Anda di halaman 1dari 5

PROPOSAL PERENCANAAN PROGRAM PENCEGAHAN STUNTING DI

KECAMATAN TEMBALANG

Dosen Pengampu
Ir. Purwanti susantini, M.Kes
Ria Purnawian Sulistiani, S.Gz, M.Gz
Sri Hapsari SP., S.Gz, M.Gz
Disusun Oleh
1. G2B020037 Al Annissa Sukma Amalia
2. G2B020038 Putra Aji Wibowo
3. G2B020041 Tiara Andar Kusuma
4. G2B020042 Azka Dina Adila
5. G2B020045 Nur Ika Listyaningsih

PROGRAM STUDI S1 ILMU GIZI


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa anak usia dini merupakan masa keemasan atau sering disebut Golden Age.
Pada masa ini otak anak mengalami perkembangan paling cepat sepanjang sejarah
kehidupannya. Keberhasilan dalam menjalankan tugas perkembangan pada suatu masa
akan menentukan keberhasilan pada masa perkembangan berikutnya (Fauziddin M,
2016:). Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk,
infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai (World Health
Organization,2015). Stunting menjadi salah satu dampak masalah gizi yang panjang atau
kronis disebabkan oleh kekurangan gizi akibat ketidakcukupan gizi masa lalu (Sutarto,
dkk., 2018).Berdasarkan data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan oleh WHO,
pada tahun 2020 sebanyak 22% atau sekitar 149,2 juta balita di dunia mengalami
kejadian stunting (World Health Organization, 2021).
Menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada 2019, angka stunting
di Indonesia mengalami penurunan menjadi 27,7%. Sedangkan menurut data Riskesdas
tahun 2018 menunjukkan angka stunting di Indonesia yaitu 30,8%. Angka tersebut masih
diatas batasan yang ditetapkan oleh WHO (World Health Organization) untuk Negara
Berkembang yaitu 20%. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) di Jawa
Tengah, menunjukkan hasil bahwa prevalensi balita stunting di Jawa Tengah pada tahun
2015 sampai tahun 2017 juga masih di atas 20%, yaitu 24,8% pada tahun 2015, 23,9%
pada tahun 2016 dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 28,5%.
Berdasarkan data hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) balita menunjukkan
bahwa angka balita stunting di Kota Semarang pada tahun 2015 adalah 14,4% terdiri
dari 3,3% sangat pendek dan 11% pendek. Pada tahun 2016 persentasenya meningkat
yaitu menjadi 16,5%, terdiri dari 4% sangat pendek dan 12,5% pendek. Pada tahun 2017,
prevalensi stunting balita Kota Semarang meningkat menjadi 21%, terdiri dari 7,7%
balita sangat pendek dan 13,3% balita pendek (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah,
2017). Data hasil pelaksanaan Bulan Penimbangan Balita (operasi timbang) pada
anak balita di Kota Seamarang menunjukkan bahwa balita stunting pada tahun 2017
adalah 2,63%, terdiri dari 0,26% sangat pendek dan 2,37% pendek, Sedangkan tahun
2018 data operasi timbang menunjukkan bahwa balita stunting di Kota Semarang adalah
sebanyak 2,73%, yang terdiri dari 0,26 balita sangat pendek dan 2,47 balita pendek
(Dinas Kesehatan Kota Semarang,2017). Jika dilihat dari data hasil pelaksanaan operasi
timbang, menunjukkan bahwa angka kejadian stunting di Kota Semarang sudah
baik, karena jauh di bawah 20% (batasan yang ditentukan WHO). Namun tentu masih
diperlukan upaya pencegahan dan penanggulangan stunting secara optimal, agar dapat
terus menurunkan angka kejadian stunting di Kota Semarang.
Faktor penyebab stunting dapat dikelompokan menjadi penyebab langsung dan
tidak langsung. Praktik pemberian kolostrum dan ASI eksklusif, pola konsumsi anak, dan
penyakit infeksi yang diderita anak menjadi faktor penyebab langsung yang
mempengaruhi status gizi anak dan bisa berdampak pada stunting. Sedangkan penyebab
tidak langsungnya adalah akses dan ketersediaan bahan makanan serta sanitasi dan
kesehatan lingkungan (Rosha et al., 2020). Berdasarkan hasil riset terdahulu dinyatakan
bahwah faktor risiko kejadian stunting adalah berat badan lahir, ASI tidak eksklusif serta
pemberian makanan `pendamping ASI yang tidak optimal. Stunting yang pada masa
balita dapat berlanjut dan berisiko tumbuh pendek pada usia remaja. Anak yang stunting
pada usia dini (0-2 tahun) dan tetap pendek pada usia 4-6 tahun memiliki risiko 27 kali
untuk tetap pendek sebelum memasuki usia pubertas, sebaliknya anak yang
pertumbuhannya normal pada usia dini dapat mengalami growth faltering pada usia 4-6
tahun memiliki risiko 14 kali tumbuh pendek pada usia prapubertas.
Oleh karena itu masalah stunting menjadi perhatian khusus agar segera
ditanggulangi dan menarik untuk dibahas karena dampak jangka panjang terkait dengan
kualitas sumberdaya manusia yang mengalami gangguan penyakit degeneratif di masa
yang akan datang, dampak jangka menengah terkait dengan intelektualitas dan
kemampuan kognitif yang rendah dan dampak jangka pendek yang serius adalah risiko
morbiditas dan mortalitas pada bayi dan balita.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana faktor resiko stunting pada anak yang terjadi di Kecamatan Tembalang?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor stunting apa saja yang mempengaruhi terjadinya stunting di
Kecamatan Tembalang
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan pengetahuan tentang stunting dan gejala gejalanya serta bagaimana
cara pencegahannya.
b. Menilai pola makan pada anak yang mengalami stunting
c. Mengetahui pola asuh orang tua terhadap anak
d. Mengetahui kualitas hygiene sanitasi di lingkungan masyarakat
D. Manfaat
1. Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan sumber informasi bagi Masyarakat Tembalang untuk lebih
memperhatikan pentingnya pengetahuan, pola asuh, pola makan, serta hyigiene sanitasi
lingkungan kepada masyarakat untuk mengatasi kasus stunting di Kecamatan Tembalang.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai referensi tentang faktor penyebab kasus stunting di Kecamatan
Tembalang.
3. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang
diperoleh sewaktu perkuliahan.

Anda mungkin juga menyukai