OLEH Dr. ISHLAHUDDIN IBNU AMIN PPDS Neurologi FK Unand
Kamis, 9 Oktober 2014
PEMBIMBING Dr. YASLINDA YAUNIN, Sp.KJ Dr. MEITI FRIDA, Sp.S(K)
BAGIAN PSIKIATRI / NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS RSUP DR. M. DJAMIL PADANG 2014
1
LAPORAN KASUS Seorang pasien laki-laki berusia 20 tahun, dibawa ke IGD RSUP DR. M. Djamil Padang pada tanggal 19 November 2013 dengan keluhan kejang berulang, pasien merupakan rujukan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) HB Saanin Padang dengan diagnosis psikotik organik et causa suspek massa di otak, dengan didiagnosis banding epilepsi. IDENTITAS PASIEN Nama / Panggilan : Tn. I Jenis kelamin : Laki-laki No. MR : 84.98.73 Tempat lahir : Meulaboh, Aceh Umur : 20 tahun Status perkawinan : Belum menikah Agama : Islam Pekerjaan / Pendidikan : Wiraswasta (penjaga warnet) / tamat SMA Warga negara : Indonesia Suku bangsa : Jawa Asal : Pesisir Selatan Alamat : Silaut VI, Desa Sambungo, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat Kode Pos 25674 ALLOANAMNESIS Nama / umur : Ny. S / 48 tahun Jenis kelamin : Perempuan Alamat dan telepon : Silaut VI, Desa Sambungo, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir Selatan, Provinsi Sumatera Barat Kode Pos 25674 HP. 085363349xxx Pekerjaan / Pendidikan : Tani / Tamat SD Hubungan dengan pasien : Ibu kandung
I. Sebab utama pasien dirawat: Pasien gelisah, marah-marah tanpa sebab, mengamuk, bicara sendiri, dan kadang-kadang disertai dengan kejang berulang.
2
II. Keluhan utama penderita saat ini: Tidak ada III. Riwayat perjalanan penyakit: Pasien merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, sejak kecil pasien hidup bersama- sama dengan orang tua dan kakaknya, pasien biasa dimanja oleh anggota keluarganya. Pasien memiliki seorang kekasih (pacar) yang tinggal dalam satu kampung yang sama dengan pasien di Lunang Silaut Pesisir Selatan, pasien telah berpacaran sejak 6 bulan yang lalu, hubungan pasien dengan kekasihnya cukup harmonis. Sejak tamat SMA pasien tidak melanjutkan pendidikan lagi dan ingin bekerja dan bisa menghasilkan uang sendiri. Sejak pertengahan bulan September 2013 pasien diterima bekerja sebagai karyawan di salah satu warnet (warung telekomunikasi) di kota Padang. Hal ini menyebabkan pasien harus berpisah dengan keluarganya dan mulai hidup sendiri di tempat kos yang jaraknya tidak terlalu jauh dari warnet tempat dia bekerja. Kepindahan pasien ke Padang tidak disetujui oleh kekasih pasien sehingga hubungan mereka menjadi tidak harmonis lagi. Pasien pernah bercerita bahwa dia memiliki masalah dengan pacarnya, namun tidak diketahui seberat apa masalah yang dihadapinya. Sejak bulan Oktober 2013 pasien mulai terlihat sering termenung, sedih, mudah tersinggung bila ditanya tentang keadaannya. Keadaan ini terbawa ketempat pasien bekerja, dimana pasien sering terlihat termenung saat bekerja, senyum-senyum sendiri, dan tidak fokus saat bekerja sehingga pasien sering kena tegur dan dimarahi oleh bosnya. Sejak 2 minggu sebelum dirawat (awal November 2013) keadaan pasien makin bertambah berat, dimana pasien menjadi sering gelisah, marah-marah tanpa sebab yang jelas, dan mulai bicara ngelantur. Pasien juga menjadi susah tidur (tidur hanya 2- 3 jam sehari), agak gelisah di malam hari dan sering terbangun beberapa kali. Makan pasien cukup (3 kali sehari). Pasien telah dibawa oleh orang tuanya berobat alternatif ke dukun sebanyak 3 kali. Dukun mengatakan bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan oleh tasapo dan diobati dengan pembacaan doa-doa, pasien tidak pernah dianjurkan berobat ke rumah sakit oleh sang dukun. Setelah menjalani serangkaian pengobatan alternatif dari sang dukun, keadaan pasien tidak bertambah baik, malah bertambah berat dimana pasien mulai sering mengalami kejang saat di rumah terutama di hadapan anggota keluarga, 3
kejang yang dialami pasien terjadi pada seluruh tubuh, saat kejang pasien terlihat tidak sadar dan tidak bisa diajak berkomunikasi, anggota gerak pasien (tangan dan kaki) terlihat kaku, lama kejang bisa sampai 15-20 menit, saat kejang mata pasien cenderung tertutup dan tidak ada lidah tergigit, mulut berbuih, maupun ngompol. Setelah kejang pasien sadar kembali, tanpa mengalami luka ataupun cedera pada tubuhnya. Frekuensi kejang bisa sampai 2-3 kali dalam sehari. Pasien juga pernah mengeluhkan melihat bayangan putih yang terbang didekatnya, dan sering mendengarkan suara-suara atau bisikan dari Mbahnya yang telah lama meninggal dunia. Karena pasien makin sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, bicara sendiri, dan suka mengamuk maka keluarga sepakat untuk membawa pasien berobat ke RSJ HB Saanin Padang. Setelah mendapatkan penanganan medis pertama di IGD pasien kemudian dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang dengan diagnosis klinis psikotik organik et causa suspek massa di otak dan didiagnosis banding dengan epilepsi. IV. Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada riwayat kejang pada masa anak-anak. Riwayat demam sebelumnya disangkal. Tidak ada riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol, pemakaian narkoba, dan seks bebas. Pasien pernah trauma kepala 3 tahun yang lalu, jatuh dari sepeda motor, namun tidak menimbulkan keluhan, pasien tetap sadar setelah kejadian. V. Riwayat Premorbid Bayi : lahir spontan, cukup bulan, ditolong dukun, langsung menangis, riwayat kuning, kebiruan, dan kejang-kejang tidak ada Anak-anak : pertumbuhan fisik dan perkembangan mental sesuai dengan anak seusianya Remaja dan dewasa : patuh pada orang tua, suka dimanja, pendiam, kurang suka bergaul, kurang taat beribadah VI. Riwayat pendidikan, pekerjaan dan perkawinan Pendidikan : tamat SLTA Pekerjaan : wiraswasta (penjaga warnet) Perkawinan : belum menikah
