Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH STUNTING PADA POPULASI BALITA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN KOMUNITAS II

Disusun Oleh Kelompok I

a. Ria Anjani h. Alif Rozi Nur A


b. Achmad Mughni R i. Amelia Devanka K
c. Afina Syafiah j. Ami Devi Rachmawati
d. Airin Green Sasta B k. Ananda Cndra M
e. Ajeng Mawarni l. Anies Ulfa S
f. Akhmad Alfaris m. Anik Restiawati
g. Alfina Ifada n. Annisa Maulidya S

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
2021
BAB I

STUNTING PADA POPULASI BALITA

A. LATAR BELAKANG

Stunting adalah bentuk gangguan pertumbuhan linear yang terjadi terutama pada
anak-anak. Stunting merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/ 2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, menyebutkan bahwa stunting adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek).

Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi
badan menurut umur diukur dengan dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya:
kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Masalah gizi terutama
stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang
akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap
penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Status Gizi
anak dan balita harus sangat dijaga dan diperhatikan oleh orang tua, karena terjadi malnutrisi
pada masa ini dapat mengakibatkan kerusakan yang sulit untuk pulih kembali. Sangat
mungkin ukuran tubuh pendek adalah salah satu indikator atau petunjuk kekurangan gizi
yang berkepanjangan pada balita.

Kekurangan gizi yang lebih fatal akan berdampak pada perkembangan otak (Agria
dkk 2012 dalam Dewi 2013). Masalah malnutrisi yang mendapat banyak perhatian akhir-
akhir ini adalah masalah kurang gizi kronis dalam bentuk anak pendek atau stunting. Stunting
adalah masalah gizi utama dan makin mengkhawatirkan mengingat terdapatnya hubungan
antara stunting dan terdapatnya penyakit tidak menular di kemudian hari, yang saat ini
menjadi mayoritas beban penyakit di Indonesia. Kaitan antara stunting dengan penyakit tidak
menular belum sepenuhnya ada hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu terhadap kejadian
stunting pada balita. Penelitian Candra, dkk (2011) juga mengemukakan bahwa tingga badan
ayah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stunting pada anak usia 1-2 tahun.

Anak yang memiliki tinggi badan ayah < 162 cm memiliki kecenderungan untuk
menjadi pendek sebesar 2,7 kali. Hasil Penelitian Picaully dan Toy (2013) tentang Analisis
determinan dan pengaruh stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di kupang dan
sumba timur,NTT, mengatakan bahwa determinan kejadian stunting adalah pendapatan
keluarga, pengetahuan ibu, riwayat infeksi penyakit, riwayat imunisasi, asupan protein, dan
pendidikan ibu. Salah satu faktor determinan kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun
adalah pengetahuan ibu. Pemberian Air Susu Ibu adalah salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak (Ahmad dkk, 2010).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Banten, pemberian ASI/MP- ASI yang


kurang dan pemberian MP-ASI/susu formula terlalu dini dapat meningkatkan risiko stunting
karena bayi cenderung mudah terkena infeksi seperti diare (Rahayu LS 2011 dalam
Anugraheni dan Kartasurya 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Giri, Muliarta, dan
Wahyuni (2013), menunjukkan ada hubungan pemberian ASI eksklusif dengan status gizi
balita. Balita yang mendapat ASI eksklusif memiliki status gizi baik dibandingkan balita
yang tidak mendapat ASI Eksklusif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Banten,
pemberian ASI/MP- ASI yang kurang dan pemberian MP-ASI/susu formula terlalu dini dapat
meningkatkan risiko stunting karena bayi cenderung mudah terkena infeksi (Rahayu LS 2011
dalam Anugraheni dan Kartasurya 2012) tentang faktor risiko kejadian stunting pada anak
usia 12-36 bulan.

Hasil penelitian Ramlah (2014) tentang Gambaran tingkat pengetahuan ibu menyusui
tentang stunting pada balita di puskesmas antang Makassar Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan tentang definisi stunting, penyebab, manajemen, efek jangka
panjang, dan pencegahan kerdil sebagian besar kurang. Hasil penelitian Astari, dkk (2005) di
Bogor menyatakan bahwa rata-rata pendidikan orang tua pada kelompok anak stunting adalah
tamat SD sementara pada kelompok anak normal setingkat SMP. Pendidikan orang tua dan
pendapatan keluarga mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anak.

Data dari world health statistic 2011 menunjukkan prevalensi stunting secara global
mencapai 26,7% dan gizi kurang mencapai 16,2% (WHO 2012 dalam Soemardi dkk 2013).
Stunting secara global diperkirakan sekitar 171 juta sampai 314 juta yang terjadi pada anak
berusia di bawah 5 tahun dan 90% diantaranya berada di negara-negara benua Afrika dan
Asia (Fenske et al, 2013).Prevalensi Stunting di Kawasan ASEAN pada tahun 2015 adalah
Laos 43,8%, Indonesia 36,4%, Myanmar 35,1%, Vietnam 19,4%, Thailand 16,3%, Filipina
30,3%, Brunei 19,7%, Kamboja 32,4%. Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun
(balita) Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta
balita mengalami masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya.
Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%.

Prevalensi stunting/kerdil balita Indonesia ini terbesar kedua di kawasan Asia


Tenggara di bawah Laos yang mencapai 43,8%. Namun, berdasarkan Pantauan Status Gizi
(PSG) 2017, balita yang mengalami stunting tercatat sebesar 26,6%. Angka tersebut terdiri
dari 9,8% masuk kategori sangat pendek dan 19,8% kategori pendek. Dalam 1.000 hari
pertama sebenarnya merupakan usia emas bayi tetapi kenyataannya masih banyak balita usia
0-59 bulan pertama justru mengalami masalah gizi.

Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah malnutrisi.
Masalah malnutrisi merupakan permasalahan global. 25% populasi dunia mengalami
kelebihan berat badan. 17% anak usia sekolah memiliki berat badan kurang, 28,5%
mengalami stunting (indonesia health sector review, 2012). Berdasarkan data Riskesdas
2013, angka kejadian stunting di Indonesia pada Anak Balita adalah 37,2% (sebanyak 18%
sangat pendek, dan 19,2% pendek). Anak usia 5-12 tahun,adalah 30,7% (sebanyak 12,3%
sangat pendek, dan 18,4% pendek). Anak usia 13-15 tahun, adalah 35,1% (sebanyak 13,8%
sangat pendek, dan 21,3% pendek). Anak usia 15-18 tahun, adalah 31,4% (7,5% sangat
pendek, dan 23,9% pendek).

Hasil Penellitian Rosha (2013) tentang Determinan Status Gizi pendek Anak Balita
dengan Riwayat BBLR di Indonesia menunjukkan bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
mempunyai pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat dibandingkan BBLN (Berat Badan
Lahir Normal). Keadaan ini lebih buruk lagi jika bay BBLR kurang mendapat asupan energi
dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya
bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang yaitu stunting.

Asupan gizi yang kurang dapat disebabkan ketersediaan pangan tingkat rumah tangga
tidak cukup. Ketersediaan pangan ini akan terpenuhi, jika daya beli masyarakat cukup. Sosial
ekonomi masyarakat merupakan faktor yang turut berperan dalam menentukan daya beli
keluarga (Rahayu dan Khairiyati,2014). Hasil Penelitian Meilyasari dan Isnawati (2014)
tentang Resiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 12 bulan di Desa Purwokerto hasil
penelitian menunjukkan stunting sangat erat kaitannya dengan pola pemberian makanan (ASI
dan MP-ASI) terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Pola pemberian makanan dapat
mempengaruhi kualitas konsumsi makanan pada balita, sehingga dapat mempengaruhi status
gizi balita.

Pemberian ASI yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini dapat
meningkatkan resiko stunting karena saluran pencernaan bayi belum sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Penyakit infeksi dapat menurunkan
kemampuan absorpsi zat gizi dalam tubuh, sehingga meningkatkan kejadian sakit atau
frekuensi sakit pada balita yang dapat menurunkan nafsu makan, pola konsumsi makanan dan
jumlah konsumsi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga memengaruhi gizi balita
(Suiraoka,Kusumajaya dan Larasati, 2011).

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian stunting?
2. Apa saja faktor penyebab stunting?
3. Apa tanda dan gejala stunting?
4. Bagaimana patofisiologi pada stunting?
5. Apa dampak stunting?
6. Apa saja klasifikasi dan pengukuran stunting?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada stunting?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada stunting?
9. Bagaimana cara mencegah stunting?
10. Apa penanggulangan dan pencegahan stunting pada bayi?
11. Apa saja peran perawat dalam stunting?
12. Bagaimana askep pada kasus
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk menjelaskan pengertian sunting.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab stunting.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala stunting.
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi pada stunting.
5. Untuk mengetahui dampak stunting.
6. Untuk mengetahui klasifikasi dan pengukuran stunting.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada stunting.
8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada stunting.
9. Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah stunting.
10.Untuk mengetahui cara penanggulangan dan pencegahan stunting pada bayi.
11.Untuk mengetahui peran perawat dalam stunting.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP STUNTING

1. Pengertian

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi kronis yang


ditunjukkan dengan nilai z-score panjang badan menurut umur (PB/U) kurang dari -2
SD (Al-Anshori, 2013).Stunting adalah masalah kurang nutrisi kronis yang
disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi (Farid, dkk. 2017).

Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linier yang disebabkan adanya


malnutrisi asupan zat gizi kronis dan atau penyakit infeksi kronis berulang yang
ditunjukkan dengan nilai z-score tinggi badan menurut usia (TB/U) < -2 SD
berdasarkan standar WHO (Hairunisa, 2016).

Berdasarkan tiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa stunting


merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi dan penyakit infeksi kronis
yang mengakibatkan kurangnya asupan nutrisi yang ditunjukkan dengan nilai zscore
TB/U <-2.

2. Faktor-Faktor Penyebab Stunting

Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada


anak.Faktor penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun
tidak langsung.Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan
adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab tidak langsung adalahpemberian ASI
dan MP-ASI, kurangnya pengetahuan orang tua, faktor ekonomi, rendahnya
pelayanan kesehatan dan masih banyak faktor lainnya (Mitra, 2015).
1. Faktor penyebab langsung

a. Asupan Gizi

Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan


perkembangan tubuh.Usia anak 1 – 2 tahun merupakan masa kritis dimana
pada tahun ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan secara pesat. Konsumsi
makanan yang tidak cukup merupakan salah satu faktor yang dapat
menyebabkan stunting (Kinasih dkk, 2016).

Hasil penelitian Kurniasari dkk, 2016 di Kabupaten Bogor melaporkan


setiap penambahan satu persen tingkat kecukupan energi balita, akan
menambah z-score TB/U balita sebesar 0,032 satuan.

b. Penyakit infeksi kronis

Adanya penyakit infeksi dalam waktu lama tidak hanya berpengaruh


terhadap berat badan akan tetapi juga berdampak pada pertumbuhan linier.
Infeksi juga mempunyai kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi
lain karena menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang.
Pemenuhan zat gizi yang sudah sesuai dengan kebutuhan namun penyakit
infeksi yang diderita tidak tertangani tidak akan dapat memperbaiki status
kesehatan dan status gizi anak balita. (Dewi dan Adhi, 2016).

Menurut penelitian dari Sari dkk, 2016 menunjukkan prevalensi stunting pada
kelompok penyakit infeksi lebih besar 1,07 kali.

