MINI PROJECT
Oleh:
dr. Melati Maria Yuliani Prasetyo
Pembimbing:
dr. Linawaty Simanullang
PUSKESMAS KAWANGU
DINAS KESEHATAN KOTA KABUPATEN SUMBA TIMUR
2023
LEMBAR PENGESAHAN
Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas Dokter Internsip Indonesia 2023
Penyusun:
dr. Melati Maria Yuliani Prasetyo
Telah disetujui,
Pendamping
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan minipro yang berjudul
“Gambaran Karakteristik Balita Stunting Di Puskesmas Kawangu Tahun
2022”.Sebagai salah satu syarat tugas internsip.
Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan berbagai
pihak, maka sebagai ungkapan hormat dan penghargaaan penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan dan
pengumpulan data.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun bagi
penyempurnaan penulisan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambahkan informasi dan pengetahuan
kita.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran karakteristik balita stunting di
Puskesmas Kawangu pada tahun 2022.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui balita stunting di Puskesmas Kawangu
berdasarkan jenis kelamin.
2. Untuk mengetahui balita stunting di Puskesmas Kawangu
berdasarkan Riwayat BBLR.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada
tahun 2018 sebanyak 21,9% atau sekitar 149 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2018,
lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 81,7 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (57,9%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,8%) (UNICEF et al.,2019).
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita
pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun, prevalensi balita pendek kembali
meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Selanjutnya pada tahun
2018, terjadi sedikit penurunan menjadi 30,8%. Provinsi dengan prevalensi
tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2018
adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi
terendah adalah DKI Jakarta (Riskesdas,2018).
7
2.3 Dampak Stunting
Dampak jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak, perkembangan
menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi
kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka panjang
yaitu pada masa dewasa, timbul risiko penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas. Menurut
laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan dampaknya
antara lain sebagai berikut:
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam
bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun.
Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang
dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk
belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak-anak dengan tinggi
badan normal.
2. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan
lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status
gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang.
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang.
Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup,
kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan
kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan
mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas,
sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar
meninggal saat melahirkan.
Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO
mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka
panjang:
8
1. Concurrent problems & short-term consequences atau dampak
jangka pendek:
a. Sisi kesehatan: angka kesakitan dan angka kematian meningkat
b. Sisi perkembangan: penurunan fungsi kognitif,motorik,
dan perkembangan bahasa
c. Sisi ekonomi: peningkatan health expenditure, peningkatan
pembiayaan perawatan anak yang sakit
2. Long-term consequences atau dampak jangka panjang:
a. Sisi kesehatan: perawakan dewasa yang pendek, peningkatan
obesitas dan komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan
reproduksi
b. Sisi perkembangan: penurunan prestasi belajar, penurunan learning
capacity unachieved potensial
c. Sisi ekonomi: penurunan kapasitas kerja dan produktifitas kerja
2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting
Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah jenis kelamin
balita, gizi ibu hamil yang dapat dilihat dari KMS ibu hamil yang
mengalami KEK (Kurang Energi Kronis), riwayat BBLR, karakteristik
keluarga mulai dari pendidikan orang tua/pengasuh, pekerjaan orang tua,
pendapatan keluarga, pola asuh yang meliputi ASI Eksklusif, pola
pemberian makanan, inteks makanan/asupan makanan, pelayanan kesehatan
yang meliputi status imunisasi, penyakit infeksi (diare dan ISPA),
kebersihan lingkungan meliputi sanitasi lingkungan (personal hygiene).
2.4.1 Karakteristik balita
a) Jenis Kelamin Balita
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko dua kali lipat
menjadi stunting dibandingkan bayi perempuan pada usia 6-12
bulan (Medhin, 2010). Anak laki-laki lebih berisiko mengalami
stunting dan atau underweight dibandingkan anak perempuan.
b) Riwayat Berat Badan Lahir Rendah
9
Berat badan adalah hasil keseluruhan jaringan-jaringan tulang,
otot, lemak, cairan tubuh dan lainnya. Berat badan merupakan
ukuran antropometri yang terpenting dipakai pada setiap
pemeriksaan kesehatan anak pada setiap kelompok umur.
Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefiniskan oleh
WHO yaitu berat lahir <2500 gr. BBLR dapat disebabkan oleh
durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka, dari itu, bayi
dengan berat lahir <2500 gr dikarenakan dia lahir secara
premature atau karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba dan
Bloem, 2001).
Bayi yang lahir dengan BBLR, sejak dalam kandungan telah
mengalami retardasi pertumbuhan interauterin dan akan berlanjut
sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang
dilahirkan normal dan sering gagal menyusul tingkat
pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada usianya setelah lahir.
