Jalan Napas Selama Anestesi Umum Pada Seksio Sesarea: Suatu Penelitian Acak
Terkontrol
Mayasari
Pembimbing :
dr. Karmini Y, Sp.An, KAP
MALANG
Perbandingan Antara LMA Supreme Versus Intubasi Endotrakea Untuk Manajemen
Jalan Napas Selama Anestesi Umum Pada Seksio Sesarea: Suatu Penelitian Acak
Terkontrol
Abstrak
Latar belakang
Penanganan jalan napas ibu hamil adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas maternal
yang signifikan. Intubasi endotrakea dipertimbangkan sebagai suatu standar perawatan namun
LMA telah diterima sebagai penanganan jalan napas penyelamatan dan telah tergabung dalam
guideline penanganan jalan napas obstetric. Pada penelitian acak ini, kami membandingkan
LMA Supreme dengan Intubasi endotrakea pada penanganan jalan napas ibu hamil selama seksio
sesaea.
Metode
Partutrien yang menjalani operasi seksio sesarea elektif dengan anestesi umum secara acak
digunakan LMA Supreme atau ETT sebagai alat penanganan jalan napas. Hasil yang diteliti
adalah tingkat keberhasilan pemasangan alat pada percobaan pertama. Insersi yang berhasil
didefenisikan sebagai masuknya udara bilateral secara adekuat dengan auskultasi dan munculnya
end-tidal CO2 pada kapnogram. Hal ini dibandingkan dengan menggunakan tes Chi square.
Hasil lain yang diteliti termasuk waktu untuk ventilasi, parameter ventilasi/hemodinami, kejadian
aspirasi secara klinis, fetal outcomes, dan efek samping maternal yang berhubungan dengan
Kami merekrut 920 orang partutrient (460 SLMA, 460 ETT) yang menjalani operasi sesar elektif
dengan anestesi umum. Karakteristik pasien sama pada masing-masing grup. Tingkat
keberhasilan percobaan pertama mirip (Odds ratio SLMA/ETT = 1, dengan (CI 95%). SLMA
berhubungan dengan penurunan waktu ventilasi efektif dibanding dgn kelompok pengguna ETT.
Parameter ventilasi, maternal dan fetal outcome juga sama antara kedua kelompok dan tidak
Kesimpulan
SLMA dapat menjadi teknik manajemen jalan napas alternatif pada populasi obstetric risiko
rendah tertentu dimana tingkat kesuksesan insersi alat pada percobaan pertama sama,
menurunkan waktu ventilasi dan lebih sedikitnya perubahan hemodinamik dibanding dengan
pengunaan ETT. Penelitian ini sejalan dengan pedoman penanganan jalan napas ibu hamil
Komplikasi jalan napas adalah salah satu penyebab utama kejadian tidak diinginkan pada pasien
obsterik yang berhubungan dengan tindakan anestesi di negara berkembang, dengan insidensi
kira-kira gagal intubasi berkisar 0,4%. Manajemen jalan napas obstetric komplek, karena adanya
perubahan fisiologis selama kehamilan, termasuk menurunnya tekanan onkotik, retensi air yang
berhubungan dengan peningkatan oksitosin dan maneuver valsava selama proses persalinan
memicu pembengkakan mukosa kapiler dan edema. Sering pula ditemukan bersamaan dengan
belum adekuatnya waktu puasa, adanya urgensi seksio sesarea yang membutuhkan anestesi
umum. Dikenalkannya supraglotik airways device generasi kedua seperti proseal LMA dan
supreme LMA yang mempunyai doublelumen yang secara khusus didesain untuk secara fisik
memisahkan bagian respirasi dan jalur makanan, menurunkan risiko aspirasi dan telah mengubah
Pedoman pertama Difficult Airway Society (DAS) dalam menangani kesulitan intubasi yang
tidak diantisipasi dipublikasikan pada tahun 2004, LMA sebagai alat pertolongan lini kedua.
