Anda di halaman 1dari 38

PORTOFOLIO KASUS KEJIWAAN

EPISODE DEPRESI SEDANG







Disusun oleh:
dr. Frita Dwi Luhuria
Dokter Internship





Pembimbing:
dr. Chadijah Adnan


Pendamping:
dr. Chadija Adnan



PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH ARGA MAKMUR
BENGKULU UTARA
2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat,
dan hidayah-Nya laporan kasus ini dapat diselesaikan. Laporan ini disusun
sebagai salah satu laporan portofolio dokter internship dibagian kasus kejiwaan.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan laporan ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak terutama kepada yang terhormat Bapak/Ibu pembimbing/
spesialis dan Ibu pendamping kami , penulis menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya atas bimbingannya. Tak lupa pula penulis ucapkan
terimakasih pada teman- teman dan seluruh pihak yang memberikan bantuan
berupa ilmu, hasil diskusi kelompok, buku-buku referensi serta hal lainnya. Oleh
karena itu penulis berdoa mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan
selama ini akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik membangun agar dapat
memberikan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata, mudah-mudahan
laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.





Arga Makmur, 8 Maret 2014


Penulis






BAB I
PENDAHULUAN

Depresi merupakan salah satu gangguan mood (mood disorder). Depresi
sendiri adalah gangguan unipolar, yaitu gangguan yang mengacu pada satu kutub
(arah) atau tunggal, yang terdapat perubahan pada kondisi emosional, perubahan
dalam motivasi, perubahan dalam fungsi dan perilaku motorik, dan perubahan
kognitif.
Depresi merupakan gangguan mental yang sering terjadi di tengah
masyarakat. Berawal dari stres yang tidak diatasi, maka seseorang bisa jatuh ke
fase depresi. Penyakit ini kerap diabaikan karena dianggap bisa hilang sendiri
tanpa pengobatan. Padahal, depresi yang tidak diterapi dengan baik bisa berakhir
dengan bunuh diri.
Depresi tersebar luas, tetapi jumlah dan rata-rata dari gejala fisik dan
kognitif berhubungan dengan gangguan depresi mayor atau major depressive
disorder (MDD) yang berarti banyak orang tidak menunjukkan gejala emosional.
Satu dari tujuh orang akan menderita gangguan psikososial dari MDD, beberapa
tidak terdiagnosis kecuali dengan kunjungan ke dokter yang berulang, dan tidak
hanya dokter keluarga, psikiatri, dan klinisi kesehatan mental juga harus dapat
mendiagnosis depresi. Tingginya prevalensi dari MDD dengan penyakit medis
lainnya menunjukkan bahwa professional kesehatan dan dokter, ataupun internis
atau onkologis atau ahli bedah atau kardiologis atau neurologis atau spesialis
lainnya, juga harus mengenali dan memberikan tatalaksana depresi klinis pada
pasien.








BAB II
LAPORAN PEMERIKSAAN PSIKIATRIK

Seorang pasien perempuan usia 15 tahun diantar ibunya ke IGD RSUD Arga
Makmur tanggal 28 Februari dengan keluhan pasien telah meminum obat dalam
jumlah yang banyak 1 jam Sebelum masuk rumah sakit. Pasien diperiksa oleh dr.
Suriadi dan dr. Internsip yang bertugas.

Identitas Pasien
Nama : Nn. I
No. Rekam Medis : 090732
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 Tahun
Pekerjaan/ Pendidikan : Murid SMP
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Alamat : Purwodadi, Arga Makmur
Warga Negara : Indonesia

Status Internus
Keadaan umum : Sedang
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Nadi : Teraba kuat, tidak teratur, frekuensi 118x per menit
Suhu : 36,5
0
C
Nafas : Abdominotorakal, teratur,frekuensi 26x per menit
Tinggi Badan : 155cm
Berat badan : 52 kg
Sistim respiratorik : Inspeksi : simetris kiri dan kanan statis dan dinamis
Palpasi : fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor kiri dan kanan
Auskultasi : vesikuler, ronkhi/ wheezing tidak ada

Sistim kardiovaskular
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari medial linea
midclavicularis sinistra ruang intercostals V, kuat angkat
luas 1 jari
Perkusi : batas-batas jantung kiri : 1 jari linea midclavikularis
sinistra, kanan: linea sternalis dextra, atas : ruang
intercostal II, bawah: ruang intercostal V
Auskultas : irama tidak teratur, bising tidak ada

Sistim gastrointestinal
Inspeksi : perut tidak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada, nyeri
lepas tidak ada
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus positif normal
Sistem genitourinaria : Regio lumbal: Ballotement -/-
Kelainan khusus : Tidak ada

