Anda di halaman 1dari 21

Referat

Post Dural Puncture Headache


(PDPH)

Mayasari

Pembimbing :
dr. Ruddi Hartono, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

RSUD Dr. SAIFUL ANWAR

MALANG
2

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Post Dural Puncture Headache (PDPH) adalah komplikasi iatrogenik dari

anestesi spinal berupa nyeri kepala yang biasanya ditandai dengan nyeri pada

daerah frontal dan occipital yang diperberat oleh posisi berdiri dan membaik pada

posisi berbaring.1 Nyeri kepala pada PDPH sebagai salah satu bentuk nyeri pasca

operasi dapat dinilai dengan Visual Analogue Scale (VAS).1,2 Tanda dan gejala

PDPH muncul akibat keluarnya liquor cerebrospinal (LCS) melalui celah yang

terbentuk pada saat penusukan jarum spinal yang mengakibatkan traksi pada

komponen-komponen intracranial dan refleks vasodilatasi cerebral.3 Pasien yang

mengalami PDPH juga dapat mengalami mual, muntah, gangguan penglihatan,

tinnitus atau ketulian.4

Post Dural Puncture Headache tidak hanya menyebabkan penurunan

produktivitas pasien namun juga memiliki potensi untuk mengakibatkan hendaya,

gangguan psikologis, ekonomi dan sosial sehingga PDPH merupakan sumber

morbiditas bagi pasien.5 Hasil penelitian mengenai berbagai macam tuntutan

dalam bidang anestesi obstetrik, PDPH merupakan kasus tertinggi ketiga setelah

kematian ibu dan cedera kepala bayi yaitu 12%.6 Insidensi PDPH dipengaruhi

oleh banyak faktor diantaranya umur, jenis kelamin, kehamilan, ukuran jarum,

tipe jarum, orientasi bevel terhadap serat duramater, banyak penusukan dan

pengalaman klinik operator.7 Insidensi PDPH tertinggi terjadi pada umur antara
3

18-30 tahun dan lebih sering terjadi pada individu dengan indeks masa tubuh

(IMT) yang rendah.8


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Post Dural Puncture Headache (PDPH)

Postdural Puncture Headache (PDPH) merupakan nyeri kepala sekunder yang

diakibatkan oleh punksi dura seperti punksi lumbar atau anestesi spinal. 9 Nyeri

kepala muncul akibat kebocoran liquor cerbrospinal (LCS). Umumnya nyeri

kepala muncul dalam dua hari pertama setelah anestesi spinal dan sembuh secara

spontan dalam beberapa hari.10

2.2 Anatomi duramater dan fisiologi Liquor Cerebrospinal (LCS)

2.2.1 Anatomi duramater spinal

Duramater spinal adalah lanjutan dari duramater serebral yang berbentuk tuba dan

memanjang mulai dari foramen magnum hingga segmen kedua dari sakrum.

Duramater spinal berisi medula spinalis dan serabut saraf yang menembus

duramater spinal tersebut. Duramater adalah jaringan ikat padat yang terdiri dari

serabut kolagen dan serabut elastin. Secara umum gambaran serabut kolagen dari

duramater spinal memiliki arah longitudinal. 11 Hal ini didukung oleh beberapa

penelitian histologi tentang duramater.12 Berdasarkan hal ini lebih

direkomendasikan penusukan jarum sejajar dengan arah serabut duramater

daripada tegak lurus dengan arah serabut duramater. Penusukan dengan orientasi

bevel sejajar arah serabut duramater akan meminimalisir robekan yang terbentuk

pada duramater sedangkan penusukan dengan orientasi bevel tegak lurus arah

serabut duramater akan menyebabkan robekan yang lebih besar. 11 Beberapa


5

penelitian yang mengukur ketebalan duramater menyebutkan bahwa ketebalan

duramater spinal bagian belakang sangat bervariasi pada tiap individu.13

Kebocoran LCS pada robekan duramater yang tebal diduga lebih sedikit daripada

kebocoran LCS pada robekan duramater spinal yang tipis. 11

Gambar 2.1 : Anatomi duramater spinal dan struktur di sekitarnya

2.2.2 Liquor cerebrospinal (LCS)

Liquor cerebrospinal diproduksi terutama oleh plexus choroideus dan

sebagian kecil diproduksi di luar plexus chroideus. Setiap harinya LCS diproduksi

