Anda di halaman 1dari 21

Maret 2021

REFERAT
PSIKIATRI MILITER

Disusun Oleh:

Nurul Dwi Ratih


N 111 19 013

Pembimbing Klinik
dr. Merry Tjandra, M. Kes, Sp.KJ

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN JIWA


RSU ANUTAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nurul Dwi Ratih

No. Stambuk : N 111 19 013

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul Referat : Gangguan Cemas Menyeluruh

Bagian : Ilmu Kedokteran Jiwa

Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa

RSUD Undata Palu

Fakultas Kedokteran

Universitas Tadulako

Palu, September 2021

Pembimbing Klinik Mahasiswa

(dr. Merry Tjandra, M. Kes, Sp.KJ) (Nurul Dwi Ratih)

2
BAB I

PENDAHULUAN

Kecemasan adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak


didukung oleh situasi. Ketika merasa cemas, individu merasa tidak nyaman
atau takut atau mungkin memiliki firasat akan ditimpa malapetaka padahal
ia tidak mengerti mengapa emosi yang mengancam tersebut terjadi.
(Amir,N.2013)

Gangguan kecemasan adalah sekelompok kondisi yang memberi


gambaran penting tentang kecemasan yang berlebihan, disertai respons
perilaku, emosional, dan fisiologis. Individu yang mengalami gangguan
kecemasan dapat memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik
tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi
kehidupan, melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan,
mengalami kembali peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak
dapat dijelaskan atau berlebihan. Pada kesempatan yang jarang terjadi,
banyak orang memperlihatkan salah satu dari perilaku yang tidak lazim
tersebut sebagai respons normal terhadap kecemasan. Perbedaan antara
respons kecemasan yang tidak lazim ini dengan gangguan kecemasan ialah
bahwa respons kecemasan cukup berat sehingga bisa mengganggu kinerja
individu, kehidupan keluarga, dan gangguan sosial. (Amir,N.2013)

Rasio wanita dan laki-laki adalah kirakira 2:1, usia onset sukar untuk
ditentukan, karena sebagian besar pasien melaporkan bahwa mereka
mengalami kecemasan selama yang dapat mereka ingat. Pasien biasanya
datang untuk mendapatkan perawatan dokter pada usia 20 tahunan,
walaupun kontak pertama dengan klinisi dapat terjadi pada hampir setiap
usia. Hanya sepertiga pasien yang menderita gangguan kecemasan umum
mencari pengobatan psikiatrik. Banyak pasien pergi ke dokter umum, dokter
penyakit dalam, dokter spesialis kardiologi, spesialis paru-paru, atau dokter
spesialis gastroenterologi untuk mencari pengobatan. (Muslim,R.2011)

3
ational Comorbidity Study melaporkan bahwa satu diantara empat
orang, memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan cemas, dan angka
prevalensi sebesar 17,7% dalam satu tahun. Perkiraan yang diterima untuk
prevalensi gangguan cemasan umum dalam satu tahun adalah dari 3-8%.
Gangguan cemas menyeluruh kemungkinan merupakan gangguan yang
paling sering ditemukan dengan gangguan mental penyerta, biasanya
gangguan cemas atau gangguan mood lainnya. Kemungkinan 50% dengan
gangguan cemas menyeluruh memiliki gangguan mental lainnya. (Kessler
RC,dll).

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Definisi

Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang


mengancam, dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan, pengalaman baru atau yang belum pernah
dilakukan, serta dalam menemukan identitas diri dan arti hidup.
Kecemasan adalah reaksi yang dapat dialami siapapun. Namun cemas
yang berlebihan, apalagi yang sudah menjadi gangguan akan
menghambat fungsi seseorang dalam kehidupannya. Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) mendefinisikan
gangguan cemas meyeluruh merupakan suatu kecemasan yang
berlebihan tentang suatu kegitan yang berlangsung setidaknya selama
6 bulan. (American Psychiatric Assosiation; 2010.)

