HPHT atau akibat menstruasi

abnormal

- tanggal haid terakhir diketahui jelas, tetapi terjadi keterlambatan ovulasi

- tisak ada kesalahan menentukan haid terakhir dan kehamilan memang berlangsung

lewat bulan.

Riwayat Pemeriksaan Antenatal 1

● Tes kehamilan. Jika pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah

terlambat 2 minggu, maka dapat diperkirakan kehamilan memang telah berlangsung

6 minggu.

● Gerak janin. Gerak janin (quickening) umumnya dirasakan ibu padausia

kehamilan 18-20 minggu. Pada primi gravida dirasakan sekitar usia kehamilan 18

minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Petunjuk umum untuk

menentukan persalinan adalah quickening ditambah 22 minggu pada primi gravida,

atau ditambah 24 minggu pada multigravida.

● Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec, DJJ mulai bisa

didengarkan pada usia kehamilan 18-20 minggu, sedangkan dengan Doppler dapat

terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu


Kehamilan postterm dapat dinyatakan jika didapatkan 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil

pemeriksaan sebagai berikut:

- Telah lewat 36 minggu sejak tes kehamilan positif

- Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan doppler

- Telah lewat 24 minggu sejak dirasakannya gerak janin pertama kali

- Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop

Laennec.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Pada trimester pertama, pemeriksaan panjang kepala memberikan ketetapan kurang

lebih 4 hari dari taksiran persalinan. Pada usia kehamilan 16-26 minggu, ukuran biparietal

dan panjang femur memberikan ketepatan sekitar 7 hari dari taksiran persalinan.

Pemeriksaan sesaat setelah trimester III dapat digunakan untuk menentukan berat janin,

keadaan air ketuban, ataupun keadaan plasenta yang sering berkaitan dengan kehamilan

postterm, tetapi sulit untuk memastikan usia kehamilan.

Pemeriksaan Radiologi

Usia kehamilan ditentukan dengan melihat pusat penulangan. Gambaran epifisis

femur bagian diatal paling dini dapat dilihat pada kehamilan 32 minggu, epifisis tibia

proksimal terlihat setelah usia kehamilan 36 minggu, dan epifisis kuboid pada kehamilan

40 minggu. Cara ini sekarang jarang dipakai karena pengaruh radiologik yang kurang baik

terhadap janin.

Pemeriksaan Laboratorium
● Kadar lesitin/ spingomielin

Bila kadar lesitin/ spingomielin dalam cairan amnion kadarnya sama, maka usia

kehamilan sekitar 22-28 minggu, lesitin 1,2 kali kadar spingomielin: 28-32 minggu,

pada kehamilan denap bulan rasio menjadi 2:1. Pemeriksaan ini digunakan untuk

menentukan apakah janin cukup umur untuk dilahirkan.

● Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA)

Pada usia kehamilan 41-42 minggu ATCA berkisar antara 45-65 detik, pada umur

kehamilan > 42 minggu didapatkan ATCA < 45 detik. Bila didapatkan antara 42-46

detik menunjukkan kehamilan tepat waktu.

● Sitologi cairan amnion

Pengecatan nile lue sulphate dapat melihat sel lemak pada amnion. Bila jumlah sel

melebihi 10% maka kehamilan diperkirakan 36 minggu, dan apabila 50% atau lebih

maka usia kehamilan 38 minggu atau lebih.

6. Permasalahan Kehamilan postterm

Pengaruh kehamilan postterm antara lain:

A. Perubahan pada plasenta

Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut:

o Penimbunan kalsium. Pada kehamilan postterm terjadi penimbunan kalsium

pada plasenra, dan hal ini dapat menyebabkan gawat janin bahkan kematian

janin intrauterin dapat meningkat 2-4 kali lipat


o Selaput vaskulosinsisial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang.

Keadaan ini dapat menurunkan mekanisme transpor plasenta

o Terjadi proses degenerasi jaringan plasenta seperti edema, timbunan firinoid,

fibrosis, trombosis intervili, dan infark vili

o Perubahan biokimia. Adanya insufisiensi plasenta menyebabkan protein

plasenta dan kadar DNA di bawah normal, sedangkan konsentrasi RNA

meningkkat. Pengangkutan bahan dengan berat molekul tinggi biasanya

mengalami gangguan sehingga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan

janin intrauterin.

B. Pengaruh pada janin

Beberapa pengaruh kehamilan postterm terhadap janin:

o Berat janin

Bila terjadi peruahan anatomi yang besar pada plasenta, maka terjadi

penurunan berat janin. Zwerdling menyatakan bahwa rata-rata berat janin >

3600 gram sebesar 44,5% pada kehamilan postterm, sedangkan pada

kehamilan genap bulan sebesar 30,6%. Resiko persalinan bayi dengan berat >

4000 gram pada kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih besar dari

kehamilan biasa.

o Sindroma postmaturitas

Dapat dikenali pada neonatus dengan ditemukannya beberapa tanda seperti

gangguan pertumbuhan, dehidrasi, kulit kering, keriput seperti kertas


(hilangnya lemak subkutan), kuku tangan dan kaki panjang, tunlang tengkorak

lebih keras, hilangnya verniks kaseosa dan lanugo, maserasi kulit terutama

daerah lipat paha dan genital luar, warna cokelat kehijauan atau kekuningan

pada kulit dan tali pusat, dan rambut kepala banyak atau tebal. Tanda

postmaturitas ini dapat dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:

▪ Stadium I: kulit menunjukkan kehilangan verniks kaseosa dan

maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas

▪ Stadium II: gejala pada stadium I disertasi pewarnaan mekonium

(kehijauan) pada kulit

▪ Stadium III: gejala pada stadium II disertai dengan pewarnaan

kekuningan pada kuku, kulit dan tali pusat.

o Gawat janin atau kematian perinatal

Gawat janin menunjukkan peningkatan setelah kehamilan 42 minggu atau

lebih, umumnya disebabkan oleh:

▪ Makosomia yang dapat menyebabkan distosia pada perslinan, fraktur

klavikula, palsi Erb-Duchene, sampai kematian bayi

▪ Insufisiensi plasenta yang berakibat:

✔ Pertumbuhan janin terhambat

✔ Oligohidramnion: terjadi kompresi tali pusat, keluar

mekonium yang kental, perubahan abnormal jantung janin


✔ Keluarnya mekonium yang berakibat aspirasi mekonium pada

janin

▪ Cacat bawaan: terutama akibat hipopplasia adrenal dan anensefalus.

C. Pengaruh pada ibu

o Morbiditas/ mortalitas ibu dapat meningkat sebagai akibat dari makrosomia

janin dan tulang tengkorak menjadi lebih keras yang menyebabkan

terjadinya distosia persalinan, partus lama, meningktanya tindakan obstertik

dan persalinan traumatus/ perdarahan postpartum akibat bayi besar.

o Aspek emosi ibu dan keluarga menjadi cemas bilamana kehamilan terus

berlangsung melewati taksiran persalinan.

7. Penatalaksanaan

A. Pengelolaan Kehamilan Postterm

Pengelolaan aktif yaitu dengan melakukan persalinan anjuran pada usia kehamilan

41 atau 42 minggu. Sebelum mengambil langkah, beberapa hal yang perlu

diperhatikan:

o Memastikan apakah kehamilan telah berlangsung lewat bulan.

o Identifikasi kondisi janin

o Periksa kematangan serviks dengan skor Bishop

Pengelolaan kehamilan:

o Jika serviks telah matang (dengan nilai Bishop >5) dilakukan induksi

persalinan dan dilakukan pengawasan intrapartum.


o Jika serviks belum matang, perlu dinilai keadaan janin lebih lanjut apabila

kehamilan tidak diakhiri:

▪ Fetal Non Stress test (NST) dan penilaian volume kantong amnion.

Bila keduanya normal, kehamilan ini dapat dibiarkan berlanjjut dan

penilaian janin dilanjutkan seminggu 2 kali

▪ Bila ditemukan oligohidramion (<2 cm pada kantong yang vertikal

atau indeks cairan amnion > 5) atau dijumpai deselerasi variabel

pada NST, maka dilakukan induksi persalinan

▪ Bila volume cairan amnion normal dan NST tidak reaktif, tes pada

kontraksi (CST) harus dilakukan. Bila CST positif, terjadi deselerasi

lambat berulang, variabilitas abnormal (5/20 menit) menunjukkan

penurunan fungsi plasenta janin. Jika CST negatif, kehamilan dapat

dibiarkan berlangsung dan penilaian janin dilakukan lagi 3 hari

kemudian

▪ Keadaan seerviks harus dinilai ulang setiap kunjungan

o Kehamilan > 42 minggu diupayakan diakhiri

B. Pengelolaan selama persalinan

o Pemantauan yang baik terhadap ibu (aktivitas uterus) dan kesejahteraan

janin.

o Hindari penggunaaan obat penenang atau analgetik selama persalinan

o Awasi jalannya persalinan


o Persiapkan oksigen dan bedah sesar bila sewaktu-waktu terjadi kegawayan

janin

o Cegah terjadinya aspirasi mekonium dan segera mengusap wajah neonatus

dan dilanjutkan dengan resusitasi sesuai dengan prosedur pada janin dengan

cairan ketuban bercampur mekonium

o Segera setelah lahir, bayi harus segera diperiksa terhadap kemungkinan

hipoglikemi, hipovolemi, hipotermi, dan polisitemi

o Pengawasan ketat terhadap neonatus denga tanda-tanda prematuritas

o Hati-hati kemungkinan terjadi distosia bahu.

8. Komplikasi

Komplikasi pada bayi baru lahir meliputi suhu yang tidak stabil, hipoglikemi,

polisitemi, dan kelanian neurologik. Komplikasi pada ibu adalah distosia persalinan, partus

lama, meningktanya tindakan obstertik dan persalinan traumatus/ perdarahan postpartum

akibat bayi besar. 1

9. Prognosis

Persalinan adalah saat paling berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap

persalinan kehamillan postterm harus dilakukan pengamatan ketat dan sebaiknya

dilaksanakan di rumah sakit dengan pelayanan operatif dan perawatan neonatal yang

memadai. Kematian janin akibat kehamilan postterm terjadi pada 30% sebelum persalinan,

55% dalam persalinan, dan 15% setelah persalinan


DAFTAR PUSTAKA

1. Mochtar A.B dan Herman K. 2014. Kehamilan Postterm, dalam: Sarwono

Prawirohardjo, Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo. h 685-695

2. Galal M, et al. 2012. Postterm pregnancy. (11/01/2017), available at:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3991404/
KETUBAN PECAH DINI (KPD)

A. Definisi

Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum

waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum

waktunya melahirkan. KPD preterm adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD

yang memanjang adalah KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan

setelah ditunggu satu jam belum memulainya tanda persalinan. Dalam keadaan normal 8 –

10% perempuan hamil aterm akan mengalami ketuban pecah dini. Ketuban pecah dini

premature terjadi pada 1% kehamilan.

B. Etiologi

Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan membran atau

meningkatnya tekanan intrauterin. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh

adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu ketuban pecah dini

merupakan masalah kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah sebagai berikut:


1. Inkompetensi serviks (leher rahim)

Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher

atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka

ditengah-tengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang

semakin besar.

2. Peninggian tekanan intra uterin

Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat

menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya:

a. Trauma

Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, dan amniosintesis.

b. Gemelli

     Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan

gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan adanya

ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih, isi

rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban ) relative kecil sedangkan

dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban

tipis dan mudah pecah. 

c. Makrosomia

Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan

makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan

menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput


ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan kekuatan

membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.

d. Hidramnion

Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus

dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis

adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur.

Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami

distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja.

3. Kelainan letak janin dan rahim: letak sungsang dan letak lintang.

4. Kemungkinan kesempitan panggul: bagian terendah belum masuk PAP (sepalopelvic

disproporsi).

5. Korioamnionitis

Korioamnionitis adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh

penyebaran organisme vagina ke atas. Dua faktor predisposisi terpenting adalah

pecahnya selaput ketuban > 24 jam dan persalinan lama.

6. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah mikroorganisme

yang meyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang terjadi

menyebabkan terjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk

proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.

7. Faktor keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik.

8.      Riwayat ketuban pecah dini sebelumya.


9.      Kelainan atau kerusakan selaput ketuban.

10.   Serviks (leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu.

C. Manifestasi Klinis

Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.  Aroma

air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih

merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan ini tidak akan

berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. Tetapi bila Anda duduk atau

berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal” atau

“menyumbat” kebocoran untuk sementara.

Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat

merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.

D. Diagnosis

● Pastikan selaput ketuban pecah.

● Tanyakan waktu terjadi pecah ketuban.

● Cairan ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung cairan

yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.

● Jika tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin atau

meminta pasien batuk atau mengedan.


● Penentuan cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes), jika lakmus

merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis). pH normal

dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes tersebut

dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan trikomonas, darah,

semen, lendir leher rahim, dan air seni.

● Tes Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.

Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan gambaran daun pakis.

● Tentuka usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.

● Tentukan ada tidaknya infeksi.

● Tanda-tanda infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38 C serta cairan ketuban keruh dan

berbau.

● Leukosit darah lebih dari 15.000/mm3.

● Janin yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.

● Tentukan tanda-tanda persalinan.

● Tentukan adanya kontraksi yang teratur

● Periksa dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif ( terminasi kehamilan )

E. Pemeriksaan Penunjang

a. Ultrasonografi

Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau

melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.


b. Amniosintesis

Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru janin.

c. Pemantauanjanin

Membantu dalam mengevaluasi janin

d. Protein C-reaktif

Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan korioamnionitis

F. Terapi

1.     Konservatif

● Rawat di rumah sakit

● Jika ada perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusio plasenta

● Jika ada tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau), berikanantibiotika

sama halnya jika terjadi amnionitosis

● Jika tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:

o Berikan antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin

Ampisilin 4x 500 mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250 mg per oral 3x

perhari selama 7 hari.