Kondisi BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat
karena keterkaitannya dengan angka kematian dan kesakitan.
Bayi dengan BBLR dapat mengalami hambatan pertumbuhan.
Kondisi BBLR terjadi karena janin mengalami kekurangan gizi
selama dalam kandungan (WHO,2008). Penelitian di Libya pada
anak dibawah lima tahun menunjukkan bahwa BBLR merupakan
salah satu faktor risiko dari kejadian stunting (El Taquri,2008).
Penelitian menunjukkan bahwa bayi dengan BBLR memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan dan
pertumbuhan pada masa kanak –kanak. Anak sampai dengan usia
2 tahun dengan riwayat BBLR memiliki risiko mengalami
gangguan pertumbuhan dan akan berlanjut pada 5 tahun pertama
kehidupannya jika tidak diimbangi dengan pemberian stimulasi
yang lebih (Devriany dkk.,2018). Bayi prematur dan BBLR yang
dapat bertahan hidup pada 2 tahun pertama kehidupannya
memiliki risiko kurang gizi dan stunting (Santos dkk.,2009). Bayi
10
dengan BBLR mengalami pertumbuhan dan perkembangan lebih
lambat sejak dalam kandungan karena retardasi pertumbuhan
intera uterin, hal ini dapat berlanjut hingga anak telah lahir jika
tidak didukung dengan pemberian gizi dan pola asuh yang baik
dan akhirnya sering gagal mengejar tingkat pertumbuhan yang
seharusnya dia capai pada usianya (Proverawati dkk., 2010).
2.4.2 Karakteristik Keluarga
a) Pendidikan Orang Tua/Pengasuh
Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengasuhan
anak karena dengan pendidikan yang tinggi pada orang tua akan
memahami pentingnya peranan orang tua dalam pertumbuhan
anak. Selain itu dengan pendidikan yang baik diperkirakan
memiliki pengetahuan gizi yang baik pula, ibu dengan
pengetahuan gizi yang baik akan tahu bagaimana mengolah
makanan, mengatur menu makanan serta menjaga mutu dan
kebersihan makanan dnegan baik. Pendidikan tinggi dapat
mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih
mendapat perhatian gizi anak. Ibu yang berpendiidkan diketahui
lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak
b) Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan
kualitas dan kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan
dengan pendapatan dengan demikian terdapat asosiasi antara
pendapatan dengan gizi, apabila pendapatan meningkat maka
bukan tidak mungkin kesehatan dan masalah keluarga yang
berkaitan dengan gizi mengalami perbaikan.
c) Pendapatan Keluarga
Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari
seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga.
Pendapatan keluarga adalah sebagai pendapatan yang diperoleh
11
dari seluruh anggota yang bekerja baik dari pertanian maupun
dari luar pertanian.
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan adanya peningkatan
penghasilan yang berkaitan dengan kejadianm stunting, maka
perbaikan gizi akan tercapai dengan sendirinya. Penghasilan
merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas dan kuantitas
makanan dalam suatu keluarga. Terdapat hubungan pendapatan
dan gizi menguntungkan yaitu pengaruh peningkatan pendapatan
dapat menimbulkan perbaikan gizi yang menguntungkan, yaitu
peningkatan pendapatan dapat menimbulkan perbaikan kesehatan
dan kondisi keluarga yang menimbulkan interaksi status gizi.
2.4.3 Pola Asuh
a) ASI Eksklusif
ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi yang berupa.
ASI saja tanpa diberi cairan lain baik dalam bentuk apapun
kecuali sirup obat. ASI eksklusif diberikan minimal dalam jangka
waktu enam bulan (Depkes, 1997). ASI saja dapat mencukupi
kebutuhan bayi pada enam bulan pertama.
Manfaat pemberian ASI eksklusif tidak hanya dirasakan
oleh bayi, tetapi juga oleh ibu, lingkungan bahkan negara.
Manfaat ASI, sebagai berikut:
1. Sumber gizi terbaik dan paling ideal dengan komposisi yang
seimbang sesuai dengan kebutuhan bayi pada masa
pertumbuhan
2. ASI mengandung berbagai zat kekebalan sehingga bayi akan
jarang sakit, mengurangi diare, sakit telinga, dan infeksi
saluran pernafasan.
3. ASI mengandung asam lemak yang diperlukan untuk
pertumbuhan otak sehingga bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif ensial akan lebih unggul pada prestasi/meningkatkan
kecerdasan.
