Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
Seksio sesarea adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan

membuka dinding perut dan dinding uterus. Saat ini pembedahan seksio sesarea

jauh lebih aman dibandingkan masa sebelumnya karena tersedianya antibiotik,

transfusi darah, teknik operasi yang lebih baik, serta teknik anastesi yang lebih

sempurna. Hal inilah yang menyebabkan saat ini timbul kecenderungan untuk

melakukan seksio sesaria tanpa adanya indikasi yang cukup kuat.


Proses persalinan dengan menggunakan metode seksio sesarea perlu

diperhatikan dengan serius, karena proses persalinan ini memiliki risiko yang

dapat membahayakan keadaan ibu dan janin yang sedang dikandungnya. Salah

satu resiko yang dapat terjadi adalah terjadinya perubahan hemodinamika dalam

tubuh ibu mengandung sebagai efek samping penggunaan anastesi dalam operasi

seksio sesaria. Hal inilah yang menyebabkan perlunya pemantauan tekanan darah

dan nadi selama proses operasi seksio sesarea.


Pada kehamilan normal, organ jantung ibu akan mendapat beban untuk

memenuhi kebutuhan selama kehamilan dan juga beban dari berbagai penyakit

jantung yang mungkin diderita selama kehamilan. Kehamilan dapat menyebabkan

terjadinya kenaikan tekanan darah, volume darah, tekanan pembuluh darah

perifer, serta tekanan pada sisi kanan jantung.


Pada kehamilan, darah yang dipompa oleh jantung akan meningkat sekitar

30, sementara denyut nadi akan meningkat 10 kali/menit. Volume darah

meningkat 40% pada kehamilan normal.


Teknik anastesi secara garis besar dibagi menjadi dua macam, yaitu anastesi

umum dan regional. Anastesi umum bekerja untuk menekan aksis hipotalamus

pituitary adrenal, sementara anastesi regional berfungsi untuk menekan transmisi

1
impuls nyeri dan menekan saraf otonom eferen ke adrenal. Teknik anastesi yang

lazim digunakan dalam seksio sesarea adalah anastesi regional, tapi tidak selalu

dapat dilakukan berhubung dengan sikap mental pasien. Beberapa teknis anastesi

regional yang biasa digunakan pada pasien obstetric yaitu blok paraservikal, blok

epidural, blok subarachnoid dan blok kaudal. Anastesi spinal aman untuk janin,

namun selalu ada kemungkinan bahwa tekanan darah pasien menurun dan akan

menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi ibu dan janin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perubahan Fisiologi Ibu Hamil
Pada masa kehamilan ada beberapa perubahan pada hampir semua sistem

organ pada maternal. Perubahan ini diawali dengan adanya sekresi hormone dari

korpus luteum dan plasenta. Efek mekanis pada pembesaran uterus dan kompresi

dari struktur sekitar uterus memegang peranan penting pada trimester kedua dan

ketiga.

2.11. Perubahan fungsi pernapasan

Umumnya terjadi edema pada jalan napas karena diperkirakan akibat

kenaikan progesteron dalam darah. Sehingga mudah terjadi obstruksi jalan

napas, dan resiko trauma terjadi laryngoskopi atau endotracheal intubasi

2
meningkat. Oleh karena itu dianjurkan menggunakan endotracheal

berdiameter kecil. Meskipun vital capacity paru tidak berubah tetapi total

lung volume turun sekitar 5% sebagai akibat terdorongnya diafragma ke

atas. Alveolar ventilasi naik 40% karena terjadi kenaikan pada volume tidal

(TV).

Perubahan ini menyebabkan penurunan functional residual capacity

(FRC) sebesar 15% yang akan memperbanyak uptake gas-gas anastesi.

Minimum alveolar konsentrasi (MAC) dari obat anastesi turun akibat

sekunder kenaikan progesteron dan endorphine dalam darah sehingga

mudah terjadi overdosis.

2.1.2 Perubahan fungsi sirkulasi

Total blood volume (TBV) meningkat 30% terutama kenaikan volume

plasma akibatnya hematrokit akan turun yang bermanifestasi klinis berupa

anemia relatif. Diantara kenaikan volume darah ini 800cc akan mengisi

uterus gravidarum yang akan ikut sirkulasi saat uterus berkontraksi waktu

persalinan. Sedangkan perdarahan pada persalinan pervaginam dan seksio

sesaria umumya tidak melebihi 500cc dan 1000 cc sehingga transfusi darah

dan kolloid jarang diperlukan. Frekuensi nadi naik 10-15 x/menit. Selama

uterus berkontraksi cardiac output dan tekanan darah naik, oleh karena itu

pengukuran tekanan darah paling akurat dilakukan antara 2 (dua) kontraksi.

Pada posisi supinasi (terlentang) selama kehamilan dapat terjadi penekanan

oleh uterus gravidus vena cava dan aorta, sehingga akan mengurangi venous

3
return dan cardiac output, akibatnya tekanan darah turun (hipotensi) yang

lazimnya disebut supine hypotensive syndrome. Keadaan ini bila dibiarkan

akan menyebabkan turunnya perfusi uteroplasenta yang selanjutnya dapat

terjadi fetal disstress. Sindrome ini sering tidak dirasakan oleh wanita hamil

oleh karena ada sistem kolateral sirkulasi melalui plexus perivertebralis

melalui sistem azygos dan vaoonstriksi pembuluh darah ekstremitas bawah.

