Anda di halaman 1dari 25

PROGRAM DOKTER INTERNSHIP INDONESIA

MINI PROJECT

GAMBARAN KARAKTERISTIK BALITA STUNTING DI PUSKESMAS KAWANGU


TAHUN 2022

Oleh:
dr. Melati Maria Yuliani Prasetyo

Pembimbing:
dr. Linawaty Simanullang

PUSKESMAS KAWANGU
DINAS KESEHATAN KOTA KABUPATEN SUMBA TIMUR
2023
LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN KARAKTERISTIK BALITA STUNTING DI PUSKESMAS


KAWANGU TAHUN 2022

Diajukan sebagai syarat untuk memenuhi tugas Dokter Internsip Indonesia 2023

Penyusun:
dr. Melati Maria Yuliani Prasetyo

Telah disetujui,
Pendamping

dr. Linawaty Simanullang


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia
dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan minipro yang berjudul
“Gambaran Karakteristik Balita Stunting Di Puskesmas Kawangu Tahun
2022”.Sebagai salah satu syarat tugas internsip.
Terwujudnya makalah ini tidak lepas dari bimbingan dan bantuan berbagai
pihak, maka sebagai ungkapan hormat dan penghargaaan penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penulisan dan
pengumpulan data.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun bagi
penyempurnaan penulisan makalah ini. Akhir kata semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua dan dapat menambahkan informasi dan pengetahuan
kita.

Waingapu, 25 Juni 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Stunting masih menjadi masalah yang dapat memberikan dampak bagi
kelangsungan hidup anak. Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki
panjang atau tinggi badan yang kurang sesuai dengan umur dan
menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan (Kemenkes 2016;
WHO,2010).
Stunting menggambarkan riwayat kekurangan gizi yang terjadi dalam
jangka waktu yang lama dan mengakibatkan penurunan sistem imunitas
tubuh dan meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi. Kecenderungan
untuk menderita penyakit tekanan darah tinggi, diabetes, jantung dan
obesitas akan lebih tinggi ketika anak stunting menjadi dewasa (Proverawati
dkk., 2010).
Prevalensi stunting di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di
Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan
menjadi 35,6%. Namun, prevalensi balita pendek kembali meningkat pada
tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Selanjutnya pada tahun 2018, terjadi
sedikit penurunan menjadi 30,8% (Riskesdas,2018).
Pada wilayah kerja Puskesmas Kawangu pada tahun 2022 dari 1.814
anak yang dilakukan pemeriksaan operasi timbang pada bulan februari dan
agustus, terdapat 168 anak yang diketahui stunting. Oleh karena itu, penulis
memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai gambaran karakteristik
balita di Puskesmas Kawangu pada tahun 2022.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana gambaran karakteristik balita stunting di Puskesmas
Kawangu pada tahun 2022 ?

5
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui gambaran karakteristik balita stunting di
Puskesmas Kawangu pada tahun 2022.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui balita stunting di Puskesmas Kawangu
berdasarkan jenis kelamin.
2. Untuk mengetahui balita stunting di Puskesmas Kawangu
berdasarkan Riwayat BBLR.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan
dan juga literatur dalam menambah wawasan dan solusi mengenai
gambaran karakteristik balita stunting di Puskesmas Kawangu.
2. Bagi Tenaga Kesehatan
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pembahasan oleh
tenaga kesehatan kepada masyarakat untuk lebih mengenal stunting.
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan peneliti terkait
stunting.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Stunting


Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi
badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Stunting
menggambarkan status gizi kurang yang bersifat kronik pada masa
pertumbuhan dan perkembangan sejak awal kehidupan. Keadaan ini
dipresentasikan dengan nilai z-score tinggi badan menurut umur (TB/U)
kurang dari -2 standar deviasi (SD) berdasarkan standar pertumbuhan
menurut WHO (Kemenkes 2016; WHO,2010).

2.2 Epidemiologi
Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan
salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada
tahun 2018 sebanyak 21,9% atau sekitar 149 juta balita di dunia mengalami
stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan
dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2018,
lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 81,7 juta
balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (57,9%)
dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,8%) (UNICEF et al.,2019).
Prevalensi balita pendek di Indonesia cenderung statis. Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita
pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit
penurunan menjadi 35,6%. Namun, prevalensi balita pendek kembali
meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Selanjutnya pada tahun
2018, terjadi sedikit penurunan menjadi 30,8%. Provinsi dengan prevalensi
tertinggi balita sangat pendek dan pendek pada usia 0-59 bulan tahun 2018
adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan provinsi dengan prevalensi
terendah adalah DKI Jakarta (Riskesdas,2018).