4
VII. Riwayat sosial ekonomi Sebelumnya pasien, kakak pasien, kedua orang tua pasien tinggal bersama di rumah milik orang tuanya, rumah satu lantai semi permanen, listrik ada, sumber air dari PDAM. Setamat sekolah pasien belum mendapatkan pekerjaan tetap dan tidak mempunyai penghasilan sendiri, biaya hidup pasien masih ditanggung oleh kedua orang tuanya. Penghasilan keluarga pasien per bulan: Income : hasil sawah : Rp750.000,- ternak ayam dan itik : Rp500.000,- ibu bantu sawah orang lain + buruh cucian : Rp1.000.000,- Total : +/- Rp2.250.000,- Pengeluaran untuk biaya rumah tangga perbulan lebih kurang Rp2.200.000,- Dengan keadaan ini tidak ada uang yang bisa disimpan setiap bulannya. Keuangan perbulan ini dirasakan tidak mencukupi oleh keluarga pasien. VIII. Riwayat tentang penyakit yang terdapat dalam keluarga
pasien Tidak ada anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (mental disorders) IX. Grafik perjalanan penyakit
Agust Sept Okt Nov Des 2013
STATUS INTERNUS Keadaan umum : sakit sedang Suhu : 36,7 O C Kesadaran : komposmentis tidak kooperatif Tinggi badan : 160 cm Tekanan darah : 120/80 mmHg Berat badan : 50 kg Frekuensi nadi : 82 x/menit Keadaan gizi : baik Frekuensi nafas : 18 x/menit 5
Sistem respiratorik : Inspeksi : simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis Palpasi : fremitus kiri = kanan Perkusi : sonor kiri dan kanan Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-) Sistem kardiovaskular : Inspeksi : iktus tidak terlihat Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V Perkusi : batas jantung dalam batas normal Auskultasi : heart rate 78 x/menit, irama teratur, bising (-) Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit Palpasi : hepar dan lien tidak teraba Perkusi : timpani Auskultasi : bising usus (+) normal Kelainan khusus : Tidak ditemukan kelainan khusus Status Neurologis Kesadaran; GCS 15 (E 4 M 6 V 5 ) Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk (-), Brudzinski I dan II (-), Kerniq (-) Tanda peningkatan tekanan intrakranial tidak ditemukan Funduskopi : papil berbatas tegas, warna kuning jingga, cupping (+), aa:vv = 2:3, perdarahan (-) Kesan: fundus dalam batas normal pada mata kanan dan kiri Pemeriksaan saraf kranialis: N I : Penciuman baik N II : Tajam penglihatan baik (visus 6/6), lapang pandangan baik, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+), pupil isokor, diameter 3 mm kiri/kanan N III, IV, VI : Bola mata dapat bergerak bebas ke segala arah N V : Refleks kornea (+) pada kedua mata N VII : Wajah simetris, plika nasolabialis kiri = kanan N VIII : Pendengaran baik N IX, X : Refleks muntah (+) N XI : Bisa mengangkat bahu N XII : Lidah posisi di tengah, fasikulasi (-)
6
Motorik : Ekstremitas Superior Kanan Kiri Pergerakan Aktif Aktif Kekuatan 5 5 5 5 5 5 Tonus Eutonus Eutonus Tropik Eutropi Eutropi
Ekstremitas Inferior Kanan Kiri Pergerakan Aktif Aktif Kekuatan 5 5 5 5 5 5 Tonus Eutonus Eutonus Tropik Eutropi Eutropi Sensorik : Proprioseptif dan eksteroseptif baik Otonom : Neurogenic bladder (-), sekresi keringat normal Refleks Fisiologis : Refleks Kanan Kiri Biseps ++ ++ Triseps ++ ++ KPR ++ ++ APR ++ ++ Refleks Patologis : refleks Babinski -/-, Hoffman Tromner -/- Reflek regresi : reflek glabela (-), sucking (-), snout reflek (-), palmomental (-), grasping reflek(-) Pemeriksaan fungsi luhur: Tidak bisa dilakukan karena pasien yang tidak kooperatif PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium IGD : Haemoglobin : 13,9 g/dl Leukosit : 9.800 /mm 3 Hematokrit : 43 % Trombosit : 185.000/mm 3
7
Autoanamnesis dilakukan tanggal 27 November 2013 Pertanyaan Jawaban Interpretasi Selamat siang, perkenalkan saya dr. Ishlahuddin, boleh saya minta waktu sebentar untuk menanyakan sesuatu? Kalau boleh tahu, namanya siapa? umur sekarang? Ilham tahu dimana sekarang? Apa nama rumah sakitnya, dimana tempatnya? Sekarang hari apa? tanggal?
Ilham tahu siapa presiden kita dan wakilnya sekarang
Bagaimana ceritanya Ilham bisa sampai di sini? Siapa yang bawa ke sini? Kenapa Ilham dirawat?
Oya, seandainya saat Ilham sedang jalan, trus menemukan dompet, apa yang Ilham lakukan?
Katanya Ilham di rumah sering kejang-kejang, apa benar begitu? Tangan atau kaki Ilham ada yang lemah ndak rasanya? Trus, kalau jalan pincang nggak? Oya, dalam beberapa hari ini Ilham ada mendengar bisikan suara-suara ndak? Trus, Mbahnya dimana sekarang? Sekarang masih terdengar? Melihat sesuatu yang aneh?
Boleh (pasien mondar-mandir dalam ruangan, sesekali bisa disuruh duduk) Nama Ilham Pak, umur 21 tahun
Tahu, di rumah sakit RS M Jamil, di kota Padang
Rabu, 27-11-2013
Pak SBY dan Budiono
Katanya saya sering marah-marah
Ndak tahu, Mas Aan mungkin Nggak tahu, nggak ada sakit
Ambil uangnya
(pasien mondar-mandir, lama baru bisa diajak komunikasi lagi) Nggak tahu Pak
Nggak Pak, kuat kok, jalan juga normal
Ada Pak, suara panggilan dari Mbah saya, dia manggil nyuruh saya pulang
Sudah meninggal Pak, setahun yang lalu Seminggu ini sudah berkurang Pak Ada Pak, ada bayangan putih yang mengikuti saya hipertim
Ilham pernah jalan-jalan sendiri, jauh dari rumah trus lupa jalan pulang? Pernah merusak atau membakar-bakar sesuatu Oya, Ilham udah punya pacar ya? Masih sering kontak dengan dia? Kenapa?