Untuk menghindari caval-obstruction ini usahakan melakukan left uterine

decubitus (miringkan paggul kanan setinggi 10-20 cm) atau dorong uterus

ke kiri secara manual.

Vena caval compression ini menyebabkan dilatasi vena-vena

perivertebralis sehingga mempermudah terjadinya intravenous injection

pada waktu peridural blok, disamping itu akan mengurangi volume

peridural space dan subarachnoid sehingga dosis obat lokal anastesi perlu

dikurangi.

2.1.3 Perubahan gastrointestinnal

Keasaman asam lambung dan sekresi akan meningkat selama

kehamilan. Waktu pengosongan lambung memanjang biasanya disebabkan :

kecemasan, kesakitan dan perubahan posisi gastrodoudenal junction akibat

uterus gravidus. Uterus gravidus akan membuat incompetent gastro-

oesphageal junction dan tekanan intragastrik meningkat sehingga akan

memudahkan terjadinya reflux (regurgitasi). Dengan demikian pada pasien

yang mendapatkan sedasi atau tidak sadar akan meningkatkan resiko

terjadinya pulmonary aspirasi dari cairan lambung yang disebut Mendelson

4
sindrom. Sindrom ini akan menjadi progresif bilamana pH cairan lambung

kurang dari 2,5 dan volume aspirasi >25 cc.

Dengan dasar ini untuk mengurang kejadian mendelson sindrom,

perlu diberikan antasid (dianjurkan soodium sitrat bila tidak ada dapat

diberikan magnesium trisilikat) untuk menetralisir keasamaan atau

cemetidin yang mepunyai efek meningkatkan keasaman (pH) dan sekaligus

mengurangi produksi jumlah produksi cairan sebelum dilakukan operasi.

2.2 Manajemen Anastesi pre operatif


2.2.1 Penilaian Pre-operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan

persiapan preoperasi salah satunya adalah kunjungan terhadap pasien sebelum

pasien dibedah sehingga dapat diketahui adanya kelainan di luar kelainan yang

akan dioperasi.
Tujuannya adalah :
1. Memperkirakan keadaan fisik dan psikis pasien
2. Melihat kelainan yang berhubungan dengan anastesi seperti adanya

riwayat hipertensi, asma, atau alergi (serta manifestasinya baik berupa

dyspneu maupun urtikaria)


3. Riwayat penyakit pasien, obat-obatan yang diminum pasien
4. Tahapan resiko anastesi (status ASA) dan kemungkinan perbaikan status

praoperasi (pemeriksaan tambahan dan atau terapi diperlukan)


5. Pemilihan jenis anastesi dan penjelasan persetujuan operasi (informed

consent) kepada pasien


6. Pemberian obat-obatan premedikasi sehingga dapat mengurangi dosis obat

induksi.
Kunjungan preoperatif dapat melihat kelainan yang berhubungan dengan

anastesi seperti adanya riwayat hipertensi, asma, alergi atau decompensatio cordis.

Selain itu dapat mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anastesi

5
bisa menentukan cara anastesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjugan

preoperasi pada pasien juga bisa menghindarkan kejadian salah identitas dan salah

operasi. Evaluasi preoperasi meliputi history taking, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang seperti laboratorium, EKG, USG, foto thorax, dll.

Selanjutnya dokter anastesi harus menjelaskan dan mendiskusikan kepada pasien

tentang manajemen anaatesi yang akan dilakukan, hal ini tercermin dalam inform

consent.
2.2.2 Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anastesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama

pada pasien yang mengalami anastesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,

semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anastesi harus

dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi

anastesi.
Tabel 1. Fasting Guideline Pre-operatif (American Society of Anesthesiologist,
2011)
Usia Pasien Intake Oral Lama Puasa (jam)
< 6 bulan Clear fluid 2
Breast milk 3
Formula milk 4
6 bulan - 5 tahun Clear fluid 2
Formula milk 4
Solid 6
>5 tahun Clear fluid 2
Solid 6
Adult, op.pagi Clear fluid 2
Solid Puasa mulai jam 12 malam
Adult, op.siang Clear fluid 2
Solid Puasa mulai jam 8 pagi

2.2.3 Terapi Cairan

6
Terapi cairan preoperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,

kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti perdarahan. Dengan tidak adanya

intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya

pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang

terus-menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat

diperkirakan dari tabel dibawah :


Tabel 2. Kebutuhan Maintenance Normal
Berat Badan Jumlah
10 kg pertama 4ml/kg/jam
10 kg berikutnya 2ml/kg/jam
Tiap kg diatas 20 kg 1m/kg/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami

defisit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan

kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.


2.2.4 Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi dengan

tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia

diantaranya:
Meredakan kecemasan dan ketakutan
Memperlancar indusi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pemberian premedikasi dapat diberikan secara suntikan intramuskuler

diberikan 30-45 menit sebelum induksi, suntikan intravena diberikan 5-10 menit

sebelum induksi. Komposisi obat dan dosis obat premedikasi yang akan diberikan

kepada pasien serta cara pemberiannya disesuaikan dengan masalah yang

dijumpai pada pasien.