2. Faktor penyebab tidak langsung

a. Pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI tanpa makanan dan minuman


tambahan lain pada bayi berusia 0-6 bulan. ASI sangat penting bagi bayi
karena memiliki komposisi yang dapat berubah sesuai kebutuhan bayi. Pada
ASI terdapat kolostrum yang banyak mengandung gizi dan zat pertahanan
tubuh, foremik (susu awal) yang mengandung protein laktosa dan kadar air
tinggi dan lemak rendah sedangkan hidramik (susu akhir) memiliki kandungan
lemak yang tinggi yang banyak memberi energi dan memberi rasa kenyang
lebih lama (Ruslianti dkk, 2015).

Pemberian MP-ASI merupakan sebuah proses transisi dari asupan yang


semula hanya ASI menuju ke makanan semi padat. Tujuan pemberian MP-ASI
adalah sebagai pemenuhan nutris yang sudah tidak dapat terpenuhi sepenuhnya
oleh ASI selain itu sebagai latihan keterampilan makan, pengenalan
rasa.MPASI sebaiknya diberikan setelah bayi berusia 6 bulan secara bertahap
dengan mempertimbangkan waktu dan jenis makanan agar dapat memenuhi
kebutuhan energinya (Ruslianti dkk, 2015). Hasil penelitian dari Aridiyah dkk,
2015 mengatakan bahwa pemberian ASI dan MP-ASI memberi pengaruh 3,27
kali mengalami stunting.

b. Pengetahuan orang tua

Orang tua yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik akan


memberikaan asuhan pada keluarga dengan baik pula. Pengetahuan orang tua
tentang gizi akan memberikan dampak yang baik bagi keluarganya
karena,akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan
makanan yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kebutuhan gizi Nikmah,
2015.

c. Faktor ekonomi

Dengan pendapatan yang rendah, biasanya mengkonsumsi makanan


yang lebih murah dan menu yang kurang bervariasi, sebaliknya pendapatan
yang tinggi umumnya mengkonsumsi makanan yang lebih tinggi harganya,
tetapi penghasilan yang tinggi tidak menjamin tercapainya gizi yang baik.
Pendapatan yang tinggi tidak selamanya meningkatkan konsumsi zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh, tetapi kenaikan pendapatan akan menambah
kesempatan untuk memilih bahan makanan dan meningkatkan konsumsi
makanan yang disukai meskipun makanan tersebut tidak bergizi tinggi Ibrahim
dan Faramita, 2014.

Menurut penelitian dari Kusuma dan Nuryanto 2013 menunjukkan


bahwa anak dengan status ekonomi keluarga yang rendah lebih berisiko 4,13
kali mengalami stunting.
d. Rendahnya pelayanan kesehatan

Perilaku masyarakat sehubungan dengan pelayanan kesehatan di mana


masyarakat yang menderita sakit tidak akan bertindak terhadap dirinya karena
merasa dirinya tidak sakit dan masih bisa melakukan aktivitas sehari-hari dan
beranggapan bahwa gejala penyakitnya akan hilang walaupun tidak di obati.
Berbagai alasan dikemukakan mengapa masyarakat tidak mau memanfaatkan
fasilitas pelayanan kesehatan seperti jarak fasilitas kesehatan yang jauh, sikap
petugas yang kurang simpati dan biaya pengobatan yang mahal (Ma’rifat,
2010). Dengan perilaku masyarakat yang demikian akan menyebabkan
tidakterdeteksinya masalah kesehatan kususnya kejadian stunting di
masyarakat karena ketidakmauan mengikuti posyandu.

3. Tanda dan Gejala

Menurut Kementrian desa, (2017) balita stunting dapat dikenali dengan ciri-ciri
sebagai berikut :

1. Tanda pubertas terlambat

2. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar

3. Pertumbuhan gigi terlambat

4. Usia 8 - 10 tahun anak menjadi lebih pendiam

5. Tidak banyak melakukan eye contact

6. Pertumbuhan melambat

7. Wajah tampak lebih muda dari usianya

4. Patofisiologi Stunting

Stunting merupakan bentuk kegagalan pertumbuhan akibat akumulasi


ketidakcukupan nutrisi yang berlangsung lama mulai dari kehamilan sampai usia 24
bulan. Keadaan ini diperparah dengan tidak terimbanginya kejar tumbuh (catch up
growth) yang memadai (Mitra, 2015).
Masalah stunting terjadi karena adanya adaptasi fisiologi pertumbuhan atau
non patologis, karena penyebab secara langsung adalah masalah pada asupan
makanan dan tingginya penyakit infeksi kronis terutama ISPA dan diare, sehingga
memberi dampak terhadap proses pertumbuhan balita (Sudiman, 2018).

Tidak terpenuhinya asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi berulang
menjadi faktor utama kejadian kurang gizi. Faktor sosial ekonomi,pemberian ASI dan
MP-ASI yang kurag tepat, pendidikan orang tua, serta pelayanan kesehatan yang tidak
memadai akan mempengaruhi pada kecukupan gizi. Kejadian kurang gizi yang terus
berlanjut dan karena kegagalan dalam perbaikan gizi akan menyebabkan pada
kejadian stunting atau kurang gizi kronis. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan
sehingga tidak mampu memenuhi kecukupan gizi yang sesuai (Maryunani, 2016).

Pada balita dengan kekurangan gizi akan menyebabkan berkurangnya lapisan


lemak di bawah kulit hal ini terjadi karena kurangnya asupan gizi sehingga tubuh
memanfaatkan cadangan lemak yang ada, selain itu imunitas dan produksi albumin
juga ikut menurun sehingga balita akan mudah terserang infeksi dan mengalami
perlambatan pertumbuhan dan perkembangan. Balita dengan gizi kurang akan
mengalami peningkatan kadar asam basa pada saluran cerna yang akan menimbulkan
diare (Maryunani, 2016).

