Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

STUNTING DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Epidemiologi


Penyakit Pesisir dan Kepulauan

OLEH

ALBRINA ROZA REZKILLAH


J1A118188
REGULER B 2018

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah ini
yang berjudul “STUNTING DI WILAYAH PESISIR DAN KEPULAUAN”
ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari Makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas mata kuliah Epidemiologi Penyakit Pesisir dan Kepulauan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca dan
juga bagi penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga Makalah ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari, Makalah
yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Kendari, April 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1Latar Belakang..................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................4
1.3 Tujuan..............................................................................................................4
BAB II TINAUAN TEORI....................................................................................5
2.1 Sejarah Penyakit Stunting dan Status Kesehatan Masyarakat...................5
2.2 Komparasi Masyarakat Pesisir dan Kepulauan...........................................9
2.3 Teori Model Roda..........................................................................................18
BAB III PEMBAHASAN....................................................................................21
3.1 Penyakit Stunting Di Indonesia....................................................................21
3.2 Five Level Of Prevention Penyakit Stunting...............................................24
3.3 Program Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Stunting
................................................................................................................................28
BAB IV PENUTUP..............................................................................................33
4.1 Kesimpulan.....................................................................................................33
4.2 Saran...............................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejadian balita pendek (stunting) di Indonesia menempati urutan ke-5
dunia. Sekitar 5 juta dari 12 juta balita (38,6%) di Indonesia memiliki tinggi
badan di bawah rata-rata tinggi badan balita di dunia. (Lestari, Kristiana, &
Paramita, 2018)

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) di Indonesia tahun 2017 menyatakan


prevalensi stunting sebesar 29,6%. Angka ini masih tinggi sehingga masih
menjadi masalah karena angka diatas ambang batas 20%. (Fariza Aqmar
Adelina et al, 2018)

Salah satu tantangan utama yang saat ini dihadapi sektor kesehatan di
Indonesia adalah masalah gizi balita. Balita adalah penerus masa depan
kita, balita juga menentukan masa depan bangsa, balita sehat akan
menjadikan balita yang cerdas. Balita salah satu golongan umur yang rawan
penyakit apabila terjadi kekurangan pangan dan gizi. Defisiensi zat gizi
pada balita dapat menyebabkan balita kurang gizi, infeksi penyakit dan
mempengaruhi kecerdasan anak. Dampak dari kurang gizi adalah akan
terganggunya pertumbuhan dan perkembangan pada balita (supariasa, dkk
2017). Indonesia adalah salah satu dari tiga negara dengan prevalensi
stunting tertinggi di Asia Tenggara. Menurut Fikawati (2017) penurunan
angka kejadian stunting di Indonesia tidak begitu signifikan dibandingkan
dengan Myanmar, Kamboja dan Vietnam. Bahkan pada tahun 2013
prevalensi stunting di Indonesia justru mengalami peningkatan lebih dari 9
juta anak di Indonesia mengalami stunting. (Indra dewi et al, 2019)

Berdasarkan data Riskesdas tahun 2018, prevalensi stunting pada tahun


2013 sebesar 37,2% dan mengalami penurunan sebesar 6,4% pada tahun
2018 menjadi 30,8%. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila

1
prevalensi pendek sebesar 30-39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥
40 persen. Data dari dinas kesehatan provinsi Sulawesi Tenggara
menyebutkan dari 100 Balita terdapat 12 balita kurus, 30 balita stunting dan
5 balita mengalami kegemukan (obesitas). Kondisi stunting di Sulawesi
Tenggara tahun 2018 juga mengalami peningkatan jika di bandingkan tahun
2016 dan tahun 2017, yakni dari 29,6% menjadi 36,4 % atau meningkat
6,8% dengan prevalensi tertinggi terdapat di kabupaten Buton Tengah.
Prevalensi stuntingdi wilayah butonpada tahun 2013 yaitu 49,61%. (Indra
dewi et al, 2019)

Ketahanan pangan keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk


memenuhi kebutuhan pangan anggota rumah tangga, baik dari segi jumlah,
mutu dan ragamnya sesuai dengan sosial budaya setempat. Rendahnya
ketahanan pangan keluarga dapat disebabkan karena kurangnya ketahanan
pangan keluarga, akses pangan, pemanfaatan pangan dan keberagaman
pangan keluarga. Ketahanan pangan keluarga yang tidak mencukupi dapat
menyebabkan asupan pangan menjadi berkurang dan berdampak pada status
gizi seseorang. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang mayoritas
penduduknya adalah seorang nelayan. Nelayan merupakan salah satu
kelompok masyarakat perkotaan yang masih tergolong rawan pangan.
Kerawanan pangan tersebut terjadi karena rendahnya akses pangan yang
disebabkan oleh status ekonomi, kesejahteraan, pendapatan yang rendah dan
harga pangan yang tinggi. Rendahnya status ekonomi pada nelayan
disebabkan karena kesempatan kerja yang tidak pasti karena bergantung
dengan musim. (Rohmatul Bariroh Al Faiqoh et al, 2018)
Kondisi geografis negara Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri
atas 70% laut, maka wajar apabila sebagian besar penduduk pesisir bermata
pencaharian sebagai nelayan. Kampung Tambak Lorok merupakan wilayah
nelayan yang berada Kecamatan Tanjung Mas, Kota Semarang. Menurut
data puskesmas Bandarharjo tahun 2016, prevalensi gizi kurang (stunting)
pada balita di kampung Tambak Lorok tahun 2016 sebanyak 11,1% yang

