Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ
Disusun oleh :
Tiara Zakiah Darajat G4A017086
1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA
Disusun untuk memenuhi salah satu syarat ujian Kepanitraan Klinik di Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa RSUD Prof Margono Soekarjo
Oleh:
Tiara Zakiah Darajat G4A017086
Disetujui
Pada tanggal, November 2019
Penguji
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Menurut DSM-V, amnesia disosiatif didefinisikan sebagai kondisi
ketidakmampuan untuk mengingat informasi otobiografi yang tidak konsisten,
dapat terlokalisasi (misalnya tetang suatu peristiwa atau periode waktu) selektif
(aspek spesifik dan kejadian) general ( identitas dan riwayat hidup)
Pada PPDGJ-III, amnesia disosiatif diartikan sebagai kondisi hilangnya
daya ingat, biasanya mengenai kejadian penting yang baru terjadi, yang bukan
disebabkan oleh gangguan mental organik dan terlalu luas untuk dapat
dijelaskan sebagai kelupaan yang umum terjadi atau sebagai kelelahan.
Davison dan Neale (2008) mengatakan bahwa gangguan amnesia
disosiatif adalah gangguan yang ditandai dengan adanya perubahan perasaan
individu tentang identitas, atau memori. Individu yang mengalami gangguan
ini memperoleh kesulitan untuk mengingat peristiwa-peristiwa penting yang
pernah terjadi pada dirinya, bahkan melupakan identitas dirinya.
2.2 Epidemiologi
Prevalensi amnesia disosiatif (12 bulan) pada orang dewasa AS dalam
studicomunity adalah 1,8% (1,0% untuk laki-laki, 2,6% untuk wanita).
Amnesia disosiatif dianggap lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan
laki – laki dan lebih sering pada dewasa muda dibandingkan dewasa yang lebih
tua tetapi gangguan ini dapat terjadi pada semua usia. Insidennya mungkin
meningkat selama waktu perang dan bencana alam. Kasus amnesia disosiatif
yang terkait lingkungan rumah tangga mungkin jumlahnya konstan. Sebagian
besar kasus ditemukan di ruang gawat darurat rumah sakit, tempat pasien
amnesia dibawa setelah ditemukan dijalan (Sar, 2012).
Pada penelitian yang dilakukan ACE dan CDC ( Centers for Disease
Control) yang dilakukan pada 17.000 orang didapatkan bahwa amnesia
disosiatif lebih banyak didapatkan pada perempuan yaitu sebesar 19%
dibandingkan dengan laki-laki yang hanya sebesar 15%, dan menurut usia
4
didapatkan usia 7-9 tahun 57%, usia 10-12 tahun sebesar 32 tahun, usia 13-15
tahun sebesar 15 %, dan usia 16-18 tahun sebesar 9%. Kejadiannya meningkat
pada laki laki dengan pelecehan seksual sebesar 1,5 kali lipat dan pada
perempuan yang mengalami pelecehan seksual sekitar 2 kali lipat.
Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa pelecehan fisik, seksual atau
keduanya memiliki peran penting terhadap terjadinya amnesia disosiatif yaitu
dari 505 sampel didapatkan 21% pernah mengalami riwayat pelecehan seksual
diantaranya mengalami amnesia total maupun parsial (Sadock, 2017).
5
Gambar 1. Tipe pengalaman anak yang merugikan (Sadock, 2017)
b. Genetik
Belum ada penelitian genetik tentang amnesia disosiatif, beberapa
penelitian disosiatif melaporkan adanya hasil yang signifikan pada genetik
dan factor lingkungan di kedua sampel klinik dan nonklinik. Namun
beberapa pendapat mengatakan bahwa ada keterkaitan antara genetic dan
kejadian amnesia disosiatif. Kejadian amnesia disosiatif meningkat pada
perempuan yang memiliki gen FKBP5, orang orang yang memiliki riwayat
trauma yang juga memiliki gen COMT akan lebih mudah terkena gejala
disosiatif. Gen r263232 yang terletak di gen adenyl cyclase 8 (ADCY8)
pada kromosom 8 juga dicurigai terlibat dalam kejadian amnesia disosiatif
(Sadock, 2017).
