Anda di halaman 1dari 40

ISSN 2088 - 270X Semester II, 2020

Topik Utama

Situasi Stunting di Indonesia


Penulis : Khairani, SKM, MKM

Topik Terkait
Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting
Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM
Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek
Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes
Daftar Isi

01 Situasi Stunting di Indonesia


Penulis : Khairani, MKM, SKM

15 Pemantauan Pertumbuhan Untuk Pencegahan Stunting


Penulis : Andri Mursyita, SKM, MKM
26 Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek
Penulis : Dr. Syarief Darmawan, S.St, M.Kes
Salam Redaksi

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya atas tersusunnya Buletin Jendela Data dan
Informasi Kesehatan edisi semester II tahun 2020.

Kami selalu berusaha untuk memberikan informasi yang bermanfaat, menarik dan membuka wawasan terkait
dengan permasalahan Kesehatan di sekitar kita.

Kali ini tim redaksi Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan mengangkat sebuah tema “Situasi Stunting
di Indonesia”. Stunting yang terjadi di Indonesia saat ini masih menjadi Beban Gizi Ganda atau Double Burden
yang perlu segera diselesaikan oleh pemerintah dan lintas sektor terkait. Kondisi stunting dapat mempengaruhi
tingkat kecerdasan dan kesehatan anak dari bayi bahkan sampai dewasa, sehingga dapat mempengaruhi generasi
sumber daya manusia dikemudian hari.

Buletin ini juga membahas tema yang berkaitan dengan situasi stunting di Indonesia yaitu Pemantauan
Pertumbuhan untuk Pencegahan Stunting serta Hubungan Antara Infeksi Parasit Usus dengan Pendek.

Pada kesempatan ini kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut berkontribusi dalam
penyusunan buletin ini. Semoga apa yang telah kami susun ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan memberikan
kontribusi khususnya dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.

Selamat membaca.......!
Redaksi
Tim Redaksi

Pelindung Pengarah Redaktur


drg. Oscar Primadi, MPH dr. Anas Ma’ruf, MKM Boga Hardhana, S.Si, MM
Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI Kepala Pusat Data dan Informasi Kepala Bidang Pengelolaan Data dan Informasi

Redaktur Penyunting Desainer Grafis Kesekretariatan


Winne Widiantini, SKM, MKM Khairani, SKM, MKM Dian Mulya Sari, S.Ds Prillia Syafira, SKM
Kasubbid Diseminasi Informasi JFT Statistisi Ahli Muda JFT Pranata Komputer Ahli Muda Staf Pusat Data dan Informasi

Pusat Data dan Informasi


Jl. H.R. Rasuna Said Blok x-5, Kav 4-9
Jakarta 12950
Sekapur Sirih
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saat ini Indonesia masih bekerja keras untuk mengatasi masalah kekurangan gizi, salah satunya adalah stunting
atau tubuh pendek. Stunting merupakan kondisi anak yang memiliki tinggi badan kurang jika dibandingkan
dengan usianya. Kekurangan gizi terjadi sejak dalam kandungan dan pada masa awal setelah bayi lahir. Akan
tetapi, kondisi stunting baru nampak setelah anak berusia dua tahun. Anak dengan kondisi stunting akan
berisiko memiliki tingkat kecerdasan tidak maksimal dan menjadi lebih rentan terhadap penyakit. Dampak
stunting tidak hanya dialami oleh anak tetapi dapat berpengaruh di masa yang akan datang hingga dewasa, hal
ini dapat berisiko menurunnya tingkat produktivitas.

Stunting merupakan ancaman utama terhadap kualitas masyarakat Indonesia. Pada akhirnya secara luas
stunting akan dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar
ketimpangan.

Upaya pemerintah untuk penanggulangan stunting diantaranya yaitu strategi nasional percepatan pencegahan
stunting. Upaya percepatan penurunan stunting perlu ditunjang dengan upaya intervensi yang bersifat spesifik
dan sensitif agar tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun 2024. Pada tahun 2020 ditetapkan
terdapat 260 kabupaten/kota yang menjadi lokasi prioritas stunting. Upaya yang melibatkan lintas kementerian
dan lembaga ini diharapkan dapat menurunkan angka stunting di Indonesia.

Buletin ini diharapkan dapat menambah informasi dan pengetahuan kepada masyarakat di Indonesia tentang
situasi, kondisi, faktor risiko, penyebab, pencegahan, dan dampak stunting. Semoga informasi yang kami sajikan
dapat bermanfaat dan kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan ini.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Jakarta, 30 Desember 2020


Kepala Pusat Data dan Informasi,
Kementerian Kesehatan RI

dr. Anas Ma’ruf, MKM


Topik Utama
Situasi Stunting
di Indonesia
Penulis
Khairani, SKM, MKM
Jabatan Fungsional Statistisi Ahli Muda di Pusat Data dan
Informasi. Menamatkan Program Sarjana dan Pasca Sarjana
di Fakultas Kesehatan Masyarakat Jurusan Biostatistik dan
Kependudukan di Universitas Indonesia.

Stunting adalah suatu kondisi dimana anak mengalami gangguan pertumbuhan, sehingga tinggi badan anak
tidak sesuai dengan usianya, sebagai akibat dari masalah gizi kronis yaitu kekurangan asupan gizi dalam waktu
yang lama. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang standar
antropometri penilaian status gizi anak, stunting atau pendek merupakan status gizi yang didasarkan pada
indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) dengan zscore kurang dari -2 SD (standar deviasi). Stunting bukan
hanya masalah gangguan pertumbuhan fisik saja, namun juga mengakibatkan anak menjadi mudah sakit, selain
itu juga terjadi gangguan perkembangan otak dan kecerdasan, sehingga stunting merupakan ancaman besar
terhadap kualitas sumber daya manusia di Indonesia.

Gambar 1. Proporsi Kasus Stunting di Dunia


LINGKUP PERMASALAHAN tiga perempat dari populasi anak
Sekitar
151 juta anak dengan stunting berada
di Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan
dibawah 5 tahun
di dunia mengalami stunting
55% populasi
39%
39% populasi
55% anak stunting
terdapat di Asia
anak stunting
terdapat di Afrika

ASIA AFRIKA
Sumber: https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073

01
Fokus dari seluruh target tersebut antara lain gizi masyarakat, sistem kesehatan nasional, akses kesehatan dan
reproduksi, Keluarga Berencana (KB), serta sanitasi dan air bersih.

Pembangunan sektor kesehatan untuk Sustainable Development Goals (SDGs) sangat tergantung kepada peran
aktif seluruh pemangku kepentingan baik pemerintah pusat dan daerah, parlemen, dunia usaha, media massa,
lembaga sosial kemasyarakatan, organisasi profesi dan akademisi, mitra pembangunan serta Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB).

Gambar 2. Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2019


Tujuh sub-regional memiliki prevalensi stunting yang tinggi atau sangat tinggi
Persentase balita stunting, berdasarkan WHO, tahun 2019

GLOBAL
2.6 21.3%
Amerika
Utara*** 9.9
17.6 Asia Tengah 4.5
Asia Timur
12.6 8.1
Afrika Utara
12.7
Amerika
Karibia 24.7
Tengah 27.7 Asia Barat 31.7 Asia Tenggara
>30% (sangat tinggi) 7.3 Afrika Barat
34.5
Asia Selatan
38.4
20-<30 (tinggi) Amerika 31.5 Afrika Timur
10-20% (medium) Selatan Afrika Tengah Oceania **
2.5-<10% (rendah)
<2.5% (sangat rendah) 29.0
tidak ada data Afrika Selatan
Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan

Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020

Kondisi di Indonesia berdasarkan data Studi Status Gizi Balita di Indonesia (SSGBI) 2019 masih tergolong tinggi,
dimana prevalensi stunting sebesar 27,67%. Jika dibandingkan dengan informasi pada peta di atas, maka
prevalensi stunting di Indonesia masih lebih tinggi dari prevalensi di Asia Tenggara sebesar 24,7%.

Gambar 3. Perbandingan Prevalensi Stunting di Asia dan Afrika Tahun 2019


Stunting Wasting Obesitas

27%
ASIA 40% 45%

54% 69%
AFRIKA 24%
Pada tahun 2019 lebih dari Pada tahun 2019, lebih dari pada tahun 2019, hampir
setengah anak balita yang dua pertiga dari anak usia di setengah dari anak usia di
stunting berada di Asia dan bawah 5 tahun yang wasting bawah 5 tahun yang obesitas
dua dari lima anak yang berada di Asia dan lebih dari tinggal di Asia dan lebih dari
stunting berada di Afrika. seperempatnya berada di seperempatnya tinggal di
Afrika. Afrika
Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020

02
Gambar 4. Perbandingan Prevalensi Stunting di Berbagai Benua Tahun 2000 dan 2019

Afrika adalah satu-satunya benua dimana prevalensi stunting terus meningkat


Trend stunting pada balita dalam angka (juta), berdasarkan regional WHO, tahun 2000 dan 2019
2000 2019
Afrika Asia* Amerika Latin dan Karibia

49.7 57.5 136.6 78.2 9.5 4.7


juta juta juta juta juta juta

90 90.2

80
70

60
Angka t(juta)

55.9
50
40
30
23.1
20 17.8 21.1 18.4
21.0
14.8 13.9
10 5.0 5.1 7.0 9.5
5.3 3.4 4.1 3.9 2.0 5.0 2.4
1.9 2.0 1.7 0.8 0.6 0.3 0.5 0.6 0.7 0.6
0
Afrika Afrika Afrika Afrika Afrika Asia Asia Asia Asia Asia Karibia Amerika Amerika Oceania** Amerika
Selatan Utara Tengah Barat Timur Tengah Barat Timur** Tenggara Selatan Tengah Selatan Utara***

Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan

Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020

Gambar 5. Proporsi Stunting pada Balita di Asia Tahun 2019


2 dari 5 anak stunting di dunia terdapat
di Asia Tenggara GLOBAL
Asia* 144.0

55.9
angka (juta) stunting balita, 78.2 juta juta
berdasarkan sub regional Amerika Serikat, 2019
4.1
Asia Tengah 0.8 ASIA SELATAN Asia Timur

0.6
Amerika Utara*** Asia Barat 3.4
Afrika 13.9
57.5 juta Afrika Asia Tenggara
Utara
Amerika Latin
dan Caribbean 5.1 Oceania **

23.1
4.7 juta 0.3
0.6 juta
Amerika
Amerika
Tengah
2.0
2.4 Amerika
Selatan
Afrika Barat
17.8 Afrika Timur

2.0 9.5 Afrika Tengah


Afrika Selatan
Catatan
* Asia dan Asia Timur kecuali Jepang;
**Oceania tidak termasuk Australia dan Selandia Baru;
***Perkiraan angka stunting sub-regional Amerika Utara berdasarkan data Amerika Serikat. Tidak ada angka estimasi tersedia untuk regional atau sub regional kategori berkembang di
Eropa, Autralia dan Selandia Baru disebabkan cakupan populasi tidak memenuhi syarat.
menggambarkan regional/sub regional dimana perubahan terjadi secara signifikan

Sumber:

Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020

03
Tabel 1. Estimasi Prevalensi Stunting Secara Global
Stunting Wasting and Severe Wasting Overweight
2000 2019 2019 2019 2000 2019
% stunted % stunted % wasted % wasted % overweight % overweight

foot note

foot note

foot note

foot note

foot note

foot note
(sedang dan (sedang dan (sedang dan (berat) (sedang dan (sedang dan
berat) berat) berat) berat) berat)
Global 32.4 [30.9-34.0] 21.3 [19.7-22.8] 6.9 [5.7-8.2] 2.1 [1.6-2.6] 4.9 [4.3-5.5] 5.6 [4.9-6.4]
Wilayah Amerika Serikat
Regional belum berkembang1 35.7 [34.0-37.4] 23.1 [21.4-24.8] 7.6 [6.2-8.9] 2.3 [1.8-2.9] 4.5 [4.0-5.0] 5.0 [4.3-5.7]
Afrika 37.9 [35.6-40.2] 29.1 [26.8-31.4] 6.4 [5.4-7.5] 1.8 [1.4-2.1] 5.0 [4.1-5.9] 4.7 [3.5-6.0]
Afrika Timur 45.8 [41.2-50.5] 34.5 [30.7-38.5] 5.3 [3.8-7.4] 1.1 [0.8-1.5] 4.8 [3.7-6.2] 3.7 [2.9-4.6]
Afrika Tengah 39.7 [34.1-45.6] 31.5 [26.4-37.0] 6.7 [5.1-8.7] 2.2 [1.7-2.9] 4.3 [2.9-6.4] 5.1 [3.3-7.6]
Afrika Utara 24.2 [18.1-31.6] 17.6 [11.6-25.7] 7.2 [3.6-13.9] 3.1 [1.6-6.2] 8.4 [4.8-14.4] 11.3 [5.6-21.5]
Afrika Selatan 32.8 [28.7-37.2] 29.0 [25.5-32.8] 3.3 [2.2-4.8] 0.9 [0.6-1.2] 10.2 [7.1-14.4] 12.7 [8.6-18.3]
Afrika Barat 36.0 [33.1-39.1] 27.7 [23.8-32.0] 7.5 [6.5-8.6] 1.8 [1.5-2.2] 3.0 [2.3-4.0] 1.9 [1.4-2.5]
Asia2 37.8 [35.5-40.2] 21.8 [19.3-24.3] 9.1 [6.9-11.3] 2.9 [2.1-3.8] 4.0 [3.3-15.2] 4.8 [3.8-5.8]
Asia Tengah 28.2 [21.5-36.0] 9.9 [7.9-12.3] 2.4 [1.6-3.6] 0.6 [0.2-1.8] 9.6 [5.9-15.2] 6.2 [3.3-11.3]
Asia Timur 2 19.2 [17.8-20.6] 4.5 [4.1-4.9] 1.7 [1.6-1.8] 0.4 [0.4-0.4] 6.4 [5.8-7.1] 6.3 [5.5-7.2]
Asia Selatan 49.7 [45.6-53.9] 31.7 [4.1-4.9] 14.3 [10.4-19.3] 4.4 [3.1-6.2] 2.4 [1.5-4.1] 2.5 [1.5-4.4]
Asia Tenggara 38.5 [32.7-44.7] 24.7 [18.7-31.9] 8.2 [5.9-11.4] 3.6 [1.7-7.6] 3.2 [2.5-4.0] 7.5 [4.3-12.6]
Asia Barat 23.0 [16.0-31.8] 12.7 [6.2-24.0] 3.7 [1.5-8.7] 1.1 [0.2-0.4] 6.7 [4.9-9.2] 8.4 [4.6-15.0]
Amerika Latin dan Karibia 16.8 [13.3-20.2] 9.0 [6.1-11.8] 1.3 [0.8-1.7] 0.3 [0.2-0.4] 6.6 [5.5-7.7] 7.5 [6.7-8.4]
Karibia 15.3 [7.5-28.7] 8.1 [3.5-17.8] 2.9 [2.1-4.0] 0.9 [0.8-1.1] 5.1 [3.9-6.5] 7.0 [3.6-13.2]
Amerika Tengah 23.7 [16.6-32.8] 12.6 [8.0-19.3] 0.9 [0.7-1.0] 0.2 [0.2-0.3] 5.9 [4.7-7.3] 6.9 [5.9-8.2]
Amreika Selatan 13.8 [10.4-18.0] 7.3 [4.3-11.9] 1.3 [0.8-2.3] 0.2 [0.1-0.5] 7.1 [5.7-8.9] 7.9 [6.9-9.1]
Oceania3 37.0 [20.2-57.6] 38.4 [21.9-58.1] 9.5 [5.9-15.0 3.6 [2.8-4.5] 4.7 [3.3-6.5] 9.4 [6.1-14.4]
Regional Maju - - - - - -
4 0.8 - - - 8.7 [0.0-22.4] 20.7 [4.8-36.5]
Australia dan Selandia Baru
Eropa - - - - - -
Amerika Utara 4 3.0 2.6 0.4] 0.0 6.7 [6.4-6.9] 8.9 [8.6-9.2]

Sumber: World Bank Group Joint Malnutrition Estimates, UNICEF, WHO 2020

Indonesia merupakan salah satu negara dengan double burden atau masalah gizi ganda, yang ditandai dengan
tingginya prevalensi stunting dan anemia pada ibu hamil. Berdasarkan data stunting JME, UNICEF World Bank
tahun 2020, prevalensi stunting Indonesia berada pada posisi ke 115 dari 151 negara di dunia. Sebagai dampak
dari pandemi COVID-19, tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak kekurangan gizi akut
(wasting) diprediksi akan meningkat sebesar 15% (7 juta anak) di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi
ini.

Proporsi Stunting di Indonesia


Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 angka prevalensi stunting di Indonesia yaitu 36,8%, tahun
2010 yaitu 35,6%, dan pada tahun 2013 prevalensinya meningkat menjadi 37,2%, terdiri dari 18% sangat
pendek dan 19,2% pendek. Data Riskesdas tahun 2018 menunjukkan prevalensi balita stunting di Indonesia
sebesar 30,8%. Berdasarkan batasan WHO Indonesia berada pada kategori masalah stunting yang tinggi.

Balita ataupun Baduta (Bayi dibawah usia Dua Tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat
kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak menjadi lebih rentan terhadap penyakit dan di masa depan dapat
beresiko pada menurunnya tingkat produktivitas. Pada akhirnya secara luas stunting akan dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan dan memperlebar ketimpangan (TN2PK, 2017).

04
Gambar 5. Arah Kebijakan RPJMN Bidang Kesehatan Tahun 2020-2024

ARAH KEBIJAKAN RPJMN BIDANG KESEHATAN 2020-2024

Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan menuju cakupan kesehatan semesta
dengan penekanan pada penguatan pelayanan kesehatan dasar (Primary health care) dan
peningkatan upaya promotif dan preventif didukung oleh

INOVASI DAN PEMANFAATAN TEKNOLOGI

STRATEGI RPJMN 2020-2024

Peningkatan Percepatan Peningkatan Penguatan Peningkatan


kesehatan ibu, anak, perbaikan gizi pengendalian Gerakan Masyarakat pelayanan kesehatan
KB, dan kesehatan masyarakat penyakit Hidup Sehat dan pengawasan
reproduksi (GERMAS) obat dan makanan

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020

Gambar 6. Target Percepatan Penurunan Stunting RPJMN Kesehatan


Tahun 2019 Menurunkan prevalensi stunting Tahun 2024
(pendek dan sangat pendek) pada balita
27,7% 14%
Pandemi Berfikir dan APA?
SKENARIO PERJALANAN PENDEMI COVID-19

COVID-19 Perlu INOVASI Bertindak BAGAIMANA?


TIDAK BIASA

Skenario 1

2020 2021 2022 2023 2024


14%

COVID-19

Skenario 2

2020 2021 2022 2023 2024


14%

Sumber: Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020

05
Secara global, diperkirakan bahwa kasus wasting dan stunting masih meningkat diakibatkan adanya pandemi
COVID-19. Pandemi menyebabkan banyak keluarga terdampak secara ekonomi, banyaknya kasus PHK
menyebabkan perubahan akses terhadap makanan dan juga gangguan terhadap akses ke pelayanan kesehatan.
Tanpa adanya tindakan yang cukup dan tepat waktu, jumlah anak wasting diprediksi akan meningkat sebanyak
15% atau sekitar 7 juta anak di seluruh dunia pada setahun pertama pandemi COVID-19. Penurunan 19. Gross
Domestic Product (GDP) global setiap satu persen akan berakibat pada kenaikan jumlah anak stunting 0,7 juta
di seluruh dunia (Unicef dan SUN Factsheet, 2020).

Jumlah penderita stunting di Indonesia menurut hasil Riskesdas 2018 terus menurun. Tetapi langkah
pencegahan stunting sangat perlu dilakukan, antara lain :
1. Memenuhi kebutuhan gizi sejak hamil
Tindakan yang relatif ampuh dilakukan untuk mencegah stunting pada anak adalah selalu memenuhi gizi
sejak masa kehamilan. Lembaga kesehatan Millenium Challenge Account Indonesia menyarankan agar ibu
yang sedang mengandung selalu mengonsumsi makanan sehat dan bergizi maupun suplemen atas anjuran
dokter. Selain itu, perempuan yang sedang menjalani proses kehamilan juga sebaiknya rutin memeriksakan
kesehatannya ke dokter atau bidan.
2. Beri ASI Eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan
Veronika Scherbaum, ahli nutrisi dari Universitas Hohenheim, Jerman, menyatakan ASI ternyata berpotensi
mengurangi peluang stunting pada anak berkat kandungan gizi mikro dan makro. Oleh karena itu, ibu
disarankan untuk tetap memberikan ASI Eksklusif selama enam bulan kepada sang buah hati. Protein whey
dan kolostrum yang terdapat pada susu ibu pun dinilai mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi.
3. Dampingi ASI Eksklusif dengan MPASI sehat
Ketika bayi menginjak usia 6 bulan ke atas, maka ibu sudah bisa memberikan makanan pendamping atau
MPASI. Dalam hal ini pastikan makanan-makanan yang dipilih bisa memenuhi gizi mikro dan makro yang
sebelumnya selalu berasal dari ASI untuk mencegah stunting. WHO pun merekomendasikan fortifikasi atau
penambahan nutrisi ke dalam makanan. Namun sebaiknya seorang ibu berhati-hati saat akan menentukan
produk tambahan tersebut.
4. Terus memantau tumbuh kembang anak
Orang tua perlu terus memantau tumbuh kembang anak mereka, terutama dari tinggi dan berat badan anak.
Bawa si Kecil secara berkala ke Posyandu maupun klinik khusus anak. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi
ibu untuk mengetahui gejala awal gangguan dan penanganannya.
5. Selalu jaga kebersihan lingkungan
Seperti yang diketahui, anak-anak sangat rentan akan serangan penyakit, terutama kalau lingkungan sekitar
mereka kotor. Faktor ini pula yang secara tak langsung meningkatkan peluang stunting. Studi yang dilakukan
di Harvard Chan School menyebutkan diare adalah faktor ketiga yang menyebabkan gangguan kesehatan
tersebut. Sementara salah satu pemicu diare datang dari paparan kotoran yang masuk ke dalam tubuh
manusia.