2. Etiologi
a. Faktor biologis
Efektivitas terapeutik benzodiazepine dan azaspiron telah
memfokuskan upaya riset biologis pada asam aminobutirat dan
system neurotransmitter serotonin. Benzodiasepin diketahui
mengurangi ansietas sedangkan flumazenil dan beta karbolin
diketahui mencetuskan ansietas.walaupun tidak ada data yang
meyakinkan yang menunjukan bahwa reseptor benzodiazepine
abnormal pada pasien dengan gangguan ansietas menyeluruh,
beberapa penilith telah terfokus pada lobus oksipitalis yang
memiliki konsentrasi reseptor benzodiazepine paling banyak di
otak.
Area otak lain yang didalilkan terlibat dalam gangguan
ansietas menyeluruh adalah ganglia basalis, system limbic, dan
korteks frontalis. Karena buspiron adalah agonis reseptor
serotonin 5-HT₁A., terdaoat hipotesis bahwa pengaturan system

5
serotonergik pada gangguan ansietas menyeluruh adalah
abnormal. System neurotransmitter lain yang menjadi subjek
penelitian gangguan ansietas menyeluruh mencakup
neurotransmitter norepinefrin, glutamate, dan kolesistokinin.
b.Faktor psikososial

Dua kelompok pikiran utama mengenai faktor psikososial


yang menyebabkan timbulnya gangguan ansietas menyeluruh
adalah kelompok perilaku-kognitif dan kelompok psikoanalitik.
Menurut kelompok perilaku-kognitif, pasien dengan gangguan
ansietas menyeluruh memberikan respons pada hal-hal yang
secara tidak benar dan tidak akurat dianggap sebagai bahaya.
Ketidakakuratan ini ditimbulkan melalui perhatian selektif
terhadap hal kecil di lingkukan dengan distrosi pemprosesan
informasi dan pandangan yang sangat negatif terhadap
kemampuan beradaptasi diri sendiri. Kelompok psikoanalitik
mendalilkan bahwa ansietas adalah gejala konflik yang tidak
disadari dan tidak terselesaikan.
Tingkat ansietas berkaitan dengan berbagai tingkat
perkembangan. Pada tingkat yang paling primitive, nsietas dapat
berkaitan dengan rasa takut dikalahkan atau bergabung dengan
orang lain. Pada tingkay yang lebih matur, ansietas dapat
berkaitan dengan perpisahan dengan objek yang dicintai. Pada
tingkat yang lebih matur, ansietas berhubungan dengan
hilangnya cinta dari objek yang penting. Ansietas kastrasi
berkaitan dengan fase Oedipus pada perkembangan dan
pertimbangan sebagai salah satu tingkat ansietas yang paling
tinggi. Ansietas superego, rasa takut seseorang untuk
mengecewakan idelisme dan nilai-nilainya adalah bentuk
ansietas yang paling matur. (Elvira,2013)

6
3. Klasifikasi
Kriteria diagnosis gangguan cemas menyeluruh (Menurut
PPDGJ III)
Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yang
berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai
beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada
keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”).
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
 Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
 Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai) dan
 Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung,
pusing kepala, mulut kering, dsb)
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan
untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan keluhan somatik
berulang yang menonjol.
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk
beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis
utama gangguan cemas menyeluruh, selama hal tersebut tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32-),
gangguan anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau
gangguan obsesif-kompulsif (F42.-)

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk gangguan ansietas


menyeluruh :
Ansietas dan kekhawatiran berlebihan (perkiraan yang menakutkan),
terjadi hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan, mengenai
sejumlah kejadian atau aktivitas (seperti bekerja atau bersekolah)
Orang tersebut merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya.

7
Ansietas dan kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari
keenam gejala berikut (dengan beberapa gejala setidaknya muncul
hampir setiap hari selama 6 bulan).
 Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
 Mudah merasa bersalah
 Sulit berkonsentrasi atau fikiran menjadi kosong
 Mudah marah
 Otot tegang
 Gangguan tidur (sulit tidur atau tetap tidur, atau tidur yang
gelisah dan tidak puas)
Fokus dari ansietas dan kekhawatiran tidak terbatas hanya pada
gambaran gangguan Aksis 1, mis. Ansietas atau cemas bukan karena
mengalami serangan panik (seperti pada gangguan panik), merasa
malu berada di keramaian (seperti pada fobia sosial), merasa kotor
(seperti pada gangguan obsesi kompulsif), jauh dari rumah atau
kerabat dekat (seperti pada gangguan ansietas perpisahan),
bertambah berat badan (seperti pada anoreksia nervosa), mengalami
keluhan fisik berganda (seperti pada gangguan somatisasi), atau
mengalami penyakit serius (seperti pada hipokondriasis), juga
ansietas dan kekhawatiran tidak hanya terjadi selama gangguan stres
pasca trauma.
Ansietas, kekhawatiran, atau gejala fisis menyebabkan distres yang
secara klinis bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area
penting fungsi lainnya.
Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologs langsung dari suatu
zat, atau keadaan medis umum (mis. Hipotiroidisme) dan tidak
terjadi hanya selama gangguan mood, gangguan psikotik, atau
gangguan perkembangan pervasif