7
2.3 Dampak Stunting 
Dampak jangka pendek yaitu pada masa kanak-kanak, perkembangan
menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi
kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Pada jangka panjang
yaitu pada masa dewasa, timbul risiko penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas. Menurut
laporan UNICEF (1998) beberapa fakta terkait stunted dan dampaknya
antara lain sebagai berikut: 
1. Anak-anak yang mengalami stunted lebih awal yaitu sebelum usia enam
bulan, akan mengalami stunted lebih berat menjelang usia dua tahun.
Stunted yang parah pada anak-anak akan terjadi defisit jangka panjang
dalam perkembangan fisik dan mental sehingga tidak mampu untuk
belajar secara optimal di sekolah, dibandingkan anak-anak dengan tinggi
badan normal. 
2. Anak-anak dengan stunted cenderung lebih lama masuk sekolah dan
lebih sering absen dari sekolah dibandingkan anak-anak dengan status
gizi baik. Hal ini memberikan konsekuensi terhadap kesuksesan anak
dalam kehidupannya dimasa yang akan datang. 
3. Pengaruh gizi pada anak usia dini yang mengalami stunted dapat
mengganggu pertumbuhan dan perkembangan kognitif yang kurang.
Anak stunted pada usia lima tahun cenderung menetap sepanjang hidup,
kegagalan pertumbuhan anak usia dini berlanjut pada masa remaja dan
kemudian tumbuh menjadi wanita dewasa yang stunted dan
mempengaruhi secara langsung pada kesehatan dan produktivitas,
sehingga meningkatkan peluang melahirkan anak dengan BBLR.
Stunted terutama berbahaya pada perempuan, karena lebih cenderung
menghambat dalam proses pertumbuhan dan berisiko lebih besar
meninggal saat melahirkan. 
Stunting memiliki dampak pada kehidupan balita, WHO
mengklasifikasikan menjadi dampak jangka pendek dan dampak jangka
panjang: 

8
1. Concurrent problems & short-term consequences atau dampak
jangka pendek: 
a. Sisi kesehatan: angka kesakitan dan angka kematian meningkat 
b. Sisi perkembangan: penurunan fungsi kognitif,motorik,
dan perkembangan bahasa 
c. Sisi ekonomi: peningkatan health expenditure, peningkatan
pembiayaan perawatan anak yang sakit 
2. Long-term consequences atau dampak jangka panjang: 
a. Sisi kesehatan: perawakan dewasa yang pendek, peningkatan
obesitas dan komorbid yang berhubungan, penurunan kesehatan
reproduksi 
b. Sisi perkembangan: penurunan prestasi belajar, penurunan learning
capacity unachieved potensial 
c. Sisi ekonomi: penurunan kapasitas kerja dan produktifitas kerja 
 
2.4 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting 
Faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting adalah jenis kelamin
balita, gizi ibu hamil yang dapat dilihat dari KMS ibu hamil yang
mengalami KEK (Kurang Energi Kronis), riwayat BBLR, karakteristik
keluarga mulai dari pendidikan orang tua/pengasuh, pekerjaan orang tua,
pendapatan keluarga, pola asuh yang meliputi ASI Eksklusif, pola
pemberian makanan, inteks makanan/asupan makanan, pelayanan kesehatan
yang meliputi status imunisasi, penyakit infeksi (diare dan ISPA),
kebersihan lingkungan meliputi sanitasi lingkungan (personal hygiene). 
2.4.1 Karakteristik balita
a) Jenis Kelamin Balita
Jenis kelamin laki-laki memiliki risiko dua kali lipat
menjadi stunting dibandingkan bayi perempuan pada usia 6-12
bulan (Medhin, 2010). Anak laki-laki lebih berisiko mengalami
stunting dan atau underweight dibandingkan anak perempuan. 
b) Riwayat Berat Badan Lahir Rendah 

9
Berat badan adalah hasil keseluruhan jaringan-jaringan tulang,
otot, lemak, cairan tubuh dan lainnya. Berat badan merupakan
ukuran antropometri yang terpenting dipakai pada setiap
pemeriksaan kesehatan anak pada setiap kelompok umur. 
Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) didefiniskan oleh
WHO yaitu berat lahir <2500 gr. BBLR dapat disebabkan oleh
durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka, dari itu, bayi
dengan berat lahir <2500 gr dikarenakan dia lahir secara
premature atau karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba dan
Bloem, 2001). 
Bayi yang lahir dengan BBLR, sejak dalam kandungan telah
mengalami retardasi pertumbuhan interauterin dan akan berlanjut
sampai usia selanjutnya setelah dilahirkan yaitu mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang lebih lambat dari bayi yang
dilahirkan normal dan sering gagal menyusul tingkat
pertumbuhan yang seharusnya dicapai pada usianya setelah lahir. 
Kondisi BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat
karena keterkaitannya dengan angka kematian dan kesakitan.
Bayi dengan BBLR dapat mengalami hambatan pertumbuhan.
Kondisi BBLR terjadi karena janin mengalami kekurangan gizi
selama dalam kandungan (WHO,2008). Penelitian di Libya pada
anak dibawah lima tahun menunjukkan bahwa BBLR merupakan
salah satu faktor risiko dari kejadian stunting (El Taquri,2008).
Penelitian menunjukkan bahwa bayi dengan BBLR memiliki
risiko lebih besar untuk mengalami gangguan perkembangan dan
pertumbuhan pada masa kanak –kanak. Anak sampai dengan usia
2 tahun dengan riwayat BBLR memiliki risiko mengalami
gangguan pertumbuhan dan akan berlanjut pada 5 tahun pertama
kehidupannya jika tidak diimbangi dengan pemberian stimulasi
yang lebih (Devriany dkk.,2018). Bayi prematur dan BBLR yang
dapat bertahan hidup pada 2 tahun pertama kehidupannya
memiliki risiko kurang gizi dan stunting (Santos dkk.,2009). Bayi