2
artinya kasus stunting tergolong sedang (10- 19%). (Isninda Priska
Syabandini et al, 2018)
Dilihat dari etiologinya, status gizi penduduk dipengaruhi oleh berbagai
faktor yang kompleks, seperti: sosial, ekonomi, budaya, kesehatan,
lingkungan alam, maupun penduduk yang saling berkaitan satu dengan
lainnya. Terjadinya krisis ekonomi, telah terjadi peningkatan kasus gizi
kurang, dan bahkan kasus gizi buruk di Indonesia yang sebenarnya dapat
ditanggulangi sejak dini dengan pemantauan secara rutin setiap bulannya.
Gangguan gizi disebabkan oleh faktor primer atau sekunder, faktor primer
adalah bila susunan makanan seseorang salah dalam kualitas dan kuantitas
yang disebabkan oleh kurang nya penyedian pangan, kurang baik nya
distribusi pangan, kemiskinan, ketidaktahuan, kebiasaan makan yang salah
dan sebagai nya. (Reza kartika Fitri et al, 2017)
Menurut Anugraheni (2012) beberapa faktor yang diduga berpengaruh
terhadap kejadian stunting antara lain riwayat sakit, status pekerjaan ibu,
status pendidikan ibu, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga, pengasuh
utama, pola pemenuhan gizi, pola asuh, berat badan lahir balita, pola
perawatan kesehatan balita pendapatan perkapita, pengetahuan ibu tentang
gizi dan panjang badan lahir. Riwayat sakit balita dapat berpengaruh
terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Kebutuhan energi anak
yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan saat bertumbuh
justru digunakan untuk pemulihan (recovery) tubuh yang terkena penyakit.
Gangguan asupan gizi pada masa kehamilan dapat berpengaruh pada berat
badan lahir bayi sehingga berat badan bayi kurang dari 2500 gram atau
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Berat badan bayi yang kurang ini juga
berhubungan dengan panjang bayi saat lahir, bayi lahir dengan panjang
badan <48 cm. Pendapatan keluarga secara signifikan menentukan
kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan gizi. Jenis kelamin anak
berhubungan dengan pencapaian tumbuh kembang anak mengingat pacu
tumbuh anak perempuan dan laki-laki ada perbedaan. Pola asuh masa balita
terutama dalam hal pemenuhan gizi berhubungan dengan stunting.

3
Perawatan kesehatan pada anak mulai dari mencegah sampai merawat saat
sakit berhubungan dengan kejadian stunting. Status pekerjaan ibu
menentukan seberapa banyak informasi yang didapatkan ibu saat
berinteraksi dengan lingkungan pekerjaannya, yang tentunya diimbangi juga
dengan tingkat pendidikan ibu.Ibu yang bekerja otomatis ikut membantu
menopang ekonomi keluarga namun berdampak juga terhadap pola
pengasuhan anak saat ibu sedang bekerja. Faktor sosial ekonomi meliputi
pendapatan perkapita, pendidikan orang tua, pengetahuan ibu tentang gizi
dan jumlah anggota dalam rumah tangga secara tidak langsung juga
berhubungan dengan kejadian stunting. Pendapatan akan memengaruhi
pemenuhan zat gizi keluarga dan kesempatan dalam mengikuti pendidikan
formal. Rendahnya pendidikan disertai rendahnya pengetahuan gizi sering
dihubungkan dengan kejadian mal nutrisi. (Sulistyawati, 2019)

1.2 Rumusan Masalah


1. Mengapa penyakit Stunting masih ada di Indonesia ?
2. Bagaimana Five Level Of Prevention penyakit Stunting ?
3. Bagaimana program pemerintah terkait pencegahan dan penanggulanagan
penyakit Stunting ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui alasan mengapa penyakit Stunting masih ada di
Indonesia.
2. Untuk mengetahui Five Level Of Prevention penyakit Stunting.
3. Untuk mengetahui program pemerintah terkait pencegahan dan
penanggulangan penyakit Stunting.

4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Sejarah Penyakit Stunting dan Status Kesehatan Masyarakat


Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang
dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama
tiga tahun terakhir, pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan
dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk.
Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5%
menjadi 29,6% pada tahun 2017. Masa balita merupakan periode penting
dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, terjadi peningkatan secara
pesat sehingga disebut periode emas dalam siklus kehidupan. Tumbuh
kembang balita tentunya membutuhkan asupan gizi yang cukup dan sesuai
agar tidak terjadi permasalahan gizi1. Buruknya kualitas asupan gizi pada
balita dalam jangka panjang akan menimbulkan permasalahan serius yaitu
stunting. Stunting merupakan indikasi masalah gizi yang bersifat kronis
akibat dari kondisi tertentu yang berlangsung lama seperti kemiskinan,
perilaku hidup tidak sehat dan asupan makan yang kurang dalam jangka
waktu lama sehingga mengakibatkan anak menjadi pendek (stunting).
Dampak jangka pendek yang ditimbulkan dari kejadian stunting yaitu
perkembangan otak terganggu sehingga mempengaruhi kecerdasan balita.
Selain itu pertumbuhan fisik dan metabolisme dalam tubuh juga dapat
terganggu. Dampak jangka panjang kejadian stunting yaitu dapat
menimbulkan penurunan kemampuan kognitif dan prestasi belajar serta
penurunan imunitasi tubuh sehingga anak mudah sakit. Balita dapat memiliki
risiko tinggi mengalami penyakit tidak menularhingga disabilitas pada usia
lanjut. (Mita Femidio et al, 2020)
Kejadian stunting pada balita disebabkan oleh pola asuh ibu dan tingkat
kecukupan zat gizi balita yang kurang. Pola asuh ibu dapat dibedakan
menjadi dua, pola asuh pemberian makan dan pola asuh perawatan kesehatan
dasar. Pola asuh pemberian makan berkaitan dengan pemilihan dan cara

5
makan. Pola asuh perawatan kesehatan dasar berkaitan denganperhatian ibu
terhadap kesehatan anak. Perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan
dengan makanan yang sehat dan bergizi serta mengontrol besar porsi yang
dihabiskan dapat meningkatkan status gizi anak. Hal tersebut menunjukkan
ibu yang memberikan perhatian lebih terhadap anaknya dalam hal pemberian
makan akan mempengaruhi status gizi anak menjadi lebih baik, sedangkan
ibu yang kurang memberikan perhatian pada pemberian makan dapat
menimbulkan masalah gizi. Begitu juga dengan pola asuh perawatan
kesehatan dasar, ibu yang menjaga kebersihan anak dengan baik memiliki
anak dengan tinggi badan normal dibanding yang kurang menjaga kebersihan
anak Selain pola asuh, tingkat kecukupan zat gizi yang kurang dapat
mempengaruhi kejadian stunting balita. Beberapa zat gizi yang berperan
dalam kejadian stunting adalah energi, protein, seng dan vitamin A. Energi
berperan penting dalam proses pertumbuhan untuk pembentukan jaringan-
jaringan baru serta metabolisme di dalam sel, sehingga kekurangan energi
dapat menghambat pertumbuhan. Begitu pula dengan tingkat asupan protein,
seng dan vitamin A, karena asupan makronutrien dan mikronutrien tersebut
mempengaruhi pertumbuhan linear anak. (Mita Femidio et al, 2020)