Okelah, terima kasih ya Sudah berkurang juga dalam seminggu ini Sudah, di warnet Awalnya senang kerja di situ, tapi sekarang Mas Elang (bos pasien) ndak suka sama Ilham, dia marah- marah terus. (pasien terlihat emosi) Ndak Pak
Ndak Pak
Udah Pak, di kampung, namanya Bunga (samaran) Ndak Pak, dah lama ndak bicara dengan dia Dia mungkin ndak suka lagi sama Ilham. (pasien terlihat emosi lagi) Iya Pak
rasa dimusuhi bos
vagabondage (-)
piromani (-)
rasa dimusuhi pacar
Ikhtisar dan Kesimpulan Pemeriksaan Psikiatri (Pemeriksaan dilakukan tanggal 27 November 2013) I. Keadaan Umum a. Kesadaran / sensorium : sadar Perhatian : kurang b. Sikap : tidak koopereatif Inisiatif : kurang c. Tingkah laku motorik : aktif Karangan/tulisan/gambar: d. Ekspresi fasial : kaya (terlampir) e. Verbalisasi dan cara berbicara : dapat berbicara, lancar, dan jelas f. Kontak psikik : dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar II. Keadaan Spesifik A. Keadaan alam perasaan 1. Keadaan afektif : hipertim 2. Hidup emosi a. stabilitas : labil b. pengendalian : kurang c. ech unecht : ech d. einfuhlung (invoelaarhaid) : inadekuat 9
e. dalam dangkal : dangkal f. skala differensiasi : sempit g. arus emosi (lambat cepat) : cepat B. Keadaan dan fungsi intelek a. daya ingat (amnesia) : kurang b. daya konsentrasi : susah c. orientasi (waktu, tempat, personal, situasi) : tidak terganggu d. luas pengetahuan umum dan sekolah : rata-rata normal e. discriminative insight : terganggu f. dugaan taraf intelegensia : rata-rata normal g. discriminative judgement : terganggu h. kemunduran intelek : tidak ada C. Kelainan sensasi dan persepsi a. ilusi : tidak ada b. halusinasi akustik : ada, sejak 2 minggu sebelum dirawat, berkurang 1 minggu ini visual : ada, sejak 2 minggu sebelum dirawat, berkurang 1 minggu ini olfaktorik : tidak ada taktil : tidak ada gustatorik : tidak ada D. Keadaan proses berfikir 1. Kecepatan proses berfikir (psikomobilitas) : cepat 2. Mutu proses berfikir a. jelas dan tajam : kurang jelas dan kurang tajam b. sirkumstansial : tidak ada c. inkoherrent : tidak ada d. terhalang (sperrung) : tidak ada e. terhambat (hemmung) : tidak ada f. meloncat-loncat (flight of ideas) : tidak ada g. verbigerasi perseverative (persevaratich) : tidak ada 3. Isi pikiran a. pola sentral dalam pikirannya : tidak ada b. fobia : tidak ada c. obsesi : tidak ada 10
d. delusi : tidak ada e. kecurigaan : ada, dimusuhi bos, pacar f. konfabulasi : ada g. rasa permusuhan / dendam : tidak ada h. perasaan inferior : tidak ada i. banyak / sedikit : sedikit j. perasaan berdosa : tidak ada k. hipokhondria : tidak ada l. lain-lain : - E. Kelainan dorongan instinktual dan perbuatan a. abulia : tidak ada b. stupor : tidak ada c. raptus / impulsivitas : tidak ada d. kegaduhan umum / excitement state : ada sejak 2 minggu sebelum dirawat, berkurang dalam 3 hari ini e. deviasi seksual : tidak ada f. ekhopraksia : tidak ada g. vagabondage : tidak ada h. piromani : tidak ada i. mannerism : tidak ada j. lain-lain : tidak ada F. Anxietas yang terlihat secara overt Ada / tidak ada; banyak / sedikit : ada; banyak G. Hubungan dengan realitas Baik / terganggu : terganggu dalam hal tingkah laku, pikiran dan perasaan Pemeriksaan lain-lain 1. Evaluasi sosial oleh ahli pekerja sosial (tanggal) : tidak ada 2. Evaluasi psikologi oleh ahli psikologi (tanggal) : ada (tanggal 20 Desember 2013), hasil terlampir 3. Evaluasi lain (tanggal) : tidak ada
11
Resume Multipel Axis Axis I. Sindroma klinis Sebelum dirawat pasien sering gelisah, marah-marah tanpa sebab yang jelas, juga sering mengamuk, bicara sendiri. Pasien juga sering melihat bayangan putih yang terbang disekitarnya, sering mendengar bisikan-bisikan dari Mbahnya yang sudah meninggal, makan pasien cukup dan tidur kurang (paling lama 2-3 jam). Timbul kejang berulang saat pasien berada di rumah atau dekat dengan anggota keluarga, kejang seluruh tubuh dengan kaku pada badan, lengan dan tungkai pasien, kejang bisa sampai 15-20 menit, saat kejang pasien cenderung menutup mata dan tidak ada mulut berbuih, ngompol, dan cedera. Setelah kejang pasien sadar kembali. Keadaan umum: komposmentis, sensorium tidak bisa dinilai, perhatian kurang, inisiatif kurang, sikap kurang kooperatif, tingkah laku motorik aktif, ekspresi fasial kaya, bisa bicara dan kadang menjawab jika ditanya, kontak psikik dapat dilakukan, kurang wajar dan sebentar. Keadaan Spesifik 1. Keadaan alam perasaan : hipertim, labil, pengendalian kurang, echt, inadekuat, dangkal, sempit, arus emosi cepat. 2. Keadaan dan fungsi intelek : daya ingat kurang, konsentrasi kurang, insight dan judgement terganggu 3. Kelainan sensasi dan persepsi : terdapat halusinasi akustik, dan visual, tapi sudah berkurang. 4. Keadaan proses pikir : terdapat waham curiga 5. Kelainan dorongan instingtual dan perbuatan : tidak ada. 6. Ansietas yang terlihat overt : ada, banyak 7. Hubungan dengan realitas : terganggu ( tingkah laku, pikiran dan perasaan)
Axis II. Gangguan kepribadian dan retardasi mental pasien banyak teman, mudah bergaul, tidak punya musuh tidak ada retardasi mental
Axis III. Kondisi medis umum Tidak ada yang penting
12
Axis IV. Stressor psikososial dan lingkungan pasien tinggal sendiri dalam satu bulan ini pasien sering dimarahi bosnya pasien putus dari pacarnya
Axis V. Penilaian fungsi sosial hubungan sosial tidak dapat dilakukan sejak pasien dirawat pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan mengisi waktu luang tidak dapat dilakukan
Diagnosis Axis I. F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manik Psychogenic non-epileptic seizures II. Tidak ada diagnosis III. Tidak ada diagnosis IV. Stress karena sering dimarahi bos dan putus dengan pacarnya V. GAF 41 50 (saat masuk rumah sakit)
Diagnosis Differensial 1. F25.2 Gangguan skizoafektif tipe campuran
Terapi Haloperidol 3 x 1 tablet @ 1,5 mg per oral Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @ 2 mg per oral Vitamin B complex dan vitamin C 3 x sehari Diazepam 3 x 1 tablet @ 2 mg per oral
13
Prognosis Penilaian Baik Buruk 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Onset Relaps Jenis gangguan Dukungan keluarga Respon obat Keadaan ekonomi Kepatuhan minum obat Faktor pencetus Riwayat keluarga / genetik Penyakit organik usia 20 tahun tidak pernah skizoafektif baik baik menengah ke bawah patuh jelas tidak ada tidak ditemukan
-
-
- -
- -
- - - - Kesimpulan: dubia ad bonam
FOLLOW UP 20 November 2013 S : Gelisah, tidak mau makan dan minum, tidur kurang (4 jam sehari), riwayat badan kaku seperti kejang (+), 3 kali sejak kemaren. O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/80 mmHg. SN : kejang (-), kaku (-), tremor (-) SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien apatis dan tidak bisa diajak berkomunikasi Laboratorium: Haemoglobin: 14,9 g/dl Leukosit: 9.600/mm 3 Hematokrit: 45 % Trombosit: 185.000/mm 3 Diff Count: 0/3/0/60/31/6 GDR: 96,69 mg/dl Ureum: 35,4 mg/dl Creatinin: 0,4 mg/dl Na: 137 mg/dl K: 3,8 mg/dl Cl: 99 mg/dl Protein total: 6,5 Albumin: 4,1 Globulin: 2,4 Total bilirubin: 1,27 Bilirubin direk: 0,346 Bilirubin indirek: 0,944 SGOT: 208 u/l SGPT: 221 u/l A : Gangguan skizoafektif tipe manik + gangguan faal hepar et causa ? + suspek kejang (epilepsi?) P : Konsul bagian Neurologi Konsul bagian Penyakit Dalam