● Jika usia kehamilan 32 - 37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, beri

dexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam sebanyak 4 x, observasi tanda-tanda

infeksi dan kesejahteraan janin.


● Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 minggu dan sudah inpartu, tidak ada infeksi maka

berikan tokolitik dexametason, dan induksi setelah 24 jam.

2.     Aktif

● Kehamilan lebih dari 37 minggu, induksi dengan oksitosin

● Bila gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram – 50

mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.

● Bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri.

● Indikasi melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut :

1. Pertimbangan waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktu apakah

6, 12, atau 24 jam. Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.

2. Terdapat tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan

pengukuran per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaan

laboratorium dan pemeriksaan kultur air ketuban

Terapi lanjutan

1. Evaluasi suhu dan denyut nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului

kondisi ibu yang menggigil.

2. Lakukan pemantauan DJJ. Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah

tindakan yang adekuat sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat

dengan alat pemantau janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi
oksitosin untuk melihat tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi.

Takikardia dapat mengindikasikan infeksi uteri.

3. Hindari pemeriksaan dalam yang tidak perlu.

4. Ketika melakukan pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan juga

hal-hal berikut:

● Apakah dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa

● Bau cairan di sarung tangan

● Warna cairan di sarung tangan

G. Komplikasi

● Infeksi maternal dan neonatal

● Persalinan premature

● Hipoksia karena kompresi tali pusat

● Deformitas janin

● Meningkatnya insiden seksio sesarea, atau gagal persalinan normal

(komplikasi yang timbul bergantung pada usia kehamilan)

H. Prognosis

Prognosis umumnya bonam pada ibu, namun dubia ad bonam pada janin

Referensi
1. Prawirohardjo, S. Saifuddin, A.B Rachimhadhi, T. Wiknjosastro Gulardi H. Ilmu

Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi keempat cetakan ketiga. PT Bina Pustaka

Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta: 2010

2. Kementrian RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan

Dasar dan Rujukan. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2013

3. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,

Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta: 2013.

DISTOSIA
Distosia adalah partus yang tidak normal yang disebabkan kekuatan daya
pendorong (power), kelainan jalan lahir (passage) dan/atau kelainan pada janin
(Passenger). Bila dari ketiganya ditemukan satu/ lebih dalam persalinan dapat
mengakibatkan :
· Kemacetan Partus
· Partus lama
· Partus kasep
· Ruptur uteri

v DIAGNOSIS

§ HIS normal

Kontraksi uterus yg mempunyai sifat terasa sakit, tidak dipengaruhi kehendak,


berirama, hilang timbul, peristaltik dan makin kuat dan sering.His yang Efektif :

1. Fundal dominant
2. Relaksasinya cukup.
3. Frekwensi 2-4 menit sekali( 10 menit/3 kali).
4. Intensitas cukup ( 50-60 mmHg ).
5. Lama kontraksi 40-60 detik.
1. His Hipotonik :
n Ibu tidak begitu nyeri, umumnya terjadi pada fase aktif.
n Pendataranm / pembukaan tidak sesuai kurve friedman.
n Terapi: Suportif, amniotomi, dan uterotonika
2. His Hipertonik :
n Terasa lebih nyeri, sering terjadi pada fase laten.
n Terapi: Sedatif.

Distosia akibat kelainan janin.


n Meliputi : Kelainan letak janin, mekanisme Persalinan, kelainan Bawaan, janin
besar dan kehamilan ganda.Kelainan letak yg sering dijumpai :
1. Letak sungsang.
2. Letak lintang.
3. Letak defleksi.
4. Presentasi rangkap.
5. Tali pusat menumbung.
n Kelainan/ kesempitan panggul :

Berkurangnya 1 /> ukuran panggul sebesar 1 cm / lebih dari normal.

n Pembagian kelainan/ kesempitan panggul :


1. Berdasarkan caldwell moloy.

Panggul ginecoid, anthropoid, android dan platypelloid.

2. Tempat penyempitan.
n Pintu atas panggul.
n Pintu tengah panggul.
n Pintu bawah panggul.
3. Kemampuan panggul.
n Berdasar kemampuan panggul dilewati kepala atau badan.
n Cara pemeriksaan: Penurunan kepala, Osborn test, muller test, kemajuan
persalinan ( pantogram ).

Kriteria diagnosa :

a. Kesempitan pintu atas panggul.


n Conj. Vera < 10,0 cm atau diameter transversa < 12 cm.
b. Kesempitan pintu tengah panggul.
n Diameter Interspinarum + sagitalis posterior pelvis < 13,5 cm (N 10,5 + 5).
n Spina Ischiadika menonjol, dinding samping pelvis berkonvergen.
c. Kesempitan pintu bawah panggul.
n Distansia tuberum < 8 cm.

Diagnosa kelainan / kesempitan panggul :

1. Adanya riwayat persalinan yang jelek.


2. Kepala masih tinggi atau perut menggantung.
3. Kelainan sikap atau cara berjalan.
4. Pengukuran panggul ( UPL/ UPD ).
5. Pelvimetri radiologik.
6. Pem.Imbang fetopelvik.
7. Perjalanan persalinan.

v Tatalaksana
1. Sectio sesaria.
2. Keadaan border line dapat dilakukan :
a. Trial of labour. yaitu evaluasi terus menerus kemajuan persalinan ( kurve
friedman ).
b. Test of labour, pembukaan lengkap ketuban pecah/dipecah, selama 1 jam setelah
his adekuat : kepala dapat melewati PAP.

Kelainan jalan lahir lunak dan seitarnya:

1. Kelainan Pada serviks.


2. Kelainan Pada vagina.
3. Kelainan Pada vulva.
4. Rectum / VU yang penuh.
5. Tumor gennitalia.
6. Tumor tulang panggul.
v KOMPLIKASI

- Infeksi intrapartum

- Ruptura uteri

- Pembentukan fistula

- Cedera otot-otot dasar panggul

- Kaput suksedaneum

- Molase kepala janin

DAFTAR PUSTAKA

1. Wibowo B, Soejoenoes A. Hiperemesis Gravidarum. Dalam: Wiknjosastro H.


Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Cetakan ketujuh. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo. 2005. hal 275-279

2. Cunningham F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, Catherine Y. Spong,


Jodi S. Dashe, Barbara L. Hoffman, Brian M. Casey, Jeanne S. Sheffield. William’s
Obstetric 24 ed. McGraw-Hill. 2014. 2014

3. Kementrian RI dan WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas


Kesehatan Dasar dan Rujukan. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: 2013

4. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,
Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta: 2013.
PROLAPS TALI PUSAT

Definisi dan Klasifikasi

Prolaps tali pusat adalah tali pusat berada di samping atau melewati bagian terendah

janin dalam jalan lahir sebelum ketuban pecah.Talipusat dapat berada dalam vagina ( occult

prolapse ) atau berada diluar vagina (di perineum). Prolapsus talipusat melalui dilatasi

servik yang masih belum lengkap Prolaps umbilical cord dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

● Tali pusat terkemuka, bila tali pusat berada dibawah bagian terendah janin dan

ketuban masih intak.


● Tali pusat menumbung, bila tali pusat keluar melalui ketuban yang sudah pecah, ke

serviks, dan turun ke vagina.

● Occult prolapsed ( tali pusat tersembunyi ) adalah keadaan dimana tali pusat terletak

di samping kepala atau di dekat pelvis tapi tidak dalam jangkauan jari pada

pemeriksaan vagina Tali pusat lebih mungkin mengalami prolapsus jika ada sesuatu

yang mencegah bagian presentasi janin di segmen bawah uterus atau penurunannya

ke dalam panggul ibu. Presentasi tali pusat dan tali pusat tersembunyi jarang

terdiagnosis, sehingga memerlukan pemeriksaan yang teliti. Pemeriksaan ini harus

dilakukan pada semua kasus persalinan, seperti pada persalinan preterm atau jika

terdapat malpresentasi atau malposisi janin.

Gambar 1. Tali pusat terkemuka Gambar 2. Tali pusat menumbung


Gambar 3. Occult Prolapse Gambar 4. Prolapsus tali pusat

EPIDEMOLOGI

Insiden teerjadinya prolapse tali pusat adalah 1 : 3000 kelahiran, tali pusat

menumbung kira-kira 1 : 2000 kelahiran, tetapi insiden dari tali pusat tersembunyi 50%

tidak diketahui. Myles melaporkan hasil penelitiannya dalam kepustakaan dunia bahwa

angka kejadian prolapse tali pusat berkisar antara 0,3% - 0,6% persalinan. Keadaan

prolapse tali pusat lebih mungkin terjadi pada malpresentasi atau malposisi janin, antara

lain : presentasi kepala (0,5%), letak sungsang (5%),presentasi kaki (15%), dan letak

lintang (20%). Prolapse ttali pusat juga sering terjadi jika tali pusat panjang dan jika

plasenta letak rendah. Mortalitas terjadinya tali pusat menumbung pada janin sekitar 11-

17%. Penjepitan dan tekanan tali pusat oleh bagian terendah janin terutama kepala
menyebabkan gangguan fungsi sirkulasi uteroplasenta yang membuat janin kekurangan

oksigen (hipoksia) dan menimbulkan kematian.

Etiologi

Beberapa predisposisi, sebagai berikut :

1. Presentasi atau letak janin yang tidak normal seperti letak lintang terutama pada

a) punggung janin di fundus

b) letak sungsang

c) presentasi muka atau dahi, dan presentasi ganda.

2. Keadaan dimana presentasi janin masih tinggi atau belum masuk PAP, seperti pada

multiparitas, prematuritas dan panggul sempit.

3. Polihidramnion, dimana air ketuban lebih banyak dari normal sehingga sewaktu

ketuban pecah, air ketuban keluar sering disertai prolapse tali pusat.

4. Kehamilan ganda, prolaps tali pusat sering terjadi saat melahirkan bayi yang kedua

5. Ada kelainan pada tali pusat seperti tali pusat yang panjang atau insersi tali pusat di

tepi plasenta bagian yang terendah.

6. Kondisi obstetri dimana pintu atas panggul tidak sepenuhnya ditempati dengan

bagian terendah janin (presentasi) akan memudahkan terjadinya prolapsus tali.

7. Prematuritas, Seringnya kedudukan abnormal pada persalinan prematur, yang salah

satunya disebabkan karena bayi yang kecil.

DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis
● Tali pusat kelihatan menonjol keluar dari vagina. 

● Tali pusat dapat dirasakan/ diraba dengan tangan didalam bagian yang lebih sempit

dari vagina.

● Keadaan jalan lahir yang berbahaya mungkin terjadi sebagai mana tali pusat ditekan

antara bagian presentase dan tulang panggul.

● Bradikardia janin ( DJJ <100x/menit)

● Hipoksia Janin

Pemeriksaan Penunjang

Jika tali pusat dapat diraba pada pemeriksaan vagina, harus dicari pulsasinya dan

bunyi jantung janin diperiksa untuk menentukan apakah masih rentang normal atau

menunjukkan takikardia atau bradikardia. Bunyi jantung normalnya 120-140x per menit.

Diagnosis prolapsus tali pusat ditegakkan jika pada pemeriksaan dalam teraba tali

pusat yang berdenyut pada pemeriksaan vagina atau jika tali pusat tampak keluar dari

vagina, namun adakalanya hal ini tidak teraba pada pemeriksaan dalam yang disebut occult

prolapse / tali pusat tersembunyi. Selain itu prolapsus tali pusat harus dicurigai bila bunyi

jantung janin menjadi tidak teratur disertai dengan periodik bradikardi atau takikardi

dengan durasi bervariasi. Diagnosis pasti juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan

ultrasonografi (USG) obstetri.

Dua masalah utama yang terjadi pada tali pusat dan keduanya akan menyebabkan

terhentinya aliran darah pada tali pusat dan kematian janin.

1. Talipusat terjepit antara bagian terndah janin dengan panggul ibu


2. Spasme pembuluh darah talipusat akibat suhu dingin diluar tubuh ibu

Pemeriksaan cardiotocography selalu memperlihatkan gambaran gawat janin dalam bentuk

deselerasi lambat yang sangat dalam atau deselerasi berkepanjangan tunggal. Gambaran

CTG seperti ini merupakan indikasi untuk melakukan vaginal touche untuk melihat

kemungkinan adanya prolapsus talipusat. Pada beberapa keadaan diagnosa sangat mudah

ditegakkan yaitu dengan terlihatnya tali pusat di luar vagina, namun dugaan diagnosa yang

mendorong perlunya dilakukan pemeriksaan VT adalah adanya gambaran CTG yang sangat

mencurigakan diatas.

Sangat dianjurkan untuk memeriksa kemungkinan adanya prolapsus tali pusat pasca

melakukan tindakan amniotomi

Tatalaksana

Prolapsus tali pusat merupakan suatu keadaan darurat yang membutuhkan intervensi

segera untuk memastikan oksigenasi ke fetus.

a. Jika pembukaan belum lengkap.

Tindakan yang dapat dilakukan:

● Reposisi Tali Pusat.

Bila tali pusat masih berdenyut namun pembukaan belum lengkap, dapat 

dilakukan reposisi tali pusat. Masukkan gumpalan kain kasa tebal ke dalam jalan

lahir, lilitkan dengan hati-hati ke tali pusat kemudian dorong seluruhnya

perlahan-lahan ke kavum uteri di atas bagian terendah janin.Tindakan ini lebih

mudah bila ibu dalam posisis trendelenberg.


