A. LATAR BELAKANG
Stunting adalah bentuk gangguan pertumbuhan linear yang terjadi terutama pada
anak-anak. Stunting merupakan salah satu indikator status gizi kronis yang menggambarkan
terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang. Dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1995/MENKES/SK/XII/ 2010 tentang Standar
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, menyebutkan bahwa stunting adalah status gizi
yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan
menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely
stunted (sangat pendek).
Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi
badan menurut umur diukur dengan dari keadaan yang berlangsung lama, misalnya:
kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang kurang baik dari
sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek. Masalah gizi terutama
stunting pada balita dapat menghambat perkembangan anak, dengan dampak negatif yang
akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya seperti penurunan intelektual, rentan terhadap
penyakit tidak menular, penurunan produktivitas hingga menyebabkan kemiskinan dan risiko
melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (UNICEF, 2012; dan WHO, 2010). Status Gizi
anak dan balita harus sangat dijaga dan diperhatikan oleh orang tua, karena terjadi malnutrisi
pada masa ini dapat mengakibatkan kerusakan yang sulit untuk pulih kembali. Sangat
mungkin ukuran tubuh pendek adalah salah satu indikator atau petunjuk kekurangan gizi
yang berkepanjangan pada balita.
Kekurangan gizi yang lebih fatal akan berdampak pada perkembangan otak (Agria
dkk 2012 dalam Dewi 2013). Masalah malnutrisi yang mendapat banyak perhatian akhir-
akhir ini adalah masalah kurang gizi kronis dalam bentuk anak pendek atau stunting. Stunting
adalah masalah gizi utama dan makin mengkhawatirkan mengingat terdapatnya hubungan
antara stunting dan terdapatnya penyakit tidak menular di kemudian hari, yang saat ini
menjadi mayoritas beban penyakit di Indonesia. Kaitan antara stunting dengan penyakit tidak
menular belum sepenuhnya ada hubungan antara tinggi badan ayah dan ibu terhadap kejadian
stunting pada balita. Penelitian Candra, dkk (2011) juga mengemukakan bahwa tingga badan
ayah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap stunting pada anak usia 1-2 tahun.
Anak yang memiliki tinggi badan ayah < 162 cm memiliki kecenderungan untuk
menjadi pendek sebesar 2,7 kali. Hasil Penelitian Picaully dan Toy (2013) tentang Analisis
determinan dan pengaruh stunting terhadap prestasi belajar anak sekolah di kupang dan
sumba timur,NTT, mengatakan bahwa determinan kejadian stunting adalah pendapatan
keluarga, pengetahuan ibu, riwayat infeksi penyakit, riwayat imunisasi, asupan protein, dan
pendidikan ibu. Salah satu faktor determinan kejadian stunting pada anak dibawah lima tahun
adalah pengetahuan ibu. Pemberian Air Susu Ibu adalah salah satu faktor penting bagi
pertumbuhan dan perkembangan anak (Ahmad dkk, 2010).
Hasil penelitian Ramlah (2014) tentang Gambaran tingkat pengetahuan ibu menyusui
tentang stunting pada balita di puskesmas antang Makassar Hasil penelitian menunjukkan
bahwa tingkat pengetahuan tentang definisi stunting, penyebab, manajemen, efek jangka
panjang, dan pencegahan kerdil sebagian besar kurang. Hasil penelitian Astari, dkk (2005) di
Bogor menyatakan bahwa rata-rata pendidikan orang tua pada kelompok anak stunting adalah
tamat SD sementara pada kelompok anak normal setingkat SMP. Pendidikan orang tua dan
pendapatan keluarga mempengaruhi pola pengasuhan orang tua terhadap anak.
Data dari world health statistic 2011 menunjukkan prevalensi stunting secara global
mencapai 26,7% dan gizi kurang mencapai 16,2% (WHO 2012 dalam Soemardi dkk 2013).
Stunting secara global diperkirakan sekitar 171 juta sampai 314 juta yang terjadi pada anak
berusia di bawah 5 tahun dan 90% diantaranya berada di negara-negara benua Afrika dan
Asia (Fenske et al, 2013).Prevalensi Stunting di Kawasan ASEAN pada tahun 2015 adalah
Laos 43,8%, Indonesia 36,4%, Myanmar 35,1%, Vietnam 19,4%, Thailand 16,3%, Filipina
30,3%, Brunei 19,7%, Kamboja 32,4%. Prevalensi stunting bayi berusia di bawah lima tahun
(balita) Indonesia pada 2015 sebesar 36,4%. Artinya lebih dari sepertiga atau sekitar 8,8 juta
balita mengalami masalah gizi di mana tinggi badannya di bawah standar sesuai usianya.
