Anda di halaman 1dari 36

Presentasi kasus stase Psikiatri

GANGGUAN SKIZOAFEKTIF TIPE MANIK


DENGAN KEJANG NON-EPILEPSI
PSIKOGENIK






OLEH
Dr. ISHLAHUDDIN IBNU AMIN
PPDS Neurologi FK Unand

Kamis, 9 Oktober 2014

PEMBIMBING
Dr. YASLINDA YAUNIN, Sp.KJ
Dr. MEITI FRIDA, Sp.S(K)



BAGIAN PSIKIATRI / NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2014

1

LAPORAN KASUS
Seorang pasien laki-laki berusia 20 tahun, dibawa ke IGD RSUP DR. M. Djamil
Padang pada tanggal 19 November 2013 dengan keluhan kejang berulang, pasien merupakan
rujukan dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) HB Saanin Padang dengan diagnosis psikotik organik et
causa suspek massa di otak, dengan didiagnosis banding epilepsi.
IDENTITAS PASIEN
Nama / Panggilan : Tn. I
Jenis kelamin : Laki-laki
No. MR : 84.98.73
Tempat lahir : Meulaboh, Aceh
Umur : 20 tahun
Status perkawinan : Belum menikah
Agama : Islam
Pekerjaan / Pendidikan : Wiraswasta (penjaga warnet) / tamat SMA
Warga negara : Indonesia
Suku bangsa : Jawa
Asal : Pesisir Selatan
Alamat : Silaut VI, Desa Sambungo, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir
Selatan, Provinsi Sumatera Barat Kode Pos 25674
ALLOANAMNESIS
Nama / umur : Ny. S / 48 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat dan telepon : Silaut VI, Desa Sambungo, Kecamatan Silaut, Kabupaten Pesisir
Selatan, Provinsi Sumatera Barat Kode Pos 25674
HP. 085363349xxx
Pekerjaan / Pendidikan : Tani / Tamat SD
Hubungan dengan pasien : Ibu kandung

I. Sebab utama pasien dirawat:
Pasien gelisah, marah-marah tanpa sebab, mengamuk, bicara sendiri, dan kadang-kadang
disertai dengan kejang berulang.

2

II. Keluhan utama penderita saat ini:
Tidak ada
III. Riwayat perjalanan penyakit:
Pasien merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara, sejak kecil pasien hidup bersama-
sama dengan orang tua dan kakaknya, pasien biasa dimanja oleh anggota keluarganya.
Pasien memiliki seorang kekasih (pacar) yang tinggal dalam satu kampung yang sama
dengan pasien di Lunang Silaut Pesisir Selatan, pasien telah berpacaran sejak 6 bulan
yang lalu, hubungan pasien dengan kekasihnya cukup harmonis. Sejak tamat SMA
pasien tidak melanjutkan pendidikan lagi dan ingin bekerja dan bisa menghasilkan
uang sendiri.
Sejak pertengahan bulan September 2013 pasien diterima bekerja sebagai karyawan di
salah satu warnet (warung telekomunikasi) di kota Padang. Hal ini menyebabkan
pasien harus berpisah dengan keluarganya dan mulai hidup sendiri di tempat kos yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari warnet tempat dia bekerja. Kepindahan pasien ke
Padang tidak disetujui oleh kekasih pasien sehingga hubungan mereka menjadi tidak
harmonis lagi. Pasien pernah bercerita bahwa dia memiliki masalah dengan pacarnya,
namun tidak diketahui seberat apa masalah yang dihadapinya.
Sejak bulan Oktober 2013 pasien mulai terlihat sering termenung, sedih, mudah
tersinggung bila ditanya tentang keadaannya. Keadaan ini terbawa ketempat pasien
bekerja, dimana pasien sering terlihat termenung saat bekerja, senyum-senyum sendiri,
dan tidak fokus saat bekerja sehingga pasien sering kena tegur dan dimarahi oleh
bosnya.
Sejak 2 minggu sebelum dirawat (awal November 2013) keadaan pasien makin
bertambah berat, dimana pasien menjadi sering gelisah, marah-marah tanpa sebab
yang jelas, dan mulai bicara ngelantur. Pasien juga menjadi susah tidur (tidur hanya 2-
3 jam sehari), agak gelisah di malam hari dan sering terbangun beberapa kali. Makan
pasien cukup (3 kali sehari).
Pasien telah dibawa oleh orang tuanya berobat alternatif ke dukun sebanyak 3 kali.
Dukun mengatakan bahwa penyakit yang diderita pasien disebabkan oleh tasapo dan
diobati dengan pembacaan doa-doa, pasien tidak pernah dianjurkan berobat ke rumah
sakit oleh sang dukun. Setelah menjalani serangkaian pengobatan alternatif dari sang
dukun, keadaan pasien tidak bertambah baik, malah bertambah berat dimana pasien
mulai sering mengalami kejang saat di rumah terutama di hadapan anggota keluarga,
3

kejang yang dialami pasien terjadi pada seluruh tubuh, saat kejang pasien terlihat tidak
sadar dan tidak bisa diajak berkomunikasi, anggota gerak pasien (tangan dan kaki)
terlihat kaku, lama kejang bisa sampai 15-20 menit, saat kejang mata pasien cenderung
tertutup dan tidak ada lidah tergigit, mulut berbuih, maupun ngompol. Setelah kejang
pasien sadar kembali, tanpa mengalami luka ataupun cedera pada tubuhnya. Frekuensi
kejang bisa sampai 2-3 kali dalam sehari.
Pasien juga pernah mengeluhkan melihat bayangan putih yang terbang didekatnya,
dan sering mendengarkan suara-suara atau bisikan dari Mbahnya yang telah lama
meninggal dunia.
Karena pasien makin sering marah-marah tanpa sebab yang jelas, bicara sendiri, dan
suka mengamuk maka keluarga sepakat untuk membawa pasien berobat ke RSJ HB
Saanin Padang. Setelah mendapatkan penanganan medis pertama di IGD pasien
kemudian dirujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang dengan diagnosis klinis psikotik
organik et causa suspek massa di otak dan didiagnosis banding dengan epilepsi.
IV. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat kejang pada masa anak-anak.
Riwayat demam sebelumnya disangkal.
Tidak ada riwayat merokok, mengkonsumsi alkohol, pemakaian narkoba, dan seks
bebas.
Pasien pernah trauma kepala 3 tahun yang lalu, jatuh dari sepeda motor, namun tidak
menimbulkan keluhan, pasien tetap sadar setelah kejadian.
V. Riwayat Premorbid
Bayi : lahir spontan, cukup bulan, ditolong dukun, langsung menangis,
riwayat kuning, kebiruan, dan kejang-kejang tidak ada
Anak-anak : pertumbuhan fisik dan perkembangan mental sesuai dengan anak
seusianya
Remaja dan dewasa : patuh pada orang tua, suka dimanja, pendiam, kurang suka bergaul,
kurang taat beribadah
VI. Riwayat pendidikan, pekerjaan dan perkawinan
Pendidikan : tamat SLTA
Pekerjaan : wiraswasta (penjaga warnet)
Perkawinan : belum menikah

4

VII. Riwayat sosial ekonomi
Sebelumnya pasien, kakak pasien, kedua orang tua pasien tinggal bersama di rumah milik
orang tuanya, rumah satu lantai semi permanen, listrik ada, sumber air dari PDAM.
Setamat sekolah pasien belum mendapatkan pekerjaan tetap dan tidak mempunyai
penghasilan sendiri, biaya hidup pasien masih ditanggung oleh kedua orang tuanya.
Penghasilan keluarga pasien per bulan:
Income : hasil sawah : Rp750.000,-
ternak ayam dan itik : Rp500.000,-
ibu bantu sawah orang lain + buruh cucian : Rp1.000.000,-
Total : +/- Rp2.250.000,-
Pengeluaran untuk biaya rumah tangga perbulan lebih kurang Rp2.200.000,-
Dengan keadaan ini tidak ada uang yang bisa disimpan setiap bulannya.
Keuangan perbulan ini dirasakan tidak mencukupi oleh keluarga pasien.
VIII. Riwayat tentang penyakit yang terdapat dalam keluarga




pasien
Tidak ada anggota keluarga yang menderita gangguan jiwa (mental disorders)
IX. Grafik perjalanan penyakit