sekitar 500 ml (0,35 ml/menit). Volume LCS pada orang dewasa adalah sekitar

150 ml dimana setengahnya berada di intra kranial. Tekanan LCS di daerah

lumbar (L) saat posisi berbaring berkisar antara 5 – 15 cm H 2O sedangkan saat

posisi berdiri meningkat hingga 40 cm H2O.11

2.3 Patofisiologi punksi dura


6

2.3.1 Duramater dan responnya terhadap trauma

Robekan pada duramater akan menyebabkan kebocoran LCS. Robekan

sekecil apapun pada duramater harus ditutup baik secara langsung maupun

menggunakan bahan sintetik untuk menghindari kebocoran LCS yang terus

menerus dan kemungkinan terjadinya infeksi. Hal ini dibuktikan dari beberapa

penelitian tentang respon duramater terhadap trauma. Penelitian pada tahun 1959

menyebutkan bahwa penutupan pada robekan duramater difasilitasi melalui

proliferasi fibroblas dari jaringan dan bekuan darah di sekitarnya.14

2.3.2 Konsekuensi punksi dura

Punksi dura memiliki kemungkinan untuk menyebabkan terjadinya

kebocoran LCS yang berlebihan. Kehilangan LCS dalam jumlah banyak dapat

menyebabkan hipotensi intra cranial dan menurunnya volume dari LCS.

Terjadinya kebocoran LCS ini telah dikonfirmasi dengan radionuclide

cisternography,15 radionuclide myelography, epiduroskopi dan pengamatan

langsung saat laminektomi. Pada saat terjadi kebocoran LCS, tekanan LCS orang

dewasa di daerah lumbar akan mengalami peningkatan menjadi 40 cm H2O.

Kecepatan kehilangan LCS melalui robekan pada duramater berkisar antara 0,084

- 4,5 ml/menit16 yang secara umum lebih besar dari kecepatan produksi LCS yaitu

sekitar 0,35 ml/menit.

Kebocoran LCS melalui robekan pada duramater ini akan menyebabkan

penurunan volume dan tekanan LCS, gaya gravitasi saat posisi tegak

menyebabkan perubahan posisi otak sedikit kearah bawah dan mengakibatkan

traksi pada struktur sentitif nyeri di sekitar otak. Penurunan tekanan LCS ini juga
7

dapat menyebabkan traksi pada nervus cervical 1-3 (C1-3), trigeminal (V),

glossopharyngeus (IX) dan vagus (X). Traksi pada nervus C1-3 akan

menyebabkan nyeri leher, traksi pada nervus V akan menyebabkan nyeri pada

daerah frontal dan traksi pada nervus X akan menyebabkan nyeri pada daerah

oksipital.17

2.4 Faktor risiko PDPH yang tidak dapat dimanipulasi

2.4.1 Umur

Populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap PDPH adalah kelompok

umur 20-40 tahun dan mengalami penurunan pada usia lebih dari 50 tahun. 18

Penyebab penurunan risiko ini belum jelas diketahui, namun sebuah tinjauan

pustaka mengatakan bahwa pada proses penuaan terjadi penurunan elastisitas dari

struktur cranial yang mengakibatkan penurunan sensitivitas terhadap nyeri secara

umum.6

Anak berusia kurang dari 10 tahun dilaporkan memiliki risiko yang sangat

rendah untuk mengalami PDPH dibandingkan orang dewasa.Hal ini disebabkan

karena tekanan LCS pada bayi dan anak lebih rendah dibandingkan orang dewasa

dan juga tekanan hidrostatik wilayah lumbar dalam posisi tegak lebih rendah pada

anak.6

2.4.2 Jenis kelamin

Perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami PDPH

disbanding laki-laki. Hasil penelitian Vandane dan Dripps, perempuan memiliki

risiko dua kali lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu pada kelompok perempuan