06
Gambar 7. Adaptasi Integrasi Intervensi Anemia dan Stunting Pada Masa Pandemi COVID-19

Pre-natal _ 2 tahun
Post-natal <
1. Gizi Seimbang 1. Gizi Seimbang
Remaja putri
2. Pemberian makanan kaya gizi Bayi berat 2. ASI EKSLUSIF
malnutrisi --> PMT Lokal/Formula khusus badan rendah 3. Pemberian makanan kaya gizi
3. Diversifikasi Pangan --> PMT Lokal/Formula khusus
4. Peningkatan pengetahuan gizi, 4. Diversifikasi Pangan
pertumbuhan & perkembangan 5. Pemantauan pertumbuhan dan
-->bayi, balita, anak sekolah, perkembangan
dan remaja 6. Stimulasi Mental
Ibu 5. Peningkatan pengetahuan pola Wasting 7. Imunisasi
malnutrisi asuh anak 8. Suplemen gizi
6. Suplemen gizi 9. Fortifikasi gizi
7. Fortifikasi gizi 10. Air Bersih
8. Air Bersih 11. Sanitasi
9. Sanitasi 12. Higiene
10. Higiene Stunting

Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020

Gambar 8. Upaya Penanggulangan Stunting Terintegrasi

5 PILAR INTERVENSI
1. Komitmen dan Spesifik
visi kepemimpinan 1. Promosi konseling menyusui dan
2. Kampanye nasional dan Pemberian Makanan Bayi dan Anak (PMBA)
komunikasi perubahan 2. Suplementasi gizi (TTD, Kapsul vit A,
perilaku makanan tambahan balita dan bumil
3. Konvergensi program, 3. Pemantauan tumbuh kembang balita
pusat, daerah, desa 4. Tatalaksana gizi buruk Target
4. Ketahanan pangan dan 5. Imunisasi stunting
gizi 14%
5. Pemantauan dan Evaluasi Sensitif Tahun
1. Air bersih dan sanitasi 2024
Lokus 2. Bantuan pangan non tunai
3. Jaminan kesehatan nasional
260 kab/kota di 2020
4. Pendidikan anak usia dini
514 kab/kota di 2024 5. Program keluarga harapan
6. Bina keluarga Balita
7. Kawasan rumah pangan lestari
8. Fortifikasi pangan
Sumber : Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting, 2018-2024

Gambar di atas menyajikan 5 pilar upaya percepatan penurunan stunting , yang perlu ditunjang dengan upaya
intervensi yang bersifat spesifik dan sensitif demi tercapainya target angka stunting sebesar 14% di tahun
2024. 5 Pilar Penurunan Stunting ini dimulai pada 260 kab/kota yang menjadi lokus stunting pada tahun 2020,
untuk kemudian bertambah menjadi 514 kabupaten/kota di tahun 2024.

07
Gambar 9. Diagram Penyebab Terjadi Masalah Stunting

Permasalahan multidimensional,
bukan sebatas kurang makan
27,67% STUNTING Balita

Anak 6-23 bulan 11% Diare Balita


53,4% makan tidak beragam
Penyebab
(Riskesdas 2018) 42,1% Belum mendapat
Langsung Imunisasi Lengkap
(Riskesdas 2018)

Penduduk Balita tidak KK belum


Penyebab 7 Juta Rawan Pangan 45,4% dipantau 22,39% diakses
Tidak (FSVA, 2018) pertambahannya terhadap
Langsung secara rutin sanitasi layak
(Riskesdas 2018) (Riskesdas 2018)

Penduduk >15 tahun


53,4% rerata mendapatkan 26 Juta Penduduk Miskin
Akar (BPS, 2018)
pendidikan kurang
Masalah dari 9 tahun
(SUSENAS, 2018)

Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, 2020

Gambar di atas menerangkan beberapa penyebab terjadinya stunting, yang terdiri dari penyebab langsung dan
tidak langsung. Ternyata faktor intake makanan, diare pada balita, serta imunisasi lengkap sebagai penyebab
langsung dipengaruhi oleh penyebab tidak langsung seperti keluarga tidak memiliki sanitasi layak, kondisi
rawan pangan pada penduduk, dan balita tidak dipantau pertumbuhannya secara rutin. Permasalahan
multidimensi yang menjadi penyebab stunting memerlukan kerjasama dan upaya dari lintas Kementerian/Lintas
Sektor untuk bersinergi dalam upaya percepatan penurunan stunting.

KONDISI BALITA STUNTING DI INDONESIA


Gambar 10. Prevalensi Balita Pendek di Indonesia Tahun 2007-2018
Sangat Pendek Pendek

18,0
17,1
19,2
Situasi
11,5
Stunting
di Indonesia

18,8 18,5 18,0 9,3

2017 2010 2013 2018


Sumber: Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), Balitbangkes Kemenkes RI

08
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007
menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan
menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%.
Upaya keberhasilan program pemerintah ditunjukkan melalui penurunan prevalensi balita pendek pada tahun
2018 menjadi 30,8%.

Gambar 11. Proporsi Stunting pada Balita Menurut Provinsi Tahun 2019

Nusa Tenggara Timur 43,82


Sulawesi Barat 40,38
Nusa Tenggara Barat 37,85
Gorontalo 34,89
Aceh 34,18
Kalimantan Tengah 32,3
Kalimantan Selatan 31,75
Kalimantan Barat 31,45
Sulawesi Tenggara 31,44
Sulawesi Tengah 31,26
Sulawesi Selatan 30,59
Maluku 30,38
Sumatera Utara 30,11
Papua 29,35
Maluku Utara 29,07
Sumatera Selatan 28,98
Kalimantan Timur 28,09
Jawa Tengah 27,68
Sumatera Barat 27,47
Jawa Timur 26,86 INDONESIA :
Bengkulu 26,86
Lampung 26,25 27,67
Kalimantan Utara 26,25
Jawa Barat 26,21
Papua Barat 24,58
Banten 24,11
Riau 23,95
Sulawesi Utara 21,18
DI Yogyakarta 21,04
Jambi 21,03
DKI Jakarta 19,96
Kep. Bangka Belitung 19,93
Kep. Riau 16,82
Bali 14,42
0 10 20 30 40 50

Sumber : Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI, SSGBI 2019

Gambar di atas menyajikan proporsi stunting pada balita Indonesia berdasarkan hasil SSGBI 2019 yaitu sebesar
27,67%. Masih terdapat 18 Provinsi (52,94%) yang memiliki prevalensi stunting lebih tinggi dari angka
nasional.

Situasi Beberapa Indikator Penting Faktor Risiko Terjadinya Stunting di Indonesia


1. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
BBLR berdasarkan Riskesdas 2013 sebesar 10,2% kemudian menurun menjadi sebesar 6,2% pada tahun
2018, dan hal ini meningkatkan risiko stunting pasca lahir.
2. Panjang Badan Lahir Pendek
Panjang Badan Lahir Pendek (PBLP) mengalami kenaikan sebesar 2,5% dari Riskesdas 2013 (20,2%) ke
Riskesdas 2018 (22,6%), dan hal ini juga dapat menyebabkan risiko stunting pasca lahir. Selain itu pada hasil
Riskesdas 2013 diketahui 4,3% bayi memiliki berat lahir rendah dan panjang badan lahir pendek kemudian
menurun sedikit menjadi 4,0% pada hasil Riskesdas 2018.

09
3. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap
Cakupan Imunisasi dasar lengkap berdasarkan hasil Riskesdas 2013 sebesar 59,2% menjadi 57,9% Pada
Riskesdas 2018. Cakupan imunisasi yang menurun sebesar 1,3% dapat menyebabkan balita rentan terhadap
penyakit infeksi dan dapat menyebabkan terjadinya stunting.

Gambar 12. Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap Pada Bayi Tahun 2018-2019

INDONESIA 93,70
68,75
Bali 104,20
100,00
Nusa Tenggara Barat 103,80
100,00 103,30
Jawa Timur 97,37
Sumatera Selatan 88,24 102,90
Jambi 100,00 102,80
DI Yogyakarta 100,00 102,70
Jawa Tengah 100,00 102,60
Lampung 100,00 99,30
Banten 87,50 99,00
DKI Jakarta 100,00 98,00
Jawa Barat 96,30 97,70
Kep. Riau 100,00 96,90
Sulawesi Selatan 86,36 95,50
Bengkulu 80,00 95,50
Sulawesi Tengah 92,31
93,20
Sulawesi Utara 60,00 92,80
Kalimantan Timur 90,00
92,60
Kep. Bangka Belitung 85,71 91,50
Sulawesi Tenggara 70,59 88,40
Kalimantan Tengah 71,43
88,10
Sumatera Utara 60,61 86,20
Kalimantan Selatan 86,10
69,23
Gorontalo 66,67 84,50
Papua Barat 83,40
76,92
Kalimantan Barat 35,71 82,50
80,50
Maluku Utara 30,00
Sulawesi Barat 33,33 79,50
54,55 77,00
Maluku 76,20
Sumatera Barat 47,37
4,55
74,90
Nusa Tenggara Timur
41,67 73,30
Riau 71,90
Papua 10,34
60,00
71,20
Kalimantan Utara 50,90
Aceh 17,39

2019 2018

Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI

4. Cakupan Pemberian Vitamin A


Pada hasil Riskesdas 2013 sebanyak 75,5% anak umur 6-59 bulan menerima vitamin A, sedangkan pada
Riskesdas 2018 pemberian vitamin A sesuai standar menurun menjadi 53,5%. Hal ini disebabkan kriteria
pemberian vitamin A pada Riskesdas 2018 harus memenuhi 2 kali dalam setahun. Risiko yang terjadi jika
terdapat kondisi kekurangan vitamin A pada balita adalah turunnya imunitas tubuh yang kemudian
menyebabkan rentan terhadap infeksi dan berakibat pada kejadian stunting.

10
Gambar 13. Cakupan Pemberian Kapsul Vitamin A Pada Balita Tahun 2018 - 2019

INDONESIA 76,68
86,18
DI Yogyakarta 99,86 100,00
jawa Tengah 99,18 99,45
Bali 96,31 99,33
Nusa Tenggara Barat 97,90
Aceh 94,56 96,17
Lampung 88,92 94,12
Sulawesi Utara 93,43
98,48
Nusa Tenggara Timur 87,12 93,13
Jambi 92,22
93,07
Bengkulu 92,12
92,15
DKI Jakarta 87,62 92,12
Sulawesi Selatan 91,42 91,80
Gorontalo 90,53 91,49
Sumatera Utara 90,97 91,33
Selawesi Tengah 88,34 91,03
Sumatera Barat 85,91 87,36
Kep. Bangka Belitung 88,86 87,27
Banten 79,45 86,57
Kalimantan Selatan 86,95 86,51
Sumatera Selatan 86,31 85,56
Sulawesi Barat 81,66 83,56
Sulawesi Tenggara 83,61
83,48
Riau 86,6 82,24
Kalimantan Barat 84,75 82,01
Kalimantan Tengah 69,55 81,23
Kep. Riau 78,57 79,16
Maluku 77,79 76,92
Kalimantan Timur 74,44 73,77
92,19 70,92
Jawa Timur
Kalimantan Utara 69,7 60,23
Jawa Barat 53,50 71,69
31,97
Papua
Maluku Utara 85,45
Papua Barat

2019 2018

Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI

Gambar di atas menginformasikan pemberian vitamin A pada balita di Indonesia, dimana data Direktorat
Jenderal Kesehatan Masyarakat menunjukkan cakupan tahun 2019 mengalami penurunan sekitar 8%, dari
86,18% pada tahun 2018 menjadi 78,68% pada tahun 2019.

11
5. Pemberian ASI eksklusif
Gambar 14. Cakupan Bayi mendapatkan ASI Eksklusif Tahun 2018 dan 2019
INDONESIA 67,74

Nusa Tenggara Barat 86,26


Kalimantan Timur 78,53
Jawa Timur 78,27
DI Yogyakarta 77,50
Nusa Tenggara Timur 77,02
Sulawesi Barat 76,50
Sumatera Barat 75,92
Riau 73,44
Bengkulu 72,16
Bali 71,71
Sulawesi Selatan 70,82
DKI Jakarta 70,22
Jawa Tengah 69,46
Lampung 69,33
Jambi 69,10
Kalimantan Selatan 68,02
Sulawesi Tenggara 66,81
Kalimantan Utara 64,25
Kalimantan Barat 63,61
Jawa Barat 63,53
Maluku Utara 60,06
Kep. Bangka Belitung 60,00
Kep. Riau 59,75
Sumatera Selatan 57,79
Kalimantan Tengah 57,35
Aceh 55,24
Sulawesi Tengah 54,69
Banten 53,96
50,90
Sulawesi Utara
Sumatera Utara 50,35
Gorontalo 49,29
43,35
Maluku
Papua 41,42
Papua Barat 41,12

2019 2018

Sumber: Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat, Kemenkes RI

Berdasarkan gambar di atas, cakupan ASI eksklusif di Indonesia tahun 2019 sebesar 67,74% atau menurun
1,0% jika dibandingkan dengan cakupan ASI eksklusif tahun 2018 sebesar 68,74%. ASI eksklusif merupakan
salah satu upaya penting untuk mencegah terjadinya stunting.