14
Terapi: Haloperidol 3 x 1 tablet @1,5 mg Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Vit B complex + vitamin C 3 x 1 Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Curcuma 3 x 1 tablet Jawaban konsul dari bagian Neurologi: Kesan: Pseudoseizure (psychogenic non-epileptic seizures) Anjuran: pemeriksaan electroencephalography (EEG) Jawaban konsul dari Penyakit Dalam: Kesan: Pseudoseizure dengan peningkatan SGOT dan SGPT et causa? Anjuran: Curcuma 3 x 1 tablet Ulangi pemeriksaan SGOT, SGPT, HbsAg, IgM anti HAV Rawat bersama dengan bagian gastroenterohepatologi
21 November 2013 S : Gelisah, tidak mau makan dan minum, tidur kurang (4 jam sehari), sering kejang dengan tubuh sebelah kanan kaku dan mata melirik ke kanan dengan durasi 15 menit. O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kejang (+), kaku (+), tremor (-) SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien tidak bisa diajak komunikasi Laboratorium: Haemoglobin: 13,6 g/dl Leukosit: 8.700/mm 3 Hematokrit: 42,3% Trombosit: 230.000/mm 3 Diff Count: 0/1/2/80/15/2 Eritrosit: 5 juta/mm 3 Eritrosit: normokrom anisositosis Leukosit: jumlah cukup dengan neutrofilia shift to the right, limfosit atipik (+) Trombosit: kesan jumlah cukup, platelet clump (+) Malaria: tidak ditemukan parasit malaria di slide darah tepi Anti HAV IgM: 0 (neg) HbsAg: non reaktif Anti HCV (Elisa): 0,09 (neg) Total bilirubin: 1,11 Bilirubin direk: 0,45 Bilirubin indirek: 0,66 SGOT: 99 SGPT: 174 A : Gangguan skizoafektif tipe manik + gangguan faal hepar + pseudoseizure P : Konsul ulang bagian Penyakit Dalam
15
Terapi: Haloperidol 3 x 1 tablet @1,5 mg Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Curcuma 3 x 1 tablet Jawaban konsul dari bagian Penyakit Dalam: Kesan: Suspek psikotik organik et causa suspek SOL Gangguan faal hepar et causa suspek drug induced (klinis saat ini ada perbaikan) Anjuran: Lanjutkan terapi obat hepatoprotektor (Livercare 3 x 1 tablet, Curcuma 3 x 1 tablet) Konsul bagian Neurologi Jawaban konsul dari bagian Neurologi: Kesan: Pseudoseizure (psychogenic non-epileptic seizures) Anjuran: Brain CT scan dengan kontras bila kondisi pasien memungkinkan untuk menyingkirkan lesi di intrakranial
22 November 2013 S : Gelisah, tidak mau bicara, tidak mau makan sehingga pasang NGT, kejang (+) >5 menit, penurunan kesadaran saat/setelah kejang tidak ada, tidur kurang (4 jam sehari). O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/80 mmHg. SN : kejang (-), kaku (+), tremor (-) SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien tidak bisa diajak komunikasi A : Gangguan skizoafektif tipe manik P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet
16
23 November 2013 S : Gelisah, bicara kacau, NGT telah dilepas, makan kurang (3 x 1 porsi tapi sedikit). O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 110/80 mmHg. SN : kejang (-), kaku (-), tremor (-) SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi ada (auditorik dan visual) A : Gangguan skizoafektif tipe manik P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet Visite sub bagian GEH Penyakit Dalam: Pasien dengan drug induced liver injury (DILI) et causa Haldol Labor: SGOT: 208 u/l 64 u/l SGPT: 221 u/l 108 u/l HbsAg: non reaktif Anti HCV: 0,09 (negatif) Kesan: perbaikan Terapi: Liver care 3 x 1 tab
25 November 2013 S : Gelisah, bicara kacau, makan kurang (3 x porsi), tidur kurang. O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kaku (-), tremor (-), kejang (+) 5 kali dengan durasi 2-3 menit SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) A : Gangguan skizoafektif tipe manik + suspek pseudoseizures P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet 17
Dilakukan pemeriksaan brain CT scan dengan kontras
Hasil: Tidak tampak lesi hipodens atau hiperdens ataupun lesi lainnya baik di supra maupun infratentorial sebelum maupun sesudah pemberian kontras intravena. Sulci dan gyri tidak melebar Sistem ventrikel tidak melebar Tidak tampak midline shift Cerebellum, pons, dan CPA baik Kesan: tidak tampak kelainan dari pemeriksaan CT scan otak 30 November 2013 S : Gelisah, memanjat terali, bicara kacau, makan kurang (3 x porsi), tidur kurang. O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-) SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) A : Gangguan skizoafektif tipe manik P : Injeksi CPZ 50 mg i.m Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet 18
2 Desember 2013 S : Gelisah, bicara kacau, makan kurang, tidur cukup. O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-) SP : kontak psikis dapat dilakukan, tidak wajar, sebentar, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) sejak 19 hari yang lalu A : Gangguan skizoafektif tipe manik P : Injeksi CPZ 50 mg i.m Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet Dilakukan pemeriksaan EEG pada tanggal 3 Desember 2013 Hasil: Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi CPZ 75 mg i.m. Irama dasar gelombang alfa dengan frekuensi 8-13 Hz dan amplitudo 40-60 V dan dijumpai sleep spindles. Tidak dijumpai asimetri. Tidak dijumpai gelombang spesifik maupun gelombang paroksismal. Dengan PS dan tidur tidak dijumpai perubahan. Kesan: EEG pada perekaman saat ini dalam batas normal
4 Desember 2013 Gelisah, marah-marah, mengamuk, memanjat-manjat terali, kontak psikik susah dilakukan Laboratorium: SGOT: 44 u/l SGPT: 39 u/l Terapi: ECT 3 kali (3 hari berturut-turut) observasi klinis pasien
5 Desember 2013 Dilakukan ECT I 6 Desember 2013 Dilakukan ECT II 7 Desember 2013 Dilakukan ECT III 19
Kondisi pasien setelah dilakukan tindakan ECT 3 kali: belum memperlihatkan perbaikan yang berarti, pasien masih gelisah, marah-marah, sering memanjat terali, dan kontak psikik susah dilakukan.
9 Desember 2013 S : Gelisah, marah-marah, bicara kacau, melawan (+). O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-) SP : kontak psikis dapat dilakukan, tidak wajar, sebentar, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) sejak 20 hari yang lalu A : Gangguan skizoafektif tipe manik P : Pasien difiksasi ke tempat tidur Injeksi CPZ 50 mg i.m Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet Livercare 3 x 1 tablet ECT ulang 3 kali (ganti hari)
Tanggal 12, 14, dan 19 Desember 2014 Dilakukan terapi ECT IV, V, dan VI Kondisi pasien setelah dilakukan tindakan ECT 6 kali: memperlihatkan sedikit perbaikan, gelisah sedikit berkurang, marah-marah, memanjat terali masih ada sekali-sekali, dan kontak psikik masih susah dilakukan.