insidensi sebesar 14% sedangkan pada laki-laki 7%. Kesimpulan penelitian ini
8

diragukan oleh beberapa pihak, sebab pada penelitian ini perempuan hamil juga

menjadi sampel penelitian, sehingga penelitian ini diulang namun hasilnya tidak

jauh berbeda yaitu insidensi PDPH pada kelompok perempuan 12% dan laki-laki

7%.6

2.4.3 Kehamilan

Kehamilan merupakan faktor risiko tertinggi untuk PDPH. Secara

keseluruhan insidensi PDPH pada kehamilan mencapai 38%.19 Postdural

Puncture Headache pada pasien obstetri diakibatkan oleh penurunan tekanan

intraabdominal sesaat setelah melahirkan bayi, hal ini dapat menurukan tekanan

epidural, dan secara teori meningkatkan kebocoran LCS dari lubang dura. Sebagai

tambahan, perubahan hormonal pada saat melahirkan dapat menyebabkan

pembuluh darah, terutama serebral, menjadi reaktif dan hal tersebut menjadi

predisposisi parturien untuk mengalami PDPH.6

2.5 Karakteristik PDPH

2.5.1 Onset

Sekitar 90% nyeri kepala muncul dalam 3 hari setelah prosedur punksi

dura. Penelitian lain mengatakan 66% muncul dalam 48 jam pertama.20

2.5.2 Tanda-tanda klinis

Gejala klinis yang dominan dari PDPH adalah nyeri pada daerah frontal dan

occipital, terkadang juga menjalar ke leher dan bahu. Nyeri kepala sering kali

eksaserbasi setelah gerakan kepala atau pada posisi tegak dan membaik setelah

berbaring. Tingkat keparahan nyeri PDPH sangat bervariasi namun biasanya


9

sangat kuat.21 Penilaian tingkat keparahan nyeri pada PDPH dapat menggunakan

berbagai macam instrumen salah satunya adalah Visual Analogue Scale (VAS).22

Instrumen ini sangat baik dalam menilai intensitas nyeri dalam beberapa hari

pasca pembedahan sebab tidak dipengaruhi jenis kelamin, konsepnya sederhana

untuk dimengerti oleh pasien serta reliabel dan valid secara statistik.

2.6 Jarum spinal

Penamaan jarum spinal disesuaikan dengan bentuk bevel (gambar 2.2).

Whitacre dan Sprotte memiliki bentuk pencil-point dengan lubang jarum berada di

sisi badan jarum. Quincke dan Greene memiliki bevel berbentuk ujung pemotong

(cutiing edge). Jarum spinal tipe pencil-point membutuhkan usaha yang lebih

besar pada penusukan dibandingkan dengan tipe jarum yang lain namun mampu

memberikan rasa (taktil) yang lebih baik dalam membedakan berbagai lapisan

pada saat penusukan.


10

Gambar 2.2 : jarum spinal

Penamaan jarum spinal juga ditentukan oleh diameter jarum yang dikenal

dengan nomor jarum. Semakin kecil nomor jarum maka semakin besar

diameternya. Penggunaan jarum spinal dengan diameter lebih besar akan

menimbulkan perforasi yang lebih besar sehingga kebocoran LCS menjadi lebih

banyak. Penggunaan jarum spinal dengan diameter lebih kecil dapat mengurangi

kebocoran LCS yang terjadi akan tetapi sensasi menembus tiap lapisan saat

melakukan penusukan cukup sulit untuk dirasakan.