The estimates of the previous section suggest there is a sizable economic


penalty to not eliminating childhood stunting. This suggests that programs
and policies that can reduce stunting may have large benefits. Whether they
also have high rates of return depend on their average costs, i.e. the outlays
required to reduce stunting by, say, one percentage point. Many studies have
been undertaken estimating the effects on stunting of various “nutrition‐
specific” programs (e.g. breastfeeding promotion, complementary feeding)
and “nutrition‐sensitive” programs (e.g. agriculture, and water and
sanitation), and several systematic reviews and meta‐analyses are now
available summarizing the effects of these programs (Perkiraan bagian
sebelumnya menunjukkan ada penalti ekonomi yang cukup besar untuk tidak
menghilangkan pengerdilan masa kecil. Ini menunjukkan bahwa program dan

6
kebijakan dapat mengurangi stunting mungkin punya manfaat besar. Apakah
mereka juga memiliki tingkat pengembalian yang tinggi tergantung pada
biaya rata-rata mereka, yaitu pengeluaran yang diperlukan untuk mengurangi
pengerdilan , katakanlah, satu poin persentase. Banyak penelitian telah
dilakukan memperkirakan efek pada stunting berbagai program "spesifik
gizi" (mis. promosi pemberian ASI, pemberian makanan pendamping ASI)
dan program “sensitif nutrisi” (mis. pertanian, dan air dan sanitasi), dan
beberapa tinjauan sistematis dan meta analisis sekarang tersedia meringkas
efek dari program ini. (Wagstaff, 2018)
Berdasarkan data sekunder di Puskesmas Kolono terdapat 90 orang Balita
dan terdapat 53 anak balita yang diketahui men-galami stunting dengan
prevalensi yang di dapat sebesar 59%. Proses pertumbuhan pada usia 2-3
tahun cenderung mengalami perlambatan se-hingga peluang untuk terjadinya
kejar tum-buh lebih rendah dibanding usia 0-2 tahun. Usia 2-3 tahun
merupakan usia anak mengala-mi perkembangan yang pesat dalam kemam-
puan kognitif dan motorik. Diperlukan kondisi fisik yang maksimal untuk
mendukung perkembangan ini, dimana pada anak yang stunting
perkembangan kemampuan motorik maupun kognitif dapat terganggu. Anak
pada usia ini juga membutuhkan perhatian lebih dalam hal asupan karena
kebutuhan energi yang lebih tinggi dan kebutuhan makanan yang lebih
bervariasi dibanding usia 0-2 tahun. Stunting terjadi mulai janin masih dalam
kandungan dan baru nampak saat anak berusia dua tahun. Menurut World
Health Organization (2018) kekurangan gizi pada usia dini meningkatkan
angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sa-kit dan
memiliki postur tubuh tak maksimal saat dewasa. Stunting merupakan
masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti asupan
protein kurang, riwayat penyakit infeksi, riwayat Air Susu Ibu (ASI)
eksklusif, kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,
dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Menurut Mentari and Hermansyah
(2019) Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta
setelah persali-nan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya

7
stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh
ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja,
serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. (Wahyuni, Ihsan, &
Mayangsari, 2019)
Dalam Wahdah (2012) dinyatakan bahwa, “Stunting atau tubuh yang
pendek, merupakan suatu retardasi pertumbuhan linier telah digunakan
sebagai indikator secara luas untuk mengukur status gizi anak. Pendek sering
dipakai sebagai terjemahan stunting dan terdapat suatu unsur atau elemen
maupun nuansa yang tidak tercakup dalam pengertian pendek. Dengan kata
lain stunting tidak hanya sekedar pendek saja, tetapi terkandung adanya
proses perubahan patologis, jadi tidak semata-mata pendek atau shortnes saja.
Stunting merupakan gambaran keadaan masa lalu (kronis), karena hambatan
atau gangguan pertumbuhan tinggi badan atau pertumbuhan linier
memerlukan waktu lama, dalam hitungan bulan atau bahkan tahun. Jika di
suatu masyarakat banyak anak dengan tinggi badan menurut umur lebih
rendah dari baku rujukan, maka dapat memberikan indikasi bahwa di
masyarakat yang bersangkutan terdapat masalah pembangunan secara umum
seperti layanan sosial air bersih, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Perawakan pendek seringkali dikaitkan dengan hambatan pertumbuhan
(growth retardation), bahkan digunakan sebagai petunjuk terhadap adanya
gangguan kesehatan seseorang . (Lestari et al., 2018)

Masalah stunting adalah salah satu permasalah gizi yang dihadapi dunia,
khususnya negara miskin dan berkembang karena berhubungan dengan risiko
terjadinya kesakitan dan kematian. Stunting terjadi karena pola pemberian
makanan dan tidak menerapkan hidup bersih dan sehat. Asupan gizi yang
tidak memadai, penyakit infeksi merupakan faktor sangat berperan terhadap
masalah stunting. Stunting sangat erat dengan pola pemberian makan, anak
yang berusia 2 tahun karena belum bisa mengekspresikan keinginan maka
dari itu orang tua harus memberikan asupan makanan yang memiliki gizi
baik. Kondisi ini menyebabkan anak memiliki tinggi badan cenderung pendek
pada usianya. Selain tubuh pendek, stunting juga menimbulkan dampak lain,

8
baik dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak jangka pendek
yaitu perkembangan menjadi terhambat, penurunan fungsi kognitif,
penurunan fungsi kekebalan tubuh, dan gangguan sistem pembakaran. Jangka
panjang yaitu pada masa dewasa, timbul risiko penyakit degeneratif, seperti
diabetes mellitus, jantung koroner, hipertensi, dan obesitas. (Al, 2020)
Kondisi sanitasi lingkungan rumah dan lingkungan akan berdampak positif
kepada status gizi, dimana pada hasil penelitian yang termasuk kategori baik
kondisi sanitasi lingkungan 66,7% tinggi badan anak normal. Sedangkan
kondisi sanitasi lingkungan yang kurang baik didominasi oleh balita stunting.
Hal ini menandakan perlunya seorang ibu untuk memperhatikan kondisi
lingkungan anak sehingga anak bisa mengeksplorasi diri dengan aman karena
lingkungan yang nyaman. Seperti membuang sampah pada tempatnya atau
dibakar, membersihkan tempat penampungan air dan menyediakan jamban di
dalam rumah dan lain sebagainya.(Al, 2020)