● Seksio Cesarea

Jaga agar tali pusat tidak mengalami tekanan dan terjepit oleh bagian terendah     

janin.Untuk hal ini pasien dalam posisi trendelenberg.masukkan satu tangan ke

dalam vagina untuk mencegah turunnya bagian terendah di dalam rongga

panggul.

Jika reposisi berhasil,tekan fundus uteri agar bagian terdepan / terbawah janin

turun.Kalau perlu berikan oksitoksin drips dan tunggu partus spontan. Jika

reposisi tidak berhasil dorong bagian terdepan ke atas agar tali pusat tidak

tertekan dan letakkan ibu dalam posisi terndelenberg atau posisi sims dengan

bantal diletakkan dibawah perut  atau pinggul ibu dan segera untuk dilakukan

seksio cesarea dengan tangan tetap dipertahankan dalam vagina sampai bayi

lahir.

b. Jika pembukaan sudah lengkap

Jika pembukaan sudah lengkap,maka persalinan harus segera diselesaikan sesuai

dengan presentasi janin.

● Presentasi kepala: pimpin mengedan dan ekstraksi vakum.Bila janin

mati,biarkan terjadi partus spontan

● Presentasi bokong / kaki : reposisi tali pusat dan usahakan persalinan

pervagina dengan segera.. Jika reposisi gagal,lakukan dengan ekstraksi bokong

atau dengan seksio cesarea.


● Letak melintang : pertahankan posisi trendelenberg,dorong bahu janin ke

atas dan lakukan seksio cesarea.

Komplikasi

1. Pada Ibu

Dapat menyebabkan infeksi intra partum, pecahnya ketuban menyebabkan bakteri

di dalam cairan amnion menembus amnion dan menginvasi desidua serta

pembuluh korion sehingga terjadi bakterimia dan sepsis pada ibu dan janin.

Sedangkan pemeriksaan serviks dengan jari tangan akan memasukkan bakteri

vagina kedalam uterus. Pemeriksaan ini harus dibatasi selama persalinan,

terutama apabila dicurigai terjadi distosia. Infeksi merupakan bahaya yang

serius yang mengancam ibu dan janinnya pada partus lama.

2. Pada janin

a. Gawat janin

✔ Distres janin sehingga bisa mengakibatkan bayi mati.


✔ Gawat janin adalah keadaan atau reaksi ketika janin tidak memperoleh

oksigen

yang cukup, terjadi hipoksia.

✔ Gawat janin dapat diketahui dari tanda-tanda berikut:

1) Frekuensi bunyi jantung janin kurang dari 120 x / menit atau lebih dari

160 x / menit.

2) Berkurangnya gerakan janin (janin normal bergerak lebih dari 10 x / hari).

3) Adanya air ketuban bercampur mekonium, warna kehijauan (jika bayi

lahir dengan letak kepala).

b.  Cerebral palsy adalah gangguan yang mempengaruhi otot, gerakan, dan

ketrampilan motorik (kemampuan untuk bergerak dalam cara yang terkoordinasi

dan terarah) akibat dari rusaknya otak karena trauma lahir atau patologi intrauterin

(Chuningham dkk, 2005).

Daftar Pustaka

1. Sarwono, 2012. lmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Prawirohardjo.

2. Wikajosastro, H., 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawirohardjo.

3. Rustam, mochtar. 1998. Sinopsis obstetric; obstetric fisiologi, obstetric patologi

edisi ke 2. Jakarta: EGC.

4. Cunningham, Gary. 2009. Obstetri Williams edisi ke 23. Jakarta: EGC


HIPOKSIA JANIN

Definisi

Menurut AAP asfiksia adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh kurangnya O2

pada udara respirasi, yang ditandai dengan:

a. Asidosis (pH<7,0) padadarah arteri umbilikalis

b. Nilai APGAR setelah menitke-5 tetep 0-3

c. Menifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksikiskemia ensefalopati)

d. Gangguan multiorgan sistem.

Asfiksia berarti hipoksia yang progresif, penimbunan CO2 dan asidosis. Bila

proses ini berlangsung terlalu jauh dapat mengakibatkan kerusakan otak atau kematian.

Asfiksia juga dapat mempengaruhi fungsi organ vital lainnya.Pada bayi yang mengalami

kekurangan oksigen akan terjadi pernapasan yang cepat dalam periode yang

singkat.Apabila asfiksia berlanjut, gerakan pernafasan akan berhenti, denyut jantung juga

mulai menurun, sedangkan tonus neuromuscular berkurang secara berangsur – angsur dan
bayi memasuki periode apnea yang dikenal sebagai apne primer. Perlu diketahui bahwa

kondisi pernafasan megap-megap dan tonus otot yang turun juga dapat terjadi akibat obat-

obat yang diberikan kepada ibunya. Biasanya pemberian perangsangan dan oksigen

selama periode apnea primer dapat merangsang terjadinya pernafasan spontan. Apabila

asfiksia berlanjut, bayi akan menunjukkan pernafasan megap – megap yang dalam, denyut

jantung terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi akan terlihat

lemas (flaccid). Pernafasan makin lama makin lemah sampai bayi memasuki periode

apnea yang disebut apnea sekunder.

Etiologi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan gawat janin (asfiksia) antara lain :

a. Faktor ibu

1) Preeklampsia dan eklampsia

2) Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)

3) Partus lama atau partus macet

4) Demam selama persalinan Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)

5) Kehamilan Lewat Waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)

b. Faktor Tali Pusat

1) Lilitan tali pusat


2) Talipusat pendek

3) Simpul talipusat

4) Prolapsus talipusat.

c. Faktor bayi

1) Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)

2)Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum,

ekstraksi forsep)

3)Kelainan bawaan(kongenital)

4)Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan).

Manifestasi klinik

Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-tanda

klinis pada janin atau bayi berikut ini :

a. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurangdari 100x/menit tidak teratur

b. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

c. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain

d. Depresi pernafasan karenaotak kekurangan oksigen


e. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-otot

jantung atau sel-sel otak

f. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan

darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama

proses persalinan

g. Takipneu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau nafas

tidak teratur/megap-megap

h. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah

i. Penurunan terhadap spinkters

j. Pucat

Sk 0 1 2

or

Frekuensi jantung Tidak <100x/menit >100x/menit

ada

Usaha pernafasan Tidak Tidak teratur, Teratur,

ada lambat
menangis

Tonus otot Lemah Beberapa Semua

tungkai tungkai

flek flek
si si

Iritabilitas reflex Tidak Menyeringai Batuk/menangi

ada s

Warna kulit Pucat Bi Merah muda

ru

Tabel. Skor Apgar

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit

sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah

bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan,

denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera.

Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil

penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada

bayi yang mengalami depresi berat.

Diagnosis

Untuk dapat menegakkan gawat janin dapat ditetapkan dengan melakukan pemeriksaan

sebagai berikut :

1. Denyut jantung janin.

Frekeunsi denyut jantung janin normal antara 120–160 kali per menit. Peningkatan

kecepatan denyut jantung umum nya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekeunsi
turun sampai dibawah 100 per menit diluar his, dan lebih – lebih jika tidak teratur, hal

itu merupakan tanda bahaya.

2. Mekonium di dalam air ketuban.

Mekonium pada presentasi - sunsang tidak ada artinya, akan tetapi pada presentasi –

kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan

kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi-kepala dapat

merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bil ahal itu dapat dilakukan dengan

mudah.

3. Pemeriksaan pH darah janin.

Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan lewat servik dibuat sayatan kecil

pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini diperiksa pH-nya.

Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apa bila pH itu turun sampai di bawah 7,2

hal itu dianggap sebagai tanda bahaya oleh beberapa penulis.

Penatalaksanaan

Bayi baru lahir dalam apnu primer dapat memulai pola pernapasan biasa, walaupun

mungkin tidak teratur dan mungkin tidak efektif, tanpa intervensi khusus. Bayi baru

lahir dalam apnu sekunder tidak akan bernapas sendiri. Pernapasan buatan atau

tindakan ventilasi dengan tekanan positif (VTP) dan oksigen diperlukan untuk membantu

bayi memulai pernapasan pada bayi baru lahir dengan apnu sekunder.
Langkah-langkah resusitasi neonatus

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:

Apakah bayi cukup bulan

Apakah bayi bernapas atau menangis?

Apakah tonus otot bayi baik atau kuat

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur

perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada

ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu. Bila terdapat jawaban

”tidak” dari salah satu pertanyaan diatas maka bayi memerlukan satu atau beberapa

tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

1. Langkah awal dalam stabilisasi

(a) Memberikan kehangatan

(b)Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan

(c) Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

(d)Mengeringkan bayi ,merangsang pernapasan dan meletakkan pada

posisi yang benar.

2. Ventilasi Tekanan Positif (VTP)

Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.


Agar VTP efektif,Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.

Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut. Nafas pertama setelah lahir,

membutuhkan : 30-40 cmH2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan : 15-20cmH2O. Bayi

dengan kondisi atau penyakit paru – paru yang berakibat turunnya compliance,

membutuhkan : 20-40 cmH2O..

 Observasi gerak dada bayi : adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti

bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik

nafas dangkal.

Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi

yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuk nya udara kedalam lambung.

Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop.

Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat

ventilasiyang benar.

Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang, kurangi

tekanan dengan mengurangi meremas balon. Apabila dengan tahapan diatas dada bayi

masih tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi

pipa-balon.

3. Kompresi dada

Teknik kompresi dada 2 cara:


a.Teknik ibu jari (lebih dipilih)

b.Teknik dua jari

Obat-obatan dan cairan:

a. Epinefrin

b. Bikarbonat Natrium4,2%

c. Dekstron 10%

d.Nalokson

DAFTAR PUSTAKA

F. G Cunningham, KJ. Leveno, SL. Bloom. Abortion in William Obstetrics, 22 nd

edition. Mc-Graw Hill, 2005

McPhee S, Obsterics and obstretrics disoders,Current medical diagnosis and treatment,

2009 edition, Mc Graw Hill, 2008

Sarwono prawiroharhdjo.Perdarahan pada kehamilan muda dalam Ilmu Kandungan,

edisi 2008

Saifuddin A. Perdarahan pada kehamilan muda dalam Buku Panduan Praktis Pelayanan

Kesehatan Maternal dan Neonatal,Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo,

Jakarta,2006 Hal M9-M17


Standard Pelayanan Medis Ilmu Kebidanan dan Kandungan, RS Efarina Etaham, 2008,

ms 33-35

RETENSIO PLASENTA

DEFINISI

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau

melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir.


ETIOLOGI

1. Plasenta belum terlepas dari dinding rahim karena uterus kurang kuat untuk

melepaskan plasenta atau plasenta melekat dan tumbuh lebih dalam. Menurut

tingkat perlekatannya:

a. Plasenta adhesiva: plasenta yang melekat pada desidua endometrium lebih

dalam.

b. Plasenta inkreta: vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua

endometrium sampai ke miometrium.

c. Plasenta akreta: vili khorialis tumbuh menembus miometrium sampai ke serosa

d. Plasenta perkreta: vili khorialis tumbuh menembus serosa atau peritoneum

dinding rahim.
Gambar Kelainan perlekatan plasenta pada dinding uterus

2. Plasenta sudah terlepas dari dinding rahim namun belum disebabkan adanya

lingkaran konstriksi pada bagian bawah rahim (akibat kesalahan penanganan kala

III) yang akan menghalangi plasenta keluar (plasenta inkarserata). Plasenta mungkin

pula tidak keluar karena kandung kemih atau rektum penuh. Oleh karena itu

keduanya harus dikosongkan. Bila plasenta belum lepas sama sekali tidak akan

terjadi perdarahan tetapi bila sebagian plasenta sudah lepas sebagian maka akan

terjadi perdarahan. Ini merupakan indikasi untuk segera mengeluarkannya.

PENATALAKSANAAN

Penanganan retensio plasenta berupa pengeluaran plasenta dilakukan apabila

plasenta belum lahir dalam 1/2-1 jam setelah bayi lahir terlebih lagi apabila disertai

perdarahan. Dapat dicoba dulu perasat menurut Crede.Tindakan ini sekarang tidak banyak

dianjurkan karena kemungkinan terjadinya inversio uteri dan tekanan yang keras pada

uterus dapat pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan

kemungkinan syok.

Perasat crede dimaksudkan untuk melahirkan plasenta yang belum terlepas dengan

ekspresi. Perasat ini dapat dilakukan jika kontraksi uterus baik dan vesika urinaria kosong.

Pelaksanaannya dengan cara memegang fundus uteri dengan tangan kanan sehingga ibu

jarit erletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan
permukaan belakang, bila ibu gemuk hal ini tidak dapat dilaksanakan dan sebaiknya

langsung dikeluarkan secara manual. Setelah uterus berkontraksi baik, maka uterus di tekan

ke arah jalan lahir. Gerakan jari seperti memeras jeruk. Perasat crede tidak dilakukan jika

uterus tidak berkontraksi baik karena dapat menimbulkan inversio uteri.

Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt.

Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain

diletakkan pada dinding perut di atas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan

terletak di permukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah rahim.

Dengan melakukan tekanan ke arah dorsokranial, maka badan rahim akan terangkat.

Apabila plasenta telah lepas, maka tali pusat tidak akan tertarik ke atas. Kemudian tekanan

di atas simfisis di arahkan ke arah dorsokranial, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan

tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak

dapat dicegah ialah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian

masih ketinggalan yang harus dikeluarkan dengan tangan.