Agust Sept Okt Nov Des 2013

STATUS INTERNUS
Keadaan umum : sakit sedang Suhu : 36,7
O
C
Kesadaran : komposmentis tidak kooperatif Tinggi badan : 160 cm
Tekanan darah : 120/80 mmHg Berat badan : 50 kg
Frekuensi nadi : 82 x/menit Keadaan gizi : baik
Frekuensi nafas : 18 x/menit
5

Sistem respiratorik : Inspeksi : simetris kiri dan kanan, statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri dan kanan
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Sistem kardiovaskular : Inspeksi : iktus tidak terlihat
Palpasi : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : heart rate 78 x/menit, irama teratur, bising (-)
Abdomen : Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
Kelainan khusus : Tidak ditemukan kelainan khusus
Status Neurologis
Kesadaran; GCS 15 (E
4
M
6
V
5
)
Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk (-), Brudzinski I dan II (-), Kerniq (-)
Tanda peningkatan tekanan intrakranial tidak ditemukan
Funduskopi : papil berbatas tegas, warna kuning jingga, cupping (+), aa:vv = 2:3,
perdarahan (-)
Kesan: fundus dalam batas normal pada mata kanan dan kiri
Pemeriksaan saraf kranialis:
N I : Penciuman baik
N II : Tajam penglihatan baik (visus 6/6), lapang pandangan baik, refleks cahaya
langsung dan tidak langsung (+), pupil isokor, diameter 3 mm kiri/kanan
N III, IV, VI : Bola mata dapat bergerak bebas ke segala arah
N V : Refleks kornea (+) pada kedua mata
N VII : Wajah simetris, plika nasolabialis kiri = kanan
N VIII : Pendengaran baik
N IX, X : Refleks muntah (+)
N XI : Bisa mengangkat bahu
N XII : Lidah posisi di tengah, fasikulasi (-)


6

Motorik :
Ekstremitas Superior Kanan Kiri
Pergerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutonus Eutonus
Tropik Eutropi Eutropi

Ekstremitas Inferior Kanan Kiri
Pergerakan Aktif Aktif
Kekuatan 5 5 5 5 5 5
Tonus Eutonus Eutonus
Tropik Eutropi Eutropi
Sensorik : Proprioseptif dan eksteroseptif baik
Otonom : Neurogenic bladder (-), sekresi keringat normal
Refleks Fisiologis :
Refleks Kanan Kiri
Biseps ++ ++
Triseps ++ ++
KPR ++ ++
APR ++ ++
Refleks Patologis : refleks Babinski -/-, Hoffman Tromner -/-
Reflek regresi : reflek glabela (-), sucking (-), snout reflek (-), palmomental (-), grasping
reflek(-)
Pemeriksaan fungsi luhur: Tidak bisa dilakukan karena pasien yang tidak kooperatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium IGD :
Haemoglobin : 13,9 g/dl Leukosit : 9.800 /mm
3
Hematokrit : 43 %
Trombosit : 185.000/mm
3








7

Autoanamnesis dilakukan tanggal 27 November 2013
Pertanyaan Jawaban Interpretasi
Selamat siang, perkenalkan
saya dr. Ishlahuddin, boleh
saya minta waktu sebentar
untuk menanyakan sesuatu?
Kalau boleh tahu, namanya
siapa? umur sekarang?
Ilham tahu dimana sekarang?
Apa nama rumah sakitnya,
dimana tempatnya?
Sekarang hari apa? tanggal?

Ilham tahu siapa presiden kita
dan wakilnya sekarang

Bagaimana ceritanya Ilham
bisa sampai di sini?
Siapa yang bawa ke sini?
Kenapa Ilham dirawat?


Oya, seandainya saat Ilham
sedang jalan, trus menemukan
dompet, apa yang Ilham
lakukan?


Katanya Ilham di rumah sering
kejang-kejang, apa benar
begitu?
Tangan atau kaki Ilham ada
yang lemah ndak rasanya?
Trus, kalau jalan pincang
nggak?
Oya, dalam beberapa hari ini
Ilham ada mendengar bisikan
suara-suara ndak?
Trus, Mbahnya dimana
sekarang?
Sekarang masih terdengar?
Melihat sesuatu yang aneh?

Boleh
(pasien mondar-mandir dalam
ruangan, sesekali bisa disuruh
duduk)
Nama Ilham Pak, umur 21 tahun

Tahu, di rumah sakit
RS M Jamil, di kota Padang

Rabu, 27-11-2013

Pak SBY dan Budiono


Katanya saya sering marah-marah

Ndak tahu, Mas Aan mungkin
Nggak tahu, nggak ada sakit


Ambil uangnya



(pasien mondar-mandir, lama baru
bisa diajak komunikasi lagi)
Nggak tahu Pak


Nggak Pak, kuat kok, jalan juga
normal


Ada Pak, suara panggilan dari Mbah
saya, dia manggil nyuruh saya pulang

Sudah meninggal Pak, setahun yang
lalu
Seminggu ini sudah berkurang Pak
Ada Pak, ada bayangan putih yang
mengikuti saya
hipertim





orientasi
tempat baik

orientasi waktu
baik
orientasi
personal baik




diskriminative
insight
terganggu
discriminative
judgement
terganggu










halusinasi
auditorik




halusinasi
visual
8

Sekarang masih ada?

Ilham sudah bekerja?
Bagaimana kerjanya?




Ilham pernah jalan-jalan
sendiri, jauh dari rumah trus
lupa jalan pulang?
Pernah merusak atau
membakar-bakar sesuatu
Oya, Ilham udah punya pacar
ya?
Masih sering kontak dengan
dia?
Kenapa?


Okelah, terima kasih ya
Sudah berkurang juga dalam seminggu
ini
Sudah, di warnet
Awalnya senang kerja di situ, tapi
sekarang Mas Elang (bos pasien)
ndak suka sama Ilham, dia marah-
marah terus.
(pasien terlihat emosi)
Ndak Pak


Ndak Pak

Udah Pak, di kampung, namanya
Bunga (samaran)
Ndak Pak, dah lama ndak bicara
dengan dia
Dia mungkin ndak suka lagi sama
Ilham.
(pasien terlihat emosi lagi)
Iya Pak



rasa dimusuhi
bos



vagabondage
(-)

piromani (-)





rasa dimusuhi
pacar

Ikhtisar dan Kesimpulan Pemeriksaan Psikiatri
(Pemeriksaan dilakukan tanggal 27 November 2013)
I. Keadaan Umum
a. Kesadaran / sensorium : sadar Perhatian : kurang
b. Sikap : tidak koopereatif Inisiatif : kurang
c. Tingkah laku motorik : aktif Karangan/tulisan/gambar:
d. Ekspresi fasial : kaya (terlampir)
e. Verbalisasi dan cara berbicara : dapat berbicara, lancar, dan jelas
f. Kontak psikik : dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar
II. Keadaan Spesifik
A. Keadaan alam perasaan
1. Keadaan afektif : hipertim
2. Hidup emosi
a. stabilitas : labil
b. pengendalian : kurang
c. ech unecht : ech
d. einfuhlung (invoelaarhaid) : inadekuat
9