6
sebagian kasus, amnesia terjadi sebagian atau menyeluruh, dialami selama
beberapa bulan atau tahun pada saat-saat akhir hidup mereka. (Tomb, 2004).
b. Pengamatan pada remaja
Kapasitas disosiatif dapat berkurang dengan umur, tapi tidak selalu.
Amnesia disosiatif telah diamati pada anak, remaja, dan dewasa. Anak
mungkin menjadi yang paling sulit untuk dievaluasi karena mereka sering
mengalami kesulitan untuk mengerti pertanyaan mengenai amnesia dan
pewawancara mengalami kesulitan untuk memformulasikan pertanyaan
tentang memori dan amnesia. Dalam observasi amnesia disosiatif, sering
sulit membedakan antara kecemasan, perilaku berlawanan, dan gangguan
belajar. Maka, dibutuhkan informasi dari sumber yang berbeda (guru,
terapis, teman sebaya) untu mendiagnosis amnesia pada remaja.
c. Peranan Biologi
Pada kejadian amnesia disosiatif belum dapat dipastikan, asal mula
terjadinya. Namun hal ini dikaitkan erat dengan adanya gangguan pada
daerah hypocampus, amigdala, cingulate posterior, lobus prefrontal, dan
temporal, dimana disini terjadi gangguan dalam fungsi recall dan perbaikan
ingatan yang dibutuhkan setelah terjadinya trauma secara psikologi.
Diperkirakan adanya defisit pada pengodean peristiwa trauma atau
penghambatan dalam pengambilan memori untuk peristiwa peristiwa yang
dianggap sangat tidak menyenangkan oleh orang tersebut.
Dari penelitian PET dan SPECT yang dilakukan pada 15 pasien
dengan amnesia disosiatif juga dikatakan bahwa adanya penurunan tingkat
metabolisme di inferolateral kortek prefrontal sebelah kanan, dan juga
didapatkan adanya penurunan respon di kortek prototemporal sebelah
kanan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Trans J dikatan bahwa ada
disinkronissi atau blok dari proses saraf atau disebut dengan “mnestic block
syndrome” dan juga mengaitkan tentang adanya perubahan pada
neurotransmitter dan hormone spesifik seperti GABA agonis,
glukokortikosteroid, asetilkolin, serta glutamate (Sadock, 2017).
7
d. Psikodinamik
Kejadian amnesia disosiatif juga dikaitkan dengan sebuah respon
manusia terhadap suatu trauma akut ataupun kronik. Dimana terjadi
pertahanan intrapsikis yang mencoba untuk melindungi dan menarik diri
dari pengalaman trauma, sehingga ketika terjadi trauma maka individu akan
cenderung menjauhkan diri dari sumber ancaman tersebut dengan
pengalihan, dan membuat langkah pertahanan dengan menekan emosi dan
mencoba meyakinkan diri bahwa kejadian tersebut tidak terjadi sehingga
dapat dilupakan dan tekanan akibat trauma tersebut dapat berkurang.
8
(Kriteria A). Amnesia disosiatif berbeda dengan amnesia permanen karena
kerusakan neurobiologis atau toksisitas yang mencegah penyimpanan atau
pengambilan memori karena selalu berpotensi reversible karena memori telah
berhasil disimpan.
Berdasarkan Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia III (PPDGJ-III) disebut dengan F44.0 Amnesia Disosiatif.