10
dengan BBLR mengalami pertumbuhan dan perkembangan lebih
lambat sejak dalam kandungan karena retardasi pertumbuhan
intera uterin, hal ini dapat berlanjut hingga anak telah lahir jika
tidak didukung dengan pemberian gizi dan pola asuh yang baik
dan akhirnya sering gagal mengejar tingkat pertumbuhan yang
seharusnya dia capai pada usianya (Proverawati dkk., 2010).
2.4.2 Karakteristik Keluarga 
a) Pendidikan Orang Tua/Pengasuh 
Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pengasuhan
anak karena dengan pendidikan yang tinggi pada orang tua akan
memahami pentingnya peranan orang tua dalam pertumbuhan
anak. Selain itu dengan pendidikan yang baik diperkirakan
memiliki pengetahuan gizi yang baik pula, ibu dengan
pengetahuan gizi yang baik akan tahu bagaimana mengolah
makanan, mengatur menu makanan serta menjaga mutu dan
kebersihan makanan dnegan baik. Pendidikan tinggi dapat
mencerminkan pendapatan yang lebih tinggi dan ayah akan lebih
mendapat perhatian gizi anak. Ibu yang berpendiidkan diketahui
lebih luas pengetahuannya tentang praktik perawatan anak 
b) Pekerjaan Orang Tua 
Pekerjaan merupakan faktor penting dalam menentukan
kualitas dan kuantitas pangan, karena pekerjaan berhubungan
dengan pendapatan dengan demikian terdapat asosiasi antara
pendapatan dengan gizi, apabila pendapatan meningkat maka
bukan tidak mungkin kesehatan dan masalah keluarga yang
berkaitan dengan gizi mengalami perbaikan. 
c) Pendapatan Keluarga 
Pendapatan keluarga adalah jumlah penghasilan riil dari
seluruh anggota rumah tangga yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga.
Pendapatan keluarga adalah sebagai pendapatan yang diperoleh

11
dari seluruh anggota yang bekerja baik dari pertanian maupun
dari luar pertanian. 
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi dan adanya peningkatan
penghasilan yang berkaitan dengan kejadianm stunting, maka
perbaikan gizi akan tercapai dengan sendirinya. Penghasilan
merupakan faktor penting dalam penentuan kualitas dan kuantitas
makanan dalam suatu keluarga. Terdapat hubungan pendapatan
dan gizi menguntungkan yaitu pengaruh peningkatan pendapatan
dapat menimbulkan perbaikan gizi yang menguntungkan, yaitu
peningkatan pendapatan dapat menimbulkan perbaikan kesehatan
dan kondisi keluarga yang menimbulkan interaksi status gizi. 
2.4.3 Pola Asuh 
a) ASI Eksklusif 
ASI eksklusif adalah pemberian ASI pada bayi yang berupa.
ASI saja tanpa diberi cairan lain baik dalam bentuk apapun
kecuali sirup obat. ASI eksklusif diberikan minimal dalam jangka
waktu enam bulan (Depkes, 1997). ASI saja dapat mencukupi
kebutuhan bayi pada enam bulan pertama. 
Manfaat pemberian ASI eksklusif tidak hanya dirasakan
oleh bayi, tetapi juga oleh ibu, lingkungan bahkan negara.
Manfaat ASI, sebagai berikut: 
1. Sumber gizi terbaik dan paling ideal dengan komposisi yang
seimbang sesuai dengan kebutuhan bayi pada masa
pertumbuhan 
2. ASI mengandung berbagai zat kekebalan sehingga bayi akan
jarang sakit, mengurangi diare, sakit telinga, dan infeksi
saluran pernafasan. 
3. ASI mengandung asam lemak yang diperlukan untuk
pertumbuhan otak sehingga bayi yang mendapatkan ASI
eksklusif ensial akan lebih unggul pada prestasi/meningkatkan
kecerdasan. 

12
4. ASI sebagai makanan tunggal untuk memenuhi kebutuhan
pertumbuhan sampai usia enam bulan. 
b) Pola Pemberian Makan 
Pola makan pada balita sangat berperan penting dalam proses
pertumbuhan pada balita, karena dalam makanan banyak
mengandung gizi. Gizi menjadi bagian yang sangat penting dalam
pertumbuhan. Gizi didalamnya memiliki keterkaitan yang sangat
erat hubungannya dengan kesehatan dan kecerdasan. Jika pola
makan tidak tercapai dengan baik pada balita maka pertumbuhan
balita akan terganggu, tubuh kurus, pendek bahkan bisa terjadi
gizi buruk pada balita. Stunting sangat erat kaitannya dengan pola
pemberian makanan terutama pada 2 tahun pertama kehidupan,
pola pemberian makanan dapat mempengaruhi kualitas konsumsi
makanan balita, sehingga dapat mempengaruhi status gizi balita.
Pemberian ASI yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini
dapat meningkatkan risiko stunting karena saluran pencernaan
bayi belum sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit
infeksi seperti diare dan ISPA. 
Frekuensi konsumsi pangan bisa menjadi salah satu cara untuk
mengetahui tingkat kecukupan gizi, artinya semakin tinggi
frekuensi konsumsi pangan, maka peluang terpenuhinya
kecukupan gizi semakin besar. Faktor yang mempengaruhi pola
pemberian makanan yang terbentuk sangat erat kaitannya dengan
kebiasaan makan seseorang. Secara umum faktor yang
mempengaruhi terbentuknya pola pemberian makanan adalah
faktor ekonomi, sosial budaya, agama, pendidikan dan
lingkungan 
 
