Anda di halaman 1dari 38

Refleksi Kasus Februari 2018

“MANAJEMEN ANESTESI PADA SECTIO CAESAREA


ATAS INDIKASI KALA II LAMA + EKLAMPSIA +
GAWAT JANIN”

Disusun Oleh:
Meichel Hardiyanto
N 111 17 149

Pembimbing Klinik:
dr. Ajutor Donny T, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Ada tiga kategori utama anestesi yaitu anestesi umum, anestesi regional dan
anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi
akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan
keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakannya tersebut.
Anestesi umum adalah suatu keadaan meniadakan nyeri secara sentral yang
dihasilkan ketika pasien diberikan obat-obatan untuk amnesia, analgesia, kelumpuhan
otot, dan sedasi. Pada anestesi memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan
pembedahan yang dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi
menyebabkan perubahan fisiologis tubuh yang ekstrim dan menghasilkan keadaan
yang tidak menyenangkan.
Anestesi umum menggunakan cara melalui intravena dan secara inhalasi
untuk memungkinkan akses bedah yang memadai ke tempat dimana akan dilakukan
operasi. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa anestesi umum mungkin tidak
selalu menjadi pilihan terbaik, tergantung pada presentasi klinis pasien, anestesi lokal
atau regional mungkin lebih tepat.
Anestesi spinal atau subarachnoid adalah anestesi regional dengan tidakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Anestesi spinal atau
subarachnoid juga disebut sebagai analgesik atau blok spinal intradural atau blok
intratekal. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat
yang digunakan, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung
tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan
penyebaran obat.
Berikut ini akan dilaporkan kasus pada pasien seorang wanita usia 23 tahun
yang didiagnosis dengan GIP0A0 + gravid aterm + kala II lama + eklamsia + gawat

2
janin yang akan dilakukan tindakan section caesarea dengan general anestesi di RSU
Anutapura Palu.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

PERUBAHAN FISIOLOGI SELAMA KEHAMILAN


Perubahan faal pad ibu hamil yang berpengaruh pada anestesi adalah :
1. Sistem pernapasan
a. Kebutuhan oksigen selama kehamilan meningkat hingga 60%. Selain itu, cardiac
output dan ventilasi permenit juga meningkat. Sehingga anestesi inhalasi berjalan
lebih cepat mencapai tahap anestesia yang dalam.
b. Functional Residual Capacity (FRC) menurun sampai 15-20%, yang
menyebabkan cadangan oksigen dalam paru menurun sedangkan disisi lain
kebutuhan 02 ibu hamil meningkat. Hal ini karena desakan uterus terhadap
diafragma. Tindakan pre-oksigenasi sebelum anestesi adalah sangat penting
untuk mengurangi bahaya hipoksia.
Manajemen jalan nafas mungkin sulit selama kehamilan. Ventilasi bag-mask
mungkin lebih sulit karena meningkatnya jaringan lunak di leher. Laringoskopi dapat
terhalang oleh berat badan dan payudara yang membesar. Peningkatan edema pita
suara akibat peningkatan permeabilitas kapiler dapat menghambat intubasi dan
meningkatkan risiko perdarahan. Hal ini dapat membuat upaya lebih lanjut dari
intubasi lebih sulit dan meningkatkan kejadian gagal intubasi. Peningkatan konsumsi
oksigen ibu dan penurunan hasil FRC di desaturasi oksigen cepat selama upaya
intubasi. Intubasi nasal harus dihindari karena peningkatan vaskularisasi pada
membran mukosa.

2. Sistem kardiovaskular
Peningkatan stroke volume sampai 30%, hingga peningkatan frekuensi denyut
jantung sampai 15%, peningkatan curah jantung sampai 40%. Volume plasma
meningkat sampai 45% sementara jumlah eritrosit meningkat hanya sampai 25%,
menyebabkan terjadinya dilutional anemia of pregnancy.

4
Meskipun terjadi peningkatan isi dan aktifitas sirkulasi, penekanan/kompresi
vena cava inferior dan aorta oleh massa uterus gravid dapat menyebabkan terjadinya
supine hypertension syndrome yang gejalanya meliputi hipotensi, mual atau muntah
sesak nafas dan gelisah. Jika tidak segera dideteksi dan dikoreksi, dapat terjadi
penurunan vaskularisasi uterus sampai asfiksia janin. Untuk mengatasi sirkulasi darah
pasien harus segera dibaringkan miring ke kiri atau bokong kanan diganjal agar tubuh
miring 45 derajat, sehingga uterus tergeser lebih ke kiri dan penekanan vena cava
berkurang.6

3. Sistem gastrointestinal
Sirkulasi progesteron mengurangi tonus sfingter esofagus bagian bawah,
meningkatkan kejadian refluks esofagus. Hal ini lebih diperburuk oleh perubahan
anatomi. Uterus gravid menyebabkan peningkatan tekanan intragastrik dan perubahan
sudut gastroesophageal junction, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
regurgitasi dan aspirasi pulmonal isi lambung. Selain itu, dalam keadaan yang sama,
produksi asam lambung meningkat. 50% kematian pada anestesi disebabkan oleh
masuknya cairan lambung ke dalam trakea dan paru yang menyebabkan acid
aspiration pneumonitis atau disebut sindroma dari Mendelson. Hal ini tejadi terutama
pada usia gestasi 16-20 minggu.3,6
Disarankan bahwa dari 16 minggu usia kehamilan pasien yang menjalani
anestesi umum harus diberikan profilaksis terhadap pneumonitis aspirasi. Hal ini
biasanya diberikan antasida non-partikulat seperti sodium sitrat 0.3M 30ml dan
reseptor H2 antagonis misalnya ranitidin 150 mg oral atau 50 mg intravena. Beberapa
anestesi juga dapat memilih untuk memberikan prokinetik seperti metoclopramide.
Induksi anestesi harus dengan teknik urutan yang cepat dengan tekanan krikoid. Pada
saat diekstubasi pasien harus dijaga pada posisi lateral.3

4. Perubahan Farmakokinetik dan Farmakodinamik

5
Akibat peningkatan endorphin dan progesteron pada wanita hamil, konsentrasi
obat inhalasi yang lebih rendah cukup untuk mencapai anestesia; kebutuhan halotan
menurun sampai 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%. Pada anestesi epidural atau
intratekal (spinal), konsentrasi anestetik lokal yang diperlukan untuk mencapai
anestesi juga lebih rendah. Hal ini karena pelebaran vena-vena epidural pada
kehamilan menyebabkan ruang subarakhnoid dan ruang epidural menjadi lebih
sempit. Faktor yang menentukan yaitu peningkatan sensitifitas serabut saraf akibat
meningkatnya kemampuan difusi zat-zat anestetik lokal pada lokasi membran
reseptor. 3,5,6
Transfer obat dari ibu ke janin melalui sirkulasi plasenta juga menjadi
pertimbangan, karena obat-obatan anestesia yang umumnya merupakan depresan,
dapat juga menyebabkan depresi pada janin. Harus dianggap bahwa semua obat dapat
melintasi plasenta dan mencapai sirkulasi janin. 3,5,6.