6. Pemberian MP-ASI
Cakupan pemberian MP-ASI pada hasil Riskesdas 2018 masih rendah, yaitu sebesar 46,6%. Dapat diartikan
bahwa separuh bayi tidak mendapatkan MP-ASI minimum yang dianjurkan, dan dapat memicu kejadian
stunting.

Pertanyaan pemberian MP-ASI pada Riskesdas 2018 bertujuan untuk memperoleh data atau informasi
tentang jenis makanan pendamping ASI yang pertama kali diberikan kepada bayi. Jenis makanan pendamping
ASI yang pertama kali diberikan biasanya satu macam tetapi tidak menutup kemungkinan
kombinasi/gabungan dari 2 macam jenis makanan/minuman seperti biskuit yang dicampur dengan susu
formula.
7. Anemia pada ibu hamil
Pada Riskesdas 2018 diketahui 48,8% ibu hamil mengalami anemia, meningkat jika dibandingkan hasil
Riskesdas 2013 dimana proporsi wanita hamil mengalami anemia sebesar 37,1%.

12
8. Diare pada balita
Insidens diare pada balita berdasarkan diagnosis dan gejala pada hasil Riskesdas 2013 sebesar 6,7%,
kemudian meningkat pada Riskesdas 2018 sebesar 12,3%. Kasus diare pada balita dapat juga memicu
terjadinya stunting.

Gambar 15. Faktor Risiko pada Ibu dan Anak dalam Konteks COVID-19
Terjadinya Kejadian Malnutrisi
BASIC RISK DRIVERS UNDERLYING RISK DRIVERS IMMEDIATE RISK DRIVERS

TERGANGGUNYA KESEHATAN IBU DAN ANAK


KONTEKS YANG TIDAK BERKURANGNYA PENGHASILAN PRAKTIK PEMBERIAN MAKAN YANG
PRIORITAS DAN KETERBATASAN SUMBER DAYA TIDAK BERGIZI & KERAWANAN PANGAN
ASUPAN MAKANAN STUNTING
YANG BURUK
Pengalihan kebijakan Rantai pasokan makanan
kepada perawatan Meningkatnya kemiskinan terbatas atau terputus,
kesehatan darurat dan berkurangnya menyebabkan kerawanan
daya beli pangan
Pengurangan WASTING
pengeluaran sektor Limited/interruped Putus sekolah dan
sosial atau pengalihan social safety nets terganggunya program
untuk konseling nutrisi
penanganan COVID Terganggu/terhentinya INSIDENSI PENYAKIT
Pendidikan TERBATASNYA PELAYANAN DAN LEBIH TINGGI DENGAN
Meningkatnya FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN DURASI SAKIT BERAT BADAN KURANG
ketimpangan status berkurangnya pencarian LEBIH LAMA
sosial ekonomi terhadap pelayanan kesehatan

Akses terbatas ke kontrasepsi


modern dan keluarga berencana- USIA KEHAMILAN
mendorong kehamilan TERLALU MUDA
berisiko tinggi

Mengurangi cakupan pelayanan RISIKO TRANSFER


kesehatan antenatal ANTARGENERASI YANG DEFISIENSI
LEBIH TINGGI MIKRONUTRIEN IBU
Terbatasnya pelayanan dan (TERGANGGUNYA DAN ANAK
persediaan untuk persalinan KESEHATAN IBU)
ibu dan anak secara teratur,
misalnya imunisasi
LINGKUNGAN RUMAH TANGGA
TIDAK SEHAT

Akses Terbatas / kedekatan


dengan layanan yang tersedia
(misalnya: air bersih, sanitasi
yang aman)

Sumber : https://academic.oup.com/ajcn/article-abstract/doi/10.1093/ajcn/nqaa171/5860091

Gambar 16. Tantangan Penurunan Stunting dan Wasting


Baseline 2018: 30,8% Baseline 2018: 10,2%
Pelaksana
2020
2020 Kemenkes, BKKBN, Kemendikbud, Kemensos, 8,1%
24,1% 2021 KemenPU&PR, Kemendagri, Kementan, Kemenperin, 2021
21,1% Kemenag, KKP, KemenPP&PA, Kemenkominfo, BPOM, 7,8%
KemendesPDTT, Kementerian PPN/Bappenas,
KemenkoPMK, BPS, Kemendag, Kemensetneg, BATAN
2022 dan Pemda 2023
2023 7,3% 2022
18,4% 7,5%
16%

Stunting Balita Wasting Balita


(persen) 2024 (persen)
2024
14% 7%

Anemia Ibu Hamil Ibu Hamil KEK Balita gizi kurang Obesitas dewasa
48,9% 17,3% 10,2% 21,8%

2024: 20% 2024: 10% 2024: 7% 2024: tidak terjadi


kenaikan
konsekuensi terhadap Berisiko terhadap berat gagal tumbuh dan cenderung Berisiko obesitas dan PTM
perkembangan janin badan bayi lahir rendah pendek dibanding usianya saat dewasa

Sumber : Direktorat Gizi Masyarakat, 2020

13
Daftar Pustaka
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan,
Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia, Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan,
Badan Pusat Statistik ; 2019. Laporan Pelaksanaan Integrasi SUSENAS Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019,
Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2019. Laporan Nasional Riskesdas
Tahun 2018, Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.
Unicef,WHO Geneva, etc. 2020. Levels And Trends In Child Malnutrition, UNICEF / WHO / World Bank Group
Joint Child Malnutrition Estimates, Key findings of the 2020 edition, Washington DC: UNICEF, WHO Geneva and
the Development Data Group of the World Bank.
World Health Organization, 2019. Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators,
Interpretation Guide 2nd Edition, Switzerland: World Health Organization.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2019. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018, Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI, 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019, Jakarta:
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. 2014. Riskesdas 2013 dalam Angka, Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
Yulis DCN, M.Kes, dr. Rita Ratna. 24 Oktober 2020. Peran Stake Holder Untuk Penanganan Masalah Gizi pada
Anak di Masa Pandemi COVID-19, 24 Oktober 2020, Depok: FKM Universitas Indonesia.
Izwardy, Dody. 5 Agustus 2020. Inovasi Program Perbaikan Gizi, 5 Agustus 2020, Jakarta: Direktorat Gizi
Masyarakat Kementerian Kesehatan RI.
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 2017. 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi
Anak Kerdil (Stunting), Jakarta: Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan.
Pencegahan Stunting Pada Anak, 2019, [Diakses November 2020] Dari :
https://promkes.kemkes.go.id/pencegahan-stunting
https://twitter.com/CIFFchild/status/689126684981891073, diakses 20 November 2020

14
Topik Terkait
Pemantauan
Pertumbuhan untuk
Pencegahan Stunting
Penulis
Andri Mursita, SKM, M.Epid
Staf Subdit Surveilans Gizi di Direktorat Gizi Masyarakat.
Merupakan Lulusan Program Sarjana Kesehatan Masyarakat
dan Pasca Sarjana Epidemiologi di Universitas Indonesia.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan permasalahan gizi balita yaitu stunting (pendek) dan wasting
(gizi kurang) yang cukup tinggi. Di antara negara ASEAN, stunting di Indonesia (30,8%) masih lebih tinggi jika
dibandingkan negara tetangga seperti Thailand (10,5%) dan Malaysia (20,7%). Pada Tahun 2019, diperkirakan
ada sekitar 6,6 juta balita stunting atau 3 dari 10 anak di Indonesia mengalami stunting. Stunting merupakan
kondisi gagal tumbuh dan kembang di awal masa kehidupan yang disebabkan adanya gangguan kronis,
rendahnya asupan gizi, penyakit infeksi, dan pola asuh yang tidak memadai sejak masa kehamilan, bahkan
adanya gangguan gizi dan kesehatan pada masa pra-kehamilan (Frongillo, 1999).

Anak stunting diidentifikasi dengan membandingkan panjang atau tinggi badan terhadap standar yang
disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin. Stunting memiliki banyak patologi perubahan yang ditandai dengan
peningkatan retardasi pertumbuhan linier, kesakitan dan kematian, mengurangi kapasitas fisik, perkembangan
saraf serta kerugian ekonomi. Stunting merupakan siklus antar generasi (gambar 17). Wanita yang mengalami
stunting cenderung melahirkan anak stunting yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas ekonomi
hingga meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan di masyarakat yang terjadi secara terus menerus
(Prendergast & Humphrey, 2014).

15
Gambar 17. Sindrom Stunting, 2014
Masa kehamilan Neonatal
- BBLR
- Tidak cukup asupan makanan
- Usia kelahiran
- Adanya infeksi intrauterine - Pengenalan MPASI <6 bulan
terlalu muda
(janin) - Kurang baiknya praktek pola
- Kelahiran premature
- Infeksi yang sistemik dan pemberian MPASI
- Lingkar kepala kecil
atau adanya radang - Kurangnya praktek cuci tangan
- Hiperinsulinemia
- Embryonic Ectodrm Usia 2 tahun berakibatkan diare
Development (EED) - Kejadian infeksi berulang
ZscoreTB/U <-2SD
- Polusi udara - Pajanan terhadap mycotoxin,
- Meningkatkan morbiditas
logam arsen,
Konsespsi
dan mortalitas terhadap
kejadian infeksi bahan bakar biomass
- Terhambatnya - Kurangnya stimulasi
kemampuan motoric bayi perawatan
- Depresi pada ibu
Pra Konsepsi
Asupan gizi cukup
Intervensi pemberian namun kalori berlebihan
makanan sangat - Ketidakcukupan asupan
diperlukan zat gizi dan energi
Dewasa - Kurangnya praktek cuci
Stunted tangan berakibat diare
Overweight Usia Sekolah - Kejadian infeksi berulang
Obesitas Sentral - Overweight - Pajanan terhadap mycotoxin
Hipertensi - Peningkatan BB/U - Kecilnya kesempatan
Diabetes relative terhadap TB/U perbaikan perkembangan
Dewasa CVD dan petumbuhan anak
Pendek
Stamina Fisik Rendah Usia Sekolah
IQ Rendah
Kurangnya pendapatan - Zscore TB/U <-2SD
dan miskin - Lebih sedikit tahun
bersekolah
- Buruknya prestasi
PUBERTAS di sekolah

Dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia, pemerintah baik pusat maupun daerah bersama swasta dan
masyarakat melaksanakan program percepatan penurunan stunting dengan pendekatan multisektoral yang
terintegrasi dalam memberikan intervensi spesifik dan sensitif pada kabupaten/kota lokus yang telah
ditetapkan secara bertahap.

Intervensi spesifik adalah kegiatan mengatasi penyebab langsung terjadinya stunting yang dilakukan oleh sektor
kesehatan, sedangkan intervensi sensitif adalah kegiatan untuk mencegah dan mengurangi masalah gizi secara
tidak langsung seperti penyediaan air minum dan sanitasi yang dilakukan oleh sektor non kesehatan.