Tanggal 21, dan 23 Desember 2013 Dilakukan terapi ECT VII dan VIII
20
24 Desember 2013 S : Gelisah sudah berkurang, makan cukup, tidur cukup. O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg. SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-), sakit kepala (-) SP : kontak psikis dapat dilakukan, cukup wajar, lama, discriminative insight dan judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) A : Gangguan skizoafektif tipe manik DD: gangguan skizoafektif tipe campuran P : Trihexyphenidil 2 x 1 tablet @2 mg Risperidon 2 x 1 tablet @2 mg CPZ 3 x 1 tablet @100 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg Vit Bc + C 3 x 1 Curcuma 3 x 1 tablet
31 Desember 2013 Pasien boleh pulang Dianjurkan untuk makan obat secara teratur, dan kontrol ulang ke poliklinik jiwa untuk melanjutkan pengobatan. Obat pulang: Trihexyphenydil 2 x 1 tablet @2 mg Risperidon 2 x 1 tablet @2 mg Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg CPZ 3 x 1 tablet @100 mg Vitamin B komplek 3 x 1 tablet
21
TINJAUAN PUSTAKA A. Psychogenic Non-epileptic Seizures 1. Pendahuluan Bangkitan kejang merupakan suatu kondisi klinis dimana terjadi hilangnya kontrol tubuh yang bersifat sementara yang ditandai dengan munculnya gerakan- gerakan yang abnormal, hilangnya kesadaran, atau gabungan dari keduanya. Bangkitan kejang epilepsi disebabkan karena lepasnya muatan listrik yang abnormal secara tiba-tiba di otak. Psychogenic nonepileptic seizures (PNES) merupakan suatu episode bangkitan paroksismal yang mirip dan bahkan sering disalahartikan dengan bangkitan epilepsi, namun PNES ini terjadi karena adanya gangguan psikologis dari penderitanya (misalnya emosional, stress, dan lain-lain). PNES kadang-kadang disebut juga dengan pseudoseizures (Benbadis SR, 2001). 2. Terminologi Nonepileptic seizures (kejang nonepilepsi) adalah bangkitan kejang berupa gerakan, sensasi, atau perilaku yang tidak terkontrol (misalnya vokalisasi, menangis, dan ekspresi emosi lainnya) yang tidak diakibatkan oleh perubahan bangkitan muatan listrik yang abnormal di otak. Bentuk kejangnya dapat menyerupai bangkitan epilepsi sehingga sering disalahartikan sebagai kejang umum tonik klonik, absance seizure, dan kejang parsial sederhana ataupun kejang parsial kompleks. Pengenalan dini dan penatalaksanaan yang tepat terhadap kejang nonepilepsi ini dapat mencegah kerusakan iatrogenik yang berat dan memberikan hasil yang lebih baik. Sejak zaman kuno, kejang nonepilepsi diakui sebagai bentuk dari histeria. Pada akhir tahun 1800-an, Charcot untuk pertama kali menjelaskan kejang nonepilepsi sebagai gangguan klinis dengan menyebutnya dengan hysteroepilepsy dan epileptiform hysteria. Pemakaian istilah kejang nonepilepsi dianggap lebih baik daripada hysterical seizure maupun pseudoseizure. Secara terminologi menurut the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 4 th edition (DSM-IV), PNES termasuk ke dalam gangguan konversi, atau dalam cakupan yang lebih luas termasuk ke dalam gangguan somatoform, dan kejadian ini umumnya involunter. Namun, PNES juga dapat terjadi karena keadaan pura-pura (dibuat-buat) dengan sengaja, seperti malingering (pura-pura sakit). Dalam the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5 th edition (DSM-V), terdapat perubahan dari terminologi dan klasifikasi, dan PNES ini 22
dimasukkan ke dalam kelompok baru yang disebut dengan somatic symptoms disorders. 3. Insiden dan Epidemiologi Prevalensi kejadian kejang nonepilepsi pada populasi umum berkisar antara 2-33 kasus per 100.000 orang. Kejang nonepilepsi psikogenik ditemukan sebanyak 5-10 persen dari pasien rawat jalan epilepsi, dan 20-40 persen dari pasien yang rawat inap (rumah sakit, pusat epilepsi). 75-85 persen penderita kejang nonepilepsi psikogenik adalah perempuan. Seperti halnya gangguan konversi, kejang nonepilepsi psikogenik cenderung muncul pada usia dewasa muda, namun kejadiannya dapat muncul pada berbagai usia. 4. Klasifikasi Pada tahun 1991, Porter membagi kelainan kejang nonepilepsi berdasarkan penyebabnya menjadi dua bagian besar yaitu psikogenik dan fisiologik. Kejang nonepilepsi berdasarkan pada etiologinya dibagi menjadi fisiologis dan psikogenik (seperti pada Tabel 1). Namun, di berbagai tempat kajian epilepsi, pasien kejang nonepilepsi fisiologis jarang ditemukan dibandingkan dengan kejang nonepilepsi psikogenik. Tabel 1. Klasifikasi kejang nonepilepsi berdasarkan etiologinya Classification of Nonepileptic Seizures Psychogenic Misinterpretation of physical symptoms Psychopathologic processes Anxiety disorders, including posttraumatic stress disorders Conversion disorders Dissociative disorders Hypochondriasis Psychoses Somatization disorders Reinforced behavior patterns in cognitively impaired patients Response to acute stress without evidence of psychopathology Physiologic Cardiac arrhythmias Complicated migraines Dysautonomia Effects of drugs and toxins Hypoglycemia Movement disorders Panic attacks Sleep disorders Syncopal episodes Transient ischemic attacks Vestibular symptoms Kejang nonepilepsi fisiologis memiliki berbagai macam penyebab, bisa berkaitan dengan episode sinkop, migrain komplikata, serangan panik, atau serangan iskemik sepintas (transient ischemic attack, TIA). Kejang nonepilepsi fisiologis mungkin disebabkan oleh disfungsi otonom, aritmia jantung, hipoglikemia, intoksikasi obat, 23
