I. Pendahuluan
Psikogenic non-epileptic seizures (PNES) adalah kategori tidak
spesifik, payung yang digunakan untuk mengumpulkan berbagai
tanggapan neurofisiologis atipikal terhadap tekanan emosional, stres
fisiologis dan bahaya. Karena PNES meniru serangan epilepsi, anak-anak
dan remaja dengan PNES biasanya hadir untuk ahli saraf atau unit
pemantauan epilepsi. Setelah evaluasi neurologis yang komprehensif dan
diagnosis PNES, pasien dirujuk ke layanan kesehatan mental untuk
pengobatan. PNES terjadi dalam konteks sistem saraf yang tidak stabil dan
mencerminkan pelepasan program motor yang diprogramkan setelah
kegagalan fungsional dalam sirkuit kontrol eksekutif emosi-emosional.
Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk
menjelaskan suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai
penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non
epilepsi tidak disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak
(Selkirk et al., 2008.).
Psychogenic non-epileptic seizures (PNES) adalah gangguan
terbatas dari waktu kontrol sensorik-motorik disertai perubahan kesadaran,
tetapi tanpa aktivitas iktal pada electroencephalogram (EEG). PNES
biasanya hadir dengan tremor berirama atau gerakan keras seperti:
meronta-ronta; gerakan kompleks seperti fleksi dan ekstensi; gerakan
mirip mioklonik; episode ketidaksensitifan; episode kehancuran / pingsan;
aura non-epilepsi; dan bergetar, menatap dan tonik (Morgan & Buchhalter,
2015). Karena PNES meniru serangan epilepsi, anak-anak dan remaja
dengan PNES biasanya dibawa ke ahli saraf atau unit untuk pemantauan
epilepsi; setelah evaluasi neurologis yang komprehensif dan diagnosis
PNES, pasien dirujuk ke layanan kesehatan mental untuk perawatan
berkelanjutan.
1
II. Epiemiologi
Gejala psikogenik dapat mewakili 1% dari perawatan neurologis
keseluruhan dan hingga 10% dari semua kasus neurologis pada pasien
rawat inap. Secara khusus, perkiraan prevalensi PNES menunjukkan angka
sekitar 2-33 individu per 100.000, yang membuat kondisi ini menjadi
sangat menarik. diagnosis neuropsikiatrik.
Di klinik epilepsi hingga 20% dari pasien dapat hadir dengan
PNES dan ini mungkin meningkat menjadi 40% dalam pengaturan pusat
epilepsi tersier. Koeksistensi epilepsi dan PNES bervariasi menurut
penulis yang berbeda dengan kutipan antara 10 dan 50%. Perbedaan
tersebut mungkin terkait dengan analisis populasi yang berbeda dan
penggunaan kriteria dan metodologi yang berbeda. Fakta yang tak
terbantahkan, bagaimanapun, adalah prevalensi perempuan dengan
diagnosis PNES dengan proporsi 1: 4 cenderung mewakili perkiraan.
Memahami dan menerima tingginya prevalensi PNES sangat
penting dalam perawatannya. Yang membuat orang sadar akan kondisi ini
dan dapat mencegah setidaknya dua konsekuensi yang tidak diinginkan
dari mengabaikan hipotesis diagnostik ini. Pertama, karena presentasi
mereka yang sering mengkhawatirkan, pasien dengan PNES sering dirujuk
ke ruang gawat darurat di mana mereka rentan terhadap prosedur
iatrogenik. “Status epilepticus” bukanlah diagnosis yang tidak umum pada
pasien ini dan dosis diazepinik atau fenitoin yang besar mungkin tidak
perlu digunakan. Setidaknya ada satu laporan tentang konsekuensi
mematikan pada seorang pemuda berusia 17 tahun yang disalahartikan
sebagai "status epilepticus" (yang pada kenyataannya merupakan
gangguan yang dibuat-buat) dan pergi ke disosiasi elektromekanik dan
penangkapan kardiorespirasi yang tidak dapat diperbaiki setelah beban
fenitoin. Kedua, PNES dapat menghabiskan biaya US $ 100-900 juta (per
tahun) dalam prosedur dan perawatan yang samar-samar yang
dimaksudkan untuk mengobati "epilepsi" yang salah didiagnosis.