4. Prinsip Umum Pemberian Perawatan pada Psikiatri Militer

Bencana, serangan teroris yang diatur, dan konflik militer


menghancurkan harapanan dunia yang adil dan aman dalam populasi

8
di mana gagasan seperti dasar keselamatan dan keadilan merupakan
norma-norma budaya. Karena kurangnya kesiapan emosional
membuat kekacauan dan gangguan yang lebih mungkin setelah
kejadian tersebut, pencegahan primer harus dimulai dengan pengakuan
kebutuhan untuk penyebaran informasi yang cepat mengenai ancaman
(misalnya, peringatan dini untuk tornado dan badai atau pelaporan
serangan teroris diantisipasi yang diperoleh dari sumber-sumber
intelijen yang handal), diikuti oleh perkembangan respon yang
direncanakan, praktek respon, dan penyediaan dana dan fasilitas untuk
mendukung rencana tersebut. Semua langkah-langkah ini mengurangi
rasa ketidakberdayaan masyarakat sebelum peristiwa semacam itu
terjadi dan meningkatkan kapasitas masyarakat untuk memberikan
dukungan sosial kepada para korban (Benedek, 2002).

Pencegahan sekunder dimulai dengan triase awal dan


pengobatan para korban. Petugas perawatan medis dan penyedia
perawatan kesehatan jiwa harus siap untuk memberikan beberapa
tingkat psikoedukasi dan mengurangi gejala-gejala lainnya. Adanya
lingkungan penahanan dimana lokasi menjadi tempat untuk
mengamati beberapa gejala. Daerah ini harus cukup terpencil agar
tidak mengganggu triase yang sedang berlangsung dan stabilisasi luka
fisik yang mengancam jiwa, tetapi harus cukup dekat untuk
memungkinkan evaluasi ulang dan intervensi medis lebih lanjut jika
gejala memburuk. Sebuah lingkungan penahanan juga mungkin
terbukti menjadi lokasi yang mempengaruhi individu untuk kebutuhan
dasar seperti makanan, tempat tinggal, dan kebersihan pribadi, dan
yang paling penting untuk memulihkan rasa normal setelah bencana
atau peristiwa traumatik (Benedek, 2002).

Awalnya, membangun lingkungan yang aman dan mengelola


cedera fisik yang mengancam kehidupan dan kemungkinan penyakit
yang segudang yang dihasilkan dari kekurangan makanan, air minum,
atau infeksi merupakan intervensi psikiatri yang paling penting.

9
Selanjutnya, mengidentifikasi populasi berisiko tinggi, seperti pekerja
bencana, orang di zona dampak, anak-anak, dan yang memiliki
penyakit kronis. Strategi penjangkauan dan pendidikan masyarakat
sangat penting, karena korban bencana dan trauma jarang mencari
perawatan kesehatan jiwa. Hal ini penting untuk mendidik kelompok
medis dan masyarakat tentang respon normal dan diprediksi akan
peristiwa abnormal, serta kapan harus merujuk untuk perawatan
kesehatan jiwa tambahan. Menginformasikan masyarakat dan
pemimpin pemerintahan tentang gejala sisa perilaku dan emosional
yang terkait dengan bencana, memastikan alokasi dana dan sumber
daya untuk fenomena dalam rencana pemulihan bencana (Bleich dkk,
2002).

Tanggung jawab untuk tindakan pencegahan, pengenalan dini


dan pengobatan konsekuensi psikologis bencana tidak terbatas pada
psikiater yang tersedia. Dokter umum, psikolog, dan ilmuwan sosial
lainnya harus menggunakan keterampilan mereka yang beragam untuk
merawat para korban bencana dan perang. Mungkin perlu juga sekutu
profesional terlatih untuk membuat diagnosis awal dan memberikan
psikoedukasi awal dan konsultasi kepada rekan-rekan medis, bedah
dan responden pertama lainnya. Psikiater selalu mencurahkan
perhatian pada orang-orang dengan presentasi awal yang lebih parah
dan mereka yang mengembangkan kondisi yang lebih kronis
meskipun diberikan intervensi pencegahan (Chamey, 2010).