MANEJEMEN ANESTESI PADA IBU HAMIL


Dalam rangka untuk memberikan anestesi yang aman bagi ibu dan janin, adalah
penting untuk mengingat perubahan fisiologis dan farmakologis yang menjadi ciri
tiga trimester kehamilan; perubahan ini dapat menimbulkan bahaya bagi mereka
berdua. Dokter anestesi memiliki tujuan sebagai berikut:4
- mengoptimalkan dan menjaga fungsi fisiologis normal pada ibu;
- mengoptimalkan dan menjaga aliran darah utero-plasenta dan pemberian
oksigen;
- menghindari efek obat yang tidak diinginkan pada janin;
- menghindari merangsang miometrium (efek oxytocic)

1. Penilaian Pre-operatif

6
Tindakan anestesi selama kehamilan perlu melibatkan hubungan dekat dengan
dokter kandungan dan termasuk penilaian USG dari janin selain itu juga diperlukan
konsultasi dengan Neonatologist. Selama penyelidikan radiologi, paparan janin harus
diminimalkan. Hasil tes darah yang relevan harus tersedia.4
Pra-pengobatan harus selalu menyertakan profilaksis aspirasi seperti ranitidin,
sitrat natrium dan metoclopramide. Premedikasi anxiolysis (misalnya, midazolam 1
mg) mungkin diperlukan untuk cemas nifas, seperti katekolamin tinggi dapat
menurunkan aliran darah ke rahim. Analgesia harus disesuaikan untuk menghindari
efek merusak dari stres pada ibu dan janin. Obat non-steroid anti-inflamasi harus
dihindari, karena risiko prematur penutupan duktus arteriosus. Namun, aspirin dosis
rendah, bahkan ketika diminum secara teratur, tampaknya aman dalam hal ini.4,5

2. Pertimbangan Obat
Antara hari ke 15 dan 56 hari kehamilan, embrio manusia dikatakan paling rentan
terhadap efek teratogenik obat.7 Sejak tahun 1978, sebagian besar obat yang
digunakan dalam obat-obatan dan anestesi telah ditetapkan kode dalam Swedish
catalogue of registered pharmaceutical specialties (FASS). Kode-kode tersebut
merupakan panduan untuk pilihan yang sesuai dari agen obat-obatan sehubungan
dengan efek pada janin, plasenta dan aliran darah rahim-plasenta, dan kemungkinan
aborsi. Studi hasil dalam jumlah besar perempuan yang menjalani operasi selama
kehamilan menunjukkan tidak ada peningkatan kelainan bawaan, tetapi risiko yang
lebih besar dari aborsi, pertumbuhan dan berat badan lahir rendah. Studi ini
menyimpulkan bahwa masalah dihasilkan dari penyakit primer atau prosedur bedah
itu sendiri daripada paparan anestesi.8
Meskipun data yang tersedia tidak lengkap, penelitian menunjukkan bahwa
pemberian suatu analgesik, hipnotis opioid atau obat penenang tidak akan memiliki
efek merusak pada embrio atau perkembangan janin. Konsensus saat ini adalah
bahwa benzodiazepin tidak bersifat teratogenik dan dosis tunggal tampaknya aman.

7
Karena kekhawatiran tentang peningkatan risiko “sumbing”, penggunaan obat-
obatan, terutama pada trimester pertama, sebaiknya harus dihindari.9

3. Anestesi dan gestasi


Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan sama sekali selama kehamilan.
Operasi darurat harus dilakukan tanpa memandang usia kehamilan dan tujuan utama
adalah untuk menyelamatkan kehidupan ibu. Sebaiknya, operasi sering ditunda
sampai trimester kedua untuk mengurangi resiko teratogenitas dan keguguran,
meskipun tidak ada bukti kuat untuk mendukung hal ini.4

4. Anestesi pada Trimester Pertama


Setelah 6-8 minggu kehamilan, jantung, hemodinamik, pernafasan, parameter
metabolik dan farmakologis jauh berubah. Dengan peningkatan minute ventilation
dan konsumsi oksigen dan penurunan cadangan oksigen (penurunan kapasitas residu
fungsional dan volume residu), wanita hamil menjadi lebih cepat hypoxaemic.
Oksigen harus selalu diberikan selama periode rentan untuk mempertahankan
oksigenasi.4
Manajemen jalan napas oleh masker wajah, masker laring atau intubasi trakea
bisa secara teknis sulit karena diameter anteroposterior dinding dada meningkat,
pembesaran payudara, edema laring dan berat badan mempengaruhi jaringan lunak
leher. Nasal canul harus dihindari dalam kehamilan karena peningkatan vaskularisasi
selaput lendir. Penurunan konsentrasi cholinesterase plasma sebanyak 30% secara
teori menyebabkan succinylcholine, anestesi lokal ester memiliki efek yang lebih
lama.4
Aspirasi profilaksis dianjurkan dari awal trimester kedua. Kehamilan
berhubungan dengan persyaratan anestesi yang lebih rendah, meskipun mekanisme
ini tidak diketahui. Konsentrasi minimum alveolar (MAC) untuk anestesi inhalasi
berkurang sebesar 30% pada 8-12 minggu kehamilan. Obat IV yang menginduksi
anestesi umum juga harus diberikan dalam dosis yang lebih rendah.4

8
Kondisi janin harus dinilai oleh USG atau Doppler sebelum dan setelah anestesi
dan pembedahan. Karena peningkatan risiko hipoksemia, kesulitan dengan intubasi,
aspirasi asam dan risiko bagi janin, anestesi regional lebih dipilih dari anestesi umum
jika keadaan memungkinkan.4

