Anda di halaman 1dari 36

BAB 1

PENDAHULUAN

Preeklampsia
merupakan kondisi spesifik dan komplikasi mayor kehamilan

yang biasanya terjadi setelah usia 20 minggu kehamilan. PE adalah penyakit

dengan tanda-tanda hipertensi, proteinuria dan edema yang timbul karena

kehamilan, dan belum diketahui penyebabnya.

Preeklampsia masih merupakan permasalahan obstetri yang tidak dapat

diselesaikan sepenuhnya. Preeklampsia terjadi sekitar 1.8-16.7% dari kehamilan,

bervariasi di tiap negara. PE mengenai 3-7% wanita hamil yang menjadi

penyebab morbiditas dan mortalitas (20-80%) terutama pada negara

berkembang. Sedangkan di negara maju, PE mempunyai efek besar pada fetus

dan neonatus. Ibu dengan PE mempunyai risiko kematian janin perinatal 5 kali

lipat lebih besar dibandingkan dengan ibu non-PE. Di Indonesia sendiri, PE dan

eklampsia menjadi salah satu penyebab utama kematian ibu dan penyebab

kematian perinatal yang tinggi setelah perdarahan.

Pada keadaan khusus, preeklampsia juga didapati pada kelainan

perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit). Meskipun patofisiologi

preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda perkembangan ini tampak

pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa pathologic hallmark adalah suatu

kegagalan total atau parsial dari fase kedua invasi trofoblas saat kehamilan 16-20

minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan normal bertanggung jawab dalam

1
invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis. Seiring dengan kemajuan

kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin meningkat. Bagaimanapun,

karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri spiralis tidak dapat

berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin meningkat tersebut,

hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis sebagai

preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau kembali.

Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik

preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai

suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya

normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300

mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan

onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan

bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Preeklampsia

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi

sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia

ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria pada usia kehamilan

diatas 20 minggu. Edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena

sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal. (POGI, 2016).

Preeklampsia mempunyai gambaran klinik bervariasi dan komplikasinya

sangat berbahaya pada saat kehamilan, persalinan dan masa nifas. Gambaran

klinis yang utama dan harus terpenuhi adalah terdapatnya hipertensi dan

proteinuria, karena organ target yang utama terpengaruhi adalah ginjal

(glomerular endoteliosis). Patogenesisnya sangat kompleks, dipengaruhi oleh

genetik, imunologi, dan interaksi faktor lingkungan (Pribadi, A., et al, 2015)

2.2 Epidemiologi Dan Faktor Resiko

Terdapat lebih dari 4 juta wanita hamil mengalami preeklampsia setiap

tahun. Dan setiap tahun,diperkirakan sebanyak 50.000 sampai 70.000 wanita

meninggal karena preeklampsia serta 500.000 bayi meninggal. Preeklampsia

3
merupakan penyebab 15 -20% kematian wanita hamil di seluruh dunia serta

penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada janin (Raghupathy, 2013).

Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10%, sedangkan di

Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia sebanyak 5%. Di

Indonesia, preeklampsia merupakan penyebab kematian ibu yang tinggi

disamping pendarahan dan infeksi, yaitu perdarahan mencapai 28%,

preeklampsia sebesar 24%, infeksi sebesar 11%, komplikasi peuperium sebesar

8%, partus lama sebesar 5%, dan abortus sebanyak 5% (Depkes RI, 2012).

Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya

preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang

mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi

(Myrtha,2015):

a. Usia

Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.

Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada

wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.

b. Paritas

Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida

tua risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.

c. Faktor Genetik

Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor

risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive trait),

yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa preeklampsia

4
merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering ditemukan pada

anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai riwayat

preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.

d. Diet/gizi

Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).

Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang

tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.

e.Tingkah laku/sosioekonomi

Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun

merokok selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin

terhambat yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring

yang cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam

kehamilan.

f. Hiperplasentosis

Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,

dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

g. Mola hidatidosa

Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada

kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan

muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada

preeklampsia.

h. Obesitas

5
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya

preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada wanita

dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita dengan

Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.

i. Kehamilan multiple

Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan

ganda dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian

ibu karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor

penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan

Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat

mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2

(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

2.3 Etiologi

Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai etiologi dari preeklampsia,

meliputi (Pribadi, A., et al., 2015) :

1) Abnormalitas invasi tropoblas

Invasi tropoblas yang tidak terjadi atau kurang sempurna, maka

akan terjadi kegagalan remodeling a. spiralis. Hal ini mengakibatkan

darah menuju lakuna hemokorioendotel mengalir kurang optimal dan

bila jangka waktu lama mengakibatkan hipooksigenasi atau hipoksia

plasenta. Hipoksia dalam jangka lama menyebabkan kerusakan

6
endotel pada plasenta yang menambah berat hipoksia. Produk dari

kerusakan vaskuler selanjutknya akan terlepas dan memasuki darah

ibu yang memicu gejala klinis preeklampsia. (Pribadi, A, et al, 2015).

2) Maladaptasi imunologi antara maternal-plasenta (paternal)-fetal

Berawal pada awal trimester kedua pada wanita yang kemungkinan

akan terjadi preeklampsia, Th1 akan meningkat dan rasio Th1/Th2

berubah. Hal ini disebabkan karena reaksi inflamasi yang distimulasi

oleh mikropartikel plasenta dan adiposit (Redman, 2014).

3) Maladaptasi kadiovaskular atau perubahan proses inflamasi dari

proses kehamilan normal.

4) Faktor genetik, termasuk faktor yang diturunkan secara

mekanisme epigenetik.

Dari sudut pandang herediter, preeklampsia adalah penyakit

multifaktorial dan poligenik. Predisposisi herediter untuk preeklampsia

mungkin merupakan hasil interaksi dari ratusan gen yang diwariskan

baik secara maternal ataupun paternal yang mengontrol fungsi enzimatik

dan metabolism pada setiap sistem organ. Faktor plasma yang diturunkan

dapat menyebabkan preeklampsia. (McKenzie, 2012). Pada ulasan

komprehensifnya, Ward dan Taylor (2014) menyatakan bahwa insidensi

preeklampsia bisa terjadi 20 sampai 40 persen pada anak perempuan

yang ibunya mengalami preeklampsia; 11 sampai 37 persen saudara

perempuan yang mengalami preeklampsia dan 22 sampai 47 persen pada

orang kembar.

7
5) Faktor nutrisi, kurangnya intake antioksidan.

John et al (2002) menunjukan pada populasi umumnya konsumsi

sayuran dan buah-buahan yang tinggi antioksidan dihubungkan dengan

turunnya tekanan darah. Penelitian yang dilakukan Zhang et al (2002)

menyatakan insidensi preeklampsia meningkat dua kali pada wanita yang

mengkonsumsi asam askorbat kurang dari 85 mg.

2.4 Patofisiologi

Patofisiologi terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut

(Cunningham et al., 2010):

1. Penurunan kadar angiotensin II dan peningkatan kepekaan vaskuler

Pada preeklamsia terjadi penurunan kadar angiotensin II yang menyebabkan

pembuluh darah menjadi sangat peka terhadap bahan-bahan vasoaktif

(vasopresor), sehingga pemberian vasoaktif dalam jumlah sedikit saja sudah dapat

menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi. Pada

kehamilan normal kadar angiotensin II cukup tinggi. Pada preeklamsia terjadi

penurunan kadar prostacyclin dengan akibat meningkatnya thromboksan yang

mengakibatkan menurunnya sintesis angiotensin II sehingga peka terhadap

rangsangan bahan vasoaktif dan akhirnya terjadi hipertensi.

2. Hipovolemia Intravaskuler

Pada kehamilan normal terjadi kenaikan volume plasma hingga mencapai

45%, sebaliknya pada preeklamsia terjadi penyusutan volume plasma hingga

mencapai 30-40% kehamilan normal. Menurunnya volume plasma menimbulkan

hemokonsentrasi dan peningkatan viskositas darah. Akibatnya perfusi pada

8
jaringan atau organ penting menjadi menurun (hipoperfusi) sehingga terjadi

gangguan pada pertukaran bahan-bahan metabolik dan oksigenasi jaringan.