Stunting tersebut berada di atas ambang yang ditetapkan WHO sebesar 20%.
Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah malnutrisi.
Masalah malnutrisi merupakan permasalahan global. 25% populasi dunia mengalami
kelebihan berat badan. 17% anak usia sekolah memiliki berat badan kurang, 28,5%
mengalami stunting (indonesia health sector review, 2012). Berdasarkan data Riskesdas
2013, angka kejadian stunting di Indonesia pada Anak Balita adalah 37,2% (sebanyak 18%
sangat pendek, dan 19,2% pendek). Anak usia 5-12 tahun,adalah 30,7% (sebanyak 12,3%
sangat pendek, dan 18,4% pendek). Anak usia 13-15 tahun, adalah 35,1% (sebanyak 13,8%
sangat pendek, dan 21,3% pendek). Anak usia 15-18 tahun, adalah 31,4% (7,5% sangat
pendek, dan 23,9% pendek).
Hasil Penellitian Rosha (2013) tentang Determinan Status Gizi pendek Anak Balita
dengan Riwayat BBLR di Indonesia menunjukkan bayi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
mempunyai pertumbuhan dan perkembangan lebih lambat dibandingkan BBLN (Berat Badan
Lahir Normal). Keadaan ini lebih buruk lagi jika bay BBLR kurang mendapat asupan energi
dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada akhirnya
bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang yaitu stunting.
Asupan gizi yang kurang dapat disebabkan ketersediaan pangan tingkat rumah tangga
tidak cukup. Ketersediaan pangan ini akan terpenuhi, jika daya beli masyarakat cukup. Sosial
ekonomi masyarakat merupakan faktor yang turut berperan dalam menentukan daya beli
keluarga (Rahayu dan Khairiyati,2014). Hasil Penelitian Meilyasari dan Isnawati (2014)
tentang Resiko Kejadian Stunting pada Balita Usia 12 bulan di Desa Purwokerto hasil
penelitian menunjukkan stunting sangat erat kaitannya dengan pola pemberian makanan (ASI
dan MP-ASI) terutama pada 2 tahun pertama kehidupan. Pola pemberian makanan dapat
mempengaruhi kualitas konsumsi makanan pada balita, sehingga dapat mempengaruhi status
gizi balita.
Pemberian ASI yang kurang dari 6 bulan dan MP-ASI terlalu dini dapat
meningkatkan resiko stunting karena saluran pencernaan bayi belum sempurna sehingga lebih
mudah terkena penyakit infeksi seperti diare dan ISPA. Penyakit infeksi dapat menurunkan
kemampuan absorpsi zat gizi dalam tubuh, sehingga meningkatkan kejadian sakit atau
frekuensi sakit pada balita yang dapat menurunkan nafsu makan, pola konsumsi makanan dan
jumlah konsumsi zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga memengaruhi gizi balita
(Suiraoka,Kusumajaya dan Larasati, 2011).
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian stunting?
2. Apa saja faktor penyebab stunting?
3. Apa tanda dan gejala stunting?
4. Bagaimana patofisiologi pada stunting?
5. Apa dampak stunting?
6. Apa saja klasifikasi dan pengukuran stunting?
7. Apa saja pemeriksaan penunjang pada stunting?
8. Bagaimana penatalaksanaan pada stunting?
9. Bagaimana cara mencegah stunting?
10. Apa penanggulangan dan pencegahan stunting pada bayi?
11. Apa saja peran perawat dalam stunting?
12. Bagaimana askep pada kasus
C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk menjelaskan pengertian sunting.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab stunting.
3. Untuk mengetahui tanda dan gejala stunting.
4. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi pada stunting.
5. Untuk mengetahui dampak stunting.
6. Untuk mengetahui klasifikasi dan pengukuran stunting.
7. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang pada stunting.
8. Untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada stunting.
9. Untuk mengetahui bagaimana cara mencegah stunting.
10.Untuk mengetahui cara penanggulangan dan pencegahan stunting pada bayi.