Status Neurologikus
I. Urat syaraf kepala (panca indra)
Penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecapan, dan perabaan baik.
Gejala rangsangan selaput otak : kaku kuduk tidak ada.
Gejala peningkatan tekanan intrakranial : muntah proyektil tidak ada,
sakit kepala progresif tidak ada
Mata :
- Gerakan : gerakan mata bebas ke segala arah, nistagmus(-)
- Persepsi : diplopia tidak ada
- Pupil : isokor, bulat
- Reaksi cahaya : + / +
- Reaksi kornea : + / +
- Pemeriksaan oftalmoskop : tidak dilakukan
II. Motorik :
- Tonus : eutonus
- Turgor : baik
- Kekuatan : 555 555
555 555
- Koordinasi : baik
- Refleks : Fisiologis (patella) : ++ / ++
- Patologis (Babinsky) : - / -
III. Sensibilitas : halus dan kasar baik
IV. Susunan saraf vegetatif : fungsi makan, tidur, bangun baik
V. Fungsi fungsi luhur : aktivitas membaca, menulis, menggambar, memori
dan bahasa terganggu
VI. Kelainan khusus :
- Kaku : tidak ada
- Tremor : tidak ada
- Nasal stiffness : tidak ada
- Occulogirik crisis : tidak ada
- Tortikolis : tidak ada
- Lain lain : tidak ada

ALLOANAMNESIS
Nama / umur : Ny. M (38 tahun) / Nn. S (15 tahun)
Alamat : Purwodadi / Karang Indah
Pekerjaan : Pedagang / Pelajar SMP
Pendidikan : Tamat SMA
Hubungan : Ibu Kandung / Teman dekat pasien

1. Sebab Utama pasien dibawa ke Rumah Sakit
Pasien telah meminum obat sekaligus dalam jumlah yang banyak
2. Keluhan utama sekarang
Dada berdebar- debar, badan terasa lemas.

3. Riwayat perjalan penyakit
Pada pertengahan tahun 2012 orang tua pasien bercerai karena masalah ekonomi
dan ketidakcocokan. Pada tahun 2013 akhir ibu pasien menikah lagi. Sekarang
pasien tinggal bersama ibu, ayah tiri, dan adiknya. Pasien mulai menjadi anak
yang tertutup. Pasien juga sering tidak masuk sekolah, tidak mengerjakan
pekerjaan sekolah, mengurung diri dikamar tanpa berbuat apa-apa, marah- marah
dan memberontak bila ditanyai serta sering sulit tidur. Tidak jarang juga pasien
ngamuk-ngamuk dan mengatakan ingin mati saja karena tidak ada guna hidup lagi.
Ibu pasien juga sering mendapat surat panggilan dari wali kelas karena pasien
bertengkar dengan teman sekolahnya.
Kejadian ini memuncak 1 minggu SMRS, pasien sering bertengkar karena teman-
teman memperolok dirinya, mengatakan hal-hal buruk mengenai orangtua pasien
dan ekonominya, hingga 1 hari SMRS pasien bertengkar hebat dengan temannya
dan akhirnya ia mendapat surat panggilan orangtua untuk yang kesekian kalinya.
Pasien pulang dari sekolah dengan wajah cemberut dan tidak lagi mau keluar
kamar.
Pasien menghubungi teman dekatnya 3 jam SMRS dan meminta tolong untuk
dibelikan obat sesak nafas, akhirnya teman nya pun membelikan 1 strip obat sesak
nafas yang berisi 4 tablet obat berwarna kuning. Setelah mendapatkan obat
tersebut, pasien masuk kekamar dan mengirimkan sms kepada ibunya, isinya
mengatakan bahwa ia lebih baik mati saja. Tak lama kemudian ibu pasien segera
masuk kekamar dan menemukan pasien tergeletak lemas dengan mulut berbuih
dan pasien langsung dibawa ke RSUD Arga Makmur.

4. Riwayat premorbid
- Bayi : lahir spontan, ditolong bidan, langsung menangis, tidak ada
riwayat biru, kuning dan kejang.
- Anak : pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usianya
- Remaja : pertumbuhan sesuai dengan usianya, bersikap tertutup
5. Riwayat pekerjaan :
-

6. Riwayat pendidikan
a. SD : SD model Karang Suci, Arga Makmur
b. SMP : SMP 1 RA. Kartini, Arga Makmur

7. Riwayat sosial ekonomi
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara. Ibu pasien berjualan
sayuran di pasar. Ayah tiri pasien seorang tukang becak. Pemasukan rerata
perbulan Rp. 800 .000 perbulan
Pemasukan : Rp. 800.000
Pengeluaran : Rp. 800.000
Biaya hidup sehari-hari : Rp. 400.000
Uang Sekolah anak : Rp. 300.000
Biaya listrik : Rp. 100.000
Sisa : Rp. 0
Pasien, ibu, ayah tiri dan adik kandungnya tinggal di rumah milik sendiri, semi
permanen, listrik ada, sumber air dari sumur, kendaraan bermotor ada.
Penghasilan bulanan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

8. Riwayat Penyakit Keluarga
+ +


+


Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita gangguan jiwa.