5. Anestesi pada trimester kedua


Kompresi Aortocaval merupakan bahaya yang paling ditakutkan pada operasi ibu
hamil dengan usia gestasi lebih dari 20 minggu. Karena berat uterus dapat mendesak
vena inferior yang mengakibatkan penurunan aliran vena dan cardiac output.
Sehingga mengakibatkan penurunan aliran darah uterus-plasenta. Hal ini dapat
terjadi pada bebepa wanita hamil dengan posisi telentang. Biasanya keadaan ini dapat
dikompensasi dengan vasokontriksi dan takikardi pada ekstremitas atas.5 Efek ini
dapat diperburuk oleh regional anestesi atau anestesi umum ketika mekanisme
kompensasi normal dilemahkan atau ditiadakn. Aortocaval kompresi dapat dihindari
dengan menggunakan posisi lateral. Hal ini juga dapat dikurangi dengan perpindahan
rahim melalui wedging atau perpindahan manual.4
Kehamilan berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi karena peningkatan pro-
koagulan faktor. Insiden komplikasi tromboembolik setidaknya lima kali lebih besar
selama kehamilan; tromboprofilaksis sangat penting.10

6. Anestesi untuk trimester ketiga


Pada usia kehamilan ini, melahirkan melalui operasi caesar sebelum operasi
utama sering dianjurkan. Bila memungkinkan, operasi harus ditunda 48 jam untuk
memungkinkan terapi steroid untuk meningkatkan pematangan paru janin. Mungkin
lebih tepat untuk melahirkan bayi dengan anestesi regional, kemudian dikonversi ke
anestesi umum untuk operasi definitif. Anestesi pasca persalinan harus disesuaikan
dengan persyaratan bedah, dengan tindakan pencegahan bahwa agen-agen volatil
harus dihentikan atau digunakan hanya dalam dosis kecil (<0,5 MAC) bersama
dengan oxytocics untuk meminimalkan risiko atonia uteri dan perdarahan.4

9
Pembedahan, stres dan anestesi dapat menekan laktasi, setidaknya untuk
sementara. Kebanyakan obat diekskresikan ke dalam ASI, namun, hanya sedikit
yang benar-benar dikontraindikasikan selama menyusui (zat radioaktif misalnya,
ergotamine, lithium, agen psikotropika).4

7. Pengawasan Post-operatif
Denyut jantung janin (DJJ) dan aktivitas uterus harus dipantau selama pemulihan
dari anestesi. Jika janin layak untuk persalinan prematur, sebaiknya dikonsultasikan
dengan konsultan pediatrik, jika perlu, pasien harus dipindahkan ke rumah sakit
dengan perawatan intensif neonatal unit. Analgesia yang memadai harus berikan
dengan sistemik atau spinal opid. Anestesi regional lebih disukai karena opioid
sistemik dapat mengurangi variabilitas DJJ. Penggunaan rutin dan berkepanjangan
nonsteroid obat antiinflamasi sebaiknya dihindari karena efek potensial terhadap janin
(misalnya, penutupan prematur ductus arteriosus dan pengembangan
oligohidramnion). Acetaminophen aman untuk diresepkan dalam kondisi ini.
Mobilisasi awal dan profilaksis trombosis vena harus diwaspadai pada pasien
beresiko untuk tromboemboli.5

OBAT ANESTESI YANG AMAN UNTUK IBU HAMIL


Kedua jenis anestesi umum dan spinal telah dianggap berhasil digunakan untuk
operasi non obstetric pada ibu hamil. Tidak ada penelitian yang terbaru menunjukkan
keunggulan suatu teknik dibandingkan yang lain dalam hal hasil bagi janin. Anestesi
spinal memang mencegah resiko yang potensial akan kegagalan intubasi dan aspirasi
serta mengurangi pemaparan teratogen yang potensial bagi janin. Dalam anestesi dan
operasi, calon janin paling baik dipastikan dengan perawatan yang cermat dari
parameter hemodinamik dan oksigenasi ibu. Pemantauan tertutup akan respon janin
terhadap tanda-tanda kegawatan sangat direkomendasikan.11
Saat penilaian preoperasi, premedikasi untuk menenangkan kegelisahan bisa
dipertimbangkan. Profilaksis terhadap aspirasi pneumonitis dengan H2- reseptor

10
antagonis dan nonpartikulat antasida harus diberikan sejak 16 minggu gestasi. Sejak
saat tersebut, pasien harus dipertimbangkan berada pada resiko kompresi aortocaval
dan aspirasi pneumonitis.11
Anestesiaa umum biasanya dipertahankan dengan agen anestetik yang mudah
menguap, yaitu oksigen atau campuran N2O/O2. Studi terbaru tidak menemukan
N2O bersifat teratogenik dalam penggunaan klinis. Efek dari anestesia umum yang
ringan dan berasosiasi dengan katekolamin yang menghasilkan terganggunya perfusi
uteroplacental yang dianggap berbahaya bagi janin.11
Tekanan positif ventilasi harus digunakan dengan perawatan dan level residu
tidal CO2 harus dipertahankan dalam batasan yang normal dalam kehamilan. Ada
hubungan linear antara PaCO2 maternal dengan PaCO2 janin.11
Hiperkarbia maternal membatasi gradient difusi CO2 dari janin ke darah ibu dan
dapat menyebabkan asidosis janin, sehingga meningkatkan resiko kematian janin.
Dengan alasan ini, analisa gas darah rutin sangat dianjurkan dalam operasi
laparaskopi, dimana CO2 digunakan untuk menetapkan dan mempertahankan
pneumoperitoneum. Studi terbaru menemukan korelasi yang baik antara tidal akhir
CO2 dan PaCO2 dalam kehamilan dan menyimpulkan bahwa gradient sebelumnya
dapat digunakan dengan aman sebagai petunjuk ventilasi selama laparaskopi pada
pasien hamil.11

Tabel 2.1 Obat-obat anestesi dalam kehamilan adalah:12


Obat Anestesi
AAP Kategori Risiko Risiko
Nama Obat approved?* Kehamilan** Menyusui**

Anestesi Lokal
Articaine (Septocaine) NR - NR

11
Bupivacaine (Marcaine) NR C L2

Lidocaine (Xylocaine) Approved C L2

Mepivacaine (Carbocaine, NR C L3
Polocaine)
Procaine HCL NR C L3
(Novocaine)
Anestesi Umum

Halothane (Fluothane) Approved C L2

Isoflurane (Forane) NR - NR

Ketamine NR - NR

Methohexital (Brevital) Approved B L3

Nitrous oxide NR - L3

Sevoflurane (Ultane) NR B L3

Thiopental (Pentothal) Approved C L3

Obat lain yang sering digunakan selama anestesi


Sedatives
L3; L4 for
Diazepam (Valium) Concern D
chronic use

Midazolam (Versed) Concern D L3

Propofol (Diprivan) NR B L2

Triazolam (Halcion) NR X L3

Narcotic Analgesics
Alfentanil (Alfenta) NR C L2

Fentanyl (Sublimaze) Approved B L2

Hydromorphone NR C L3
(Dilaudid)

12
Morphine Approved B L3

Reversal Medication
Flumazenil (Romazicon) NR C NR

Naloxone (Narcan) NR C NR

Steroids
Decadron NR C NR
(Dexamethasone)
Stimulants
Epinephrine (Adrenaline) NR C L1

Anti-nausea
Promethazine (Phenergan) NR C L2

*  Per the AAP (American Academic of Pediatric) Policy Statement Transfer Obat
dan Bahan Kimia Lainnya Ke ASI, direvisi September 2001.
 Approved: Obat yang cocok untuk ibu menyusui
 Concern: Obat yang efeknya pada bayi yang menyusui tidak diketahui tetapi
harus diperhatikan
 Caution: Obat yang telah berhubungan dengan efek yang signifikan pada
beberapa bayi yang menyusui dan harus diberikan pada ibu menyusui dengan
perhatian
 NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh AAP.

