Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA

F41.2 GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI

Penguji:
dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp.KJ

Disusun oleh :
Ziyan Bilqis Amran G4A018003

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2019

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT
STASE ILMU KEDOKTERAN JIWA

F41.2 GANGGUAN CAMPURAN ANXIETAS DAN DEPRESI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas


Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Oleh :
Ziyan Bilqis Amran G4A018003

Disetujui
Pada tanggal, November 2019

Penguji,

dr. Tri Rini Budi Setyaningsih, Sp. KJ


NIP. 19570919 198312 2 001

2
I. PENDAHULUAN

Gangguan campuran anxietas dan depresi atau Mixed Anxiety Depression


Disorders (MADD) digunakan ketika adanya gejala axietas dan gejala depresi,
tetapi tidak ada yang jelas dominan, dan jenis gejala yang muncul tidak memenuhi
kriteria gangguan axietas (WHO, 1992). Diperkirakan sekitar 85% pasien dengan
depresi juga mengalami gejala cemas, demikian pula sebanyak 90% pasien cemas
mengalami gejala depresi (Moller, 2016).
Dalam DSM-V, diagnosis gangguan campuran anxietas dan depresi tidak
diterima (American Psyhiatric Association, 2013). Meskipun harus diupayakan
untuk menetapkan sindrom yang predominan, masih juga dijumpai kasus
campuran depresi dan anxietas yang sulit untuk dipaksakan dalam salah satu
golongan tertentu. Untuk keadaan ini masih disediakan kategori khusus yakni
gangguan campuran anxietas dan depresi (F41.2) (Depkes, 1993).
Dalam referat ini, akan dibahas mengenai gangguan campuran anxietas
dan depresi, yakni mencakup definisi, epidemiologi, etiologi, faktor resiko,
gambaran klinis, diagnosis banding, penegakan diagnosis, penatalaksanaan, serta
prognosisnya.

3
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Gangguan campuran anxietas dan depresi merupakan kombinasi gejala
cemas dan gejala depresi bersamaan, tetapi tidak ada yang jelas dominan, dan
jenis gejala yang muncul tidak sampai memenuhi untuk diagnosis terpisah
(WHO, 1992).
B. Epidemiologi
Diperkirakan sekitar 85% pasien dengan depresi juga mengalami gejala
cemas, demikian pula sebanyak 90% pasien cemas mengalami gejala depresi.
Komorbid anxietas dan depresi bisa terjadi pada usia berapa pun, sejak usia
anak hingga lansia (Moller, 2016).
Sebuah penelitian mengenai gangguan cemas menyebutkan bahwa
diagnosis yang paling sering terjadi adalah gangguan cemas menyeluruh
(35,7%), selanjutnya fobia sosial (12,3%), diikuti gangguan campuran
anxietas dan depresi 11,5% (Predescu, 2018).
C. Etiologi
Etiologi dari gangguan anxietas dalam Sadock (2015) adalah sebagai
berikut:
1. Peranan Psikologi
a. Teori Psikoanalitik
Anxietas merupakan sinyal dari alam bawah sadar tentang
adanya bahaya. Untuk menanggapi keadaan bahaya ini, muncul ego
yang digunakan sebagai mekanisme pertahanan untuk mencegah
pikiran dan perasaan yang tidak diterima muncul ke realita. Dari
sudut pandang psikodinamik, tujuan terapi adalah bukan untuk
menghilangan anxietas tersebut, melainkan untuk meningkatkan
toleransi terhadap anxietas.
b. Teori Perilaku
Anxietas merupakan respon dari rangsangan lingkungan tertentu.
Contohnya, seorang anak perempuan merasa cemas karena melihat