IKHTISAR DAN KESIMPULAN PEMERIKSAAN PSIKIATRI
I. Keadaan umum
a. Kesadaran/sensorium: kompos mentis/baik perhatian : ada
b. Sikap : kooperatif insiatif :kurang



(Pasien)
(Cerai Hidup)
c. Tingkah laku motorik : hipoaktif
d. Ekspresi fasial : miskin
e. verbalisasi dan cara bicara : dapat berbicara, cukup lancar
f. kontak psikik : dapat dilakukan, cukup wajar, cukup lama.

II. Keadaan spesifik
A. Keadaan alam perasaan
1. Keadaan Afektif : hipotim
2.Hidup Emosi :
a. Stabilitas : labil
b. pengendalian : kurang
c. echt-unecht : echt
d. einfuhlung : inadekuat
e. dalam dangkal : dangkal
f. skala diferensiasi : sempit
g. arus emosi : lambat

B. Keadaan dan fungsi intelek
a. daya ingat : baik
b. daya konsentrasi : kurang
c. orientasi(waktu, tempat, personal, situasi) : tidak terganggu
d. luas pengetahuan umum dan sekolah : sukar dinilai
e. discrinimative insight : tidak terganggu
f. dugaan taraf intelegensia : rata-rata normal
g. discriminative judgement : tidak terganggu
h. kemunduran intelek : tidak ada

C. Kelainan sensasi dan persepsi
a. ilusi : tidak ada
b. halusinasi :
- akustik : Tidak ada
- visual : Tidak ada
- olfaktorik : Tidak ada
- taktil : Tidak ada
- gustatorik : Tidak ada

D. Keadaan proses berfikir
1. Kecepatan proses berfikir : lambat
2. Mutu proses berfikir
a. jelas dan tajam : kurang jelas dan kurang tajam
b. sirkumtansial : tidak ada
c. inkoherent : tidak ada
d. terhalang : tidak ada
e. terhambat : tidak ada
f. meloncat-loncat : tidak ada
g. verbigerasi persevarative : tidak ada
3. Isi pikiran
a. pola sentral : tidak ada
b. fobia : tidak ada
c. obsesi : tidak ada
d. delusi : tidak ada
e. kecurigaaan : tidak ada
f. konfabulasi : tidak ada
g. rasa permusuhan/ dendam : tidak ada
h. perasaan inferior : ada
i. banyak/sedikit : sedikit
j. perasaan berdosa : tidak ada
k. hipokondria : tidak ada
l. lain-lain : tidak ada

E. Kelainan dorongan instingtual dan perbuatan
a. Abulia : ada
b. Stupor : tidak ada
c. Raptus : tidak ada
d. Kegaduhan umum : tidak ada
e. Deviasi seksual : tidak ada
f. Ekhopraksia : tidak ada
g. Vagabondage : tidak ada
h. Piromani : tidak ada
i. Mannarisme : tidak ada
j. Lain-lain : tidak ada
F. Anxietas yang terlihat overt : ada
G. Hubungan dengan realita : tidak terganggu


RESUME MULTIPLE AXIS
Axis I. Sindroma Klinis
Pasien mulai menjadi anak yang tertutup, sering tidak masuk
sekolah, tidak mengerjakan pekerjaan sekolah, mengurung diri dikamar
tanpa berbuat apa-apa, marah- marah dan memberontak bila ditanyai serta
sering sulit tidur., ngamuk-ngamuk dan mengatakan ingin mati saja karena
tidak ada guna hidup lagi.
Keadaan umum : komposmentis, kooperatif, hipoaktif, perhatian ada,
inisiatif kurang, ekspresi fasial miskin, dapat berbicara, cukup lancar,
kontak psikik dapat dilakukan, cukup wajar, cukup lama.
Keadaan spesifik :
a. Keadaan alam perasaan : hipotim, labil, pengendalian kurang, echt,
inadekuat, dangkal, sempit, lambat.
b. Keadaan dan fungsi intelek : daya ingat baik, daya konsentrasi kurang,
orientasi tidak terganggu, luas pengetahuan umum dan sekolah sukar
dinilai, discriminative insight tidak terganggu dan discriminative
judgement tidak terganggu, kemunduran intelek tidak ada.
c. Kelainan sensasi dan persepsi : tidak ada.
d. Keadaan proses berfikir : lambat, kurang jelas dan kurang tajam, isi
pikiran sedikit, kelainan dalam proses berfikir lainnya tidak ada.
e. Kelainan dorongan instingtual dan perbuatan : tidak ada.
f. Anxietas yang terlihat overt : ada, banyak
g. Hubungan dengan realita : tidak terganggu

Axis II. Gangguan kepribadian dan retardasi mental
- Gangguan kepribadian : Tidak ada.
- Tanda-tanda retardasi mental : tidak ada.