12
4. ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan sampai usia enam bulan.
b) Pola Pemberian Makan
Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses
pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak
mengandung gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam
pertumbuhan. Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang sangat
erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Jika pola
makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan
balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi
gizi buruk pada balita. Stunting sangat erat kaitannya dengan pola
pemberian makanan terutama pada 2 tahun pertama kehidupan,
pola pemberian makanan dapat mempengaruhi kualitas konsumsi
makanan balita, sehingga dapat mempengaruhi status gizi balita.
Pemberian ASI yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini
dapat meningkatkan risiko stunting karena saluran pencernaan
bayi belum sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi seperti diare dan ISPA.
Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi salah satu cara untuk
mengetahui tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi
frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya
kecukupan gizi semakin besar. Faktor yang mempengaruhi pola
pemberian makanan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan
kebiasaan makan seseorang. Secara umum faktor yang
mempengaruhi terbentuknya pola pemberian makanan adalah
faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan dan
lingkungan
13
BAB III
METODE PENELITIAN
14
kelamin
stunting 1. Perempuan al
bayi
Bayi yang lahir
Riwayat 0. Ya Nomin
2. dengan BB < 2500
BBLR 1. Tidak al
gr
Tabel 3. Definisi operasional variabel penelitian
15
Keterangan :
P = Presentase
F = Frekuensi dari setiap variabel tertentu
N = Jumlah sampel
16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kawangu adalah ada 168 balita. Total keseluruhan ini menjadi sampel penelitian
1.6 Pembahasan
1.6.1 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin
hasil penelitian dari Setyawati V (2018) yang mengatakan bahwa stunting lebih
banyak diderita oleh anak laki-laki, dan beberapa yang menjadi penyebabnya
adalah perkembangan motorik kasar anak laki-laki lebih cepat dan beragam
sehingga membutuhkan energy yang lebih banyak. Jenis kelamin menentukan
besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara
status gizi dan jenis kelamin.
17
Prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako lebih banyak terjadi pada batita
berjenis kelamin laki – laki yaitu sebanyak 22 batita atau sebesar 42,3% dibandingkan dengan batita
berjenis kelamin perempuan yang berstatus stunting sebanyak 10 batita atau sebesar 16,6%.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Nadiyah dkk (2014) dimana anak berusia 0-
23 bulan yang berjenis kelamin laki-laki berstatus stunting lebih besar yaitu sebesar
35,7% dibandingkan dengan anak berusia 0-23 bulan berjenis kelamin perempuan
sebesar 31,6%, begitu juga dengan hasil penelitian Rosha dkk (2012) yang
menyimpulkan bahwa jenis kelamin anak memengaruhi kejadian stunting dimana
anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29 % terhadap
stunting dibandingkan dengan anak laki-laki.
1.6.2 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Riwayat BBLR
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga dapat menjadi faktor
risiko.Kondisi BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat karena
keterkaitannya dengan angka kematian dan kesakitan. Bayi dengan BBLR
dapat mengalami hambatan pertumbuhan. Kondisi BBLR terjadi karena
janin mengalami kekurangan gizi selama dalam kandungan..(Lestari,
Restika Indah. 2016).
Penelitian di Libya pada anak dibawah lima tahun menunjukkan
bahwa BBLR merupakan salah satu faktor risiko dari kejadian stunting.
Selain itu, penelitian yang dilakukan di Indonesia pada anak usia 1-2 tahun
menunjukkan bahwa riwayat BBLR merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya stunting (Taguri, A.E.,2009)
BAB V
PENUTUP
22
KESIMPULAN
SARAN
Saran untuk Pemerintah program penanggulangan stunting dan pencegahannya harus terus
ditingkatkan dengan meleibtakan seluruh sector terkait, edukasi yang mudah dipahami
tentang stunting dilakukan oleh aparah pemerintahan mulai dari yang terendah hingga yang
tertinggi, dijadikan peniliaan kinerja kepala desa untuk penanggulangan masalah stunting,
tingkatkan kesejahteraan rakyat dan tekan kemiskinan. Saran untuk masyarakat Masyarakat,
menghapus paradigma bahwa adanya stunting maka desa akan diperhatikan pemerintah.
Cegah stunting sebelum terjadinya pernikahan. Saran untuk Akedmisi/Perguruan Tinggi,
mengembangkan penelitian pencegahan stunting sebelum terjadi pernikahan. Membantu
pemerintah memberikan masukan strategis terkait pencegahan stunting, membantu
masyarakat untuk perubahan perilaku mencegah terjadinya stunting.
Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagi Bidan Puskesmas Pasangkayu I
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi bidan Puskesmas Pasangkayu I
untuk menggalakan pemberian ASI Eksklusif, sehingga dapat menekan kejadian stunting,
selain itu bidan dapat memberikan edukasi kepada ibu dengan tingggi badan kurang dari
145cm untuk lebih memperhatikan asupan nutrisi selama kehamilan dan perkembangan balita
setelah lahir karena merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Untuk ibu yang memiliki
anak dengan jenis kelamin laki-laki dapat diberikan edukasi untuk lebih memperhatikan
asupan nutrisi anaknya guna menekan kejadian stunting di Puskesmas Pasangkayu I.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Apabila memungkinkan dilakukan penelitian lebih lanjut, hendaknya menggunakan kohort
prospektif sehingga dapat diikuti sejak kelahiran balita mengenai faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita.
3. Bagi Calon Ibu dan Ibu dengan Balita
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai faktor penyebab
stunting, yaitu anak dengan jenis kelamin laki-laki, anak yang tidak
diberi ASI Eksklusif, anak dengan riwayat BBLR, dari faktor orangtua adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan guna memenuhi kebutuhan gizi seimbang bagi bayi.
Sehingga calon ibu dapat benar-benar mempersiapkan kehamilanya dengan memperhatikan
faktor risiko tersebut, sedangkan bagi ibu dengan balita dapat menggalakan pemberian ASI
23
Eksklusif dan lebih memperhatikan pemberian gizi bagi anak dengan jenis kelamin laki-laki
dan anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan kurang dari 145cm.
DAFTAR PUSTAKA
1. Word Health Organization. 2013. Childhoold Stunting: Challenges and
Opportunities.Switzerland: Department of Nutrition for Health and Development.
www.who.int. Diakses 20 April 2016
2. UNICEF. 2016. A Fair Chance For Every Child. New York. USA
www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017
3. UNICEF. 2009. Tracking Progress on Child and Matemal Nutrition a Survival and
Development Priority. New York. USA www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017
4. UNICEF. 2014. The State of the World's Children 2014 in Numbers. Everychild Counts:
Revealing Disparities, Advancing Children's Rights. New York. USA
www.unicef.org/publications. Diakses: April 2017
5. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes
RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari www.depkes.go.id
6. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari
http://www.pusdatin.kemkes.go.id
7. Dinas Kesehatan DIY. 2016. Profil Kesehatan DIY Tahun 2016. Yogyakarta: Dinkes DIY
8. Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi 2015. Jakarta: Kemenkes RI.
Diunduh tanggal 12 April 2017 dari http://www.depkes.go.id
9. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2016. Yogyakarta: Dinkes Kabupaten Gunungkidul
10. UNICEF. 2007. Women and Children The Double Dividend of Gender Equality New
York. USA www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017
11. Tiwari, Rina, Ausman Lynne M, Agho Kingsley Emwinyore. 2014. Determinants of
stunting and severe stunting among under-fives: evidence from the 2011 Nepal Demographic
and Health Survey.Nepal: BMC Pediatrics
12. Akombi, Blessing Jaka. Agho Kingsley E, Hall John J, Merom Dafna, AstelBurt Thomas,
and Renzaho Andre M.N. 2017. Stunting and severe stunting among children under-5 years
in Nigeria: A multilevel analysis. Nigeria: BMC Pediatrics
13. Haile, Demwoz, Azage Muluken, Mola Tegegn, and Rainey Rochelle. 2016. Exploring
spatial variations and factors associated with childhood stunting in Ethiopia: spatial and
multilevel analysis. Eithopia: BMC Pediatrics
14. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Kemenkes
RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari www.depkes.go.id
15. Ali, Zakari, Saaka Mahama, Adams Abdul-Ganiyu, Kamwininaang Stephen K, Abizari
Abdul-Razak. 2017. The effect maternal and child factors on stunting, wasting and
underweight among preschool child49 dari 52n Ghana. Ghana: BMC Nutrition
16. Aryastami, Ni Ketut, Shankar Anuraj, Kusumawardani Nunik, Besral Besral, Jahari Abas
Basuni, Achadi Endang. 2017. Low birth weight was the most dominant predictor associated
with stunting among children aged 12-23 months in Indonesia. Indonesia: BMC Nutrition
17. World Health Organization. 2012. World Health Statistics 2012.Switzerland: Department
of Nutrition for Health and Development. www.who.int. Diakses 20 April 2016
39%1
18. Senbanjo, I., et al. 2011. Prevalence of and Risk factors for Stunting among School
Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. Journal of Health Population and
Nutrition. 29(4):364-370.
24
19. Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford
University Press Inc, New York
20. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 01 Juni 2017
dari http://www.gizi.depkes.go.id
21. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 10 April
2017 dari www.depkes.go.id
DAFTAR PUSTAKA
25