 
 

13
BAB III
METODE PENELITIAN

1.1. Desain penelitian


Desain penelitian yang dilakukan adalah penelitian deskriptif
berdasarkan data yang diambil dari bagian Gizi di Puskesmas Kawangu.

1.2. Identifikasi variabel penelitian


Penelitian ini menggunakan variabel tunggal yaitu karakteristik balita
stunting di puskesmas kawangu tahun 2022

1.3. Definisi operasional variabel penelitian


N Skala
Variabel Pengertian Hasil ukur
o. ukur
1. Jenis Jenis kelamin bayi 0. Laki-laki Nomin

14
kelamin
stunting 1. Perempuan al
bayi
Bayi yang lahir
Riwayat 0. Ya Nomin
2. dengan BB < 2500
BBLR 1. Tidak al
gr
Tabel 3. Definisi operasional variabel penelitian

1.4. Populasi dan sampel


1.4.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua bayi stunting yang
terdapat di PKM Kawangu tahun 2022 sebanyak 168 bayi.
1.4.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah total populasi bayi stunting
yang terdapat di PKM Kawangu tahun 2022 sebanyak 168 bayi.

1.5. Teknik sampling


Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah total
sampling yaitu seluruh populasi diambil untuk dijadikan sebagai sampel
(Yusuf, 2015: 41).

1.6. Teknik pengumpulan data


Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari data bayi
stunting tahun 2022 yang diambil dari bagian Gizi di Puskesmas Kawangu.

1.7. Analisis data


Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat.
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Untuk mengetahui presentase
frekuensi dari setiap variabel, maka digunakan rumus perhitungan
distribusi frekuensi sebagai berikut :
F
P= x 100 %
N

15
Keterangan :
P = Presentase
F = Frekuensi dari setiap variabel tertentu
N = Jumlah sampel

1.8. Etika penelitian


1. Anonimity
Nama pasien selama penelitian tidak digunakan melainkan diganti
dengan nomor dan inisial penelitian. Nomor dan inisial dari pasien ini
digunakan dengan tujuan untuk menjaga kerahasiaan pasien dan
mencegah kekeliruan peneliti dalam memasukan data (Saryono dan
Anggraeni, 2013: 77).
2. Privacy
Selama dan sesudah pengambilan data, privacy pasien dijaga dengan
benar, semua data pasien di buat sama, peneliti akan menjaga
kerahasiaan pasien dari informasi yang telah didapatkan dan hanya
digunakan untuk kegiatan penelitian (Saryono dan Anggraeni, 2013: 77).

16
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

1.5 Hasil Penelitian


Berdasarkan hasil penelitian jumlah balita stunting pada tahun 2022 di Puskesmas

Kawangu adalah ada 168 balita. Total keseluruhan ini menjadi sampel penelitian

karena memiliki data yang lengkap yang dibutuhkan dalam penelitian.

1.5.1 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin


Jenis Kelamin N %
Laki-laki
Perempuan
Total 168 100%
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Ruang Bersalin, Ruang Perinatologi
dan VCT RSUD Abepura Jayapura diketahui bahwa hanya 20% ibu hamil yang
mendapatkan terapi ARV selama kehamilan, sedangkan sisanya 80% ibu hamil
tidak mendapatkan terapi ARV selama kehamilan.

1.5.2 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Riwayat BBLR


Riwayat BBLR N %
Ya
Tidak
Total 168 100%

1.6 Pembahasan
1.6.1 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Jenis Kelamin
hasil penelitian dari Setyawati V (2018) yang mengatakan bahwa stunting lebih
banyak diderita oleh anak laki-laki, dan beberapa yang menjadi penyebabnya
adalah perkembangan motorik kasar anak laki-laki lebih cepat dan beragam
sehingga membutuhkan energy yang lebih banyak. Jenis kelamin menentukan
besarnya kebutuhan gizi bagi seseorang sehingga terdapat keterkaitan antara
status gizi dan jenis kelamin.
17
Prevalensi stunting di wilayah kerja Puskesmas Siloam Tamako lebih banyak terjadi pada batita
berjenis kelamin laki – laki yaitu sebanyak 22 batita atau sebesar 42,3% dibandingkan dengan batita
berjenis kelamin perempuan yang berstatus stunting sebanyak 10 batita atau sebesar 16,6%.
Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian Nadiyah dkk (2014) dimana anak berusia 0-
23 bulan yang berjenis kelamin laki-laki berstatus stunting lebih besar yaitu sebesar
35,7% dibandingkan dengan anak berusia 0-23 bulan berjenis kelamin perempuan
sebesar 31,6%, begitu juga dengan hasil penelitian Rosha dkk (2012) yang
menyimpulkan bahwa jenis kelamin anak memengaruhi kejadian stunting dimana
anak perempuan memiliki efek protektif atau risiko lebih rendah 29 % terhadap
stunting dibandingkan dengan anak laki-laki.
1.6.2 Karakteristik Balita Stunting Berdasarkan Riwayat BBLR
Riwayat berat badan lahir rendah (BBLR) juga dapat menjadi faktor
risiko.Kondisi BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat karena
keterkaitannya dengan angka kematian dan kesakitan. Bayi dengan BBLR
dapat mengalami hambatan pertumbuhan. Kondisi BBLR terjadi karena
janin mengalami kekurangan gizi selama dalam kandungan..(Lestari,
Restika Indah. 2016).
Penelitian di Libya pada anak dibawah lima tahun menunjukkan
bahwa BBLR merupakan salah satu faktor risiko dari kejadian stunting.
Selain itu, penelitian yang dilakukan di Indonesia pada anak usia 1-2 tahun
menunjukkan bahwa riwayat BBLR merupakan salah satu faktor risiko
terjadinya stunting (Taguri, A.E.,2009)

Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting antara lain berat badan


lahir, panjang badan lahir, usia kehamilan dan pola asuh ibu. Defisiensi
energi kronis atau anemia selama kehamilan dapat menyebabkan ibu
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah.6 Tingginya angka BBLR
diperkirakan menjadi penyebab tingginya kejadian stunting di Indonesia
(Koro,S.2015)
Penelitian di Malawi dengan desain kohort menunjukkan bahwa berat
badan lahir rendah merupakan prediktor terkuat kejadian stunting pada
balita usia 12 bulan (Espo M., T, Kulmala, K. Maleta, T. Cullinan, M-L
Salin, P Ashorn. 2002). Pertumbuhan linier bayi berat lahir rendah dengan
usia kehamilan ≥37 minggu (disebut bayi IUGR) lebih lambat daripada
bayi
18
normal. Namun, pertumbuhan bayi BBLR prematur (usia kehamilan <37
minggu) dalam lingkungan yang mendukung akan tumbuh lebih baik
daripada bayi IUGR, jika berat lahir bayi sesuai dengan usia kehamilan.(
Rosha BC, Putri DSK, Putri IYS,2013).
Penelitian di Tangerang dengan desian kohort menunjukkan bayi yang
lahir prematur memiliki risiko 2 kali lebih besar dibanding bayi yang lahir
normal untuk menjadi stunting pada usia 6-12 bulan. (Rahayu LS,
Sofyaningsih M,2011). Penelitian di Libya yang menyimpulkan bahwa
berat
badan lahir rendah mempengaruhi kejadian stunting pada anak usia 1-2
tahun (p<0.05, OR=1.58). Hal ini dikarenakan tingginya pengaruh berat
badan lahir terhadap kejadian stunting terjadi pada usia 6 bulan awal, kemudian
menurun hingga usia 24 bulan. Jika pada 6 bulan awal balita
dapat mengejar pertumbuhan, maka besar kemungkinan balita tersebut dapat
tumbuh secara normal (Taguri, A.E.,2009)
Besar risiko bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah untuk
menjadi stunting pada usia 6-12 bulan adalah 3,6 kali dibanding bayi yang
lahir dengan berat badan lahir normal. Bayi dengan riwayat berat badan
lahir rendah menunjukkan terjadinya retardasi pertumbuhan di dalam uterus
baik akut maupun kronis dan lebih berisiko mengalami gangguan
pertumbuhan di masa anak-anak karena lebih rentan terhadap penyakit
infeksi, seperti diare (Picauly I,Toy SM. 2013)
Walaupun secara statistik hasil penelitian ini menyebutkan bahwa
berat badan lahir rendah bukan merupakan faktor risiko stunting, tetapi bayi
yang lahir dengan berat badan lahir rendah cukup mempengaruhi kejadian
stunting (OR=3,28). Oleh karena itu, orang tua yang memiliki anak dengan
berat badan lahir rendah harus lebih sadar akan kejadian stunting.
Penelitian di Tangerang menunjukkan bahwa bayi yang lahir prematur
berisiko 2 kali pada usia 6-12 bulan untuk mengalami stunting. Hasil
penelitian ini menunjukkan usia kehamilan merupakan faktor risiko
kejadian stunting balita usia 12 bulan. Pertumbuhan pada bayi prematur
mengalami keterlambatan dikarenakan usia kehamilan yang singkat dan
adanya retardasi pertumbuhan linear di dalam kandungan.
2 juga menghasilkan bahwa BADUTA yang tidak BBLR mengalami stunting sebesar 25,6%
sedangkan anak yang BBLR mengalami stunting sebanyak 35,6%, hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan di Semarang Tinur (Nasikah/2012) yang menyatakan tidak ada
hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting (p=1,000). BADUTA yang mengalami
kejadian status gizi stunting atau growth failure memiliki berat badan badan lahir normal.
Hasil penelitian yang mendukung penelitian ini adalah penelitian di Desa Panduman
Kecamatan Jelbuk, Jember (Maulidah et al., 2019) yang menyatakan berdasarkan hasil uji
Chi Square didapatkan nilai p=0,737 yang menunjukan tidak ada hubungan antaran BBLR
dengan kejadian stunting.
3 Hasil penelitian yang tidak jauh berbeda juga terjadi pada penelitian Rahmadi A (2016) yang
menghasilkan proporsi kejadian kejadian stunting antara bayi yang alami BBLR dengan yang
tidak tidak jauh berbeda yaitu 23,2% dan 23,5%. Kesimpulan akhir dari penelitian ini adalah
19
tidak ada hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting, begitu pula pada penelitian yang
dilakukan Ibrahim,et al (2019) yang menunjukan tidak ada hubungan antara BBLR dengan
kejadian stunting pada anak usia 12-36 bulan. Kondisi gizi ibu saat kehamilan yang kurang
baik dapat menyebabkan BBLR, hal ini berdampak pada intra uterin growth retardation yang
ketika bayi lahir dimanifestasikan dnegan berat badan lahir yang rendah. Masalah jangaka
panjang yang terjadi karena bayi alami BBLR adalah terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan. BBLR diyakini menjadi salah satu faktor penyebab gizi kurang berupa
stunting (Festy,2009). Ukuran bayi saat lahir berhubungan dengan ukuran pertumbuhan anak
karena ukuran bayi berhubungan dengan pertumbuhan linear anak, tetapi selama anak
tersebut mendapatkan asupan yang memadai dan terjaga kesehatannya, maka kondisi Panjang
badan dapat dikejar dengan pertumbuhan seiring bertambahnya usia anak (Fitri, 2012). Anak
dengan BBLR yang diiringi dengan konsumsi makanan yang tidak adekuat, pelayanan
kesehatan yang tidak layak, dan sering terjadi infeksi pada masa pertumbuhan akan terus
mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan dan menghasilkan anak yang kejadian pendek
(Mardani, 2015).
4 Jika dilihat secara geografis pada penelitian ini , responden BADUTA banyak yang berasal dari
desa yang relatif jauh dari kota kabupaten, semakin jauh dari kota semakin banyak
respondennya, semakin dekat dengan kota semakin sedikit, contoh Desa Tegalongok yang
berdekatan dengan kota lebih sedkit dibanding desa Pakuluran dan Kadumaneuh, hal ini bisa
saja terjadi karena semakin jauh dari kota semakin sulit untuk akses pengetahuan dan
layanan kesehatan terkait keluarga berencana dan program pencegahan gizi lainnya, karena
terbatasnya tranportasi dan jaringan. Dari Analisa bivariate p-value 0.144 atau p-value >
0,05, OR 1,6 dengan 95% CI (0.848–3.019) atau CI melewati 1, tidak ada hubungan antara
BBLR dengan kejadian stunting, yang didapat dari data yang menunjukan 170 responden
(25,6%) dengan kondisi tidak BBLR yang menjadi stunting, sedangkan yang tidak stunting 493
(74.4%). Untuk BADUTA yang BBLR sebanyak 16 (35,6%) mengalami stunting sedangkan 29
(64.4%) tidak mengalami stunting.