4
ayahnya berbuat kasar. Contoh lainnya adalah seorang anak
mengembangkan kecemasan dari meniru lingkungannya, seperti dari
orangtua yang cemas.
c. Teori Eksistensial
Teori ini menunjukkan bahwa anxietas adalah respon seseorang
terhadap kekosongan (keberadaan atau makna).
2. Teori Biologi
a. Sistem saraf otonom
Stimulasi dari sistem saraf otonom mengakibatkan beberapa
gejala, yaitu gejala kardiovaskular (takikardi), muskular (nyeri
kepala), gastrointestinal (diare), dan pernafasan (takipneu).
b. Neurotransmitter
Terdapat 3 neurotrasmitter utama yang mempengaruhi gangguan
anxietas, yaitu norepinefrin, serotonin, dan GABA. Individu dengan
gangguan anxietas memiliki memiliki regulasi sistem noradrenegrik
yang lemah. Badan sel (soma) noradrenergik terletak di rostral pons,
yang kemudian memproyeksikan axon-axonnya ke korteks serebri,
sistem limbik, dan korda spinalis.
Reseptor serotonin didentifikasi memiliki peran dalam
patogenesis gangguan anxietas. Meningkatnya serotonin di korteks
prefrontal, nuckleus accumbes, amygdala, dan hipotalamus lateral
mempengaruhi munculnya gangguan anxietas. Badan sel neuron
serotonergik terletak di nukelus raphe (di rostral pons) dan
diproyeksikan ke korteks serebri, sistem limbik (amygdala, dan
hipokampus), dan hipotalamus.
GABA (Gamma Aminobutyric Acid) merupakan inhibitor
neurotransmitter. Hipotesis mengatakan pasien dengan gangguan
anxietas mengalami fungsi abnormal dari reseptor GABA mereka.
GABA berperan dalam mengatasi gangguan anxietas dengan cara
berikatan dengan reseptor benzodiazepin.

5
c. Studi Genetik
Studi genetik pada pria dan wanita menyebutkan adanya faktor
genetik yang sama pada gangguan cemas menyeluruh dengan depresi
berat. Korelasi genetik ini menunjukkan bahwa gen yang
mempengaruhi gangguan depresif juga mempengaruhi gangguan
anxietas, begitupun sebaliknya (Kendler, et al., 1992). Variasi
genetik antara anxietas dan depresi dilihat dari gen HADS-A dan
HADS-D. Estimasi heritabilitas yang diperoleh dalam penelitian
tersebut adalah 0,30 untuk HADS-S dan 0,32 untuk HDS-A. dalam
literatur, perkiraan heritablitias untuk rentang depresi mulai dari 0,17
- 0,78, dan unutk kecemasan mulai dari 0,25 - 0,60. Dengan
demikian, terdapat bukti kuat adanya overlap genetika antara
gangguan anxietas dan gangguan depresif (Taporoski, et al., 2015).
D. Faktor Resiko
Berikut adalah etiologi dan faktor resiko terjadinya ganguan anxietas
(Sadock, 2009):
1. Jenis kelamin
Perempuan memiliki angka yang lebih besar dibanding laki-laki pada
semua subtipe gangguan cemas. Perempuan dua kali lipat lebih besar
memiliki gangguan panik, gangguan cemas menyeluruh, agorafobia, dan
fobia spesifik, dibandingkan laki-laki.
2. Usia
Onset gangguan anxietas biasanya terjadi pada masa kanak-kanak
atau masa dewasa. Terdapat perbedaan periode onset dari bermacam
subtipe gangguan anxietas: gangguan anxietas sosial terjadi pada remaja
awal, agorafobia dan ganguan panik terjadi pada remaja akhir sampai
dewasa muda, gangguan cemas menyeluruh terjadi pada dewasa muda.
3. Sosial ekonomi dan etnis
Tingkat gangguan anxietas pada umumnya lebih besar pada status
sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Beberapa penelitian