e. dalam dangkal : dangkal
f. skala differensiasi : sempit
g. arus emosi (lambat cepat) : cepat
B. Keadaan dan fungsi intelek
a. daya ingat (amnesia) : kurang
b. daya konsentrasi : susah
c. orientasi (waktu, tempat, personal, situasi) : tidak terganggu
d. luas pengetahuan umum dan sekolah : rata-rata normal
e. discriminative insight : terganggu
f. dugaan taraf intelegensia : rata-rata normal
g. discriminative judgement : terganggu
h. kemunduran intelek : tidak ada
C. Kelainan sensasi dan persepsi
a. ilusi : tidak ada
b. halusinasi
akustik : ada, sejak 2 minggu sebelum dirawat, berkurang 1 minggu ini
visual : ada, sejak 2 minggu sebelum dirawat, berkurang 1 minggu ini
olfaktorik : tidak ada
taktil : tidak ada
gustatorik : tidak ada
D. Keadaan proses berfikir
1. Kecepatan proses berfikir (psikomobilitas) : cepat
2. Mutu proses berfikir
a. jelas dan tajam : kurang jelas dan kurang tajam
b. sirkumstansial : tidak ada
c. inkoherrent : tidak ada
d. terhalang (sperrung) : tidak ada
e. terhambat (hemmung) : tidak ada
f. meloncat-loncat (flight of ideas) : tidak ada
g. verbigerasi perseverative (persevaratich) : tidak ada
3. Isi pikiran
a. pola sentral dalam pikirannya : tidak ada
b. fobia : tidak ada
c. obsesi : tidak ada
10

d. delusi : tidak ada
e. kecurigaan : ada, dimusuhi bos, pacar
f. konfabulasi : ada
g. rasa permusuhan / dendam : tidak ada
h. perasaan inferior : tidak ada
i. banyak / sedikit : sedikit
j. perasaan berdosa : tidak ada
k. hipokhondria : tidak ada
l. lain-lain : -
E. Kelainan dorongan instinktual dan perbuatan
a. abulia : tidak ada
b. stupor : tidak ada
c. raptus / impulsivitas : tidak ada
d. kegaduhan umum / excitement state : ada sejak 2 minggu sebelum dirawat,
berkurang dalam 3 hari ini
e. deviasi seksual : tidak ada
f. ekhopraksia : tidak ada
g. vagabondage : tidak ada
h. piromani : tidak ada
i. mannerism : tidak ada
j. lain-lain : tidak ada
F. Anxietas yang terlihat secara overt
Ada / tidak ada; banyak / sedikit : ada; banyak
G. Hubungan dengan realitas
Baik / terganggu : terganggu dalam hal tingkah laku,
pikiran dan perasaan
Pemeriksaan lain-lain
1. Evaluasi sosial oleh ahli pekerja sosial (tanggal) : tidak ada
2. Evaluasi psikologi oleh ahli psikologi (tanggal) : ada (tanggal 20 Desember 2013),
hasil terlampir
3. Evaluasi lain (tanggal) : tidak ada



11

Resume Multipel Axis
Axis I. Sindroma klinis
Sebelum dirawat pasien sering gelisah, marah-marah tanpa sebab yang jelas, juga
sering mengamuk, bicara sendiri. Pasien juga sering melihat bayangan putih yang terbang
disekitarnya, sering mendengar bisikan-bisikan dari Mbahnya yang sudah meninggal, makan
pasien cukup dan tidur kurang (paling lama 2-3 jam).
Timbul kejang berulang saat pasien berada di rumah atau dekat dengan anggota
keluarga, kejang seluruh tubuh dengan kaku pada badan, lengan dan tungkai pasien, kejang
bisa sampai 15-20 menit, saat kejang pasien cenderung menutup mata dan tidak ada mulut
berbuih, ngompol, dan cedera. Setelah kejang pasien sadar kembali.
Keadaan umum: komposmentis, sensorium tidak bisa dinilai, perhatian kurang,
inisiatif kurang, sikap kurang kooperatif, tingkah laku motorik aktif, ekspresi fasial kaya, bisa
bicara dan kadang menjawab jika ditanya, kontak psikik dapat dilakukan, kurang wajar dan
sebentar.
Keadaan Spesifik
1. Keadaan alam perasaan : hipertim, labil, pengendalian kurang, echt, inadekuat,
dangkal, sempit, arus emosi cepat.
2. Keadaan dan fungsi intelek : daya ingat kurang, konsentrasi kurang, insight dan
judgement terganggu
3. Kelainan sensasi dan persepsi : terdapat halusinasi akustik, dan visual, tapi sudah
berkurang.
4. Keadaan proses pikir : terdapat waham curiga
5. Kelainan dorongan instingtual dan perbuatan : tidak ada.
6. Ansietas yang terlihat overt : ada, banyak
7. Hubungan dengan realitas : terganggu ( tingkah laku, pikiran dan perasaan)

Axis II. Gangguan kepribadian dan retardasi mental
pasien banyak teman, mudah bergaul, tidak punya musuh
tidak ada retardasi mental

Axis III. Kondisi medis umum
Tidak ada yang penting


12

Axis IV. Stressor psikososial dan lingkungan
pasien tinggal sendiri dalam satu bulan ini
pasien sering dimarahi bosnya
pasien putus dari pacarnya

Axis V. Penilaian fungsi sosial
hubungan sosial tidak dapat dilakukan sejak pasien dirawat
pekerjaan sehari-hari tidak dapat dilakukan
mengisi waktu luang tidak dapat dilakukan

Diagnosis Axis
I. F25.0 Gangguan skizoafektif tipe manik
Psychogenic non-epileptic seizures
II. Tidak ada diagnosis
III. Tidak ada diagnosis
IV. Stress karena sering dimarahi bos dan putus dengan pacarnya
V. GAF 41 50 (saat masuk rumah sakit)

Diagnosis Differensial
1. F25.2 Gangguan skizoafektif tipe campuran

Terapi
Haloperidol 3 x 1 tablet @ 1,5 mg per oral
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @ 2 mg per oral
Vitamin B complex dan vitamin C 3 x sehari
Diazepam 3 x 1 tablet @ 2 mg per oral








13

Prognosis
Penilaian Baik Buruk
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Onset
Relaps
Jenis gangguan
Dukungan keluarga
Respon obat
Keadaan ekonomi
Kepatuhan minum obat
Faktor pencetus
Riwayat keluarga / genetik
Penyakit organik
usia 20 tahun
tidak pernah
skizoafektif
baik
baik
menengah ke bawah
patuh
jelas
tidak ada
tidak ditemukan


-


-




-
-

-
-

-
-
-
-
Kesimpulan: dubia ad bonam

FOLLOW UP
20 November 2013
S : Gelisah, tidak mau makan dan minum, tidur kurang (4 jam sehari), riwayat badan kaku
seperti kejang (+), 3 kali sejak kemaren.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/80 mmHg.
SN : kejang (-), kaku (-), tremor (-)
SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien apatis dan tidak bisa diajak
berkomunikasi
Laboratorium:
Haemoglobin: 14,9 g/dl Leukosit: 9.600/mm
3
Hematokrit: 45 %
Trombosit: 185.000/mm
3
Diff Count: 0/3/0/60/31/6
GDR: 96,69 mg/dl Ureum: 35,4 mg/dl Creatinin: 0,4 mg/dl
Na: 137 mg/dl K: 3,8 mg/dl Cl: 99 mg/dl
Protein total: 6,5 Albumin: 4,1 Globulin: 2,4
Total bilirubin: 1,27 Bilirubin direk: 0,346 Bilirubin indirek: 0,944
SGOT: 208 u/l SGPT: 221 u/l
A : Gangguan skizoafektif tipe manik + gangguan faal hepar et causa ? + suspek kejang
(epilepsi?)
P : Konsul bagian Neurologi
Konsul bagian Penyakit Dalam


14

Terapi: Haloperidol 3 x 1 tablet @1,5 mg
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Vit B complex + vitamin C 3 x 1
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Curcuma 3 x 1 tablet
Jawaban konsul dari bagian Neurologi:
Kesan: Pseudoseizure (psychogenic non-epileptic seizures)
Anjuran: pemeriksaan electroencephalography (EEG)
Jawaban konsul dari Penyakit Dalam:
Kesan: Pseudoseizure dengan peningkatan SGOT dan SGPT et causa?
Anjuran: Curcuma 3 x 1 tablet
Ulangi pemeriksaan SGOT, SGPT, HbsAg, IgM anti HAV
Rawat bersama dengan bagian gastroenterohepatologi