intoksikasi alkohol. Penyakit gangguan gerak, gangguan tidur, dan gejala-gejala vestibular dapat disalahartikan sebagai kejang nonepilepsi. Kejang nonepilepsi psikogenik merupakan manifestasi klinis dari gangguan psikologis, dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit gangguan neuropsikologis (misalnya gangguan konversi, gangguan somatisasi), dimana gejala gangguan jiwa menjadi etiologinya namun gejala klinis yang muncul berupa gangguan neurologis. 5. Diagnosis Ada atau tidaknya jejas luka, inkontinensia pada pasien, kemampuan untuk mendiagnosis kejang nonepilepsi masih terbatas pada pemikiran kemungkinan adanya kejang, tes psikologis, faktor riwayat kesehatan sebelumnya, dan pemeriksaan elektroensefalografi. 6. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin hanya dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan penyebab kejang dari kelainan metabolik ataupun toksik (misalnya hiponatremia, hipoglikemia, intoksikasi obat, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar prolaktin dan creatine kinase (CK). Peningkatan kadar prolaktin dan CK terjadi setelah kejang umum tonik klonik dan tidak meningkat setelah tipe kejang yang lain. Namun, sensitivitasnya masih terlalu rendah untuk dijadikan penentu diagnostik (tidak meningkatnya kadar prolaktin dan CK ini maka tidak menyingkirkan pasien dari diagnosis kejang epilepsi). Shuka G et al, tahun 2004 dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar prolaktin postiktal yang meningkat sampai dua kali batas normal awalnya dipakai sebagai pembeda antara kejang umum dan kejang parsial kompleks dengan kejang nonepilepsi psikogenik, namun hal ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut (Shukla G, et al. 2004). b. Pemeriksaan Pencitraan (imaging) Hasil pemeriksaan imaging biasanya dalam batas normal pada kasus kejang nonepilepsi psikogenik, namun pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan kelainan organik. 24
Kadang-kadang ditemukan kelaianan pada pemeriksaan imaging. Namun, hal ini tidak dapat menegakkan diagnosis jika hasil dari pemeriksaan video EEG monitoring menyatakan PNES. c. Electroencephalogaphy (EEG) dan ambulatory EEG EEG rutin memiliki sensitivitas yang rendah sehingga tidak banyak membantu dalam penegakkan diagnosis PNES. Namun, pada pasien yang sering mengalami serangan kejang berulang, hasil serial EEG normal, dan terdapat riwayat resisten terhadap pengobatan maka masih dapat dicurigai sebagai PNES. Saat ini, pemakaian ambulatory EEG semakin meningkat, karena biayanya yang relatif murah dan dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan merekam serangan kejang dan mendokumentasikan perubahan EEG pada kejang tipe absan. Namun, karena keterbatasan dalam menyimpulkan diagnosis, maka PNES tetap harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan video EEG monitoring. d. Video Electroencephalography (video-EEG) monitoring Video-EEG monitoring merupakan pemeriksaan pilihan untuk mendiagnosis kejang non epilepsi psikogenik pada pasien-pasien yang sedang dirawat inap. Diagnosis pasti dapat ditegakkan bila pasien memperlihatkan klinis kejang namun dari gambaran EEG tidak ditemukan gambaran abnormalitas. Pentingnya menggunakan vEEG monitoring baru-baru ini ditegaskan oleh sebuah penelitian yang mengevaluasi diagnosis pasien yang dirujuk ke layanan kesehatan vEEG monitoring untuk menentukan jenis kejang pasiennya. Penelitian ini menemukan misdiagnosis pada 24 persen pasien: 22 pasien yang sebelumnya didiagnosis dengan epilepsi ditemukan sebagai kejang nonepilepsi, dan 4 pasien yang sebelumnya didiagnosis sebagai kejang nonepilepsi didapatkan memiliki kejang epilepsi. Keseluruhan pasien dalam penelitian ini merupakan rujukan dari dokter ahli epilepsi atau dokter spesialis saraf dengan klinis, diagnosis dan tatalaksana sebagai epilepsi. Dengan menggunakan hasil dari video EEG pasien, Hubsch et al. melakukan penelitian dengan menganalisis multipel koresponden, hierarki serangan, untuk membuat suatu pedoman praktis dalam mengklasifikasikan semiologi PNES, dan mendapatkan 5 bentuk serangan PNES: dystonic attack with primitive gestural activity, pauci-kinetic attack with preserved responsiveness, 25
pseudosyncope, hyperkinetic prolonged attack with hyperventilation and auras, and axial dystonic prolonged attack. 7. Penatalaksanaan Tidak ditemukan penelitian acak terkontrol (randomized controlled studies) yang meneliti tentang pengobatan kejang nonepilepsi psikogenik (LaFrance WC, 2002, Bowman ES, 2001). Rekomendasi pengobatan didasarkan pada teori bahwa kejang yang timbul disebabkan oleh faktor psikogenik, maka pasien akan merespon pengobatan psikiatri. Dua penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa pemberian psikoterapi lebih efektif daripada tidak ada intervensi. Berbagai teknik psikoterapi yang telah terbukti keampuhannya pada berbagai gangguan psikiatri telah diterapkan pada pasien dengan kejang nonepilepsi psikogenik yang memiliki profil kejiwaan yang sama. Tabel 4 merangkum rekomendasi pengobatan berdasarkan penyebab kejang nonepilepsi psikogenik. Dalam satu penelitian (LaFrance, 2002) menyatakan bahwa langkah pertama adalah menetapkan diagnosis yang akurat dari kejang nonepilepsi psikogenik berdasarkan pada riwayat perjalanan penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang baik, dan video-EEG monitoring pada pasien rawat inap. Setelah diagnosis ini disampaikan kepada keluarga, langkah berikutnya adalah membuat daftar faktor predisposisi, pemicu, dan faktor resiko timbulnya kejang. Daftar ini digunakan sebagai dasar untuk menetapkan perawatan dan obat psikoterapi yang tepat. Obat antiepilepsi yang telah dikonsumsi pasien secara bertahap diturunkan, dan diberikan obat-obat psikotropika untuk mengatasi gangguan psikiatrinya.
8. Prognosis Prognosis PNES cukup baik, pada pasien tidak terdapat gangguan struktural dan fungsional, dengan mengatasi gangguan psikologik sebagai faktor pencetusnya maka keadaan pasien bisa lebih baik.