2
III. Pembagian kejang non epilepsi
Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya
maka didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu:
Bangkitan fisiologik
Bangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya
terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran darah, glukosa
maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan fisiologik adalah
adanya perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan
darah atau terjadinya hipoglikemia.
Bangkitan psikogenik
Bangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan
psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma emosional oleh
karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian atau kematian orang yang
dicintai.
3
bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga sangat sulit
untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non
epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres
maupun kecemasan.
Tabel I menjelaskan penyebab yang paling sering didapatkan dari
kejang non epilepsi yaitu:
Tabel I. Penyebab kejang non epilepsi
1. Penghentian konsumsi alkohol
2. Penghentian konsumsi Benzodiazepine
3. Massive sleep deprivation
4. Penggunaan kokain
5. Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi,
malingering)
6. Cedera kepala akut (dalam satu minggu)
7. Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma
8. Uremia
9. Eklampsia
10 Demam tinggi
.
11 Hipoksemia
.
12 Hiperglikemia atau hipoglikemia
.
13 Gangguan elektrolit
.
Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi,
penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya sendiri, terjadi
konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami inkontinensia.
Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda
peringatan sebelumnya (Daoud, 2004).
Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena
faktor psikologik (Reuber, 2005).
Serangan panik
4
Serangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau
teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat
sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita merasa cemas
atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik
terhadap serangan tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas,
berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar. Penderita dapat
juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan
dapat terjadi lagi walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang
menakutkan.
Cut off atau serangan menghindar
Jenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan
kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi
emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai pada
penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan
yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada serangan
panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun penderita tidak
berada dalam situasi tertekan.
Respon terlambat terhadap stres berat
Serangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat
atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita
melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin
merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu
keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama
serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit atau
teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas
pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya
dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya.
5
V. Diagnosis kejang non epilepsi
Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang
dokter membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya
adalah riwayat penyakit neurologi yang mungkin dideritanya,
perkembangan psikologik, dan juga situasi terbaru sehubungan dengan
keluhan dari penderita. Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara
kejang epilepsi dan kejang non epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip.
Mencari keterangan tentang seperti apa bentuk bangkitannya, dan sudah
berapa lama penderita mengalami serangan bangkitan, maka hal tersebut
akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan tipe kejang yang terjadi.
Tabel 2. Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada
orang dewasa
No Diagnosis banding
1 Sinkop
6
Penderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak ingat
beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna untuk
dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa minta
penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada waktu
penderita mendapatkan serangan bangkitan.
Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk
diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):
1. Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?
2. Seperti apakah serangan itu terjadi?
3. Berapa lama serangan itu berhenti?
4. Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan hingga di
bawa ke rumah sakit?
5. Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan setelah
serangan bangkitan?
Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang
mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk
mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat
untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang
disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).
Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak.
Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari
aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan EEG
dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya. Sedangkan pada
kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan EEG tidak
memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias listrik di otak.
Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat bermanfaat untuk
mengetahui apakah bangkitan yang terjadi merupakan kejang epilepsi
atau bukan.
Telemetri Video
7
Pemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG,
dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan
video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk
membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi
bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi bangkitan
tersebut.
Pemeriksaan CT Scan kepala
Pemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat
membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan fisik di
otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan. Walaupun
demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama untuk
mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan pencitraan
lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala adalah
pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI)
8
keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat
membantu penyembuhannya.
Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut
terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh
karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada
penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi
maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang
non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif
maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.
Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin
disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa
penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan
bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara
rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi
serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya
serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya,
baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.
Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang
penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat
membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu
informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa
meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk
mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi
tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis
penyakit saraf, maupun psikiatris.
9
Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsi
Konsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama
adalah sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi.
Prinsipnya adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka
yang paling penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat
kejangnya. Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan,
atau cegah terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya
maka yang terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga
kejang berhenti.
10