Pengeluaran plasenta dengan tangan atau pelepasan plasenta secara manual (manual

plasenta) kini dianggap cara yang paling baik. Dengan tangan kiri menahan fundus uteri

supaya uterus jangan naik ke atas, tangan kanan dimasukkan ke dalam kavum uteri. Dengan

mengikuti tali pusat, tangan itu sampai di plasenta dan mencari pinggir plasenta. Kemudian

jari-jari tangan itu dimasukkan antara pinggir plasenta dan dinding uterus. Biasanya tanpa

kesulitan plasenta sedikit demi sedikit dapat dilepaskan dari dinding uterus untuk kemudian

dilahirkan. Sebaiknya sebelum tindakan pelepasan plasenta secara manual dilaksanakan,


sebaiknya pasang infus garam fisiologis. Walaupun orang takuta bahwa pelepasan plasenta

secara manual meningkatkan insidensi infeksi, namun tidak boleh dilupakan bahwa perasat

ini justru bermaksud untuk menghemat darah dan dengan demikian menurunkan kejadian

infeksi.

Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta. Plasenta

hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta perforasi

mengancam. Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas akhirnya


diagnosis plasenta akreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanuil

dihentikan, lalu dilakukan histerektomi.

Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena

lingkaran konstriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam

vagina dibantu oleh anestesia umum melonggarkan konstriksi. Dengan tangan tersebut

sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang

plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempat

sempit itu.

Setelah melakukan tindakan pelepasan plasenta, dilakukan eksplorasi kavum uteri

sehingga diyakinkan tidak ada jaringan plasenta yang tertinggal. Sebagian dokter

cenderung mengusap kavum uteri dengan spons/kassa, apabila hal ini dilakukan, perlu

dipastikan bahwa spons/kassa ridak tertinggal di uterus atau vagina.

Setelah plasenta lahir fundus uteri harus selalu dipalpasi untuk memastikan bahwa

uterus berkontraksi dengan baik. Apabila uterus tidak keras, maka masase fundus

diindikasikan. Biasanya oksitosin diberikan 20 IU dalam 1000 ml ringer laktat atau normal

salin dengan kecepatan tetesan sekitar 10 tetes/ menit ditambah dengan masase uterus akan

menimbulkan kontraksi yang efektif. Apabila oksitosin yang diberikan secara infus cepat

tidak efektif, beberapa dokter memberikan turunan ergot (metilergonvin) 0,2mg intravena

atau intramuskuler. Obat ini dapat merangsang uterus berkontraksi cukup kuat untuk
menghentikan perdarahan. Obat ini dikontraindikasikan pada wanita dengan preeklamsia

karena dapat menyebabkan hipertensi yang berbahaya.

Tabel Jenis uterotonika dan cara pemberiannya

JENIS DAN OKSITOSIN ERGOMETRIN MISOPROSTOL


CARA

Dosis dan cara IV: 20 unit dalam 1 IM atau IV (lambat): 0,2 Oral atau rektal
pemberian awal L NS dengan mg 400 mg
tetesan cepat

IM : 10 unit

Dosis lanjutan IV: 20 unit dalam 1 Ulangi 0,2 mg IM 400 mg 2-4 jam
L NS dengan 40 setelah 15 menit. setelah dosis awal
tetes/ menit
Bila masih diperlukan
beri IM/IV setiap 2-4
jam

Dosis Tidak lebih dari 3 L Total 1 mg atau 5 dosis Total 1200 mg


maksimal/hari larutan dengan atau 3 dosis
oksitosin

Indikasi Pemberian IV secara Preklampsia, vitium Nyeri kontraksi


kontra/hati-hati cepat/ bolus kordis, hipertensi Asma

DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, A.B, ed. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal

dan Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo


2. Martohoesodo,S., Hariadi,R., Ilmu Kebidanan Edisi III, Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2002

3. Cunningham, F.Gary et all. Obstetri Williams Vol. 1 Edisi 21. Jakarta. EGC. 2006

4. Prof. Dr. Rustam Mochtar, MPH G:\Hasil Penelusuran http--www_geocities_com-

klinikobgin-kelainan-persalinan-perdarahan-postpartum_jpg.mht
RUPTUR PERINEUM

Definisi dan Epidemologi

Ruptur perineum adalah suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi pada persalinan

pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan pervaginam mengalami

ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya membutuhkan penjahitan. Angka

morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan derajat ruptur.

Hasil Anamnesis (Subjective)

Gejala Klinis

● Perdarahan pervaginam

● Etiologi dan Faktor Risiko

Faktor ReRuptur perineum umumnya terjadi pada persalinan, dimana:

1. Kepala janin terlalu cepat lahir

2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya

3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut

4. Pada persalinan dengan distosia bahu

5. Partus pervaginam dengan tindakan

Pada literatur lain dikatakan faktor risiko ruptur perineum antara


lain: Faktor risiko ruptur perineum
Known risk factors Suggested risk factors
Nulipara Peningkatan usia
Makrosomia Etnis
Persalinan dengan instrumen Status nutrisi
terutama forsep
Malpresentasi Analgesia epidural
Malposisi seperti oksiput posterior
Distosia bahu
Riptur perineum sebelumnya
Lingkar kepala yang lebih besar
Diagnosis

Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya:

1. Robekan pada perineum,

2. Perdarahan yang bersifat arterial atau yang bersifat merembes,

3. Pemeriksaan colok dubur, untuk menilai derajat robekan perineum

Pemeriksaan Penunjang: -

Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Klasifikasi Ruptur Perineum dibagi menjadi 4 derajat:


a. Derajat I

Robekan terjadi hanya pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa mengenai kulit

perineum.

b. Derajat II

Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinea transversalis, tetapi tidak

melibatkan kerusakan otot sfingter ani.

c. Derajat III

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dengan pembagian

sebagai berikut:

III. a. Robekan < 50% sfingter ani eksterna

III. b. Robekan > 50% sfingter ani ekterna

III. c. Robekan juga meliputi sfingter ani interna

d. Derajat IV

Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfingter ani dan mukosa rektum
Gambar Pemeriksaan Vagina.

Penatalaksanaan

Penanganan Ruptur Perineum

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan cara

melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan jangan sampai

terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya dapat dimasuki bekuan-

bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya penyembuhan luka. Selain itu

dapat dilakukan dengan cara memberikan antibiotik yang cukup (Moctar, 2005).

Prinsip yang harus diperhatikan dalam menangani ruptur perineum adalah :

a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir, segera

memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta atau plasenta lahir

tidak lengkap.
b. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat dipastikan

bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan lahir, selanjutnya

dilakukan penjahitan. Prinsip melakukan jahitan pada robekan perineum :

1) Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah dalam/proksimal ke

arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi lapis, dari lapis dalam kemudian

lapis luar.

2)  Robekan perineum tingkat I : tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan

dan aposisi luka baik, namun jika terjadi perdarahan segera dijahit dengan

menggunakan benang catgut secara jelujur atau dengan cara angka delapan.

3) Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II jika ditemukan

robekan tidak rata atau bergerigi harus diratakan terlebih dahulu sebelum

dilakukan penjahitan. Pertama otot dijahit dengan catgut kemudian selaput

lendir. Vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.

Penjahitan mukosa vagina dimulai dari puncak robekan. Kulit perineum

dijahit dengan benang catgut secara jelujur.

4) Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada dinding depan

rektum yang robek, kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal

dijahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali.

5) Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah

karena robekan diklem dengan klem pean lurus, kemudian dijahit antara 2-3
jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit

lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat I

• Penatalaksanaan farmakologis:

Dosis tunggal sefalosporin golongan II atau III dapat diberikan intravena

sebelum perbaikan dilakukan (untuk ruptur perineum yang berat).

Manajemen Ruptur Perineum:

Ruptur perineum harus segera diperbaiki untuk meminimalisir risiko perdarahan,

edema, dan infeksi. Manajemen ruptur perineum untuk masing-masing derajatnya,

antara lain sebagai berikut:

a. Derajat I

• Bila hanya ada luka lecet, tidak diperlukan penjahitan. Tidak usah menjahit ruptur

derajat I yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik.

• Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan memakai

catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka

delapan (figure of eight).

b. Derajat II
• Ratakan terlebih dahulu pinggiran robekan yang bergerigi, dengan cara mengklem

masing-masing sisi kanan dan kirinya lalu dilakukan pengguntingan untuk

meratakannya.

• Setelah pinggiran robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan.

Teknik penjahitan

Teknik penjahitan robekan perineum disesuaikan dengan derajat laserasinya.

Bagi bidan tentunya harus menyesuaikan dengan wewenang bidan yang diatur

dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 Tahun 2010

tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan, pada pasal 10 ayat 3 butir (b) yaitu

hanya luka jalan lahir derajat I dan II.

Prinsip penjahitan luka perineum dilakukan setelah memeriksan keadaan

robekan secara keseluruhan. Jika robekan terjadi pada derajat III dan IV, segera

siapkan tindakan rujukan, sebelumnya dilakukan tindakan penghentian perdarahan

pada robekan tingkat jika terjadi. Untuk mendiagnosa berapa derajat robekan dan

melakukan penjahitan memerlukan pencahayaan yang cukup.

Penggunaan benang jika dibandingkan antara catgut atau chromic,

menggunakan benang polyglactil (vicryl) akan lebih mudah menyerap dan

mengurangi nyeri perineum setelah penjahitan.

a. Perbaikan robekan perineum derajat I dan II

Robekan derajat pertama biasanya tidak memerlukan jahitan, tetapi harus

dilihat juga apakah meluas dan terus berdarah. Penggunaan anestesi diperlukan
agar dapat mengurangi nyeri agar ibu bisa tenang sehingga operator dapat

memperbaiki kerusakan secara maksimal. Berikut ini adalah tahapan penjahitan

robekan perineum derajat I dan II:

1) Ibu ditempatkan dalam posisi litotomi, area bedah dibersihkan.

2) Jika daerah apex luka sangat jauh dan tidak terlihat, maka jahitan pertama

ditempatkan pada daerah yang paling distal sejauh yang bisa dilihat kemudian

diikat dan ditarik agar dapat membawa luka tersebut hingga terlihat dan dapat

menempatkan jahitan kembali 1 cm diatas apex. Pastikan aposisi anatomis

khususnya pada sisa hymen.

3) Jahitan harus termasuk fascia rektovaginal yang menyediakan sokongan pada

bagian posterior vagina. Jahitan dilakukan sepanjang vagina secara jelujur,

sampai ke cincin hymen, dan berakhir pada mukos vagina dan fascia

rektovaginal, dapat dilihat gambar berikut.

Gambar Mukosa vagina dan fascia rektovaginal (Leeman et al, 2003).

4) Otot pada badan perineum diidentifikasi, dapat dilihat pada gambar berikut

ini.
Gambar Penjahitan Laserasi Perineum derajat II (Leeman et al, 2003).

5) Otot perineum transversal disambung dengan jahitan terputus menggunakan

benang vicryl 3-0 sebanyak 2 kali, demikian juga dengan otot

bulbokavernosus dijahit dengan cara yang sama. Gunakan jarum yang besar

untuk mendapatkan hasil jahitan yan baik. Ujung otot bulbokavernosus ditarik

kearah posterior kemudian kearah superior, dapat dilihat pada gambar berikut

ini.

Gambar Penjahitan otot bulbokavernosus dengan cara terputus (Leeman et al, 2003).
6) Jika robekan memisahkan fascia retrovaginal dari badan perineum,

sambungkan fascia dengan dua jahitan vertikal secara terputus dengan benang

vicryl, dapat dilihat pada gambar berkut ini.

Gambar Penjahitan septum rektovaginal pada badan perineum (Leeman et al, 2003).

7) Daerah subkutan dijahit dengan kedalaman 1 cm dengan jarak antara 1 cm

untuk menutupi luka kutaneus. Jahitan kulit yang rapih ditentukan oleh aposisi

subkutis yang ditempatkan dengan baik.

8) Gunakan benang vicryl 4-0 untuk menjahit kulit. Mulailah penjahitan pada

bagian posterior dari apex kulit dengan jarak 3 mm dari tepi kulit.

c. Derajat III dan IV

Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang memiliki dokter spesialis

obstetric dan ginekologi.

Konseling dan Edukasi


Memberikan informasi kepada pasien, dan suami, mengenai, cara menjaga

kebersihan daerah vagina dan sekitarnya setelah dilakukannya penjahitan di daerah

perineum, yaitu antara lain:

a. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.

b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya.

c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali

perhari.

d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus

kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang

berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.

Sarana-Prasarana

1. Lampu

2. Kassa steril

3. Sarung tangan steril

4. Hecting set

5. Benang jahit: catgut

6. Laboratorium sederhana untuk pemeriksaan darah rutin, golongan darah.


Referensi

1. Cunningham F. Gary, Kenneth J. Leveno, Steven L. Bloom, Catherine Y. Spong, Jodi

S. Dashe, Barbara L. Hoffman, Brian M. Casey, Jeanne S. Sheffield. William’s

Obstetric 24 ed. McGraw-Hill. 2014. 2014

2. Kementrian RI dan IDI. Buku Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Pelayan Primer,

Standar Pelayanan di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama, Edisi 1. Jakarta: 2013.

3. Manuaba, I.G. B., 2003. Pengantar Kuliah Obseteri. EGC. Jakarta.

4. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.


PERDARAHAN POST PARTUM

Definisi

Perdarahan post partum (PPP) adalah perdarahan yang masif yang berasal dari

tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir, dan jaringan sekitarnya dan

merupakan salah satu penyebab kematian ibu disamping perdarahan karena hamil

ektopik dan abortus.

Definisi perdarahan post partum adalah perdarahan pasca persalinan yang

melebihi 500 ml setelah bayi lahir atau yang berpotensi mengganggu hemodinamik ibu.

Berdasarkan saat terjadinya, PPP dapat dibagi menjadi PPP primer dan PPP

sekunder. PPP primer adalah perdarahan post partum yang terjadi dalam 24 jam pertama

setelah persalinan dan biasanya disebabkan oleh atonia uteri, robekan jalan lahir, dan

sisa sebagian plasenta. Sementara PPP sekunder adalah perdarahan pervaginam yang
lebih banyak dari normal antara 24 jam hingga 12 minggu setelah persalinan, biasanya

disebabkan oleh sisa plasenta.