2.7 Penatalaksanaan PDPH

Postdural Puncture Headache umumnya dapat membaik secara spontan

dalam beberapa hari. Pengobatan awal diindikasi apabila gejala menetap

(persisten). Pemilihan penatalaksanaan dimulai dari tindakan yang tidak invasive

sampai tindakan invasif. Umumnya PDPH dapat membaik secara spontan dalam

24 jam dengan penatalaksanaan konservatif.6

2.7.1 Penatalaksanaan konservatif

Klinisi dapat memberikan dukungan emosional kepada pasien untuk

sembuh.17 Tirah baring sangat dianjurkan setelah punksi dura oleh beberapa

klinisi. Selain itu cara untuk mengurangi nyeri kepala pada PDPH adalah dengan

posisi supine, lateral atau prone. Posisi prone tidak dapat dilakukan oleh pasien

yang baru mengalami operasi pada abdomen atau SC karena proses penyembuhan

luka belum sempurna. Abdominal binder juga direkomendasikan untuk

meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga dapat mengurangi kebocoran

LCS.1
11

2.7.2 Farmakoterapi

Obat-obatan analgesik dapat diberikan seperti acetaminophen dan

antiinflamasi non-steroid.6 Pemberian kafein sodium benzoat secara intravena

pada pasien 75-80% efektif sebagai terapi awal untuk PDPH, namun 48 jam

setelah pemberian dihentikan nyeri kepala muncul kembali. Methylxanthine dapat

memblok reseptor adenosin sehingga muncul efek vasokonstriksi. 17

Cosynotropine yang merupakan hormon adrenokortikotropik sintetik, dapat

digunakan untuk mengobati PDPH yang tidak dapat diobati dengan obat-obatan

simptomatik. Kerja obat ini adalah dengan meningkatkan volume LCS dengan

menstimulasi kelenjar adrenal dan meningkatkan sekresi endorfin-ß. Perlu

kehatihatian pemakaian obat ini pada pasien diabetes mellitus.17 Serotonin agonis

seperti sumatriptan juga efektif digunakan dalam pengobatan PDPH. Efek

samping obat ini adalah nyeri pada wilayah tempat penusukan obat dan sesak

pada daerah dada. Penggunaan sumatriptan sangat berhati-hati pada penderita

ischemic heart disease.17


12

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Laporan Kasus

Seorang perempuan, 29 tahun dengan G2P1001Ab000 gr 37-38 mgg T/H+ Post

sub total tiroidectomy a/i struma multinodusa ( Januari 2019 )+ Subclinical

hipotiroid+ Lilitan tali pusat 1x menjalani tindakan operasi SCTP dan

pemasangan IUD di RSSA. Pasien dilakukan tindakan anestesi dengan teknik

spinal anestesi.

Spinal anestesi pada pasien ini dilakukan dengan menggunakan jarum no 27 G

dengan tipe jarum quincke, tempat insersi dilakukan diantara lumbal 4 dan lumbal

5. Penusukaan dilakukan pada posisi pasien duduk dengan penusukan sebanyak 1

kali. Obat yang digunakan adalah bupivakain heavy 0,5% dengan dosis 12,5 mg

ditambah pemberian morphine 1 mg dengan target ketinggian blok T6. Ketinggian

blok tercapai dalam waktu 5 menit, pasien di dersiapkan untuk prosedur bedah

seksio.
13

Selama durante operasi pasien tidak mengeluhkan adalah keluhan sakit kepala,

mual, muntah, telinga berdenging ataupun takut terkena cahaya. Prosedur operasi

dilakukan selama 1,5 jam, pasien dioberservasi di Recovery Room selama 2 jam

sampai bromage score pasien >2, pasien dipindahkan keruangan, Pasien ini karena

memiliki riwayat hipotioid sedang dalam pengobatan, maka anestesi

menganjurkan pasien dirawat di ruang intensive kaber selam 1x24 jam untuk

observasi tanda-tanda vital dan keluhan hipometabolik yang merupakam tanda

dari gejala hipotiroid klinis.