Penurunan perfusi ke dalam jaringan utero-plasenta mengakibatkan oksigenasi

janin menurun sehingga sering terjadi pertumbuhan janin yang terhambat

(Intrauterine growth retardation), gawat janin, bahkan kematian janin intrauterin.

3. Vasokonstriksi pembuluh darah

Pada kehamilan normal tekanan darah dapat diatur tetap meskipun cardiac

output meningkat, karena terjadinya penurunan tahanan perifer. Pada kehamilan

dengan hipertensi terjadi peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan

vasokonstriktor sehingga keluarnya bahan- bahan vasoaktif dalam tubuh dengan

cepat menimbulkan vasokonstriksi. Adanya vasokonstriksi menyeluruh pada

sistem pembuluh darah arteriole dan pra kapiler pada hakekatnya merupakansuatu

sistem kompensasi terhadap terjadinya hipovolemik. Sebab bila tidak terjadi

vasokonstriksi, ibu hamil dengan hipertensi akan berada dalam syok kronik.

Perjalanan klinis dan temuan anatomis memberikan bukti presumtif bahwa

preeklampsi disebabkan oleh sirkulasi suatu zat beracun dalam darah yang

menyebabkan trombosis di banyak pembuluh darah halus, selanjutnya membuat

nekrosis berbagai organ. Gambaran patologis pada fungsi beberapa organ dan

sistem, yang kemungkinan disebabkan oleh vasospasme dan iskemia, telah

ditemukan pada kasus-kasus preeklampsia dan eklampsia berat. Vasospasme bisa

merupakan akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos

pembuluh darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan

menyebabkan terjadinya kerusakan/jejas endotel yang kemudian akan

9
mengakibatkan gangguan keseimbangan antara kadar vasokonstriktor (endotelin,

tromboksan, angiotensin, dan lain-lain) dengan vasodilatator (nitritoksida,

prostasiklin, dan lain-lain). Selain itu, jejas endotel juga menyebabkan gangguan

pada sistem pembekuan darah akibat kebocoran endotelial berupa konstituen

darah termasuk platelet dan fibrinogen.

Vasokontriksi yang meluas akan menyebabkan terjadinya gangguan pada

fungsi normal berbagai macam organ dan sistem. Gangguan ini dibedakan atas

efek terhadap ibu dan janin, namun pada dasarnya keduanya berlangsung secara

simultan. Gangguan ibu secara garis besar didasarkan pada analisis terhadap

perubahan pada sistem kardiovaskular, hematologi, endokrin dan metabolisme,

serta aliran darah regional. Sedangkan gangguan pada janin terjadi karena

penurunan perfusi uteroplasenta.

2.5 Perubahan Fisiologi Patologik

Terdapat perubahan sistem dan organ pada preeklampsia, yaitu (Sarwono,

2014):

a. Otak

Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi.

Pada saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat

endotel akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah

keluar ke ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie

atau perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum

berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.

10
Dilaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien

hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien

preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam

batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.

b. Perubahan Kardiovaskuler.

Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada

preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan

dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang

secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia

kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau

kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang

ektravaskular terutama paru.

c. Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau

menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.

Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang

berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.

Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler

dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina

ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan

15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan

yang dikemukakan oleh Cunningham (1995).

11
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan

gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh

perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam

retina.

d. Paru

Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia

dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh

kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada

beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan

cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan

tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai

pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.

e. Hati

Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas

hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar

aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali

serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.

Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan

sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri

hepatika.

Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan

besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada

12
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul

hepar dan membentuk hematom subkapsular.

f. Ginjal

Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus

meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan

filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,

glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular

yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam

urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat.

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan

sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat

berkurangnyavolume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali

lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun

pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan

kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak

hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh

perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang

dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).

Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan

retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan

bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin

karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat

reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.

13
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan

filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam

dan juga retensi air.

Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat

proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita

mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)

menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka

mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan

minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,

proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya

34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat

prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.

Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas

terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi

Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun,

bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria.

Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel

normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria

dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.

Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,

globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh

glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya

14
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi

kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.

g. Darah

Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang

normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan

destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut

Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan

yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan

pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien

preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level

fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan

terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).

Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan

terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,

peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak

jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi

peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke

normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa

menetap selama seminggu.

h. Sistem Endokrin dan Metabolism Air dan Elektrolit

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron

meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke

kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,

15
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses

penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam

darah.

Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida

natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan

meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada

normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya

resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.

Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum

diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang

intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan

hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan

berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran

darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan

berkurang dan terjadi hipoksia.

Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak

dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat

mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya

penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal

tidak mengalami perubahan.

i. Plasenta dan Uterus

Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi

plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada

16
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat

kurangnya oksigenisasi untuk janin.

Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering

terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus

prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua

masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat

mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang

pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis

arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi

malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari

lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh

darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.

2.6 Klasifikasi

Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan Preeklampsia

Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of Obstetricians and

Gynecologists, yaitu:

1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:

- Tekanan darah≥140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg

atau lebih, atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20

minggu kehamilan dengan riwayat tekanan darah normal.

- Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif

1+ atau 2+ pada urine kateter atau midstream.

17
- Edema paru

- Peningkatan fungsi hati

- Trombositopenia

- Nyeri kepala,nyeri epigastrium dan gangguan penglihatan

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:

- Tekanan darah ≥160/110 mmHg atau lebih.

- Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+

atau 4+.

- Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang

dari 0,5 cc/kgBB/jam.

- Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di

epigastrium.

- Terdapat edema paru dan sianosis

- Hemolisis mikroangiopatik

- Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit

dengan cepat)

- Gangguan fungsi hati.

- Pertumbuhan janin terhambat.

- Sindrom HELLP.

2.7 Diagnosis

Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan (Sarwono,2014):

a. Gejala subjektif

18
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma,

diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-

muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat

dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).

Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah

meningkat.

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg

dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada

preeklampsia ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita

juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,

hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,sampai tanda-tanda pendarahan otak

c. Penemuan Laboratorium

Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita

preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia

ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau

secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada

preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara

kualitatif ≥ +3.

Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat

hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi

benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat

diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada

19
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat

dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan

elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya

preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin

dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta

mencegah gangguan fungsi organ vital (Sarwono,2014)

1. Preeklampsia

Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan

preeklampsia. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran

darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada

ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut juga

bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi kebutuhan

volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan darah dan

kejadian edema.Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi

glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan

ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskuler, sehingga mengurangi

vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah

rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam

rahim.

Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi

ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda, berarti

20
fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet yang

mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah cukup.

Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi

pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila

komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi cairan

yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein, rendah

karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak diberikan

obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan pemeriksaan

laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi ginjal.Apabila

preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan konservatif, maka

dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun janin masih prematur.

Rawat inap

Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di

rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria

selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia

berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan

Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion.

Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan

bagian mata, jantung dan lain lain.

Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu

sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah

21
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.

Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu sampai

terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan

pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan, bila

perlu memperpendek kala II.

2. Preeklampsia Berat

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat untuk

mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut sudah

diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan kehamilan.

Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada

neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi plasenta

baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress baik pada

saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.

Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,

pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap penyulit

organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.Pemeriksaan sangat teliti

diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa : nyeri kepala,

gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat badan. Selain itu

perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran proteinuria, pengukuran

tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG dan NST.(8)

Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia

ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap penyakitnya, yaitu

pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap terhadap kehamilannya

22
ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan

hemodinamika sudah stabil.

Medikamentosa

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat

inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting

pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia

dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan

oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang

sangat menentukan terjadinya edema paru dan oligouria ialah hipovolemia,

vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik

koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh karena itu monitoring input

cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output cairan (melalui urin) menjadi

sangat penting. Artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah

cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda

edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat

berupa a) 5% ringer dextrose atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam

atau b) infuse dekstrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer

laktat (60-125 cc/jam) 500 cc.

Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria terjadi

bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan

antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat

menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup

protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.

23
a. Pemberian obat antikejang

MgSO4

Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding

fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan 897

penderita eklampsia.

Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada

rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi

neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium

sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak

terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium).

Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium

sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk

antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.

Cara pemberian MgSO4

- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO 4: intravena, (40 % dalam 10 cc)

selama 15 menit

- Maintenance dose :Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam;

atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4 gram

im tiap 4-6 jam

Syarat-syarat pemberian MgSO4

- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit

- Refleks patella (+) kuat

24
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas

Dosis terapeutik dan toksis MgSO4

- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl

- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl

- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl

- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl

Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah 24

jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian magnesium

sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 % dari

pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)

Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau

fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin

sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan

otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium

diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50

mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat. Pengalaman

pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.

b. Diuretikum

Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru,

payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah furosemida.

Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat hipovolemia,

memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan hemokonsentrasi,

memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat janin.

25
c. Antihipertensi

Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas (cut

off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort

mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126

mmHg.

Batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik

≥180 mmHg dan/atau tekanan diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan

secara bertahap, yaitu penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan

darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang

diberikan sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara

mutlak yakni pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.

Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin

(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada

arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,

sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah

labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat

antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin

(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan

dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama

- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120

mg dalam 24 jam

Antihipertensi lini kedua

26
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg

iv/kg/5 menit.

- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.

d. Kortikosteroid

Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah

jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non kardiogenik (akibat

kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis preeclampsia berat

menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.

Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan

ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga diberikan

pada sindrom HELLP.

Sikap terhadap kehamilannya

Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan

perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap

terhadap kehamilannya dibagi menjadi:

1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan

dengan pemberian medikamentosa.

2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan

bersamaan dengan pemberian medikamentosa.

Perawatan konservatif

Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu

tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.

27
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada

pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap

kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,

kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai

tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila

setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai kegagalan

pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh dipulangkan

bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda preeklampsia ringan.

Perawatan aktif

Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah

ini, yaitu:

Ibu

1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu

2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia

3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik

dan laboratorik memburuk

4. Diduga terjadi solusio plasenta

5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan

Janin

1. Adanya tanda-tanda fetal distress

2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction

28
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal

4. Terjadinya oligohidramnion

Laboratorik

1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya

trombosit dengan cepat

2.9 Komplikasi

Kompilkasi terberat pada preeklampsia adalah kematian ibu dan janin.

Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu berupa kemunduran fungsi sejmlah organ

dan sisitem yang kemungkinan sebagian besar terjadi akibat vasospasme, yaitu

gagal ginjal, sindrom HELLP, eklampsia dan perdarahan otak. 8 Sedangkan

komplikasi yang dapat terjadi pada janin berhubungan dengan terjadinya

perubahan dalam perfusi darah uteroplasenta akut ataupun kronis yang bisa

menyebabkan pertumbuhan janin intrauterine terhambat dan prematuritas.

2.10 Prognosis

Pada umumnya baik dengan penatalaksanaan yang tepat. Wanita yang

mengalami preeklampsia selama kehamilannya mempunyai resiko yang tinggi

untuk serangan ulangan pada kehamilan berikutnya. Resiko meningkat 50% pada

wanita yang mengalami preeklampsia pada usia kehamilan muda (sebelum

minggu ke-27).

2.11 Pencegahan

29
Pemeriksaaan antenatal care yang teratur dan teliti dapat menemukan

tanda-tanda preeklampsia dan dalam hal ini harus dilakukan penanganan yang

semestinya. Pemberian aspirin dosis rendah (75 mg) telah dievaluasi secara luas

sebagai obat mencegah preeklampsia. Baru-baru ini antioksidan dosis tinggi,

vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU, juga telah sukses digunakan dalam

mengurangi preeklampsia lebih dari 50%. Diet tinggi protein dan rendah lemak,

karbohidrat dan garam serta penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu

dianjurkan.

Mengenal secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa

memberikan diuretika dan obat antihipertensi merupakan manfaat dari

pencegahan melalui pemeriksaan antenatal yang baik.