7
Tabel 3. Obat-obat yang dapat digunakan untuk premediksai

No. Jenis obat Dosis (Dewasa)


1 Sedatif :
Diazepam 5-10mg
Difenhidramin 1 mg/kgbb
Promethazin 1 mg/kgbb
Midazolam 0,1-0,2 mg/kgbb
2 Analgetik Opiat :
Petidin 1-2 mg/kgbb
Morfin 0,1-0,2 mg/kgbb
Fentanil 1-2 g/kgbb
Analgetik non opiat Disesuaikan
3 Antikholonergik :
Sulfas atropine 0,1 mg/kgbb
4 Antiemetik :
Ondancentron 4-8 mg (iv) dewasa
Metoklorpamid 10 mg (iv) dewasa
5 Profilaksis aspirasi : Dosis disesuaikan
Cimetidine
Ranitidin
Antasida

2.3 Pemilihan Teknik Anestesi


Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal

(informed consent) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang

mungkin terjadi. Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat

penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi.

Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang

perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa

tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan

darah.
Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan

perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi

umum, dan tindakan resusitasi. Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan.

8
Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan

ukuran 16G sampai dengan 30G. Obat anestetik lokal yang digunakan adalah

prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal

mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal

jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan

terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik),

obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan

berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37C cairan

serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.


Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alkohol, dan

duk steril juga harus disiapkan. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang

ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene)

dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak

digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.

Gambar 3. Jarum spinal

Teknik Anestesi Spinal

9
Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis

tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas

meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi

pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan

menyebarnya obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal

adalah sebagai berikut :


1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral

dekubitus. Beri bantal kepala,selain enak untuk pasien juga supaya

tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal agar

processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.


2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.

Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla

spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,

23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27G

atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum suntik

biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak

sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut

mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam

(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat

duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau

kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat

timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,

mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit berisi

10
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi

aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik. Kalau

anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan likuor tidak

keluar, putar arah jarum 90 biasanya likuor keluar. Untuk analgesia

spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.


6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah

hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum

flavum dewasa 6cm.

Gambar 4. Posisi anestesi spinal.

Tabel 5. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal


Indikasi/Kontraidikasi/Komplikasi Keterangan
Transurethral prostatectomy (blok pada T10
diperlukan karena terdapat inervasi pada buli-buli)
Hysterectomy
Caesarean section
Indikasi
Evakuasi alat KB yang tertinggal
Semua prosedur yang melibatkan ektermitas
bawah
Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal
Pasien menolak
Deformitas pada lokasi injeksi
Hipovolemia berat

11
Kontraindikasi Absolut Sedang dalam terapi antikoagulan
Cardiac output yang terbatas; seperti stenosis aorta
Penigkatan tekanan intrakranial
Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)
Infeksi disekitar tempat penyuntikan
Kelainan neurologis
Kelainan psikis
Kontraindikasi Relatif Bedah lama
Penyakit jantung
Hipovolemi ringan
Nyeri punggung kronis
Hipotensi berat
Bradikardi
Komplikasi Tindakan Hipoventilasi
Trauma pembuluh darah
Trauma saraf
Mual muntah
Gangguan pendengaran
Blok spinal tinggi, atau spinal total
Nyeri tempat suntikan
Nyeri punggung
Komplikasi Pasca Tindakan Nyeri kepala karena kebocoran liquor
Retensio urine
Meningitis

Teknik Anastesi pada seksio sesarea

Pemberian anastesi pada seksio sesaria memerlukan beberapa pertimbangan,

tidak seperti pada pembedahan pada umumnya. Ahli anastesi secara bersama

harus memberikan obat yang aman terhadap 2 individu yaitu ibu dan anak

sekaligus.

Obat-obat anastesi yang diberikan kepada pasien dapat melewati plasenta,

sehingga akan mempengaruhi janin di antaranya ialah : opioid, sadativa,

transquilizer, obat-obat inhalasi, obat lokal anastesi dan neuromuskular blocking

Drug (obat pelumpuh otot). Pemberian obat-obatan diusahakan seminimal

mungkin untuk menghindari efek yang merugikan pada uterus, ibu dan bayi.

12
Persiapan pasien tidak sama dengan pembedahan pada umumnya, pasien

obstetrik jarang dapat dipersiapkan dalam kondisi yang optimal. Terutama pada

kasus-kasus darurat seperti fetal distress, maternal hemoragik, prolapsed corrd dan

tetania uteri; mempuyai resiko terjadinya aspirasi cairan lambung karena umumya

isi lambung dalam keadaan penuh sehingga akan meningkatkan angka maternal

mortality.

Pada dekade akhir-akhir ini seksio sesaria ini cenderung meningkat , yang

semula < 10% dan sekarang sudah > 15% dari seluruh persalinan oleh karena

angka mortalitas dan morbiditas maternal jauh lebih rendah dibandingkan dengan

persalinan pervaginam.

Seksio sesaria tidak jarang dilakukan terencana (efektif) secara pimer atau

ulangan dengan anastesi umum atau regional. Namun regional anastesi lebih

disukai sebab dpat mengurangi depresi pada neonatus dan kejadian aspirasi

pulmonal. Regional anastesi dengan teknik subarachnoid atau epidural blok

setinggi level sensori Th4 adalah sangat ideal untuk SC, meskipun rasa sakit

akibat tarikan peritoeum atau eksteriorisasi uterus tidak selalu dapat dihilangkan.

Bila ada kontraindikasi regional anastesi (hipovolemi, infeksi darah tusukan,

septikemia, kelainan neurologis, dan kelainan pembekuan darah) maka digunakan

anastesi umum dengan pasangan endotracheal tube terutama pada kasus

pembedahan darurat.