27
B. Gangguan Skizoafektif 1. Pendahuluan Sesuai dengan istilah yang digunakan, gangguan skizoafektif mempunyai gambaran baik skizofrenia maupun gangguan afektif (saat ini disebut gangguan mood). Beberapa menganggap gangguan ini merupakan skizofrenia yang disertai gangguan mood, sedangkan ahli lain berpendapat bahwa gangguan ini merupakan manifestasi yang lebih berat dari gangguan mood. Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif telah berubah seiring waktu, sebagian besar merupakan refleksi perubahan kriteria diagnostik skizofrenia dan gangguan mood; namun tetap merupakan diagnosis yang paling baik untuk pasien yang mempunyai gejala campuran keduanya. Istilah schizoaffective psychosis pertama kali diperkenalkan oleh Jacob Kasanin pada tahun 1933. Jacob Kasanin menemukan beberapa pasien dengan gejala skizofrenia dan gangguan mood secara bersamaan. Berdasarkan temuan ini, edisi pertama (1952) dan edisi kedua (1968) dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health (DSM) mengklasifikasikan penyakit ini sebagai bagian dari skizofrenia. Namun seiring berkembangnya waktu, banyak penelitian yang menemukan bahwa tidak semua gejalanya sinkron dengan skizofrenia dan peranan komponen mood tidak kalah penting dalam penyakit ini. Jadi tidak heran jika sampai tahun 1996 saja sudah ada kira-kira 23 definisi yang berbeda dari para ahli terkait gangguan skizoafektif ini (Sadock 2004; Abrams 2008). 2. Epidemiologi Diperkirakan satu dari empat orang pasien psikiatri yang dirawat inap mengalami gangguan skizoafektif (Goldberg 2010). Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif berkisar 0.2 sampai 1.1 persen (Marneros 2003). Namun, gambaran tersebut merupakan perkiraan karena berbagai studi mengenai gangguan skizoafektif telah menggunakan berbagai kriteria diagnostik. Gangguan skizoafektif sangat jarang terjadi pada anak- anak. Hal ini dikarenakan diagnosis gengguan ini pada kelompok anak sangat sulit. Sekitar sepertiga dari gangguan skizoafektif muncul pada usia antara 25 sampai 35 tahun, sepertiganya muncul pada usia di bawah 25 tahun dan sepertiganya muncul pada usia setelah 35 tahun (Marneros 1990). 3. Etiologi Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui, tetapi beberapa model konseptual telah dikembangkan. Meskipun banyak riset famili dan genetik mengenai gangguan skizoafektif didasarkan pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan entitas terpisah, beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait 28
secara genetis. Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan skizoafektif dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia tidak ditemukan dalam keluarga dengan gangguan skizoafektif, tipe bipolar; namun, keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif beresiko lebih tinggi mengalami skizofrenia daripada gangguan mood. Bergantung pada tipe gangguan skizoafektif yang dipelajari, peningkatan prevalensi skizofrenia atau gangguan mood dapat ditemukan pada keluarga dengan gangguan skizoafektif (Sadock 2004; Goldberg 2010). Studi genetik yang dilakukan oleh Mansour mendapatkan beragam gen yang terlibat dalam gangguan skizoafektif. Gen-gen tersebut berperan dalam pengaturan irama sikardian dan rseptor asan retinoik. Uniknya, gen-gen tersebut juga berpern pada gangguan mood adan skizofrenia (Goldberg 2010). 4. Pedoman Diagnostik Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala defenitif adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat bersamaan, atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan bilamana sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Istilah tersebut tidak boleh dipakai untuk pasien-pasien yang menunjukkan gejala-gejala skizofrenik dan afektif tetapi dalam episode-episode yang berbeda. Adalah umum, misalnya jika seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala-gejala depresif sebagai akibat remisi sesudah suatu episode psikotik (lihat depresi pasca skizofrenia [F20.4]). Sebagian diantara para pasien mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang bertipe manik maupun depresif atau campuran dari keduanya. Pasien lain mengalami satu atau dua episode-episode skizoafektif terselip diantara episode-episode manik dan depresif. Pada kasus terdahulu, gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat. Pada kasus yang terakhir, episode skizoafektif yang kadang-kadang terjadi itu tidak menghapuskan keabsahan diagnosis gangguan afektif bipolar atau gangguan depresif berulang kalau gambaran klinis lainnya bersifat khas dalam hal ini. F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenik dan manik sama-sama menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Kelainan afektif biasanya mengambil 29
bentuk elasi, disertai oleh meningkatnya rasa harga diri dan ide-ide kebesaran, tetapi kadang-kadang kegelisahan atau iritabilitas lebih jelas dan disertai oleh perilaku agresif serta ide-ide kejaran. Dalam kedua hal tersebut terdapat peningkatan enersi, aktivitas yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya hambatan sosial yang normal. Waham-waham rujukan, kebesaran atau kejaran mungkin ada, tetapi gejala- gejala lain yang lebih khas dari gangguan skizofrenik harus ada untuk menegakkan diagnosis. Misalnya, pasien-pasien mungkin mengatakan bahwa pikiran-pikirannya sedang disiarkan atau diganggu, atau bahwa kekuatan-kekuatan yang tidak dikenalnya sedang berusaha mengendalikan dirinya, atau mereka mungkin melaporkan mendengar suara-suara yang beraneka ragam atau menyatakan ide-ide waham yang bizarre, yang tidak banyak semata-mata bersifat kebesaran atau kejaran saja. Anamnesis yang teliti serin diperlukan untuk memastikan bahwa pasien betul-betul sedang mengalami fenomena penyakit ini dan bukan sekedar berkelakar atau berbicara dengan menggunakan ungkapan-ungkapan metaforik saja. Gangguan skizoafektif tipe manik biasanya adalah psikosis yang berkembang selengkapnya dengan onset yang akut; dan walaupun perilaku terganggu secara menyeluruh namun penyembuhan secara sempurna umumnya terjadi dalam beberapa minggu. Pedoman Diagnostik Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang tunggal maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe manik. Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak begitu menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak. Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atu lebih baik dua, gejala skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia, F20.- pedoman diagnostik (a) sampai dengan (d)). Termasuk: psikosis skizoafektif tipe manik psikosis skizofreniform tipe manik 5. Penatalaksanaan Gangguan skizoafektif membutuhkan penanganan yang bersifat multimodal yaitu kombinasi terapi psikofaramka dengan psikoterapi. Obat antipsikotik atipikal masih merupakan pilihan utama pada gangguan skizoafektif. Pengobatan dengan mood stabilizer dapat bermanfaat pada pasien dengan skizoafektif. Penggunaan antidepresan 30
dan mood stabilizer seperti litium dan asam valproat pada gangguan skizoafektif tipe depresif masih menjadi perdebatan. Suatu studi yang membandingkan litium dengan karbamazepin memperlihatkan superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif tipe depresif (Cegalis 1985) Obat antidepresan dapat diberikan pada gangguan skizoafektif dengan gejala depresif yang menonjol dengan gejala psikosis yang sudah mulai stabil. Pada episode manik, pasien skizoafektif biasanya diobati dengan pemberian dosis mood stabilizer konsentrasi terapeutik sedang ampai tinggi dan dalam fase maintenance pemberian dosis obat dikurangi. Obat antidepresan sering digunakan untuk mengatasi episode depresi pada pasien ini. Obat selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) sering digunakan sebagai lini pertama. Namun, gejala insomnia dan agitasi dapat diatasi dengan antidepresan trisiklik. Selain itu, obat antipsikotik bermanfaat pada pengobatan gangguan skizoafektif dengan gejala psikotik (Goldberg 2010; Cotton 2013). Psikoterapi Individu Adanya gangguan kognitif, perjalanan penyakit yang kronis, dan perawatan di rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional sehingga pasien memerlukan ventilasi, dukungan, perbaikan mekanisme dan mentolerir terhadap ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Terapis dapat memberikan terapi suportif seperti mengangkat kembali harga diri pasien yang menurun (Goldberg 2010). Terapi Kelompok Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi, mendorong hubungan interpersonal. Terapi dapat memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah laku, pemecahan masalah, mengurangi depresi dan ansietas. Suatu terapi kelompok yang efektif ditandai dengan terbentuknya lingkungan terapeutik yang kohesif dan berkembangnya hubungan yang saling mendukung, sehingga dapat memberikan kesempatan perbaikan adaptasi terhadap disabilitas yang sebenarnya dapat menimbulkan gangguan emosi (Amir 1998). 6. Prognosis Perjalanan jangka panjang dan prognosis gangguan skizoafektif sulit ditentukan. Peningkatan gejala skizofrenik memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis jangka panjang gangguan ini tergantung apakah gejala dominannya afektif (prognosis lebih baik) atau skizofrenik (prognosis lebih buruk). Sebagai suatu kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif mempunyai prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan prognosis paling buruk daripada pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu 31
kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memberikan respon terhadap litium dan cenderung mengalami perjalanan penyakit yang tidak memburuk (Sadock 2004).