** Per Medications’ and Mothers’ Milk by Thomas Hale, PhD (edisi 2004).

Kategori Resiko Laktasi Kategori Resiko Kehamilan

 L1 (sangat aman)  A (studi kontrol menunjukkan tidak


 L2 (aman) adanya resiko)
 L3 (sedang)  B (tidak ada bukti resiko pada
 L4 (kemungkinan manusia)

13
berbahaya)  C (resiko tidak bisa dicegah)
 L5 (kontra indikasi)  D (positif adanya resiko)
 X (kontraindikasi dalam kehamilan)

NR: Not Reviewed. Obat ini belum ditinjau oleh Hale. (Hale, 2004)

2. EKLAMSIA
2.1 Definisi
Preeklamsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria. Eklamsia adalah preeklamsia yang disertai dengan kejang-kejang
dan/ atau koma.

2.2 Faktor Resiko


Faktor resiko untuk terjadinya hipertensi dalam kehamilan adalah sebagai
berikut :1

1. Primigravida dan primipaternitas


2. Hiperplasentosis, misalnya pada mola hidatinosa, kehamilan multipel,
diabetes melitus, hidrops fetalis, bayi besar.
3. Umur di atas 35 tahun
4. Riwayat preeklamsia/eklamsia pada keluarga
5. Penyakit ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum hamil
6. Obesitas
2.3 Etiologi1,2
Penyebab hipertensi dalam kehamilan hingga kini belum diketahui dengan
jelas. Berbagai teori telah dikemukakan namun belum ada teori yang mutlak
dianggap benar.

2.3.1 Kelainan invasi trofoblastik

14
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari
cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arkuarta yang bercabang menjadi arteri radialis. Arteri
radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis yang bercabang menjadi
arteri spiralis.

Pada kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri
spiralis sehingga menimbulkan degenerasi lapisan otot dan terjadi dilatasi arteri
spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki jaringan sekitar arteri spiralis sehingga
jaringan matriks menjadi gembur dan memudahkan lumen arteri spiralis
mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular, dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Akibatnya, aliran darah ke
janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat. Proses ini dinamakan
remodeling arteri spiralis atau pseudovaskularisasi, berlangsung hingga masa
kehamilan 18-20 minggu.

Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi invasi sel trofoblas yang tidak
sempurna. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga
arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan terjadinya
hipoperfusi plasenta yang melepaskan molekul vasoaktif sistemik sehingga
menimbulkan respon inflamasi, vasokonstriksi, kerusakan endotel, kebocoran
kapiler, hiperkoagulasi, dan disfungsi trombosit.

15
Gambar 1. Invasi trofoblas pada arteri spiralis

2.3.2 Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin


Dugaan faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam
kehamilan terbukti karena fakta primigravida memiliki resiko lebih besar
dibandingkan dengan multigravida. Ibu yang multipara yang menikah lagi juga
memiliki resiko lebih besar. Pada ibu yang hamil normal, respon imun tidak
menolak hasil konsepsi yang bersifat asing karena terdapat human leukocyte
antigen protein G (HLA-G) yang berperan dalam modulasi respon imun

16
sehingga ibu tidak menolak hasil konsepsi. HLA-G pada plasenta dapat
melindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel natural killer (NK) ibu. Pada
preeklamsia terjadi gangguan adaptasi sel NK terhadap HLA-G sehingga terjadi
respon yang serupa dengan penolakan benda asing. Disfungsi sel endotel yang
merupakan ciri dari preeklamsia disebabkan oleh aktivasi leukosit pada sirkulasi
maternal.

2.3.3 Teori adaptasi kardiovaskular


Pada hamil normal, pembuluh darah tidak peka terhadap rangsangan bahan
vasopresor atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respon vasokonstriksi. Hal ini disebabkan oleh adanya sintesis
prostasiklin pada sel endotel. Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi
peningkatan kepekaan terhadap vasopresor.

2.3.4 Teori defisiensi gizi


Penelitian membuktikan bahwa konsumsi minyak ikan yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh dapat mengurangi resiko preeklamsia. Asam
lemak tidak jenuh dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat
aktivasi trombosit dan mencegah vasokonstriksi pembuluh darah.

2.3.5 Teori genetik


Terdapat faktor keturunan dan familial pada preeklamsia. Penelitian
menunjukkan preeklamsia melibatkan banyak gen. Genotipe ibu lebih
menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian menunjukan 20-
40% anak perempuan dan 11-37% saudara perempuan dari penderita preeklamsia

17
juga mengalami preeklamsia. Penelitian pada saudara kembar juga menunjukkan
korelasi yang tinggi, hingga 40%.

2.3.6 Teori stimulus inflamasi


Pada kehamilan normal plasenta melepaskan debris trofoblas sebagai sisa
proses apoptosis dan nektrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Debris
tersebut merangsang timbulnya proses inflamasi. Proses apoptosis pada
preeklamsia terjadi peningkatan stres oksidatif sehingga produksi debris
apoptosis dan nekrotik trofoblas juga meningkat. Makin banyak sel trofoblas
plasenta, misalnya pada plasenta besar atau kehamilan multipel, maka reaksi
stres oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblas juga
makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan reaksi inflamasi dalam darah ibu
yang mengaktivasi sel endotel, sel makrofag sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala preeklamsia pada ibu.