2.2 Komparasi Masyarakat Pesisir dan Kepulauan


1. Kebudayaan dan System Sosial

Semakin disadari bahwa budaya tidak bisa diabaikan dalam


mempengaruhi status kesehatan masyarakat nelayan. Karena itu riset
tentang budaya kesehatan masyarakat nelayan dalam upaya peningkatan
status kesehatan sangatlah penting untuk dilakukan. Konsekuensi logis
harus disadari bahwa beranekaragamnya budaya yang ada di wilayah
Indonesia terutama di daerah pesisir pantai memerlukan pemahaman yang
cermat untuk setiap daerah dengan etnis yang ada di wilayah tersebut.
Pemahaman budaya secara spesifik, dengan menggali kearifan lokal akan
dapat digunakan sebagai strategi upaya kesehatan dengan tepat secara
lokal spesifik. Secara obyektif setiap kelompok masyarakat tertentu
terutama pada masyarakat nelayan mempunyai persepsi kesehatan (konsep
sehat sakit) yang berbeda. Hal ini sangat ditentukan oleh kebudayaan
masyarakat yang bersangkutan. Budaya masyarakat nelayan yang menjadi
ciri khas pola kehidupan, dan yang telah menjadi tradisi turun temurun,

9
memiliki potensi yang besar untuk mempengaruhi kesehatan baik dari sisi
negatif maupun positif. Memahami status kesehatan masyarakat
berdasarkan budaya merupakan upaya salah satu upaya meningkatkan
status kesehatan itu sendiri, terutama status kesehatan ibu dan anak.
(Yunarti et al, 2018)
Indonesia memiliki lebih dari 1.128 suku dan budaya yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Nilai budaya yang ada mendasari kebiasaan
konsumsi makanan masyarakat pada masing-masing budaya dan suku
yang berbeda. Salah satu faktor yang mempengaruhi kebiasaan konsumsi
makanan adalah tabu makanan. Tabu makanan adalah suatu larangan
dalam mengonsumsi makanan tertentu dikarenakan adanya pengertian
yang salah dan dapat menimbulkan beberapa ancaman atau sanksi bagi
orang yang mengonsumsinya. Menurut Huang et al. (2012), omega-3
terutama EPA dan DHA dapat meningkatkan pertumbuhan dan
perkembangan kognitif bayi, anak-anak, ibu hamil, serta mengurangi
risiko penyakit kardiovaskular. Udang, cumi-cumi dan sejenisnya, dan
telur merupakan 3 jenis makanan kelompok lauk pauk hewani yang
termasuk ke dalam 7 jenis makanan yang paling banyak ditabukan bagi
ibu hamil di Indonesia. Konsumsi udang pada ibu hamil memiliki makna
simbolis dapat menyebabkan darah menjadi bau, sulit melahirkan, “mletik
– mletik”, anak akan susah keluar saat melahirkan, bayi lahir sungsang,
bayi bisa ngiler, dan bahkan ada suku/daerah yang menyatakan bahwa
anak akan bungkuk dan berwarna merah seperti udang. Udang
mengandung banyak senyawa aktif yang berguna bagi manusia, khususnya
ibu hamil. Omega-3 dan karotenoid (astaksantin) adalah dua senyawa aktif
yang sebagian besar terkandung dalam udang dan berperan sebagai
antioksidan serta penangkal radikal bebas, sebagai suplemen penting untuk
ibu hamil dan bayi. Tabu dalam mengonsumsi cumi-cumi dan sejenisnya
seperti gurita dan sotong pada ibu hamil memiliki makna simbolis anak
yang dilahirkan akan berjalan mundur seperti cumi-cumi, kulit anak
menjadi biru atau hitam, anak mirip gurita, janin akan terbelit dengan ari-

10
ari ketika dilahirkan, ibu dan anak akan terkena penyakit gatal-gatal, bayi
akan lahir sungsang dan sulit dilahirkan, serta ari-ari akan lengket. Jika
ditinjau dari segi gizi dan kesehatan, dalam 100 g cumi-cumi mengandung
15,3 g protein; 0,80 g lemak; 82 g karbohidrat; 15 mg kalsium; 194 mg
fosfor; 1 mg zat besi; dan beberapa vitamin dan mineral lainnya yang
sangat diperlukan bagi ibu hamil . Sama halnya seperti jenis ikan laut
lainnya, cumi-cumi juga berperan sebagai salah satu sumber omega3 (0,60
g) yang berfungsi untuk mengoptimalkan tumbuh kembang janin. Tabu
makanan telur memiliki makna simbolis bayi yang dikandung akan besar,
bisulan, “memeti”, bayi akan bodoh dan tidak lincah, lapisan selaput
ketuban menjadi tebal seperti telur sehingga bayi sulit keluar saat proses
melahirkan. Dilihat dari aspek gizi, telur merupakan salah satu bahan
makanan produk ternak unggas yang paling komplit. Telur mengandung
protein sebesar 12,90 g/100 g, asam oleat, zat besi, fosfor, vitamin A, D,
E, K, dan vitamin B12 yang semua itu sangat penting bagi ibu hamil. Buah
yang hampir ditabukan oleh berbagai suku/daerah di Indonesia adalah
buah nenas. Masyarakat percaya bahwa ibu hamil yang mengonsumsi
buah nanas akan menyebabkan keguguran, "Landep", menyebabkan
korengan, diare, proses persalinan akan sulit dan kulit bayi bersisik, gatal,
kepala anak seperti nanas, menyebabkan panas pada janin, anak akan
membesar sehingga sulit saat persalinan, dan membahayakan janin. Buah
nanas mengandung enzim bromelin yang dapat menstimulasi pengeluaran
prostaglandin. Kadar prostaglandin yang meningkat dapat menyebabkan
stimulasi kontraksi uterus. Selain itu, buah nanas juga mengandung
serotonin yang juga memiliki peran dalam merangsang kontraksi uterus.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara konsumsi nanas muda dengan kontraksi uterus. Namun
prinsipnya, kandungan bromelin akan menurun seiring dengan
bertambahnya tingkat kematangan nanas. Hasil penelitian Apsari et al.
(2012) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara pemberian
ekstrak buah nanas baik yang muda ataupun tua terhadap kontraksi uterus