Di luar intervensi farmakologis, intervensi psikososial


segudang telah digambarkan dapat membantu untuk pencegahan
gangguan stress pascatrauma, seiring tanpa adanya bukti. Teknik
pembekalan kelompok dan brifing stres insiden telah digunakan pasca
penembakan, bencana alam, dan kejadian teroris, meskipun tidak ada
bukti yang meyakinkan bahwa brifing tersebut mengurangi kejadian
gangguan stress pascatrauma, dan setidaknya satu studi menunjukkan
bahwa intervensi tersebut dapat berbahaya. Di sisi lain, untuk tim

10
tanggap, diskusi yang sedang berlangsung dan kejujuran antara
penyedia layanan dan responden darurat dapat membuka jalur
komunikasi untuk mengkoordinasikan dan mengevaluasi efektivitas
respon dan untuk mendorong kohesi dan kelompok pemahaman
tentang peristiwa yang sedang berlangsung. Hal ini dapat berfungsi
untuk mempertahankan kinerja orang untuk pengelolaan bencana,
untuk mengurangi isolasi individu, dan untuk membantu
mengidentifikasi anggota tim yang mungkin membutuhkan perhatian
kesehatan jiwa lainnya. Sama seperti obat analgesik, pembekalan
mungkin memiliki efek untuk menghilangkan rasa sakit, untuk
mengembalikan fungsi, dan membatasi kecacatan tetapi tidak untuk
mencegah penyakit atau gangguan. Pertemuan kelompok individu
dengan eksposur sangat berbeda mungkin benar-benar meningkatkan
eksposur, oleh karena itu, meningkatkan gejala. Selanjutnya yang
dirancang dengan baik, studi empiris yang diperlukan. Uji klinis
menunjukkan bahwa psikoterapi kognitif-perilaku pendekatan
kecemasan, penarikan sosial, simtomatologi depresi, dan hyperarousal
dapat efektif. Uji klinis menunjukkan bahwa bahkan intervensi singkat
dapat mengurangi gejala langsung depresi, kecemasan, gangguan
stress pascatrauma dan dapat mengurangi perkembangan morbiditas
jangka panjang. Karena sumber daya medis dapat dengan cepat
kewalahan dalam situasi bencana berskala besar atau pertempuran,
bukan dokter, asalkan terlatih dalam pemberian terapi ini,
memungkinkan untuk pemberian perawatan yang lebih efektif.
Pendekatan dan obat perawatan lainnya menjadi lebih penting karena
gangguan kejiwaan menjadi lebih jelas dan lebih kronis dan dapat
mempengaruhi makna peristiwa kehidupan biasa untuk tiap korban
(Chamey, 2010).

5. Pelayanan Kesehatan Jiwa Militer di Masa Damai

Ketika tidak terlibat langsung dalam operasi tempur,


perdamaian, bantuan kemanusiaan, praktek psikiatri militer, dalam

11
banyak hal, mirip dengan praktek sipil kecuali fakta bahwa psikiater
militer pergi bekerja di seragam militer. Departemen Pertahanan
memiliki rumah sakit perawatan tersier di seluruh Amerika Serikat,
Eropa, dan Asia, dan lembaga-lembaga ini semua memiliki psikiatri
rawat jalan atau klinik kesehatan perilaku interdisipliner dan bangsal
rawat inap bagi anggota militer yang sakit jiwa, serta anggota keluarga
mereka. Beberapa psikiater militer menerima pelatihan sarjana medis
dan tinggal di lembaga sipil. Namun, Kongres AS pada tahun 1975
meresmikan Uniformed Services University of the Health Science
(USUHS) untuk memberikan pendidikan kedokteran dan
memproduksi dokter untuk layanan militer. USUHS menyediakan
program gelar dokter 4 tahun dan sejumlah program gelar sarjana di
ilmu-ilmu dasar dan klinis. Pusat Studi Stres Trauma USUHS
melakukan penelitian dan konsultasi masyarakat, federal, dan lembaga
internasional tentang hal-hal di sekitar respon individu dan masyarakat
trauma, bencana, dan perang. Jepang, Inggris, dan Rusia adalah antara
negara-negara dengan institusi yang mengajarkan kurikulum-militer
khusus untuk penyedia layanan medis militer. Seperti di negara-negara
lain, negara-negara ini juga meminta untuk dokter tugas nasional tidak
secara khusus dilatih dalam institusi militer selama masa perang atau
krisis (Cohen, 2009).