Epidemologi

Kematian ibu 45% terjadi pada 24 jam pertama setelah bayi lahir, 68-73% dalam

satu minggu setelah bayi lahir, dan 82-88% dalam dua minggu setelah bayi lahir.

Klasifikasi

Perdarahan pasca persalinan atau perdarahan post partum diklasifikasikan

menjadi 2, yaitu :

1. Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhageatau

perdarahan post partum primer atau perdarahan pasca persalinansegera).

Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jampertama. Penyebab

utama perdarahan pasca persalinan primer adalahatonia uteri, retensio

plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir daninversio uteri. Terbanyak

dalam 2 jam pertama.

2. Perdarahan masa nifas (Late Postpartum Haemorrhage atau perdarahan post

partum sekunder atau perdarahan pasca persalinan lambat). Perdarahan

pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca

persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang

tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

Faktor yang Mempengaruhi


Faktor – faktor yang mempengaruhi perdarahan postpartum

a. Usia ibu

Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari

35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan

yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia

dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang

dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi

seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi

normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan

terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang

mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada

usia dibawah 20 tahun 2- 5 kali lebih tinggi daripada perdarahan

pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan

pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.

b. Jumlah gravida

Ibu- ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk

multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan

pascapersalinan dibandingkan dengan ibu -ibu yang termasuk golongan

primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida,

fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya

perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.


c. Paritas

Paritas 2 - 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut

perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal.

Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian

perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas

satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama

merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani

komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.

d. Antenatal Care

Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin

fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas

sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat

diturunkan.Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan

bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi

setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan.

Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda- tanda dini

perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.

e. kadar Haemoglobin

Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai

hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin

kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya

darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa
adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya

kadar hemoglobin dibawah nilai normal.

Faktor Risiko

Perdarahan post partum merupakan komplikasi dari 5-8% kasus persalinan

pervaginam dan 6% dari kasus SC

• Faktor Risiko prenatal:

− Perdarahan sebelum persalinan,

− Solusio plasenta,

− Plasenta previa,

− Kehamilan ganda,

− Preeklampsia,

− Khorioamnionitis,

− Hidramnion,

− IUFD,

− Anemia (Hb< 5,8),

− Multiparitas,

− Mioma dalam kehamilan,

− Gangguan faktor pembekuan dan

− Riwayat perdarahan sebelumnya serta obesitas.

• Faktor Risiko saat persalinan pervaginam:


− Kala tiga yang memanjang,

− Episiotomi,

− Distosia,

− Laserasi jaringan lunak,

− Induksi atau augmentasi persalinan dengan oksitosin,

− Persalinan dengan bantuan alat (forseps atau vakum),

− Sisa plasenta, dan bayi besar (>4000 gram).

• Faktor Risiko perdarahan setelah SC :

− Insisi uterus klasik,

− Amnionitis,

− Preeklampsia,

− Persalinan abnormal,

− Anestesia umum,

− Partus preterm dan postterm.

Kausalnya dibedakan atas:

• Perdarahan dari tempat implantasi plasenta

a. Hipotoni sampai atonia uteri

− Akibat anestesi

− Distensi berlebihan (gemeli,anak besar,hidramnion)

− Partus lama,partus kasep


− Partus presipitatus/partus terlalu cepat

− Persalinan karena induksi oksitosin

− Multiparitas

− Riwayat atonia sebelumnya

b. Sisa plasenta

− Kotiledon atau selaput ketuban tersisa

− Plasenta susenturiata

− Plasenta akreata, inkreata, perkreata.

• Perdarahan karena robekan

− Episiotomi yang melebar

− Robekan pada perinium, vagina dan serviks

− Ruptura uteri

• Gangguan koagulasi

− Trombofilia

− Sindrom HELLP

− Preeklampsi

− Solutio plasenta

− Kematian janin dalam kandungan

− Emboli air ketuban

Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir

biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya

disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus. Fundus

uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik.Sisa plasenta yang

tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir

apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa

selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri

dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada robekan rahim.Laserasi (robekan)

serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo.

Penilaian jumlah pendarahan pasca persalinan dapat dilihat dengan mengkaji

dan mencatat jumlah, tipe dan sisi perdarahan dengan menimbang dan menghitung

pembalut untuk memperkirakan kehilangan darah. Pembalut yang basah

keseluruhannya mengandung sekitar 100 ml darah. Satu gram peningkatan berat

pembalut sama dengan kurang lebih 1 ml kehilangan darah.Pemeriksaan fisik meliputi:

a. Nilai tanda-tanda syok: pucat, akral dingin, nadi cepat, tekanan darah rendah.

b. Nilai tanda-tanda vital: nadi > 100x/menit, pernafasan hiperpnea, tekanan

darah sistolik < 90 mmHg, suhu.

c. Pemeriksaan obstetrik:

- Perhatikan kontraksi, letak, dan konsistensi uterus


- Lakukan pemeriksaan dalam untuk menilaia danya: perdarahan, keutuhan

plasenta, tali pusat, dan robekan didaerah vagina.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah rutin: terutama untuk menilai kadar Hb < 8 gr%.

b. Pemeriksaan golongan darah.

c. Pemeriksaan waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah (untuk

menyingkirkan penyebab gangguan pembekuan darah).

Perdarahan post partum bukanlah suatu diagnosis akan tetapi suatu kejadian yang

harus dicari kausalnya:

- PPP karena atonia uteri

- PPP karena robekan jalan lahir

- PPP karena sisa plasenta

- Gangguan pembekuan darah.

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini:

No Gejala dan tanda Penyebab yang harus

dipikirkan
1. - Perdarahan segera setelah anak lahir Atonia Uteri

- Uterus tidak berkontraksi dan lembek


2. - Perdarahan segera Robekan Jalan Lahir

- Darah segar yang mengalir segera setelah

bayi lahir

3 - Plasenta belum lahir setelah 30 menit Retensio Plasenta

4. - Plasenta atau sebagian selaput (mengandung Sisa Plasenta

pembuluh darah) tidak lengkap

- Perdarahan dapat muncul 6-10 hari post

partum disertai subinvolusi uterus

5. - Perdarahan segera (Perdarahan intra Ruptura Uteri

abdominal dan dari atau pervaginam)

- Nyeri perut yang hebat

- Kontraksi yang hilang

6. - Fundus Uteri tidak teraba pada palpasi Inversio uteri

abdomen

- Lumen vagina terisi massa

- Nyeri ringan atau berat


7. - Perdarahan tidak berhenti, encer, tidak Gangguan pembekuan darah
terlihat gumpalan sederhana

- Kegagalan terbentuknya gumpalan pada uji

pembentukan darah sederhana

- Terdapat faktor predisposisi : solusio

placenta, kematian janin dalam uterus,

eklampsia, emboli air ketuban

Penatalaksanaan

Tatalaksana Awal

− Nilai sirkulasi, jalan napas, dan pernapasan pasien.

− Bila menemukan tanda-tanda syok, lakukan penatalaksanaan syok.


− Berikan oksigen.

− Pasang infus intravena dengan kanul berukuran besar (16 atau 18) dan mulai

pemberian cairan kristaloid (NaCl 0,9% atau Ringer Laktat atau Ringer Asetat)

sesuai dengan kondisi ibu.

Jumlah Cairan Infus Pengganti Berdasarkan Perkiraan Volume Kehilangan Darah

Penilaian Klinis Volume Perkiraan Jumlah


Tekana Frekuensi Perfu Perdara Kehilangan Darah Cairan Infus
n Darah Nadi si han (% (ml) (volume darah Kristaloid
Sistolik Akral dari maternal Pengganti (2-
(mmHg) volume 100ml/kgBB) 3 x Jumlah

total Kehilangan

darah) Darah)
120 80x/menit Hanga <10% <600 ml (asumsi -

t berat

badan 60 kg)
100 100x/menit Pucat ± 15% 900 ml 2000-3000 ml
<90 >120x/menit Dingi ± 30% 1800 ml 3500-5500 ml

n
<60-70 >140x/ menit Basah ± 50% 3000 ml 6000-9000 ml

sampai tak

teraba

− Lakukan pengawasan tekanan darah, nadi, dan pernapasan ibu.

− Periksa kondisi abdomen: kontraksi uterus, nyeri tekan, parut luka, dan tinggi

fundus uteri.

− Periksa jalan lahir dan area perineum untuk melihat perdarahan dan laserasi (jika

ada, misal: robekan serviks atau robekan vagina).

− Periksa kelengkapan plasenta dan selaput ketuban.

− Pasang kateter Folley untuk memantau volume urin dibandingkan dengan jumlah

cairan yang masuk. (CATATAN: produksi urin normal 0.5-1 ml/kgBB/jam atau

sekitar 30 ml/jam)
− Jika kadar Hb< 8 g/dl rujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis obsgin)

− Jika fasilitas tersedia, ambil sampel darah dan lakukan pemeriksaan: kadar

hemoglobin (pemeriksaan hematologi rutin) dan penggolongan ABO.

− Tentukan penyebab dari perdarahannya (lihat tabel penyebab di atas) dan lakukan

tatalaksana spesifik sesuai penyebab

Atonia Uteri

Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya tonus/kontraksi Rahim yang menyebabkan

uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat implantasi lasenta setelah

bayi dan plasenta lahir.

Perdarahan oleh karena atonia uteri dapat dicegah dengan:

1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita yang bersalin

karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan pascapersalinan akibat atonia

uteri.

2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 ug) segera setelah bayi lahir

Faktor predisposisinya adalah sebagai berikut:

− Regangan Rahim berlebihan karena kehamilan gemili, polihidramnion, atau

anak teralalu besar.

− Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep


− Kehamilan grande-multipara

− Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis, atau menderita penyakit

menahun.

− Mioma uteri yang mengganggu kontraksi rahim.

− Infeksi intrauterine (korioamnionitis)

− Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.

Penatalaksanaan

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan pasien. Pasien bisa

masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, sampai syok berat hipovolemik. Tindakan

pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan kliniknya.

− Lakukan pemijatan uterus.

− Pastikan plasenta lahir lengkap.

− Berikan 20-40 unit oksitosin dalam 1000 ml larutan NaCl 0,9%/ Ringer Laktat

dengan kecepatan 60 tetes/menit dan 10 unit IM.

− Lanjutkan infus oksitosin 20 unit dalam 1000 ml larutanNaCl 0,9%/Ringer Laktat

dengan kecepatan 40 tetes/menit hingga perdarahan berhenti.

Catatan :

Jangan berikan lebih dari 3 liter larutan intravena yang mengandung oksitosin.

Jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi berat/tidak terkontrol, penderita

sakit jantung dan penyakit pembuluh darah tepi.


− Bila tidak tersedia oksitosin atau bila perdarahan tidak berhenti, berikanergometrin

0,2 mg IM atau IV (lambat), dapat diikuti pemberian 0,2 mg IM setelah 15 menit,

danpemberian 0,2 mg IM/IV (lambat) setiap 4 jam bila diperlukan. JANGAN

BERIKAN LEBIH DARI 5 DOSIS (1 mg)

− Jika perdarahan berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus selama 1 menit,

dapat diulang setelah 30 menit).

− Lakukan pasang kondom kateter atau kompresi bimanual internal selama 5 menit.

− Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder sebagai antisipasi bila

perdarahan tidak berhenti.

Robekan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir pada persalinan dengan trauma.

Pertolongan persalinan yang semakin manipulative dan traumatik akan

memudahkan robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan

pada saat pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya karena
episiotomy, robekan spontan perineum, trauma forceps atau vakum ekstraksi, atau

karena versi ekstraksi.

Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomy, robekan

perineum spontan derajat ringan samai rupture perinei totalis (sfingter ani terputus),

robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra

dan bahkan, yang terberat rupture uteri. Oleh karena itu, pada setiap persalinan

hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari kemungkinan adanya

robekan ini. Perdarahan yang terjadi saat kontraksi uterus baik, biasanya karena ada

robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan

inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan menggunakan speculum untuk

mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah yang merah segar dan pulsasif

sesuai dengan denyut nadi. Perdarahan karena rupture uteri dapat diduga pada

persalinan macet atau kasep, atau uterus dangan lokus minoris resistensia dan

adanya atonia uteri dan tanda cairan bebas intraabdominal. Semua sumber

perdarahan yang terbuka harus di klem, diikat dan luka ditutup dengan jahitan cat-

gut lapis demi lapis sampai perdarahan berhenti.

Teknik penjahitan memerlukan asisten, anestasi local, penerangan lampu

yang cukup serta speculum dan memperhatikan kedalam luka. Bila penderita

kesakitan dan tidak kooperatif, perlu mengundang sejawat anestesi untuk

ketenangan dan keaamanan saat melakukan hemostasis.

Penatalaksanaan
Ruptura Perineum dan Robekan Dinding Vagina

− Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi sumber perdarahan.

− Lakukan irigasi pada tempat luka dan bersihkan dengan antiseptik.

− Hentikan sumber perdarahan dengan klem kemudian ikat dengan benang

yang dapat diserap.

− Lakukan penjahitan

− Bila perdarahan masih berlanjut, berikan 1 g asam traneksamat IV (bolus

selama 1 menit, dapat diulang setelah 30 menit).