Intervensi spesifik meliputi: 1) promosi dan konseling PMBA termasuk konseling ASI Esklusif; 2) Pemantauan
dan promosi pertumbuhan dan perkembangan; 3) Suplementasi gizi mikro meliputi Tablet Tambah Darah bagi
ibu hamil dan remaja putri, Vitamin A bagi ibu nifas dan balita; 4) Suplementasi zat gizi makro (makanan
tambahan bagi ibu hamil dan balita); 5) Tatalaksana Gizi buruk; 6) Pemeriksaan kehamilan dan imunisasi; dan 7)
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

Selain stunting, kekurangan gizi lainnya pada balita adalah wasting. Berdasarkan waktu terjadinya, stunting
merupakan kekurangan gizi yang berlangsung lama dan berulang sedangkan wasting terjadi dalam waktu yang
singkat. Stunting ditandai dengan hambatan pertumbuhan tinggi badan yang dinilai menggunakan indeks tinggi

16
badan menurut umur dan merupakan indikator jangka panjang yang cukup kuat dalam menilai kematian dan
produktifitas sedangkan wasting ditandai dengan menurunnya berat badan menurut umur atau berat badan
menurut tinggi badan atau Lingkar Lengan Atas (LILA) dan merupakan indikator jangka pendek yang cukup baik
dalam menilai kematian (gambar 18).

Gambar 18. Bentuk Kekurangan Gizi pada Balita

KEKURANGAN GIZI

STUNTING WASTING

Hambatan Pertumbuhan Tinggi Turunya Berat Badan menurut Umur


Badan menurut Umur atau Berat Badan menurut Tinggi Badan
atau LILA

TB/U BB/TB atau LILA


Indikator Jangka Panjang Indikator Jangka Pendek
Kematian dan Produktifitas Kematian

Menurut Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), kekurangan gizi berkontribusi pada
hampir setengah dari kematian balita di seluruh dunia. Identifikasi gangguan pertumbuhan dan intervensi sejak
dini dapat mencegah terjadinya masalah gizi pada anak dan juga masalah kesehatan dan gizi pada remaja, orang
dewasa, dan lansia. Dengan demikian segala upaya perbaikan gizi pada usia dini merupakan investasi jangka
panjang untuk kesehatan dan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat umum.

Pemantauan pertumbuhan merupakan salah satu kegiatan program perbaikan gizi sebagai upaya untuk
mencapai derajat kesehatan balita yang optimal. WHO mendefinisikan pemantauan pertumbuhan sebagai
intervensi gizi yang mengukur berat badan anak dan memetakan hasil pengukuran berat badan tersebut ke
dalam kurva pertumbuhan, serta menggunakan informasi tersebut untuk memberikan konseling kepada para
orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat untuk memperbaiki pertumbuhan anak.
Pemantauan pertumbuhan adalah bagian dari kegiatan rutin pemantauan pertumbuhan dan perkembangan pada
pelayanan gizi dan kesehatan di puskesmas. Namun, untuk memberdayakan dan memberikan kemudahan
kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, maka kegiatan pemantauan pertumbuhan
dilakukan di posyandu sebagai bentuk Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Pemantauan
pertumbuhan di posyandu dilakukan oleh kader dengan didampingi tenaga kesehatan. Untuk memperluas
cakupan, pemantauan pertumbuhan setiap bulan dapat dilakukan juga di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),

Taman Kanak-kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA), dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPQ), sebagaimana tertuang
dalam surat komitmen bersama 6 Menteri mengenai Optimalisasi Pemantauan Pertumbuhan dan Perkembangan
Balita serta Edukasi kepada Masyarakat untuk Percepatan Pencegahan Stunting.

17
Kementerian Kesehatan telah menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak untuk menggantikan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1995/Menkes/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Berdasarkan Pasal 3
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020, disebutkan bahwa Standar Antropometri Anak wajib
digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan, pengelola program, dan para pemangku kepentingan terkait
untuk penilaian status gizi anak dan tren pertumbuhan anak. Salah satu perwujudan dari penilaian status gizi
anak dan tren pertumbuhan anak adalah pemantauan pertumbuhan.

Prinsip pemantauan pertumbuhan balita adalah semua anak dipantau secara teratur pertumbuhannya sehingga
deteksi dini timbulnya masalah gizi dapat segera di intervensi. Dalam setahun, sebaiknya minimal anak
ditimbang sebanyak 8 kali dan diukur tinggi badannya sebanyak 2 kali di posyandu (SPM, 2019). Dalam konteks
wilayah, kegiatan pemantauan pertumbuhan diharapkan dapat menjangkau seluruh sasaran balita agar
pelaksanaan program penanggulangan dan pencegahan masalah gizi khususnya stunting dapat berjalan secara
optimal.

Pemantauan pertumbuhan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan, yakni: (1) Penimbangan setiap bulan,
pengisian buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)/Kartu Menuju Sehat (KMS), dan penentuan status pertumbuhan
menurut grafik pertumbuhan anak berdasarkan indikator berat badan menurut umur; (2) mencatat dan
melaporkan hasil pemantauan pertumbuhan; (3) memberikan konseling dan menindaklanjuti setiap kasus
gangguan pertumbuhan dengan dengan rujukan; dan (4) menindaklanjuti dalam bentuk kebijakan dan program
di tingkat masyarakat, serta meningkatkan motivasi untuk memberdayakan keluarga.

Gambar 19. Alur pemantauan pertumbuhan di Posyandu

PENIMBANGAN
PENDAFTARAN
BALITA

PENGISIAN KMS

PELAYANAN
PENYULUHAN
OLEH PETUGAS

18
Penilaian pertumbuhan dilakukan dengan antropometri karena dinilai lebih mudah, tidak mahal, dan tidak
membahayakan. Antropometri adalah suatu metode yang digunakan untuk menilai ukuran, proporsi, dan
komposisi tubuh manusia. Antropometri untuk pengukuran berat badan yang umum digunakan di posyandu
adalah dacin. Dacin memiliki ketelitian 100 g dan kapasitas maksimum 25 kg serta cukup kuat. Namun saat ini,
pengukuran berat badan di posyandu ada yang sudah menggunakan timbangan injak. Prinsip penggunaan alat
adalah sesuai dengan rekomendasi dan tentunya harus konsisten.

Standar pemantauan pertumbuhan anak adalah persyaratan yang harus diikuti untuk menjamin kualitas
pelayanan gizi pemantauan pertumbuhan anak. Informasi yang diperoleh dari pengukuran tersebut digunakan
untuk memberikan konseling kepada orang tua/pengasuh agar mereka dapat mengambil tindakan yang tepat
untuk memperbaiki pertumbuhan anak. Pemantauan pertumbuhan anak juga bertujuan untuk memastikan
bahwa setiap anak tumbuh mengikuti jalur pertumbuhan anak-anak sehat. Dengan demikian, kegiatan ini juga
dapat difungsikan sebagai langkah deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak. Anak yang terdeteksi
mengalami gangguan pertumbuhan dapat segera ditangani agar dapat kembali ke jalur pertumbuhan anak
sehat.

Dalam mengoptimalkan kegiatan pemantauan pertumbuhan, digunakan buku KIA atau KMS untuk mencatat
hasil kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan. Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA)
merupakan buku yang berisi lembar informasi dan catatan kesehatan serta catatan khusus adanya kelainan ibu
selama hamil, bersalin sampai nifas serta anak (janin, bayi baru lahir, bayi dan anak sampai usia 6 tahun). Ibu
harus membawa buku KIA setiap kali melakukan pemantauan pertumbuhan di posyandu atau berkunjung ke
fasilitas pelayanan kesehatan, misalnya puskesmas. Salah satu isi dari Buku KIA adalah acuan kurva
pertumbuhan anak yang disebut sebagai KMS berdasarkan indeks antropometri berat badan menurut umur
(BB/U) dan dibedakan berdasarkan jenis kelamin. KMS untuk anak laki-laki berwarna biru, sedangkan KMS
untuk anak perempuan berwarna pink. Kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dibedakan menurut jenis
kelamin karena anak laki-laki mempunyai pola pertumbuhan yang berbeda dibandingkan dengan anak
perempuan. Halaman depan KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur dari usia 0-2 tahun,
sedangkan halaman belakang KMS berisi kurva pertumbuhan berat badan menurut umur anak dari usia 2-5
tahun (gambar 20).

Gambar 20. KMS dan Buku KIA

Buku KIA KMS anak perempuan

19
Grafik
KMS anak laki-laki Pertumbuhan Anak

Penilaian Pertumbuhan Anak adalah menilai pertambahan berat badan anak dibandingkan dengan standar
kenaikan berat badan. Pertumbuhan bersifat simultan, yakni terjadi pada waktu yang bersamaan, tetapi
kecepatannya bisa berbeda-beda. Jika pertumbuhan berat badan dapat dipertahankan normal, maka
panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga akan normal. Namun, saat pertumbuhan berat badan mengalami
gangguan (growth faltering), yaitu tidak sesuai dengan yang seharusnya, maka pada saat yang bersamaan
pertumbuhan panjang/tinggi badan dan lingkar kepala juga mengalami gangguan. Pertumbuhan anak dievaluasi
menggunakan grafik pertumbuhan berat badan dan kenaikan berat badan berdasarkan Kenaikan Berat Badan
Minimal (KBM). Kader menghubungkan garis pertumbuhan antara bulan ini dan bulan lalu. Apabila anak tidak
ditimbang bulan lalu, maka garis pertumbuhan tidak dapat dihubungkan. Masalah yang dialami anak seperti
kurang nafsu makan atau sakit, maka kejadian tersebut dicatat dalam grafik pertumbuhan.

Untuk mengetahui ada tidaknya perubahan, maka pengukuran antropometri harus dilakukan secara teratur.
Pengukuran yang dilakukan satu kali hanya dapat menunjukkan ukuran pada saat itu sehingga tidak dapat
memberikan informasi mengenai perubahan yang terjadi, misalnya peningkatan, tetap, atau penurunan. Dengan
demikian, pengukuran antropometri juga berfungsi sebagai alat deteksi dini gangguan pertumbuhan pada anak,
misalnya risiko gagal tumbuh, risiko stunting, atau risiko kegemukan. Ketika gangguan pertumbuhan terdeteksi,
maka dapat dilakukan tata laksana lanjutan dengan segera dalam bentuk konfirmasi penilaian status gizi dan
tindak lanjut, baik berupa konseling maupun rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Dengan demikian,
gangguan pertumbuhan dapat diatasi secara dini. Kader melakukan kunjungan rumah (sweeping) ke rumah
tangga balita yang tidak hadir di posyandu untuk menimbang sekaligus mengedukasi ibu balita tentang
pentingnya melakukan pemantauan pertumbuhan setiap bulan.

Jika anak memiliki risiko gangguan pertumbuhan seperti grafik memotong garis pertumbuhan dibawahnya atau
pertumbuhan mendatar atau menurun, maka kader mencatat dan melaporkan kejadian gangguan pertumbuhan
kepada tenaga kesehatan, serta merujuk ke fasyankes atau puskesmas untuk ditindaklanjuti. Selain itu, kader
juga tetap memberikan konseling kepada ibu/pengasuh dan menganjurkan untuk kembali ke posyandu pada
bulan berikutnya (gambar 21).

20
Gambar 21. Alur deteksi dini
PEMANTAUAN PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN
- Penimbangan teratur
- Plot di KMS
- Interpretasi grafik pertumbuhan

Pertumbuhan Ada indikasi gangguan

pendampingan
Normal pertumbuhan
(berat badan tidak naik)

Edukasi dan mendorong Dirujuk ke puskesmas


pemanfaatan pelayanan atau yankes terdekat
kesehatan untuk dikonfirmasi

Konseling PMBA dan Identifikasi masalah gizi Intervensi


promosi pemantauan konseling PMBA
pertumbuhan Tidak intervensi

Pesan umum yang disampaikan agar ibu/pengasuh dapat menerapkan Prinsip Gizi Seimbang kepada anak,
diantaranya adalah:
1) mengonsumsi aneka ragam pangan dengan jumlah dan jenis sesuai dengan umur anak,
2) membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat,
3) melakukan aktivitas fisik, termasuk bermain dan kegiatan yang dapat menstimulasi anak,
4) memantau berat badan secara teratur untuk mempertahankan berat badan normal,
5) menyampaikan kepada ibu untuk kembali ke Posyandu di bulan berikutnya.