5. Dampak Stunting

Menurut Kementrian desa, 2017 dampak buruk yang ditimbulkan akibat stunting
antara lain :

1. Anak akan mudah mengalami sakit

2. Postur tubuh tidak maksimal saat dewasa

3. Kemampuan kognitif berkurang

4. Saat tua berisiko terkena penyakit yang berhubungan dengan pola makan

5. Fungsi tubuh tidak seimbang

6. Mengakibatkan kerugian ekonomi

6. Klasifikasi dan PengukuranStunting


Penilaian status gizi pada anak biasanya menggunakan pengukuran
antropometri, secara umum pengukuran antopometri berhubungan dengan pengukuran
dimensi tubuh.(SDIDTK, 2016).

Indeks antopometri yang digunakan biasanya berat badan berdasar umur


(BB/U), tinggi badan berdasar umur (TB/U) dan berat badan berdasar tinggi badan
(BB/TB) yang dinyatakan dengan standar deviasi (SD).Keadaan stunting dapat
diketahui berdasarkan pengukuran TB/U lalu dibandingkan dengan standar. Secara
fisik balita stunting akan tampak lebih pendek dari balita seusianya. Klasifikasi status
gizi stunting berdasarkan indikator tinggi badan per umur (TB/U) (SDIDTK, 2016).

Tabel 1.2 Status Gizi Anak berdasarkan Indeks PB/U

Kategori Status Ambang batas Z-score


Gizi
Sangat pendek z score <- 3.0
Pendek z score ≥ - 3,0 sampai dengan z score < -
2.0
Normal z score ≥ -2,0
Sumber: Stimulasi, Deteksi dan lntervensi Dini Tumbuh Kembang Anak,
2016.

7. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Nurarif dan Kusuma, 2016 mengatakan pemeriksaan penunjang untuk


stunting antara lain :

1. Melakukan pemeriksaan fisik

2. Melakukan pengukuran antropometri BB, TB/PB, LILA, lingkar kepala

3. Melakukan penghitungan IMT

4. Pemeriksaan laboratorium darah: albumin, globulin, protein total, elektrolit


serum

8. Penatalaksaan Stunting

Menurut Khoeroh dan Indriyanti, 2017 beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi stunting yaitu :
1. Penilaian status gizi yang dapat dilakukan melalui kegiatan posyandu setiap
bulan

2. Pemberian makanan tambahan pada balita

3. Pemberian vitamin A

4. Memberi konseling oleh tenaga gizi tentang kecukupan gizi balita

5. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia 2 tahun
dengan ditambah asupan MP-ASI

6. Pemberian suplemen menggunakan makanan penyediaan makanan dan


minuman menggunakan bahan makanan yang sudah umum dapat
meningkatkan asupan energi dan zat gizi yang besar bagi banyak pasien