8 jam post dilakukan prosedur spinal anestesi didapatkan keluhan dari pasien,

sakit kepala yang dominan di bagian depan dan tengkuk terasa tertarik. Sekitar 30

menit sebelum keluhan ini, pasien duduk karena ingin makan. Selama fase

observasi pasien juga mengaku, mulai mobilisasi duduk bahkan mencoba berdiri.

Keluhan ini disertai dengan keluhan tidak nyaman pada perut yang menjalar ke

dada namun pasien tidak mengeluhkan rasa mual.

Tanda-tanda vital pasien dalam batas normal dengan keadaan sebagai berikut:

Objektif :

B1. Airway patent, napas spontan, RR 18x/mnt, SpO2 100% on Nasal kanul 3

lpm, ves (+/+), wh (-/-), rh (-/-)

B2: AHKM, CRT < 2 dtk, TD: 146/81 (94) N: 88x/mnt,S1 S2 reg, murmur (-),

gallop (-)

B3. GCS 456, pupil isokor (3mm/3mm),lateralisasi (-)

B4. BAK on kateter produksi urin 600cc/5 jam, jernih


14

B5. BU (+), distended abdomen (-)

B6. Edema (-), sianosis (-)

Hasil lab 4/11/2019 (post op)

DL 12.2/15.940/32.9%/308.000

Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka disimpulkan pasien

menderita postural puncture headache, Pasien kemudian ditatalaksana sebagai

berikut:

1.Tirah baring dgn posisi kepala datar

2.Oksigenasi dgn O2 nasal kanul

3, Rehidrasi dengan RL 500cc dalam waktu 1 jam, makan minum dianjurkan

4.Inj.Ondansentron 4mg (k/p)

4.Panadol extra 4x750 mg p.c

5.Hubungi PPDS IPD -->tidak ditemukan kelainan, therapi sesuai TS obgyn dan

anestesi

Evaluasi 4 jam pasca tatalaksana tersebut keluhan pasien jauh berkurang. Evaluasi

16 jam pasca tindakan pasien merasakan keluhan sakit kepala sudah hilang.

Pasien dipindahkan keruangan biasa dan mulai mobilisasi bertahap.

3.2 Pembahasan

Kasus nyeri kepala pascapungsi dura (post dural puncture headache; PDPH)

merupakan komplikasi iatrogenik anestesi spinal sebagai akibat pungsi duramater.

Tanda dan juga gejala PDPH merupakan akibat cairan serebrospinal yang hilang,
15

traksi jaringan otak, serta refleks vasodilatasi pembuluh darah serebral. Faktor

penting yang sangat memengaruhi frekuensi dan derajat PDPH yaitu usia pasien

dan ukuran perforasi duramater.

Postdural Puncture Headache (PDPH) merupakan nyeri kepala sekunder yang

diakibatkan oleh punksi dura seperti punksi lumbar atau anestesi spinal. 9 Nyeri

kepala muncul akibat kebocoran liquor cerbrospinal (LCS). Umumnya nyeri

kepala muncul dalam dua hari pertama setelah anestesi spinal dan sembuh secara

spontan dalam beberapa hari.

Pada pasien ini, dari anamnesa dan pemeriksaan fisik mengarah ke diagnose

PDPH. Pasien ini mempunya beberapa factor risiko yang memicu terjadinya

PDPH yaitu:

1. Umur 20-40 tahun

Populasi yang memiliki risiko tinggi terhadap PDPH adalah kelompok

umur 20-40 tahun dan mengalami penurunan pada usia lebih dari 50 tahun.

2. Jenis kelamin perempuan

Perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami PDPH

disbanding laki-laki. Hasil penelitian Vandane dan Dripps, perempuan

memiliki risiko dua kali lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu pada

kelompok perempuan insidensi sebesar 14% sedangkan pada laki-laki 7%.