11
marmut. Namun, pemberian ekstrak buah nanas muda lebih kuat
pengaruhnya terhadap peningkatan kontraksi uterus dibandingkan ekstrak
buah nanas tua. Mungkin, hal inilah yang dapat menjelaskan secara ilmiah
mengapa konsumsi buah nanas ditabukan bagi ibu hamil. Tetapi, menurut
hasil penelitian Sari, kebiasaan mengonsumsi buah nanas oleh ibu di atas
usia kehamilan di atas 36 minggu dapat dilakukan dengan catatan ibu
hamil normal tanpa komplikasi dan ibu hamil yang usia kehamilannya
sudah matur. Konsumsi es/air yang dingin pada ibu hamil memiliki makna
simbolis negatif yaitu ”bayi akan menjadi besar di dalam kandungan
sehingga sulit keluar saat persalinan, menyebabkan perdarahan, bayi
menjadi flu, darah menjadi kental, dan bahkan ada yang beranggapan bayi
akan lahir cacat”. Es merupakan makanan yang terbuat dari air biasa yang
dibekukan atau didinginkan. Jika dilihat dari bahan dasarnya, es tidak
berbahaya bagi ibu hamil. Selain itu, es berbahaya bagi ibu hamil belum
terbukti dan terpublikasi secara ilmiah. (Chahyanto & Wulansari, 2018)
2. Kepercayaan
Faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti
konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat
antara makanan dan kondisi sehat sakit, kebiasaan, dan pengetahuan
tentang kesehatan, dapat membawa dampak positif maupun negatif
terhadap kesehatan. Hal tersebut merupakan potensi dan kendala yang
perlu digali. Hasil penelitian riset etnografi kesehatan tahun 2012 yang
dilakukan Kementerian Kesehatan RI di 12 etnis di Indonesia
menunjukkan masalah kesehatan ibu dan anak terkait budaya kesehatan
sangat memprihatinkan. Kepercayaan tentang hal-hal mistis masih melekat
kuat pada budaya mereka, antara lain mitos bahwa ibu hamil rentan untuk
diganggu oleh roh jahat sehingga ibu hamil harus menjalani ritual dan
memakai jimat serta mematuhi pantangan dan larangan agar terhindar dari
gangguan roh jahat. Pantangan mengkonsumsi makanan yang justru
mengurangi asupan pemenuhan gizi ibu hamil sangat mempengaruhi status
gizi ibu hamil. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa masih kuatnya

12
sistem kepercayaan dan praktek pantangan yang dilakukan ibu hamil di
wilayah pesisir. Pada saat hamil, secara medis ibu dan bayi memerlukan
makanan yang bergizi dan zat besi lebih banyak. Namun dalam praktek,
yang terjadi sebaliknya. Ibu menghindari bahkan mengurangi jumlah dan
jenis makanan tertentu yang mengandung gizi tinggi, serta mengabaikan
zat besi yang sangat dibutuhkan selama kehamilan, karena berbagai alasan
yang berkaitan dengan nilai budaya setempat dan kepercayaan.
Berdasarkan penjelasan sekilas mengenai penelitian tersebut, dapat
dipahami bahwa kesehatan mempunyai korelasi yang sangat erat dengan
kebudayaan. Untuk itu, perlu adanya pemahaman mengenai kebudayaan
untuk memahami kondisi kesehatan suatu masyarakat. (Yunarti et al,
2018)
3. Faktor Risiko
Menurut Anindita (2012) faktor risiko kejadian stunting di wilayah
pesisir antara lain tingkat kecukupan energi yang rendah, tingkat
kecukupan Zn yang rendah, dan tingkat kecukupan Fe yang rendah.
Kekurangan seng pada saat anak-anak dapat menyebabkan stunting
(pendek). Seng memperlancar efek vitamin D terhadap metabolisme
tulang melalui stimulasi sintesis DNA di sel-sel tulang. Oleh karena itu,
seng sangat erat kaitannya dengan metabolisme tulang, sehingga seng
berperan secara positif pada pertumbuhan dan perkembangan. Fe adalah
salah satu jenis zat gizi yang penting bagi tubuh yang merupakan
penyusun dari hemoglobin dalam sel darah merah dan mioglobin yang
secara cepat mendistribusikan oksigen dan penyimpanan oksigen di otot
dan jaringan. Selain itu, zat besi diperlukan dalam pembentukan kolagen
yang diperlukan untuk pembentukan tulang, gigi, sendi, otot dan kulit.
Sehingga kekurangan zat besi dapat menyebabkan perawakan pendek pada
anak. Faktor risiko kejadian stunting di wilayah pesisir dikarenakan
sebagian besar subyek mengkonsumsi cukup protein yang bersumber dari
laut seperti ikan, kerang, cumi-cumi dan sebagainya. Selain itu, bila
protein dikaitkan dengan status gizi berdasarkan TB/U, ada anak-anak

13
yang nilai TB/U nya kurang namun memiliki asupan protein yang baik,
dan ada juga anak-anak yang memiliki skor TB/U yang baik namun saat
ini memiliki asupan protein yang rendah. Konsumsi protein tidak secara
langsung berkaitan dengan tinggi badan karena tinggi badan merupakan
gambaran status gizi masa lampau sehingga kemungkinan anak mengalami
kekurangan protein pada masa lampau. Factor risiko masyarakat pesisir
pantai antara lain tingkat kecukupan energi dan protein serta riwayat
pemberian ASI eksklusif. (Leo et al., 2018)
Menurut Tasya Watania, Nelly Mayulu, Shirley E. S. Kawengian,
(2016) pengetahuan gizi yang tidak memadai, kurangnya pengetahuan
tentang kebiasaan makan yang baik, serta pengertian yang kurang tentang
kontribusi gizi dari berbagai jenis makanan akan menimbulkan masalah
kecerdasan dan produktivitas terutama pada balita atau dikenal juga
dengan anak yang berusia antara 1-5 tahun. (Puskesmas et al., 2019)
Penelitian ini dilakukan di daerah nelayan yang sebagian besar
pekerjaan keluarganya menjadi nelayan, namun konsumsi anak yang
stunting masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan karena terdapat anak
yang tidak suka memakan ikan/ lauk lainnya. Kebanyakan anak lebih
sering diberikan nasi bersama kuah sop atau kuah mie agar anak mau
makan. Kejadian ini dibiarkan oleh sang ibu karena rendahnya
pengetahuan ibu terkait dengan zat gizi dalam makanan tersebut dan juga
ibu beranggapan bahwa hal ini lebih baik daripada anak tidak mau makan
sama sekali. Apabila hal ini dibiarkan secara berkala, maka akan
berdampak lebih besar seiring dengan laju pertumbuhan anak. Pasalnya
protein merupakan faktor utama dalam jaringan tubuh yang fungsinya
untuk membangun, memelihara, dan memulihkan jaringan di dalam tubuh.
Pada anak usia ini protein adalah gizi yang sangat diperlukan untuk
memberikan pertumbuhan yang optimal. Pengkategorian tingkat
kecukupan protein ini dibagi menjadi dua, yaitu tingkat kecukupan protein
kurang apabila TKP < 80% dari AKP dan tingkat kecukupan protein