2.12 Aspirin Dosis Rendah untuk Mencegah Preeklampsia dan

Komplikasinya : Meta – Analisis

Penelitian yang dilakukan oleh Ting Xu dkk (2015) di Cina Para penulis

meta analisis 29 percobaan terkontrol acak (RCT) untuk mengevaluasi LDA untuk

mencegah preeklampsia dan komplikasinya. Metode yang digunakan adalah

Review sistematis dan meta - analisis yang dilakukan sesuai dengan point yang

dipilih dari Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses(

PRISMA ) . Setiap RCT yang memenuhi syarat wanita beresiko preeklampsia

menggunakan LDA di awal kehamilan yang dibandingkan dengan plasebo atau

tanpa pengobatan baik yang diterbitkan atau tidak diterbitkan akan diinklusi.

30
LDA dapat mengurangi kejadian preeklampsia (rasio odds [ OR ] , 0,71 ; 95 %

confidence interval [ CI ] , 0,57-0,87 ) , preeklamsia berat ( OR , 0,37 ; 95 % CI ,

0,23-0,61 ) , kelahiran premature (OR , 0,81 ; 95 % CI , 0,75-0,88) , dan

intrauterine growth restriction(IUGR) (OR , 0,80 ; 95 % CI , 0,71-0,90) .

LDA lebih efektif dalam mengurangi kejadian preeklampsia atau IUGR jika

digunakan sebelum 16 minggu kehamilan daripada digunakan setelah 16 minggu

kehamilan. LDA meningkatkan kejadian solusio plasenta ( OR , 1,35 ; 95 % CI ,

1,05-1,73 ) tetapi tidak menjadi komplikasi utama .

Berdasarkan data yang di kumpulkan, bahwa LDA mengurangi risiko

preeklampsia pada pasien dengan kehamilan berisiko tinggi sebesar 29 %, risiko

kelahiran prematur oleh 19 % , dan risiko IUGR sebesar 20% . Sebuah meta-

analisis oleh Trivedi dan rekan melibatkan 28.237 wanita di 19 RCT, sebagian

besar yang termasuk di sini, melaporkan penurunan 21 % dalam risiko

preeklamsia karena LDA (risiko relatif, 0,79 ; 95 % CI, 0,65-0,97). Sebuah

tinjauan sistematis oleh Henderson dan rekan menyimpulkan bahwa LDA

diberikan setelah trimester pertama kehamilan dapat mengurangi risiko

preeklampsia oleh setidaknya 10 % , IUGR sebesar 20% , dan kelahiran prematur

sekitar 14 % . Temuan ini sangat memperdebatkan yang mendukung profilaksis

aspirin pada awal kehamilan berisiko tinggi untuk mengurangi risiko

preeklampsia dan komplikasi yang terkait.

Dalam penelitian ini, analisis subkelompok membandingkan efek terapi

profilaksis LDA dimulai pada ≤16 atau >16 minggu kehamilan menunjukkan

bahwa memulai terapi sebelum 16 minggu mengurangi risiko preeklamsia atau

31
IUGR ke tingkat yang lebih besar daripada memulai terapi setelah 16 minggu.

Demikian pula , meta - analisis oleh Roberge dan rekan melibatkan 27.222 wanita

di 42 RCT, hanyabeberapa di antaranya termasuk di sini , ditemukan bahwa mulai

LDA pada usia kehamilan ≤16 minggu menyebabkan penurunan lebih besar pada

kematian perinatal , preeklampsia , hambatan pertumbuhan janin , dan kelahiran

prematur. Data ini mendukung 16 minggu penghentian sering digunakan untuk

memutuskan apakah profilaksis LDA akan efektif. Penghentian ini mungkin

mencerminkan fakta bahwa invasi trofoblas spiral rahim arteri normal dimulai

pada sekitar 8 sampai 10 minggu dan sebagian besar lengkap pada 16 sampai 18

minggu , meskipun dapat berlanjut sampai 22 minggu.