Anastesi umum yang diberikan jangan terlalu dalam dengan menggunakan

obat induksi. Thiopenthal 3-4 mg/KgBB atau ketamin 0,75-1,0 mg/KgBB IV.

13
Obat neuromuskular blok baik depolarizing maupun non depolarizing dapat

melewati plasenta sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot pada neonatus.

Untuk endotracheal intubasi digunakan succinilcholine dengan dosis 1,5

mg/KgBB. Obat inhalasi anastesi dengan menggunakan oksigen 60% dalam NO

yang suplemen halothan 0,5% atau enfluran 0,775-1,0 cukup memuaskan.

Pemberian obat lain yang perlu diperhatikan adalah obat sintesis oksitosin

jika diberikan secara bolus sering menyebaban transient vasodilatasi, hipotensi,

takikardi dan kadang-kadang terjadi perubahan pada ST segmn EKG, yang

mengambarkan myocardial ischmic. Oleh karena itu pemberiannya dianjurkan

diencerkan dengan menggunakan innfus sebnyak 20-30 unit dalam 1 iter cairan

NaCl.

Sedangkan pemberian obat-obat derivat ergot untuk memperbaiki

konsentrasi uterus sering memberikan efek samping berupa : hipotensi, nausea,

vomitus, dan kadang-kadang agitasi jika diberikan intravena. Pemberian preparat

magnesium pada preeklamsia jika overdosis akan menyebabkan kelemahan otot

dan pernapasan yang tidak teatur sehingga dapat terjadi potensiasi dengan obat

pelumpuh otot.

2.4 Durante Operasi dan Monitoring

Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau

kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low moleculer

weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan koloid juga

mengandung zat high moleculer weight seperti protein atau glukosa polimer besar.

Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma dan untuk sebagian besar

14
intravaskuler, sedangkan cairan kristaloid cepat menyeimbangkan dengan dan

mendistribusikan seluruh ruang cairan ekstraseluler.

Karena kebanyakan cairan intraoperatif adalah isotonik, cairan jenis

replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum digunakan

adalah larutan Ringer Laktat. Kehilangan darah durante operasi biasanya

digantikan dengan cairan sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah

yang hilang.

Titik transfusi dapat ditentukan saat preoperasi dari hematokrit dan estimate

blood volume (EBV). Pasien dengan hematokrit normal biasanya ditransfusi

hanya apabila kehilangan lebih dari 10-20% dari volume darah. Waktu yang tepat

untuk transfusi ditentukan oleh kondisi pasien dan prosedur operasi yang

dilakukan. Jumlah kehilangan darah yang dibutuhkan untuk menurunkan

hematokrit ke 30% dihitung seperti berikut :

1. Estimate Blood Volume

Pada orang dewasa, EBV dapat dihitung rata-rata 70cc/kgBB. Tetapi ada

sumber yang menyebutkan bahwa EBV pria dihitung dengan 75 cc/kgbb dan

wanita 65cc/kgbb

2. Estimate the red blood cell volume (RBCV) pada RBCV pre operasi

3. Perkiraan RBCV pada hematokrit 30%, menunjukan volume darah normal

telah dicapai

4. Menghitung kehilangan sel darah merah jika hematokrit 30% dengan cara

RBCVlost = RBCVpreop-RBCV30%

5. Kehilangan darah yang terjadi = RBClost x 3

15
Kehilangan cairan tambahan diperhitungkan sesuai dengan jenis operasi

apakah ringan, sedang atau berat. Jika ringan maka kebutuhan cairan tambahan 0-

2 ml/kgbb, jika sedang maka kebutuhan cairan tambahan 2-4 ml/kgbb, dan jika

berat maka kebutuhan cairan tambahan 4-8ml/kgbb.6

Parameter yang biasanya digunakan untuk monitor pasien selama anastesi

adalah :

Frekuensi nafas, kedalaman dan karakter

Heart rate, nadi dan kualitasnya

Warna membran mukosa, capillary refill time

Kedalaman/stadium anestesi (tonus rahang, posisi mata, aktivitas reflek

palpebra)

Kadar aliran oksigen dan obat anestesi inhalasi

Pulse oximetry : tekanan darah, saturasi oksigen, suhu.

1.3 Manajemen anastesi Post Operatif

Pasien yang dilakukan regional anastesi, lebih mudah mengalami recovery

dibandingkan dengan general anastesi. Hal ini dikarenakan pasien dalam posisi

sadar, sehingga komplikasi yang terkait airway, breathing dan circulation lebih

minimal.

Semua pasien harus dievaluasi sebelum dikeluarkan dari PACU berdasarkan

criteria discharge yang diadopsi. Kriteria yang digunakan adalah Aldrete Score.

16
Kriteria ini kan menetukan apakah pasien akan di discharge ke ICU atau

keruangan biasa.

Tabel 6. Aldrete Score


Obyek Kriteria Nilai
Aktivitas Mampu menggerakan 4 ekstermitas 2
Mampu menggerakan 2 ekstermitas 1
Tidak mapu menggerakan ekstermitas 0
Respirasi Mampu nafas dalam dan batuk 2
Sesak atau pernafasan terbatas 1
Henti nafas 0
Tekanan Darah Berubah sampai 20% dari pra bedah 2
Berubah 20-50% dari pra bedah 1
Berubah >50% dari pra bedah 0
Kesadaran Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tak ada tanggapan terhadap rangsang 0
Warna Kulit Kemerahan 2
Pucat agak suram 1
Sianosis 0
Nilai Total
Idealnya, pasien di discharge bila total scor 10 atau minimal 9, tanpa ada nilai 0

pada kriteria penilaian objektif.