2.4 Patofisiologi1,2,4
2.4.1 Otak
Nyeri kepala pada preeklamsia disebabkan oleh hiperperfusi otak sehingga
menimbulkan vasogenik edema. Kejang pada eklamsia merupakan salah satu
manifestasi dari preeklamsia dan merupakan salah satu penyebab utama
mortalitas pada ibu hamil. Etiologi pasti dari eklamsia tidak diketahi tetapi
diduga berhubungan dengan koagulopati, deposit fibrin, dan vasopasme. Sering
ditemukan edema otak yang disebabkan oleh disfungsi autoregulasi vaskular.
Pada perlukaan otak yang disebabkan oleh preeklamsia ditemukan adanya
nekrosis otak, trombosis, infark dan perdarahan petekial dan yang sebagian besar
terdapat pada korteks serebri. Pada temuan CT-scan didapatkan daerah
hipodensitas pada daerah hemisfer serebri posterior, lobus temporalis, dan batang

18
otak. Pada kasus yang berat dapat terjadi perdarahan subaraknoid atau
peradarahan intraventikular.

2.4.2 Kardiovaskular
Hipertensi yang terjadi pada preeklamsia disebabkan oleh vasokonstriksi
yang tejadi terutama pada arteriol dan diperkirakan disebabkan oleh peningkatan
reaktivitas vaskular. Mekanisme peningkatan reaktivias vaskular diduga
disebabkan oleh perubahan interaksi antara substansi vasodilator (prostasiklin,
nitrit oksida) dan vasokonstriktif (tromboksan A2, endotelin). Perubahan tersebut
meningkatkan tekanan darah arterial (afterload).

Ciri utama lain preeklamsia adalah tidak adanya ekspansi volume


intravaskular yang normal terjadi pada kehamilan, penurunan volume darah.
Pada kehamilan normal volume plasma meningkat untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan janin. Pada preeklamsi terjadi penurunan volume plasma 30-40%
dibandingkan pada kehamilan normal. Kerusakan pada endotel diduga
menyebabkan kebocoran cairan intravaskular dan protein ke dalam ruang
interstitial sehingga menyebabkan menurunnya volume intravaskular.

2.4.3 Hepar
Lesi pada hepar dicirikan oleh adanya deposit fibrin sinusoid pada area
periportal dengan yang dikelilingi oleh perdarahan dan thrombus kapiler portal.
Nekrosis sentrilobular dapat terjadi karena adanya vasospasme yang
menyebabkan hipoperfusi darah dan iskemi pada hepar. Subkapsular hematoma
dapat terbentuk, bahkan pada kasus berat dapat terjadi nekrosis hepatoselular
yang dapat berlanjut menjadi ruptur hepar. Nyeri abdomen kuadran kanan atas
atau nyeri epigastrium merupakan gejala klasik yang disebabkan oleh
teregangnya kapula Glisson.

19
Gambar 3. Gambaran subkapsular hematoma pada CT-Scan hepar.

2.4.4 Paru
Perubahan pada tekanan onkotik koloid, integritas endotel kapiler, dan
tekanan hidrostatik intravaskular pada preeklamsia dapat menyebabkan
terjadinya edema paru nonkardiogenik. Pemberian cairan intravena berlebih
dapat meningkatkan resiko terjadinya edema paru. Pada eklamsia, cidera paru
dapat terjadi akibat aspirasi isi lambung sehingga menyebabkan pneumonia,
pneumonitis atau sindrom distress pernapasan.

2.4.5 Mata
Vasospasme retina dan edema retina dapat menyebabkan gangguan visus.
Gangguan visus pada preeklamsia dapat berupa pandangan kabur, skotoma,
amaurosis dan ablasio retina.

20
2.4.6 Ginjal
Pada kehamilan normal, terjadi peningkatan glomerular filtration rate (GFR)
hingga 50%. Vasopasme pada preeklamsia menyebabkan terjadinya penurunan
perfusi renal sehingga menurunkan GFR. Oleh karenanya, pada pasien
preeklamsia dapat terjadi oliguria bahkan anuria. Terjadi peningkatan nilai
kreatinin hingga di atas kadar kehamilan normal (0,8 mg/dL). Monitoring ketat
luaran urine penting pada pasien preeklamsia karena oliguria dapat terjadi akiba
insufisiensi ginjal. Insufisiensi ginjal yang berat dapat menyebabkan nekrosis
tubular akut sehingga menyebabkan gagal ginjal aku.

Gambar 2. Glomerular Capillary Endotheliosis

Kerusakan pada sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas


membran basalis sehingga terjadi kebocoran dan mengakibatkan proteinuria.
Proteinuria terjadi jauh pada akhir kehamilan, sehingga sering dijumpai

21
preeklamsia tanpa proteinuria karena janin terlebih dahulu lahir. Pada
preeklamsia lesi pada ginjal disebut glomeruloendoteliosis atau glomerular
capillary endotheliosis yang dicirikan oleh pembengkakan dan pembesaran sel
endotel kapiler glomerular sehingga menyebabkan penyempitan lumen kapiler.
Terjadi peningkatan jumlah vakuola yang mengandung lipid pada sitoplasma.
Sel-sel mesangial juga dapat membengkak.

2.4.7 Janin
Preeklamsia dan eklamsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin
yang disebabkan oleh menurunya perfusi utero plasenta, hipovolemia,
vasopasme, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta. Dampak
preeklamsia dan eklamsia pada janin adalah dapat terjadi pertumbuhan janin
terhambat, prematuritas, oligohidramnion, dan solusio plasenta.

22
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
1. Nama : Ny. NH
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Usia : 23 Tahun
4. Berat Badan : 65 kg
5. Agama : Islam
6. Alamat : Jalan dr. Wahidin
7. Diagnosa Pra Anestesi: GIP0A0 + gravid aterm + kala II lama +
eklampsia + gawat janin
8. Jenis Pembedahan: Sectio caesarea cito
9. Tanggal Operasi : 25/01/ 2018
10. Tempat Operasi : RSU Anutapura
11. Jenis Anestesi : General anestesi

B. EVALUASI PRA-ANESTESI
1. Anamnesis (Autoanamnesis dan allo anamnesa )

 Keluhan Utama : Kejang


 Riwayat penyakit sekarang :
Pasien masuk rujukan dari RS Al Khairaat Palu dengan diagnosa G1P0A0 +
gravid aterm + inpartu kala II lama + eklampsia + gawat janin. Pasien
mengatakan kejang sebanyak 2 kali pukul 05.00 saat di RS Al Khairaat. Kejang
baru pertama kali dialami oleh pasien yang dialami kurang lebih selama 10 menit
dan setelah kejang pasien tidak sadar. Pukul 06.45 pasien tiba di IGD KB RSU

23
Anutapura Palu dalam keadaan sadar dan tiba-tiba pasien kembali kejang
sebanyak 2 kali selama 5-7 menit. BAB dan BAK tidak ada keluhan.