Departemen Pertahanan memiliki program residensi di


psikiatri di perawatan tersier Angkatan Darat, Angkatan Udara,
Angkatan Laut dan Pusat Medis di Amerika Serikat. Lembaga ini
diberi mandat oleh Kongres untuk menyediakan kurikulum militer
unik untuk memastikan bahwa dokter dalam pelatihan akan mampu
memberikan perawatan dalam pertempuran atau bencana lingkungan.
Jenis pelatihan tidak selalu diberikan dalam program sipil. Program
pelatihan militer juga memperkenalkan dokter dari aspek gaya hidup
militer (misalnya, olahraga, hidup pisah dari keluarga bekerja di luar
negeri, dan menjaga keamanan atas informasi rahasia) yang

12
mempengaruhi anggota militer dan keluarga, bahkan ketika anggota
layanan tidak digunakan (Cohen, 2009).

Militer AS telah berusaha untuk mengurangi insiden dan


keparahan tempur dan operasional yang menyebebkan gangguan
kejiwaan melalui sejumlah mekanisme. Tim kesehatan jiwa sekarang
secara rutin ditugaskan untuk pasukan AS dalam pertempuran dan
dikerahkan dalam operasi selain perang. Setiap cabang layanan militer
AS memiliki spesialisasi tim intervensi cepat untuk memberikan
bantuan konsultasi dan pengobatan akut yang diperlukan untuk unit
yang telah mengalami peristiwa traumatis. Tim-tim ini mendidik
komandan satuan di respon perilaku akan kemungkinan peristiwa stres
dan merekomendasikan intervensi kepemimpinan yang dapat
mengurangi respon stres negatif. Unit kesehatan jiwa militer telah
dikerahkan bersama dengan pasukan penjaga perdamaian ke Balkan
dan Kosovo dan setelah serangan teroris pada Pentagon dan World
Trade Center. Meskipun brifing telah ditawarkan kepada unit terkena
yang meminta intervensi tersebut, semakin, focus di psikoedukasi,
psikologis pertolongan pertama, dan teman perawatan. Selain itu,
melalui yang terlihat, perhatian telah difokuskan pada peningkatan
akses untuk merawat orang-orang yang mungkin tidak meminta
bantuan dan destigmatisasi dari mereka yang mencari bantuan
kesehatan mental. Pimpinan militer telah sangat mendukung
peningkatan penggunaan unit-unit ini dalam upaya tidak hanya untuk
membangun akses langsung ke perawatan, tetapi juga untuk
mempelajari efektivitas potensi intervensi dalam mengurangi kejadian
fenomena seperti sindrom Perang Teluk lainnya kyang urang jelas dan
tidak konsisten menunjukkan kelompok gejala yang mungkin terkait
dengan respon psikologis untuk perang. Tim ini juga telah
memberikan konsultasi dan intervensi dalam upaya bantuan
kemanusiaan militer setelah angin topan, banjir, dan bencana alam
lainnya di Amerika Serikat dan luar negeri (Galea, 2008).

13
Berbagai jenis misi, pola penyebaran, dan sistem pendukung
medis di antara berbagai cabang militer AS menimbulkan kesulitan
besar untuk pengembangan pendekatan triservice terpadu untuk
pengelolaan stres operasional. Tentara biasanya menyebarkan unit
besar untuk jangka waktu yang luas dan mengalokasikan sejumlah
besar aset medis untuk mendukung unit-unit ini. Dukungan medis ini
termasuk layanan khusus. Angkatan Laut dan Korps Marinir
mengerahkan unit yang lebih kecil di laut dan darat. Petugas medis
umum dan nondokter memberikan dukungan medis, dan perawatan
khusus tidak tersedia secara rutin di teater operasional. Angkatan
Udara memiliki misi jangka pendek dan jangka panjang. Selain
langsung merawat pasien, psikiater militer berkonsultasi dengantokoh
masyarakat dan dokter sipil yang tidak terbiasa menanggapi trauma
fisik dan emosional skala besar (Greiger, 2009)