Evaluasi post operasif harus dilakukan dalam 24-48 jam setelah operasi dan

dicatat dalam rekam medis pasien. Kunjungan ini harus meliputi review dari

rekam medis, anamnesa, pemeriksaan fisik, termasuk pemeriksaan kemungkinan

komplikasi seperti muntah, nyeri tenggorokan, cidera saraf, cidera okuler,

pneumonia atau perubahan status mental. Bila diperlukan harus dilakukan terapi

atau konsultasi lebih lanjut.

17
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Zainab
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 36 tahun
Alamat : Batu Baliase Blok P1 No.13
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 02 April 2017

Tanggal Operasi : 03 April 2017


Berat badan : 58 kg
Tinggi Badan : 156 cm
Rumah Sakit : RSU Anutapura Palu

II. ANAMNESIS
A. Keluhan utama :
Rujukan dari praktek dokter dengan G3P2A0 + bekas sc 2 kali atas indikasi

CPD
B. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien masuk RS dengan rujukan dari praktek dokter dengan diagnosis

G3P2A0 + bekas sc 2 kali atas indikasi CPD, tidak terdapat pelepasan darah

ataupun lendir, pasien juga mengatakan terasa nyeri perut tembus belakang

namun hilang timbul. Pergerakan janin sering, kurang lebih 10 kali dalam 12

jam. Riwayat hipertensi (-), diabetes (-), alergi (-), asma (-), riwayat operasi

sebelumnya (+)

III. PEMERIKSAAN FISIK

18
1. Keadaan umum : Baik
Physical status American Society Anesthesiologist: II
2. Kesadaran : Compos mentis
3. GCS : 15
4. Tanda vital:
Tekanan darah : 120/ 80 mmHg
Denyut nadi : 78 x/menit reguler
Respirasi : 20 x/menit
Suhu : 36,5 C
5. Pemeriksaan kepala:
Konjugtiva anemis (-)/(-), sklera ikterik (-)/(-), warna bibir kemerahan.
6. Pemeriksaan leher
- Pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar getah bening (-).
7. Pemeriksaan thorax
Inspeksi : Ekspansi dada simetris, jejas (-), ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Nyeri tekan (-), vokal fremitus normal kanan=kiri
Perkusi : Perkusi paru sonor, batas jantung normal
Auskultasi : Bunyi paru vesikuler, rhonkhi -/-, wheezing -/-
8. Pemeriksaan abdomen (pemeriksaan obstetri)
- Leopold I : 3 jari di bawah proc. Xyphoideus
- Leopold II : punggung kiri
- Leopold III : letak belakang kepala
- Leopold IV : 5/5
- DJJ : 146 x/menit (Reguler)
- His :-
- TBJ : 3600 gr
9. Pemeriksaan genitalia : Tidak dilakukan
10. Pemeriksaan ekstremitas : Akral hangat, edema (-)/(-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Darah Rutin : WBC : 13,4 x 103 L

RBC : 4,8 x 106 L

Hb : 11,6 g/dl
PLT : 381 x 103 L
HCT : 38 %
HbsAG : non reaktif
Glukosa sewaktu : 120 mg/dl
V. DIAGNOSIS KERJA
G3P2A0 + bekas sc 2 kali atas indikasi CPD + ps ASA II
VI. KESIMPULAN
Berdasarkan status fisik, diklasifikasikan dalam ASA II ACC operasi

dengan spinal anestesi.

19
VII. PENATALAKSANAAN

1. Pasang O2 3 Lpm
2. Pasang iv line RL 20 tpm
3. Pasang kateter
4. Informed consent ke keluarga untuk dilakukan tindakan Caesarean Sectio
elective

VIII. TINDAKAN ANESTESI


Jenis anestesi : Regional Anestesi
Teknik anestesi : Sub-arachnoid block
Anestesi : Bupivacaine 0,5% sebanyak 10 mg
Anestesi mulai : 09.00 WITA
Operasi mulai : 09.10 WITA Operasi selesai : 10.30 WITA
Anestesiologi : dr. Ajutor Donny T, Sp.An
Ahli Bedah : dr. Faris, Sp.OG

Pasien perempuan Ny. Z berusia 36 tahun masuk di Kamar Operasi pada


tanggal 03 April 2017 pukul 08.50 wita dengan terpasang infus ringer
laktat 300 cc guyur di tangan kanan kemudian diganti dengan Gelafusal
500 cc. Dilakukan pemasangan alat untuk pemeriksaan tanda vital dengan
hasil denyut nadi 75 kali permenit, tekanan darah 128/76 mmHg dan
saturasi oksigen (SpO2) 100%. Pada pukul 09.00 WITA dilakukan anestesi
spinal dengan pemberian injeksi bupivacaine 0,5% sebanyak 10 mg
dengan posisi pasien yakni Left Lateral Decubitus (LLD).
Dilakukan pemeliharaan anestesi dengan pemberian oksigen 3 liter
permenit. Selama operasi berlangsung, dilakukan pemantauan monitor
untuk tanda-tanda vital tiap 5 menit dan mencatatnya di lembaran follow
up anestesi.
Medikasi yang diberikan selama pembedahan berlangsung yakni Oxytocin
sebanyak 2 kali 10 IU, metilergometrin 0,2 mg, ranitidin 50 mg,
ondansentron 4 mg, asam transamat 250 mg, efedrin 20 mg dan ketorolak
30 mg. Terapi cairan yang diberikan pre-operasi yakni Ringer laktat
sebanyak 300 cc + gelafusal 500 cc. Terapi cairan durante operasi yakni
Ringer laktat 500 cc + 500 cc. Tindakan bedah sesar berlangsung selama