Robekan Serviks

− Paling sering terjadi pada bagian lateral bawah kiri dan kanan dari Porsio

− Siapkan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder


PERSALINAN PRETERM

Definisi

Diagnosis PPI dibuat jika pasien dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu

mengalami kontraksi yang teratur, setidaknya sekali setiap 10 menit, yang dapat

berhubungan dengan dilatasi dan/atau penipisan dari serviks. Pendapat lain mengatakan PPI

adalah persalinan yang berlangsung pada usia kehamilan 20-37 minggu dihitung dari hari

pertama haid terakhir (ACOG 1995). Namun, batas bawah usia kehamilan yang digunakan

untuk membedakan PPI dengan abortus spontan bervariasi menurut lokasi. Himpunan

Kedokteran Fetomaternal POGI di Semarang tahun 2005 menetapkan bahwa PPI adalah

persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22-37 minggu.

Menurut Wibowo (1997) yang mengutip pendapat Herron,dkk., persalinan prematur

adalah kontraksi uterus yang teratur setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum 37 minggu ,

dengan interval kontraksi 5 hingga 8 menit atau kurang dan disertai dengan satu atau lebih

tanda berikut:

(1) perubahan serviks yang progresif

(2) dilatasi serviks 2 sentimeter atau lebih

(3) penipisan serviks 80 persen atau lebih.

Firmansyah (2006) mengatakan  partus prematur adalah kelahiran bayi  pada saat masa

kehamilan kurang dari 259 hari dihitung dari hari terakhir haid ibu. Menurut Mochtar

(1998) partus prematurus yaitu persalinan pada kehamilan 28 sampai 37 minggu, berat

badan lahir 1000 sampai 2500 gram.


Partus prematurus adalah persalinan pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu

atau berat badan lahir antara 500 sampai 2499 gram (Sastrawinata, 2003).Menurut

Manuaba (1998) partus prematurus adalah persalinan yang terjadi di bawah umur

kehamilan 37 minggu dengan perkiraan berat janin kurang dari 2.500 gram. Menurut

WHO, bayi prematur adalah bayi lahir hidup sebelum usia kehamilan minggu ke 37

(dihitung dari pertama haid terakhir).

Dari beberapa pengertian partus prematurus diatas dapat disimpulkan bahwa partus

prematurus iminen adalah adanya suatu ancaman pada kehamilan dimana akan timbul

persalinan pada umur kehamilan yang belum aterm (28 sampai 37 minggu) atau berat

badan lahir kurang dari 2500 gram.

Epidemiologi

Pemicu obstetri yang mengarah pada PPI antara lain: (1) persalinan atas indikasi ibu

ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea; (2) PPI spontan

dengan selaput amnion utuh; dan (3) PPI dengan ketuban pecah dini, terlepas apakah

akhirnya dilahirkan pervaginam atau melalui seksio sesarea. Sekitar 30-35% dari PPI

berdasarkan indikasi, 40-45% PPI terjadi secara spontan dengan selaput amnion utuh, dan

25-30% PPI yang didahului ketuban pecah dini.

Konstribusi penyebab PPI berbeda berdasarkan kelompok etnis. PPI pada wanita kulit putih

lebih umum merupakan PPI spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita

kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. PPI juga bisa dibagi

menurut usia kehamilan: sekitar 5% PPI terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu

(extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe
prematurity), sekitar 20% pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan

60-70% pada usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi

peningkatan angka kejadian PPI, yang sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya

jumlah kelahiran preterm atas indikasi.

Etiologi

Saat ini, telah diketahui bahwa penyebab PPI multifaktorial dan sesuai dengan usia

kehamilan. Diantaranya ialah:

1. Perdarahan desidua (misalnya abrupsi),

2. Distensi berlebih uterus (misalnya, pada kehamilan multipel atau polihidramnion),

3. Inkompetensi serviks (misalnya, trauma dan cone biopsy),

4. Distorsi uterus (misalnya, kelainan duktus Mullerian atau fibroid uterus),

5. Radang leher rahim (misalnya, akibat vaginosis bakterialis atau trikomonas),

6. Demam/inflamasi maternal (misalnya akibat infeksi asenden dari traktus

genitourinaria atau infeksi sistemik),

7. Perubahan hormonal, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal, baik

pada ibu maupun janin (misalnya, karena stres pada ibu atau janin), dan

8. Insufisiensi uteroplasenta (misalnya, hipertensi, diabetes tipe I, penyalahgunaan obat,

merokok, atau konsumsi alkohol).

Faktor Risiko

Berikut beberapa faktor risiko terjadinya PPI:

Faktor risiko mayor


1. Kehamilan multipel

2. Polihidramnion

3. Anomali uterus

4. Dilatasi serviks > 2 cm pada kehamilan 32 minggu

5. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester kedua

6. Riwayat PPI sebelumnya

7. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop electrosurgical

excision procedure)

8. Penggunaan cocaine atau amphetamine

9. Serviks mendatar/memendek kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu

10. Operasi besar pada abdomen setelah trimester pertama.

Faktor risiko minor

1. Perdarahan pervaginam setelah kehamilan 12 minggu

2. Riwayat pielonefritis

3. Merokok lebih dari 10 batang perhari

4. Riwayat abortus satu kali pada trimester kedua

5. Riwayat abortus > 2 kali pada trimester pertama.

Pasien tergolong risiko tinggi bila dijumpai satu atau lebih faktor risiko mayor; atau dua

atau lebih faktor risiko minor; atau keduanya.

Sedangkan menurut Manuaba (1998), faktor predisposisi partus prematurus adalah

sebagai berikut:
a.  Faktor ibu

Gizi saat hamil kurang, umur kurang dari 20 tahun atau diatas 35 tahun, jarak hamil

dan bersalin terlalu dekat, penyakit menahun ibu seperti; hipertensi, jantung, ganguan

pembuluh darah (perokok), faktor pekerjaan yang terlalu berat.

b.  Faktor  kehamilan

Hamil dengan hidramnion, hamil ganda, perdarahan antepartum, komplikasi hamil

seperti pre eklampsi dan eklampsi, ketuban pecah dini.

c.  Faktor janin

Cacat bawaan, infeksi dalam rahim

Disamping faktor risiko di atas, faktor risiko lain yang perlu diperhatikan adalah

tingkat sosio-biologi (seperti usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang

rendah, ras, stres lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (seperti infeksi maternal,

preeklamsia-eklamsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui bantuan

medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal). Merupakan langkah penting

dalam pencegahan PPI adalah bagaimana mengidentifikasi faktor risiko dan kemudian

memberikan asuhan prenatal serta penyuluhan agar ibu dapat mengurangi risiko tambahan.

Mekanisme Persalinan Prematur Akibat Infeksi

Data dari penelitian pada hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan

gambaran yang konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan persalinan prematur

spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua, menyebabkan pelepasan

endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan membran janin untuk menghasilkan
sejumlah sitokin, termasuk including tumor necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1ß,

interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya,

cytokines, endotoxins, dan exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan

juga mengawali chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang

kontraksi uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang

menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks

dan melembutkannya.

Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai contoh,

prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi prostaglandin yang

dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai miometrium dan menyebabkan

kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan

peningkatan kuantitas prostaglandin untuk mencapai miometrium.

Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan janin itu

sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-releasing hormone

menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang kemudian meningkatkan

produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang tinggi menyebabkan meningkatnya

produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin

fetus meningkat dan waktu untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif

kompartemen maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui.
Gambar 2.5 Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan prematur

Perdarahan desidua (Decidual hemorrhage/thrombosis)

Perdarahan desidua dapat menyebabkan PPI. Lesi vaskular dari plasenta biasanya

dihubungkan dengan PPI dan ketuban pecah dini. Lesi plasenta dilaporkan 34% dari

wanita dengan PPI, 35% dari wanita dengan ketuban pecah dini, dan 12% kelahiran term

tanpa komplikasi. Lesi ini dapat dikarakteristikan sebagai kegagalan dari transformasi

fisiologi dari arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan

mekanisme yang menghubungkan lesi vaskular dengan PPI ialah iskemi uteroplasenta.

Meskipun patofisiologinya belum jelas, namum trombin diperkirakan memainkan peran

utama.
Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease

multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskular, intestinal, dan otot halus

miometrium. Trombin menstimulasi peningkatan kontraksi otot polos longitudinal

miometrium, secara in vitro. Baru-baru ini, observasi in vitro mengenai trombin dan

kontraksi miometrium yang diperkuat oleh penelitian in vivo menunjukan bahwa kontraksi

miometrium secara signifikan menurun dengan pemberian heparin yang diketahui

merupakan inhibitor trombin. Penelitian in vitro dan in vivo memberikan penjelasan

kemungkinan mekanik mengenai peningkatan aktivitas uterus secara klinis yang diamati

pada abrupsi plasenta serta PPI yang mengikuti perdarahan pada trimester pertama dan

kedua.

Mungkin juga terdapat hubungan antara trombin dan ketuban pecah dini. Matrix

metaloproteinase (MMPs) memecah matriks ekstraseluler dari membran janin dan

choriodesidua, serta terlibat terhadap KPD, seperti dibahas di bawah ini. Secara in vitro,

trombin meningkatkan ekspresi protein MMP-1, MMP-3, dan MMP-9 pada sel-sel desidua

dan membran janin yang dikumpulkan dari kehamilan term tanpa komplikasi. Trombin juga

menimbulkan peningkatan IL-8 desidua, sebuah sitokin yang bertanggung jawab terhadap

recruitment neutrofil. Abrupsi plasenta terbuka, sebuah contoh ekstrim dari perdarahan

desidua, ditandai infiltrasi neutrofil pada desidua, sumber yang kaya protease dan MMPs.

Ini mungkin melengkapi mekanisme ketuban pecah dini (KPD) pada perdarahan desidua.

Distensi uterus yang berlebihan (uterine overdistension)


Distensi uterus yang berlebihan memainkan peranan kunci dalam memulai PPI yang

berhubungan dengan kehamilan multipel, polihidramnion, dan makrosomia. Kehamilan

multipel, sering disebabkan oleh reproduksi yang dibantu oleh tekhnologi (assisted

reproduction technologies (ART)), termasuk induksi ovulasi dan fertilisasi in vitro, dan

merupakan satu dari penyebab yang paling penting dari PPI di negara-negara maju. Di

Amerika Serikat misalnya, ART merupakan 1% dari semua kelahiran hidup, tetapi 17%

dari semua kehamilan multipel; 53% neonatus hasil dari ART pada tahun 2003 merupakan

anak kembar. Mekanisme dari distensi uterus yang berlebihan hingga menyebabkan PPI

masih belum jelas. Namun diketahui, peregangan rahim akan menginduksi ekspresi protein

gap junction, seperti connexin-43 (CX-43) dan CX-26, serta menginduksi protein lainnya

yang berhubungan dengan kontraksi, seperti reseptor oksitosin. Pada penelitian in vitro,

regangan miometrium juga meningkatkan prostaglandin H synthase 2 (PGHS-2) dan

prostaglandin E (PGE). Regangan otot pada segmen menunjukan peningkatan produksi IL-

8 dan kolagen, yang pada gilirannya akan memfasilitasi pematangan serviks. Namun,

penelitian eksperimental pada hewan mengenai uterine overdistension hingga saat ini

belum ada, dan penelitian pada manusia sepenuhnya hanya berdasarkan observasi.

Insufisiensi serviks

Insufisiensi serviks secara tradisi dihubungkan dengan pregnancy losses pada

trimester kedua, tetapi baru-baru ini bukti menunjukan bahwa gangguan pada serviks

berhubungan dengan outcomes kehamilan yang merugikan dengan variasi yang cukup luas,

termasuk PPI. Insufisiensi serviks secara tradisi telah diidentifikasi di antara wanita dengan
riwayat pregnancy losses berulang pada trimester kedua, tanpa adanya kontraksi uterus.

Terdapat lima penyebab yang diakui atau dapat diterima, yaitu: (1) kelainan bawaan; (2) in-

utero diethylstilbestrol exposure; (3) hilangnya jaringan dari serviks akibat prosedur operasi

seperti Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP) atau conization; (4) kerusakan

yang bersifat traumatis; dan (5) infeksi.

Secara tradisi, wanita dengan riwayat insufisiensi serviks akan disarankan cervical

cerclage pada awal kehamilan. Namun, kemungkinan besar, kebanyakan kasus insufisiensi

serviks merupakan rangkaian remodeling jaringan dan pemendekan serviks prematur dari

proses patofisiologi lainnya yang mana cerclage mungkin tidak selalu tepat dan lebih baik

diprediksi oleh panjang serviks yang ditentukan menggunakan ultrasonografi transvaginal.

Panjang serviks yang diukur dengan menggunakan ultrasonografi transvaginal berbanding

terbalik dengan risiko PPI. Selanjutnya, terdapat hubungan antara panjang serviks dari

kehamilan sebelumnya yang mengakibatkan PPI dengan panjang serviks pada kehamilan

berikutnya, tetapi tidak ada hubungannya antara riwayat obstetri dari insufisiens serviks dan

panjang serviks pada kehamilan berikutnya.

Data ini menunjukan bahwa insufisiensi serviks jarang terjadi, dan pemendekan

serviks lebih sering terjadi sebagai konsekuensi dari remodeling serviks prematur, hasil dari

proses patologis. Infeksi dan inflamasi mungkin memainkan peranan penting dalam

pemendekan dan dilatasi serviks prematur. Lima puluh persen dari pasien dievaluasi

dengan amniosintesis sehubungan dengan dilatasi serviks asimptomatik pada trimester

kedua, dan 9% dari pasien memiliki panjang serviks < 25 mm tetapi tanpa dilatasi serviks
terbukti mengalami infeksi intraamnion. Data ini menunjukan suatu peranan penting infeksi

intraamnion yang menyebar secara ascending.