14
cukup apabila TKP _ 80% dari AKP. (Isninda Priska Syabandini et al,
2018)
Menurut Hapsari (2014) hubungan kebersihan dengan kejadian
stunting pada balita. Balita yang kebersihanya kurang dan mengalami
stunting sebanyak 11 balita dimungkinkan karena makanan yang
dikonsumsi dengan kebersihan yang kurang baik menyebabkan infeksi
yang biasanya disertai dengan pengurangan nafsu makan dan muntah-
muntah. Kondisi ini dapat menurunkan keadaan gizi balita dan
berimplikasi buruk terhadap kemajuan pertumbuhan anak. Menjaga
kebersihan memang harus dimulai dari balita hingga dari lingkungan balita
bahkan kebersihan peralatan yang digunakan, kebersihan bahan-bahan
makanan , cara kebersihan, dan juga cara memasaknya. Jangan sampai
bahan makanan yang dikonsumsi sang balita di kerumunin serangga.
Akibat dari kebersihan yang kurang, maka anak akan sering sakit,
misalnya diare, kecacingan, dan sebagainya. Diare dapat menyebabkan
kurang gizi dan dapat memperburuk keadaan, karena selama diare akan
mengalami kehilangan zat gizi dari tubuh. Penulis berasumsi bahwa
menjaga kebersihan balita harus tetap diperhatikan walau bukan menjadi
satu-satunya faktor pencetus untuk terjadi stunting namun dapat beresiko
pada balita mengalami stunting. Hubungan pemanfaatan pelayanan
kesehatan dengan kejadian stunting pada balita. Pelayanan kesehatan
adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya
pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi,
pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak,
penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti
posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter dan rumah sakit. Tidak
terjangkaunya pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu
membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan merupakan kendala
masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan
yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak. (Fariza
Aqmar Adelina et al, 2018)

15
4. Epidemiologi
Masalah gizi di Indonesia khususnya stunted/stunting bukan hanya
permasalah sector kesehatan saja tetapi merukapan masalah multi sektor.
Tranformasi pendekatan masalah gizi yang semula dilakukan masing-
masing pemangku kepentingan berubah menjadi pendekatan yang
memungkinkan para pemangku kepentingan untuk bekerja bersama
melalui platfom multi stakeholder dengan menggunakan prinsip-prinsip
kerja yang transparan. Kurang Energi Protein (KEP), anemia zat Besi,
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI), dan kurang Vitamin A
masih menjadi dominan pada permasalah gizi di Indonesia. Kekurangan
gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan
yang mudah sekali menderita akibat kekurangan gizi dan juga kekurangan
zat makanan. Anak balita atau bawah 5 tahun merupakan kelompok yang
menunjukkan pertumbuhan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi
yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini merupakan
kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat
kekurangan gizi yaitu KEP. Masalah gizi sering dikaitkan dengan
kekurangan makanan di masyarakat yang dihasilkan oleh pembangunan
ekonomi yang rendah, distribusi kekayaan yang tidak merata, kemiskinan
faktor musim dan peperangan. Faktor lain seperti ukuran besar keluarga,
praktek pemberian makan yang salah dan prevalensi penyakit menular
yang tinggi juga mempunyai peran terjadinya masalah stunting. (Tri
Kurniawati, 2017)
Menurut Cruz et al., (2017) tinggi rendahnya pengetahuan ibu
sangat berpengaruh terhadap pencapaian status gizi anak dan gizi
keluarganya, perilaku hidup sehat, memahami dan menerapkan keluarga
berencana dan akses perawatan layanan kesehatan. Jenis pekerjaan orang
tua dapat berpengaruh terhadap status ekonomi keluarga yang dapat
menentukan ketersediaan dan pola konsumsi pangan dan akses pelayanan
kesehatan sehingga secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap
status gizi anak dan tingkat tumbuh kembang anak yang optimal. Usia

16
balita pada penelitian ini antara usia 24 bulan hingga 36 bulan yang
merupakan usia terdekat dari peralihan di masa 1.000 hari pertama
kehidupan. Penelitian Altare, Delbiso, Mutwiri, Kopplow, & Guha-sapir
(2016) menyatakan bahwa anak-anak di tahun kedua dan ketiga kehidupan
mereka lebih cenderung mengalami stunting daripada anak-anak di bawah
dua tahun dan lebih dari tiga tahun. Stunting menggambarkan dampak
bersifat kronis yang tampak akibat dari kondisi kurangnya asupan gizi
yang terjadi di 1.000 hari pertama kehidupan. Pertumbuhan anak pada
tahun pertama hingga tahun kedua kehidupan merupakan periode kritis
yang sensitif terhadap lingkungan sekitar terkait dalam hal cara pemberian
makan, kejadian infeksi dan perawatan psikososial. Menurut Onis Branca
(2016) tindakan yang diperlukan untuk mengurangi kejadian stunting pada
periode kritis adalah melakukan intervensi sedini mungkin secara efektif
dan efisien serta meningkatkan keamanan pangan dan gizi. Penelitian yang
dilakukan oleh Adani & Nindya (2017) juga didapatkan bahwa balita
stunting lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan presentase 62,50%.
Perbedaan nilai status gizi balita ini dapat dipengaruhi oleh adanya standar
perhitungan TB/U dan dikategorikan berdasarkan jenis kelamin sesuai
dengan standar antropometri penilaian status gizi anak. Panjang Badan
Lahir Ada perbedaan yang signifikan riwayat panjang badan lahir antara
balita stunting dan non stunting (p = 0,03). Balita dengan riwayat panjang
badan lahir pendek lebih banyak pada kelompok stunting dibandingkan
dengan kelompok non stunting. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan
penelitian Sumarmi (2016) yang menunjukkan bahwa jumlah bayi baru
lahir dalam kategori stunting sebesar 23,40% sedangkan bayi lahir dengan
panjang badan lahir normal sebesar 76,60%. Hasil serupa juga didapatkan
pada penelitian yang dilakukan oleh Damayanti, Muniroh, & Farapti
(2016) bahwa proporsi balita dengan riwayat panjang badan lahir pendek
lebih banyak pada kelompok stunting yaitu sebesar 43,80%, sedangkan
pada anak yang lahir dengan panjang badan lahir normal sebesar 20,60%.
Balita dengan riwayat panjang badan lahir pendek memiliki risiko stunting