Di fasyankes atau puskesmas, tenaga kesehatan akan melakukan konfirmasi dengan pengukuran ulang. Selain
menilai pertumbuhan tenaga kesehatan juga melakukan penilaian status gizi anak melalui pengukuran berat
badan dan tinggi badan. Jika anak mengalami masalah gizi baik stunting atau gizi kurang maka tenaga kesehatan
akan mengidentifikasi penyebab masalah gizi tersebut agar dapat memberikan intervensi secara tepat dan
komprehensif. Anak yang medapat intervensi harus dilakukan pendampingan dengan melibatkan peran kader
dan masyarakat.

Setiap bulan Februari dan Agustus, pemantauan pertumbuhan dilakukan terintegrasi dengan pemberian kapsul
vitamin A, anak usia 6- 11 bulan mendapatkan vitamin A berwarna biru (kandungan vitamin A sebesar 100,000
IU) sedangkan anak 12 – 59 bulan mendapat mendapatkan vitamin A berwarna merah (kandungan vitamin A
sebesar 200,000 IU).

21
Pada masa pandemi COVID-19 kegiatan pemantauan pertumbuhan diupakan tetap dilakukan dengan merujuk
pada keputusan pemerintah daerah mengenai hari buka posyandu. Pelayanan dilakukan melalui modifikasi
dengan pendekatan protokol kesehatan. (gambar 22)

Gambar 22. Modifikasi Kegiatan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan di Posyandu

Sebelum hari Posyandu


Menyusun jadwal Hari Posyandu
Cek suhu dan
Cek kesehatan petugas cuci tangan pakai sabun Kehadiran sesuai jadwal
Pembagian tugas
Penyiapan undangan 1
Penyiapan area
8 2 Meja Pendaftaran &
Posyandu menyerahkan kain
timbang bersih
Pencatatan
melalui ePPGBM

7 Posyandu 3 Menunggu giliran


Pelayanan kesehatan dengan menjaga
(Vit A Feb & Agustus) jarak 1-2 m

Ploting, konseling,
6 4 Penimbangan pengukuran
janji temu bagi
balita berisiko 5 pantau perkembangan

Setelah hari Posyandu


Melengkapi pencatatan
Pencatatan hasil Kunjungan rumah balita
di buku KIA
berisiko
Edukasi melalui daring
atau kelompok terbatas

Seluruh kegiatan pemantauan pertumbuhan oleh tenaga kesehatan direkam kedalam Sistem Informasi Gizi
(SIGIZI) Terpadu sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan yang berbasis data individu by name by address.
Pencatatan dan pelaporan dapat dilakukan secara elektronik yang memungkinkan untuk melakukan input data
lebih komprehensif, membantu proses komunikasi dan pengiriman data ke unit lainnya secara cepat sehingga
dapat memberikan analisis kinerja program yang lebih tepat. Proses pencatatan dan pelaporan secara elektronik
ini pada dasarnya mengikuti prinsip-prinsip dasar yang sama dengan proses pencatatan dan pelaporan secara
manual. Pencatatan dan pelaporan yang baik akan bermanfaat bagi kegiatan monitoring yang efektif. Sistem ini
dapat diakses melalui alamat sigiziterpadu.gizi.kemkes.go.id

22
Gambar 23. Dashboard Sistem Informasi Gizi Terpadu

23
Gambar 24. Grafik pada Sistem Informasi Gizi Terpadu

24
Daftar Pustaka
Frongillo, E. A. (1999). Symposium: Causes and Etiology of Stunting. Introduction. The Journal of
Nutrition, 129(2S Suppl), 529S-530S. https://doi.org/10.1093/jn/129.2.529S
JME UNIICEF World Bank, 2020.
Kementerian Kesehatan, 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 tahun 2020 tentang Standar
Antropometri Anak
Kementerian Kesehatan, 2019. Riskesdas 2018
Kementerian Kesehatan, 2020. Laporan SSGBI 2019
Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries.
Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–265.
https://doi.org/10.1179/2046905514Y.0000000158
WHO Multicentre Growth Reference Study Group. (2006). Assessment of differences
in linear growth among populations in the WHO Multicentre Growth Reference Study. Acta
Pædiatrica, (Suppl 450), 56–65. https://doi.org/10.1080/08035320500495514

25
Topik Terkait
Hubungan Antara
Infeksi Parasit Usus
dengan Pendek
Penulis
Dr. Syarief Darmawan, S.ST, M.Kes
Dosen di jurusan Poltekkes Kemenkes Jakarta II sejak tahun
2003. Menamatkan Program Doktoral di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dalam Program Doktor Ilmu Biomedik
pada tahun 2019 dengan judul desertasi : Peran Inflamasi
usus pada Anak Usia di Bawah 2 Tahun terhadap Kejadian
Pendek.

I. Latar Belakang

Infeksi parasit usus dapat mengganggu tumbuh kembang anak dan menurunkan produktivitas anak karena
cacing usus menghisap zat gizi host sehingga anak kekurangan zat gizi, anemia, berat badan menurun, dan
pertumbuhannya terhambat1. Ada hubungan yang signifikan antara intensitas infeksi Soil Transmitted Helminths
(STH) tunggal atau campuran terhadap status gizi pendek.2 Infeksi parasit usus dapat disebabkan oleh cacing,
virus, bakteri dan protozoa. Infeksi bakteri disebabkan oleh bakteri shigella, sedangkan infeksi protozoa dikenal
sebagai disentri amuba karena kontaminasi melalui oral dari kista E. histolytica yang merupakan
mikroorganisme an-aerob bersel tunggal dan bersifat pathogen sehingga menyebabkan disentri pada anak yang
usianya di atas lima tahun tetapi jarang ditemukan pada balita.3

Infeksi cacing usus terutama cacing yang ditularkan melalui tanah STH dapat menyebabkan gangguan gizi dan
merupakan infeksi kronis yang paling banyak menginfeksi anak balita dan anak usia sekolah dasar (SD).
Prevalensi parasit usus pada anak SD di Bekasi pada tahun 2012 sebesar 64,6% dengan rincian B. hominis
43,1%, E. coli 3,1%, G. lamblia 3,1%, H. nana 2,3%. Infeksi campur B. hominis dan E. coli 3,1%, B. hominis dan
G. lamblia 8,5%, B. hominis dan T. trichiura 0,8%, dan infeksi campur B. hominis, E. coli, T. trichiura dan H. nana
0,8%.1

26
Kompilasi dari 101 penelitian yang dilakukan mulai tahun 1970-2013 di Malaysia terhadap infeksi parasit usus
mendapatkan hasil 342 anak yang diteliti 24,6% positif terhadap infeksi parasit usus dengan rincian 32,3%
anak-anak pedesaan, 20,6% tuna wisma perkotaan dan 5,4% anak-anak dari rumah susun positif terhadap satu
atau lebih parasit. Parasit yang paling umum ditemui adalah Trichuris trichiura (20,2%) diikuti oleh Ascaris
lumbricoides (10,5%) dan cacing tambang (6,7%). Tidak ada kasus cacing tambang yang dilaporkan pada
anak-anak perkotaan sedangkan 12,2% anak-anak pedesaan positif. Parasit protozoa yang paling umum
dideteksi adalah Entamoeba coli (3,2%) diikuti oleh Giardia intestinalis (1,8%), Entamoeba histolytica (1,8%)
dan Blastocystis hominis (1,2%). Hampir seperlima (18,4%) anak-anak memiliki infeksi tunggal diikuti oleh dua
kali lipat (12,0%) dan infeksi tiga kali lipat (1,2%). Anak-anak penduduk asli (44,3%) memiliki tingkat infeksi
tertinggi diikuti oleh orang India (20,2%), Melayu (14,0%) dan Cina (11,9%).4

Makro parasit seperti cacing adalah kelompok parasit yang mampu memperpanjang infeksi dengan peningkatan
sel imunoregulasi, penghambatan respons Sel Limphosit T-helper 1 (Th1) atau Th2, reseptor pengenalan pola
target dan mengurangi jumlah sel kekebalan melalui induksi apoptosis. Apoptosis yang dipicu kecacingan
melemahkan imunitas host sehingga membuka jalan untuk menghasilkan lingkungan mudah terinfeksi dan
infeksi kronis.5 Diare akut yang disebabkan oleh infeksi parasitik dapat didiagnosa meIalui pemeriksaan
spesimen feses. Protozoa usus dapat ditemukan di feses, baik dalam bentuk motil (trofozoit) ataupun bentuk
kista.6

Peran usus yang sehat dalam mencapai pertumbuhan fisik yang sehat kadang-kadang kurang mendapatkan
perhatian. Usus merupakan sebuah komponen utama dari penyerapan zat gizi dalam tubuh, bertindak sebagai
antarmuka antara asupan gizi dan pertumbuhan, dan elemen penting dari sistem kekebalan tubuh. Sebuah usus
yang bebas dari peradangan persisten mungkin menjadi elemen penting untuk mencapai pertumbuhan fisik yang
sehat.7 Populasi mikroba dalam usus berpengaruh dalam mengoptimalkan penyerapan dan pemanfaatan gizi
bagi tubuh.8

Status gizi pendek merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara gizi yang tidak optimal, kesehatan usus
yang buruk, penyakit infeksi, fungsi imunitas tubuh menurun, keturunan (genetika) dan hormonal. Berdasarkan
uraian pada latar belakang tersebut di atas, maka dirasa perlu untuk menelusuri literatur mengenai hubungan
antara infeksi parasit usus dengan status gizi pendek.

II. Infeksi Cacing Saluran Cerna Manusia


A. Spesies Cacing
Spesies utama yang menginfeksi saluran cerna manusia adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing
cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale). World

27
Health Organization (WHO) menggolongkan cacing ini sebagai infeksi cacing yang ditularkan melalui
tanah/Soil-Transmitted Helminths (STH). Cacing ini ditransmisikan oleh telur yang ada dalam kotoran manusia
kemudian mencemari tanah di daerah dengan sanitasi buruk. Kecacingan termasuk dalam masalah kesehatan
masyarakat karena cacing mengganggu kemampuan individu untuk menyerap zat gizi, dan bagi anak-anak dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangan fisik.