Selain berhubungan dengan beberapa hal di atas, risiko PPI juga meningkat pada

perokok. Mekanisme meningkatnya risiko PPI pada wanita yang merokok sampai saat ini

belum jelas. Terdapat lebih dari 3000 bahan kimia dalam batang rokok, yang masing-

masing efek biologisnya sebagian besar tidak diketahui. Namun, baik nikotin dan karbon

monoksida merupakan vasokonstriktor yang kuat dan dihubungkan dengan kerusakan

plasenta serta menurunnya aliran darah uteroplasenta. Kedua jalur tersebut mengarah pada

terhambatnya pertumbuhan janin dan PPI.

Lingkungan intrauterine yang buruk, seperti saat terganggunya aliran darah

uteroplasenta atau kondisi hipoksemia janin akan mengaktivasi aksis hypothalamic–

pituitary–adrenal (HPA) janin, yang ditunjukkan dengan peningkatan corticotrophin-

releasing hormone (CRH) oleh hipotalamus, yang kemudian memacu sekresi

adrenocorticotrophic hormone (ACTH) oleh hipofisis anterior. ACTH pada gilirannya akan

menyebabkan peningkatan sekresi kortisol dari korteks adrenal. Kortisol kemudian

meningkatkan ekspresi PGHS-2 (prostaglandin H synthase), dan menghambat aktivasi

PGDH (15-OH prostaglandin dehydrogenase).

Selain itu, merokok juga dihubungkan dengan respon inflammasi sistemik yang juga

dianggap dapat meningkatkan risiko PPI, melalui peningkatan produksi sitokin.

1. Identifikasi Wanita yang Berisiko Mengalami PPI


Cara utama untuk mengurangi risiko PPI dapat dilakukan sejak awal, sebelum tanda-

tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan pasien yang berisiko, untuk diberi

penjelasan dan dilakukan penilaian klinik terhadap PPI serta pengenalan kontraksi sedini

mungkin, sehingga tindakan pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks tidak

lazim dilakukan pada kunjungan antenatal, padahal sebenarnya pemeriksaan tersebut

mempunyai manfaat yang cukup besar dalam meramalkan terjadinya PPI. Bila dijumpai

seviks pendek (< 1 cm) disertai dengan pembukaan yang merupakan tanda serviks

matang/inkompetensi serviks, maka pasien tersebut mempunyai risiko terjadinya PPI 3-4

kali.

Berikut beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi wanita yang

berisiko mengalami PPI:

Skoring risiko

Metode skoring risiko ini dirancang oleh Papiernik dan dimodifikasi oleh Creasly

dkk. Pada metode ini, diberikan skor 1 sampai 10 untuk berbagai macam faktor risiko,

antara lain sosioekonomi, riwayat obstetri, kebiasaan hidup, serta penyulit kehamilan yang

dihadapi saat ini. Wanita dengan skor 10 atau lebih dianggap berisiko tinggi mengalami

PPI. Meskipun Creasy dkk. serta Covington dkk. melaporkan bahwa dengan metode

skoring yang disertai program pencegahan dengan penyuluhan, akan memberikan hasil

yang baik. Pada prakteknya, penerapan metode ini belum terbukti berguna. Dan karena

metode ini sangat bergantung dengan riwayat obstetri sebelumnya, maka metode ini tidak

sesuai untuk nulipara. Oleh karena itu, metode ini tidak menawarkan keuntungan lebih dari

penilaian klinis lainnya, dan tidak dapat direkomendasikan.


Uji kontraksi uterus ambulatorik atau Home uterine activity monitoring

Metode ini didasarkan pada prinsip tokodinamometer, yang dicobakan pada wanita

yang berisiko mengalami PPI. Metode ini melibatkan pencatatan telematika dari kontraksi

rahim, dengan menggunakan alat sensor kontraksi yang diikatkan disekitar abdomen, dan

dihubungkan dengan sebuah perekam elektronik kecil yang dipasang dipinggang, kemudian

hasil aktivitas uterus akan dihantarkan ke beberapa monitor senter. Dari hasil pemantauan

tersebut, para praktisi kesehatan akan memberikan saran serta dukungan setiap harinya

terhadap pasien tersebut melalui telepon.

Penelitian-penelitian terkini terus memperlihatkan bahwa pemantauan aktivitas uterus

di rumah tersebut tidak efektif dalam mencegah PPI, baik pada wanita yang berisiko rendah

atau wanita yang berisiko tinggi. Bahkan penggunaan metode ini akan meningkatkan

kunjungan diluar jadwal asuhan prenatal yang dianjurkan serta menyebabkan peningkatan

yang signifikan terhadap terapi obat tokolisis profilaktik pada wanita hamil. Selain itu

metode ini membutuhkan biaya yang cukup besar dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,

metode ini tidak direkomendasikan pada praktek klinis rutin.

Estriol saliva

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara peningkatan konsentrasi

estriol saliva ibu dengan kelahiran preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian

mengenai fisiologi proses persalinan, yang menunjukan peranan aksis hipotalamo-pitutari-

adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol dari plasenta pada

saat dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari
aksis HPA pada PPI akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan saliva ibu, dan ini

dapat menjadi perediktor dimulainya PPI. Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol akan

dimulai sejak 3 minggu sebelum dimulainya persalinan pada wanita yang mengalami PPI

atau aterm. Tingkat estriol saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu, dan

estriol saliva digunakan untuk menilai risiko PPI dengan atau tanpa gejala.

Dua penelitian prospektif menunjukan bahwa estriol saliva lebih efektif dalam

memprediksi PPI dibandingkan metode skoring risiko. Namun, tes ini mempunyai

sensitivitas dan spesifisitas yang sangat buruk, dan memiliki tingkat positif palsu yang

sangat tinggi, yang dapat meningkatkan biaya perawatan kehamilan karena intervensi yang

tidak perlu. Tingkat estriol saliva dapat diukur secara akurat dengan menggunakan

radioimmunoassay. Heine dkk. menunjukan bahwa tingkat estriol saliva

positif satu (≥ 2,1 ng/ml) dapat memprediksikan suatu

peningkatan risiko PPI 3-4 kali lipat pada wanita dengan resiko

rendah maupun tinggi. Jika dua kali secara berturut-turut hasil

tes positif, ini menunjukan peningkatan akurasi prediksi yang

signifikan, tetapi masih memiliki sedikit penurunan sensitivitas.

Tes estriol saliva menunjukan beberapa keunggulan yaitu

merupakan tindakan yang tidak invasif, sampel saliva yang mudah

didapatkan, dan dapat memberikan hasil positif beberapa minggu

sebelum dimulainya persalinan.1 Namun, adanya variasi diurnal dari tingkat

estriol saliva ibu, serta pemberian betametason untuk produksi surfaktan yang dapat
menekan tingkat estriol saliva ibu, dapat mempersulit interpretasi hasil. Masih dibutuhkan

penelitian lebih lanjut mengenai intervensi dan pengobatan yang potensial pada wanita

dengan peningkatan kadar estriol saliva yang tinggi, sebelum penggunaannya

direkomendasikan secara luas pada populasi obtetrik.

Skrining bacterial vaginosis (BV)

Vaginosis bakterialis telah lama dikaitkan dengan PPI spontan, ketuban pecah dini,

infeksi korion dan amnion, serta infeksi cairan amnion. Platz-Christense dkk. (1993) telah

memberikan beberapa bukti bahwa vaginosis bakterialis dapat mencetuskan PPI dengan

suatu mekanisme yang serupa dengan jalur jaringan sitokin yang diusulkan untuk bakteri

cairan amnion. Banyak penelitian klinis secara konsisten menemukan bahwa wanita dengan

vaginosis bakterialis pada kehamilannya, memiliki risiko mengalami PPI yang meningkat 2

kali lipat.1Diagnosis vaginosis bakterialis ditegakan jika memenuhi 3 dari 4 kriteria berikut

ini:

1. pH vagina > 4,5

2. adanya “clue cells” (sel epitel vagina yang terlapis tebal oleh basil) pada pewarnaan

gram

3. adanya duh vagina homogen

4. bau amin bila sekresi vagina dicampur dengan kalium hidroksida.

Bukti terkini tidak mendukung skrining dan terapi pada semua wanita hamil yang

ditujukan untuk vaginosis bakterialis. Untuk wanita risiko tinggi dengan riwayat PPI

sebelumnya, skrining dan terapi vaginosis bakterialis dapat mencegah PPI pada sebagian
dari wanita. Namun, meta-analisis terbaru menunjukan banyak perbedaan diantara 6

penelitian mengenai hal ini, sehingga membatasi penarikan kesimpulan yang pasti. Telah

banyak hasil yang tidak meyakinkan dan tidak memberikan manfaat dari skrining vaginosis

bakterialis yang bertujuan untuk memprediksi PPI, terutama pada kelompok risiko rendah.

Skrining fibronektin janin atau fetal fibronectin (fFN)

Fibronektin adalah suatu glikoprotein yang diproduksi dalam 20 bentuk molekul yang

berbeda oleh berbagai jenis sel, termasuk hepatosit, sel ganas, fibroblast, sel endotel, dan

amnion janin. Glikoprotein ini terdapat dalam konsentrasi tinggi di darah ibu dan di cairan

amnion, serta dianggap memainkan peranan pada adhesi antarsel dalam kaitannya terhadap

implantasi serta dalam mempertahankan adhesi plasenta ke desidua. Fibronektin janin

diukur dengan menggunakan enzyme linked immunosorbent assay. Normalnya, fibronektin

janin terdeteksi pada sekret serviks sampai usia kehamilan 16-20 minggu. Pada kehamilan

24 minggu atau lebih, kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih dianggap sebagai hasil

positif dan mengindikasikan risiko PPI.

Lockwood dkk. (1991) yang melaporkan bahwa penemuan fibronektin janin pada

sekret servikovagina sebelum selaput amnion pecah dapat menjadi suatu pertanda adanya

ancaman PPI.Berdasarkan teori, peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks

dan cairan amnion memberikan indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion

dan desidua.

Fibronektin janin dapat dideteksi di dalam sekret servikovagina pada kehamilan

normal aterm dengan selaput amnion utuh, dan tampaknya memperlihatkan remodeling
stroma serviks sebelum persalinan. Cox dkk. (1996) menemukan bahwa dilatasi serviks

lebih bermakna untuk mendeteksi fibronektin daripada untuk meramalkan kelahiran

preterm. Namun demikan, banyak penelitian telah menunjukan adanya peningkatan risiko

PPI, jika fFN positif pada sekret serviks setelah usia kehamilan 24 minggu, dan sebaliknya

terdapat penurunan risiko jika didapatkan fFN negatif.

Spesifisitas dari tes fibronektin janin untuk memprediksi PPI dalam 1 dan 2 minggu

kemudian ialah 89%, sedangkan untuk memprediksi PPI dalam 3 minggu kemudian ialah

92%. Sensitivitas dari tes ini, dalam memprediksi dimulainya PPI dalam 1 minggu dan 3

minggu kemudian, masing-masing ialah 71% dan 59%.

Perlu diketahui, faktor-faktor lain seperti manipulasi serviks dan infeksi peripartum

dapat merangsang pelepasan fibronektin janin. Serupa dengan hal tersebut, Jackson dkk.

(1996) memperlihatkan bahwa sel amnion manusia in vitro menghasilkan fibronektin janin

bila dirangsang oleh produk-produk radang yang dicurigai mengawali PPI akibat infeksi.

Pengukuran panjang serviks

Serviks memerankan peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi

uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterine sampai persalinan, dan serviks

akan berdilatasi untuk memungkinkan bagian dari isi uterus untuk melintasinya selama

proses persalinan. Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan

komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensi serviks atau

dimulainya persalinan ialah terjadinya pemendekan dari serviks. Perhatian terhadap

penilaian panjang serviks menggunakan ultrasonografi sebagai prediktor PPI muncul


setelah Iams dkk. (1996) menentukan distribusi normal dari panjang serviks setelah umur

kehamilan 22 minggu. Hal ini kemudian diterima secara luas, bahwa panjang serviks

kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat meningkatkan risiko PPI.

Suatu penelitian prospektif yang melibatkan 2.915 wanita yang dievaluasi menggunakan

ultrasonografi pada serviks secara serial menunjukan suatu risiko relatif terhadap PPI ialah

9.57, 13.88, dan 24,94 untuk panjang seviks masing-masing < 26 mm, < 22 mm, < 13 mm,

pada usia kehamilan 28 minggu. Hasil dari beberapa penelitian yang menggunakan

penilaian panjang serviks sebagai prediktor PPI tidak selalu dapat dipercaya.terdapat variasi

yang luas pada nilai prediksinya. Sebuah tinjauan terhadap 35 penelitian yang melibatkan

penilaian panjang serviks menunjukan variasi yang sangat luas dalam sensitivitas (68-

100%) dan spesifisitas (44-79%). Oleh karena itu hingga saat ini tidak ada bukti kuat yang

mendukung penggunaan penilaian panjang serviks dengan menggunakan USG pada usia

kehamilan 24-28 minggu dalam memprediksi PPI sebagai pemeriksaan rutin. Namun, dapat

dilakukan pada kehamilan dengan risiko tinggi atau dalam kombinasi dengan test fFN.

Kombinasi penilaian fFN dengan ultrasonografi serviks

Penilaian panjang serviks yang disertai dengan estimasi fFN sekret vaginoserviks

pada wanita yang berisiko tinggi mengalami PPI mungkin bermanfaat. Suatu penelitian

yang menilai risiko terulangnya PPI spontan pada wanita yang memiliki riwayat PPI

sebelumnya melaporkan, risiko sebesar 65% jika panjang serviks kurang dari 25 mm dan

fFN positif. Namun, jika fFN negatif, risiko PPI hanya sebesar 25%. Seperti yang

ditunjukkan pada tabel di bawah, risiko terulangnya PPI pada wanita dengan panjang
serviks > 35 mm dan fFN negatif, hanya sebesar 7%. Oleh karena itu, kombinasi penilaian

panjang serviks dengan menggunakan USG, dan estimasi fFN dapat membantu

memprediksi terulangnya PPI pada wanita risiko tinggi.