 Riwayat Penyakit Dahulu :


o Riwayat alergi (-)
o Riwayat asthma (-)
o Riwayat penyakit jantung (-)
o Riwayat hipertensi (-)
o Riwayat operasi sebelumnya (-)
 Riwayat Obstetri :
2018: hamil sekarang.
 Riwayat Haid : Menarke pada usia 13 tahun, haid teratur tiap bulan,
lama haid 7-8 hari, frekuensi mengganti pembalut 2-3 x/hari
 Riwayat ANC : Kunjungan 3x
 Riwayat Imunisasi : Tidak ada
 Riwayat kontrasepsi : Tidak pernah menggunakan kontrasepsi
 Allergies : Pasien tidak mempunyai riwayat alergi makanan dan
obat-obatan.
 Past Medical History : Tidak ada riwayat anestesi sebelumnya.

2. PEMERIKSAAN FISIK
 Status Generalis
Keadaan Umum : Sakit Sedang
Kesadaran : GCS E3 V5 M6
Berat Badan : 65 kg
Status Gizi : baik

24
 Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 142/103 mmHg
Nadi : 90 ×/menit
Respirasi : 24 ×/menit
Temperatur : 37 ºC

B1 (Breath) dan Evaluasi Jalan Napas: Airway: clear,


gurgling/snoring/crowing:(-/-/-), potrusi mandibular (-), buka mulut 5 cm, jarak
mento/hyoid 7 cm, jarak hyothyoid 6,5 cm, leher pendek (-), gerak leher bebas,
tenggorok T1-1 faring hiperemis tidak ada, malampathy: kelas II, obesitas (-),
massa (-), gigi geligi lengkap (tidak ada gigi palsu), sulit ventilasi (-). Suara
pernapasan: Vesikuler (+/+), suara tambahan (-). Riwayat asma (-), alergi (-),
batuk (-), sesak (-), masalah lain pada sistem pernapasan (-).

B2 (Blood): Akral dingin, bunyi jantung SI dan SII murni regular. Masalah pada
sistem kardiovaskular (-)

B3 (Brain): Kesadaran GCS 14 (E3V5M6), Pupil: isokor Ø 3 mm/3mm, RC +/+,


RCL +/+. Defisit neurologis (-). Masalah pada sistem neuro/muskuloskeletal (-).

B4 (Bladder): BAK (+), volume: 60 cc/jam, warna: kuning jernih. Masalah pada
sistem renal/endokrin (-).

B5 (bowel): Abdomen: tampak cembung, peristaltik (+) dbn, nyeri tekan regio
epigastrium, mual (-), muntah (-). Masalah pada sistem hepatogastrointestinal (-).

B6 Back & Bone: Oedem pretibial (+).

25
3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal (04/07/2017)
Darah Rutin
Parameter Hasil Satuan Range
Normal
RBC 4.73 106/uL 4.00 - 6.00
Hemoglobin (Hb) 10.9 g/dL 12.0 - 16.0
Hematokrit (HCT) 35.0 % 37.0 - 47.0
PLT 336 103/uL 150- 400
WBC 26.1 103/u L 4.0 -10.0
Fungsi ginjal
Parameter Hasil Satuan Range Normal
Urea 10 Mg/dl 15-43
Creatinin 0.61 Mg/dl 0.50-0.90

Fungsi hati
Parameter Hasil Satuan Range Normal
SGOT 22 U/I 0 - 35
SGPT 17 U/I 0 – 45

HBsAg : Non reaktif


Parameter Hasil Satuan Range Normal
GDS 122 Mg/dl 80-199

Urinalisis
Parameter Hasil Range Normal
Protein +++ Negatif
Blood +++ Negatif
Sedimen eritrosit 20-30 0-3

26
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
EKG :-

5. RESUME
Pasien masuk rujukan dari RS Al Khairaat Palu dengan diagnosa G1P0A0 +
gravid aterm + inpartu kala II lama + eklampsia + gawat janin. Pasien
mengatakan kejang sebanyak 2 kali pukul 05.00 saat di RS Al Khairaat.
Kejang baru pertama kali dialami oleh pasien yang dialami kurang lebih
selama 10 menit dan setelah kejang pasien tidak sadar. Pukul 06.45 pasien
tiba di IGD KB RSU Anutapura Palu dalam keadaan sadar dan tiba-tiba
pasien kembali kejang sebanyak 2 kali selama 5-7 menit. BAB dan BAK tidak
ada keluhan.

Pemeriksaan Fisik
Primary Survey
Airway : Paten
Breathing : Respirasi 24 kali/menit
Circulation : Nadi : 90 kali/menit, regular, kuat angkat,
TD: 142/103mmHg
ASA : III E

6. DIAGNOSIS KERJA :
GIP0A0 + gravid aterm + kala II lama + eklampsia + gawat janin

7. TINDAKAN :
Sectio caesarea cito

27
8. PERSIAPAN PRE OPERATIF
Di Ruangan
KIE (+), surat persetujuan operasi (+), surat persetujuan tindakan anestesi (+),
4 gr MgSO4 10 cc in RL 500 cc 28 tpm, inj. Diazepam 1 ampul/IV

Di Kamar Operasi
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi (STATICS)
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan.
e. Obat-obat resusitasi, misalnya; adrenalin, atropine, aminofilin, natrium
bikarbonat dan lain-lainnya.
f. Menyiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tanda vital,
tiang infus, pulse oxymetri
g. Evaluasi ulang status present pasien:
Tekanan darah: 142/103 mmHg
Nadi : 90 ×/menit
Respirasi : 24 ×/menit
Temperatur : 37 ºC

28
Tabel. Komponen STATICS
S Scope Stetoscope untuk mendengarkan suara paru dan jantung.
Laringo-Scope: pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T Tubes Pipa trakea, pilih sesuai ukuran pasien.
A Airways Pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (nasi-tracheal airway). Pipa ini menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk mengelakkan sumbatan
jalan napas.
T Tapes Plaster untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau
tercabut.
I Introduce Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)
r yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
C Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia.
S Suction Penyedot lendir, ludah dan lain-lainnya.

9. PLANNING
Laporan Anestesi Durante Operatif
 Anestesiologi : dr. Ajutor Donny Tandiarrang, Sp.An
 Jenis anestesi : General anestesi
 Teknik anestesi : Intubasi
 ETT : 7.0
 Obat : Sevoflurane 2 mec
 Lama anestesi : 09.00 – 10.35 (1 jam 35 menit)
 Lama operasi : 09.10 - 10.25 (1 jam 15 menit)
 Ahli Bedah : dr. Abdul Faris, Sp.OG
 Posisi anestesi : Supinasi
 Infus : Tangan kiri

29
 Obat-obatan yang diberikan :
Obat premedikasi : Fentanyl
Obat induksi : Sevoflurane 2 mec
Propofol 100 mg
Relaksasi otot : Atracurium 15 mg
 Maintenance anestesi :
- Inh. O2 4 lpm
Obat durante operatif :
- Epedrin 10 mg
- Oxytocin 20 IU
- Metergin 0,2 mg
- Asam tranexamat 100 mg
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 8 mg
- Prostigmin

Tabel. Tanda-tanda vital selama operasi


Menit ke- Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) Pulse (x/m)
0 (09.05) 140 92 82
5 (09.10) 142 93 80
10 (09.15) 151 104 95
15 (09.20) 154 107 96
20 (09.25) 185 115 103
25 (09.30) 204 128 115
30 (09.35) 208 132 128
35 (09.40) 172 95 131
40 (09.45) 153 81 128

45 (09.50) 131 74 122

50 (09.55) 109 41 114

55 (10.00) 107 58 109

30
60 (10.05) 103 41 108

65 (10.10) 100 58 123

70 (10.15) 111 65 120

75 (10.25) 109 51 106

80 (10.30) 103 61 103

85 (10.35) 100 52 99

Pemberian Cairan
a. Cairan masuk:
 Pre operatif : Kristaloid RL 500 cc
 Durante operatif : Kristaloid RL 600 cc
Koloid Gelafusal 500 cc
 Total input cairan : 1600 cc
b. Cairan keluar:
Durante operatif: Urin ± 100 cc; perdarahan ± 1000 cc

D. PERHITUNGAN CAIRAN
a. Estimated Blood Volume (EBV) = 65 cc/kgBB x 65 kg = 4.225 cc
b. Input yang diperlukan selama operasi
1. Cairan Maintanance = 35 ml/kgBB/24 jam
= 35 ml x 65 kg
= 2275 ml
24 jam
= 95 ml/jam

31
2. Cairan defisit pengganti puasa (PP):
Lama puasa × maintenance = 3 jam × 95 ml = 285 ml
Jadi kebutuhan pengganti puasa 285 ml selama 3 jam
3. Cairan defisit urin dan darah = urin + darah =
100 ml + 1000 ml = 1100 ml

c. Cairan masuk:
Kristaloid : Ringer Lactate 600 ml
Koloid : Gelafusal 500 ml
Total cairan masuk : 1100 ml
d. Stress Operasi
Besar 8 ml × KgBB = 8 x 65 = 520 ml/jam
e. Perhitungan cairan pengganti darah:
Jumlah perdarahan : ± 1000 ml
% perdarahan = 1000 x 100 % = 23%
4225
Kristaloid 3 x 1000 ml = 3000 ml

E. POST OPERATIF
 GCS : E4V5M6
 Tekanan darah : 111/61 mmHg
 Nadi : 102 kali/menit
 RR : 24 kali/menit
 Temperatur : 37 ºC
 VAS : 2/10

32
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus ini wanita 23 tahun dengan diagnosa G1P0A0 + gravid aterm +
inpartu kala II lama + eklampsia + gawat janin. Pre-eklampsia adalah hipertensi yang
timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria. Eklampsia adalah
pre-eklampsia yang disertai dengan kejang-kejang dan/ atau koma. Kejadian yang
paling tinggi pada primigravida, dan prevalensi dengan adanya trias : hipertensi,
proteinuria, dan edema yang menyeluruh. Disebut pre-eklampsia ringan bila pada
wanita yang sebelumnya normotensi ada kenaikan tekanan diastolik menjadi >90
mmHg dengan proteinuria <0,25 gr/lt. Disebut pre-eklampsia berat bila tekanan
sistolik >160 mmHg atau diastolik >110 mmHg, peningkatan yang cepat dari
proteinuria, oligouria <100 ml/24 jam, ada gangguan serebral atau penglihatan,
edema paru atau sianosis. Pre-eklampsia bisa menjadi kejang-kejang. Kejang-kejang
bisa terjadi sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode post
partum.
Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang untuk menentukan status fisik
(ASA), serta menententukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan. Setelah
dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien tergolong dalam status fisik PS
ASA III E dan diputuskan untuk dilakukan anestesi umum dengan intubasi.
Setelah penilaian pra-bedah langkah berikutnya ialah menentukan macam
obat premedikai yang akan digunakan. Untuk penentukan ini ada beberapa hal yang
harus dipertimbangkan yaitu : macam operasi, posisi pasien waktu dilakukan operasi
dan perkiraan lama operasi dan sebagainya. Tujuan dari premedikasi dari anestesi
ialah untuk melindungi pasien terhadap akibat segera dari trauma pembedahan (rasa
takut, sakit, aktifitas saraf simpatis, ketegangan otot) dan dapat disimpulkan sebagai
berikut :

33
 Menghilangkan kecemasan
 Mendapatkan sedasi
 Mendapatkan analgesia
 Mendapatkan amnesia
 Mendapatkan efek antisialogoque
Pada kasus ini, pasien diberikan premedikasi anestesi golongan narkotik
(opiod) yaitu fentanyl. Keuntungan penggunaan obat ini ialah memudahkan induksi,
mengurangi kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca-bedah,
memudahkan melakukan pemberian pernapasan buatan, dapat diantagonisir dengan
naloxon. Golongan narkotik dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada
pasien dengan hipovolemia. Morfin diberikan dengan dosis 0,1-2,2 mg/kgBB, petidin
dengan dosis 1-2 mg/kgBB, sedangkan fentanyl dengan dosis 1-2 ug/kgBB diinjeksi
pelan karena dapat menyebabkan batuk.
Pada kasus ini, pasien ini telah diberikan obat anti convulsan saat di IGD yaitu
golongan benzodiazepin diazepam 10 mg secara IV dan 4 gr magnesium sulfat
(MgSO4) secara IV. Pemberian MgSO4 adalah suatu SSP depresan dan vasodilator
ringan. Dengan relaksasi miometrium, ia juga menyebabkan peningkatan
uteroplacental blood flow. Setelah loading dose 40-80 mg/kg secara IV, diikuti infus
kontinyu 1-2 gr/jam. Magnesium sulfat dipertahankan 6-8 meq/lt. Refleks tendon
yang dalam dikurangi pada kadar magnesium sulfat 10 meq/lt, dan bisa terjadi
paralisis dan heart block bila kadar magnesium sulfat di atas 12-15 meq/lt.
Magnesium potensiasi dengan nondepolarizing dan depolarizing muscle relaxant.
Transfer melalui plasenta menyebabkan bayi menjadi lemah, penurunan tonus otot,
depresi napas, dan apnoe. Pemberian diazepam bisa menimbulkan sedasi yang dalam
dengan resiko gangguan jalan napas. Bisa terjadi depresi foetal terutama pada bayi
prematur karena obat ini menembus barier plasenta sehingga menyebabkan neonatal
hipotonia, depresi napas dan hipotermia. Sehingga pada kasus ini, setelah bayi lahir
tampak bayi tidak menangis dan tonus otot lemah sehingga memerlukan resusitasi