3. Kehamilan

Kehamilan merupakan faktor risiko tertinggi untuk PDPH. Secara

keseluruhan insidensi PDPH pada kehamilan mencapai 38%.

4. Jarum spinal tipe Quincke


16

Ada beberapa tipe jarum yang saat ini digunakan untuk tindakan punksi

dura mater. Secara umum tipe jarum ini dibedakan menjadi dua tipe, yakni

tipe cutting (Quincke) dan non-cutting / atraumatic (Atraucan, Whitacre,

Sprotte). Jarum dengan ujung Quincke dapat memotong serat-serat dura

dan bisa menyebabkan robekan dura mater yang menetap, sementara ujung

jarum spinal non-cutting atau seperti jarum pencil-point (Whitacre,

Sprotte) dapat memotong serat dura mater sehingga dapat kembali ke

tempat semula dan mengurangi hilangnya LCS setelah tusukan dura mater

dan mengurangi kejadian Post dural Puncture Headache.

5. Ukuran jarum 27 G

Penggunaan jarum spinal dengan diameter lebih besar akan menimbulkan

perforasi yang lebih besar sehingga kebocoran LCS menjadi lebih banyak.

Penelitian yang dilakukan oleh candiko et all (2003) membandingkan

kejadian nyeri kepala pascapungsi dura setelah spinal anestesi

menggunakan 27G tipe pencil point (non cutting) dengan 27G tipe quincke

(cutting) terhadap 301 pasien, dengan 153 pasien pada kelompok pencil

point dan 148 pada kelompok quincke. Didapatkan 3 (tiga) kasus nyeri

kepala pascapungsi dura pada kelompok pencil point dan 12 pada

kelompok quincke.

Di Indonesia, dari penelitian Irawanto et all (2013) di RS. Hasan Sadikin

Bandung, meneliti kejadian PDPH pada pasien ibu hamil paska bedah

sesar dengan 3 jarum spinal, yaitu 25G Quincke, 27G Quincke dan 27G

pencil point, didapat hasil kejadian PDPH berkisar 68.2%, 31.8% dan 0%.
17

6. Teknik Spinal Anestesi

Li JY et al. (2010) membandingkan insidensi dan kesulitan teknik antara

median approached an paramedian approached. Penelitian ini

menunjukkan hasil tingkat kesuksesan yang tinggi pada tindakan pertama

dengan teknik paramedian (231 of 350 pasien) daripada teknik median

(205 of 350 patients) (p<0.05). Insidensi PDPH setelah pungsi dura antara

teknik median dan paramedian adalahn 4.33% (10 of 231 patients) and

0.97% (2 of 205 patients).


18

BAB IV

KESIMPULAN

1. Postdural Puncture Headache (PDPH) merupakan komplikasi iatrogenik

yang diakibatkan oleh punksi dura atau anestesi spinal.

2. Insidensi PDPH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: umur, jenis

kelamin, kehamilan, ukuran jarum, tipe jarum, orientasi bevel terhadap serat

duramater, banyak penusukan dan pengalaman klinik operator.

3. PDPH ditandai dengan nyeri kepala pasca spinal yang bertambah hebat

ketika dalam posisi tegak, dan membaik dalam posisi berbaring, biasanya

muncul di daerah frontal dan occipital.

