Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

ILMU KESEHATAN JIWA

KEGAWATAN PSIKIATRI:
SERANGAN PANIK (PANIC ATTACK)

OLEH :
Ika Nurfitria Tauhida
H1A 008 011
PEMBIMBING :
dr. Hj. Elly Rosilla Wijaya, Sp.KJ, MM

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RUMAH SAKIT JIWA MUTIARA SUKMA PROVINSI NTB
TAHUN 2014

KEGAWATAN PSIKIATRI:
SERANGAN PANIK (PANIC ATTACK)
a. Definisi
Serangan panik adalah lonjakan tiba-tiba dari ketakutan intens atau ketidaknyamanan
intens yang mencapai puncaknya dalam menit, disertai dengan gejala-gejala fisik dan/atau
kognitif. Serangan panik gejala-terbatas meliputi kurang dari empat gejala. Serangan panik

dapat diduga, seperti pada respon terhadap ketakutan akan suatu objek atau situasi yang khas,
atau yang tidak diduga, yang berarti bahwa serangan panik muncul tanpa alasan yang jelas.
Serangan panik berfungsi sebagai penanda dan faktor prognostik untuk keparahan diagnosis,
perjalanan, dan komorbiditas penyakit, termasuk, tapi tidak terbatas pada, gangguan cemas.
Serangan panik muncul secara menonjol dalam gangguan cemas sebagai tipe khusus dari
respon takut. Serangan panik tidak terbatas pada gangguan cemas tapi sebenarnya dapat
ditemukan pada gangguan jiwa lainnya juga (sebagai contoh, penggunaan zat, gangguan
depresif dan psikotik). Sehingga serangan panik dapat digunakan sebagai penyerta spesifik
pada gangguan cemas serta gangguan jiwa lainnya.1
b. Epidemiologi
Pada populasi umum, estimasi prevalensi 12-bulan serangan panik di United States
yaitu 11,2 % pada dewasa. Estimasi prevalensi 12-bulan tidak muncul untuk membedakan
secara signifikan di antara orang Amerika Afrika, Amerika Asia, dan Latin. Estimasi
prevalensi 12-bulan untuk negara-negara Eropa muncul dalam rentang 2,7% sampai 3,3 %.
Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki, walaupun perbedaan jenis kelamin ini
lebih menonjol pada gangguan panik. Serangan panik dapat terjadi pada anak-anak tetapi
relatif jarang sampai usia pubertas, ketika angka prevalensinya meningkat. Angka prevalensi
menurun pada individu yang lebih tua, kemungkinan menggambarkan hilangnya derajat
keparahan subklinis.1
Usia rata-rata saat onset serangan panik di United States yaitu rata-rata 22-23 tahun
di antara orang dewasa. Walaupun demikian, perjalanan serangan panik cenderung
dipengaruhi oleh perjalanan setiap gangguan-gangguan jiwa yang muncul bersamaan dan
peristiwa hidup yang penuh stres. Serangan panik tidak umum terjadi, dan serangan panik
yang tidak diduga jarang, pada anak-anak pra remaja. Para remaja mungkin kurang mau
terbuka untuk berdiskusi mengenai serangan panik dibandingkan orang dewasa, walaupun
mereka mengalami episode ketakutan atau ketidaknyamanan intens. Prevalensi serangan
panik yang lebih rendah pada individu yang lebih tua mungkin berkaitan dengan respon
otonom yang relatif lebih lemah terhadap keadaan emosional dibandingkan individu yang
lebih muda. Individu-individu yang lebih tua mungkin kurang cenderung menggunakan kata
takut dan lebih cenderung menggunakan kata tidak nyaman untuk menggambarkan
serangan panik. Individu-individu yang lebih tua dengan perasaan panik mungkin
mengalami campuran dari serangan gejala-terbatas dan cemas menyeluruh. Sebagai
tambahan, individu-individu yang lebih tua cenderung untuk menghubungkan serangan panik
1

dengan situasi tertentu yang penuh stres (sebagai contoh, prosedur medis, tatanan sosial) dan
mungkin secara retrospektif mengakui penjelasan mengenai serangan panik bahkan jika tidak
diduga pada saat itu. Hal ini dapat menyebabkan dukungan terhadap serangan panik yang
tidak diduga pada individu yang lebih tua.1
c. Komorbiditas
Serangan panik yang berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan berbagai
komorbid gangguan jiwa, termasuk gangguan cemas, gangguan depresif, gangguan bipolar,
gangguan pengendalian-impuls, dan gangguan penggunaan zat. Serangan panik berhubungan
dengan meningkatnya kemungkinan perkembangan gangguan cemas, gangguan depresif,
gangguan bipolar dan mungkin gangguan lainnya di kemudian hari.1
d. Faktor Risiko dan Prognostik
Emosional. Afektivitas negatif (neuroticsm) (sebagai contoh, rawan untuk mengalami
emosi negatif) dan sensitivitas cemas (sebagai contoh, watak untuk percaya bahwa
gejala-gejala cemas berbahaya) merupakan faktor risiko untuk onset serangan panik.
Riwayat ucapan ketakutan (sebagai contoh, serangan gejala-terbatas yang tidak
memenuhi kriteria untuk serangan panik) mungkin menjadi faktor risiko untuk
serangan panik di kemudian hari.1
Lingkungan. Merokok merupakan faktor risiko untuk serangan panik. Sebagian besar
individu melaporkan stresor yang teridentifikasi dalam bulanan sebelum serangan
panik pertama mereka (sebagai contoh, stresor interpersonal dan stresor.1

e. Etiologi dan Patofisiologi


Faktor Biologis
Penelitian mengenai dasar biologis dari gangguan panik telah menghasilkan
rentang temuan-temuan; salah satu interpretasinya yaitu bahwa gejala-gejala dari
gangguan panik berkaitan dengan rentang kelainan biologis dalam struktur dan fungsi
otak. Sebagian besar penelitian telah menggunakan stimulan biologis yang menginduksi
serangan panik pada pasien-pasien dengan gangguan panik. Bukti utama mengindikasikan
bahwa regulasi yang tidak normal dari sistem noradrenergik otak juga terlibat dalam
2

patofisiologi gangguan panik. Penelitian ini dan lainnya telah menghasilkan hipotesis
yang berimplikasi baik pada disregulasi sistem saraf perifer dan pusat (SSP) dalam
patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonom pada beberapa pasien dengan
gangguan panik telah dilaporkan muncul dengan peningkatan tonus simpatis, untuk
beradaptasi secara perlahan terhadap stimulus yang berulang, dan untuk berespon secara
berlebihan terhadap stimulus sedang. Penelitian mengenai status neuroendokrin pada
pasien-pasien ini telah menunjukkan beberapa kelainan, walaupun penelitian-penelitian
ini tidak konsisten terhadap temuan-temuannya.2
Sistem neurotransmiter utama yang telah terlibat yaitu norepinefrin, serotonin, dan
-aminobutyric acid (GABA). Disfungsi serotonergik merupakan bukti yang cukup dalam
gangguan panik dan berbagai penelitian dengan obat-obat agonis-antagonis serotonin
campuran telah ditunjukkan meningkatkan angka kecemasan. Respon seperti ini mungkin
disebabkan oleh hipersensitivitas serotonin post sinaps pada gangguan panik. Bukti
praklinik menunjukkan bahwa meredupnya transmisi inhibitor GABAergik lokal pada
amigdala basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat menimbulkan respon fisiologis
menyerupai kecemasan. Data biologis telah mengarahkan fokus pada otak tengah
(khususnya neuron noradrenergik pada lokus ceruleus dan neuron serotonergik pada
nukleus raphe medial), sistem limbik (kemungkinan bertanggung jawab untuk kecemasan
antisipatori), dan korteks prefrontal (kemungkinan bertanggung jawab untuk generasi
penghindaran fobia). Di antara berbagai neurotransmiter yang terlibat, sistem
noradrenergik juga telah menarik banyak perhatian, khususnya reseptor 2-adrenergik
presinaps yang memainkan peran yang signifikan. Pasien-pasien dengan gangguan panik
sensitif terhadap efek anxiogenik dari yohimbine ditambah pula memiliki respon 3methoxy-4-hydroxphenlyglycol (MHPG), kortisol dan kardiovaskular yang berlebihan.
Mereka telah diidentifikasi oleh percobaan farmakologis dengan agnonis reseptor-2
clonidine (Catapres) dan antagonis reseptor-2 yohimbine (Yocon), dimana menstimulasi
berkobarnya lokus ceruleus dan menimbulkan angka tinggi aktivitas menyerupai panik
pada mereka dengan gangguan panik.2,3

Gambar 1. Diagram skematik dari input ke dan output dari amigdala, berkaitan dengan
patogenesis gangguan panik3
Zat yang Menginduksi Panik
Zat yang menginduksi panik (terkadang disebut panicogens) menimbulkan
serangan panik pada sebagian besar pasien dengan gangguan panik dan dalam proporsi
yang lebih kecil pada orang tanpa gangguan panik atau riwayat serangan panik.
(Penggunaan zat yang menginduksi panik secara ketat terbatas pada penelitian; tidak ada
alasan secara klinis yang mengindikasikan stimulasi serangan panik pada pasien.) Disebut
zat yang menginduksi panik respirasi karena menstimulasi respirasi dan pergeseran pada
keseimbangan asam-basa. Zat-zat ini termasuk karbon dioksida (5 sampai 35 pesen
campuran), laktat sodium, dan bikarbonat. Zat neurokimia yang menginduksi panik
bekerja melalui sistem neurotransmiter spesifik termasuk yohombine, antagonis reseptor
2-adrenergik; m-chlorophenylpiperazine (mCPP), agen dengan efek serotonergik
multipel; obat-obat m-Caroline, agonis terbalik reseptor GABAB;

flumazenil

(Romazicon), antagonis reseptor GABAB; kolesistokinin; dan kafein. Isoproterenol


(Isuprel) juga merupakan zat yang menginduksi panik, walaupun mekanisme kerja dalam
menginduksi serangan panik tidak dipahami dengan baik. Zat-zat yang menginduksi
panik respirasi bekerja dimulai pada baroreseptor kardiovaskuler perifer dan
menghantarkan sinyal mereka melalui aferen vagal menuju nukleus traktus solitarii dan
kemudian ke nukleus paragigantoselularis di medula. Hiperventilasi pada pasien dengan
gangguan panik dapat disebabkan oleh hipersensitivitas sistem alarm kekurangan oksigen
dimana meningkatkan PCO2 dan konsentrasi laktat otak secara prematur yang
mengaktifkan pemantau asfiksia fisiologis. Zat neurokimia yang menginduksi panik

diduga terutama mempengaruhi noradrenergik, serotonergik, dan reseptor GABA di SSP


secara langsung.2
Pencitraan Otak
Penelitian pencitraan otak stuktural, sebagai contoh, magnetic resonance imaging
(MRI), pada pasien-pasien dengan gangguan panik telah berimplikasi keterlibatan
patologis pada lobus temporal, khususnya di hipokampus dan amigdala. Salah satu
penelitian MRI melaporkan kelainan, khususnya atrofi kortikal, pada lobus temporal
kanan pada pasien-pasien ini. Penelitian pencitraan otak fungsional, sebagai contoh,
position emission tomography (PET), telah berimplikasi disregulasi dari aliran darah
serebral (peningkatan sedikit atau pengurangan nyata dari aliran darah serebral). Secara
spesifik, gangguan cemas dan serangan panik berkaitan dengan vasokonstriksi serebral,
dimana dapat memberikan gejala SSP, seperti pusing, dan pada gejala sistem saraf perifer
yang dapat diinduksi oleh hiperventilasi dan hipokapnia. Sebagian besar penelitian
pencitraan otak telah menggunakan zat-zat spesifik yang menginduksi (contohnya, laktat,
kafein, atau yohimbine) dalam kombinasi dengan PET atau photon emission computed
tomography tunggal untuk menilai efek zat-zat yang menginduksi panik dan induksi
serangan panik pada aliran darah serebral.2
Prolaps Katup Mitral
Walaupun ketertarikan yang besar pada awalnya diekspresikan berkaitan dengan
hubungan antara prolaps katup mitral dan gangguan panik, penelitian telah hampir secara
menyeluruh menghapus setiap signifikansi atau relevansi klinis dari hubungan ini.
Prolaps katup mitral merupakan sindrom heterogen yang terdiri dari prolaps salah satu
helai katup mitral, yang menghasilkan suara midsistolik pada auskultasi jantung.
Penelitian-penelitian telah menemukan bahwa prevalensi gangguan panik pada pasienpasien dengan prolaps katup mitral sama dengan prevalensi gangguan panik pada pasien
tanpa prolaps katup mitral.2
Faktor Genetik
Walaupun beberapa penelitian yang terkontrol baik mengenai dasar genetik
gangguan panik dan agorafobia telah dilakukan, data hingga saat ini mendukung
kesimpulan bahwa gangguan ini memiliki komponen genetik yang jelas. Sebagai
tambahan, beberapa data mengindikasikan bahwa gangguan panik dengan agorafobia
5

merupakan bentuk parah dari gangguan panik, dan dengan demikian, lebih cenderung
untuk diwariskan. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa anggota keluarga tingkat
pertama dari pasien dengan gangguan panik memiliki empat kali sampai delapan kali
risiko tinggi untuk gangguan panik daripada anggota keluarga tingkat pertama dari pasien
psikiatri lainnya. Penelitian kembar yang dilakukan saat ini telah secara umum
melaporkan bahwa kembar monozigot lebih cenderung sesuai untuk gangguan panik
daripada kembar dizigot. Pada titik ini, tidak ada data yang mengindikasikan hubungan
antara lokasi kromosom spesifik atau mode transmisi dan gangguan ini.2
Faktor Psikososial
Baik teori kognitif-perilaku maupun teori psikoanalitik telah berkembang untuk
menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agorafobia. Kesuksesan pendekatan
kognitif-perilaku dalam terapi gangguan ini dapat menambahkan kepercayaan terhadap
teori kognitif-perilaku.2
Teori Kognitif-Perilaku
Teori perilaku berasumsi bahwa kecemasan merupakan respon belajar baik
dari perilaku orang tua maupun melalui proses classic conditioning. Dalam
pendekatan classic conditioning terhadap gangguan panik dan agorafobia, stimulus
berbahaya (contohnya, serangan panik) yang timbul dengan stimulus netral
(contohnya, mengendarai bis) dapat menghasilkan penghindaran dari stimulus netral.
Teori perilaku lainnya mengasumsikan kaitan antara sensasi dari gejala somatik
ringan (contohnya, palpitasi) dan generasi dari serangan panik. Walaupun teori
kognitif-perilaku dapat membantu menjelaskan perkembangan agorafobia atau
peningkatan jumlah atau keparahan serangan panik, teori ini tidak menjelaskan
kejadian serangan panik pertama yang tidak terprovokasi dan tidak diekspektasi yang
dialami pasien-pasien yang terkena.2
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik mengkonsepkan serangan panik timbul dari pertahanan
yang tidak berhasil melawan impuls yang memprovokasi kecemasan. Yang
sebelumnya merupakan cemas sinyal ringan menjadi perasaan ketakutan yang luar
biasa, lengkap dengan gejala-gejala somatik. Untuk menjelaskan agorafobia, teori
psikoanalitik menekankan kehilangan orang tua saat masa anak-anak dan riwayat
cemas perpisahan. Sendirian di tempat-tempat umum menghidupkan kembali
6

kecemasan masa anak-anak tentang ditelantarkan. Mekanisme bertahan digunakan


termasuk penindasan, pemindahan, penghindaran, dan simbolisasi. Trauma perpisahan
selama masa anak-anak dapat mempengaruhi perkembangan sistem kegelisahan
sedemikan rupa sehingga mereka menjadi rentan terhadap kecemasan pada masa
dewasa. Kerentanan predisposisi neurofisiologis dapat berinteraksi dengan jenis-jenis
stresor lingkungan tertentu untuk menghasilkan serangan panik.2
Banyak pasien mendeskripsikan serangan panik sebagai sesuatu yang timbul
tanpa alasan yang jelas, seolah-olah tidak ada faktor psikologis yang terlibat, tetapi
eksplorasi psikodinamika yang sering mengungkapkan pencetus psikologis yang jelas
untuk serangan panik. Walaupun serangan panik berkorelasi secara neurofisiologis
dengan lokus ceruleus, onset dari panik secara umum berhubungan dengan faktor
lingkungan atau psikologis. Pasien-pasien dengan gangguan panik memiliki insidensi
peristiwa hidup yang penuh stres yang lebih tinggi dibandingkan subyek kontrol
dalam bulanan sebelum onset dari gangguan panik. Selain itu, pasien-pasien secara
khusus mengalami penderitaan yang lebih berat tentang peristiwa kehidupan
dibandingkan subyek kontrol.2
Hipotesis bahwa peristiwa psikologis yang penuh stres menghasilkan
perubahan neurofisiologis dalam gangguan panik didukung oleh penelitian wanita
kembar. Temuan penelitian ini mengungkapkan bahwa gangguan panik secara kuat
berhubungan dengan baik perpisahan orang tua maupun kematian orang tua sebelum
anak-anak mencapai usia 10 tahun. Mereka kira-kira tujuh dan empat kali lebih
cenderung didiagnosis gangguan panik dengan agorafobia. Perpisahan dengan ibu
pada awal kehidupan secara jelas lebih cenderung menghasilkan gangguan panik
dibandingkan perpisahan orang tua pada penelitian kohort 1.018 pasangan wanita
kembar. Faktor etiologi lainnya pada pasien wanita dewasa muncul akibat kekerasan
fisik dan seksual pada masa anak-anak. Rata-rata 60 persen wanita dengan gangguan
panik memiliki riwayat kekerasan seksual pada masa anak-anak, dibandingkan
dengan 31 persen wanita dengan gangguan kecemasan lainnya. Dukungan lebih lanjut
untuk mekanisme psikologis dalam gangguan panik dapat disimpulkan dari penelitian
gangguan panik dimana pasien-pasien menerima pengobatan yang sukses dengan
terapi kognitif. Sebelum terapi, pasien-pasien berespon terhadap serangan panik
dengan laktat. Setelah terapi kognitif yang sukses, infusi laktat tidak lagi
menghasilkan serangan panik.2

Penelitian-penelitian yang mengindikasikan bahwa penyebab serangan panik


cenderung untuk melibatkan arti dari peristiwa yang penuh stres tidak disadari dan
bahwa patogenesis serangan panik mungkin berkaitan dengan faktor-faktor
neurofisiologis yang dicetuskan oleh reaksi psikologis. Klinisi psikodinamika harus
selalu meneliti sepenuhnya kemungkinan pencetus setiap memeriksa pasien dengan
gangguan panik. Psikodinamika dari gangguan panik dirangkum dalam tabel 1.2
Tabel 1. Psikodinamika Gangguan Panik2
1. Kesulitan dalam mentoleransi kemarahan
2. Perpisahan fisik atau emosional dari orang yang berarti pada masa anak-anak dan
3.
4.
5.
6.

kehidupan dewasa
Dapat dicetuskan oleh situasi peningkatan tanggung jawab pekerjaan
Persepsi orang tua yang mengontrol, menakuti, mengkritik, dan menuntut
Rasa seperti terperangkap yang kronis
Siklus buruk dari kemarahan terhadap perilaku penolakan orang tua diikuti kecemasan

bahwa fantasi akan merusak ikatan dengan orang tua


7. Kegagalan fungsi sinyal cemas dalam ego yang berkaitan dengan fragmentasi diri dan
batas kebingungan diri lainnya
8. Mekanisme bertahan yang khas: formasi reaksi, kehancuran, somatisasi, dan
ekternalisasi.
f. Diagnosis
Gejala-gejala yang muncul bertujuan untuk mengidentifikasi serangan panik;
walaupun demikian, serangan panik bukan merupakan gangguan jiwa dan tidak dapat dikode.
Serangan panik dapat terjadi dalam konteks gangguan cemas manapun sama seperti
gangguan jiwa lainnya (sebagai contoh, gangguan depresif, PTSD, gangguan penggunaan
zat) dan beberapa kondisi medis (seperti, jantung, respirasi, vestibuler, gastrointestinal).
Ketika serangan panik teridentifikasi, harus dicatat sebagai penyerta spesifik (specifier)
(sebagai contoh, PTSD dengan serangan panik). Untuk gangguan panik, adanya serangan
panik sudah termasuk dalam kriteria untuk gangguan tersebut dan serangan panik tidak
digunakan sebagai penyerta spesifik.1
Lonjakan tiba-tiba dari ketakutan intens atau ketidaknyamanan intens yang sampai
puncaknya dalam menit, dan selama waktu tersebut empat (atau lebih) dari gejala-gejala
berikut ini muncul1:
Catatan: Lonjakan tiba-tiba dapat terjadi dari keadaan tenang atau keadaan cemas
1. Palpitasi, jantung berdebar, atau peningkatan denyut jantung.
2. Berkeringat.
3. Gemetaran atau bergetar.
8

4. Sensasi sulit bernafas atau menyesakkan nafas.


5. Perasaan tersedak.
6. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman dalam dada.
7. Mual atau nyeri perut.
8. Perasaan pusing, tidak kuat berdiri, ringan-kepala, atau pingsan.
9. Sensasi dingin atau panas.
10. Parestesia (sensasi mati rasa atau kesemutan).
11. Derealisasi (Perasaan tidak nyata) atau depersonalisasi (merasa terpisah dari diri
sendiri).
12. Ketakutan hilang kendali atau menjadi gila.
13. Ketakutan untuk mati.
Catatan: Gejala-gejala spesifik-budaya (sebagai contoh, tinitus, rasa sakit pada leher, nyeri
kepala, berteriak atau menangis tak terkendali) dapat tampak. Gejala-gejala seperti ini tidak
boleh dihitung sebagai salah satu dari empat gejala yang dibutuhkan.
Gambaran penting dari serangan panik adalah lonjakan tiba-tiba ketakutan intens atau
ketidaknyamanan intens yang mencapai puncaknya dalam menit dan selama waktu tersebut
empat atau lebih dari gejala fisik dan kognitif muncul. Sebelas dari 13 gejala ini merupakan
fisik (sebagai contoh, palpitasi, berkeringat), sedangkan dua lainnya merupakan kognitif
(sebagai contoh, ketakutan hilang kendali atau menjadi gila, ketakutan untuk mati). Takut
menjadi gila merupakan perkataan sehari-hari yang sering digunakan oleh individu dengan
serangan panik dan tidak dimaksudkan sebagai istilah merendahkan atau diagnostik. Istilah
dalam menit berarti bahwa waktu untuk puncak intensitas secara harfiah hanya dalam
beberapa menit. Serangan panik dapat muncul dari keadaan tenang atau keadaan cemas, dan
waktu untuk puncak intensitas harus dinilai secara bebas dari setiap kecemasan yang
mendahului. Dengan demikian, waktu mulainya serangan panik yaitu titik dimana terdapat
peningkatan tiba-tiba dalam ketidaknyamanan dibandingkan dengan titik dimana kecemasan
pertama kali berkembang. Demikian pula, serangan panik dapat kembali baik ke keadaan
cemas ataupun keadaan tenang dan kemungkinan memuncak lagi. Serangan panik dibedakan
dari kecemasan yang berlangsung dengan waktunya untuk puncak intensitas, dimana terjadi
dalam menit; sifat berlainan; dan khususnya lebih parah. Serangan yang menemui semua
kriteria lainnya tetapi memiliki kurang dari empat gejala fisik dan/atau kognitif dirujuk
sebagai serangan gejala-terbatas.1
Terdapat dua tipe karakteristik dari serangan panik: diduga dan tidak diduga.
Serangan panik yang diduga merupakan serangan dimana terdapat isyarat atau pencetus yang
jelas, seperti situasi dimana serangan panaik secara khas muncul. Serangan yang tidak
diduga merupakan serangan dimana tidak ada isyarat atau pencetus yang jelas saat
kemunculan (sebagai contoh, saat beristirahat atau waktu tidur [serangan panik nokturnal]).
9