Hasil penelitian ini mendapatkan 2 anak yang stunting dari 6 anak


yang lahir BBLR. Hasil ini sesuai dengan penelitan Kolbrek (2011), di
Medan yang menunjukkan bahwa balita yang lahir dengan berat badan lahir
rendah berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. Penelitian di
Nepal (Paudel, et al., 2012) menunjukkan bahwa berat badan lahir yang
rendah memiliki risiko stunting 4,47 kali lebih besar daripada balita dengan
berat lahir normal. Berat badan lahir merupakan salah satu indicator kesehatan pada
bayi yang baru lahir. Berat badan lahir merupakan parameter
yang sering dipakai untuk menggambarkan pertumbuhan janin pada masa
kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah akan lebih rentan
terhadap pengaruh lingkungan yang kurang baik di masa mendatang
(Umboh, 2013).
Anak dengan BBLR lebih berisiko untuk terjadi pertumbuhan
20
stunting dibanding dengan anak dengan berat badan lahir normal (Aridiyah
FO, Rohmawatu N, Ririanty M2015) , Namun bukan berarti anak dengan
BBLR tidak dapat mengejar pertumbuhan. Pengaruh berat badan lahir
terhadap kejadian stunting paling tinggi pengaruhnya pada saat 6 bulan
pertama. Pengaruh tersebut akan menurun hingga usia 24 bulan. Anak
memiliki kemungkinan untuk dapat tumbuh normal apabila dalam 6 bulan
pertama anak tersebut dapat mengejar pertumbuhan (Meilayasari F,
Isnawati,2014) . Selain itu, terdapatnya riwayat BBLR tidak akan
mempengaruhi pertumbuhan anak apabila anak mendapatkan asupan
yang cukup dan kondisi lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan
perkembangan anak ( Aridiyah FO, Rohmawatu N, Ririanty M,2015).
Menurut hasil penelitian di Kota Banda Aceh, anak yang dilahirkan
dengan BBLR berisiko mengalami stunting (Rahmad et al,2013) , hal ini
juga sama dengan penelitian Mardani et al,2015 yang telah menemukan
bahwa faktor prediksi yang berpengaruh terhadap stunting pada balita
adalah BBLR. Anak yang terlahir dengan BBLR lebih berpotensi stunting dibandingkan anak yang
terlahir dengan berat normal. Selain itu, menurut
Lin et al,2007, berat badan bayi lahir rendah (BBLR < 2.500 gram) telah di
identifikasi sebagai faktor risiko penting terkait perkembangan anak
selanjutnya.
Menurut penelitian Abenhaim,(2004), bayi yang disebut lahir rendah
adalah bila berat bayi lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram dan
empat kali lebih tinggi mengakibatkan kematian jika dibandingkan dengan
berat bayi terlahir 2.500 – 3.000 gram. Berat lahir pada umumnya sangat
terkait dengan kematian janin, neonatal dan pasca neonatal, morbiditas
bayi dan anak serta pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang.
Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan berlangsung dari
generasi ke generasi, anak dengan BBLR akan memiliki ukuran
antropometri yang kurang pada perkembangannya.