4. Penatalaksanaan PDPH dapat dilakukan secara konservatif maupun

farmakologis.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Ghaleb A. Postdural Puncture Headache. Hindawi Publishing Corporation


Anesthesiology Research and Practice. 2010; Article ID 102967, 6 pages.
2. Attar S, Bowles WR, Baisden MK, Hodges JS, McClanaban SB. Evaluation
of pretreatment analgesia and endodontic treatment for postoperative
endodontic pain. JOE. 2008; 34(6): 652-5.
3. Singh, S., Chaudry, S.Y., Phelps, A.L., and Vallejo, M.C. (2009) A 5-year
audit of accidental dural punctures, postdural puncture headaches, and failed
regional anesthetics at a tertiary-care medical center.
TheScientificWorldJOURNAL 9, 715–722. DOI 10.1100/tsw.2009.94.
4. Musaid RA, Naranjo TM. Spinal block complications in obstetrics and
gynecology patiens. Neurosciences. 2006; 11(3): 140-4.
5. Apfel C, Saxena A, Cakmakkaya S, Gaiser R, Radke O. Prevention of
postdural puncture headache after accidental dural puncture: a quantitative
systematic review. British Journal of Anaesthesia. 2010; 105 (3): 255–63
6. Syed N A. Pathophysiology and management of Spontaneous Intracranial
Hypotension A Review. JPMA. 2012.
7. Dubost C, Gouez A, Zetlaoui J, Benhamou D. Increase in optic nerve sheath
diameter induced by epidural blood patch: a preliminary report. British
Journal of Anaesthesia. 2011; 107(4): 627–30
8. Porhomayon J, Zadeii G, Yarahamadi A, Nader ND. A Case of Prolonged
Delayed Post dural Puncture Headache in a Patient with Multiple Sclerosis
Exacerbated by Air Travel. Hindawi Publishing Corporation Anesthesiology
Research and Practice. 2013; Article ID 923904, 4 pages
20

9. Goldszmidt E, Kern R, Chaput A, Macarthur A. The incidence and etiology


of postpartum headaches: a prospective cohort study.Can J ANESTH. 2005;
52(9): 971-977.
10. Zencirci B. Postdural puncture headache and pregabalin. J Pain Res. 2010; 3:
11-4.
11. Turnbull DK, Shepherd DB. Post-dural puncture headache: pathogenesis,
prevention and treatment. British Journal of Anaesthesia. 2003; 91: 718-29.
12. Patin DJ, Eckstein EC, Harum K, Pallares VS. Anatomic and Biomechanical
Properties of Human Lumbar Dura Mater. Anesth Analg. 1993;76:535-40.
13. Reina MA, de Leon-Casasola OA, Lopez A, De Andres J, Martin S, Mora M.
An in vitro study of dural lesions produced by 25-gauge Quincke and
Whitacre needles evaluated by scanning electron microscopy. Reg Anesth
Pain Med. 2000 Jul-Aug;25:393-402.
14. Keener EB. An experimental study of reactions of the dura mater to
wounding and loss of substance. J Neurosurg 1959; 16: 424 – 47
15. Rando TA, Fishman RA. Spontaneous intracranial hypotension: report of two
cases and review of the literature. Neurology. 1992 Mar;42:481-7.
16. Cruickshank RH, Hopkinson JM. Fluid flow through dural puncture sites. An
in vitro comparison of needle point types. Anaesthesia. 1989 May;44:415-8.
17. Bowden K, Wuollet A, Pathwardan A, Price T, Lawal J. Transforaminal
Blood Patch for the Treatment of Chronic Headache from Intracranial
Hypotension: ACase Report andReview. Hindawi Publishing Corporation
Anesthesiology Research and Practice. 2012; Article ID 923904, 4 pages
18. Suresh SN, Karigar S. A randomized clinical trial to compare the post dural
puncture headache following spinal anaesthesia using 27G Quincke’s and
27G Whitare’s spinal needles. RRST. 2010; 2(5): 136-43.
19. MacArthur A. Differential diagnosis of postpartum headache. Rev Mex
Anest. 2009; 32(1): 16-23.
20. Kuczkowski, Krzystof M. Post-dural puncture headache in pregnant women:
What have we learned?. Rev Col Anest. 2006; 34(4): 267-272.
21

21. Kirk RM, Ribbans WJ. Clinical surgery in general. 4th ed. London: Churcill
Livingstone, 2004. p. 366-7.

Anda mungkin juga menyukai