Di Amerika Serikat, pengobatan definitif penyakit jiwa sering


disediakan dalam sistem militer dari rumah sakit. Perawatan medis
diberikan kepada personil tugas aktif dan keluarga mereka. Adanya
spesialis kesehatan jiwa, perawat, pekerja sosial, dan psikolog dapat
meningkatkan perawatan ini. Anggota militer yang mengembangkan
gangguan kejiwaan saat bertugas aktif yang memenuhi syarat untuk
pensiun cacat medis membayar dan terus berobat melalui sistem
rumah sakit Administrasi Veteran. Individu dapat dipisahkan dari
pelayanan karena masalah kepribadian tanpa pembayaran cacat atau
perawatan medis yang sedang berlangsung dari militer (Greiger,
2009).

Negara-negara lain dengan pengalaman perang baru-baru ini,


seperti Israel dan Kroasia, telah mengembangkan program untuk
mengevaluasi dan memperlakukan tentara dan warga sipil yang
terkena pertempuran. Pengalaman mereka agak berbeda dari
pengalaman di Amerika Serikat, karena mereka bergantung jauh lebih
berat pada pasukan cadangan. Negara-negara ini memiliki

14
infrastruktur sosial medis yang lebih inklusif; Oleh karena itu,
program pengobatan yang kurang bergantung pada sistem medis
militer. Negara-negara lain semakin dihadapkan dengan manajemen
stres operasional dalam pemeliharaan perdamaian dan misi
kemanusiaan. Negara-negara Asia yang baru-baru ini mengalami
bencana alam dan peristiwa teroris juga mempelajari pendekatan
untuk mengevaluasi dan mengobati orang yang terkena trauma
(Holloway, 2012)

6. Tantangan Masa Depan dan Masalah Yang Berkembang

Sebagaimana faktor politik, sosial, ilmiah, dan teknologi


berkembang, masyarakat akan mengubah tanggapan mereka terhadap
konsekuensi dari perang. Praktek psikiatri yang berhubungan dengan
perang telah berubah dengan evolusi pemahaman ilmiah penyakit. Di
masa depan, sumber daya untuk berurusan dengan konsekuensi perang
dan kepentingan relatif ditugaskan untuk berurusan dengan cedera dan
cacat yang kemungkinan akan dipengaruhi oleh nilai-nilai politik dan
sosial budaya. Psikiatri militer harus mengantisipasi perubahan ini
untuk memastikan bahwa peserta pelatihan saat ini siap untuk
memberikan perawatan dalam lingkungan yang berubah (Mollica,
2009).

Teknologi baru dalam pertempuran akan mengubah cara


memilah dan mengobati orang dengan cedera medis dan psikiatri.
Militer masa depan di negara berteknologi maju cenderung menjadi
jauh lebih kecil, bergerak cepat di medan perang, untuk menggunakan
sensor canggih, dan untuk mengarahkan api intens di jarak yang cukup
jauh. Kemampuan ini, ditambah dengan penggunaan senjata
pemusnah massal, kemungkinan akan membuat medan perang lebih
kacau dan tidak ramah bagi kehidupan manusia. Perawatan darurat
dan evakuasi orang-orang dengan penyakit dan cedera dapat menjadi
semakin sulit. Ketidakmampuan untuk mempertahankan kontak
dengan unit bergerak cepat dapat menghalangi kembali individu untuk

15
unit aslinya. Korban militer di masa depan mungkin semakin
bergantung pada perawatan oleh teman-teman satuan, petugas medis,
dan pemimpin garis depan, daripada unit medis khusus atau spesialis
di rumah sakit di belakang. Negara-negara terbelakang mungkin
memiliki akses terbatas ke teknologi canggih, cara sehingga lebih
tradisional mengatur praktek medis dan psikiatris mungkin tetap
relevan dalam situasi tertentu (Mollica, 2009).