20
80 menit dengan jumlah perdarahan 500 cc + urin 200 cc. Setelah
operasi pasien di bawa ke Recovery room.
BAB IV
PEMBAHASAN

Anestesi spinal adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat


anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal juga disebut sebagai
analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus
kutis subkutis ligamentum supraspinosum ligamentum interspinosum
ligamentum flavum ruang epidural duramater ruang subarachnoid.
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai
bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus
seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul,
bedah obstetrik-ginekologi, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak
kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
Kontraindikasi penggunaan anestesi spinal meliputi kontraindikasi mutlak
dan relative. Kontraindikasi mutlak yakni pasien menolak, infeksi pada tempat
suntikan, hypovolemia berat atau syok, koagulopati atau mendapat terapi
koagulan, tekanan intrakranial meningkat. Sedangkan kontraindikasi relatif yakni
kelainan neurologis, prediksi bedah yang berjalan lama, penyakit jantung,
hypovolemia ringan, nyeri punggung kronik.
Sebelum melakukan anastesi spinal terlebih dahulu harus mengatur posisi
pasien. Dapat diposisikan Left Lateral Decubitus (LLD), atau bila sulit dengan
posisi LLD maka dapat dicoba posisi duduk atau berdiri, lalu dilakukan tusukan
pada garis tengah yakni posisi yang paling sering dikerjakan. Pada pasien ini
anestesi dilakukan dengan posisi LLD. Lokasi penyuntikan dapat dilakukan pada
regio lumbal antara vertebra L2-L3, L3-L4, L4-L5. Pada pasien ini anestesi spinal
dilakukan pada regio lumbal antara vertebra L4-L5.
Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
Setelah memposisikan pasien pada posisi LLD atau posisi duduk, maka lakukan
tindakan disinfeksi pada kulit daerah lumbal pasien yang akan disuntik. Lakukan

21
penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut
10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus
ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum,
lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid. Cabut stilet lalu cairan cerebrospinal
akan menetes keluar. Suntikkan obat anestetik lokal yang telah disiapkan ke dalam
ruang subaraknoid.
Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat, dosis obat
yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan
intraabdomen, lengkung tulang belakang, postur tubuh, dan tempat penyuntikan.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis
dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan
dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar
(vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya
kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi
dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Salah satu faktor yang mempengaruhi spinal anestesi blok adalah barisitas
(Barik Grafity) yaitu rasio densitas obat spinal anestesi yang dibandingkan dengan
densitas cairan spinal. Barisitas menentukan penyebaran obat anestesi lokal dan
ketinggian blok karena gravitasi bumi akan menyebabkan cairan hiperbarik akan
cenderung ke bawah. Obat-obat lokal anestesi berdasarkan barisitas dapat
digolongkan menjadi tiga golongan, yaitu:
1. Hiperbarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat
lebih besar dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat terjadi
perpindahan obat ke dasar akibat gaya gravitasi.
2. Hipobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat
lebih rendah dari pada berat jenis cairan serebrospinal, sehingga dapat
terjadi perpindahan obat ke atas dari area penyuntikan.
3. Isobarik, merupakan sediaan obat anestesi lokal dengan berat jenis obat
sama dengan berat jenis cairan serebrospinal, sehingga obat akan berada di
tingkat yang sama di tempat penyuntikan.

22
Komplikasi yang mungkin terjadi pada penggunaan anestesi spinal adalah
hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine,
meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
Induksi anestesi pada pasien ini menggunakan anestesi lokal yaitu
bupivacaine. Bupivakain disebut juga obat golongan amida yang digunakan pada
anestesi spinal. Obat ini menghasilkan blokade saraf sensorik dan motorik.
Larutan bupivakain hiperbarik adalah larutan anestesi lokal bupivakain yang
mempunyai berat jenis lebih besar dari berat jenis cairan serebrospinal (1,003-
1,008). Cara pembuatannya adalah dengan menambahkan larutan glukosa
kedalam larutan isobarik bupivakain. Cara kerja larutan hiperbarik bupivakain
adalah melalui mekanisme hukum gravitasi, yaitu suatu zat/larutan yang
mempunyai berat jenis yang lebih besar dari larutan sekitarnya akan bergerak ke
suatu tempat yang lebih rendah. Dengan demikian larutan bupivakain hiperbarik
yang mempunyai barisitas lebih besar akan cepat ke daerah yang lebih rendah
dibandingkan dengan larutan bupivakain yang isobarik, sehingga mempercepat
penyebaran larutan bupivakain hiperbarik tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran larutan bupivakain hiperbarik pada anestesi spinal :
1. Gravitasi
Cairan serebrospinal mempunyai BJ 1,003-1,008. Jika larutan
hiperbarik yang diberikan kedalam cairan serebrospinal maka akan bergerak
oleh gaya gravitasi ke tempat yang lebih rendah, sedangkan larutan
hipobarik akan bergerak berlawanan arah dengan gravitasi seperti
menggantung dan jika larutan isobarik akan tetap dan sesuai dengan tempat
injeksi.
2. Tekanan intra abdomen
Peningkatan tekanan intraabdomen menyebabkan bendungan saluran
pembuluh darah vena abdomen dan juga pelebaran saluran-saluran vena di
ruang epidural bawah, sehingga ruang epidural akan menyempit dan
akhirnya akan menyebabkan penekanan ke ruang subarakhnoid sehingga
cepat terjadi penyebaran obat anestesi lokal ke kranial.