11.Untuk mengetahui peran perawat dalam stunting.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. KONSEP STUNTING
1. Pengertian
a. Asupan Gizi
Menurut penelitian dari Sari dkk, 2016 menunjukkan prevalensi stunting pada
kelompok penyakit infeksi lebih besar 1,07 kali.
c. Faktor ekonomi
Menurut Kementrian desa, (2017) balita stunting dapat dikenali dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
6. Pertumbuhan melambat
4. Patofisiologi Stunting
Tidak terpenuhinya asupan gizi dan adanya riwayat penyakit infeksi berulang
menjadi faktor utama kejadian kurang gizi. Faktor sosial ekonomi,pemberian ASI dan
MP-ASI yang kurag tepat, pendidikan orang tua, serta pelayanan kesehatan yang tidak
memadai akan mempengaruhi pada kecukupan gizi. Kejadian kurang gizi yang terus
berlanjut dan karena kegagalan dalam perbaikan gizi akan menyebabkan pada
kejadian stunting atau kurang gizi kronis. Hal ini terjadi karena rendahnya pendapatan
sehingga tidak mampu memenuhi kecukupan gizi yang sesuai (Maryunani, 2016).
5. Dampak Stunting
Menurut Kementrian desa, 2017 dampak buruk yang ditimbulkan akibat stunting
antara lain :
4. Saat tua berisiko terkena penyakit yang berhubungan dengan pola makan
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksaan Stunting
Menurut Khoeroh dan Indriyanti, 2017 beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi stunting yaitu :
1. Penilaian status gizi yang dapat dilakukan melalui kegiatan posyandu setiap
bulan
3. Pemberian vitamin A
5. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan sampai usia 2 tahun
dengan ditambah asupan MP-ASI
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah pertama dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk memperoleh informasi dari klien, sehingga masalah keperawatan
dapat dirumuskan secara akurat (Subekti, 2016). Menurut Hutahaean, 2010
pengkajian pada anak meliputi :
1. Identitas pasien
Nama, tempat tanggal lahir, umur, jenis kelamin, alamat, nama orang
tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua. Tanyakan sejelas mungkin
identitas anak kepada keluarga, agar dalam melakukan asuhan keperawatan
tidak terjadi kesalahan objek.
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama pasien,
sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan yang dapat muncul.
Tanyakan pada klien atau keluarga tentang gejala penyakit, faktor yang
menyebabkan timbulnya penyakit, upaya yang pernah dilakukan.
Apakah sudah pernah sakit dan dirawat dengan penyakit yang sama,
pernah mengalami penyakit kronis dan infeksi yang berat, anak mengikuti
kegiatan posyandu secara rutin dan imunisasi secara lengkap.
Tanyakan penyakit apa saja yang pernah diderita oleh keluarga, apakah
keluarga ada yang menderita penyakit yang sama, penyakit menular atau
penyakit menurun, yang bersifat genetik atau tidak.
7. Kondisi Lingkungan
8. Riwayat sosial
9. Pola Kebiasaan
Kaji pola eliminasi alvy/BAB saat di rumah dan di rumah sakit, apakah
pernah mengalami diare parah.
Perlu dikaji apakah sering kencing, sedikit atau banyak jumlahnya, sakit
atau tidak saat berkemih.
e. Kebersihan
1) Kepala :Inspeksi posisi kepala dan gambaran wajah tegak dan stabil
serta simeteris/tidak, kebersihan kepala, kekuatan rambut, keadaan
sutura.
d. Pemeriksaan integument
1) Inspeksi :kaji warna kulit, adanya sianosis, eritema, petekhie dan
ekhimosis, ikterik, adanya keringat dingin dan lembab, kuku
sianosis/tidak, oedema/tidak, adakah lesi pada kulit, memar/tidak.
f. Abdomen
h. Ekstremitas
1) Inspeksi : Bentuk simetris/tidak, Oedem/tidak, jika anak sudah dapat
berdiri inspeksi gaya berdiri tegap/tidak sejajar antara pinggul dan
bahu, inspeksi gaya berjalan.
2) Palpasi : Akral dingin, terjadi nyeri otot dan sendi serta tulang, ukur
berapa tonus dan kekuatan otot.
j. Pemeriksaan penunjang
2. Diagnosa Keperawatan
Manajemen diare
Observasi:
- Identifikasi penyebab diare
- Identifikasi riwayat pemberian makanan
- Monitor warna, volume, frekuensi dan konsistensi tinja.
- Monitor tanda dan gejala hipovolemia.
- Monitor jumlah pengeluaran diare.
- Monitor ulserasi dan iritasi kulit di daerah perineal.
Terapeutik:
- Berikan asupan cairan oral
- Berikan cairan intravena
- Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap danelektrolit.
- Ambil sampel feses untuk kultur jika diperlukan.
