Anda di halaman 1dari 11

KEJANG NON EPILEPSI

I.Pendahuluan

Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua
bangkitan merupakan suatu tanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat
juga dihasilkan dari kadar gula darah yang rendah, infeksi, demam, cedera kepala
berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan merupakan epilepsi.
Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan
tersebut dapat juga disebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi
(Davis,2004).

Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan
suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai penyebab yang
berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non epilepsi tidak disebabkan
oleh adanya perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).

Gambar patofisiologi kejang yang disebabkan oleh


epilepsi dimana ada perbedaan dengan kejang yang
disebabkan non epilepsi.
Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada
aktivitas otak sedangkan Non epilepsi kejangnya Tidak
disebabkan perubahan pada aktivitas otak

Terminologi bangkitan atau seizure adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba,


dan dalam waktu yang pendek dimana terjadi perubahan pada seorang yang dalam
keadaan sadar dimanapun, dan dalam keadaan apapun berupa perilaku maupun
perasaannya. Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskan kejadian epilepsi
dan pada epilepsi didapatkan beberapa perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).
II. Penyebab bangkitan
Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan
kadar gula darah (hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada
seseorang yang mengalami infark miokard akut. Pada seseorang mungkin juga
didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejang epilepsi dan juga kejang
non epilepsi (Henry, 2000).
Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan berhentinya
secara singkat dari mekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat
disebabkan oleh adanya perubahan aktivitas listrik di dalam sel-sel neuron. Apa
yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan epilepsi tergantung di
mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari
kejadian tersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun
tingkah laku (Reuber et al., 2007).
Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang
memproduksi secara tiba-tiba lonjakan energi listrik yang menyebabkan
terjadinya kerusakan fungsional sel-sel neuron. Bangkitan nerologik merupakan
suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel
neuron. Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa
provokasi (Engelborghs et al., 2000).

III. Pembagian kejang non epilepsi

Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka


didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu:

 Bangkitan fisiologik
o Bangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi,
misalnya terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran
darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan
fisiologik adalah adanya perubahan irama jantung, mendadak
terjadi penurunan tekanan darah atau terjadinya hipoglikemia.
 Bangkitan psikogenik
o Bangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya
tekanan psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma
emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian
atau kematian orang yang dicintai.

IV. Penyebab kejang non epilepsi

Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang


berhubungan dengan tubuh), misalnya adalah pingsan yang sering disebut juga
sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejang non epilepsi yang
disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya
pada serangan panik.

Jika kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih
mudah untuk menegakkan diagnosisnya berdasarkan penyakit yang mendasarinya.
Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkin didiagnosis oleh karena adanya
masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanya digunakan untuk
menjelaskan kejadian bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik.

Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan mengapa terjadi dan kapan
mulainya kejadian kejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi
mengatakan bahwa kejadiannya sangat cepat dan waktunya pendek setelah
terjadinya stres yang spesifik, tetapi penderita lain melaporkan bahwa kejadian
kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga
sangat sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non
epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun
kecemasan.
Tabel I menjelaskan penyebab yang paling sering didapatkan dari kejang non
epilepsi yaitu:

Tabel I. Penyebab kejang non epilepsi

1. Penghentian konsumsi alkohol


2. Penghentian konsumsi Benzodiazepine
3. Massive sleep deprivation
4. Penggunaan kokain
5. Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi,
malingering)
6. Cedera kepala akut (dalam satu minggu)
7. Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma
8. Uremia
9. Eklampsia
10. Demam tinggi
11. Hipoksemia
12. Hiperglikemia atau hipoglikemia
13. Gangguan elektrolit

Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian kejang non epilepsi sangat
bervariasi. Apa yang terjadi selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi
pada kejadian kejang non epilepsi. Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti
halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya
sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami
inkontinensia. Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda
peringatan sebelumnya (Daoud, 2004).

Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor
psikologik (Reuber, 2005).
 Serangan panik
o Serangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau
teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik
dapat sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita
merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan.
Pengaruh fisik terhadap serangan tersebut misalnya adalah
kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa
bergetar. Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi
serangan konvulsi. Serangan dapat terjadi lagi walaupun penderita
sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.
 Cut off atau serangan menghindar
o Jenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan
kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi
emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai
pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya
kesulitan yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada
serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun
penderita tidak berada dalam situasi tertekan.
 Respon terlambat terhadap stres berat
o Serangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat
atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita
melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin
merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu
keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama
serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit atau
teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas
pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya
dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya.
V. Diagnosis kejang non epilepsi

Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang dokter


membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya adalah riwayat
penyakit neurologi yang mungkin dideritanya, perkembangan psikologik, dan juga
situasi terbaru sehubungan dengan keluhan dari penderita.

Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara kejang epilepsi dan kejang non
epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip. Mencari keterangan tentang seperti
apa bentuk bangkitannya, dan sudah berapa lama penderita mengalami serangan
bangkitan, maka hal tersebut akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan
tipe kejang yang terjadi.

Tabel 2. Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada orang dewasa


No Diagnosis banding

1 Sinkop

Refleks sinkop (sinkop ortostatik, sinkom miksturasi)


Sinkop kardiogenik (takhikardia, bradikardi, sindroma pemanjangan
gelombang QT, abnormalitas struktur jantung, stenosis aorta,
kardiomiopati, arterio-venous shunt)
Gangguan perfusi (hipovolemik, gangguan otonom)
2 Kejang non epilepsi psikogenik

Kejang non epilepsi psikogenik


Serangan panik
Serangan hiperventilasi
3 Transient Ischemic Attack

4 Migrain

5 Narkolepsi / katapleksi

6 Parasomnia
7 Vertigo paroksismal

8 Hipoglikemia

Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan untuk dapat menegakkan bangkitan


kejang non epeilepsi adalah:

 Observasi
o Penderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak
ingat beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna
untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa
minta penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada
waktu penderita mendapatkan serangan bangkitan.
o Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk
diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):
 Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?
 Seperti apakah serangan itu terjadi?
 Berapa lama serangan itu berhenti?
 Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan
hingga di bawa ke rumah sakit?
 Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan
setelah serangan bangkitan?
 Pemeriksaan darah
o Pemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang
mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk
mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat
untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang
disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).
 Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)
o Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak.
Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari
aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan
EEG dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya.
Sedangkan pada kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan
EEG tidak memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias
listrik di otak. Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat
bermanfaat untuk mengetahui apakah bangkitan yang terjadi
merupakan kejang epilepsi atau bukan.
 Telemetri Video
o Pemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG,
dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan
video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk
membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi
bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi
bangkitan tersebut.
 Pemeriksaan CT Scan kepala
o Pemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat
membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan
fisik di otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan.
Walaupun demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama
untuk mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan
pencitraan lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala
adalah pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).

VI. Penatalaksanaan Kejang non Epilepsi

Penanganan umum

 Penatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari


penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit
saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi
apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas
faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris.
 Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti
tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah
menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh
seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan
oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam
menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan
psikiatris mungkin membutuhkan beberapa kali pertemuan sampai
penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota
keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat
membantu penyembuhannya.
 Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut
terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh
karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada
penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi
maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang
non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif
maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.
 Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin
disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa
penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan
bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara
rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi
serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya
serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya,
baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.
 Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab
dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu
dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi
dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan
pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya
serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh
seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris.

Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsi

 Konsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama adalah


sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi. Prinsipnya
adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka yang paling
penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat kejangnya.
Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan, atau cegah
terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya maka yang
terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga kejang
berhenti.

Kepustakaan

1. Daoud, A., 2004. Febrile convulsion: review and update. Journal of


Pediatric Neurology; 2 (1) : 9-14.
2. Davis, B.J., 2004. Predicting Nonepileptic Seizures Utilizing Seizure
Frequency, EEG, and Response to Medication. Eur Neurol; 51: 153-156.
3. Engelborghs, S., D’hooge, R., and De Deyn, P.P., 2000. Pathophysiology
of epilepsy. Acta Neurol. Belg.; 100: 201-213.
4. Henry, T.R., 2000. Non-Epileptic Seizures, in Gates, J.R., and Rowan,
A.J., Epilepsy and Behavior. 2nd ed. Boston/Oxford: Butterworth–
Heinemann; 1 (2): 135.
5. Irwin, K., Edwards, M., and Robinson, R., 2000. Psychogenic non-
epileptic seizures: management and prognosis. Arch Dis Child; 82: 474-
478.
6. Kammerman, S. and Wasserman, L., 2001. Seizure disorders: Part 1.
Classification and diagnosis. The Bellevue Guide to Outpatient Medicine –
An Evidence-Based Guide to Primary Care, BMJ Publishing Group; 175:
99-103.
7. Reuber, M., 2005. Psychogenic nonepileptic seizures: diagnosis, aetiology,
treatment and prognosis. Arch Neurol Psychiatr;156: 47-57.
8. Reuber, M., Howlett, S., Khan, A., and Newald, R.A., 2007. Non-Epileptic
Seizures and Other Functional Neurological Symptoms: Predisposing,
Precipitating, and Perpetuating Factors. Psychosomatics; 48: 230-238.
9. Selkirk, M., Duncan, R., Oto, M and Pelosi, A., 2008. Clinical differences
between patients with nonepileptic seizures who report antecedent sexual
abuse and those who do not. Epilepsia; 48: 1446-50

Anda mungkin juga menyukai