Axis III. Kondisi Medis Umum
Tidak ada riwayat kejang, tidak ada riwayat trauma capitis, riwayat
malaria tidak ada, tipus abdominalis tidak ada, serta penyakit lain yang
memerlukan perawatan di rumah sakit tidak ada.

Axis IV. Stressor psikososial dan lingkungan
Permasalahan mengenai kurangnya ekonomi keluarga
Permasalahan perceraian orangtua
Permasalahan mempunyai ayah tiri

Axis V. Penilaian fungsi secara global
1. Hubungan sosial (mengunjungi teman, menghadiri undangan pernikahan,
acara RT), tidak dapat dilakukan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
2. Pekerjaan sehari-hari (bertani, membersihkan rumah) tidak dapat
dilakukan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.
3. Mengisi waktu luang (rekreasi, membaca, menonton TV) tidak dapat
dilakukan sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit.

DIAGNOSIS MULTIPEL AXIS
I. F32.1 Episode Depresif Sedang
II. Tidak ada diagnosis
III. Tidak ada kelainan organik
IV. Masalah berkaitan dengan primary support group dan ekonomi.
V. GAF 70 -61
DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
1. F32.8 Episode depresif lainnya
2. F32.9 Episode depresif YTT
3. F 41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresi

TERAPI
02 3L/menit
IVFD RL 20 ttpm
Ranitidin inj 2x 1 amp
Clobazam 1x 1 amp (k/p)
Minum susu

ANJURAN TERAPI
Amitriptilin 2 x 1 tablet @ 25 mg
Psikoterapi individual dan kelompok
Kontrol poliklinik

PROGNOSIS
Klinis : Dubia ad bonam
Fungsional : Dubia ad bonam
Sosial : Dubia ad bonam








BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kelainan Afektif
Istilah kelainan afektif mencakup penyakit-penyakit dengan gangguan
afek (mood) sebagai gejala primer, sedangkan semua gejala lain bersifat
sekunder. Afek bisa terus menerus depresi atau gembira (dalam mania) dan
kedua episode ini bisa timbul pada orang yang sama, karena itu dinamai
psikosis manik-depresif. Penyakit dengan hanya satu jenis serangan disebut
unipolar, dan jika episode manik dan depresif keduanya ada disebut bipolar
(Ingram dkk, 1993).
Mood merupakan subjetivitas peresapan emosi yang dialami dan dapat
dutarakan oleh pasien dan terpantau oleh orang lain; termasuk sebagai contoh
adalah depresi, elasi dan marah. Kepustakaan lain, mengemukakan mood,
merupakan perasaan, atau nada perasaan hati seseorang, khususnya yang
dihayati secara batiniah (Ismail dkk, 2010).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya (handicap) interpersonal,
sosial dan fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Klasifikasi gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menurut
PPDGJ-III (Depkes RI,1993):
F30 Episode Manik
F30.0 Hipomania
F30.1 Mania tanpa gejala psikotik
F30.8 Mania dengan gejala psikotik
F30.9 Episode Manik YTT

F31 Gangguan Afektif Bipolar
F31.0 Gangguan afektif bipolar, episode hipomanik
F31.1 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik tanpa gejala
psikotik
F31.2 Gangguan afektif bipolar, episode kini manik dengan gejala
psikotik
F31.3 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif ringan atau
sedang
.30 Tanpa gejala somatik
.31 Dengan gejala somatik
F31.4 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat tanpa
gejala psikotik
F31.5 Gangguan afektif bipolar, episode kini depresif berat dengan
gejala psikotik
F31.6 Gangguan afektif bipolar, episode kini campuran
F31.7 Gangguan afektif bipolar, episode kini dalam remisi
F31.8 Gangguan afektif bipolar lainnya
F31.9 Gangguan afektif bipolar ytt
F32 Episode Depresif
F32.0 Episode depresif ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F32.1 Episode depresif sedang
.10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
F32.8 Episode depresif lainnya
F32.9 Episode depresif YTT
F33 Gangguan Depresif Berulang
F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan
.00 Tanpa gejala somatik
.01 Dengan gejala somatik
F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang
10 Tanpa gejala somatik
.11 Dengan gejala somatik
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala
psikotik
F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala
psikotik
F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi
F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya
F33.9 Gangguan depresif berulang YTT
F34 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Menetap
F34.0 Siklotimia
F34.1 Distimia
F34.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap lainnya
F34.9 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) menetap YTT
F38 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) Lainnya
F38.0 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) tunggal lainnya
.00 Episode afektif campuran
F38.1 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) berulang lainnya
.10 Gangguan depresif singkat berulang
F38.8 Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) lainnya YDT
F39 Gangguan Suasana Perasaan (Mood/Afektif) YTT

B. Definisi
Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai
masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode
depresif, gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif
unipolar serta bipolar (Ingram dkk, 1993).
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk
perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi,
anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh
diri (Kaplan dkk, 1992).
Jika gangguan depresif berjalan dalam waktu yang panjang (distimia)
maka orang tersebut dikesankan sebagai pemurung, pemalas, menarik diri
dari pergaulan, karena ia kehilangan minat hampir disemua aspek
kehidupannya (Ingram dkk, 1993).