Berdasarkan hasil penelitian


menunjukkan bahwa dari 28 balita yang
BBLR seluruhnya mengalami stunting
sebanyak 28 responden (100%). Sedangkan
balita yang berat badan lahir normal hampir
setengahnya mengalamai stunting yaitu 24
responden (46%). Berdasarkan hasil uji Chi
Square diperoleh nilai p= (0,000) yang lebih
NHFLO_ GDUL_ QLODL_ ._ _______ \DQJ_ EHUDUWL_ DGD_
hubungan antara BBLR dengan kejadian
stunting pada balita usia 2-5 tahun di desa Jadi
Kecamatan Semanding-Tuban.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian
21
yang dilakukan di wilayah kerja puskesmas
Bontoa Kabupaten Maros tahun 2017
mengatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara berat badan lahir bayi dengan
pertumbuhan anak balita. Hal ini mungkin
dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi BBLR.
Berat badan lahir rendah atau sering
disebut dengan BBLR adalah bayi dengan
berat badan lahir kurang dari 2500 gram
(Saraswati, 2008). Berat badan lahir rendah
bisa disebabkna oleh keadaan gizi ibu yang
kurang selama kehamilan sehingga
menyebabkan intrauteri growth retradation, dan ketika lahir dimanfestasikan dengan
rendahnya berat badan lahir. Masalah jangka
panjang yang disebabkan oleh BBLR adalah
terhambatnya pertumbuhan dan
perkembangan. Sehingga BBLR diyakini
menjadi salah satu penyebab gizi kurang
berupa stunting pada anak (Festy, 2009).
Berat badan lahir rendah pada umumnya
sangat terkait dengan pertumbuhan dan
perkembangan jangka panjang. Dari hasil
penelitian didapatkan bahwa kemungkinan
penyebab BBLR yaitu status gizi ibu saat
hamil yang kurang dan lingkungan sekitar
yang tidak memadai seperti halnya sumber air
bersih yang kurang dan tempatnya jauh dari
faskes.
4.1.1

BAB V
PENUTUP

22
KESIMPULAN
SARAN
Saran untuk Pemerintah program penanggulangan stunting dan pencegahannya harus terus
ditingkatkan dengan meleibtakan seluruh sector terkait, edukasi yang mudah dipahami
tentang stunting dilakukan oleh aparah pemerintahan mulai dari yang terendah hingga yang
tertinggi, dijadikan peniliaan kinerja kepala desa untuk penanggulangan masalah stunting,
tingkatkan kesejahteraan rakyat dan tekan kemiskinan. Saran untuk masyarakat Masyarakat,
menghapus paradigma bahwa adanya stunting maka desa akan diperhatikan pemerintah.
Cegah stunting sebelum terjadinya pernikahan. Saran untuk Akedmisi/Perguruan Tinggi,
mengembangkan penelitian pencegahan stunting sebelum terjadi pernikahan. Membantu
pemerintah memberikan masukan strategis terkait pencegahan stunting, membantu
masyarakat untuk perubahan perilaku mencegah terjadinya stunting.

1. Perlu adanya program yang terintegrasi dan multisektoral untuk


menanggulangi kejadian stunting pada baduta dan perlu adanya edukasi
kepada masyarakat khususnya ibu baduta terkait jenis makanan yang baik
untuk pertumbuhan anak.
2. Perlu penelitian lanjutan untuk menganalisis kontribusi asupan energi dan
zat gizi dari MP-ASI dan menganalisis mutu gizi MP-ASI yang diberikan
untuk dijadikan dasar penyusunan menu makanan pada bayi dan balita
dalam hal penanggulangan stunting.