Meskipun bukti kuat dari manfaat klinis dari LDA, meta-analisis kami juga

menunjukkan bahwa mungkin sedikit meningkatkan risiko solusio plasenta

sebesar 35 %.Namun demikian, kami tidak menemukan bukti bahwa profilaksis

LDA signifikan mempengaruhi risiko komplikasi lain yang mempengaruhi ibu

atau janin, termasuk perdarahan postpartum, aborsi spontan, kelahiran sesar,

perdarahan neonatal, skor Apgar yang rendah, atau pemindahan NICU.Untuk

pengetahuan kita, meta-analisis pertama yang memberikan bukti bahwa LDA

dapat meningkatkan risiko solusio plasenta.Henderson dan rekannya mencatat

potensi peningkatan risiko tetapi tidak dapat menunjukkan pasti karena kekuatan

statistik terbatas dan heterogenitas pada data kejadian preeklampsia yang

signifikan.

32
Aspirin dosis rendah (LDA) diperkirakan untuk mencegah preeklampsia

dalam kehamilan risiko tinggi, tetapi tidak digunakan secara keseluruhan

menyangkut terhadap kemanjuran dan keamanannya. Karena aspirin dosis rendah

(LDA) dapat menjaga keseimbangan antara prostasiklin dan tromboksan,

diperkirakan untuk membantu mencegah preeklampsia dan komplikasi yang

terkait. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa agen antiplatelet seperti

profilaksis LDA dapat mencegah hipertensi gestasional dan preeklampsia pada

pasien dengan kehamilan berisiko tinggi dan pendekatan ini digunakan di pusat-

pusat medis di seluruh dunia.

Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan LDA (75 mg) sebelum 20

minggu kehamilan bagi wanita yang berisiko tinggi untuk preeklamsia, US

Preventive Services Task Force merekomendasikan LDA (81 mg / d) setelah 12

minggu kehamilan pada wanita berisiko tinggi untuk preeklamsia, dan pedoman

nasional untuk pengelolaan hipertensi pada wanita hamil di Kanada, Inggris, dan

Amerika Serikat juga merekomendasikan LDA sebagai profilaksis. Namun

demikian, penggunaan keseluruhan LDA tetap merata, mungkin sebagian besar

karena dari beberapa kontroversi tentang kemanjurannya. Beberapa penelitian

telah menunjukkan bahwa LDA tidak signifikan berpengaruh terhadap risiko

preeklampsia.Untuk komprehensif menilai efikasi dan keamanan LDA,

menerapkan prinsip dan metode dari Cochrane Collaboration untuk penelitian

meta - analisis tentang LDA profilaksis mencegah preeklampsia dan

komplikasinya pada ibu dan janin. Temuan ini memberikan dasar bukti yang kuat

33
untuk mendukung penggunaan LDA pada pasien dengan kehamilan berisiko

tinggi.

34
BAB 3

KESIMPULAN

Preeklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah

kehamilan 20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90

mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya

normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu.

Faktor resiko preeklampasi terdiri dari usia, paritas, sosioekonomi, diet/gizi,

keturunan dan lainnya. Etiologi preeklampsia sampai saat ini belum diketahui

dengan pasti. Preeklampsia dikalsifikasikan menjadi preeklampsia dam

preeklampsia berat.

Tatalaksana preeklampsia berdasarkan klasifikasi preeklampsia sendiri.

Preeklampsia harus segera ditangani secara dini karena preeklamsia salah satu

penyebab tersering kematian ibu hamil.

35
DAFTAR PUSTAKA

Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp,


IntraUterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil
PretermBelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

Myrtha,Risalina. 2015. Penatalakasanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia.


Fakultas Kedokteran UNS, Surakarta.

POGI., 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Preeklampsia dan


eklamsi. Himpunan Kedokteran Fetomaternal.

Pribadi, A., Mose, J.C., Anwar, A.D.(2015). Kehamilan Risiko Tinggi.


Jakarta: CV Sagung Seto.

Sarwono,Prawirohardjo dkk. 2014. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam


Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka.

Ting Xu dkk, 2015. Low-Dose Aspirin for Preventing Preeclampsia and Its
Complications: AMeta-Analysis. Iran

36

Anda mungkin juga menyukai