Pedoman Diagnostik :
Amnesia, baik total maupun parsial, mengenai kejadian baru yang bersifat
stress atau traumatic (aspek ini mungkin tampil hanya apabila ada saksi
lain yang memberikan informasi)
Tidak ada gangguan otak organic, intoksikasi dan kelelahan yang
berlebihan
9
peristiwa-peristiwa dalam periode waktu terbatas. Jadi, individu dapat
mengingat bagian dari peristiwa traumatik, post traumatic atau kejadian
tertentu, tetapi tidak pada bagian lain. Beberapa individu melaporkan,
dirinya menderita baik amnesia terlokalisasi dan amnesia selektif. Dengan
kata lain yang dapat diingat hanyalah kejadian pasti yang berhubungan
dengan kejadian traumatic (Townsend, 2014).
c. Generalized Amnesia
Adalah sebuah sindrom ketika seseorang tidak dapat mengingat
semua hal dalam kehidupannya. penghilangan memori keseluruhan dari
sejarah kehidupan seseorang, dan hal tersebut jarang. Individu dengan
amnesia keseluruhan dapat melupakan identitas pribadi. Beberapa
kehilangan pengetahuan sebelumnya tentang dunia (pengetahuan
semantik) dan tidak dapat melakukan keahlian-keahlian yang telah
dipelajari (pengetahuan prosedural). Amnesia menyeluruh mempunyai
onset akut; membingungkan, disorientasi, dan adanya tingkah laku
berpergian yang tidak bertujuan dari individu dengan amnesia menyeluruh
biasanya membawa mereka pada perhatian polisi atau pelayan psikiater
darurat. Amnesia menyeluruh dapat menjadi lebih banyak ditemui di
antara korban kekerasan seksual dan individu yang memiliki pengalaman
stress emosional yang ekstrim atau konflik (Townsend, 2014).
d. Continuous Amnesia
Mencakup kegagalan untuk mengingat kembali kejadian khusus dan
mencakup waktu saat itu. Sebagai contoh, seorang veteran perang dapat
mengingat masa kanak-kanak dan masa mudanya hingga ia masuk dalam
militer. Namun ia lupa semua hal yang terjadi setelah perjalanan
pertamanya dalam tugas pertempuran. yakni ketidak mampuan mengingat
kejadian-kejadian berikutnya sampai suatu waktu yang spesifik dan
termasuk kejadian-kejadian saat ini. Memorinya tidak kembali setelah
suatu periode waktu yang pendek, seperti pada amnesia lokal. Individu
tersebut benar-benar tidak mampu membentuk memori baru (Townsend,
2014).
10
Gambar 2. Tipe Amnesia Disosiatif (Sadock, 2017)
11
kesulitan dalam daerah atensi, fungsi eksekutif, belajar, dan memori,
melambatnya pemrosesan informasi dan gangguan dalam kognisi sosial.
Terdapat tanda tanda lain dari gangguan susunan saraf, disamping tanda
tanda yang jelas dan konsisten berupa adanya kesadaran yang berkabut,
disorientasi dan taraf kesadaran yang berfluktuasi. Kehilangan ingatan
berupa hal hal baru, tanpa tergantung adanya problem atau peristiwa
traumatik (Depkes, 1998) . Amnesia setelah komosio atau trauma kepala
berat. Biasanya bersifat retrograde atau anterograde pada keadaan yang
parah, tidak dapat diubah dengan hypnosis dan abreaksi (Depkes, 1998)
e. Stupor katatonik. Mutism dalam stupor katatonik dapat menunjukkan
amnesia disosiatif, namun tidak menghadirkan kegagalan untuk mengingat
kembali. Amnesia pasca serangan kejang pada epilepsy dan keadaan strupor
lainnya atau mutisme biasanya pada penderita skizofrenia, atau depresif.
Dapat dibedakan dengan ciri ciri lain dari penyakit yang mendasarinya
(Depkes, 1998).
f. Malingering. Amnesia pura-pura secara umum terjadi dalam individu: 1)
akut, penuh hiasan atau kebohongan dalam amnesia disosiatif; 2)
mengalami masalah finansial, seksual, atau umum; 3) berharap untuk lari
dari keadaan stressful. Kebanyakan individu yang berpura-pura mengakui
secara spontan atau ketika ditekan.