Beberapa hal yang dapat direkomendasikan dari hasil penelitian ini diantaranya adalah: 
1. Bagi Bidan Puskesmas Pasangkayu I 
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi bidan Puskesmas Pasangkayu I
untuk menggalakan pemberian ASI Eksklusif, sehingga dapat menekan kejadian stunting,
selain itu bidan dapat memberikan edukasi kepada ibu dengan tingggi badan kurang dari
145cm untuk lebih memperhatikan asupan nutrisi selama kehamilan dan perkembangan balita
setelah lahir karena merupakan faktor risiko terjadinya stunting. Untuk ibu yang memiliki
anak dengan jenis kelamin laki-laki dapat diberikan edukasi untuk lebih memperhatikan
asupan nutrisi anaknya guna menekan kejadian stunting di Puskesmas Pasangkayu I. 
2. Bagi Peneliti Selanjutnya 
Apabila memungkinkan dilakukan penelitian lebih lanjut, hendaknya menggunakan kohort
prospektif sehingga dapat diikuti sejak kelahiran balita mengenai faktor-faktor apa saja yang
berhubungan dengan kejadian stunting pada balita. 
3. Bagi Calon Ibu dan Ibu dengan Balita 
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai faktor penyebab
stunting, yaitu anak dengan jenis kelamin laki-laki, anak yang tidak 
diberi ASI Eksklusif, anak dengan riwayat BBLR, dari faktor orangtua adalah tingkat
pendidikan, pekerjaan, dan penghasilan guna memenuhi kebutuhan gizi seimbang bagi bayi.
Sehingga calon ibu dapat benar-benar mempersiapkan kehamilanya dengan memperhatikan
faktor risiko tersebut, sedangkan bagi ibu dengan balita dapat menggalakan pemberian ASI
23
Eksklusif dan lebih memperhatikan pemberian gizi bagi anak dengan jenis kelamin laki-laki
dan anak yang lahir dari ibu dengan tinggi badan kurang dari 145cm. 
 
DAFTAR PUSTAKA 
1. Word Health Organization. 2013. Childhoold Stunting: Challenges and
Opportunities.Switzerland: Department of Nutrition for Health and Development.
www.who.int. Diakses 20 April 2016 
2. UNICEF. 2016. A Fair Chance For Every Child. New York. USA 
www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017 
3. UNICEF. 2009. Tracking Progress on Child and Matemal Nutrition a Survival and
Development Priority. New York. USA www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017 
4. UNICEF. 2014. The State of the World's Children 2014 in Numbers. Everychild Counts:
Revealing Disparities, Advancing Children's Rights. New York. USA
www.unicef.org/publications. Diakses: April 2017 
5. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Kemenkes
RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari www.depkes.go.id 
6. Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari
http://www.pusdatin.kemkes.go.id 
7. Dinas Kesehatan DIY. 2016. Profil Kesehatan DIY Tahun 2016. Yogyakarta: Dinkes DIY 
8. Kementrian Kesehatan RI. 2016. Pusat Data dan Informasi 2015. Jakarta: Kemenkes RI.
Diunduh tanggal 12 April 2017 dari http://www.depkes.go.id 
9. Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul. 2016. Profil Kesehatan Kabupaten
Gunungkidul Tahun 2016. Yogyakarta: Dinkes Kabupaten Gunungkidul 
10. UNICEF. 2007. Women and Children The Double Dividend of Gender Equality New
York. USA www.unicef.org/publications. Diakses 20 April 2017 
11. Tiwari, Rina, Ausman Lynne M, Agho Kingsley Emwinyore. 2014. Determinants of
stunting and severe stunting among under-fives: evidence from the 2011 Nepal Demographic
and Health Survey.Nepal: BMC Pediatrics 
12. Akombi, Blessing Jaka. Agho Kingsley E, Hall John J, Merom Dafna, AstelBurt Thomas,
and Renzaho Andre M.N. 2017. Stunting and severe stunting among children under-5 years
in Nigeria: A multilevel analysis. Nigeria: BMC Pediatrics 
13. Haile, Demwoz, Azage Muluken, Mola Tegegn, and Rainey Rochelle. 2016. Exploring
spatial variations and factors associated with childhood stunting in Ethiopia: spatial and
multilevel analysis. Eithopia: BMC Pediatrics 
14. Kementrian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2010. Jakarta: Kemenkes
RI. Diunduh tanggal 10 April 2017 dari www.depkes.go.id 
15. Ali, Zakari, Saaka Mahama, Adams Abdul-Ganiyu, Kamwininaang Stephen K, Abizari
Abdul-Razak. 2017. The effect maternal and child factors on stunting, wasting and
underweight among preschool child49 dari 52n Ghana. Ghana: BMC Nutrition 
16. Aryastami, Ni Ketut, Shankar Anuraj, Kusumawardani Nunik, Besral Besral, Jahari Abas
Basuni, Achadi Endang. 2017. Low birth weight was the most dominant predictor associated
with stunting among children aged 12-23 months in Indonesia. Indonesia: BMC Nutrition 
17. World Health Organization. 2012. World Health Statistics 2012.Switzerland: Department
of Nutrition for Health and Development. www.who.int. Diakses 20 April 2016 
39%1 
18. Senbanjo, I., et al. 2011. Prevalence of and Risk factors for Stunting among School
Children and Adolescents in Abeokuta, Southwest Nigeria. Journal of Health Population and
Nutrition. 29(4):364-370. 

24
19. Gibson, R. S. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. Oxford
University Press Inc, New York 
20. Kementrian Kesehatan RI. 2012. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 01 Juni 2017
dari http://www.gizi.depkes.go.id 
21. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Kemenkes RI. Diunduh tanggal 10 April
2017 dari www.depkes.go.id 
 

DAFTAR PUSTAKA

25

Anda mungkin juga menyukai