21 November 2013
S : Gelisah, tidak mau makan dan minum, tidur kurang (4 jam sehari), sering kejang dengan
tubuh sebelah kanan kaku dan mata melirik ke kanan dengan durasi 15 menit.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kejang (+), kaku (+), tremor (-)
SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien tidak bisa diajak komunikasi
Laboratorium:
Haemoglobin: 13,6 g/dl Leukosit: 8.700/mm
3
Hematokrit: 42,3%
Trombosit: 230.000/mm
3
Diff Count: 0/1/2/80/15/2 Eritrosit: 5 juta/mm
3
Eritrosit: normokrom anisositosis
Leukosit: jumlah cukup dengan neutrofilia shift to the right, limfosit atipik (+)
Trombosit: kesan jumlah cukup, platelet clump (+)
Malaria: tidak ditemukan parasit malaria di slide darah tepi
Anti HAV IgM: 0 (neg) HbsAg: non reaktif Anti HCV (Elisa): 0,09 (neg)
Total bilirubin: 1,11 Bilirubin direk: 0,45 Bilirubin indirek: 0,66
SGOT: 99 SGPT: 174
A : Gangguan skizoafektif tipe manik + gangguan faal hepar + pseudoseizure
P : Konsul ulang bagian Penyakit Dalam

15

Terapi: Haloperidol 3 x 1 tablet @1,5 mg
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Curcuma 3 x 1 tablet
Jawaban konsul dari bagian Penyakit Dalam:
Kesan: Suspek psikotik organik et causa suspek SOL
Gangguan faal hepar et causa suspek drug induced (klinis saat ini ada perbaikan)
Anjuran: Lanjutkan terapi obat hepatoprotektor (Livercare 3 x 1 tablet, Curcuma 3 x 1 tablet)
Konsul bagian Neurologi
Jawaban konsul dari bagian Neurologi:
Kesan: Pseudoseizure (psychogenic non-epileptic seizures)
Anjuran: Brain CT scan dengan kontras bila kondisi pasien memungkinkan untuk
menyingkirkan lesi di intrakranial

22 November 2013
S : Gelisah, tidak mau bicara, tidak mau makan sehingga pasang NGT, kejang (+) >5 menit,
penurunan kesadaran saat/setelah kejang tidak ada, tidur kurang (4 jam sehari).
O : Keadaan umum sedang, kesadaran apatis, tekanan darah 120/80 mmHg.
SN : kejang (-), kaku (+), tremor (-)
SP : kontak psikis tidak dapat dilakukan, pasien tidak bisa diajak komunikasi
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet






16

23 November 2013
S : Gelisah, bicara kacau, NGT telah dilepas, makan kurang (3 x 1 porsi tapi sedikit).
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 110/80 mmHg.
SN : kejang (-), kaku (-), tremor (-)
SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi ada (auditorik dan visual)
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet
Visite sub bagian GEH Penyakit Dalam:
Pasien dengan drug induced liver injury (DILI) et causa Haldol
Labor: SGOT: 208 u/l 64 u/l
SGPT: 221 u/l 108 u/l
HbsAg: non reaktif
Anti HCV: 0,09 (negatif)
Kesan: perbaikan
Terapi: Liver care 3 x 1 tab

25 November 2013
S : Gelisah, bicara kacau, makan kurang (3 x porsi), tidur kurang.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kaku (-), tremor (-), kejang (+) 5 kali dengan durasi 2-3 menit
SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+)
A : Gangguan skizoafektif tipe manik + suspek pseudoseizures
P : Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet
17

Dilakukan pemeriksaan brain CT scan dengan kontras

Hasil: Tidak tampak lesi hipodens atau hiperdens ataupun lesi lainnya baik di supra maupun
infratentorial sebelum maupun sesudah pemberian kontras intravena.
Sulci dan gyri tidak melebar
Sistem ventrikel tidak melebar
Tidak tampak midline shift
Cerebellum, pons, dan CPA baik
Kesan: tidak tampak kelainan dari pemeriksaan CT scan otak
30 November 2013
S : Gelisah, memanjat terali, bicara kacau, makan kurang (3 x porsi), tidur kurang.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-)
SP : kontak psikis dapat dilakukan, kurang wajar, sebentar, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+)
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
P : Injeksi CPZ 50 mg i.m
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet
18

2 Desember 2013
S : Gelisah, bicara kacau, makan kurang, tidur cukup.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-)
SP : kontak psikis dapat dilakukan, tidak wajar, sebentar, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) sejak 19 hari yang lalu
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
P : Injeksi CPZ 50 mg i.m
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet
Dilakukan pemeriksaan EEG pada tanggal 3 Desember 2013
Hasil: Rekaman dilakukan dalam keadaan tidur dengan premedikasi CPZ 75 mg i.m. Irama
dasar gelombang alfa dengan frekuensi 8-13 Hz dan amplitudo 40-60 V dan
dijumpai sleep spindles. Tidak dijumpai asimetri. Tidak dijumpai gelombang spesifik
maupun gelombang paroksismal. Dengan PS dan tidur tidak dijumpai perubahan.
Kesan: EEG pada perekaman saat ini dalam batas normal

4 Desember 2013
Gelisah, marah-marah, mengamuk, memanjat-manjat terali, kontak psikik susah dilakukan
Laboratorium:
SGOT: 44 u/l SGPT: 39 u/l
Terapi: ECT 3 kali (3 hari berturut-turut) observasi klinis pasien

5 Desember 2013
Dilakukan ECT I
6 Desember 2013
Dilakukan ECT II
7 Desember 2013
Dilakukan ECT III
19

Kondisi pasien setelah dilakukan tindakan ECT 3 kali: belum memperlihatkan perbaikan yang
berarti, pasien masih gelisah, marah-marah, sering memanjat terali, dan kontak psikik susah
dilakukan.

9 Desember 2013
S : Gelisah, marah-marah, bicara kacau, melawan (+).
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-)
SP : kontak psikis dapat dilakukan, tidak wajar, sebentar, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+) sejak 20 hari yang lalu
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
P : Pasien difiksasi ke tempat tidur
Injeksi CPZ 50 mg i.m
Trihexyphenidil 3 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet
Livercare 3 x 1 tablet
ECT ulang 3 kali (ganti hari)

Tanggal 12, 14, dan 19 Desember 2014
Dilakukan terapi ECT IV, V, dan VI
Kondisi pasien setelah dilakukan tindakan ECT 6 kali: memperlihatkan sedikit perbaikan,
gelisah sedikit berkurang, marah-marah, memanjat terali masih ada sekali-sekali, dan kontak
psikik masih susah dilakukan.

Tanggal 21, dan 23 Desember 2013
Dilakukan terapi ECT VII dan VIII





20

24 Desember 2013
S : Gelisah sudah berkurang, makan cukup, tidur cukup.
O : Keadaan umum sedang, kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg.
SN : kaku (-), tremor (-), kejang (-), sakit kepala (-)
SP : kontak psikis dapat dilakukan, cukup wajar, lama, discriminative insight dan
judgement terganggu, halusinasi auditorik dan visual (+)
A : Gangguan skizoafektif tipe manik
DD: gangguan skizoafektif tipe campuran
P : Trihexyphenidil 2 x 1 tablet @2 mg
Risperidon 2 x 1 tablet @2 mg
CPZ 3 x 1 tablet @100 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
Vit Bc + C 3 x 1
Curcuma 3 x 1 tablet

31 Desember 2013
Pasien boleh pulang
Dianjurkan untuk makan obat secara teratur, dan kontrol ulang ke poliklinik jiwa untuk
melanjutkan pengobatan.
Obat pulang: Trihexyphenydil 2 x 1 tablet @2 mg
Risperidon 2 x 1 tablet @2 mg
Diazepam 3 x 1 tablet @2 mg
CPZ 3 x 1 tablet @100 mg
Vitamin B komplek 3 x 1 tablet