6
menunjukkan tingkat gangguan kecemasan yang lebih besar terutama
gangguan anxietas fobik pada ras Afrika Amerika.
4. Riwayat keluarga dan faktor genetik
Keluarga berkaitan laju pernafasan. Peningkatan gangguan
kecemasan ditemukan pada individu dengan orangtua yang juga memiliki
gangguan kecemasan dengan semua subtipe gangguan anxietas.
Kecemasan bisa diwariskan meliputi gejala somatik contohnya nadi dan
laju pernapasan.
5. Penyakit medis
Terdapat kaitan antara ganguan anxietas dengan kondisi medis
seperti penyakit pernafasan, kardiovaskular, pencernaan, muskuloskletal,
dan metabolik. Pada orang dewasa, penyakit kardiovaskular merupakan
faktor resiko dari gangguan cemas meneyeluruh dan gangguan panik.
Sedangkan penyakit asma berkaitan dengan gangguan cemas di usia
kanak dan remaja.
6. Kepribadian
Ciri kepribadian neurotisme berkaitan dengan gangguan kecemasan.
Seseorang yang rentan cemas mengalami hambatan perilaku. Hambatan
perilaku ditandai dengan meningkatnya reaksi terhadap rangsangan baru
atau situasi yang menantang, contohnya pingsan atau serangan jantung.
7. Paparan
Pengalaman hidup ditetapkan sebagai kausa awal dari fobia.
Peristiwa hidup yang cenderung memicu masalah di masa depan
diprediksi menimbulkan gangguan anxietas. Pengalaman hidup seperti itu
juga memicu tekanan secara langsung (misalnya perceraian atau
kematian orangtua) akan lebih luas memicu teradinya gangguan anxietas.

E. Patopsikologi
Umpan balik Kortiko-striato-thalamo-cortical (CSTC) berkaitan dengan
timbulnya kecemasan, ekspektasi, pemikiran bencana, dan obsesi. Ahli
mengatakan umpan balik CSTC yang sama juga mengatur perenungan dan

7
delusi. Beberapa neurotransmitter yang memodulasi sirkuit ini adalah
serotonin, GABA, dopamin, norepinefrin, glutamat, dan kanal ion
voltage-gated (Stahl, 2013).
F. Penegakan diagnosis
Berikut adalah penegakan diagnosis gangguan campuran anxietas dan
depresi menurut beberapa sumber:
1. PPDGJ-III
Pedoman diagnostik dalam PPDGJ-III (Depkes, 1993), sebagai
berikut:
a) Terdapat gejala-gejala anxietas maupun depresi, dimana
masing-masing tidak menunjukkan rangkaian gejala yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis tersendiri. Untuk anxietas,
beberapa gejala otonomik, harus ditemukan walaupun hasus tidak
terus menerus, disamping rasa cemas atau kekhawatiran berlebihan.
b) Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang lebih
ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas
lainnya atau gangguan anxietas fobik.
c) Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup berat untuk
menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis tersebut harus
dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat
digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu
diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
d) Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan
yang jelas maka harus digunakan kategori F43.2 gangguan
penyesuaian.

2. ICD-10
Gangguan campuran anxietas dan depresi menurut Diagnostic
Guidelines for ICD-10 in primary care WHO (1996) dalam Moller (2016)
memiliki kriteria diagnosis sebagai berikut:
a. Keluhan Utama

8
 Pasien datang dengan keluhan variasi gejala anxietas dan gejala
depresi
 Awalnya terdapat 1 atau lebih gejala fisik (kelelahan, nyeri).
Penyelidikan lebih lanjut akan mengungkap perasaan cemas dan
atau depresi
b. Gambaran Klinis
 Mood sedih
 Hilangnya minat dan kegembiraan
 Menonjolnya anxietas atau khawatir
 Gejala berikut ini sering muncul : tidur terganggu, tremor,
fatigue atau hilang energi,palpitasi, konsentrasi lemah, pusing,
menurunnya nafsu makan, gagasan atau tindakan bunuh diri,
mulut kering, hilangnya libido, ketegangan, dan kegelisahan.
c. Diagnosis Banding
 Jika kedua gejala depresi dan gejala anxietas cukup berat, maka
lihat panduan untuk depresi (F32) dan gangguan cemas
menyeluruh (F41).
 Jika gejala somatik predominan, maka lihat gejala somatisasi
(F45).
 Jika pasien memiliki riwayat episode manik (gembira, mood
elasi, bicara cepat) maka lihat gangguan afektif bipolar (F31).
 Jika terdapat penggunaan alkohol atau zar, maka lihat gangguan
penggunaan alkohol (F10) dan gangguan penggunaan zat (F11).