Evolusi unit yang sangat mobile di medan perang tersebar luas


akan mengurangi kesempatan untuk bertukar beristirahat pasukan dari
daerah belakang bagi mereka habis oleh garis depan pertempuran.
Penyediaan jangka pendek untuk pasukan yang lelah, ciri manajemen
kelelahan pertempuran, dapat menjadi tidak mungkin, karena setiap
individu dapat melakukan tugas khusus yang kritis. Unit medis kecil
yang beroperasi dalam wilayah pertempuran kemungkinan akan
dihilangkan dari teknologi-intensif medan perang. Walaupun
pengobatan dapat, dengan kebutuhan, pindah ke medan perang, dokter
spesialis di bagian belakang dapat membuat keputusan triase dan
diagnosa melalui penggunaan teknologi komunikasi telemedicine.
Pengalaman menunjukkan bahwa lini depan penyedia kesehatan
mental mengambil pandangan pragmatis gejala kejiwaan akut dan
cenderung tidak membuat diagnosa resmi tergesa-gesa pada pasukan
tertekan. Penyedia eselon-belakang, sebaliknya, cenderung untuk
menetapkan label kejiwaan formal yang mungkin tidak akurat dan
yang mungkin stigma tentara, tanpa memberikan kontribusi terhadap
pengobatan. Spesialis kesehatan jiwa eselon-belakang dalam
pertempuran di masa depan harus mengatasi tantangan untuk
menyediakan saran terapi yang berguna dari jauh sambil menghindari
stigmatisasi diagnostik yang berarti (Solomon, 2013).

Teknologi canggih akan memiliki implikasi yang sama bagi


mereka yang menanggapi bencana buatan manusia, seperti serangan
teroris, terutama karena teroris mendapatkan peningkatan akses ke

16
senjata pemusnah massal (kimia, biologi, radiologi, dan agen nuklir).
Di Amerika Serikat, serangan teroris di Pentagon dan World Trade
Center, serta distribusi fatal surat yang tercemar anthrax dalam musim
gugur 2001, telah diendapkan dalam perang yang sedang berlangsung
terhadap terorisme. Peristiwa ini telah diintensifkan sebagai upaya
untuk meningkatkan koordinasi antara lembaga-lembaga sipil, non-
militer, pemerintah, dan militer untuk menanggapi peristiwa teroris di
masa depan di Amerika Serikat yang, sampai tulisan ini, dianggap tak
terelakkan. Klarifikasi peran militer dan responden sipil dan
mengintegrasikan kesehatan jiwa dan kegiatan kesehatan masyarakat
dalam hal triase, pengobatan, konsultasi, dan pendidikan di setiap
tanggapan bersama terhadap krisis merupakan tantangan bagi militer
dan psikiater bencana (Solomon, 2013).

7. Penatalaksanaan
a. Prinsip kedekatan
Penderita harus ditangani sedekat mungkindengan tempat dimana
ia mengalami gangguan emosional.
b. Prinsip kedinian
Penderita harus segera ditangani begitu ia mengalami gangguan
kejiwaan.
c. Prinsip harapan
Penderita harus berharap dan diharapkan oleh komando
untukkembali bertugas di kesatuannya segera setelah
mendapatkan pengobatan.

(Martin,2013)

Pelayanan kegawatdaruratan di medan perang adalah


pelayanan yang memerlukan pelayanan cepat dan tepat untuk
mencegah kematian dan kecacatan, karena waktu adalah nyawa.
Dalam penanganan pasien digaris depan memiliki sistem triage dalam
melakukan tindakan. Sistem ini pertama kali diperkenalkan dan
dikembangkan di medan pertempuran. Di medan pertempuran, triage

17
digunakan untuk menentukan prioritas penanganan pada perang dunia
pertama. Klasifikasi ini digunakan oleh para tentara perang untuk
mengidentifikasi tentara korban perang yang mengalami luka ringan
dengan tujuan agar setelah dilakukan tindakan penanganan dapat
kembali kemedan perang. Triage adalah suatu proses memilih pasien
menurut tingkat kegawatan dan prioritas dalam penanganan pasien.
Klasifikasi triage dimedan perang yaitu warna hijau untuk penderita
gangguan jiwa ringan. Warna kuning untuk penderita gangguan jiwa
sedang. Warna merah untuk gangguan jiwa berat (Yohana, 2014).

Gangguan jiwa ringan pada dimedan perang contohnya


gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Adapun gejala dari
gangguan kecemasan adalah ketegangan motoric (gelisah, sakit
kapala, gemetar, tidak dapat santai), overaktivitas otonomik (kepala
terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak napas).
Apabila prajurit mengalami gejala tersebut dapat diberikan
penanganan farmakoterapi Alprazolam 0,25 mg 3x1 dan juga dapat
diberikan penanganan psikoterapi (Roby,2014).