23
3. Anatomi kolumna vertebralis
Anatomi kolumna vertebralis akan mempengaruhi lekukan-lekukan
saluran serebrospinal, yang akhirnya akan mempengaruhi tinggi anestesi
spinal pada penggunaan anestesi lokal jenis hiperbarik.
4. Tempat penyuntikan
Makin tinggi tempat penyuntikan, maka analgesia yang dihasilkan
makin tinggi
5. Posisi tubuh
Tidak terdapat pengaruh penyebaran jenis obat larutan isobarik pada
posisi tubuh, sedangkan pada jenis larutan hiperbarik akan dipengaruhi
posisi tubuh.

Medikasi yang digunakan selama pembedahan berlangsung yakni, Oxytocin


diberikan sebanyak 2 kali 10 IU, metilergometrin 0,2 mg, ranitidin 50 mg,
ondancentron 4 mg, asam tranhexamat 250 mg, efedrin 20 mg dan ketorolac 30
mg.
Oxytocin digunakan untuk perbaikan kontraksi uterus serta pengendalian
perdarahan pascapersalinan. Dosis pascapersalinan yakni 20-40 IU/menit. Awitan
aksi dengan pemberian intravena yakni hampir langsung, efek puncak pemberian
intravena < 20 menit, dengan lama aksi pemberian intravena 20 menit 1 jam.
Obat ini berinteraksi dengan pemberian efedrine, mempotensasi efek presor
simpatomimetik.
Metergin merupakan alkaloid ergot yang berkeja mempengaruhi otot uterus
untuk berkontraksi terus-menerus sehingga memperpendek kala III, menstimulasi
otot-otot polos terutama dari pembuluh perifer dan Rahim, dan pembuluh darah
mengalami vasokonstriksi sehingga tekanan darah menjadi naik. Dosis diberikan
pada i.v/i.m 0,2 mg.
Ranitidin merupakan golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2).
Mekanisme kerja ranitidine adalah menghambat reseptor histamine 2 secara
selektif dan reversible sehingga dapat menghambat sekresi cairan lambung.
Ranitidine mengurangi volume dan kadar ion hydrogen dari sel parietal akan

24
menurun sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Pada pemberian
i.m/i.v. kadar dalam serum yang diperlukan untuk mebghambat 50%
perangsangan sekresi asam lambung adalah 36-94 mg/mL. kadar tersebut bertahan
selama 6-8 jam.
Ondansentron ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan mual dan
muntah pasca bedah. Dosis mual pasca bedah melalui pemberian intravena secara
lambat yakni 4 mg, diberikan tanpa diencerkan dalam 1-5 menit. Jika perlu dosis
dapat diulangi. Obat ini memiliki awitan aksi dengan pemberian intravena selama
< 30 menit, efek puncak pemberian intravena bervariasi, dengan lama aksi 12-24
jam.
Ketorolak diberikan dengan tujuan penggunaan berupa analgesia. Dosis
awal ketorolak dengan pemberian intravena yakni 30-60 mg (0,5-1 mg/kgBB).
Sementara untuk dosis pemeliharaannya dengan pemberian intravena yakni 15-30
mg (0,25-0,5 mg/kgBB) setiap 4-6 jam. Dosis intravena harus diberikan perlahan-
lahan (5 menit) untuk mengurangi risiko flebitis. Awitan aksi obat ini dengan
pemberian intravena < 1 menit, efek puncak 1-3 jam, dengan lama aksi 3-7 jam.
Tindakan bedah sesar berlangsung selama 80 menit dengan jumlah
perdarahan 500 cc dan urin 200cc. Setelah operasi pasien di bawa ke Recovery
room.

Terapi cairan
1. Pre operatif
Cairan maintenance
10 kg pertama : 10 kg x 4cc = 40 cc
10 kg kedua : 10 kg x 2 cc = 20 cc
Sisa BB : 38 kg x 1 cc = 38 cc
Total : 98 cc/jam ( 2353 ml/24 jam)
2. Perioperatif
Untuk terapi cairan perioperatif dapat digunakan formula M O P, dengan
keterangan sebagai berikut:
M : Maintenance, dapat dihitung menggunakan rumus holyday Zegar
untuk anak-anak yaitu rumus 421
O : prediksi cairan yang hilang selama operasi dapat dihitung dari jenis
operasi x BB

25
- Operasi kecil : 2-4 ml x BB
- Operasi sedang : 4-6 ml x BB
- Operasi besar : 6-8 ml x BB
P : Lamanya puasa dihitung dari jumlah jam puasa x maintenance
Perhitungan cairan menggunakan rumus:
Jam I : M + O + 1/2 P
Jam II-III : M + O + 1/4 P
Jam IV :M+O