C. Angka Kejadian
Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi
seumur hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10%
perawatan primer dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah
didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada usia remaja didapatkan prevalensi 5%
dari komunitas memiliki gangguan depresif berat (Ismail dkk, 2010).

1. Jenis Kelamin
Perempuan 2x lipat lebih besar disbanding laki-laki. Diduga adanya
perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan stresor psikososial
antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku yang dipelajari tentang
ketidakberdayaan (Ismail dkk, 2010).
Pada pengamatan yang hampir universal, terdapat prevalensi
gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada wanita dibandingkan
dengan laki-laki (Kaplan, 2010). Pada penelitian lain disebutkan bahwa
wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan laki-laki
(Akhtar, 2007). Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stressor psikososial dan
model perilaku keputusasaan yang dipelajari (Kaplan, 2010).
Pada penelitian yang dilakukan NIMH (2002) ditemukan bahwa
prevalensi yang tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan
dikarenakan adanya ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung
mempengaruhi substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya
dapat dilihat pada situasi PMS (Pre Menstrual Syndrome). Untuk wanita yang
telah menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan
pekerjaan, merawat anak dan orangtua lanjut usia, kekerasan dalam rumah
tangga dan kemiskinan.

2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia
20-50 tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut
usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari 20
tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol dan
penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat
adalah kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset
antara usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset
selama masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat
pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun (Kaplan, 2010). Pada
penelitian lain yang dilakukan oleh Akhtar (2007) didapatkan bahwa tingkat
prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang
terendah pada kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang
didapatkan dari NIMH (2002) menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak
ditemukan pada kelompok usia >18 tahun (10%).

3. Status Perkawinan
Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan
interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah. Wanita
yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk menderita
depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal ini berbanding
terbalik untuk laki-laki (Ismail dkk, 2010).
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada
orang yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang
bercerai atau berpisah (Kaplan, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar
(2007) memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan
pada pasangan yang bercerai atau berpisah.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya
Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan
depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan disbanding
daerah perkotaan (Ismail dkk, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An
Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden
dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi yaitu
sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar (2007) ditemukan tingkat depresi
terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar
(9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan pada
responden dengan kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar (13,4%).
Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan tingkat depresi
pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki korelasi positif
dengan terjadinya gangguan depresif (Kaplan, 2010).

D. Etiologi
Etiologi depresi terdiri dari:
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan
gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan
saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non
genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan
gangguan mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga
menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan
depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar daripada sanak
saudara derajat pertama (Kaplan, 2010; Tomb, 2004).

2. Faktor Biokmia
Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di
dalam metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,
serotonin dan dopamine (Gambar 2.1.4.1). Dalam penelitian lain juga
disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter yang telah disebutkan di atas,
ada beberapa penyebab lain yang dapat mencetuskan timbulnya depresi yaitu
neurotransmitter asam amino khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid)
dan peptida neuroaktif, regulasi neurendokrin dan neuroanatomis (Kaplan,
2010).
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan
terutama oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).

Gambar 2.1 Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi
katekolamin pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui
kadang-kadang menimbulkan depresi lambat (Ingram dkk, 1993).
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi dan
meningkat di saat mereka gembira (Ingram dkk, 1993).

b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-
hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamnya asam 5-hidroksi indolasetat
(5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak
pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi
meningkatkan 5HT otak (Ingram dkk, 1993).

3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan
kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason. Pasien
depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil abnormal ini
didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi
bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam keluarga (Ingram dkk,
1993).
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau
menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal
ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan faktor
penting dalam menentukan etiologi (Ingram dkk, 1993).

4. Faktor Kepribadian Premorbid
Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama
hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata (Ismail dkk, 2010).
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya
dan dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres
besar, mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan
bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka
belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi
masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan
perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan
maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan
mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi
masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita mengapa
masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada anggota keluarga
dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam suasana pesimistik,
dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak biasa, maka anak itu
akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan tinggi terhadap gangguan
depresif (Ismail dkk, 2010).