17
2,90 kali lebih besar dibandingkan dengan balita dengan riwayat panjang
badan lahir normal. Hasil penelitian Meilyasari & Isnawati (2014) di
wilayah Kendal menyebutkan bahwa panjang badan lahir rendah
merupakan faktor risiko terjadinya stunting 16,43 kali lebih besar daripada
balita dengan panjang badan lahir normal. Penelitian yang dilakukan
Wijayanti & Sumarmi (2016) pada anak berusia 16-39 bulan dari ibu yang
mendapat suplemen Multi Mikro Nutrien (MMN) dan anak dari ibu yang
mendapat suplemen besi folat atau Iron Folic Acid (IFA) selama hamil
mengungkapkan bahwa kejadian malnutrisi yang terjadi dalam kandungan
terus berlanjut hingga masa balita yang dapat dilihat pada sebagian besar
anak bahkan untuk anak normal asupan gizinya tidak memenuhi angka
kecukupan gizi, jika hal ini tidak dilakukan upaya tumbuh kejar maka anak
tidak nampak tumbuh sesuai dengan usianya. Menurut Wellina,
Kartasurya & Rahfilludin (2016) orang tua terkadang baru menyadari
bahwa tinggi anaknya terlihat lebih pendek ketika bermain dan
dibandingkan dengan teman sebayanya, sehingga intervensi untuk
melakukan tumbuh kejar menjadi terlambat dan balita mengalami gagal
tumbuh. Penanggulangan jika semakin awal dilakukan, maka akan
semakin kecil resiko menjadi stunting. Pemantauan status gizi balita dapat
dilakukan di posyandu, melalui penyuluhan kesehatan, pelayanan
kesehatan dasar dan penimbangan rutin sehingga anak dapat terhindar dari
permasalahan gizi. (Archda, Rini and Tumangger, 2019)

2.3 Teori Model Roda


Model Roda yang mengambarkan hubungan interaktif antara
manusia dan lingkungan yang terdiri dari manusia dengan substansi
genetik sebagai inti dikelilingi oleh gaya hidup individu, kultur atau
budaya, lingkungan biologis, sosial dan fisik. Ukuran komponen roda
bersifat relatif sangat tergantung pada masalah spesifik penyakit yang
dialami oleh seseorang. Model roda memerlukan identifikasi dari berbagai
faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu

18
menekankan pada pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara
manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing-
masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan. (Dr.
Irwan SKM.M.Kes, 2017)

Yang menjadi host pada keadaan stunting terutama pada kelompok


umur balita usia 0-5 tahun, intake zat gizi mikro (vitamin dan mikro
nutrien) dan kondisi infeksi berperan sebagai agent, sedangkan enviroment
disini memiliki peran yang sangat besar dalam terjadinya stunting. Yang
termasuk ke dalam kelompok enviroment yaitu lingkungan biologis seperti
riwayat infeksi balita, riwayat kehamilan, penyakit infeksi yang
disebabkan karena lingkungan tidak bersih. Lingkungan social yaitu
lingkungan sosial ekonomi yang tidak menguntungkan seperti kesulitan
mendapatkan makanan, pengangguran yang menyebabkan pendapatan
sebagai pencari nafkah, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan
pelayanan kesehatan. Dari sini dapat dilihat bahwa pendapatan yang tinggi
dapat meningkatkan daya beli makan yang di konsumsi, sehingga kualitas
bahan makanan yang dipilih lebih bagus. Faktor lain yang sangat
berpengaruh pada kejadian stunting adalah pengetahuan orang tua
khusunya ibu karena erat kaitanya dengan pola asuh dan penyedian
makanan. Selain itu pengetahuan ibu tehadap ibu terhadap ASI ekslusif
dangat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif terhadap bayi.
Lingkungan fisik yaitu berhubungan dengan kejadian stunting pada balita
antara lain berat badan lahir balita, tinggi badan orang tua. Fakta

19
menunjukkan bahwa semua masalah anak pendek (stunting), pada proses
tumbuh kembang janin dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Apabila
prosesnya lancar tidak ada gangguan, maka anak akan tumbuh kembang
dengan normal sampai dewasa. (Tri Kurniawati, 2017)

20
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penyakit Stunting Di Indonesia


Kejadian stunting mengalami peningkatan pada tahun 2013 dengan
prevalensi sebesar 37,2% dibandingkan dengan tahun 2010 (35,6%) dan
tahun 2007 (36,8%) 4,5 dimana prevalensi pendek sebesar 37,2% pada tahun
2013 terdiri dari 18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek. Pada tahun 2013
prevalensi sangat pendek menunjukkan penurunan dari 18,8% pada tahun
2007 dan 18,5% pada tahun 2010, sedangkan prevalensi pendek meningkat
dari 18,0% pada tahun 2007 menjadi 19,2% pada tahun 2013. Kejadian
stunting mulai mengalami penurunan dengan prevalensi sebesar 29% dengan
prevalensi pendek 18,5% dan sangat pendek 10,1%. Namun jika
dibandingkan dengan batas non public health problem yang ditetapkan oleh
WHO untuk masalah kependekan yaitu sebesar 20%, maka Indonesia masih
dalam kondisi bermasalah kesehatan masyarakat. Dengan jumlah tersebut,
Indonesia menduduki peringkat ke-5 terbanyak stunting di dunia (keadaan ini
hanya lebih baik dari India, Tiongkok, Nigeria, dan Pakistan). Terdapat 34
Provinsi di Indonesia, dari 34 Provinsi tersebut terdapat 20 Provinsi dengan
prevalensi balita pendek dan balita sangat pendek di atas prevalensi Nasional,
dimana Nusa Tenggara Timur merupakan Provinsi yang memiliki prevalensi
stunting tertinggi dan Jambi merupakan Provinsi yang memiliki prevalensi
stunting terendah, dari ke 20 Provinsi tersebut Provinsi Sulawesi Tenggara
menempati urutan ke 7 dengan prevalensi stunting tertinggi. Sebanyak 14
Provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 Provinsi di Indonesia
termasuk kategori serius mengenai masalah stunting, dimana Provinsi Papua
terdapat pada urutan pertama dari 15 Provinsi dengan kategori serius dan
Nusa Tenggara Timur berada pada urutan terakhir, sedangkan Provinsi
Sulawesi Tenggara berada pada urutan ke 9 dari 15 Provinsi dengan kategori
serius. Prevalensi stunting di Sulawesi Tenggara cenderung mengalami
fluktuasi, dimana pada tahun 2007 prevalensi stunting sebesar 40,5%,