21

TINJAUAN PUSTAKA
A. Psychogenic Non-epileptic Seizures
1. Pendahuluan
Bangkitan kejang merupakan suatu kondisi klinis dimana terjadi hilangnya
kontrol tubuh yang bersifat sementara yang ditandai dengan munculnya gerakan-
gerakan yang abnormal, hilangnya kesadaran, atau gabungan dari keduanya.
Bangkitan kejang epilepsi disebabkan karena lepasnya muatan listrik yang abnormal
secara tiba-tiba di otak. Psychogenic nonepileptic seizures (PNES) merupakan suatu
episode bangkitan paroksismal yang mirip dan bahkan sering disalahartikan dengan
bangkitan epilepsi, namun PNES ini terjadi karena adanya gangguan psikologis dari
penderitanya (misalnya emosional, stress, dan lain-lain). PNES kadang-kadang disebut
juga dengan pseudoseizures (Benbadis SR, 2001).
2. Terminologi
Nonepileptic seizures (kejang nonepilepsi) adalah bangkitan kejang berupa
gerakan, sensasi, atau perilaku yang tidak terkontrol (misalnya vokalisasi, menangis,
dan ekspresi emosi lainnya) yang tidak diakibatkan oleh perubahan bangkitan muatan
listrik yang abnormal di otak. Bentuk kejangnya dapat menyerupai bangkitan epilepsi
sehingga sering disalahartikan sebagai kejang umum tonik klonik, absance seizure,
dan kejang parsial sederhana ataupun kejang parsial kompleks. Pengenalan dini dan
penatalaksanaan yang tepat terhadap kejang nonepilepsi ini dapat mencegah kerusakan
iatrogenik yang berat dan memberikan hasil yang lebih baik.
Sejak zaman kuno, kejang nonepilepsi diakui sebagai bentuk dari histeria. Pada
akhir tahun 1800-an, Charcot untuk pertama kali menjelaskan kejang nonepilepsi
sebagai gangguan klinis dengan menyebutnya dengan hysteroepilepsy dan
epileptiform hysteria. Pemakaian istilah kejang nonepilepsi dianggap lebih baik
daripada hysterical seizure maupun pseudoseizure.
Secara terminologi menurut the Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 4
th
edition (DSM-IV), PNES termasuk ke dalam gangguan konversi, atau
dalam cakupan yang lebih luas termasuk ke dalam gangguan somatoform, dan
kejadian ini umumnya involunter. Namun, PNES juga dapat terjadi karena keadaan
pura-pura (dibuat-buat) dengan sengaja, seperti malingering (pura-pura sakit).
Dalam the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5
th
edition
(DSM-V), terdapat perubahan dari terminologi dan klasifikasi, dan PNES ini
22

dimasukkan ke dalam kelompok baru yang disebut dengan somatic symptoms
disorders.
3. Insiden dan Epidemiologi
Prevalensi kejadian kejang nonepilepsi pada populasi umum berkisar antara 2-33
kasus per 100.000 orang. Kejang nonepilepsi psikogenik ditemukan sebanyak 5-10
persen dari pasien rawat jalan epilepsi, dan 20-40 persen dari pasien yang rawat inap
(rumah sakit, pusat epilepsi). 75-85 persen penderita kejang nonepilepsi psikogenik
adalah perempuan. Seperti halnya gangguan konversi, kejang nonepilepsi psikogenik
cenderung muncul pada usia dewasa muda, namun kejadiannya dapat muncul pada
berbagai usia.
4. Klasifikasi
Pada tahun 1991, Porter membagi kelainan kejang nonepilepsi berdasarkan
penyebabnya menjadi dua bagian besar yaitu psikogenik dan fisiologik.
Kejang nonepilepsi berdasarkan pada etiologinya dibagi menjadi fisiologis dan
psikogenik (seperti pada Tabel 1). Namun, di berbagai tempat kajian epilepsi, pasien
kejang nonepilepsi fisiologis jarang ditemukan dibandingkan dengan kejang
nonepilepsi psikogenik.
Tabel 1. Klasifikasi kejang nonepilepsi berdasarkan etiologinya
Classification of Nonepileptic Seizures
Psychogenic
Misinterpretation of physical symptoms
Psychopathologic processes
Anxiety disorders, including
posttraumatic stress disorders
Conversion disorders
Dissociative disorders
Hypochondriasis
Psychoses
Somatization disorders
Reinforced behavior patterns in
cognitively impaired patients
Response to acute stress without evidence
of psychopathology
Physiologic
Cardiac arrhythmias
Complicated migraines
Dysautonomia
Effects of drugs and toxins
Hypoglycemia
Movement disorders
Panic attacks
Sleep disorders
Syncopal episodes
Transient ischemic attacks
Vestibular symptoms
Kejang nonepilepsi fisiologis memiliki berbagai macam penyebab, bisa berkaitan
dengan episode sinkop, migrain komplikata, serangan panik, atau serangan iskemik
sepintas (transient ischemic attack, TIA). Kejang nonepilepsi fisiologis mungkin
disebabkan oleh disfungsi otonom, aritmia jantung, hipoglikemia, intoksikasi obat,
23

intoksikasi alkohol. Penyakit gangguan gerak, gangguan tidur, dan gejala-gejala
vestibular dapat disalahartikan sebagai kejang nonepilepsi.
Kejang nonepilepsi psikogenik merupakan manifestasi klinis dari gangguan
psikologis, dapat dimasukkan ke dalam kelompok penyakit gangguan neuropsikologis
(misalnya gangguan konversi, gangguan somatisasi), dimana gejala gangguan jiwa
menjadi etiologinya namun gejala klinis yang muncul berupa gangguan neurologis.
5. Diagnosis
Ada atau tidaknya jejas luka, inkontinensia pada pasien, kemampuan untuk
mendiagnosis kejang nonepilepsi masih terbatas pada pemikiran kemungkinan adanya
kejang, tes psikologis, faktor riwayat kesehatan sebelumnya, dan pemeriksaan
elektroensefalografi.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin hanya dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan penyebab kejang dari kelainan metabolik ataupun toksik (misalnya
hiponatremia, hipoglikemia, intoksikasi obat, dan lain-lain).
Pemeriksaan kadar prolaktin dan creatine kinase (CK).
Peningkatan kadar prolaktin dan CK terjadi setelah kejang umum tonik
klonik dan tidak meningkat setelah tipe kejang yang lain. Namun, sensitivitasnya
masih terlalu rendah untuk dijadikan penentu diagnostik (tidak meningkatnya
kadar prolaktin dan CK ini maka tidak menyingkirkan pasien dari diagnosis
kejang epilepsi).
Shuka G et al, tahun 2004 dalam penelitiannya menyatakan bahwa kadar
prolaktin postiktal yang meningkat sampai dua kali batas normal awalnya
dipakai sebagai pembeda antara kejang umum dan kejang parsial kompleks
dengan kejang nonepilepsi psikogenik, namun hal ini masih memerlukan
pembuktian lebih lanjut (Shukla G, et al. 2004).
b. Pemeriksaan Pencitraan (imaging)
Hasil pemeriksaan imaging biasanya dalam batas normal pada kasus kejang
nonepilepsi psikogenik, namun pemeriksaan ini tetap perlu dilakukan untuk
menyingkirkan kemungkinan kelainan organik.
24

Kadang-kadang ditemukan kelaianan pada pemeriksaan imaging. Namun, hal ini
tidak dapat menegakkan diagnosis jika hasil dari pemeriksaan video EEG
monitoring menyatakan PNES.
c. Electroencephalogaphy (EEG) dan ambulatory EEG
EEG rutin memiliki sensitivitas yang rendah sehingga tidak banyak membantu
dalam penegakkan diagnosis PNES. Namun, pada pasien yang sering mengalami
serangan kejang berulang, hasil serial EEG normal, dan terdapat riwayat resisten
terhadap pengobatan maka masih dapat dicurigai sebagai PNES.
Saat ini, pemakaian ambulatory EEG semakin meningkat, karena biayanya yang
relatif murah dan dapat membantu dalam menegakkan diagnosis dengan
merekam serangan kejang dan mendokumentasikan perubahan EEG pada kejang
tipe absan.
Namun, karena keterbatasan dalam menyimpulkan diagnosis, maka PNES tetap
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan video EEG monitoring.
d. Video Electroencephalography (video-EEG) monitoring
Video-EEG monitoring merupakan pemeriksaan pilihan untuk mendiagnosis
kejang non epilepsi psikogenik pada pasien-pasien yang sedang dirawat inap.
Diagnosis pasti dapat ditegakkan bila pasien memperlihatkan klinis kejang
namun dari gambaran EEG tidak ditemukan gambaran abnormalitas.
Pentingnya menggunakan vEEG monitoring baru-baru ini ditegaskan oleh
sebuah penelitian yang mengevaluasi diagnosis pasien yang dirujuk ke layanan
kesehatan vEEG monitoring untuk menentukan jenis kejang pasiennya.
Penelitian ini menemukan misdiagnosis pada 24 persen pasien: 22 pasien yang
sebelumnya didiagnosis dengan epilepsi ditemukan sebagai kejang nonepilepsi,
dan 4 pasien yang sebelumnya didiagnosis sebagai kejang nonepilepsi
didapatkan memiliki kejang epilepsi. Keseluruhan pasien dalam penelitian ini
merupakan rujukan dari dokter ahli epilepsi atau dokter spesialis saraf dengan
klinis, diagnosis dan tatalaksana sebagai epilepsi.
Dengan menggunakan hasil dari video EEG pasien, Hubsch et al. melakukan
penelitian dengan menganalisis multipel koresponden, hierarki serangan, untuk
membuat suatu pedoman praktis dalam mengklasifikasikan semiologi PNES,
dan mendapatkan 5 bentuk serangan PNES: dystonic attack with primitive
gestural activity, pauci-kinetic attack with preserved responsiveness,
25

pseudosyncope, hyperkinetic prolonged attack with hyperventilation and auras,
and axial dystonic prolonged attack.
7. Penatalaksanaan
Tidak ditemukan penelitian acak terkontrol (randomized controlled studies) yang
meneliti tentang pengobatan kejang nonepilepsi psikogenik (LaFrance WC, 2002,
Bowman ES, 2001). Rekomendasi pengobatan didasarkan pada teori bahwa kejang
yang timbul disebabkan oleh faktor psikogenik, maka pasien akan merespon
pengobatan psikiatri. Dua penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjukkan bahwa
pemberian psikoterapi lebih efektif daripada tidak ada intervensi.
Berbagai teknik psikoterapi yang telah terbukti keampuhannya pada berbagai
gangguan psikiatri telah diterapkan pada pasien dengan kejang nonepilepsi psikogenik
yang memiliki profil kejiwaan yang sama. Tabel 4 merangkum rekomendasi
pengobatan berdasarkan penyebab kejang nonepilepsi psikogenik.
Dalam satu penelitian (LaFrance, 2002) menyatakan bahwa langkah pertama
adalah menetapkan diagnosis yang akurat dari kejang nonepilepsi psikogenik
berdasarkan pada riwayat perjalanan penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisik yang
baik, dan video-EEG monitoring pada pasien rawat inap. Setelah diagnosis ini
disampaikan kepada keluarga, langkah berikutnya adalah membuat daftar faktor
predisposisi, pemicu, dan faktor resiko timbulnya kejang. Daftar ini digunakan sebagai
dasar untuk menetapkan perawatan dan obat psikoterapi yang tepat. Obat antiepilepsi
yang telah dikonsumsi pasien secara bertahap diturunkan, dan diberikan obat-obat
psikotropika untuk mengatasi gangguan psikiatrinya.

















26

Tabel 4. Rekomendasi pengobatan kejang nonepilepsi

8. Prognosis
Prognosis PNES cukup baik, pada pasien tidak terdapat gangguan struktural dan
fungsional, dengan mengatasi gangguan psikologik sebagai faktor pencetusnya maka
keadaan pasien bisa lebih baik.





27

B. Gangguan Skizoafektif
1. Pendahuluan
Sesuai dengan istilah yang digunakan, gangguan skizoafektif mempunyai gambaran
baik skizofrenia maupun gangguan afektif (saat ini disebut gangguan mood). Beberapa
menganggap gangguan ini merupakan skizofrenia yang disertai gangguan mood,
sedangkan ahli lain berpendapat bahwa gangguan ini merupakan manifestasi yang lebih
berat dari gangguan mood. Kriteria diagnostik gangguan skizoafektif telah berubah
seiring waktu, sebagian besar merupakan refleksi perubahan kriteria diagnostik
skizofrenia dan gangguan mood; namun tetap merupakan diagnosis yang paling baik
untuk pasien yang mempunyai gejala campuran keduanya. Istilah schizoaffective
psychosis pertama kali diperkenalkan oleh Jacob Kasanin pada tahun 1933. Jacob
Kasanin menemukan beberapa pasien dengan gejala skizofrenia dan gangguan mood
secara bersamaan. Berdasarkan temuan ini, edisi pertama (1952) dan edisi kedua (1968)
dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health (DSM) mengklasifikasikan
penyakit ini sebagai bagian dari skizofrenia. Namun seiring berkembangnya waktu,
banyak penelitian yang menemukan bahwa tidak semua gejalanya sinkron dengan
skizofrenia dan peranan komponen mood tidak kalah penting dalam penyakit ini. Jadi
tidak heran jika sampai tahun 1996 saja sudah ada kira-kira 23 definisi yang berbeda
dari para ahli terkait gangguan skizoafektif ini (Sadock 2004; Abrams 2008).
2. Epidemiologi
Diperkirakan satu dari empat orang pasien psikiatri yang dirawat inap mengalami
gangguan skizoafektif (Goldberg 2010). Prevalensi seumur hidup gangguan skizoafektif
berkisar 0.2 sampai 1.1 persen (Marneros 2003). Namun, gambaran tersebut merupakan
perkiraan karena berbagai studi mengenai gangguan skizoafektif telah menggunakan
berbagai kriteria diagnostik. Gangguan skizoafektif sangat jarang terjadi pada anak-
anak. Hal ini dikarenakan diagnosis gengguan ini pada kelompok anak sangat sulit.
Sekitar sepertiga dari gangguan skizoafektif muncul pada usia antara 25 sampai 35
tahun, sepertiganya muncul pada usia di bawah 25 tahun dan sepertiganya muncul pada
usia setelah 35 tahun (Marneros 1990).
3. Etiologi
Penyebab gangguan skizoafektif tidak diketahui, tetapi beberapa model konseptual
telah dikembangkan. Meskipun banyak riset famili dan genetik mengenai gangguan
skizoafektif didasarkan pada alasan bahwa skizofrenia dan gangguan mood merupakan
entitas terpisah, beberapa data menunjukkan bahwa kedua gangguan tersebut terkait
28

secara genetis. Beberapa kebingungan yang timbul pada studi famili pasien gangguan
skizoafektif dapat merefleksikan perbedaan nonabsolut antara dua gangguan primer.
Oleh karena itu, tidak mengherankan bila studi keluarga pasien dengan gangguan
skizoafektif melaporkan hasil yang tidak konsisten. Peningkatan prevalensi skizofrenia
tidak ditemukan dalam keluarga dengan gangguan skizoafektif, tipe bipolar; namun,
keluarga pasien dengan gangguan skizoafektif tipe depresif beresiko lebih tinggi
mengalami skizofrenia daripada gangguan mood. Bergantung pada tipe gangguan
skizoafektif yang dipelajari, peningkatan prevalensi skizofrenia atau gangguan mood
dapat ditemukan pada keluarga dengan gangguan skizoafektif (Sadock 2004; Goldberg
2010).
Studi genetik yang dilakukan oleh Mansour mendapatkan beragam gen yang
terlibat dalam gangguan skizoafektif. Gen-gen tersebut berperan dalam pengaturan
irama sikardian dan rseptor asan retinoik. Uniknya, gen-gen tersebut juga berpern pada
gangguan mood adan skizofrenia (Goldberg 2010).
4. Pedoman Diagnostik
Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejala-gejala defenitif
adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol pada saat bersamaan,
atau dalam beberapa hari yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang
sama, dan bilamana sebagai konsekuensinya, episode penyakit tidak memenuhi kriteria
baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif. Istilah tersebut tidak boleh
dipakai untuk pasien-pasien yang menunjukkan gejala-gejala skizofrenik dan afektif
tetapi dalam episode-episode yang berbeda. Adalah umum, misalnya jika seorang pasien
skizofrenik menunjukkan gejala-gejala depresif sebagai akibat remisi sesudah suatu
episode psikotik (lihat depresi pasca skizofrenia [F20.4]). Sebagian diantara para pasien
mengalami episode skizoafektif berulang, baik yang bertipe manik maupun depresif
atau campuran dari keduanya. Pasien lain mengalami satu atau dua episode-episode
skizoafektif terselip diantara episode-episode manik dan depresif. Pada kasus terdahulu,
gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat. Pada kasus yang terakhir, episode
skizoafektif yang kadang-kadang terjadi itu tidak menghapuskan keabsahan diagnosis
gangguan afektif bipolar atau gangguan depresif berulang kalau gambaran klinis lainnya
bersifat khas dalam hal ini.
F25.0 Gangguan Skizoafektif Tipe Manik
Suatu gangguan psikotik dengan gejala-gejala skizofrenik dan manik sama-sama
menonjol dalam satu episode penyakit yang sama. Kelainan afektif biasanya mengambil
29

bentuk elasi, disertai oleh meningkatnya rasa harga diri dan ide-ide kebesaran, tetapi
kadang-kadang kegelisahan atau iritabilitas lebih jelas dan disertai oleh perilaku agresif
serta ide-ide kejaran. Dalam kedua hal tersebut terdapat peningkatan enersi, aktivitas
yang berlebihan, konsentrasi yang terganggu, dan hilangnya hambatan sosial yang
normal. Waham-waham rujukan, kebesaran atau kejaran mungkin ada, tetapi gejala-
gejala lain yang lebih khas dari gangguan skizofrenik harus ada untuk menegakkan
diagnosis. Misalnya, pasien-pasien mungkin mengatakan bahwa pikiran-pikirannya
sedang disiarkan atau diganggu, atau bahwa kekuatan-kekuatan yang tidak dikenalnya
sedang berusaha mengendalikan dirinya, atau mereka mungkin melaporkan mendengar
suara-suara yang beraneka ragam atau menyatakan ide-ide waham yang bizarre, yang
tidak banyak semata-mata bersifat kebesaran atau kejaran saja. Anamnesis yang teliti
serin diperlukan untuk memastikan bahwa pasien betul-betul sedang mengalami
fenomena penyakit ini dan bukan sekedar berkelakar atau berbicara dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan metaforik saja. Gangguan skizoafektif tipe manik
biasanya adalah psikosis yang berkembang selengkapnya dengan onset yang akut; dan
walaupun perilaku terganggu secara menyeluruh namun penyembuhan secara sempurna
umumnya terjadi dalam beberapa minggu.
Pedoman Diagnostik
Kategori ini digunakan baik untuk episode skizoafektif tipe manik yang tunggal
maupun untuk gangguan berulang dengan sebagian besar episode skizoafektif tipe
manik.
Afek harus meningkat secara menonjol atau ada peningkatan afek yang tak begitu
menonjol dikombinasi dengan iritabilitas atau kegelisahan yang memuncak.
Dalam episode yang sama harus jelas ada sedikitnya satu atu lebih baik dua, gejala
skizofrenia yang khas (sebagaimana ditetapkan untuk skizofrenia, F20.- pedoman
diagnostik (a) sampai dengan (d)).
Termasuk: psikosis skizoafektif tipe manik
psikosis skizofreniform tipe manik
5. Penatalaksanaan
Gangguan skizoafektif membutuhkan penanganan yang bersifat multimodal yaitu
kombinasi terapi psikofaramka dengan psikoterapi. Obat antipsikotik atipikal masih
merupakan pilihan utama pada gangguan skizoafektif. Pengobatan dengan mood
stabilizer dapat bermanfaat pada pasien dengan skizoafektif. Penggunaan antidepresan
30

dan mood stabilizer seperti litium dan asam valproat pada gangguan skizoafektif tipe
depresif masih menjadi perdebatan. Suatu studi yang membandingkan litium dengan
karbamazepin memperlihatkan superioritas karbamazepin pada gangguan skizoafektif
tipe depresif (Cegalis 1985) Obat antidepresan dapat diberikan pada gangguan
skizoafektif dengan gejala depresif yang menonjol dengan gejala psikosis yang sudah
mulai stabil. Pada episode manik, pasien skizoafektif biasanya diobati dengan
pemberian dosis mood stabilizer konsentrasi terapeutik sedang ampai tinggi dan dalam
fase maintenance pemberian dosis obat dikurangi. Obat antidepresan sering digunakan
untuk mengatasi episode depresi pada pasien ini. Obat selective serotonin reuptake
inhibitor (SSRI) sering digunakan sebagai lini pertama. Namun, gejala insomnia dan
agitasi dapat diatasi dengan antidepresan trisiklik. Selain itu, obat antipsikotik
bermanfaat pada pengobatan gangguan skizoafektif dengan gejala psikotik (Goldberg
2010; Cotton 2013).
Psikoterapi Individu
Adanya gangguan kognitif, perjalanan penyakit yang kronis, dan perawatan di
rumah sakit yang berulang dapat menimbulkan gangguan emosional sehingga pasien
memerlukan ventilasi, dukungan, perbaikan mekanisme dan mentolerir terhadap
ketidakmampuannya dan ketergantungannya. Terapis dapat memberikan terapi suportif
seperti mengangkat kembali harga diri pasien yang menurun (Goldberg 2010).
Terapi Kelompok
Tujuan terapi kelompok adalah untuk mengurangi isolasi, mendorong hubungan
interpersonal. Terapi dapat memperbaiki harga diri, orientasi, tingkah laku, pemecahan
masalah, mengurangi depresi dan ansietas. Suatu terapi kelompok yang efektif ditandai
dengan terbentuknya lingkungan terapeutik yang kohesif dan berkembangnya hubungan
yang saling mendukung, sehingga dapat memberikan kesempatan perbaikan adaptasi
terhadap disabilitas yang sebenarnya dapat menimbulkan gangguan emosi (Amir 1998).
6. Prognosis
Perjalanan jangka panjang dan prognosis gangguan skizoafektif sulit ditentukan.
Peningkatan gejala skizofrenik memiliki prognosis yang lebih buruk. Prognosis jangka
panjang gangguan ini tergantung apakah gejala dominannya afektif (prognosis lebih
baik) atau skizofrenik (prognosis lebih buruk). Sebagai suatu kelompok, pasien dengan
gangguan skizoafektif mempunyai prognosis lebih baik daripada pasien skizofrenia dan
prognosis paling buruk daripada pasien dengan gangguan mood. Sebagai suatu
31

kelompok, pasien dengan gangguan skizoafektif memberikan respon terhadap litium
dan cenderung mengalami perjalanan penyakit yang tidak memburuk (Sadock 2004).





ANALISIS KASUS
Telah dilaporkan kasus seorang pasien laki-laki umur 20 tahun yang dirawat di
bangsal Jiwa dengan diagnosis gangguan skizoafektif tipe manik, psychogenic non-epileptic
seizures, disfungsi hepar et causa suspek drug induced suspek haloperidol. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan
psikiatrik, dan didukung dengan hasil pemeriksaan penunjang seperti laboratorium dan
pemeriksaan brain ct scan dan elektroensefalografi.
Dari riwayat perjalan penyakit didapatkan pasien gelisah, marah-marah tanpa sebab,
mengamuk, bicara sendiri, dan kadang-kadang disertai dengan kejang berulang. Dari
pemeriksaan fisik umum maupun pemeriksaan khusus neurologis tidak dijumpai kelainan
pada pasien. Hal ini didukung oleh hasil pemeriksaan penunjang baik CT scan kepala,
maupun hasil pemeriksaan EEG dengan hasil dalam batas normal. Selama perawatan pasien
dikonsulkan ke bagian Neurologi dengan keluhan kejang, namun dari anamnesis dan
pemeriksaan tidak didapatkan tanda-tanda true seizure, sehingga pada pasien ditegakkan
diagnosis kejang non-epilepsi psikogenik. Psychogenic nonepileptic seizures (PNESs)
merupakan gangguan psikiatri yang muncul dengan gejala menyerupai kejang epilepsi, namun
tidak disebabkan oleh kelainan pada sistem saraf pusat.
Gambaran klinis PNESs menyerupai kejang epilepsi dengan karakteristik paroksismal,
involunter, dengan keterlibatan yang terbatas dari tingkah laku, aktivitas motorik, fungsi
otonom, kesadaran, atau sensorik. Namun, tidak seperti kejang karena epilepsi, NES terjadi
tanpa adanya patologi yang berkaitan dengan epilepsi dan tidak disertai dengan gambaran
epileptiform saat iktal dari pemeriksaan elektroensefalografi (EEG).
Tabel berikut dapat menjelaskan perbedaan antara bangkitan kejang epilepsi dengan
bangkitan kejang non-epilepsi psikogenik.
32

Gambaran klinis yang membantu membedakan kejang psikogenik dengan kejang epilepsi
Kejang epilepsi Kejang psikogenik
Pencetus biasanya tidak ada Seringkali karena faktor emosi
Suasana:
Waktu tidur
Waktu sendirian

sering
sering

jarang
tidak biasa
Prodromal jarang sering
Awal biasanya mendadak, mungkin
disertai aura singkat, mata
cenderung membuka
mungkin berangsur dengan
meningkatnya gejala emosional,
mata cenderung menutup
Jeritan pada awal sering tidak biasa
Vokalisasi

hanya waktu automatisme

hanya selama serangan

Fenomena gerak stereotipik, biasanya meliputi
kedua fase klonik dan tonik,
gerakan klonik melemah bila
kejang berlanjut
bervariasi, seringkali hanya
tonik atau klonik, komponen
klonik bervariasi amplitudo dan
frekuensi selama serangan,
gerakan pelvis menonjol,
gerakan-gerakan pseudoklonik
Trauma/cedera sering jarang
Inkontinensia sering tidak biasa
Lidah tergigit sering jarang
Kesadaran biasanya hilang sama sekali
selama serangan kejang, mata
membuka saat serangan
bervariasi, seringkali masih
mungkin berkomunikasi saat
serangan kejang, mata
cenderung menutup
Pengekangan tidak berpengaruh dapat melawan, kadang-kadang
menghentikan serangan
Lamanya biasanya pendek dapat memanjang
Berhentinya serangan biasanya pendek (tetapi kadang-
kadang bila disertai dengan
automatisme), biasanya
bingung, mengantuk atau tidur
dapat berangsur, seringkali
dengan penampakan emosi,
bingung, mengantuk, atau tidur
tidak biasa terjadi


Penatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya
(Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat
membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini.
Jika penyebabnya adalah jelas faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang
psikiatris.
Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat
psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah
dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang
disebabkan oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika
terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa
33

kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota
keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu
penyembuhannya.
Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang
bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti
epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non
epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non
epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang
sesuai dapat diberikan.
Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh
karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan
jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu
konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi
serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan
disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non
epilepsi.
Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan
bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian
kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi
untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi
terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang
dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris.


KESIMPULAN
Bangkitan kejang yang terdapat pada pasien merupakan psychogenic non-epileptic
seizures dan bukan merupakan bangkitan kejang epilepsi. Hal ini didukung oleh hasil
pemeriksaan psikiatrik yang mendapatkan adanya gangguan skizoafektif tipe manik pada
pasien sebagai faktor pencetusnya. Karena bangkitan kejang yang muncul pada pasien
bukanlah suatu serangan epilepsi, maka tidak diberikan obat anti epilepsi pada pasien.
Penanganan lebih dititikberatkan pada penangan faktor pencetusnya yaitu gangguan
skizoafektif. Dengan pemberian terapi yang tepat dan didukung oleh motivasi yang kuat dari
keluarga, prognosis pasien ini cukup baik.

34

DAFTAR PUSTAKA
Abrams DJ, Rojas DC, Arciniegas DB. 2008. Is schizoaffective disorder a distinct categorical
diagnosis? A critical review of the literature. Neuropsychiatric Disease and Treatment; 4
(6):1089-1109.
Alsaadi TM, Marquez AV. 2005. Psychogenic Nonepileptic Seizures. American Family
Physician; 72:849-56.
Benbadis SR, Heriaud L. 2001. Psychogenic (non-epileptic) seizures: A guide for patients &
families. Comprehensive epilepsy program; 1-9.
Blum AS, LaFrance WC. 2007. Psychogenic nonepileptic events. In: Ettinger AB, Kanner
AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment, 2
nd

edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:486-99.
Bowman ES. 2001. Psychopathology and outcome in pseudoseizures. In: Ettinger AB, Kanner
AM, eds. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis and treatment.
Philadelphia: Lippincott Williams & Willkins; 355-77.
Bowman ES, Kanner AM. 2007. Psychopathology and outcome in psychogenic nonepileptic
seizures. In: Ettinger AB, Kanner AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to
diagnosis and treatment, 2
nd
edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:500-29.
Cotton SM, Lambert M, Schimmelmann, Mackinnon A, Gleeson JFM, Berk M, Hides L.
2013. Schizophrenia Research; 147: 169-174.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. 2009. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. EGC:
Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995.
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (cetakan
pertama).
Gates JR. 2002. Non-epileptic seizures: Classification co-existence with epilepsy: Diagnosis,
therapeutic approaches and consensus. Epilepsy & Behavior; 3:28-33.
Gelder MG, Lopez-Ibor JJ, Andreasen N (ed). 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry.
Oxford University.
Goldberg JF, Nasrallah HA, Correll CU, Ontiveros C. 2010. Differential diagnosis and
therapeutic management of schizoaffective disorder. Supplement to Annals of Clinical
Psychiatry; 22 (4): S1-S12.
LaFrance WC, Devinsky O. 2002. Treatment of nonepileptic seizures. Epilepsy & Behavior;
3:19-23.
35

LaFrance WC, Kanner AM. 2007. Treating patients with psychological nonepileptic seizures.
In: Ettinger AB, Kanner AM. Psychiatric issues in epilepsy: a practical guide to diagnosis
and treatment, 2
nd
edition. Lippincott Williams & Wilkins; 6:530-62.
Marneros A. 2003. The schizoaffective phenomenon: the state of the art. Acta Psychiatr
Scand Suppl, 418:2933.
Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PP PDSKJI).
2012. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa / Psikiatri (PNPK Jiwa / Psikiatri).
Rowan AJ. 2000. Diagnosis of non-epileptic seizures. In: Gates JR, Rowan AJ. Non-epileptic
seizures. 2
nd
ed. Boston: Butterworth-Heinemann; 15-30.
Sadock BJ, Sadock VA. 2004. Gangguan Skizoafektif dalam Buku Ajar Psikiatri Klinis.
EGC, 174-81.
Sadock BJ, Sadock VA (ed). 2000. Kaplan & Sadocks Concise Textbook of Clinical
Psychiatry. Lippincott Williams & Wilkins.
Sadock BJ, Sadock VA (ed). 2000. Kaplan & Sadocks Comprehensive Textbook of
Psychiatry 7
th
edition. Lippincott Williams & Wilkins.
Shukla G, Bhatia M, Vivekanandhan S, Gupta N, Tripathi M, Srivastava A, et al. 2004. Serum
prolactin levels for differentiation of nonepileptic versus true seizures: limited utility.
Epilepsy & Behavior; 5:517-21.

Anda mungkin juga menyukai