Tabel 2.2 Kombinasi penilaian panjang serviks dan fibronektin janin dalam memprediksi

risiko terulangnya PPI

Risiko terulangnya PPI


Panjang serviks
fFN positif fFN negative
< 25 mm 65% 25%
25-35 mm 45% 14%
> 35 mm 25% 7%
Diagnosis

Sering terjadi kesulitan dalam menentukan diagnosis ancaman PPI. Diferensiasi dini

antara persalinan sebenarnya dan persalinan palsu sulit dilakukan sebelum adanya

pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri dapat menyesatkan karena ada

kontraksi Braxtons Hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur,

tidak ritmik, dan tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan

keraguan yang amat besar dalam penegakan diagnosis PPI. Tidak jarang, wanita yang

melahirkan sebelum aterm mempunyai aktivitas uterus yang mirip dengan kontraksi

Braxtons Hicks, yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu.

Beberapa kriteria dapat dipakai sebagai diagnosis ancaman PPI, yaitu:

1. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau antara 140 dan 259 hari,

2. Kontraksi uterus (his) teratur, yaitu kontraksi yang berulang sedikitnya setiap 7-8

menit sekali, atau 2-3 kali dalam waktu 10 menit,


3. Merasakan gejala seperti rasa kaku di perut menyerupai kaku menstruasi, rasa

tekanan intrapelvik dan nyeri pada punggung bawah (low back pain),

4. Mengeluarkan lendir pervaginam, mungkin bercampur darah,

5. Pemeriksaan dalam menunjukkan bahwa serviks telah mendatar 50-80%, atau telah

terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm,

6. Selaput amnion seringkali telah pecah,

7. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina isiadika.

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The American

Collage of Obstetricians and Gynecologists (1997) untuk mendiagnosis PPI ialah sebagai

berikut:

1. Kontraksi yang terjadi dengan frekuensi empat kali dalam 20 menit atau delapan kali

dalam 60 menit plus perubahan progresif pada serviks,

2. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm,

3. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung ketepatan diagnosis PPI :

1. Pemeriksaan Laboratorium: darah rutin, kimia darah, golongan ABO, faktor

rhesus, urinalisis, bakteriologi vagina, amniosentesis, gas dan PH darah janin.

2. USG untuk mengetahui usia gestasi, jumlah janin, besar janin, aktivitas biofisik,

cacat kongenital, letak dan maturasi plasenta,volume cairan tuba dan kelainan uterus

Penatalaksanaan
Hal pertama yang dipikirkan pada penatalaksanaan PPI ialah, apakah ini memang

PPI. Selanjutnya mencari penyebabnya dan menilai kesejahteraan janin yang dapat

dilakukan secara klinis, laboratoris, ataupun ultrasonografi, meliputi pertumbuhan/berat

janin, jumlah dan keadaan cairan amnion, persentasi dan keadaan janin/kelainan kongenital.

Bila proses PPI masih tetap berlangsung atau mengancam, meski telah dilakukan

segala upaya pencegahan, maka perlu dipertimbangkan:

1. Seberapa besar kemampuan klinik (dokter spesialis kebidanan, dokter spesialis

kesehatan anak, peralatan) untuk menjaga kehidupan bayi preterm, atau berapa persen

yang akan hidup menurut berat dan usia gestasi tertentu.

2. Bagaimana persalinan sebaiknya berakhir, pervaginam atau bedah sesaria.

3. Komplikasi apa yang akan timbul, misalnya perdarahan otak atau sindroma gawat

nafas.

4. Bagaimana pendapat pasien dan keluarga mengenai konsekuensi perawatan bayi

preterm dan kemungkinan hidup atau cacat.

5. Seberapa besar dana yang diperlukan untuk merawat bayi preterm, dengan rencana

perawatan intensif neonatus.

Ibu hamil yang mempunyai risiko mengalami PPI dan/atau menunjukan tanda-tanda

PPI perlu dilakukan intervensi untuk meningkatkan neonatal outcomes.

Manajemen PPI tergantung pada beberapa faktor, diantaranya:

1. Keadaan selaput ketuban. Pada umumnya persalinan tidak akan dihambat bilamana

selaput ketuban sudah pecah.


2. Pembukaan serviks. Persalinan akan sulit dicegah bila pembukaan mencapai 4 cm.

3. Umur kehamilan. Makin muda umur kehamilan, upaya mencegah persalinan makin

perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan berlangsung bila TBJ > 2000

gram, atau kehamilan > 34 minggu.

a. Usia kehamilan ≥34 minggu; dapat melahirkan di tingkat

dasar/primer, mengingat prognosis relative baik.

b. Usia kehamilan < 34 minggu; harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas

perawatan neonatus yang memadai.

4. Penyebab/komplikasi PPI.

5. Kemampuan neonatal intensive care facilities.

Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada PPI, terutama untuk mencegah

morbiditas dan mortalitas neonatus preterm ialah:

1. Menghambat proses persalian preterm dengan pemberian tokolisis,

2. Akselerasi pematangan fungsi paru janin dengan kortikosteroid,

3. Bila perlu dilakukan pencegahan terhadap infeksi dengan menggunakan antibiotik.

Tokolisis

Meski beberapa macam obat telah dipakai untuk menghambat persalinan, tidak ada

yang benar-benar efektif. Namun, pemberian tokolisis masih perlu dipertimbangkan bila

dijumpai kontraksi uterus yang regular disertai perubahan serviks pada kehamilan preterm.

Alasan pemberian tokolisis pada persalianan preterm ialah:

1. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur


2. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan paru

janin

3. Memberi kesempatan transfer intrauterine pada fasilitas yang lebih lengkap

4. Optimalisasi personil.

Beberapa macam obat yang digunakan sebagai tokolisis, antara lain:

1. Kalsium antagonis: nifedipin 10 mg/oral diulang 2-3 kali/jam, dilanjutkan tiap 8 jam

sampai kontraksi hilang, maksimum 40 mg/6 jam. Umumnya hanya diperlukan 20

mg. Obat dapat diberikan lagi jika timbul kontaksi berulang.Dan dosis perawatan

3x10 mg.

2. Obat ß-mimetik: seperti terbutalin, ritrodin, isoksuprin, dan salbutamol dapat

digunakan, tetapi nifedipin mempunyai efek samping yang lebih kecil.

Salbutamol, dengan dosis per infus: 20-50 µg/menit, sedangkan per oral: 4 mg, 2-4

kali/hari (maintenance) atau terbutalin, dengan dosis per infus: 10-15 µg/menit,

subkutan: 250 µg setiap 6 jam sedangkan dosis per oral: 5-7.5 mg setiap 8 jam

(maintenance). Efek samping dari golongan obat ini ialah: hiperglikemia,

hipokalemia, hipotensi, takikardia, iskemi miokardial, edema paru.

3. Sulfas magnesikus: dosis perinteral sulfas magnesikus ialah 4-6 gr/iv, secara bolus

selama 20-30 menit, dan infus 2-4gr/jam (maintenance). Namun obat ini jarang

digunakan karena efek samping yang dapat ditimbulkannya pada ibu ataupun janin. 7

Beberapa efek sampingnya ialah edema paru, letargi, nyeri dada, dan depresi

pernafasan (pada ibu dan bayi).


4. Penghambat produksi prostaglandin: indometasin, sulindac, nimesulide dapat

menghambat produksi prostaglandin dengan menghambat cyclooxygenases (COXs)

yang dibutuhkan untuk produksi prostaglandin. Indometasin merupakan penghambat

COX yang cukup kuat, namun menimbulkan risiko kardiovaskular pada janin.

Sulindac memiliki efek samping yang lebih kecil daripada indometasin. Sedangkan

nimesulide saat ini hanya tersedia dalam konteks percobaan klinis.

5. Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi obat

tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap obat-obat

tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek samping

terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru pada golongan

obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik di Eropa. Atosiban

menghasilkan efek tokolitik dengan melekat secara kompetitif dan memblok reseptor

oksitosin. Dosis awal 6,75mg bolus dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam

per infus, kemudian 6mg/jam selama 45 jam.

Untuk menghambat proses PPI, selain tokolisis, pasien juga perlu membatasi aktivitas

atau tirah baring serta menghindari aktivitas seksual.

Kontraindikasi relatif penggunaan tokolisis ialah ketika lingkungan intrauterine

terbukti tidak baik, seperti:

i. Oligohidramnion

ii. Korioamnionitis berat pada ketuban pecah dini


iii. Preeklamsia berat

iv. Hasil nonstrees test tidak reaktif

v. Hasil contraction stress test positif

vi. Perdarahan pervaginam dengan abrupsi plasenta, kecuali keadaan pasien

stabil dan kesejahteraan janin baik

vii. Kematian janin atau anomali janin yang mematikan

viii. Terjadinya efek samping yang serius selama penggunaan beta-mimetik.

Akselerasi pematangan fungsi paru

Pemberian terapi kortikosteroid dimaksudkan untuk pematangan surfaktan paru janin,

menurunkan risiko respiratory distress syndrome(RDS), mencegah perdarahan

intraventrikular, necrotising enterocolitis, dan duktus arteriosus, yang akhirnya

menurunkan kematian neonatus. Kortikosteroid perlu diberikan bilamana usia kehamilan

kurang dari 35 minggu.

Obat yang diberikan ialah deksametason atau betametason. Pemberian steroid ini

tidak diulang karena risiko pertumbuhan janin terhambat. Pemberian siklus tunggal

kortikosteroid ialah:

1. Betametason 2 x 12 mg i.m. dengan jarak pemberian 24 jam.

2. Deksametason 4 x 6 mg i.m. dengan jarak pemberian 12 jam.

Selain yang disebutkan di atas, juga dapat diberikan Thyrotropin releasing hormone

400 ug iv, yang akan meningkatkan kadar tri-iodothyronine yang kemudian dapat
meningkatkan produksi surfaktan. Ataupun pemberian suplemen inositol, karena inositol

merupakan komponen membran fosfolipid yang berperan dalam pembentukan surfaktan.

Antibiotika

Mercer dan Arheart (1995) menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang tepat

dapat menurunkan angka kejadian korioamnionitis dan sepsis neonatorum. 9 Antibiotika

hanya diberikan bilamana kehamilan mengandung risiko terjadinya infeksi, seperti pada

kasus KPD. Obat diberikan per oral, yang dianjurkan ialah eritromisin 3 x 500 mg selama 3

hari. Obat pilihan lainnya ialah ampisilin 3 x 500 mg selama 3 hari, atau dapat

menggunakan antibiotika lain seperti klindamisin. Tidak dianjurkan pemberian ko-

amoksiklaf karena risiko necrotising enterocolitis.7

Peneliti lain memberikan antibiotika kombinasi untuk kuman aerob maupun anaerob.

Yang terbaik bila sesuai dengan kultur dan tes sensitivitas kuman. Setelah itu dilakukan

deteksi dan penanganan terhadap faktor risiko PPI, bila tidak ada kontra indikasi, diberi

tokolisis.
Cara Persalinan

Masih sering muncul kontroversi dalam cara persalinan kurang bulan seperti:

apakah sebaiknya persalinan berlangsung pervaginam atau seksio sesarea terutama pada

berat janin yang sangat rendah dan preterm sungsang, pemakaian forseps untuk melindungi

kepala janin, dan apakah ada manfaatnya dilakukan episiotomi profilaksis yang luas untuk

mengurangi trauma kepala. Bila janin presentasi kepala maka diperbolehkan partus

pervaginam dengan episiotomi lebar dan perlindungan forseps terutama pada bayi < 35

minggu.

Seksio sesarea tidak memberikan prognosis yang lebih baik bagi bayi, bahkan

merugikan ibu. Oleh karena itu prematuritas janganlah dipakai sebagai indikasi untuk

melakukan seksio sesarea. Seksio sesarea hanya dilakukan atas indikasi obstetrik.

Indikasi seksio sesarea:

1. Janin sungsang

2. Taksiran berat badan janin kurang dari 1500 gram (masih kontroversial)

3. Gawat janin

4. Infeksi intrapartum dengan takikardi janin, gerakan janin melemah,

oligohidramnion, dan cairan amnion berbau.

5. Bila syarat pervaginam tidak terpenuhi

6. Kontraindikasi partus pervaginam lain (letak lintang, plasenta previa, dan

sebagainya)

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham M.D, et all. 2005. Preterm Birth. In: Williams Obstetrics. 23nd

ed.McGraw- Hill.

Goepfert A.R. 2001. Preterm Delivery. In: Obstetrics and Gynecology Principle

for Practise. McGraw-Hill.

Hariadi, R. 2004. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Surabaya : Himpunan Kedokteran

Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.

Iams J.D. 2004. Preterm Labor and Delivery. In: Maternal-Fetal Medicine. 5 th

ed.Saunders.

Jafferson Rompas. 2004.http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/145-

11Persalinanpreterm.pdf/145.30

Joseph HK, dkk. 2010. Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (obsgyn). Yogyakarta :

Nuha Medika.

Manuaba, IBG. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : EGC.

Medlinux. 2007.http://medlinux.blogspot.com/2007/11/ruptur membran - pre-

persalinan.html 

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

Oxorn Harry, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan (Human

Labor and Birth). Yogyakarta : YEM.

Varney, H. 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Edisi 4 Volume 2. Jakarta : EGC.
Wiknjosastro, H. 2007. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo.

Wiknjosastro, H. 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, Sarwono

Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai