KEGAWATAN PSIKIATRI:
SERANGAN PANIK (PANIC ATTACK)
OLEH :
Ika Nurfitria Tauhida
H1A 008 011
PEMBIMBING :
dr. Hj. Elly Rosilla Wijaya, Sp.KJ, MM
KEGAWATAN PSIKIATRI:
SERANGAN PANIK (PANIC ATTACK)
a. Definisi
Serangan panik adalah lonjakan tiba-tiba dari ketakutan intens atau ketidaknyamanan
intens yang mencapai puncaknya dalam menit, disertai dengan gejala-gejala fisik dan/atau
kognitif. Serangan panik gejala-terbatas meliputi kurang dari empat gejala. Serangan panik
dapat diduga, seperti pada respon terhadap ketakutan akan suatu objek atau situasi yang khas,
atau yang tidak diduga, yang berarti bahwa serangan panik muncul tanpa alasan yang jelas.
Serangan panik berfungsi sebagai penanda dan faktor prognostik untuk keparahan diagnosis,
perjalanan, dan komorbiditas penyakit, termasuk, tapi tidak terbatas pada, gangguan cemas.
Serangan panik muncul secara menonjol dalam gangguan cemas sebagai tipe khusus dari
respon takut. Serangan panik tidak terbatas pada gangguan cemas tapi sebenarnya dapat
ditemukan pada gangguan jiwa lainnya juga (sebagai contoh, penggunaan zat, gangguan
depresif dan psikotik). Sehingga serangan panik dapat digunakan sebagai penyerta spesifik
pada gangguan cemas serta gangguan jiwa lainnya.1
b. Epidemiologi
Pada populasi umum, estimasi prevalensi 12-bulan serangan panik di United States
yaitu 11,2 % pada dewasa. Estimasi prevalensi 12-bulan tidak muncul untuk membedakan
secara signifikan di antara orang Amerika Afrika, Amerika Asia, dan Latin. Estimasi
prevalensi 12-bulan untuk negara-negara Eropa muncul dalam rentang 2,7% sampai 3,3 %.
Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki-laki, walaupun perbedaan jenis kelamin ini
lebih menonjol pada gangguan panik. Serangan panik dapat terjadi pada anak-anak tetapi
relatif jarang sampai usia pubertas, ketika angka prevalensinya meningkat. Angka prevalensi
menurun pada individu yang lebih tua, kemungkinan menggambarkan hilangnya derajat
keparahan subklinis.1
Usia rata-rata saat onset serangan panik di United States yaitu rata-rata 22-23 tahun
di antara orang dewasa. Walaupun demikian, perjalanan serangan panik cenderung
dipengaruhi oleh perjalanan setiap gangguan-gangguan jiwa yang muncul bersamaan dan
peristiwa hidup yang penuh stres. Serangan panik tidak umum terjadi, dan serangan panik
yang tidak diduga jarang, pada anak-anak pra remaja. Para remaja mungkin kurang mau
terbuka untuk berdiskusi mengenai serangan panik dibandingkan orang dewasa, walaupun
mereka mengalami episode ketakutan atau ketidaknyamanan intens. Prevalensi serangan
panik yang lebih rendah pada individu yang lebih tua mungkin berkaitan dengan respon
otonom yang relatif lebih lemah terhadap keadaan emosional dibandingkan individu yang
lebih muda. Individu-individu yang lebih tua mungkin kurang cenderung menggunakan kata
takut dan lebih cenderung menggunakan kata tidak nyaman untuk menggambarkan
serangan panik. Individu-individu yang lebih tua dengan perasaan panik mungkin
mengalami campuran dari serangan gejala-terbatas dan cemas menyeluruh. Sebagai
tambahan, individu-individu yang lebih tua cenderung untuk menghubungkan serangan panik
1
dengan situasi tertentu yang penuh stres (sebagai contoh, prosedur medis, tatanan sosial) dan
mungkin secara retrospektif mengakui penjelasan mengenai serangan panik bahkan jika tidak
diduga pada saat itu. Hal ini dapat menyebabkan dukungan terhadap serangan panik yang
tidak diduga pada individu yang lebih tua.1
c. Komorbiditas
Serangan panik yang berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan berbagai
komorbid gangguan jiwa, termasuk gangguan cemas, gangguan depresif, gangguan bipolar,
gangguan pengendalian-impuls, dan gangguan penggunaan zat. Serangan panik berhubungan
dengan meningkatnya kemungkinan perkembangan gangguan cemas, gangguan depresif,
gangguan bipolar dan mungkin gangguan lainnya di kemudian hari.1
d. Faktor Risiko dan Prognostik
Emosional. Afektivitas negatif (neuroticsm) (sebagai contoh, rawan untuk mengalami
emosi negatif) dan sensitivitas cemas (sebagai contoh, watak untuk percaya bahwa
gejala-gejala cemas berbahaya) merupakan faktor risiko untuk onset serangan panik.
Riwayat ucapan ketakutan (sebagai contoh, serangan gejala-terbatas yang tidak
memenuhi kriteria untuk serangan panik) mungkin menjadi faktor risiko untuk
serangan panik di kemudian hari.1
Lingkungan. Merokok merupakan faktor risiko untuk serangan panik. Sebagian besar
individu melaporkan stresor yang teridentifikasi dalam bulanan sebelum serangan
panik pertama mereka (sebagai contoh, stresor interpersonal dan stresor.1
patofisiologi gangguan panik. Penelitian ini dan lainnya telah menghasilkan hipotesis
yang berimplikasi baik pada disregulasi sistem saraf perifer dan pusat (SSP) dalam
patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonom pada beberapa pasien dengan
gangguan panik telah dilaporkan muncul dengan peningkatan tonus simpatis, untuk
beradaptasi secara perlahan terhadap stimulus yang berulang, dan untuk berespon secara
berlebihan terhadap stimulus sedang. Penelitian mengenai status neuroendokrin pada
pasien-pasien ini telah menunjukkan beberapa kelainan, walaupun penelitian-penelitian
ini tidak konsisten terhadap temuan-temuannya.2
Sistem neurotransmiter utama yang telah terlibat yaitu norepinefrin, serotonin, dan
-aminobutyric acid (GABA). Disfungsi serotonergik merupakan bukti yang cukup dalam
gangguan panik dan berbagai penelitian dengan obat-obat agonis-antagonis serotonin
campuran telah ditunjukkan meningkatkan angka kecemasan. Respon seperti ini mungkin
disebabkan oleh hipersensitivitas serotonin post sinaps pada gangguan panik. Bukti
praklinik menunjukkan bahwa meredupnya transmisi inhibitor GABAergik lokal pada
amigdala basolateral, otak tengah, dan hipotalamus dapat menimbulkan respon fisiologis
menyerupai kecemasan. Data biologis telah mengarahkan fokus pada otak tengah
(khususnya neuron noradrenergik pada lokus ceruleus dan neuron serotonergik pada
nukleus raphe medial), sistem limbik (kemungkinan bertanggung jawab untuk kecemasan
antisipatori), dan korteks prefrontal (kemungkinan bertanggung jawab untuk generasi
penghindaran fobia). Di antara berbagai neurotransmiter yang terlibat, sistem
noradrenergik juga telah menarik banyak perhatian, khususnya reseptor 2-adrenergik
presinaps yang memainkan peran yang signifikan. Pasien-pasien dengan gangguan panik
sensitif terhadap efek anxiogenik dari yohimbine ditambah pula memiliki respon 3methoxy-4-hydroxphenlyglycol (MHPG), kortisol dan kardiovaskular yang berlebihan.
Mereka telah diidentifikasi oleh percobaan farmakologis dengan agnonis reseptor-2
clonidine (Catapres) dan antagonis reseptor-2 yohimbine (Yocon), dimana menstimulasi
berkobarnya lokus ceruleus dan menimbulkan angka tinggi aktivitas menyerupai panik
pada mereka dengan gangguan panik.2,3
Gambar 1. Diagram skematik dari input ke dan output dari amigdala, berkaitan dengan
patogenesis gangguan panik3
Zat yang Menginduksi Panik
Zat yang menginduksi panik (terkadang disebut panicogens) menimbulkan
serangan panik pada sebagian besar pasien dengan gangguan panik dan dalam proporsi
yang lebih kecil pada orang tanpa gangguan panik atau riwayat serangan panik.
(Penggunaan zat yang menginduksi panik secara ketat terbatas pada penelitian; tidak ada
alasan secara klinis yang mengindikasikan stimulasi serangan panik pada pasien.) Disebut
zat yang menginduksi panik respirasi karena menstimulasi respirasi dan pergeseran pada
keseimbangan asam-basa. Zat-zat ini termasuk karbon dioksida (5 sampai 35 pesen
campuran), laktat sodium, dan bikarbonat. Zat neurokimia yang menginduksi panik
bekerja melalui sistem neurotransmiter spesifik termasuk yohombine, antagonis reseptor
2-adrenergik; m-chlorophenylpiperazine (mCPP), agen dengan efek serotonergik
multipel; obat-obat m-Caroline, agonis terbalik reseptor GABAB;
flumazenil
merupakan bentuk parah dari gangguan panik, dan dengan demikian, lebih cenderung
untuk diwariskan. Berbagai penelitian telah menemukan bahwa anggota keluarga tingkat
pertama dari pasien dengan gangguan panik memiliki empat kali sampai delapan kali
risiko tinggi untuk gangguan panik daripada anggota keluarga tingkat pertama dari pasien
psikiatri lainnya. Penelitian kembar yang dilakukan saat ini telah secara umum
melaporkan bahwa kembar monozigot lebih cenderung sesuai untuk gangguan panik
daripada kembar dizigot. Pada titik ini, tidak ada data yang mengindikasikan hubungan
antara lokasi kromosom spesifik atau mode transmisi dan gangguan ini.2
Faktor Psikososial
Baik teori kognitif-perilaku maupun teori psikoanalitik telah berkembang untuk
menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agorafobia. Kesuksesan pendekatan
kognitif-perilaku dalam terapi gangguan ini dapat menambahkan kepercayaan terhadap
teori kognitif-perilaku.2
Teori Kognitif-Perilaku
Teori perilaku berasumsi bahwa kecemasan merupakan respon belajar baik
dari perilaku orang tua maupun melalui proses classic conditioning. Dalam
pendekatan classic conditioning terhadap gangguan panik dan agorafobia, stimulus
berbahaya (contohnya, serangan panik) yang timbul dengan stimulus netral
(contohnya, mengendarai bis) dapat menghasilkan penghindaran dari stimulus netral.
Teori perilaku lainnya mengasumsikan kaitan antara sensasi dari gejala somatik
ringan (contohnya, palpitasi) dan generasi dari serangan panik. Walaupun teori
kognitif-perilaku dapat membantu menjelaskan perkembangan agorafobia atau
peningkatan jumlah atau keparahan serangan panik, teori ini tidak menjelaskan
kejadian serangan panik pertama yang tidak terprovokasi dan tidak diekspektasi yang
dialami pasien-pasien yang terkena.2
Teori Psikoanalitik
Teori psikoanalitik mengkonsepkan serangan panik timbul dari pertahanan
yang tidak berhasil melawan impuls yang memprovokasi kecemasan. Yang
sebelumnya merupakan cemas sinyal ringan menjadi perasaan ketakutan yang luar
biasa, lengkap dengan gejala-gejala somatik. Untuk menjelaskan agorafobia, teori
psikoanalitik menekankan kehilangan orang tua saat masa anak-anak dan riwayat
cemas perpisahan. Sendirian di tempat-tempat umum menghidupkan kembali
6
kehidupan dewasa
Dapat dicetuskan oleh situasi peningkatan tanggung jawab pekerjaan
Persepsi orang tua yang mengontrol, menakuti, mengkritik, dan menuntut
Rasa seperti terperangkap yang kronis
Siklus buruk dari kemarahan terhadap perilaku penolakan orang tua diikuti kecemasan
Penentuan apakah serangan panik merupakan yang diduga atau tidak diduga dibuat oleh
klinisi, yang membuat keputusan berdasarkan kombinasi dari pertanyaan yang hati-hati
mengenai urutan kejadian yang mendahului atau mengarah ke serangan dan penilaian
individu sendiri apakah iya atau tidak serangan tampaknya muncul tanpa alasan yang jelas.
Interpretasi budaya dapat mempengaruhi keputusan mereka sebagai serangan yang diduga
atau tidak diduga. Gejal-gejala spesifik-budaya (sebagai contoh, tinitus, nyeri leher, rasa sakit
pada leher, nyeri kepala, berteriak atau menangis tidak terkendali) dapat tampa; walaupun
demikian, gejala-gejala seperti ini tidak dihitung sebagai salah satu dari empat gejala yang
dibutuhkan. Serangan panik dapat terjadi dalam setiap konteks gangguan jiwa (sebagai
contoh, gangguan cemas, gangguan depresif, gangguan bipolar, gangguan makan, gangguan
obsesif-komoulsif dan gangguan yang berhubungan, gangguan kepribadian, gangguan
psikotik, gangguan penggunaan zat) dan beberapa kondisi medis (sebagai contoh, jantung,
respirasi, vestibuler, gastrointestinal), dengan mayoritas tidak pernah memenuhi kriteri untuk
gangguan panik. Rekurensi serangan panik yang tidak diduga dibutuhkan untuk diagnosis
gangguan panik.1
Salah satu tipe serangan panik yang tidak diduga yaitu serangan panik nokturnal
(sebagai contoh, terbangun dari tidur dalam keadaan panik), dimana berbeda dari panik
setelah sepenuhnya bangun dari tidur. Serangan panik berhubungan dengan angka usaha
bunuh diri dan pemikiran bunuh diri yang lebih tinggi walaupun ketika komorbid dan faktor
risiko bunuh diri lainnya diperhitungkan.1
Diagnosis Banding
Episode paroksismal lainnya (contohnya, serangan marah). Serangan panik
tidak dapat didiagnosis jika tidak melibatkan gambaran penting dari lonjakan
ketakutan intens atau ketidaknyamanan intens yang tiba-tiba, tetapi lebih kepada
10
Gangguan cemas yang diinduksi zat/obat. Intoksikasi dengan stimulan sistem saraf
pusat (seperti, kokain, amfetamin, kafein) atau kanabis dan withdrawal dari depresan
sistem saraf pusat (seperti, alkohol, barbiturat) dapat mencetuskan serangan panik.
Riwayat yang terinci harus ditanyakan untuk menentukan jika individu tersebut
mengalami serangan panik didahului oleh penggunaan zat yang berlebihan. Gambaran
seperti onset setelah usia 45 tahun atau adanya gejala tidak khas selama serangan
panik (contohnya, vertigo, kehilangan kesadaran, kehilangan kendali BAK atau BAB,
bicara melantur, atau amnesia) mengarahkan kemungkinan bahwa kondisi medis atau
g. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan panik terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan
psikoterapi.4
Farmakoterapi
Penggolongan obat anti-panik5
1. Obat anti-panik Trisiklik
Contohnya: Imipramine, Clomiperamine
2. Obat anti-panik Benzodiazepine
Contohnya: Alprazolam
3. Obat anti-panik RIMA (Reversible Inhibitors of Monoamine Oxydase-A)
Contohnya: Moclobemide
4. Obat anti-panik SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)
Contohnya: Sertraline, Fluoxetine, Paroxetine, Fluovexamine, Citalopram
Pemilihan Obat5
-
11
Bagi yang peka terhadap efek samping golongan Trisiklik atau adanya penyakit
organik sebagai penyulit, dapat beralih ke golongan SSRI atau RIMA dimana efek
samping relatif lebih ringan.
Aprazolam merupakan obat yang paling kurang toksik dan onset of action lebih
cepat.
Pengaturan Dosis5
-
Cara terbaik untuk melihat apakah terdapat keseimbangan antara efek samping
dan khasiat obat adalah dengan meneliti sebaik mungkin antara waktu pemberian
obat dan dosis, dalam hubungan dengan jumlah serangan panik dalam periode
waktu tertentu.
Mulai dengan dosis rendah, secara perlahan-lahan dosis dinaikkan dalam beberapa
minggu untuk meminimalkan efek samping dan mencegah terjadinya toleransi
obat. Dosis efektif dicapai dalam waktu 2-3 bulan.
Dosis efektif untuk Alprazolam pada umumnya sekitar 4 mg/hari, pada beberapa
kasus dapat mencapai 6 mg/hari. Untuk golongan Trisiklik, dosis efektif biasanya
sekitar 150-200 mg/hari.
Alprazolam umumnya telah mulai berkhasiat dalam waktu beberapa hari setelah
pemberian obat, sedangkan Trisiklik/RIMA/ SSRI baru menunjukkan efek setelah
pemberian 4-6 minggu.
Imipramin atau Clomipramine dapat dimulai dengan 25-50 mg/hari, (dosis tunggal
pada malam hari), dinaikkan secara bertahap dengan penambahan 25 mg/hari
dengan selang waktu beberapa hari sampai 1 minggu, hingga tercapai dosis efektif
yang mampu mengendalikan sindrom panik (biasanya sampai sekitar 150-200
mg/hari), dengan efek samping yang dapat ditoleransi oleh penderita. Dosis efektif
dipertahankan sekitar 6 bulan, kemudian dikurangi perlahan-lahan sampai 1-2
bulan.
Lama Pemberian5
12
Dalam 3 bulan setelah bebas obat sekitar 75% penderita menunjukkan gejala
kambuh. Dalam keadaan ini maka pemberian obat dengan dosis semul diulangi
untuk selama 2 tahun. Setelah itu diboba lagi diberhentikan perlahan-lahan dalam
kurun waktu 3 bulan dan seterusnya. Ada beberapa penderita yang memerlukan
pengonatan bertahun-tahun untuk mempertahankan bebas gejala dan bebas dari
disabilitas.
Tabel 2. Sediaan obat anti-panik dan dosis anjuran5
No
1.
2.
3.
4.
Nama Generik
Imipramine
Clomipramine
Alprazolam
Golongan
Trisiklik
Diazepam
Sediaan
Tab. 25 mg
Tab. 25 mg
Tab. 0,25-0,5-1
Dosis Anjuran
75-150 mg/hari
75-150 mg/hari
3x 0,25-0,5 mg/hari
mg
Tab. 25 mg
Peroral 10-30
mg/hari, 2-3x/hari,
Benzodiazepin
Tab. 5 mg
3-4 jam
15-30 mg/hari
6.
7.
8.
9.
10
Lorazepam
Clobazam
Brumazepin
Oksazolom
Klorazepat
Caps. 5 mg
Tab. 0,5-2 mg
Tab. 10 mg
Tab. 1,5-3-6 mg
Tab. 10 mg
Caps. 5-10 mg
2-3 x/hari
2-3x 1 mg/hari
2-3x 10 mg/hari
3x 1,5 mg/hari
2-3x 10 mg/hari
2-3x 5 mg/hari
.
11.
12
Prazepam
Moclobemide
Tab. 5 mg
Tab. 150 mg
2-3x 5 mg/hari
300-600 mg/hari
.
13
Sertraline
Tab. 50 mg
50-100 mg/hari
Caps. 10-20 mg
20-40 mg/hari
Tab. 20 mg
20-40 mg/hari
5.
.
14
.
15
Parocetine
Reuptake Inhibitor)
.
13
16
Fluvoxamine
Tab. 50 mg
50-100 mg/hari
.
17
Citalopram
Tab. 20 mg
20-40 mg/hari
.
18
Buspiron
Tab. 10 mg
15-30 mg/hari
Obat lain
.
Psikoterapi
Psikoterapi merupakan terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-cara
psikologis, yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus yang menjalin hubungan
kerjasama secara professional dengan seorang pasien dengan tujuan untuk menghilangkan,
mengubah, atau menghambat gejala-gejala dan penderitaan akibat penyakit.4
Terapi kognitif dan perilaku
Merupakan terapi yang efektif untuk gangguan panik yang memerlukan usaha serta
kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa
psikoterapi ini mengungguli terapi secara farmakologis, beberapa yang lain mengatakan hal
yang sebaliknya. Tetapi kombinasi farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan
terapi itu secara tersendiri. Dua fokus utama terapi kognitif gangguan panik adalah instruksi
mengenai keyakinan salah pasien dan informasi mengenai serangan panik. Instruksi
mengenai keyakinan yang salah berpusat pada kecenderungan pasien untuk salah
mengartikan sensai tubuh ringan sebagai tanda khas akan terjadinya serangan panik, ajal atau
kematian. Informasi mengenai serangan panik mencakup penjelasan bahwa, ketika serangan
panik terjadi, serangan ini terbatas waktu dan tidak mengancam nyawa.4
Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk kembali pola
perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif. Individu dilatih untuk membuat
daftar pengalaman harian serta cara individu dalam menyikapi berbagai peristiwa yang
dialami dan dilakukan evaluasi setiap kali pertemuan. Pada sebuah penelitian mengenai
perbandingan terapi kognitif dan perilaku dengan terapi perilaku itu sendiri, diperoleh fakta
bahwa terapi kognitif dan perilaku, keduanya menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul
secara bersama-sama dibandingkan dengan terapi perilaku secara tunggal.6
Terapi Relaksasi
Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik dan
memenangkan individu.Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien rasa kendali
14
mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan terapi relaksasi otot dan
membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga pasien menguasai teknik yang dapat
membantu saat terjadi serangan panik.4
Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi bersama
terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum dilakukan terapi
relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang cukup agar dapat bekerja
sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan relaksasi itu sendiri.Tehnik relaksasi ini
sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan asma bronkial, pasien dengan psikosis akut,
depresi agitatif atau yang mudah terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada
gangguan panik dapat timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri.2
Pelatihan pernapasan.
Karena hiperventilasi yang berhubungan dengan serangan panik mungkin berkaitan
dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, satu pendekatan langsung untuk
mengendalikan serangan panik adalah melatih pasien mengendalikan dorongan untuk
melakukan hiperventilasi. Setelah pelatihan seperti itu, pasien dapat menggunakan tehnik
untuk membantu mengendalikan hiperventilasi selama serangan panik.4
Pajanan in vivo.
Pajanan in vivo dahulu merupakan terapi perilaku lazim untuk gangguan panik.
Tehnik ini meliputi pemajanan pasien terhadap stimulus yang ditakuti yang semakin lama
semakin berat: dari waktu ke waktu pasien menjadi mengalami desensitisasi terhadap
pengalaman tersebut. Dahulu, fokusnya adalah pada stimulus eksternal; baru-baru ini, tehnik
ini telah mencakup pajanan sensasi internal yang ditakuti pasien (contohnya, takipnea dan
rasa takut mengalami serangan panik).4
Psikoterapi dinamik
Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan dari teori
Sigmund Freud.Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang tidak disadari
telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari, kebutuhan untuk menekan impuls dan
keuntungan sekunder gejala tersebut.Individu diajak untuk lebih memahami diri dan
lingkungannya (berdasarkan tilikan), bukan hanya sekedar menghilangkan gejalanya semata.4
Pengalaman traumatik yang terutama terjadi pada awal kehidupan dapat menimbulkan
konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan
15
pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik dengan mekanisme yang dirancang untuk
mengurangi kecemasan. Mekanisme tersebut berkembang dalam kehidupan dewasa dan
menghasilkan gejala psikologis atau kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan
pemenuhan personal.Keluarga individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna
dalam mencapai tujuan psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan pada
individu. Pada sebuah penelitian, penerapan psikoterapi dinamik dengan pemberian
klomipramin menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang dibandingkan dengan terapi
klomipramin itu sendiri.4
Terapi Psikososial Lain4
a. Terapi keluarga
Keluarga pasien dengan gangguan panik dan agoraphobia juga mungin telah dipengaruhi
oleh gangguan anggota keluarga. Terapi keluarga yang ditujukan pada edukasi dan
dukungan sering bermanfaat.
b. Psikoterapi Berorietasi tilikan
Psikoterapi berorietasi tilikan dapat memberikan keuntungan di dalam terapi gangguan
panik dan agoraphobia.Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas yang
tidak disadari yang telah dihipotesiskan, simbolisme situasi yang dihindari, kebutuhan
untuk menekan impuls, dan keuntungan sekunder gejala tersebut. Suatu resolusi konflik
pada masa bayi dini dan Oedipus dihipotesiskan berhubungan dengan resolusi stress saat
ini.
16
17
18
DAFTAR PUSTAKA
1
Dilip VJ, Jeffrey AL, et al. Anxiety Disorders. In: Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders. 5th Edition. American Psychiatric Association; 2013. Pp 189-
190, 214-217.
Saddock, BJ & Saddock, VA. Panic Disorder and Agoraphobia. In: Kaplan and
Saddocks Synopsis of Psichiatry: Behavioral Science. 10th Edition. Philadelphia:
from neuroimaging studies. Biology of Mood & Anxiety Disorders 2: 20; 2012.
Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Jakarta: Badan Penerbit FK UI;
Jaya; 2007.
Manjula M, Kumariah, V et al. Cognitive Behavior Therapy In The Treatment of
19