12
Gambar 3. Perbedaan amnesia disosiatif dan amnesia organik (Staniloiu,
2014)
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan untuk gangguan konversi adalah untuk
menghilangkan gejala, untuk memastikan pasien dan orang-orang disekitarnya
aman, dan untuk "menyambungkan kembali" orang tersebut dengan kenangan
yang hilang (CCF, 2016). Hal yang penting dalam treatment mereka adalah
membangun sebuah lingkungan yang aman, jauh dari stressor yang
mengancam yang mungkin dapat membangkitkan disosiasi (Halgin, 2013).
Pengobatan juga bertujuan untuk membantu orang tersebut (CCF, 2016):
13
1. Terapi Kognitif
Terapi kognitif memiliki manfaat spesifik pada orang-orang yang
memiliki trauma. Dengan menggali lebih dalam soal trauma pasien, ingatan
pasien yang hilang dapat muncul kembali. Hal yang harus diperhatikan
adalah dengan seiringnya ingatan yang kembali maka ingatan akan
peristiwa yang traumatik bisa memunculkan keluhan lainnya seperti cemas
dan depresi.
2. Hipnotis
Hipnosis dapat digunakan dalam sejumlah cara berbeda dalam
pengobatan amnesia disosiatif. Secara khusus, hipnotis dapat digunakan
untuk menampung, memodulasi, dan mentitrasi intensitas gejala; untuk
memfasilitasi ingatan terkontrol terhadap ingatan yang terpisah; untuk
memberikan dukungan dan penguatan ego bagi pasien; dan untuk
menyatukan integrasi ingatan yang terpisah. Selain itu, pasien bisa diajari
self-hypnosis untuk menerapkan teknik penahanan dan penenang dalam
kehidupan kesehariannya.
3. Terapi Somatik
Tidak ada farmakoterapi yang diketahui untuk amnesia disosiatif
selain wawancara yang difasilitasi secara farmakologis. Obat-obatan yang
digunakan antara lain golongan sodium amobarbital, thiopental (Pentothal),
benzodiazepin oral, dan amfetamin. Wawancara farmakologis yang
difasilitasi dengan menggunakan amobarbital intravena atau diazepam
(Valium) digunakan terutama dalam bekerja dengan akut amnesia dan
reaksi konversi. Prosedur ini juga kadang-kadang berguna dalam kasus
refrakter amnesia disosiatif kronis saat pasien tidak menanggapi intervensi
lainnya. Ingatan yang muncul saat pasien dalam keadaan memakai obat
harus diproses kembali oleh pasien yang dalam keadaan sadar sepenuhnya.
4. Psikoterapi kelompok
Psikoterapi jangka pendek maupun jangka panjang dilaporkan telah
berhasil memberikan manfaat pada veteran tempur dengan PTSD dan untuk
korban penyiksaan masa kecil. Selama sesi kelompok, pasien dapat
memulihkan ingatan bagi yang mengalami amnesia. Sesama anggota
14
kelompok dan terapis harus memberikan dukungan unuk memberikan hasil
yang signifikan.
Wawancara diberikan sebagai terapi sekaligus untuk menyimpulkan
apakah ada pengalaman yang bersifat traumatik pada diri pasien. Terkadang
dapat dilakukan terapi hipnosis agar pasien memasuki fase relaksasi sehingga
dapat mengingat kembali hal-hal yang dilupakan. Terdapat juga psikoterapi
untuk untuk membantu pasien menyatukan kenangan yang terpisah-pisah
menjadi ingatan yang runtut serta rehabilitasi pasien pada kehidupan sehari-
hari (CCF, 2016)
Penggunaan obat-obatan bius (barbiturat atau benzodiazepin) dan
hipnosis dapat digunakan untuk memulihkan ingatan. Menanyai pasien saat
berada di bawah hipnosis atau dalam keadaan semihypnotic yang disebabkan
obat bisa berhasil. Strategi ini harus dilakukan dengan hati-hati karena keadaan
traumatis yang merangsang kehilangan ingatan kemungkinan akan diingat dan
sangat menjengkelkan. Penanya juga harus secara hati-hati menguraikan
pertanyaan agar tidak memberi kesan adanya suatu kejadian dan risiko
menciptakan memori palsu (Sadock, et al., 2017 ; Spiegel, etc., 2015)
Terapi pilihan gangguan konversi adalah psikoterapi, psikodinamik, dan
ekspresif suportif. Teknik yang paling banyak digunakan adalah psikoterapi
berorientasi tilikan, abreaksi trauma masa lalu, dan integrasi trauma tersebut ke
dalam diri yang menyatu sehingga tidak lagi membutuhkan pemisahan untuk
menghadapi trauma tersebut (Sadock, 2017).