7. Pemberian suplemen menggunakan suplemen gizi khusus peroral siapguna


yang dapat digunakan bersama makanan untuk memenuhi kekurangan gizi

9. Cara Mencegah Stunting


1. Mencegah Stunting pada Balita
Berbagai upaya telah kita lakukan dalam mencegah dan menangani
masalah gizi di masyarakat. Memang ada hasilnya, tetapi kita masih harus bekerja
keras untuk menurunkan prevalensi balita pendek sebesar 2,9% agar target MD’s
tahun 2014 tercapai yang berdampak pada turunnya prevalensi gizi kurang pada
balita kita.
Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan
bertambahnya umur, namun pertambahan tinggi badan relatif kurang sensitif
terhadap kurang gizi dalam waktu singkat. Jika terjadi gangguan pertumbuhan
tinggi badan pada balita, maka untuk mengejar pertumbuhan tinggi badan
optimalnya masih bisa diupayakan, sedangkan anak usia sekolah sampai remaja
relatif kecil kemungkinannya.  Maka peluang besar untuk mencegah stunting
dilakukan sedini mungkin.dengan mencegah faktor resiko gizi kurang baik pada
remaja putri, wanita usia subur (WUS), ibu hamil maupun pada balita. Selain itu,
menangani balita yang dengan tinggi dan berat badan rendah yang beresiko
terjadi stunting, serta terhadap balita yang telah stunting agar tidak semakin berat.
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam
kandungandengan cara melakukan pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil,
artinya setiap ibu hamil harus mendapatkan makanan yang cukup gizi,
mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya.
Selain itu setiap bayi baru lahir hanya mendapat ASI saja sampai umur 6 bulan
(eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MPASI)
yang cukup jumlah dan kualitasnya. Ibu nifas selain mendapat makanan cukup
gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul vitamin A.
Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau dan
dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan
benar. Memantau pertumbuhan balita di posyandu merupakan upaya yang sangat
strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan, sehingga dapat
dilakukan pencegahan terjadinya balita stunting.
Bersama dengan sektor lain meningkatkan kualitas sanitasi lingkungan
dan penyediaan sarana prasarana dan akses keluarga terhadap sumber air
terlindung, serta pemukiman yang layak. Juga meningkatkan akses  keluarga
terhadap daya beli pangan dan biaya berobat bila sakit melalui penyediaan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan.
Peningkatan pendidikan ayah dan ibu yang berdampak pada pengetahuan
dan kemampuan dalam penerapan kesehatan dan gizi keluarganya, sehingga anak
berada dalam keadaan status gizi yang baik. Mempermudah akses keluarga
terhadap informasi dan penyediaan informasi tentang kesehatan dan gizi anak
yang mudah dimengerti dan dilaksanakan oleh setiap keluarga juga merupakan
cara yang efektif dalam mencegah terjadinya balita stunting.
10. Penanggulangan dan pencegahan Stunting pada Bayi
1. Penanggulangan stunting pada pertumbuhan bayi
Penanggulangan stunting yang paling efektif dilakukan pada seribu hari pertama
kehidupan, yaitu:
a. Pada ibu hamil
Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik
dalam mengatasi stunting. Ibu  hamil perlu mendapat makanan yang baik,
sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami
KurangEnergiKronis (KEK), maka perlu diberikan  makanan tambahan kepada
ibu hamil tersebut. Setiap ibu hamil perlu mendapat tablet tambah darah,
minimal 90 tablet selama kehamilan. Kesehatan ibu harus tetap dijaga agar ibu
tidak mengalami sakit.
b. Pada saat bayi lahir
Persalinan ditolong oleh bidan atau dokter terlatih dan begitu bayi lahir
melakukan Inisiasi Menyusu Dini (IMD). Bayi sampai dengan usia 6 bulan
diberi Air Susu Ibu (ASI) saja (ASI Eksklusif).
c. Bayi berusia 6 bulan sampai dengan 2 tahun
Mulai usia 6 bulan, selain ASI bayi diberi Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI). Pemberian ASI terus dilakukan sampai bayi berumur 2 tahun atau
lebih.Bayi dan anak memperoleh kapsul vitamin A, taburia, imunisasi dasar
lengkap.
2. Pencegahan stunting pada pertumbuhan bayi
a. Kebutuhan gizi masa hamil
Pada Seorang wanita dewasa yang sedang hamil, kebutuhan gizinya
dipergunakan untuk kegiatan rutin dalam proses metabolisme tubuh, aktivitas
fisik, serta menjaga  keseimbangan segala proses dalam tubuh. Di samping
proses yang rutin juga diperlukan energi dan gizi tambahan untuk
pembentukan jaringan baru, yaitu janin, plasenta, uterus serta kelenjar mamae.
Ibu hamil dianjurkan makan secukupnya saja,  bervariasi sehingga kebutuhan
akan aneka macam zat gizi bisa terpenuhi. Makanan yang diperlukan untuk
pertumbuhan adalah makanan yang mengandung zat pertumbuhan atau
pembangun yaitu protein, selama itu juga perlu tambahan vitamin dan mineral
untuk membantu proses pertumbuhan itu.
b. Kebutuhan Gizi Ibu  saat Menyusui
Jumlah makanan untuk ibu yang sedang menyusui lebih besar
dibanding dengan ibu hamil, akan tetapi kualitasnya tetap sama. Pada ibu
menyusui diharapkan mengkonsumsi makanan yang bergizi dan berenergi
tinggi, seperti diisarankan untuk minum susu sapi, yang bermanfaat untuk
mencegah kerusakan gigi serta tulang. Susu untuk memenuhi kebutuhan
kalsium dan flour dalam ASI. Jika kekurangan unsur ini maka terjadi
pembongkaran dari jaringan (deposit) dalam tubuh tadi, akibatnya ibu akan
mengalami kerusakan gigi. Kadar air dalam ASI sekitr 88 gr %. Maka ibu
yang sedang menyusui dianjurkan untuk minum sebanyak 2–2,5 liter (8-10
gelas) air sehari, di samping bisa juga ditambah dengan minum air buah.
c. Kebutuhan Gizi Bayi 0 – 12 bulan
Pada usia 0 – 6 bulan sebaiknya bayi cukup diberi Air Susu Ibu (ASI).
ASI adalah makanan terbaik bagi bayi mulai dari lahir sampai kurang lebih
umur 6 bulan.Menyusui sebaiknya dilakukan sesegara mungkin setelah
melahirkan. Pada usia ini sebaiknya bayi disusui selama minimal 20 menit
pada masing-masing payudara hingga payudara benar-benar kosong. Apabila
hal ini dilakukan tanpa membatasi waktu dan frekuensi menyusui,maka
payudara akan memproduksi ASI sebanyak 800 ml bahkan hingga 1,5 – 2 liter
perhari.
d. Kebutuhan Gizi Anak 1 – 2 tahun
Ketika memasuki usia 1 tahun, laju pertumbuhan mulai melambat
tetapi perkembangan motorik meningkat, anak mulai mengeksplorasi
lingkungan sekitar dengan cara berjalan kesana kemari, lompat, lari dan
sebagainya. Namun pada usia ini anak juga mulai sering mengalami gangguan
kesehatan dan rentan terhadap penyakit infeks seperti ISPA dan diare sehingga
anak butuh zat gizi tinggi dan gizi seimbang agar tumbuh kembangnya
optimal. Pada usia ini  ASI tetap diberikan. Pada masa ini berikan juga
makanan keluarga secara bertahap sesuai kemampuan anak.Variasi makanan
harus diperhatikan.Makanan yang diberikan tidak menggunakan penyedap,
bumbu yang tajam, zat pengawet dan pewarna.dari asi karena saat ini hanya
asi yang terbaik untuk buah hati anda tanpa efek samping.
11. Peran perawat pada anak stunting
1. Pemberi perawatan
Merupakan peran utama perawat yaitu memberikan pelayanan
keperawatan kepada individu, keluarga,kelompok atau masyarakat sesuai dengan
masalah yang terjadi mulai dari masalah yang bersifat sederhana sampai yang
kompleks. Contoh peran perawat sebagai pemberi perawatan adalah peran ketika
perawat memenuhi kebutuhan dasar seperti memberi makan, membantu pasien
melakukan ambulasi dini.
2. Sebagai Advocat keluarga
Sebagai client advocate, perawat bertanggung jawab untuk memebantu
klien dan keluarga dalam menginterpretasikan informasi dari berbagai pemberi
pelayanan dan informasi yang diperlukan untuk mengambil persetujuan (inform
concent) atas tindakan keperawatan yang diberikan kepadanya. Peran perawat
sebagai advocate keluarga dapat ditunjukkan dengan memberikan penjelasan
tentang prosedur tindakan pengukuran pertumbuhan linier yang dicapai pada pra
dan pasca persalinan dengan indikasi kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari
gizi yang tidak memadai.
3. Pendidik
Perawat bertanggung jawab dalam hal pendidikan dan pengajaran ilmu
keperawatan kepada klien, tenaga keperawatan maupun tenaga kesehatan
lainya.Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam keperawatan adalah aspek
pendidikan, karena perubahan tingkah laku merupakan salah satu sasaran dari
pelayanan keperawatan.Perawat harus bisa berperan sebagai pendidik bagi
individu, keluarga, kelompok dan masyarakat. Memberi penyuluhan kesehatan
tentang penanganan stunting (bayi pendek) merupakan salah satu contoh peran
perawat sebagai pendidik ( health educator )
4. Konseling
Tugas utama perawat adalah mengidentifikasi perubahan pola interaksi
klien terhadap keadaan sehat sakitnya.Adanya perubahan pola interaksi ini
merupakan dasar dalam perencanaan tindakan keperawatan.Konseling diberikan
kepada individu, keluarga dalam mengintegrasikan pengalaman kesehatan dengan
pengalaman masa lalu.Pemecahan masalah difokuskan pada; masalah
keperawatan, mengubah perilaku hidup sehat (perubahan pola interaksi).
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