Edukasi :
- Anjurkan makanan porsi kecil dan sering secara bertahap
- Ajurkan melanjutkan pemberian ASI
Kolaborasi :
- Kolaborasi pemberian obat
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Stunting merupakan gangguan pertumbuhan karena malnutrisi kronis yang
ditunjukkan dengan nilai z-score panjang badan menurut umur (PB/U) kurang dari -2
SD (Al-Anshori, 2013). Stunting adalah masalah kurang nutrisi kronis yang
disebabkan oleh asupan nutrisi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat
pemberian makanan yang tidak sesuai kebutuhan gizi (Farid, dkk. 2017).
Stunting (pendek) adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan
tinggi badan menurut umur diukur dengan dari keadaan yang berlangsung lama,
misalnya: kemiskinan, perilaku hidup sehat dan pola asuh/pemberian makan yang
kurang baik dari sejak anak dilahirkan yang mengakibatkan anak menjadi pendek.
Permasalahan gizi yang masih menjadi masalah utama di dunia adalah
malnutrisi. Masalah malnutrisi merupakan permasalahan global. 25% populasi dunia
mengalami kelebihan berat badan. 17% anak usia sekolah memiliki berat badan
kurang, 28,5% mengalami stunting (indonesia health sector review, 2012).
Berdasarkan data Riskesdas 2013, angka kejadian stunting di Indonesia pada Anak
Balita adalah 37,2% (sebanyak 18% sangat pendek, dan 19,2% pendek). Anak usia 5-
12 tahun,adalah 30,7% (sebanyak 12,3% sangat pendek, dan 18,4% pendek). Anak
usia 13-15 tahun, adalah 35,1% (sebanyak 13,8% sangat pendek, dan 21,3% pendek).
Anak usia 15-18 tahun, adalah 31,4% (7,5% sangat pendek, dan 23,9% pendek).
B. Saran
Stunting harus dicegah sedini mungkin dengan meningkatkan pelayanan
kesehatan kepada ibu sejak kehamilan 3 bulan berupa ANC berupa gizi ibu hamil,
imunisasi TT, dan pemeriksaan kehamilan secara teratur. Bayi harus di berikan ASI
sampai umur 6 bulan. Setelah 6 bulan bayi harus diberikan makan pendamping
ASI(M-ASI). Anak harus di bawa ke posyandu secara rutin untuk mendapat
pelayanan secara lengkap. Bagi balita stunting segera di berikan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Unicef. (2012). Ringkasan Kajian Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: UNICEF Indonesia.
Agustininggrum, Tia. (2016). Hubungan Karakterisitik Ibu dengan Kejadian Stunting di
Wiayah Kerja Puskesmas Wonosari I. Jurnal UNISA
Martorell R., Horta B.L., Adair L.S., Stein A.D., Richter L., Fall C.H. (2010). Weight Gain in
the First Two Years of Life is an Important Predictor of Schooling Outcomes in
Pooled Analyses from Five Birth Cohorts from Low and Middle Income Countries.
Journal of Nutrition 140, 348–354.
Rosha, B,”Determinan Status Gizi Pendek Anak Balita Dengan Riwayat Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR) di Indonesia (Analisis Data Riskesdas 2007-2010).”Jurnal Ekologi
Kesehatan 12.3 Sep (2013): 195-205.
Mitra. 2015. Permasalahan Anak Pendek (stunting) dan Intervensi untuk Mencegah
Terjadinya Stunting.
Rosha Bunga dan Kencana Sari. 2016. Peran Intervensi Gizi Spesifik dan Sensitif dalam
Perbaikan Masalah Gizi Balita di Kota Bogor. Buletin Penelitian Kesehatan
Vol.44 no 2 Juni 2016:127-138.
Chandra, Gregorius, dkk. 2011. Service, Quality & Satisfaction, Edisi 3. Yogyakarta: Andi
Offset.
suiraoka, I., Kusumajaya. A., Larasati, N. (2011). Perbedaan Konsumsi Energi, Protein,
Vitamin A dan Frekuensi Sakit karena Infeksi pada Anak
Ahmad, Aripin, dkk. 2010.ASI Eksklusif, anemia, dan stunting pada anak BADUTA (6-24
bulan) di kecamatan Darul imarah kecamatan Aceh besar.Dosen Jurusan Gizi
Poltekkes Kemenkes Aceh. http://www.nasuwakes.poltekkes-aceh.ac.id/pdf.
diakses pada tanggal 24 februari 2014.
Maryunani, Anik. 2012. Inisiasi menyusui dini, ASI EKsklusif dan Manajemen laktasi. CV
Trans info media: Jakarta