2.9 Komplikasi
15
2. Gangguan seksual
Kondisi ini berkaitan dengan faktor predisposisi gangguan
disosiatif berupa pelecehan seksual yang dialami pasien pada masa
lalu. Trauma yang terjadi bisa memunculkan gangguan orientasi
seksual maupu fungsi seksual pada pasien.
3. Psychogenic non-epileptic seizure
Psychogenic non-epileptic seizure (PNES) merupakan episode
kejang yang menyerupai epilepsi yang berasal dari emosional
dibandingkan organik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh kruijs et
al (2014), pasien dengan PNES menunjukkan adanya peningkatan
pada skor dissosiasi, penurunan kemampuan kognitif, serta
peningkatan kontribusi dari kortex orbitofrontal, insular, dan
subcallosal.
4. Komplikasi lain yang dapat terjadi pada gangguan disosiatif adalah
gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur,
gangguan kecemasan, serta gangguan makan.
2.10 Prognosis
Kemungkinan untuk orang dengan amnesia disosiatif tergantung
pada beberapa faktor, termasuk situasi seseorang hidup, ketersediaan sistem
pendukung, dan respons individu untuk pengobatan. Bagi kebanyakan
orang dengan amnesia disosiatif, memori kembali seiring dengan
berjalannya waktu, membuat kemungkinan secara keseluruhan sangat baik.
Dalam beberapa kasus, terdapat individu yang tidak pernah bisa mengambil
kenangan yang sudah sengaja dikubur (Sharma, 2015). Penghilangan dari
keadaan traumatik yang mendasari amnesia disosiatif dapat membawa
kembali memori secara cepat. Kehilangan memori dari individu yang
mengalami fugue disosiatif yang sedikit sukar. Kembalinya memori,
bagaimanapun, dapat dialami sebagai bentuk flashbacks (APA, 2013).
16
BAB III
KESIMPULAN
17
gangguan saat tidur,mimpi buruk, insomnia atau berjalan sambil tidur,
gangguan kecemasan, serta gangguan makan
18
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, G.C. Neale, J.M. dan Kring, A.M. 2008. Psikologi Abnormal. Edisi ke -
10. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Halgin, R.P & Whitbourne, S.K. 2012. Psikologi Abnormal (Perspektif Klinis Pada
Gangguan Psikologis). Jakarta : Salemba Humanika National Alliance of
Mental Illness (NAMI). (2015). Dissociative Disorder The Connection
Between Sleep And Mental Health. https://www.nami.org/Learn-
More/Mental-Health-Conditions/Dissociative-Disorders. Diakses pada
31/10/2019.
Tomb, David M.D. Buku Saku Psikiatri. Edisi 6. Jakarta; Penerbit Buku
Kedokteran EGC: 2004. h. 52.
Sadock, Benjamin., Sadock, Virginia., Ruiz, Pedro, 2017. Kaplan & Sadock’s
Comprehensive Texbook of Psychiatry-Ten Edition. Page 4777-4827,
4940-4964
19
Sar, V. (2012). Epidemiology of Dissociative Disorders: An Overview.
Epidemiology Research International, vol. 2012, Journal Article ID 404538,
8 pages, 2012
20