Berikut merupakan perhitungan pada saat operasi:


a. Maintenance : 98 cc
b. Pengganti puasa: lama jam puasa (6 jam) x maintenance (98cc) = 588
cc 500 cc (cairan yang masuk saat puasa ) = 88 cc
c. Stress operasi : pada kasus ini termasuk jenis operasi besar karena
merupakan operasi bedah sesar sehingga stress operasi =
8 x 58 kg = 464 cc
d. Cairan defisit darah dan urin 500 + 200 = 700 cc
e. Total kebutuhan cairan selama operasi 1,5 (98) + 88 cc + 464 cc + 700
cc = 1399 cc
f. Cairan yang masuk selama operasi sebanyak 1800 cc (RL 300 cc +
gelafusal 500 cc + RL 500 cc + RL 500 cc )

26
Perdarahan

Perkiraan kehilangan cairan darah

Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4

Kehilangan Sampai 750 750-1500 1500- >2000


darah (ml) 2000

Kehilangan Sampai 15-30% 30-40% >40%


darah (%BV) 15%

Nadi <100 >100 >120 >140

Tekanan Normal Normal Menurun Menurun


darah

Tekanan nadi Normal Menurun Menurun Menurun

27
atau
meningkat

Frekuensi 14-20 20-30 30-40 >35


napas

Urin (ml/jam) >30 20-30 5-15 Tidak ada

Status mental Gelisah Gelisah Gelisah Gelisah


ringan sedang dan dan letargi
bingung

Cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid Kristaloid


pengganti dan darah dan darah

(Rumus 3:1)

Estimated blood volume (EBV) untuk pasien perempuan adalah 65cc/kgBB.

Sehingga pada pasien ini yang berat badannya 58 kg didapatkan:


EBV = 65 x 58
= 3770 cc
% perdarahan = jumlah perdarahan x 100
EBV
500 x 100 = 13,2 %
3770
Jumlah perdarahan selama operasi sesar pada pasien ini diperkirakan
500 cc. Berdasarkan tabel di atas, maka total perdarahan yang dialami pasien
diperkirakan berada pada kelas 1 atau 15% dari EBV. Sehingga terapi cairan yang
harus diberikan adalah kristaloid. Dimana jika direncanakan pemberian cairan
kristaloid 3-4 kali dari total kehilangan darah.

3. Post operatif
Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi.
Kebutuhan air untuk penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar
kurang lebih 50 ml/kgBB/24jam. Sehingga kebutuhan air untuk pasien ini adalah:
50 cc/kgBB/24 jam = 2900cc/24jam. Holliday Zegar : 98cc/jam atau 2352 cc/24
jam = 33 TPM

28
Namun pemberian cairan pada post partum harus dibatasi dengan
memperhatikan diuresis spontan yang kadang terjadi dalam 36-48 jam setelah
persalinan.

29
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Perubahan fisiologis kehamilan akan mempengaruhi teknik anastesi yang


akan digunakan. Resiko yang mungkin timbul pada saat penatalaksanaan anastesi
adalah seperti adanya gangguan pengosongan lambung, terkadang sulit dilakukan
intubasi, kebutuhan oksigen meningkat, dan pada sebagian ibu hamil posisi
terlentang (supinasi) dapat menyebabkan hipotensi (supinase aortocaval
syndrome) sehingga janin akan mengalami hipoksia.

Anastesi regional merupakan teknik sederhana, cepat, ibu tetap sadar,


bahaya aspirasi minimal, namun sering menimbulkan mual dan muntah sewaktu
pembedahan, bahaya hipotensi yang besar, serta timbul sakit kepala pasca bedah.
Anastesi umum sengan teknik yang cepat, baik bagi ibu yang takut, serta
terkendali dan bahaya hipotensi tidak ada, namun kerugian yang ditimbulkan
kemungkinan aspirasi lebih besar, pengaturan jalan napas sering mengalami
kesulitan, serta kemungkinan depresi pada janin lebih besar.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Aldrete JA, Kronlik D: A postanesthetic recovery score. Anesth Analg


1970;49;924 and Aldrete JA : the post-aesthesia recovery score revisited. J
Clin Anesth 1995;7;89
2. American Society of Anesthesiologist. 2011. Practice Guidelines for
Preoperative Fasting and The Use of Pharmacologic Agents to Reduce
Aspiration: Application to Healthy Patients Undergoing Elective Procedures:
An Updated Report by The American Society of Anesthesiologist Comitte on
standards and Practice parameters. USA: Lippincott illiams & Wilkins
3. Boulton, T., Blogg, C., 2002. Anestesiologi. Edisi 10. EGC. Jakarta.
4. Covino BG, Scott DB, Lambert DH. Handbook of Spinal Anesthesia and
Analgesia. Mediglobe. Fribourg. 1994. Pages 71-104.
5. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC.
Jakarta. 1994. Hal 101-104
6. Dunn, Peter F., Theodore A.Alston, Keith H. Baker, J.Keneth Davison, Jean
Kwo, dan Carl Rosow. 2007 Clinical anesthesia procedures of the
Massachusets General Hospital 7th edition. USA: Lippincott Williams &
Wilkins
7. Gunawan, S., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. FKUI. Jakarta.
8. Latief, S.A., Suryadi, K.A., Dachlan M.R. 2009. Petunjuk Praktis
Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.
9. Morgan,G.E., Mikhail,M.S., Murray,M.J. 2006. Clinical Anesthesiology. 4th
Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
10. Miller RD, Ericksoson LI, Fleisher LA, Wiener JP, Young WL. 2009. Millers
Anesthesia 7th ed. US: Elsevier
11. The New York School of Regional Anesthesia. Spinal Anesthesia. 2009.
Available in Website : www.nysora.com.

31

Anda mungkin juga menyukai