3. DSM-IV
Berikut adalah kriteria penelitian gangguan campuran anxietas dan
depresi dalam DSM-IV (1994) dalam Moller (2016):
a. Mood disforik persisten atau rekuren sekurang-kurangnya 1 bulan
b. Mood disforik terjadi sekurang-kurangnya 1 bulan disertai 4 gejala di
bawah ini:
 Sulit konsentrasi atau pikiran kosong

9
 Gangguan tidur (sulit memulai tidur, atau tidur tidak
memuaskan)
 Kelelahan atau sediktinya energi
 Iritabel
 Khawatir
 Mudah menitikkan airmata
 Waspada berlebihan
 Antisipasi hal buruk
 Keputusasaan
 Perasaan harga diri rendah atau tidak berharga
c. Gejala di atas menyebabkan hendaya sosial, okupasi, dan bidang
penting lainnya
d. Gejala di atas bukan merupakan efek langsung dari zat atau kondisi
medis
e. Tidak memenuhi kriteria gangguan depresi mayor, gangguan
distimia, gangguan panik, atau gangguan cemas menyeluruh
f. Tidak memenuhi kriteria gangguan anxietas lainnya atau gangguan
mood
g. Gejala tidak memenuhi ganguan mental lainnya.

4. DSM-V
Ketika DSM-V sedang dikembangkan, workgroup gangguan mood
mengajukan kembali untuk memasukkan gangguancampuran anxietas
dan depresi (MADD) menjadi kategori yang disahkan. Kriteria yang
diajukan tersebut berbeda dengan kriteria penelitian dalam DSM-IV.
Tidak ada data empiris dari studi mana kriteria baru ini pernah diterapkan.
Oleh karena itu MADD tidak dimasukkan ke dalam DSM-IV 2013
(Moller, 2016).
Berikut adalah kriteria yang diajukan pada DSM-V:
1) Pasien memiliki tiga atau empat gejala berikut selama minimal 2
minggu, salah satunya harus (a) atau (b):

10
(a) Suasana hati yang tertekan hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari, seperti ditunjukkan oleh laporan subjektif (mis.,
merasa sedih atau kosong) atau pengamatan yang dilakukan
oleh orang lain (mis., tampak menangis)
(b) Minat atau kesenangan yang sangat berkurang dalam semua,
atau hampir semua, kegiatan hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari
(c) Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau
tidak pantas (yang mungkin khayalan) hampir setiap hari (tidak
hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa bersalah karena sakit).
(d) Berkurangnya kemampuan berpikir atau berkonsentrasi, atau
keragu-raguan, hampir setiap hari (baik subjektif atau seperti
yang diamati oleh orang lain)
(e) Penurunan berat badan yang signifikan saat tidak diet atau
kenaikan berat badan (mis., perubahan lebih dari 5% dari berat
badan dalam 1 bulan), atau penurunan atau peningkatan nafsu
makan hampir setiap hari
(f) Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari (diamati
oleh orang lain, bukan perasaan semata-mata subjektif dari
kegelisahan atau sedang melambat)
(g) Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap hari
(h) Insomnia atau hypersomnia hampir setiap hari
2) Gejala pada (1) disertai oleh dua (atau lebih) dari gejala-gejala
kecemasan gelisah berikut ini, juga berlangsung setidaknya 2
minggu:
(a) Kecemasan yang irasional
(b) Terganggu dengan kecemasan yang tidak menyenangkan
(c) Ketegangan motorik
(d) Kesulitan relaksasi
(e) Ketakutan akan terjadinya suatu hal yang buruk