Kemudian, pentingnya peran LMA pada penanganan jalan napas obstetric dikenalkan pada
pedoman khusus obstetric yang dikeluarkan oleh Obstetric Anaesthetists’ Association (OAA)
dan DAS. Sebagai tambahan, pedoman OAA-DAS merekomendasikan proses keputusan yang
aktif pada saat pengambilan keputusan risiko maternal tanpa melakuakn intubasi endotrakea
versus risiko pada janin karena penundaan operasi. Pedoman ini juga memancing perhatian
gagasan tradisional bahwa general anestesi untuk operasi seksio sesarea tidak diperbolehkan
tanpa intubasi endotrakea, karena adanya risiko aspirasi paru. Praktik RSI dan ETT adalah
standar perawatan untuk manajemen jalan napas pada pasien obstetric. Praktik anestesi yang
terbaru berhubungan dengan rendahnya kejadian aspirasi paru kira-kira 0,1 %. Meningkatnya
penggunaan anestesi neuroaxial, profilaksis aspirasi, dan adanya pedoman puasa yang lebih
ketat, serta control jalan napas via RSI dan ETT untuk anestesi umum adalah factor-faktor yang
mungkin meningkatkan margin of safety. Pada saat ini, efikasi dan safety dari penggunaan LMA
pada pasien-pasien tertentu untuk anestesi umum telah dilakukan pada banyak penelitian kohort
Metode
Penelitian ini telah diterima oleh Institutional Review Board (approval obtained on 25th October
2012) at the Quanzhou Women’s and Children’s Hospital, Fujian Province, China, dan
seksio sesarea di RS tersebut dilakukan dengan anestesi umum karena permintaan pasien, dengan
manajemen rutin pengelolaan jalan napas menggunakan SLMA pada operasi elective dan operasi
urgent. Angka seksio sesarea di RS ini berkisar 35% dan SLMA untuk anestesi umum digunakan
pada 2000 kasus pertahunnya, dengan intubasi endotrakea sebagai manajemen jalan napas
alternative. Kami merekrut ibu dengan kehamilan tunggal yang berusia antara 18-50 tahun yang
sehat atau terkontrol kesehatannya (ASA 2) yang menjalani seksio sesarea elektif dengan
anestesi umum di Quanzhou Women’s and Children’s Hospital, China anatar Mei 2013- Juli
2014. Informed consent tertulis didapatkan dari setiap partisipan. Kriteria eksklusi termasuk
partutrient dgn BMI ≥ 35 kg/m2 , adanya kesulitan penanganan jalan napas ( Mallampati 4 atau
diketahui adanya patologi pada saluran napas bagian atas atau patologi pada leher) atau adanya
penyakit gastroesofageal refluks. Semua partutrient puasa selama minimal 6 jam. Induksi
anestesi dan insersi alat jalan napas mengikuti standar klinis pada pusat penelitian kami. Sesuai
standar institusi kami, semua partutrient menerima premedikasi ranitidine IV, yang diikuti
pemasangan EKG, pulse oxymetri, capnography dan pengukur tekanan darah yang non invasive.
Diikuti dengan pemberian preoksigenasi selama 3 menit, RSI dilakukan dengan cricoid pressure
oleh perawat anestesi terlatih. Induksi anestesi dengan menggunakan propofol 2-3 mg/kgbb
Ddan 100 mg succinylcolin. Setelah alat bantu jalan napas dimasukkan, rocuroium (0.5 mg/kg)
digunakan untuk relaksasi otot dan fentanyl 100 mcg diberikan untuk analgesia intraoperative
setelah bayi lahir. Ukuran LMA dipilih sesuai dengan rekomendasi pabrik, namun, ukuran yang
lebih tepat dapat dipilih berdasarkan berat badan partutrien, BMI, dan buka mulut. Diameter
intralumen ETT antara 6,5-7 mm digunakan pada penelitian ini. 3 Peneliti (Yao, Li dan Yuan)
masing-masing adalah anestesi yang telah memiliki pengalaman lebih dari 5 tahun dalam
menggunakan SLMA dan ETT termasuk dalam penanganan manajemen sulit airways pada
anestesi umum dan menangani pasien-pasien dalam penelitian ini. Pada kelompok SLMA,
insersi SLMA menggunakan tekhnik rotasional satu tangan dan tetap mempertahankan cricoid
pressure. Lalu diikuti, pengunaan manometer untuk mengembangkan cuff hingga 60 cmH2O dan
kami mencatat volume udara yang dibutuhkan untuk mencapai tekanan pengembangan cuff.