5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak
peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan
mereka keluar dari lingkungan social. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada
serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak
yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan
populasi lainnya (Ingram dkk, 1993).
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,
pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit
kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan
depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan lingkungan
merupakan campuran yang membuat gangguan depresif muncul (Ismail dkk,
2010).
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa
peristiwa kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului
episode pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya (Kaplan, 2010;
Slotten, 2004). Satu teori yang diajukan untuk menjelaskan pengamatan
tersebut adalah bahwa stress yang menyertai episode pertama menyebabkan
perubahan biologi otak yang bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama
tersebut dapat meyebabkan perubahan keadaan fungsional berbagai
neurotransmitter dan sistem pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari
perubahan tersebut akan menyebabkan seseorang berada pada resiko yang
lebih tinggi untuk menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan
tanpa adanya stresor external (Kaplan, 2010).

E. Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di
bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana
perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energy yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah (Depkes RI, 1993):
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang

Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari
ke hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.
Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan
variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah,
terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan
agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol daripada
depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin juga
terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol berlebih,
perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang sudah ada
sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode depresif dari
ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode lebih
pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat (Depkes RI, 1993).
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan cirri khas yang dipandang secara luas mempunyai
makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah kehilangan
minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat dinikmati, tiadanya
reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang biasanya
menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya,
depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif dari retardasi atau
agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau dilaporkan oleh orang lain),
kehilangan nafsu makan secara mencolok, penurunan berat badan (sering
ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat badan bulan terakhir), kehilangan
libido secara mencolok. Biasanya, sindrom somatik ini hanya dianggapp ada
apabila sekitar empat dari gejala itu pasti dijumpai (Depkes RI, 1993).

F32.0 Episode depresif ringan
Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan
kesenangan, dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala
depresi yang paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah
sekurang-kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan
diagnosis pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya
seluruh episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
(Depkes RI, 1993).
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah
tentang gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa
dan kegiatan social, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama
sekali (Depkes RI, 1993).

F32.1 Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya tiga
(dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil amat
menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada cukup
banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung minimal
sekitar 2 minggu (Depkes RI, 1993).
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga (Depkes RI, 1993).

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik
Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan
ketegangan atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi
merupakan ciri terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak
berguna mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata
terutama pada beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom
somatik hampir selalu ada pada episode dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan
dan sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya,
dan beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala
penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin
tidak mau atau tidak mampu utnuk melaporkan banyak gejalanya secara
terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori
episode berat masih dapat dibenarkan. Episode depresif biasanya seharusnya
berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat
dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan untuk menegakkan
diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan
mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik
Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2
terssebut di atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya
biasanya melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi psikomotor
yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham atau halusinasi
dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan suasana perasaan
(mood).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan
gejala psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori
gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya
Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan
gambaran yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3,
meskipun kesan diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai
depresi. Contohnya termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis
somatik) yang berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan,
keresahan dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan
nyeri atau keletihan menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti
yang kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

F33 Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi
sebagaimana dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat,
tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan yang
memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif (kadang-
kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi). Usia dari
onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode dari depresi,
semuany sangat bervariasi. Umumnya episode pertama terjadi pada usia lebih
tua dibanding dengangangguan bipolar, dengan usia onset rata-rata lima
puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara 3 dan 12 bulan (rata-
rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya lebih jarang.
Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode, namun sebagian
kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama
pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
Episode masing-masing dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali
dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh sters; dalam berbagai
budaya, baik episode tersendiri maupun depresi menetap dua kali lebih
banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif
berulang mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil
baginya akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik,
maka diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.

F. Gambaran Klinik
Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya
energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan
perasaannya sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak
berharga. Emosi pada mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka
cita atau kesedihan yang normal (Ingram dkk, 1993).
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan
energi dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu
makan, berpikir mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk
perubahan dalam tingkat aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi
vegetative (termasuk tidur, aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain).
Gangguan ini hampir selalu menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan
fungsi pekerjaan (Ismail dkk, 2010).
Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain (Ingram
dkk, 1993):
1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang
mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).
2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini
hari dan membaik di siang hari.
3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh
diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.
4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan
dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.
5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan
turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.
7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan
bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.
8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri
sendiri mungkin ditemukan.
9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun
dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.
10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,
amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua
pertiga pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang
dirawat dirumah sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri
mempunyai umur hidup lebih panjang disbanding yang tidak dirawat.
Beberapa pasien depresi terkadang tidak menyadari ia mengalami depresi dan
tidak mengeluh tentang gangguan mood meskipun mereka menarik diri dari
keluarga, teman dan aktifitas yang sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir
semua pasien depresi (97%) mengeluh tentang penurunan energi dimana
mereka mengalami kesulitan menyelesikan tugas, mengalami kendala
disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi untuk terlibat dalam
kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur, khusunya terjaga
dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari karena
memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah
dan menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa
(Depkes RI, 1993).

G. Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk
kepada DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification
of Mental and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan
afektif berupa depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode
depresif berulang, dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode
depresif ringan, sedang, dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi
menjadi episode berulang episode kini ringan, episode kini sedang, episode
kini berat tanpa gejala psikotik, episode kini berat dengan gejala psikotik dan
episode kini dalam remisi.
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat
diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria
diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik
politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang
yang berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama),
tetapi hanya mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini
boleh jadi karena DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu
banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang
sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya
pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan
gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi
penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, biasanya selama
setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti
tidak punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban
penelantaran anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam
badan teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah
sindrom yang berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan
(minor depressive diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan gangguan
disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala tidak
mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif
berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif
memang mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis
gangguan depresif berat tetapi hanya untuk waktu singkat, dengan lama
waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif
berat secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan
dengan depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode
depresif berat.
a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan
penyakit yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk.
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari
gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive terhadap
terapi farmakologi daripada pasien nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan
secara resmi adaah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis yang
menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang spesifik dan
dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur
berlebihan.

H. Diferensial Diagnosis
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang tidak cermat dan teliti pada
penderita depresi, dapat menyebabkan kesalahan diagnostik sehingga
menyebabkan terapi yang inadekuat untuk pasien. Berdasarkan kepustakaan,
ada beberapa kondisi yang harus benar-benar diperhatikan sebagai diagnosa
banding dari depresi (Kaplan, 2010), diantaranya adalah:
1. Remaja yang terdepresi harus diuji untuk mononucleosis,
2. Pasien yang terdapat kelebihan berat badan atau kekurangan berat badan
harus diuji untuk disfungsi adrenal dan tiroid,
3. Homoseksual, biseksual dan pengguna zat aditif harus diuji untuk sindrom
imunodefisiensi sindrom (AIDS),
4. Pasien lanjut usia harus diuji untuk pneumonia virus dan kondisi medis
lainnya,
5. Penyakit Parkinson adalah masalah neurologis yang paling umum
bermanifestasi sebagai gejala depresif,

I. Terapi
Pengobatan pasien dengan gangguan mood harus diamanahkan pada
sejumlah tujuan. Pertama, keamanan pasien harus terjamin. Kedua,
pemeriksaan diagnostik yang lengkap pada pasien harus dilakukan. Ketiga,
suatu rencana pengobatan harus dimulai yang menjawab bukan hanya gejala
sementara tetapi juga kesehatan pasien selanjutnya (Kaplan, 2010).
Dokter harus mengintegrasikan farmakoterapi dengan intervensi
psikoterapeutik. Jika dokter memandang gangguan mood pada dasarnya
berkembang dari masalah psikodinamika, ambivalensi mengenai kegunaan
obat dapat menyebabkan respons yang buruk, ketidakpatuhan, dan
kemungkinan dosis yang tidak adekuat untuk jangka waktu yang singkat.
Sebaliknya, jika dokter mengabaikan kebutuhan psikososial pasien, hasil dari
farmakoterapi mungkin terganggu (NIMH, 2002).

1. Terapi Farmakologis
Antidepresan yang tersedia sekarang cukup bervariasi di dalam efek
farmakologisnya. Variasi tersebut merupakan dasar untuk pengamatan bahwa
pasien individual mungkin berespons terhadap antidepresan lainnya. Variasi
tersebut juga merupakan dasar untuk membedakan efek samping yang terlihat
pada antidepresan (Kaplan, 2010).
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada
proses farmakologis yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki
efek farmakodinamika jangka pendek utamanya pada tempat ambilan kembali
(reuptake sites) atau pada tingkat inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja
untuk menormalkan neurotransmitter yang abnormal di otak khususnya
epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada dopamin. Hal ini
sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan dari
abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak (NIMH, 2002). Obat
antidepresan yang akan dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik
dan MAOIs), antidepresi golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan
ketiga (SRNIs) (Arozal, 2007).
a. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat (Kaplan, 2010).
Golongan trisiklik ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu trisiklik
primer, tetrasiklik amin sekunder (nortriptyline, desipramine) dan tetrasiklik
tersier (imipramine, amitriptlyne). Dari ketiga golongan obat tersebut, yang
paling sering digunakan adalahs tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai
efek samping yang lebih minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih
karena tingkat kepuasan klinisi dikarenakan harganya yang murah karena
sebagian besar golongan dari obat ini tersedia dalam formulasi generik
(Kaplan, 2010).
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier
menghambat reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai
implikasi bahwa depresi akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive
terhadap amin sekunder, sedangkan depresi akibat kekurangan serotonin akan
lebih responsive terhadap amin tersier (Arozal, 2007).

b. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)
MAOIs telah digunakan sebagai antidepresan sejak 15 tahun yang lalu.
Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik (Arozal, 2007). Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai
lini pertama dalam pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi
tubuh. Selain karena dapat menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi
dengan tiramin yang berasal dari makanan-makanan tertentu seperti keju,
anggur dan acar, MAOIs juga dapat menghambat enzim-enzim di hati
terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan mengganggu metabolisme obat
di hati. (Kaplan, 2010).

c. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama
pada gangguan depresif berat seain golongan trisiklik (Kaplan, 2010). Obat
golongan ini mencakup fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering
dipilih oleh klinisi yang pengalamannya mendukung data penelitian bahwa
SSRIs sama manjurnya dengan trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh
tubuh karena mempunyai efek samping yang cukup minimal karena kurang
memperlihatkan pengaruh terhadap sistem kolinergik, adrenergik dan
histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang berbahaya akan terjadi bila
SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan terjadi peningkatan efek
serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom serotonin dengan gejala
hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan tanda vital (Arozal,
2007).

d. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )
Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang
hampir sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga
menghambat dari reuptake norepinefrin (NIMH, 2002).
Selain dari golongan obat yang telah dibahas sebelumnya, masih ada
beberapa alternatif yang digunakan untuk terapi medikamentosa pada pasien
depresi dengan keadaan tertentu. Hal tersebut dapat terlihat lebih jelas pada
gambar di bawah ini (Mann, 2005).


Gambar 2.2 Pilihan obat-obatan antidepresan pada lini pertama
2. Terapi Non Farmakologis
Tiga jenis psikoterapi jangka pendek yang digunakan dalam
pengobatan depresif berat adalah terapi kognitif, terapi interpersonal dan
terapi perilaku (Kaplan, 2010). NIMH (2002) telah menemukan predictor
respons terhadap berbagai pengobatan sebagai berikut ini : (1) disfungsi
sosial yang rendah menyatakan respons yang baik terhadap terapi
interpersonal, (2) disfungsi kognitif yang rendah menyatakan respons yang
baik terhadap terapi kognitif-perilaku dan farmakoterapi, (3) disfungsi kerja
yang tinggi mengarahkan respons yang baik terhadap farmakoterapi, (4)
keparahan depresi yang tinggi menyatakan respons yang baik terhadap terapi
interpersonal dan farmakoterapi.
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang
memusatkan pada distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi
berat. Tujuan terapi ini untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah
rekurennya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan uji kognitif
negatif (Kaplan, 2010).
Terapi interpersonal dikembangkan oleh Gerald Klerman,
memusatkan pada satu atau dua masalah interpersonal pasien yang sedang
dialami sekarang, dengan menggunakan dua anggapan: pertama, masalah
interpersonal sekarang kemungkinan memiliki akar pada hubungan awal yang
disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang kemungkinan terlibat
di dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang (Kaplan,
2010).

J. Prognosis
Gangguan mood cenderung memiliki perjalanan penyakit yang
panjang dan pasien cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif
yang tidak diobati berlangsung 6 sampai 13 bulan, sementara sebagian besar
episode yang diobati berlangsung kira-kira 3 bulan. Menghentikan
antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan kembalinya gejala
(Kaplan, 2010).
Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama.
Banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi indikator prognostik
yang baik dan buruk di dalam perjalanan gangguan depresif berat. Episode
ringan, tidak adanya gejala psikotik, fungsi keluarga yangstabil, tidak adanya
gangguan kepribadian, tinggal dalam waktu singkat di rumah sakit dalam
waktu yang singkat, dan tidak lebih dari satu kali perawatan di rumah sakit
adalah indikator prognostik yang baik. Prognosis buruk dapat meningkat oleh
adanya penyerta gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol dan zat lain,
gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.
(Kaplan, 2010).





















DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan. Direktorat Jenderal Pelayanan Medik. Pedoman
penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta :
Departemen Kesehatan, Direktorat Jendral Pelayanan Medik; 1993
Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III, Jakarta:
PT. Nuh Jaya; 2001
Kaplan, Harold dkk. Sinopsis Psikiatri : Kaplan Sadock. Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 2008
Sadock, Benjamin J dkk. Buku Ajar Psikiatri Klinis: Kaplan and Sadock. Ed 2.
Jakarta: EGC; 2010
American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders. fourth edition (DSM IV). Am. Psy. Ass.hal 675- 687. 1994
FKUI. Buku Ajar Psikiatri.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013

Anda mungkin juga menyukai