Proses penularan terjadi secara tidak langsung antar individu, tetapi harus ditransmisikan melalui tanah yang
terkontaminasi kotoran manusia, karena telur cacing membutuhkan waktu 3 minggu untuk matang di tanah
sebelum menjadi infeksi dan cacing ini juga tidak berkembang biak di host manusia.9 Cacing gelang dan
tambang hidup di usus halus manusia, sedangkan cacing cambuk hidup di usus besar. Ketiga cacing dapat hidup
mulai dari 1 sampai 7 tahun. Cacing gelang dapat mencapai panjang 150-400 mm, cacing cambuk memiliki
panjang 30-50 mm dan 7-13 mm panjang dari cacing tambang. Cacing betina dari ketiga cacing dapat
menghasilkan telur lebih dari 1000 telur per hari.10

B. Epidemiologi Infeksi Soil Transmitted Helminths (STH)


Prevalensi trichuriasis adalah sekitar 477 juta di seluruh dunia, dengan jumlah infeksi terbesar di Asia, Afrika
Sub-Sahara, dan daerah tropis Amerika.11 Iklim merupakan variabel utama dari penyebaran infeksi ini. Kondisi
yang lembab dan suhu yang panas sangat diperlukan bagi perkembangan larva dalam tanah. Jika kelembaban
rendah telur A. lumbricoides dan T. trichiura tidak akan berkembang dengan baik dan larva cacing tambang akan
cepat mati. Telur A. lumbricoides memerlukan temperatur yang berkisar antara 20o-25oC, T. trichiura sekitar
30oC dan N. americanus memerlukan temperatur optimum antara 28o-32oC.t

T. trichiura tidak memiliki inang reservoir. Beban penyakit akibat trichuris lebih tinggi pada kelompok
anak-anak daripada orang dewasa. Anak-anak yang terinfeksi berat dapat menyebabkan pertumbuhan
terhambat serta mengalami penurunan kapasitas intelektual dan kognitif. Hasil pemeriksaan tinja pada anak
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah mendapatkan hasil bahwa kecacingan dan infeksi saluran pencernaan lain
pada tahun 2002 – 2009 di 398 SD/MI yang tersebar di 33 Propinsi memiliki rata-rata prevalensi cacingan
adalah 31,8%.13

Prevalensi infeksi cacing usus pada balita gizi buruk di kecamatan Kasihan, Bantul Propinsi DI Yogyakarta
didapatkan Ascaris lumbricoides (52,17%), cacing tambang (13,04%) dan Enterobius vermicularis (8,69%).
Kondisi demografi yang didapatkan pada keluarga balita gizi buruk tersebut adalah 84% berstatus sosial
ekonomi rendah, 96% orang tua berpendidikan rendah dan sedang, 40% mempunyai sarana sanitasi memadai
dan 64% terinfeksi penyakit kronis.14 Penelitian di kota Malinau, Kalimantan Timur didapatkan hasil infeksi
cacing golongan STH terjadi pada jenis kelamin laki-laki maupun perempuan, dan pada golongan umur 6 tahun
keatas.

28
Penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari didapatkan perilaku tidak mencuci tangan dengan
sabun sebelum makan ataupun setelah buang air besar, berenang di sungai dan mandi kurang dari 2 kali sehari
berisiko terinfeksi parasit usus.16 Prevalensi parasit usus pada anak di kampung Pasar Keputran Utara Surabaya
didapatkan sebesar 36% dengan komposisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Kondisi sosial seperti
padat penduduk, lingkungan dan sanitasi yang buruk serta aktifitas dan intensitas kontak anak dengan alam
terbuka menjadi penyebab tingginya infeksi cacing usus.17 Terdapat hubungan yang signifikan antara higenitas
diri dengan infeksi STH (P=0,012), dengan faktor yang mempengaruhi adalah aktifitas mencuci tangan
(P=0,001) dan kontak dengan tanah (P=0,003).18

Penelitian terhadap 1126 anak sekolah dasar terpilih di Kabupaten Nunukan Kalimantan Selatan pada tahun
2010 didapatkan hasil persentase penderita ascariasis 10,3%, trichuriasis 8,97% dan penderita hookworm
2,93%. Ascaris lumbricoides mengambil karbohidrat dari tubuh anak-anak yang terinfeksi sebanyak 0,14
gram/ekor/hari dan protein 0,035 gram/ekor/hari. Trichuris trichiura menghisap darah sebanyak 0,005
cc/ekor/hari dan cacing Hookworm menghisap darah sebanyak 0,2 cc/ekor/hari. Konversi dalam rupiah,
karbohidrat diasumsikan seharga beras Rp. 7.199,49/kg, protein seharga daging sapi Rp. 62.894,25/kg dan
darah seharga Rp. 250.000/kantong isi 250 cc (Rp.1000/cc). Berdasarkan perhitungan maka didapatkan
kerugian nutrisi dan finansial yang dialami oleh Kabupaten Nunukan selama tahun 2010 adalah kerugian
karbohidrat sebesar 2.068,9 kg/tahun senilai Rp. 14.895.075,- kerugian protein sebesar 517,23 kg/tahun senilai
Rp. Rp 32.530.588,-, kerugian darah sebesar 1.220.241,17 cc /tahun senilai Rp.1.220.241.100,- maka total
kerugian financial akibat kecacingan adalah sebesar Rp.1.276.666.763,-.19

C. Daur Kehidupan Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia


STH yang hidup dalam usus individu yang terinfeksi dapat menghasilkan ribuan telur setiap hari dan dapat
dikeluarkan dari individu tersebut melalui feses. Saat kondisi lingkungan sesuai dengan kebutuhan telur, maka
telur akan berkembang menjadi tahap infektif. Manusia dapat terinfeksi melalui proses memakan makanan yang
terkontaminasi telur STH (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura) atau larva (Ancylostoma duodenale).
Kontaminasi oral dapat melalui : sayuran yang tidak dicuci, dikupas dan dimasak secara baik, tangan, peralatan
atau melalui penetrasi kulit oleh larva cacing tambang dari tanah yang terkontaminasi Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Tidak ada penularan langsung orang ke orang atau infeksi dari tinja segar karena telur
yang dikeluarkan melalui tinja membutuhkan sekitar 3 minggu di tanah sebelum menjadi infeksi.

D. Hubungan Infeksi Cacing yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Status Gizi Pendek
Cacing yang ditularkan melalui tanah merusak status gizi orang yang mereka terinfeksi dalam berbagai cara9 :
a) Cacing memakan jaringan inang, termasuk darah, yang menyebabkan hilangnya zat besi dan protein,
b) Cacing tambang juga menyebabkan kehilangan darah usus kronis yang dapat menyebabkan anemia,
c) Cacing meningkatkan malabsorpsi zat gizi. Selain itu, cacing gelang mungkin bersaing untuk mendapatkan
vitamin A di usus,

29
d) Beberapa cacing yang ditularkan melalui tanah juga menyebabkan hilangnya nafsu makan dan, karenanya,
mengurangi asupan nutrisi dan kebugaran fisik. Secara khusus, T.trichiura dapat menyebabkan diare dan
disentri.

Penelitian di Ekuador mengenai STH dan status gizi didapatkan hasil bahwa 257 (27,9%) anak-anak terinfeksi
dengan setidaknya satu parasit STH. Prevalensi Trichuris trichiura, Ascaris lumbricoides dan cacing tambang
masing-masing adalah 19,3%, 18,5% dan 5,0%. Malnutrisi terjadi pada 14,2% anak-anak dan paling sering
adalah anak pendek (12,3%). Dibandingkan dengan daerah lain, anak sekolah di wilayah Amazon memiliki
prevalensi STH tertinggi (58,9%) di mana proporsi infeksi yang lebih besar adalah intensitas sedang/berat
(45,6%) dan memiliki prevalensi kekurangan gizi tertinggi (20,4%). Analisis statistik didapatkan hasil
hubungan positif yang bermakna antara infeksi sedang sampai berat dengan A. lumbricoides dan malnutrisi
(disesuaikan OR 1,85, 95% CI 1,04-3,31, p=0,037)20.

Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik
Manufahi, Timor Leste mendapatkan hasil bahwa tidak ada intensitas infeksi N.americanus yang dikaitkan
dengan pendek, namun infeksi Ascaris intensitas tinggi dikaitkan dengan risiko relatif lebih tinggi untuk pendek.
Hasil lainnya adalah infeksi Ancylostoma dikaitkan dengan pendek21. Penelitian di kota Medan mendapatkan
hasil bahwa dari 140 anak yang terinfeksi STH, 8,6% terinfeksi dengan Ascaris lumbricoides, 17,1% dengan
Trichuris trichiura dan 74,3% dengan infeksi campuran (Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura). Penelitian
ini juga menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan kurang gizi (kurus)
daripada kelompok yang tidak terinfeksi22.

III. Infeksi Protozoa Saluran Cerna Manusia


A. Spesies Protozoa
Spesies yang tergolong protozoa intestinal dan terutama yang dapat menimbulkan infeksi saluran pencernaan
pada manusia yaitu, dari kelas Rhizopoda adalah Entamoeba histolytica, kelas Mastigophora adalah Giardia
lamblia dan kelas Sporozoa adalah Blastocystis hominis. Jenis protozoa yang sering menjadi penyebab diare
adalah Entamoeba histolytica. Terdapat juga jenis protozoa intestinal lain seperti, Entamoeba coli, Endolimax
nana dari kelas Rhizopoda, Balantidium coli dari kelas Ciliata, dan Isospora belli, Cryptosporidium parvum serta
Cyclospora cayetanesis dari kelas Sporozoa.

Amebiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit Entamoeba histolytica. Amebiasis dapat mengenai
siapa saja, meskipun lebih umum pada orang yang hidup di daerah tropis dengan sanitasi yang buruk. Dalam
daur hidupnya Entamoeba histolytica mempunyai 3 stadium yaitu bentuk histolitika, minuta dan kista. Bentuk
histolitika dan minuta adalah bentuk trofozoit. Perbedaan antara kedua bentuk trofozoit tersebut adalah bentuk
histolitika bersifat patogen dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari bentuk minuta. Bentuk histolitika
dapat hidup di jaringan hati, paru, usus besar, kulit, otak, dan vagina.

30
Giardia intestinalis (Giardia duodenalis, Giardia lamblia) adalah parasit dapat menyerang manusia dan hewan
peliharaan seperti anjing serta kucing. Tanda dan gejala umum infeksi Giardia adalah diare, perut bergas,
ketidaknyamanan perut, mual, dan muntah. Giardia lamblia mempunyai dua bentuk yaitu trofozoit dan kista.
Meskipun trofozoit ditemukan di dalam tinja tetapi trofozoit tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Kista
adalah bentuk infeksius G.lamblia yang resisten terhadap berbagai macam gangguan di luar pejamu dan dapat
bertahan hidup selama sebulan di air atau tanah.

Blastocystis hominis merupakan protozoa yang sering ditemukan di sampel feses manusia, baik pada pasien
yang simtomatik maupun pasien yang sehat. B. hominis mempunyai 4 bentuk, yaitu vakuolar, granular, ameboid
dan bentuk kista. Vakuolar adalah bentuk yang paling sering ditemukan dalam tinja maupun biakan. Di tengah
ada struktur yang mirip vakuol yang tampak transparan dan refraktil dengan mikroskop phase contrast. Vakuol
ini dilapisi permukaan yang mudah dilihat dengan tinta India. Bentuk granular berasal dari stadium vakuolar,
fungsinya dalam dalam daur hidup B. hominis masih belum diketahui. Ameboid mempunyai bentuk yang tidak
beraturan dan banyak ditemukan di dalam tinja maupun biakan namun aktivitas ameboid sukar dilihat.
Sedangkan kista B. hominis berbentuk polimorfik, tetapi kebanyakan tampak oval atau sirkular, dengan atau
tanpa lapisan membrane di sebelah luarnya. Fungsi kista masih belum jelas.

B. Epidemiologi Infeksi Protozoa


E.histolytica ditemukan hampir di seluruh dunia, tetapi prevalensi tertinggi didapatkan di negara-negara
berkembang terutama di daerah endemik seperti Durban, Ibadan dan Kampala di Afrika mencapai 50%. Angka
mortalitas diperkirakan 75.000 pertahun. Infeksi E.histolytica dapat melalui makanan dan air serta melalui
kontak manusia ke manusia. Entamoeba histolytica, agen penyebab amebiasis manusia, tetap menjadi penyebab
signifikan morbiditas dan mortalitas di negara-negara berkembang dan bertanggung jawab atas 100.000
kematian di seluruh dunia setiap tahun23. Entamoeba dispar, secara morfologis tidak dapat dibedakan dengan E.
histolytica. Demikian pula Entamoeba moshkovskii secara morfologis identik dengan E. histolytica dan E. dispar.
Satu-satunya spesies yang menyebabkan penyakit pada manusia adalah E. histolytica. Studi terbaru
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari semua infeksi E. histolytica berkembang menjadi gejala klinis
pada inang dan terdapat perbedaan tingkat populasi antara strain E. histolytica yang diisolasi dari individu tanpa
gejala dan individu yang bergejala. Faktor-faktor yang mendasari hasil klinis dari infeksi E. histolytica sebagian
besar belum diketahui.