Kemudian, kemampuan untuk melakukan ventilasi dikonfirmasi dengan bukti adanya masuknya
udara bilateral pada saat dilakukan auskultasi dan CO2 terdeketeksi pda capnopgraph setelah
cricoid pressure dihentikan. Setelah penempatan SLMA dianggap berhasil, gastic tube no 14
dimasukkan melalui jalur drainase gastric dan diperiksa kembali ketepatan penempatannya
dengan cara aspirasi dari cairan gaster atau menginjeksikan sejumlah udara melalui tubing
orogastric dan melakukan auskultasi suara swossh pd daerah epigastrium. Dilakukan suctioning
dari tubing orogastric sebelum operasi dimulai. Terakhir, Tekanan penyegel SLMA ditentukan
dengan mencatat peak airways pressure setelah menutup APL ventilator dan diberikan
maintanace fresh gas flow dengan rate 3 liter per menit menjadi sirkuit tertutup. Bila diperlukan,
penggunaan maneuver tambahan seperti chin lift, ekstensi kepala, jawa trusht atau reposisi
SLMA diperbolehkan untuk menjaga patensi airways. Kegagalan untuk melakukan penempatan
SLMA yang baik setelah 2 kali percobaan, dalam 1 menit belum berhasil, dan sebelum desaturasi
terjadi akan dilakukan intubasi endotrakea. Seksio sesarea boleh dilakukan apabila :
Pada kelompok ETT, intubasi dilakukan via direct laringoskop dengan menggunakan blade
menggunakan manometer dan kami mencatat volume udara yang dibutuhkan untuk mencapai
tekanan ini. Diikuti dengan pencatatan masuknya udara secara bilateral pada auskultasi dan
terdeteksinya CO2 di kapnograp serta cricoid pressure dilepaskan. Orogastric tubing no 14 juga
Maintance anestesi umum didapatkan dengan menggunakan 1,5 hingga 2 % sevofluran dicampur
50 % N2O dan O2, dimana semua partutrien diposisikan left lateral menggunakan ganjal.
Partutrient diberikan ventilasi dengan tidal volume 6-10 cc/kg dengan napas 10-16 x/mnt,
dengan target end tial CO2 antara 30-40 mmHg. Obstericiant dianjurkan untuk tidak melakukan
penekana pada fundus selama proses persalinan apaun alat airways yang digunakan. Setelah
didapatkan respirasi spontan yang adekuat dan partutrien sadar pada saat operasi selesai, airways
device dicabut.
Hasil utama penelitian kami adalah tingkat kesuksesan keberhasilan insersi airways device pada
2. Ventilasi parameter (tidal volume, RR, peak pressure) untuk mempertahankan oksigenasi
yang efektive (didefenisikan SpO2 > 92% dan kadar CO2 pada end tidal CO2 < 50%
mmHg.
3. Parameter hemodinamik termasuk HR dan tekanan darah selama 6 menit pasca induksi.
Perbedaan hasil antara ETT dan SLMA dipresentasikan sebagai ood ratio dan mean difference
dengan 95% confident interval. Kami merekrut 920 partutrient pada penelitian ini.
Hasil penelitian
Kami melakukan skrining pada 998 partutrient antara mei 2013- juli 2014. Dengan total 920
partutrient yang memenuhi kriteria diteliti secara acak (dibagi menajdi masing-masing 460 orang
tiap kelompok).
Dari table 1 kami mengelompokkan karakteristik klinis dan demographis partutrient, didaptkan
tidak adanya perbedaan yang signifikan dari segi umur, berat, tinggi, skoring ASA, skor
mallampati dan usia kehamilan. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam durasi anestesi
pada kedua kelompok dengan SLMA 456/460 (99.1%), ETT 456/460 (99.1%), with OR of 1.00
(95%CI: 0.25, 4.02; p = 1.0000) dimana SLMA dibandingkan dengan ETT. Namun kami
menemukan secara statistic didapatkan penurunan yamg significant untuk melakukan ventilasi
yang efektif dengan MD of − 22.96 (95%CI: − 23.71, − 22.21; p < 0.0001) pada insersi SLMA
dibanding dengan ETT. Untuk parameter ventilasi hamper sama pada kedua grup dimana kedua
kelompok dapat mencapai ventilasi yang efektif dengan volume tidal terendah, RR terendah, dan
peak pressure tertinggi. Meskipun baseline HR dan tekanan darah pada kedua kelompok hamper
sama, kami menemukan bahwa insersi SLMA berhubungan dengan perubahan hemodinamik
yang lebih sedikit dibanding intubasi ETT. Maternal dan fetal outcome juga ditampikan pada
table 3. Tidak diapatkan pula klinis yang mengarah ke aspirasi paru. Didapatkan sedikit kejadian
komplikasi airways pada peneltian ini seperti, kejadian nyeri tenggorok pada kedua kelompok
hampir sama. Kepuasaan pasien diapatkan hasil yang hamper sama pada kedua kelompok.