11
3) Tidak termasuk dalam diagnosis DSM lain tentang kecemasan dan
depresi
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding gangguan campuran anxietas dan depresi dalam
PPDGJ-III adalah sebagai berikut (Depkes,1993):
1. Gangguan anxietas fobik
Gangguan anxietas fobik merupakan anxietas yang dicetuskan oleh
adanya situasi atau objek yang jelas, tertentu (dari luar individu itu
sendiri), yang sebenarnya tidak membahayakan. Anxietas fobik
seringkali berbarengan (coesxist) dengan depresi. Suatu episode depresif
seringkali memperburuk keadaan anxietas fobik yang sudah ada
sebelumnya. Beberapa episode depresif dapat disertai anxietas fobik yang
temporer, sebaliknya afek depresif seringkali menyertai berbagai fobia,
khususnya agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung dari mana yang
jelas-jelas timbul lebih dahulu dan mana yang kebih dominan pada saat
pemeriksaan. Bila ditemukan anxietas berat disertai depresi yang
lebih ringan, maka harus dipertimbangkan kategori gangguan anxietas
lainnya atau gangguan anxietas fobik.
2. Gangguan depresif
Individu dengan episode depresif (F32) biasanya menderita suasana
mood yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
dan berkurangnya aktivitas. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan,
dan agitas motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol
daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin
juga terselubung oleh ciri tambahan sepert iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik.
Bila ditemukan sindrom depresi dan anxietas yang cukup
berat untuk menegakkan diagnosis maka kedua diagnosis tersebut
harus dikemukakan, dan diagnosis gangguan campuran tidak dapat

12
digunakan. Jika karena sesuatu hal hanya dapat dikemukakan satu
diagnosis maka gangguan depresif harus diutamakan.
3. Gangguan penyesuaian
Bila gejala-gejala tersebut berkaitan erat dengan stres kehidupan
yang jelas maka harus digunakan kategori gangguan penyesuaian (F43.2).
Manifestasi dari gangguan penyesuaian bervariasi, dan mencakup afek
depresif, anxietas, dampuran anxietas dan depresif, gangguan tingkah
laku, disertai adanya disabilitas dalam kegiatan rutin sehari-hari. Tidak
ada satupun dari gejala tersebut yang spesifik untuk mendukung
diagnosis. Onset terjadi dalam 4 bulan setelah kejadian yang stressfull,
dan gejalanya biasanya tidak bertahan melebihi 6 bulan.
H. Terapi
1. Farmakologi
Anxietas dan depresi saling berkaitan selain dari gejalanya, juga
sirkuit dan neurotransmitternya. Maka tidak mengherankan obat
antidepresan kini dikembangkan juga sebagai antianxietas. Antidepresan
dapat meningkatkan output serotonin dengan menghalangi transpoter
serotonin (SERT) sehingga efektif mengurangi gejala anxietas. Agen
tersebut dikenal dengan SSRI.
a. SSRI (selective serotonin reuptake inhibitor)
Semua jenis SSRI memiliki mekanisme kerja yang sama yaitu
menginhibisi secara seletif dan poten re-uptake serotonin, atau sering
disebut menginhibisi serotonin transporter (SERT). Lokasi kerja
SSRI adalah di axon terminal presinaptik dan di somatodendritik
neuron.
Pada pasien depresi, neuron serotonin mengalami defisiensi
relatif serotonin. Ketika diberikan SSRI, maka SERT presinaptik
dihambat oleh SSRI, namun hasilnya tidak langsung meningkatkan
jumlah serotonin di sinaps, melainkan meningkatkan serotonin di
area somatodendritik, dan sedikit serotonin di axon terminal. Karena
bertambahnya serotonin di area somatodendritik, maka autoreseptor