Jika prajurit memiliki gejala mudah lelah, konsentrasi


berkurang, tidur terganggu, nafsu makan berkurang dapat dicurigai
mengalami gangguan depresi. Dapat diberikan penanganan
farmakoterapi dengan obat antidepresan (Tianeptine 12,5 mg 2x1) dan
juga dapat diberikan penanganan psikoterapi (Roby,2014).

Jika prajurit mengalami gangguan jiwa berat digaris depan


contohnya gangguan stress pascatrauma. Penanganan yang paling
awal yaitu psikoterapi (terapi perilaku kognitif: untuk mengendali dan
mengubah pola piker pasien yang negative menjadi positif. Terapi
eksposur : untuk membantu pasien menghadapi keadaan dan ingatan
yang memicu trauma secara efektif. Pada kasus gangguan stress
pascatrauma jika pasien tergolong parah, dapat juga diberikan
farmakoterapi. Obat yang diberikan tergantung gejala yang dialami
pasien. Dapat diberikan antidpresan untuk mengatasi depresi seperti

18
sertraline 50 mg 1x1, jika pasien mengalami cemas dapat dibrikan
obat anti anxietas (alprazolam 0,25 mg 3x1) (Roby,2014).

BAB III
KESIMPULAN
1. Gangguan cemas menyeluruh merupakan kondisi gangguan
yang ditandai dengan kecemasan dan kekhawatiran yang
berlebihan. Kondisi ini dialami selama beberap minggu hingga
sampai berbulan-bulan (6 bulan).
2. Menurut PPDGJ :
Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
b. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di
ujung tanduk, sulit berkonsentrasi, dsb)
c. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak
dapat santai) dan
d. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat,
jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan lambung,
pusing kepala, mulut kering, dsb)
1. Menurut DSM-IV-TR :
Ansietas dan kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih)
dari keenam gejala berikut (dengan beberapa gejala setidaknya
muncul hampir setiap hari selama 6 bulan).
a. Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
b. Mudah merasa bersalah
c. Sulit berkonsentrasi atau fikiran menjadi kosong
d. Mudah marah
e. Otot tegang
f. Gangguan tidur (sulit tidur atau tetap tidur, atau tidur
yang gelisah dan tidak puas)

19
DAFTAR PUSTAKA

Okta Diferiansyah1 , Tendry Septa2 , Rika Lisiswanti. 2016. General


Anxiety Disorders. Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Amir N. Buku ajar psikiatri. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI; 2013.

Maslim R. Diagnosis gangguan jiwa: rujukan ringkas dari PPDGJ-III.


Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2011.

Kessler RC, Berglund P, Demler O, Jin R, Merikangas KR, Walters EE.


Lifetime prevalence and age-of-onset distributions of DSM-IV
disorders in the national comorbidity survey replication. Arch Gen
Psychiatry. 2005; 62(6):593-602.

American Psychiatric Assosiation. Practice guideline for the treatment of


patients with panic disorder second edition. New York: American
Psychiatric Assosiation; 2010.

20
Elvira, SD dan Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Ed. 2. Badan Penerbit
FKUI : Jakarta. 2013

Rusdi M. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari


PPDGJ- III dan DSM-5. Hal.74. penerbit Bagian Ilmu Kesehatan
Jiwa FK Unika Atma Jaya : Jakarta. 2013

Benjamin JS dan Virginia AS. Buku Ajar Psikiatris Klinis. Hal. 259-263.
Ed. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2010

Benjamin JS dan Virginia AS. Buku Ajar Psikiatris Klinis. Hal. 233-234.
Ed. 2. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2010

Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2.
Jakarta: EGC; 2010.

Humaida R, Ningsih C, Kurniawati E. Diagnosis dan Terapi Pasien


Gangguan Ansietas Menyeluruh Pria Usia 60 Tahun. Jurnal Medula
Unila. 2016; Vol 6. No 1. From http://GoogleScholar.com

Benjamin, JS dan Virginia, AS,. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Ed. 2. Penerbit
Buku Kedokteran EGC : Jakarta. 2010.

Diferiansyah O, Septa T, Lisiswanti R. Gangguan Cemas Menyeluruh.


Jurnal Medula Unila. 2016; Vol 5 . No 2 . From
http://GoogleScholar.com

Azzahra F, Oktarlina RZ, Hutasoit HB. Farmakoterapi Gangguan Ansietas


dan Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Efikasi Antiansietas. JIMKI.
2020; Vol 8. No 1. From http://GoogleScholar.com

21

Anda mungkin juga menyukai