Giardiasis terjadi di seluruh dunia, dengan prevalensi lebih tinggi dengan kondisi sanitasi buruk. Giardiasis dapat
mengenai semua golongan umur, tetapi pada daerah endemis infeksi lebih sering terjadi pada bayi. Giardiasis
adalah penyakit protozoa patogen yang paling sering dilaporkan di Amerika Serikat. Manusia adalah reservoir
utama parasit, tetapi berbagai hewan membawa Giardia spp. mirip dengan yang menginfeksi manusia. Pada
awalnya, genus dianggap mengandung banyak spesies khusus inang, tetapi saat ini diyakini bahwa hanya dua
spesies yang berbeda secara morfologis yang menginfeksi hewan. Salah satunya, G. duodenalis (termasuk

31
G. lamblia) secara alami menginfeksi manusia, berang-berang, coyote, sapi, kucing, dan anjing. Tidak ada bukti
yang terdokumentasi penularan dari anjing ke manusia. Infeksi menyebar langsung dari orang ke orang melalui
kontaminasi tinja-oral dengan kista atau secara tidak langsung melalui penularan dalam air dan kadang-kadang
makanan. Banyak wabah di seluruh masyarakat berasal dari sumber air yang terkontaminasi feses. Penularan
juga terjadi di antara homoseksual pria yang melakukan praktik seksual oral-anal.

Blastocystis spp telah diamati di seluruh dunia. Organisme ini berada di usus besar dan sekum anak-anak dan
orang dewasa. Mode transmisi tidak sepenuhnya dipahami; penularan fecal-oral telah dipostulasikan. Beberapa
penulis berpendapat bahwa air yang terkontaminasi juga dapat menjadi sumber infeksi. Blastocystis spp juga
telah ditemukan pada hewan termasuk babi, monyet, tikus, dan unggas. Tampaknya ada kekhususan host yang
buruk; penularan terjadi dari manusia ke manusia dan antara manusia dan hewan. Infeksi Blastocystis lebih
umum di antara individu dengan paparan pekerjaan terhadap hewan, mendukung potensi penularan zoonosis.
Prevalensi Blastocystis spp bervariasi antara negara dan antara masyarakat. Secara umum, perkiraan prevalensi
Blastocystis spp lebih tinggi di negara berkembang daripada negara maju (masing-masing 30 hingga 50 persen
berbanding 5 hingga 10 persen). Ini mungkin terkait dengan kebersihan yang buruk, paparan hewan, dan
konsumsi makanan atau air yang terkontaminasi. Dalam satu penelitian dari Senegal, 100 persen dari 93 sampel
tinja positif untuk Blastocystis spp. Dalam sebuah studi dari Kanada, 8 persen sampel tinja yang diserahkan ke
laboratorium rujukan positif untuk Blastocystis spp; ketika Blastocystis adalah satu-satunya organisme yang
diidentifikasi, 76 persen dari subyek terus memendam parasit dua bulan setelah deteksi awal.

C. Daur Kehidupan Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna Manusia


Siklus hidup dari seluruh ameba usus hampir sama. Bentuk yang infektif adalah kista. Setelah tertelan, kista
akan mengalami eksistasi di ileum bagian bawah menjadi trofozoit kembali. Trofozoit kemudian memperbanyak
diri dengan cara belah pasang. Trofozoit kerap mengalami enkistasi (merubah diri menjadi bentuk kista). Kista
akan dikeluarkan bersama tinja. Bentuk trofozoit dan kista dapat dijumpai di dalam tinja, namun trofozoit
biasanya dijumpai pada tinja yang cair. E. histolytica bersifat invasif, sehingga trofozoit dapat menembus dinding
usus dan kemudian beredar di dalam sirkulasi darah (hematogen).

D. Hubungan Infeksi Protozoa yang Menginfeksi Saluran Cerna terhadap Gizi Pendek
Trofozoit dapat menempel pada mukosa usus halus dengan bantuan sucking disc, sehingga mengganggu
penyerapan makanan. Kelainan di saluran cerna dapat menyebabkan defisiensi zat gizi, terutama vitamin, asam
folat, protein dan gammaglobulin. Sindrom malabsorbsi dan steatorrhea dapat timbul dan merupakan penanda
infeksi berat. Hubungan infeksi protozoa dengan status gizi terjadi tidak langsung, tetapi melalui mekanis
kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi.

32
Kesimpulan
1 Penelitian mengenai hubungan antara infeksi STH, hemoglobin dan indeks perkembangan anak di Distrik
Manufahi, Timor Leste menemukan bahwa anak yang terinfeksi STH lebih banyak secara signifikan dengan
kurang gizi (kurus) daripada kelompok yang tidak terinfeksi.
2 Infeksi protozoa pada saluran cerna menyebabkan defisiensi zat gizi, karena protozoa menyebabkan
kerusakan saluran cerna dalam bentuk malabsorbsi. Efek dari malabsorbsi pada balita adalah
terhambatnya proses pertumbuhan yang bisa menyebabkan terjadinya stunting.
3 Kerugian lain yang timbul akibat infeksi protozoa dan cacing adalah kerugian secara ekonomi. Hasil
penelitian pada 1.126 anak di Kabupaten Nunukan tahun 2010 menyebutkan bahwa total kerugian
finansial akibat kecacingan pada tahun 2010 sebesar 1.276.666.763 rupiah.
4 Hasil penelitian pada anak sekolah dasar di tepi sungai Batanghari adalah bahwa terdapat beberapa
perilaku yang menyebabkan anak-anak berisiko terinfeksi parasit atau pun cacing usus. Perilaku tersebut
antara lain tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum makan atau setelah buang air besar, berenang di
sungai dan mandi kurang dari dua kali sehari. Faktor lain yang mempengaruhi yaitu kondisi sosial seperti
lingkungan rumah padat penduduk, lingkungan dan sanitasi buruk serta intensitas anak dengan alam
terbuka.

Daftar Pustaka
1 Fransisca RO, Iriani AD, Mutiksa FA, Izati S, Utami RK. Hubungan Infeksi Parasit Usus dengan Pengetahuan
Perilaku Hidup Bersih Sehat pada Anak SD Bekasi , 2012 (The prevalance of intestinal parasitic infection
among primary school children in Bekasi in 2012 and its association with knowledge level about clean .
Jurnal Kesehatan Indonesia. 2012;3(1):2-6.
2 Nababan D. Mother and Child Nutrition; (A Review of Stunting Studies). Int J Sci Basic Appl Res ISSN
2307-4531. 2015;4531:13-20.
3 Andayasari L. Kajian epidemiologi Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan Yang Disebabkan Oleh Amuba Di
Indonesia. Media Litbang Kesehatan. 2011;21:1-9.
4 Sinniah B, Hassan AKR, Sabaridah I, Soe MM, Ibrahim Z, Ali O. Prevalence of intestinal parasitic infections
among communities living in different habitats and its comparison with one hundred and one studies
conducted over the past 42 years (1970 to 2013) in Malaysia. Trop Biomed. 2014;31(2):190-206.
5 Zakeri A. Helminth-induced apoptosis: a silent strategy for immunosuppression. Parasitology. 2017:1-14.
doi:10.1017/S0031182017000841.
6 WHO. Pedoman Teknik Dasar Untuk Laboratorium Kesehatan ( Manual of Basic Techniques for A Health
Laboratory ), Alih Bahasa, Chairlan, Estu Lestari, Editor Bahasa Indonesia, Albertus Agung Mahode.; 2011.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/42295/4/9241545305_ind.pdf.
7 Piwoz E, Sundberg S, Rooke J. Promoting Healthy Growth : What Are the Priorities for Research and Action?
1 , 2. Adv Nutr An Int Rev J. 2012;(3):234-241. doi:10.3945/an.111.001164.234

33
8 Turnbaugh PJ, Ridaura VK, Faith JJ, Rey FE, Knight R, Gordon JI. The effect of diet on the human gut
microbiome: a metagenomic analysis in humanized gnotobiotic mice. Sci Transl Med. 2009;1(6):6ra14.
doi:10.1126/scitranslmed.3000322.
9 WHO. Soil-transmitted helminth infections - WHO. 2016;(3):2-5.
10 Despommier DD, Griffin DO, Gwadz RW, et al. Parasitic Diseases Sixth Edition Chevalier of the Nation,
Republic of Mali.; 1003.
11 Incidence I, Collaborators P. Global , regional , and national incidence , prevalence , and YLDs for 301 acute
and chronic diseases and injuries for 188 countries , 1990-2013: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2013. 2013:1990-2013. https://eprints.qut.edu.au/89421/7/89421a.pdf.
12 Suriptiastuti. Infeksi soil-transmitted helminth: ascariasis, trichiuriasis dan cacing tambang. Universal Med.
2006;25(2):84-93.
13 13. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jendral PP dan PL. Pedoman Pengendalian Kecacingan.
2012:1-63.
14 Kesetyaningsih TW, Riswari RA, Pitaka RT. Distribusi Prevalensi Infestasi Parasit Usus pada Balita Penderita
Gizi Buruk di Kasihan, Bantul, Yogyakarta Berdasarkan Faktor Risiko. Mutiara Med. 2010;10(2):135-141.
15 Journal Z. Prevalence of soil-transmitted helminths (sth) in primary school children in subdistrict of Malinau
Kota , District of Malinau , East Kalimantan Province, Prevalensi soil transmitted helminth ( sth ) pada anak
sekolah dasar di Kecamatan Malinau Kota Kabu. 2014;5(1):43-48.
16 Hardiyanti LT, Umniyati SR. Higiene buruk dan infeksi parasit usus pada anak sekolah dasar di tepi sungai
Batanghari.
17 Johan Ade Wicaksono C, Suswaty S, Heru Apriantoro N, Sasongko A. Journal of Vocational Health Studies
www.e-journal.unair.ac.id/index.php/JVHS Journal of Vocational Health Studies. Elseveir. 2018;01:97-101.
doi:10.20473/jvhs.
18 Medika E, No VOL, Luh N, et al. Hubungan Perilaku Higienitas Diri Dan Sanitasi Sekolah dengan Infeksi Soil
Transmitted Helminths pada Siswa Kelas III-IV Sekolah Dasar Negeri No. 5 Delod Peken Tabanan Tahun
2014 Program Studi Pendidikan Dokter , Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran U. 2017;6(5):5-8.
19 Losses F, To DUE, Case H, et al. Kerugian finansial akibat kecacingan… (Indriyati L; dkk). Penel Gizi Makan.
2014;37(2):155-160.
20 Moncayo AL, Lovato R, Cooper PJ. . BMJ Open. 2018;8(4):1-9. doi:10.1136/bmjopen-2017-021319.
21 Campbell SJ, Nery S V., D’Este CA, et al. Investigations into the association between soil-transmitted
helminth infections, haemoglobin and child development indices in Manufahi District, Timor-Leste. Parasites
and Vectors. 2017;10(1):1-15. doi:10.1186/s13071-017-2084-x.
22 Simarmata N, Sembiring T, Ali M. Nutritional status of soil-transmitted helminthiasis-infected and
uninfected children. Paediatr Indones. 2016;55(3):136. doi:10.14238/pi55.3.2015.136-41.
23 Ali IKM, Clark CG, Petri WA. Molecular epidemiology of amebiasis. Infect Genet Evol. 2008;8(5):698-707.
doi:10.1016/j.meegid.2008.05.004.

34
2020
Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI
Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9
Jakarta Selatan

pusdatin.kemkes.go.id pusdatin kemenkes Pusdatin KemKes


pusdatinkemkes pusdatinkemenkes

Anda mungkin juga menyukai