ANALISIS KASUS Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki umur 20 tahun yang dirawat di bangsal Jiwa dengan diagnosis gangguan skizoafektif tipe manik, psychogenic non-epileptic seizures, disfungsi hepar et causa suspek drug induced suspek haloperidol. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan psikiatrik, dan didukung dengan hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan pemeriksaan brain ct scan dan elektroensefalografi. Dari riwayat perjalan penyakit didapatkan pasien gelisah, marah-marah tanpa sebab, mengamuk, bicara sendiri, dan kadang-kadang disertai dengan kejang berulang. Dari pemeriksaan fisik umum maupun pemeriksaan khusus neurologis tidak dijumpai kelainan pada pasien. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan penunjang baik CT scan kepala, maupun hasil pemeriksaan EEG dengan hasil dalam batas normal. Selama perawatan pasien dikonsulkan ke bagian Neurologi dengan keluhan kejang, namun dari anamnesis dan pemeriksaan tidak didapatkan tanda-tanda true seizure, sehingga pada pasien ditegakkan diagnosis kejang non-epilepsi psikogenik. Psychogenic nonepileptic seizures (PNESs) merupakan gangguan psikiatri yang muncul dengan gejala menyerupai kejang epilepsi, namun tidak disebabkan oleh kelainan pada sistem saraf pusat. Gambaran klinis PNESs menyerupai kejang epilepsi dengan karakteristik paroksismal, involunter, dengan keterlibatan yang terbatas dari tingkah laku, aktivitas motorik, fungsi otonom, kesadaran, atau sensorik. Namun, tidak seperti kejang karena epilepsi, NES terjadi tanpa adanya patologi yang berkaitan dengan epilepsi dan tidak disertai dengan gambaran epileptiform saat iktal dari pemeriksaan elektroensefalografi (EEG). Tabel berikut dapat menjelaskan perbedaan antara bangkitan kejang epilepsi dengan bangkitan kejang non-epilepsi psikogenik. 32
Gambaran klinis yang membantu membedakan kejang psikogenik dengan kejang epilepsi Kejang epilepsi Kejang psikogenik Pencetus biasanya tidak ada Seringkali karena faktor emosi Suasana: Waktu tidur Waktu sendirian
sering sering
jarang tidak biasa Prodromal jarang sering Awal biasanya mendadak, mungkin disertai aura singkat, mata cenderung membuka mungkin berangsur dengan meningkatnya gejala emosional, mata cenderung menutup Jeritan pada awal sering tidak biasa Vokalisasi
hanya waktu automatisme
hanya selama serangan
Fenomena gerak stereotipik, biasanya meliputi kedua fase klonik dan tonik, gerakan klonik melemah bila kejang berlanjut bervariasi, seringkali hanya tonik atau klonik, komponen klonik bervariasi amplitudo dan frekuensi selama serangan, gerakan pelvis menonjol, gerakan-gerakan pseudoklonik Trauma/cedera sering jarang Inkontinensia sering tidak biasa Lidah tergigit sering jarang Kesadaran biasanya hilang sama sekali selama serangan kejang, mata membuka saat serangan bervariasi, seringkali masih mungkin berkomunikasi saat serangan kejang, mata cenderung menutup Pengekangan tidak berpengaruh dapat melawan, kadang-kadang menghentikan serangan Lamanya biasanya pendek dapat memanjang Berhentinya serangan biasanya pendek (tetapi kadang- kadang bila disertai dengan automatisme), biasanya bingung, mengantuk atau tidur dapat berangsur, seringkali dengan penampakan emosi, bingung, mengantuk, atau tidur tidak biasa terjadi
Penatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris. Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa 33
kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu penyembuhannya. Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan. Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non epilepsi. Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris.
KESIMPULAN Bangkitan kejang yang terdapat pada pasien merupakan psychogenic non-epileptic seizures dan bukan merupakan bangkitan kejang epilepsi. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan psikiatrik yang mendapatkan adanya gangguan skizoafektif tipe manik pada pasien sebagai faktor pencetusnya. Karena bangkitan kejang yang muncul pada pasien bukanlah suatu serangan epilepsi, maka tidak diberikan obat anti epilepsi pada pasien. Penanganan lebih dititikberatkan pada penangan faktor pencetusnya yaitu gangguan skizoafektif. Dengan pemberian terapi yang tepat dan didukung oleh motivasi yang kuat dari keluarga, prognosis pasien ini cukup baik.
34
DAFTAR PUSTAKA Abrams DJ, Rojas DC, Arciniegas DB. 2008. Is schizoaffective disorder a distinct categorical diagnosis? A critical review of the literature. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 4 (6):1089-1109. Alsaadi TM, Marquez AV. 2005. Psychogenic Nonepileptic Seizures. American Family Physician; 72:849-56. Benbadis SR, Heriaud L. 2001. Psychogenic (non-epileptic) seizures: A guide for patients & families. Comprehensive epilepsy program; 1-9. Blum AS, LaFrance WC. 2007. Psychogenic nonepileptic events. In: Ettinger AB, Kanner AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment, 2 nd
edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:486-99. Bowman ES. 2001. Psychopathology and outcome in pseudoseizures. In: Ettinger AB, Kanner AM, eds. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment. Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 355-77. Bowman ES, Kanner AM. 2007. Psychopathology and outcome in psychogenic nonepileptic seizures. In: Ettinger AB, Kanner AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment, 2 nd edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:500-29. Cotton SM, Lambert M, Schimmelmann, Mackinnon A, Gleeson JFM, Berk M, Hides L. 2013. Schizophrenia Research; 147: 169-174. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. 2009. Panduan praktis diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. EGC: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (cetakan pertama). Gates JR. 2002. Non-epileptic seizures: Classification co-existence with epilepsy: Diagnosis, therapeutic approaches and consensus. Epilepsy & Behavior; 3:28-33. Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (ed). 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. Oxford University. Goldberg JF, Nasrallah HA, Correll CU, Ontiveros C. 2010. Differential diagnosis and therapeutic management of schizoaffective disorder. Supplement to Annals of Clinical Psychiatry; 22 (4): S1-S12. LaFrance WC, Devinsky O. 2002. Treatment of nonepileptic seizures. Epilepsy & Behavior; 3:19-23. 35
LaFrance WC, Kanner AM. 2007. Treating patients with psychological nonepileptic seizures. In: Ettinger AB, Kanner AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment, 2 nd edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:530-62. Marneros A. 2003. The schizoaffective phenomenon: the state of the art. Acta Psychiatr Scand Suppl, 418:2933. Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI). 2012. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa / Psikiatri (PNPK Jiwa / Psikiatri). Rowan AJ. 2000. Diagnosis of non-epileptic seizures. In: Gates JR, Rowan AJ. Non-epileptic seizures. 2 nd ed. Boston: Butterworth-Heinemann; 15-30. Sadock BJ, Sadock VA. 2004. Gangguan Skizoafektif dalam Buku Ajar Psikiatri Klinis. EGC, 174-81. Sadock BJ, Sadock VA (ed). 2000. Kaplan & Sadocks Concise Textbook of Clinical Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins. Sadock BJ, Sadock VA (ed). 2000. Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of Psychiatry 7 th edition. Lippincott Williams & Wilkins. Shukla G, Bhatia M, Vivekanandhan S, Gupta N, Tripathi M, Srivastava A, et al. 2004. Serum prolactin levels for differentiation of nonepileptic versus true seizures: limited utility. Epilepsy & Behavior; 5:517-21.