Menurut Hutahaean, 2010 pengkajian keperawatan pada anak sama dengan


pengkajian pada umumnya, namun ada beberapa hal yang perlu dicatat pada
keperawatan anak yaitu perubahan pertumbuhan dan perkembangan anak, psikologi
dalam kemampuan fungsional, komunikasi anak terhadap anggota keluarga, ringkasan
medik tentang kesehatan anak, masalah yang dialami anak, intervensi dan
implementasai yang pernah diberikan dan respon anak terhadap tindakan keperawatan
yang telah diberikan.

1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk memperoleh informasi dari klien, sehingga masalah keperawatan
dapat dirumuskan secara akurat (Subekti, 2016). Menurut Hutahaean, 2010
pengkajian pada anak meliputi :

1. Identitas pasien

Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, nama orang
tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua. Tanyakan sejelas mungkin
identitas anak kepada keluarga, agar dalam melakukan asuhan keperawatan
tidak terjadi kesalahan objek.

2. Alasan kunjungan / keluhan utama

Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien,
sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.

3. Riwayat penyakit sekarang

Tanyakan pada klien atau keluarga tentang gejala penyakit, faktor yang
menyebabkan timbulnya penyakit, upaya yang pernah dilakukan.

4. Riwayat kehamilan dan kelahiran

Tanyakan riwayat saat kehamilan adakah masalah saat kehamilan,


apakah ibu mengkonsumsi obat-obatan tertentu saat hamil.Tanyakan riwayat
persalinan apakah anak lahir prematur, berat badan lahir kurang, panjang
badan kurang.Tanyakan riwayat pemberian ASI dan MP-ASI apakah sesuai.

5. Riwayat kesehatan lalu

Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama,
pernah mengalami penyakit kronis dan infeksi yang berat, anak mengikuti
kegiatan posyandu secara rutin dan imunisasi secara lengkap.

6. Riwayat kesehatan keluarga

Tanyakan penyakit apa saja yang pernah diderita oleh keluarga, apakah
keluarga ada yang menderita penyakit yang sama, penyakit menular atau
penyakit menurun, yang bersifat genetik atau tidak.
7. Kondisi Lingkungan

Tanyakan pada keluarga bagaimana kondisi lingkungan rumah, sanitasi


di lingkungan sekitar rumah, bagaimana pembuangan sampah bekas rumah
tangga.

8. Riwayat sosial

Tanyakan bagaiman kondisi sosial ekonomi dari keluarga dan tingkat


pendidikan orang tua.

9. Pola Kebiasaan

a. Nutrisi dan metabolism

Tanyakan frekuensi, jenis, pantangan, nafsu makan.Kaji pola nutrisi dan


metabolisme saat di rumah dan di rumah sakit.

b. Eliminasi Alvy (Buang Air Besar)

Kaji pola eliminasi alvy/BAB saat di rumah dan di rumah sakit, apakah
pernah mengalami diare parah.

c. Eliminasi Urin (Buang Air Kecil)

Perlu dikaji apakah sering kencing, sedikit atau banyak jumlahnya, sakit
atau tidak saat berkemih.

d. Tidur dan Istirahat

Tanyakan kebiasaan istirahat dan tidur, pemanfaatan waktu senggang dan


kegiatan sehari – hari.

e. Kebersihan

Tanyakan bagaimana upaya keluarga untuk menjaga kebersihan diri dan


lingkungan, tanyakan pola personal higine.

10. Pemeriksaan fisik pada anak menurut Maryunani, 2010 meliputi :

a. Periksa keadaan umum anak


1) Perhatikan tingkat kesadaran anak, apakah anak dalam kesadaran
compos mentis (sadar penuh), apatis (acuh terhadap sekitarnya),
samnolen (kesadaran menurun ditandai anak mengantuk), sopor
(berespon dengan rangsangan kuar), koma (tidak ada respon terhadap
stimulus apapun termasuk pupil) dan delirium (disorientasi, gelisah)

2) Perhatikan ekspresi dan penampilan anak apakah terlihat kesakitan

3) Perhatikan tangisan anak

4) Perhatikan gerakan anak, bergerak aktif atau pasif

5) Perhatikan kebersihan anak, bau badan, keadaan kulit kepala, rambut,


leher, kuku, gigi dan pakaian anak

b. Tanda-tanda vital. Lakukan pengukuran suhu, nadi, pernapasan dan


tekanan darah

c. Pemeriksaan kepala leher

Inspeksi dan Palpasi :

1) Kepala :Inspeksi posisi kepala dan gambaran wajah tegak dan stabil
serta simeteris/tidak, kebersihan kepala, kekuatan rambut, keadaan
sutura.