Diskusi
Penelitian ini mencakup partutrien yang manjalani operasi seksio sesarea dengan anestesi umum
menunjukkan hasil tingkat keberhasilan pemasangan airways device pada percobaan pertama
dengan hasil yang sama. Namun pengunan SLMA berhubungan dengan penurunan significant
waktu efektive untuk ventilasi dan fluktuasi hemodinamik lebih sedikit setelah insersi airways
device. Outcomes respirasi, maternal dan fetal hamper sama pada kedua kelompok. Angka
Tingginya angka kesuksesan insersi SLMA pada pasien obstetric menguatkan hipotesis kami
bahwa penggunaan LMA generasi kedua cocok untuk partutrient tertentu dan ini sesuai dengan
rekomendasi OAA-DAS bahwa penggunaan LMA pada situasi kesulitan ataupun kegagalan
intubasi .
Parturient dipertimbangkan sebagai kelompok yang berisiko tinggi terhadap regurgitasi gastric
dan aspirasi paru. Risko dapat meningkat terutama bila adanya obsesitas, nyeri bersalin dan
pengunaan analgesia opioid. Meskipun penelitian ini tidak meneliti mengenai risiko aspirasi
paru, kami tidak menemukan adanya bukti klinis terjadinya regurgitasi ataupun aspirasi. Hal ini
dimungkinkan karena:
1. Kemampuan system double lumen dari LMA generasi keduauntuk memfasilitasi insersi
2. Penyegel pharyngeal yang lebih baik yang dapat mencegah insuflasi lambung dan cairan
gaster
4. Pemilihan pasien yang hati-hati dengan mengekslusi partutrien yang memiliki risiko
regurgitasi gaster
5. Adanya rekomendasi minimum lama puasa
Kami juga meminta semua obstreciant tidak melakukan tekanan fundus pada semua kelompok.
Pada penelitian prospektif yang dilakukan Han dkk tahun 2001 menghunakan LMA klasik pada
operasi seksio sesarea pada 1067 partutrien tidak mendapati adanya regurgitasi ataupun aspirasi.
Namun pada praktik sekarang ini intubasi endotrakeal adalah pilihan utama pada operasi seksio
sesarea dibanding LMA krn masih adanya risiko aspirasi paru pada pasien obstetric
Critical Appraisal
1. Apakah studi memiliki tema yang terfokus? Ya
Penanganan jalan napas ibu hamil adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
maternal yang signifikan. Intubasi endotrakea dipertimbangkan sebagai suatu standar
perawatan namun LMA telah diterima sebagai penanganan jalan napas penyelamatan dan
telah tergabung dalam guideline penanganan jalan napas obstetric. Pada penelitian acak
ini, kami membandingkan LMA Supreme dengan Intubasi endotrakea pada penanganan
jalan napas ibu hamil selama seksio sesaea.
4. Apakah penulis sudah mempertimbangkan factor lain yang mempengaruhi hasil studi?
Ya
Parturient dipertimbangkan sebagai kelompok yang berisiko tinggi terhadap regurgitasi gastric
dan aspirasi paru. Risko dapat meningkat terutama bila adanya obsesitas, nyeri bersalin dan
pengunaan analgesia opioid. Meskipun penelitian ini tidak meneliti mengenai risiko aspirasi
paru, kami tidak menemukan adanya bukti klinis terjadinya regurgitasi ataupun aspirasi. Hal ini
dimungkinkan karena:
1. Kemampuan system double lumen dari LMA generasi keduauntuk memfasilitasi insersi
2. Penyegel pharyngeal yang lebih baik yang dapat mencegah insuflasi lambung dan cairan
gaster
4. Pemilihan pasien yang hati-hati dengan mengekslusi partutrien yang memiliki risiko
regurgitasi gaster
sesar elektif dengan anestesi umum. Karakteristik pasien sama pada masing-masing grup.
Tingkat keberhasilan percobaan pertama mirip (Odds ratio SLMA/ETT = 1, dengan (CI
95%). SLMA berhubungan dengan penurunan waktu ventilasi efektif dibanding dgn
kelompok pengguna ETT. Parameter ventilasi, maternal dan fetal outcome juga sama
percobaan pertama dengan hasil yang sama. Namun pengunan SLMA berhubungan
dengan penurunan significant waktu efektive untuk ventilasi dan fluktuasi hemodinamik
lebih sedikit setelah insersi airways device. Outcomes respirasi, maternal dan fetal
hamper sama pada kedua kelompok. Angka keberhasilan insesrsi SLMA pada percobaan
Tingginya angka kesuksesan insersi SLMA pada pasien obstetric menguatkan hipotesis
kami bahwa penggunaan LMA generasi kedua cocok untuk partutrient tertentu dan ini
sesuai dengan rekomendasi OAA-DAS bahwa penggunaan LMA pada situasi kesulitan