Penentuan apakah serangan panik merupakan yang diduga atau tidak diduga dibuat oleh
klinisi, yang membuat keputusan berdasarkan kombinasi dari pertanyaan yang hati-hati
mengenai urutan kejadian yang mendahului atau mengarah ke serangan dan penilaian
individu sendiri apakah iya atau tidak serangan tampaknya muncul tanpa alasan yang jelas.
Interpretasi budaya dapat mempengaruhi keputusan mereka sebagai serangan yang diduga
atau tidak diduga. Gejal-gejala spesifik-budaya (sebagai contoh, tinitus, nyeri leher, rasa sakit
pada leher, nyeri kepala, berteriak atau menangis tidak terkendali) dapat tampa; walaupun
demikian, gejala-gejala seperti ini tidak dihitung sebagai salah satu dari empat gejala yang
dibutuhkan. Serangan panik dapat terjadi dalam setiap konteks gangguan jiwa (sebagai
contoh, gangguan cemas, gangguan depresif, gangguan bipolar, gangguan makan, gangguan
obsesif-komoulsif dan gangguan yang berhubungan, gangguan kepribadian, gangguan
psikotik, gangguan penggunaan zat) dan beberapa kondisi medis (sebagai contoh, jantung,
respirasi, vestibuler, gastrointestinal), dengan mayoritas tidak pernah memenuhi kriteri untuk
gangguan panik. Rekurensi serangan panik yang tidak diduga dibutuhkan untuk diagnosis
gangguan panik.1
Salah satu tipe serangan panik yang tidak diduga yaitu serangan panik nokturnal
(sebagai contoh, terbangun dari tidur dalam keadaan panik), dimana berbeda dari panik
setelah sepenuhnya bangun dari tidur. Serangan panik berhubungan dengan angka usaha
bunuh diri dan pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi walaupun ketika komorbid dan faktor
risiko bunuh diri lainnya diperhitungkan.1
Diagnosis Banding
Episode paroksismal lainnya (contohnya, serangan marah). Serangan panik
tidak dapat didiagnosis jika tidak melibatkan gambaran penting dari lonjakan
ketakutan intens atau ketidaknyamanan intens yang tiba-tiba, tetapi lebih kepada

keadaan emosional lainnya (seperti, marah, duka cita).


Gangguan cemas akibat kondisi medis yang lain. Kondisi medis yang dapat
menyebabkan atau dapat salah didiagnosis sebagai serangan panik antara lain yaitu
hipertiroid, hiperparatiroid, pheochromocytoma, disfungsi vestibuler, gangguan
kejang, dan kondisi kardiopulmonal (seperti, aritmia, takikardia supraventrikular,
asma, penyakut paru obstruktif kronis). Tes laboratorium yang sesuai (seperti, kadar
kalsium serum untuk hiperparatiroid; monitor Holter untuk aritmia) atau pemeriksaan
fisik (contohnya, untuk kondisi jantung) dapat membantu dalam menentukan peran
etiologi dari kondisi medis yang lain.

10

Gangguan cemas yang diinduksi zat/obat. Intoksikasi dengan stimulan sistem saraf
pusat (seperti, kokain, amfetamin, kafein) atau kanabis dan withdrawal dari depresan
sistem saraf pusat (seperti, alkohol, barbiturat) dapat mencetuskan serangan panik.
Riwayat yang terinci harus ditanyakan untuk menentukan jika individu tersebut
mengalami serangan panik didahului oleh penggunaan zat yang berlebihan. Gambaran
seperti onset setelah usia 45 tahun atau adanya gejala tidak khas selama serangan
panik (contohnya, vertigo, kehilangan kesadaran, kehilangan kendali BAK atau BAB,
bicara melantur, atau amnesia) mengarahkan kemungkinan bahwa kondisi medis atau

suatu zat yang menyebabkan gejala serangan panik.


Gangguan panik. Serangan panik tidak diduga yang berulang dibutuhkan tetapi tidak
cukup untuk diagnosis gangguan panik (kriteria diagnostik yang utuh untuk gangguan
panik harus ditemui).

g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan panik terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan
psikoterapi.4
Farmakoterapi
Penggolongan obat anti-panik5
1. Obat anti-panik Trisiklik
Contohnya: Imipramine, Clomiperamine
2. Obat anti-panik Benzodiazepine
Contohnya: Alprazolam
3. Obat anti-panik RIMA (Reversible Inhibitors of Monoamine Oxydase-A)
Contohnya: Moclobemide
4. Obat anti-panik SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Contohnya: Sertraline, Fluoxetine, Paroxetine, Fluovexamine, Citalopram
Pemilihan Obat5
-

Semua jenis obat anti-panik (Trisiklik, Bensodiazepine, RIMA, SSRI) sama


efektifnya dalam menanggulangi serangan panik pada taraf sedang dan pada
stadium awal dari gangguan panik.

11

Bagi yang peka terhadap efek samping golongan Trisiklik atau adanya penyakit
organik sebagai penyulit, dapat beralih ke golongan SSRI atau RIMA dimana efek
samping relatif lebih ringan.

Aprazolam merupakan obat yang paling kurang toksik dan onset of action lebih
cepat.

Pengaturan Dosis5
-

Cara terbaik untuk melihat apakah terdapat keseimbangan antara efek samping
dan khasiat obat adalah dengan meneliti sebaik mungkin antara waktu pemberian
obat dan dosis, dalam hubungan dengan jumlah serangan panik dalam periode
waktu tertentu.

Mulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan dalam beberapa
minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadinya toleransi
obat. Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan.

Apabila dosis tidak dinaikkan secara perlahan-lahan, penderita tidak akan


merasakan manfaatnya, atau malah akan mundur dari perkembangan yang sudah
mulai membaik pada awal pengobatan dalam beberapa minggu.

Dosis efektif untuk Alprazolam pada umumnya sekitar 4 mg/hari, pada beberapa
kasus dapat mencapai 6 mg/hari. Untuk golongan Trisiklik, dosis efektif biasanya
sekitar 150-200 mg/hari.

Alprazolam umumnya telah mulai berkhasiat dalam waktu beberapa hari setelah
pemberian obat, sedangkan Trisiklik/RIMA/ SSRI baru menunjukkan efek setelah
pemberian 4-6 minggu.

Imipramin atau Clomipramine dapat dimulai dengan 25-50 mg/hari, (dosis tunggal
pada malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25 mg/hari
dengan selang waktu beberapa hari sampai 1 minggu, hingga tercapai dosis efektif
yang mampu mengendalikan sindrom panik (biasanya sampai sekitar 150-200
mg/hari), dengan efek samping yang dapat ditoleransi oleh penderita. Dosis efektif
dipertahankan sekitar 6 bulan, kemudian dikurangi perlahan-lahan sampai 1-2
bulan.

Dosis pemeliharaan (maintenance) umumnya agak tinggi, meskipun sifatnya


individual, Imipramin/Clomiperamin sekitar 100-200 mg/hari dan Setraline sekitar
100 mg/hari, serta bertahan untuk jangka waktu yang lama (1-2 tahun).

Lama Pemberian5
12

Batas lamanya pemberian obat bersifat individual, umumnya selama 6 bulan


sampai 12 bulan, kemudian dihentikan secara bertahap selama 3 bulan bila kondisi
penderita sudah memungkinkan (bebas gejala dalam kurun waktu tertentu).

Dalam 3 bulan setelah bebas obat sekitar 75% penderita menunjukkan gejala
kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semul diulangi
untuk selama 2 tahun. Setelah itu diboba lagi diberhentikan perlahan-lahan dalam
kurun waktu 3 bulan dan seterusnya. Ada beberapa penderita yang memerlukan
pengonatan bertahun-tahun untuk mempertahankan bebas gejala dan bebas dari
disabilitas.
Tabel 2. Sediaan obat anti-panik dan dosis anjuran5

No
1.
2.
3.
4.

Nama Generik
Imipramine
Clomipramine
Alprazolam

Golongan
Trisiklik

Diazepam

Sediaan
Tab. 25 mg
Tab. 25 mg
Tab. 0,25-0,5-1

Dosis Anjuran
75-150 mg/hari
75-150 mg/hari
3x 0,25-0,5 mg/hari

mg
Tab. 25 mg

Peroral 10-30
mg/hari, 2-3x/hari,

Benzodiazepin

Parental IV/IM 210 mg/kali, setiap


Klordiazepoksoid

Tab. 5 mg

3-4 jam
15-30 mg/hari

6.
7.
8.
9.
10

Lorazepam
Clobazam
Brumazepin
Oksazolom
Klorazepat

Caps. 5 mg
Tab. 0,5-2 mg
Tab. 10 mg
Tab. 1,5-3-6 mg
Tab. 10 mg
Caps. 5-10 mg

2-3 x/hari
2-3x 1 mg/hari
2-3x 10 mg/hari
3x 1,5 mg/hari
2-3x 10 mg/hari
2-3x 5 mg/hari

.
11.
12

Prazepam
Moclobemide

Tab. 5 mg
Tab. 150 mg

2-3x 5 mg/hari
300-600 mg/hari

.
13

Sertraline

Tab. 50 mg

50-100 mg/hari

Caps. 10-20 mg

20-40 mg/hari

Tab. 20 mg

20-40 mg/hari

5.

RIMA (Reversible Inhibitor


of Monoamine Oxydase-A)

.
14

SSRI (Selective Serotonine


Fluoxetine

.
15

Parocetine

Reuptake Inhibitor)

.
13

16

Fluvoxamine

Tab. 50 mg

50-100 mg/hari

.
17

Citalopram

Tab. 20 mg

20-40 mg/hari

.
18

Buspiron

Tab. 10 mg

15-30 mg/hari

Obat lain

.
Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara
psikologis, yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus yang menjalin hubungan
kerjasama secara professional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan,
mengubah, atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.4
Terapi kognitif dan perilaku
Merupakan terapi yang efektif untuk gangguan panik yang memerlukan usaha serta
kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
psikoterapi ini mengungguli terapi secara farmakologis, beberapa yang lain mengatakan hal
yang sebaliknya. Tetapi kombinasi farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan
terapi itu secara tersendiri. Dua fokus utama terapi kognitif gangguan panik adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan panik. Instruksi
mengenai keyakinan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk salah
mengartikan sensai tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya serangan panik, ajal atau
kematian. Informasi mengenai serangan panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan
panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam nyawa.4
Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk kembali pola
perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif. Individu dilatih untuk membuat
daftar pengalaman harian serta cara individu dalam menyikapi berbagai peristiwa yang
dialami dan dilakukan evaluasi setiap kali pertemuan. Pada sebuah penelitian mengenai
perbandingan terapi kognitif dan perilaku dengan terapi perilaku itu sendiri, diperoleh fakta
bahwa terapi kognitif dan perilaku, keduanya menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul
secara bersama-sama dibandingkan dengan terapi perilaku secara tunggal.6

Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik dan
memenangkan individu.Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien rasa kendali
14

mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan terapi relaksasi otot dan
membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga pasien menguasai teknik yang dapat
membantu saat terjadi serangan panik.4
Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi bersama
terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum dilakukan terapi
relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang cukup agar dapat bekerja
sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan relaksasi itu sendiri.Tehnik relaksasi ini
sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan asma bronkial, pasien dengan psikosis akut,
depresi agitatif atau yang mudah terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada
gangguan panik dapat timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri.2
Pelatihan pernapasan.
Karena hiperventilasi yang berhubungan dengan serangan panik mungkin berkaitan
dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan langsung untuk
mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien mengendalikan dorongan untuk
melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu, pasien dapat menggunakan tehnik
untuk membantu mengendalikan hiperventilasi selama serangan panik.4
Pajanan in vivo.
Pajanan in vivo dahulu merupakan terapi perilaku lazim untuk gangguan panik.
Tehnik ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama
semakin berat: dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami desensitisasi terhadap
pengalaman tersebut. Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus eksternal; baru-baru ini, tehnik
ini telah mencakup pajanan sensasi internal yang ditakuti pasien (contohnya, takipnea dan
rasa takut mengalami serangan panik).4
Psikoterapi dinamik
Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan dari teori
Sigmund Freud.Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang tidak disadari
telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls dan
keuntungan sekunder gejala tersebut.Individu diajak untuk lebih memahami diri dan
lingkungannya (berdasarkan tilikan), bukan hanya sekedar menghilangkan gejalanya semata.4
Pengalaman traumatik yang terutama terjadi pada awal kehidupan dapat menimbulkan
konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan
15

pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik dengan mekanisme yang dirancang untuk
mengurangi kecemasan. Mekanisme tersebut berkembang dalam kehidupan dewasa dan
menghasilkan gejala psikologis atau kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan
pemenuhan personal.Keluarga individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna
dalam mencapai tujuan psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan pada
individu. Pada sebuah penelitian, penerapan psikoterapi dinamik dengan pemberian
klomipramin menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang dibandingkan dengan terapi
klomipramin itu sendiri.4
Terapi Psikososial Lain4
a. Terapi keluarga
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agoraphobia juga mungin telah dipengaruhi
oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan
dukungan sering bermanfaat.
b. Psikoterapi Berorietasi tilikan
Psikoterapi berorietasi tilikan dapat memberikan keuntungan di dalam terapi gangguan
panik dan agoraphobia.Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang
tidak disadari yang telah dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan
untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Suatu resolusi konflik
pada masa bayi dini dan Oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan resolusi stress saat
ini.

16

Bagan 1. Alur Diagnostik dan Terapi Serangan Panik (Bagian 1)7

17

Bagan 2. Alur Diagnostik dan Terapi Serangan Panik (Bagian 2)7

18

DAFTAR PUSTAKA
1

Dilip VJ, Jeffrey AL, et al. Anxiety Disorders. In: Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders. 5th Edition. American Psychiatric Association; 2013. Pp 189-

190, 214-217.
Saddock, BJ & Saddock, VA. Panic Disorder and Agoraphobia. In: Kaplan and
Saddocks Synopsis of Psichiatry: Behavioral Science. 10th Edition. Philadelphia:

Lippincott William & Wilkins; 2007. Pp 588-597.


Kim,et al. The role of amygdala in the pathophysiology of panic disorder: evidence

from neuroimaging studies. Biology of Mood & Anxiety Disorders 2: 20; 2012.
Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit FK UI;

2013. Hal 258-263


Maslim, R. Obat Anti-Panik. Dalam: Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik. Cetakan Ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma

Jaya; 2007.
Manjula M, Kumariah, V et al. Cognitive Behavior Therapy In The Treatment of

Panic Disorder. Indian Journal of Psychiatry. Apr-Jun; 51(2): 108-110; 2009.


Vilarrasa, A.B. Guideline Development Group on Treatment of Patients with Anxiety
Disorders in Primary Care. Madrid: National Plan for the NHS of the MSC. Health
technology Assessment Unit. Lain Entralgo Agency. Community of Madrid; 2008.

19

Anda mungkin juga menyukai