13
serotonin di somatodendritik melakukan downregulasi lalu
desensitisasi. Setelah reseptor serotonin somatodendritik
desensitisasi, aliran impuls di neuron seotonin tidak lagi dihambat.
Aliran impuls kini menyala. Akibatnya adalah pelepasan serotonin
dari axon terminal. Namun pelepasan dari akson terminal ini tertunda
karena meningkatnya serotonin di somatodendritik. Untuk itu
dibutuhkan waktu untuk somatodendritik mengatur downregulasi
autoreseptor serotonin dan mengaktifkan impuls di neuron.
Penundaan inilah yang menjadi alasan mengapa antidepresan
efeknya tidak segera (Stahls, 2013).
Contoh SSRI adalah fluoxetin, sertraline, citalopram, dan
lain-lain (Sadock, 2009). Dosis yang diberikan Fluoxetin 20-40
mg/hari, Sertralin 50-100mg/hari, Citalopram 20-60mg/hari (Maslim,
2007).
b. Benzodiazepin
Obat golongan benzodiazepin berkitan erat dengan
neutotransmitter GABA. GABA merupakan neurotransmitter yang
terlibat dalam anxietas dan obat anxiolitik. GABA berperan penting
dalam mengurangi aktivitas neuron yang berlebihan di amigdala dan
di loop kortiko-striato-thalamo-kortiko (CSTC). Benzodiazepin
bertindak meningkatkan peran GABA di tingkat amigdala dan
korteks prefrontal dalam loop CSTC, dengan hasil akhir
meringankan gejala anxietas (Stahl, 2013).
Pada anxietas,
Obat yang termasuk golongan benzodiazepin adalah diazepam,
chlordiazepoxide, lorazepam, clobazam, dan alprazolam. Dosisnya
adalah diazepam oral 2-3 x 2-5 mg/hari, Lorazepam 2-3x 1 mg/hari,
Alprazolam 3 x 0,25 - 0,5 mg/hari. (Maslim, 2007).
2. Psikoterapi
a. Terapi Kognitif-perilaku

14
Teori k ognitif perilaku pada dasarnya meyakini bahwa pola
pemikiran manusia terbentuk melalui proses rangkaian
stimulus-kognisi-respon, dimana proses kognisi akan menjadi
faktor penentu dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir,
merasa dan bertindak. Tujuan terapi kognitif perilaku ini adalah
untuk mengajak pasien menentang pikiran (dan emosi) yang salah
dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan dengan
keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Teknik utama
yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan
biofeedback (Maslim, 2007).
b. Terapi Suportif
Pasien diberikan kenyamanan, digali potensi-potensi yang ada
dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi
optimal dalam fungsi sosial dan pekerjaannya (Maslim, 2007).
c. Paikoterapi Berorientasi Tilikan
Terapi ini mengajak pasien ini untuk mencapai penyingkapan
konflik bawah sadar, menilik egostrength, relasi objek, serta
keutuhan self pasien. Dari pemahaman tersebut, terapis dapat
memperkirakan sejauh mana pasien dapat diubah untuk menjadi
lebih matur. Bila tidak tercapai, minimal memfasilitasi agar pasien
dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan pekerjaannya (Maslim,
2007).
I. Prognosis
Dalam menentukan prognosis dari gangguan cemas perlu diingat
bahwa banyak segi yang harus dipertimbangkan. Ditinjau dari kepribadian
premorbid, jika penderita sebelumnya menunjukkan banyak menemui
kesulitan dalam pergaulan, kurang percaya diri, dan mempunyai sifat
tergantung pada orang lain aka prognosis banyak buruk. Semakin matang
kepribadian premorbidnya, maka prognosis gangguan cemas juga semakin
baik. Semakin pasien merasa nyaman dan cocok dengan situasinya, maka
hasilnya akan lebih baik dan akan mempengaruhi prognosisnya.