2) Mata :Periksa ketajaman penglihatan, lapang pandang, konjungtiva dan


sklera mata anemis, reaksi pupil.

3) Telinga : Bentuk telinga simetris/tidak, kaji ketajaman pendengaran


saat percakapan berlangsung.

4) Hidung :kaji keadaan mukosa hidung, rambut hidung, pernapasan


cuping hidung.

5) Mulut :kaji keadaan mukosa mulut, keadan gusi, gigi, lidah.

6) Leher :kaji adanya pembesaran kelenjar getah bening, letak trakea,


kaku kuduk, periksa kelenjar tiroid.

d. Pemeriksaan integument
1) Inspeksi :kaji warna kulit, adanya sianosis, eritema, petekhie dan
ekhimosis, ikterik, adanya keringat dingin dan lembab, kuku
sianosis/tidak, oedema/tidak, adakah lesi pada kulit, memar/tidak.

2) Palpasi : Turgor kulit normalnya < 2detik, akral teraba hangat.

e. Pemeriksaan dada dan thorax

1) Inspeksi :lihat ukuran dada, bentuk, pergerakan dinding dada,


perkembangan paru, kedalaman pernapasan, kesulitan bernapas.

2) Palpasi: Keadaan kulit dinding dada, nyeri tekan, masa, peradangan,


kesimetrisan ekspansi, vibrasi yang dapat teraba, batas jantung, periksa
taktil femitus.

3) Perkusi : Suara sonor/resonan.

4) Auskultasi :dengarkan suara napas vaskuler (+/-), dengarkan suara


napas tambahan whezing (+/-), ronchi (+/-), murmur jantung (+/-).

f. Abdomen

1) Inspeksi : Bentuk dan gerakan-gerakan abdomen, kontur permukaan


abdomen, adanya retraksi, penonjolan, serta ketidaksimetrisan.

2) Palpasi :Mengalami nyeri tekan, pembesaran hati (hepatomegali), dan


asites.

3) Perkusi : Terdengar bunyi tympani/kembung.

4) Auskultasi : Terdengar bising usus/peristaltik.

g. Genetalia dan Anus

Inspeksi dan palpasi : Inspeksi genetalia periksa posisi lubang uretra,


periksa adanya hipospadia/tidak, pada anak laki-laki skrotum di palpasi
untuk memastikan jumlah testis ada dua, pada perempuan labia mayora
sudahmenutupi labia minora, inspeksi lubang uretra dan vagina terpisah,
inspeksi lubang anus ada/tidak.

h. Ekstremitas
1) Inspeksi : Bentuk simetris/tidak, Oedem/tidak, jika anak sudah dapat
berdiri inspeksi gaya berdiri tegap/tidak sejajar antara pinggul dan
bahu, inspeksi gaya berjalan.

2) Palpasi : Akral dingin, terjadi nyeri otot dan sendi serta tulang, ukur
berapa tonus dan kekuatan otot.

i. Pemeriksaan tingkat perkembangan (KPSP)

Pada pemeriksaan tingkat perkembngan menggunakan parameter


termasuk berat badan, tinggi badan, lingkar lengan, lingkar kepala,
perkembanga motoring dengan hasil interpretasi perkembangan (normal /
meragukan / penyimpangan) (Kemenkes RI, 2016).

j. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan berupa hasil pengukuran lingkar kepala, lingkar lengan atas,


tinggi badan, berat badan dan nilai z-score TB/U.

2. Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan yang sering muncul pada balita stunting berdasarakan


Maryunani, 2016 adalah sebagai berikut :

1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan asupan yang tidak adekuat, anoreksia dan diare

2) Resiko hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dan


peningkatan kehilangan akibat diare

3) Diare berhungan dengan hiperperistaltik usus

4) Resiko gangguan pertumbuhan berhubungan dengan asupan kalori dan


protein yang tidak adekuat dan proses penyakit

5) Ketidakefektifan manajemen kesehatan keluarga berhubungan dengan


kurang pengetahuan

6) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tidak ada kandungan


makanan yang cukup
3. Intervensi
1) Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kurangnya intake makanan ditandai dengan anoreksia
MANAJEMEN NUTRISI
Observasi
- Identifikasi status nutrisi
- Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
- Identifikasi makanan yang disukai
- Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
- Monitor asupan makanan
- Monitor berat badan
Terapeutik
- Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
- Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
- Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
- Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
- Berikan suplemen makanan, jika perlu
Edukasi
- Anjurkan posisi duduk, jika mampu
- Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
- Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
2) Resiko hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif dan
peningkatan kehilangan akibat diare
Manajemen Hipovolemia
Observasi:
- Periksa tanda dan gejala hipovolemia
- Monitor intake dan output cairan
Terapeutik
- Hitung kebutuhan cairan
- Berikan asupan cairan oral
Edukasi
- Anjurkan memperbanyak cairan oral
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemeberian cairan intravena (cairan isotonis,hipotonis, dan
koloid)
- Kolaborasi pemberian produk darah
3) Diare berhungan dengan hiperperistaltik usus

Manajemen diare
Observasi:
 
- Identifikasi penyebab diare
- Identifikasi riwayat pemberian makanan
- Monitor warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja.
- Monitor tanda dan gejala hipovolemia.
- Monitor jumlah pengeluaran diare.
- Monitor ulserasi dan iritasi kulit di daerah perineal.
Terapeutik:
- Berikan asupan cairan oral
- Berikan cairan intravena
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap danelektrolit.
- Ambil sampel feses untuk kultur jika diperlukan.
Edukasi :
- Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
- Ajurkan melanjutkan pemberian ASI
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat

4) Resiko gangguan pertumbuhan berhubungan dengan asupan kalori dan protein


yang tidak adekuat dan proses penyakit
Skrining kesehatan
Observasi :
- Identifikasi targer populasi skrining kesehatan
Terapeutik :
- Lakukan infromed consent skrining kesehatan
- Sediakan akses layanan skrining (mis waktu dan tempat)
- Jadwalkan skrining kesehatan
- Gunakan instrument skrining yang valid dan adekuat
- Sediakan lingkungan yang nyaman selama procedure skrining kesehatan
- Lakukan anamnesis riwayat kesehatan factor resiko dan pengobatan jika
perlu
- Lakukan pemeriksaan fisik, sesuai indikasi
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedure skrining kesehatan
- Informasikan hasil skrining kesehatan
Kolaborasi
- Rujuk untuk pemeriksaan diagnostic lanjut.
5) Manajemen kesehatan keluarga tidak efektif berhubungan dengan kurang
pengetahuan
Dukungan koping keluarga
Observasi :
- Identifikasi respon emosional terhadap kondisi saat ini
- Identifikasi beban prognosis secara psikologis
- Identifikasi pemahaman tentang keputusan perawatan setelah pulang
Terapeutik :
- Dengarkan masalah, perasaan dan pertanyaan keluarga
- Terima nilai-nilai keluarga dengan cara yang tidak menghakimi
- Diskusikan rencana medis dan perawatan
- Fasilitasi memperoleh pengetahuan, keterampilan dan peralatan yang
diperlukan untuk mempertahankan keputusan perawatan pasien
- Hargai dan dukung mekanisme koping adaptif yang digunakan
Edukasi :
- Informasikan kemajuan pasien secara berkala
- Informasikan fasilitas perawata kesehatan yang tersedia
Kolaborasi :
Rujuk untuk terapi keluarga, jika perlu
6) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tidak ada kandungan makanan
yang cukup

Perawatan integritas kulit


Observasi :
- Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
Terapeutik :
- Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
- Gunakan produk berbahan petrolium atau minyak pada kulit kering
- Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit
Edukasi :
- Anjurkan menggunakan pelembab
- Anjurkan minum air yang cukup
- Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
- Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
- Anjurkan mandi dan gunakan sabun secukupnya

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi kronis yang
ditunjukkan dengan nilai z-score panjang badan menurut umur (PB/U) kurang dari -2
SD (Al-Anshori, 2013). Stunting adalah masalah kurang nutrisi kronis yang
disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi (Farid, dkk. 2017).
Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan
tinggi badan menurut umur diukur dengan dari keadaan yang berlangsung lama,
misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang
kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.
Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah
malnutrisi. Masalah malnutrisi merupakan permasalahan global. 25% populasi dunia
mengalami kelebihan berat badan. 17% anak usia sekolah memiliki berat badan
kurang, 28,5% mengalami stunting (indonesia health sector review, 2012).
Berdasarkan data Riskesdas 2013, angka kejadian stunting di Indonesia pada Anak
Balita adalah 37,2% (sebanyak 18% sangat pendek, dan 19,2% pendek). Anak usia 5-
12 tahun,adalah 30,7% (sebanyak 12,3% sangat pendek, dan 18,4% pendek). Anak
usia 13-15 tahun, adalah 35,1% (sebanyak 13,8% sangat pendek, dan 21,3% pendek).
Anak usia 15-18 tahun, adalah 31,4% (7,5% sangat pendek, dan 23,9% pendek).

B. Saran
Stunting harus dicegah sedini mungkin dengan meningkatkan pelayanan
kesehatan kepada ibu sejak kehamilan 3 bulan berupa ANC berupa gizi ibu hamil,
imunisasi TT, dan pemeriksaan kehamilan secara teratur. Bayi harus di berikan ASI
sampai umur 6 bulan. Setelah 6 bulan bayi harus diberikan makan pendamping
ASI(M-ASI). Anak harus di bawa ke posyandu secara rutin untuk mendapat
pelayanan secara lengkap. Bagi balita stunting segera di berikan pelayanan kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Unicef. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: UNICEF Indonesia.
Agustininggrum, Tia. (2016). Hubungan Karakterisitik Ibu dengan Kejadian Stunting di
Wiayah Kerja Puskesmas Wonosari I. Jurnal UNISA

Martorell R., Horta B.L., Adair L.S., Stein A.D., Richter L., Fall C.H. (2010). Weight Gain in
the First Two Years of Life is an Important Predictor of Schooling Outcomes in
Pooled Analyses from Five Birth Cohorts from Low and Middle Income Countries.
Journal of Nutrition 140, 348–354.

Rosha, B,”Determinan Status Gizi Pendek Anak Balita Dengan Riwayat Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007-2010).”Jurnal Ekologi
Kesehatan 12.3 Sep (2013): 195-205.

Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek (stunting) dan Intervensi untuk Mencegah
Terjadinya Stunting.

Rosha Bunga dan Kencana Sari. 2016. Peran Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif dalam
Perbaikan Masalah Gizi Balita di Kota Bogor. Buletin Penelitian Kesehatan
Vol.44 no 2 Juni 2016:127-138.

Chandra, Gregorius, dkk. 2011. Service, Quality & Satisfaction, Edisi 3. Yogyakarta: Andi
Offset.

suiraoka, I., Kusumajaya. A., Larasati, N. (2011). Perbedaan Konsumsi Energi, Protein,
Vitamin A dan Frekuensi Sakit karena Infeksi pada Anak

Ahmad, Aripin, dkk. 2010.ASI Eksklusif, anemia, dan stunting pada anak BADUTA (6-24
bulan) di kecamatan Darul imarah kecamatan Aceh besar.Dosen Jurusan Gizi
Poltekkes Kemenkes Aceh. http://www.nasuwakes.poltekkes-aceh.ac.id/pdf.
diakses pada tanggal 24 februari 2014.

Maryunani, Anik. 2012. Inisiasi menyusui dini, ASI EKsklusif dan Manajemen laktasi. CV
Trans info media: Jakarta

Anda mungkin juga menyukai