34
segera. Pemberian premedikasi berupa golongan benzodiazepin yaitu midazolam
dapat diberikan setelah bayi lahir dengan dosis 0,1-0,2 mg/kgBB, namun pada kasus
ini pasien tidak diberikan.
Tahap selanjutnya setelah premedikasi adalah induksi yaitu pemberian obat
anestesi dari keadaan sadar atau sedasi sampai pada stadium operasi (surgical stage).
Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskular atau rektal.
Pada kasus ini digunakan induksi inhalasi menggunakan sevofluran 2 mec.
Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih
cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran
pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju metabolism otak terhadap
oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Selain itu pasien juga diberikan propofol 100 mg. Larutan emulsi dengan
konsentrasi 1%, metabolisme sangat cepat terutama karena biotransformasi. Dalam
waktu 30 menit setelah pemberian didapatkan kurang dari 20% propofol yang berada
pada sirkulasi. Onset dan pemulihan cepat seperti halnya pentothal, tetapi tidak ada
hangover dan gangguan psikomotor. Insidens mual dan muntah yang rendah
menyebabkan penderita lebih cepat imobilisasi. Propofol tidak mempunyai efek
analgesik dan saat diinduksi pasien sering mengeluh nyeri. Dosis propofol 2-2,5
mg/kgBB/IV.
Sebelum dilakukan intubasi endotrakeal diberikan pelumpuh otot terlebih
dahulu yakni bisa digunakan golongan depolarisasi atau non depolarisasi. Pada kasus
ini diberikan pelumpuh otot golongan non depolarisasi yaitu atracurium 15 mg. Non-
depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui
ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Dapat digunakan pada berbagai tindakan
bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Keuntungan atracurium mulai

35
kerja 2-3 menit dan lama kerja 15-35 menit, pemulihan terjadi secara spontan atau
dibantu dengan antikolinesterase. Dosis atracurium untuk intubasi adalah 0,5-06
mg/kgBB/IV sedangkan dosis maintenance 0,1-0,2 mg/kgBB/IV.
Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop
blade lengkung yang disesuaikan dengan anatomis leher pasien dengan metode chin-
lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk meluruskan jalan nafas antara mulut dengan
trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah dimasukkan pipa endotrakeal.
Pada pasien ini digunakan ETT dengan cuff nomor 7.0. Setelah ETT terfiksasi
dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan atau yang biasa dikenal
dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran ditambah dengan pemberian
cairan parenteral yaitu kristaloid untuk mensubstitusi cairan, baik darah maupun
cairan tubuh lainnya, yang keluar selama pembedahan.
Selama operasi juga perlu dimonitoring kebutuhan cairan, dimana perkiraan
berat badan pasien adalah 65 kg, maka Estimated Blood Volume (EBV) = 65 cc/kgBB
x 65 kg = 4225 cc (EBV untuk laki-laki dewasa 70/kgBB, wanita 65/kgBB, anak-
anak 80/kgBB dan neonatus 90/kgBB). Jumlah perdarahan yang terjadi durante
operasi adalah sekitar 1000 cc (23%) termasuk dalam kehilangan cairan dan darah
kategori kelas II. Sehingga memerlukan cairan pengganti berupa kristaloid dan
koloid.
Kebutuhan cairan maintenance pada pasien ini 95 cc/jam ditambah defisit
puasa selama 3 jam 285 cc, ditambah stress operasi (besar) 520 cc/jam, ditambah
perdarahan 1000 cc (1 cc darah diganti dengan 3 cc cairan kristaloid) sehingga total
cairan pengganti yang dibutuhkan durante operasi adalah 3000 cc.
Selama operasi pasien diberikan obat golongan alpha dan beta adrenergic
agonis yaitu epedrin 10 mg/IV untuk menaikkan tekanan darah intraoperatif,
antiemetik berupa ondansetron 8 mg/IV, H2 reseptor bloker ranitidine 50 mg/IV,
analgetik ketorolac 30 mg/IV dan anti perdarahan asam tranexamat 100 mg/IV, serta
uterotonika oxitosin 20 IU/IV untuk meningkatkan kontraksi uterus.
.

36
Setelah masa pasca bedah pasien langsung dibawah ke ruang perawatan
intensif untuk mendapatkan terapi dan pemantauan yang intensif.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Suryadi KA. Dahlan, M.R., 2007. Anestesiologi. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. Li G, Huang MS, Lena S. 2009. Epidemiology of Anesthesia-related Mortality
in the United State, 1999-2005. Anesthesiology 110 (40): 759-765
3. Hool A. 2010. Anaesthesia In Pregnancy For Non-Obstetric Surgery. World
Federation of Societies of Anesthesiologist 185: 1-9
4. Walton NKD, Melachuri VK. 2006. Anaesthesia for non-obstetric surgery
during pregnancy. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain 6 ( 2): 83-85
5. Carvalho B. 2006. Nonobstetric Surgery During Pregnancy, IARS Review
Course Lectures.
6. Heazell A. and Clift J. 2008. Obstetrics For Anaesthetists. Cambridge
University Press. Cambridge
7. Goodman S. 2002 Anaesthesia for non obstetric surgery in the pregnant patient.
Semin Perinatol 26:136-45
8. Mazze RI, Kallen B. 1989. Reproductive outcome after anaesthesia and
operation during pregnancy: a registry study of 5405 cases. Am J Obstet
Gynecol 161:1178-85
9. Koren G, Pastuszak A, Ito S. 1998. Drugs in pregnancy. N Engl J Med
338:1128-37
10. Barron WM. 1985. Medical evaluation of the pregnant patient requiring non-
obstetric surgery. Clin Perinatol 12:481-96
11. Roisin NM, and David A. 2006. Anesthesia in pregnant patients for
nonobstetric surgery. J of Clin Anesth 18: 60–66
12. Hale, Thomas. Medication and Mother’s Milk. Ed 11. Pharmasoft Medical
Publishing, 2004.

38

Anda mungkin juga menyukai