15
Pengobatan sebaiknya dilakukan sebelum gejala-gejala menjadi alat
untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan sampingan misalnya untuk
mendapatkan simpati, perhatian, uang, dan peringanan daritanggung
jawabnya.
Jika stres yang menjadi penyebab timbulnya gangguan cemas relatif
ringan, maka prognosis akan lebih baik. Sikap yang mengejek akan
memperberat penyakitnya, sedangkan sikap yang membangun akan
meringankan penderita. Demikian juga peristiwa atau masalah yang
menimpa penderita misalnya kehilangan orang yang dicintai, rumah tangga
yang kacau, kemunduran finansial yang besar akan memperjelek
prognosisnya.

16
III. KESIMPULAN

1. Gangguan anxietas merupakan keadaan psikiatri yang paling sering


ditemukan di seluruh dunia. Gejala anxietas lazim terjadi bersamaan dengan
gejala gangguan depresi.
2. Seringkali dijumpai kasus campuran depresi dan anxietas yang sulit untuk
dipaksakan dalam salah satu golongan tertentu sehingga disediakan kategori
khusus yakni gangguan campuran anxietas dan depresi.
3. Gangguan campuran anxietas dan depresi digunakan ketika gejala cemas dan
depresi sama-sama ada, tetapi tidak ada yang jelas dominan, dan jenis gejala
yang muncul tidak sampai batas yang membenarkan diagnosis terpisah.
4. Diagnosis banding gangguan campuran anxietas dan depresi adalah gangguan
anxietas fobik, gangguan depresi, gangguan penysuaian.
5. Terapi farmakologi gangguan anxietas dan depresi adalah dengan obat
golongan SSRI dan golongan benzodiazepin
6. Terapi psikoterapi berupa terapi kognitif-perilaku, terapi suportif, dan
psikoterapi berorientasi tilikan.
7. Prognosis gangguan campuran anxietas dan depresi berdasarkan pada
kepribadian, kematangan, pengibatan, suasana engobatan, dan faktor stres.

17
DAFTAR PUSTAKA

American Psyhiatric Association. 2013. Diagnostic and Statisical Manual if


Mental Disorder. Washington DC: American Psychiatric Publisher.
Depkes. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III . Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Maslim, Rusdi. 2 0 0 7 . Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik
Edisi Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Moller H. J., B. Bandelow, H.P. Vols. 2016. The Relvantce of Mixed Anxiety and
Depression as a Diagnostic Category in Clinical Practice. European Arch
Psychiatry Clinical Neuroscience. 266(8):725-736.
Sadock, B.J., dan V.A. Sadock. 2015. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatri:
Behavioral Science Clinical Psychiatry. Edisi 11. New york : Lippincot
William & Wilkins.
Sadock, B.J., dan V.A. Sadock. 2009. Kaplan & Sadock’s Comprehensive
Textbook of Psychiatry. Edisi 10. Volume 1. New York: Wolter Kluwer.
Stahl, Stephen. 2013. Stahl’s Essential Psychopharmacology Fourth Edition. New
York: Cambridge University Press.
Pradescu, E., A. B Asztalos, R. Sipos. 2018. Prevalence anf Treatment of Anxiety
Disorders Comorbidities in a Clinical Romanian Sample of Children and
Adoscents with Psychiatric Disorders. Interch Open : 1-17.
Taporoski, et al., 2015. Shared Genetic Factors of Anxiety and Depression
Symptomps in Brazillian Family Based Cohort, the bAependi Heart Study.
Plus One. 10(12): 1-10.
WHO. 1992. The ICD-10 Classification of Mental and Behavioral Disorders.
Geneva: WHO Library.

18

Anda mungkin juga menyukai