21
kemudian mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi 37,8% dan pada
tahun 2013 mengalami peningkatan prevalensi menjadi 41,0% 8, namun pada
tahun 2015 kembali mengalami penurunan menjadi 31,3%. Prevalensi
stunting lebih tinggi pada anak usia 24-59 bulan dibandingkan dengan anak
usia 0-23 bulan, hal ini disebabkan karena anak pada usia 0-23 bulan sedang
berada pada periode yang sangat menetukan kualitas kehidupan anak diusia
selanjutnya, jika kualitas hidup anak pada usia 0-23 bulan tidak ditangani
dengan baik, maka dapat menimbulkan berbagai gangguan pada anak diusia
selanjutnya, salah satunya yaitu gangguan pada pertumbuhan fisik anak.
(Venny Marisai Kullu et al, 2018)

Masih tingginya prevalensi stunting menunjukkan masalah gizi di


Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan dengan kemiskinan,
rendahnya pendidikan, serta kurang memadainya pelayanan dan kesehatan
lingkungan. Masalah gizi oleh banyak faktor yang saling terikat secara
langsung dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan kurangnya asupan gizi
secara kualitas maupun kuantitas, sedangkan secara tidak langsung
dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak
yang kurang memadai, sanitasi lingkungan, serta rendahnya ketahanan
pangan di tingkat rumah tangga. Terdapat beberapa penyebab stunting salah
satunya yaitu pola asuh dimana pola asuh memegang peranan penting
terhadap terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak. Menurut United
Nations Children’s Fund (UNICEF) pola asuh merupakan salah satu faktor
tidak langsung yang berhubungan dengan status gizi anak termasuk stunting.
Kualitas dan kuantitas asupan gizi pada makanan anak perlu mendapat
perhatian, karena kekurangan gizi dapat menyebabkan keterlambatan
pertumbuhan badan, keterlambatan perkembangan otak dan dapat pula
menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh
terhadap penyakit infeksi. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mendukung
asupan gizi. yang baik perlu ditunjang oleh kemampuan Ibu dalam
memberikan pengasuhan yang baik bagi anak dalam hal praktik pemberian

22
makan, praktik kebersihan diri atau lingkungan maupun praktik pencarian
pengobatan. (Venny Marisai Kullu et al, 2018)

Permasalahan stunting juga dipengaruhi oleh keadaan topografi seperti


wilayah pesisir. Masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir seharusnya
memiliki peluang lebih besar mengkonsumsi makanan hewani tinggi protein
seperti ikan karena akses dan ketersediaannya yang cukup banyak, sehingga
permasalahan gizi seperti stunting tidak banyak terjadi. Kenyataannya, Desa
Pajurangan merupakan desa pesisir yang termasuk wilayah kerja Puskesmas
Gending dengan prevalensi kejadian stunting sebesar 42%15. Penelitian
Rahmayana dkk pada balita usia 24-59 bulan di wilayah pesisir Kelurahan
Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar juga menunjukkan bahwa
54,8% mengalami masalah stunting. Kejadian stunting di wilayah pesisir ini
perlu diidentifikasi dan dianalisis faktor penyebabnya, sehingga dapat
memberikan gambaran perbedaan dua kelompok dan masukan bagi Dinas
Kesehatan, puskesmas dan masyarakat setempat. (Mita Femidio et al, 2020)

Sebuah penelitian prevalensi stunting balita di Kabupaten Konawe


Kepuluan tahun 2016 ditemukan prevalensi stunting usia 6-59 bulan sebesar
28,57%. Berdasarkan standar WHO 1997 menunjukan bahwa apabila status
gizi stunting berada pada kisaran 20-29% termasuk ketegori sedang.Sehingga,
prevalensi stunting di Kabupaten Konawe Kepuluan termasuk dalam kategori
sedang.Dengan demikian masalah stunting di Kabupaten Konawe pada tahun
2016 masih menjadi masalah kesehatan dimasyarakat. Stunting pada perlu
mendapatkan perhatian khusus termasuk pada anak balita usia 6-59 bulan.
Proses pertumbuhan anak cenderung perlambatan sehingga peluang untuk
terjadinya kejar tumbuh lebih rendah. Usia balita 6 – 59 bulan merupakan
usia anak mengalami perkembangan yang pesat dalam kemampuan kognitif
dan motorik. Diperkulukan kondisi fisik yang maksimal untuk mendukung
perkembangan ini, dimana pada anak yang stunting perkembangan
kemampuan motoric maupun kognitif dapat tertanggu. (Sostinengari, 2018)

23
3.2 Five Level Of Prevention Penyakit Stunting
1. Peningkatan Promosi Kesehatan (Health promotion)
Pada tingkat ini dilakukan tindakan umum untuk menjaga
keseimbangan proses bibit penyakit-pejamu-lingkungan, sehingga dapat
menguntungkan manusia dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh dan
memperbaiki lingkungan. Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang
sehat. (Dr. Irwan SKM.M.Kes, 2017)

Meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang pencegahan


stunting melalui promosi kesehatan dengan media kartu integrating card
dan gerakan pencegahan stunting pada event Hari Kesehatan Nasional.
Pada gerakan pencegahan stunting dilakukan promosi pencegahan
stunting, sosialisasi penggunaan kartu integrating untuk promosi baik oleh
tenaga kesehatan, kader posyandu dan ibu balita. Promosi kesehatan
adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, yang dapat
mengembangkan kegiatan bersumber daya masyarakat sesuai kondisi
sosial budaya setempat. Gerakan pencegahan stunting pada event HKN ke
54, merupakan salah satu upaya intervensi lintas sektor yang melibatkan
stakeholder. Melalui penandatanganan komitmen dari Camat dan
jajarannya, juga Kepala Puskesmas dan penulis adalah merupakan
kepedulian dalam pencegahan stunting. Hal ini sejalan dengan upaya yang
dilakukan pemerintah bahwa pencegahan stunting dapat dilakukan melalui
komunikasi masa, selain pada media masa. Kegiatan Gerakan Pencegahan

24
Stunting pada event HKN ke 54 sejalan dengan Gerakan Masyarakat
Hidup Sehat (GERMAS) dan penanganan stunting yang menjadi prioritas
pemerintah diperkuat dengan telah dikeluarkannya Permendesa No. 19
Tahun 2017 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa, tahun 2018,
penanganan stunting diprioritaskan pada 1000 desa di 100 kabupaten/ kota
di seluruh Indonesia, dengan penanganan melalui intervensi spesifik dan
sensitif. (Sri Astuti et al, 2018)

2. Perlindungan Umum Dan Khusus Terhadap Penyakit-Penyakit Tertentu


(General And Specific Protection)
Merupakan tindakan yang masih dimaksudkan untuk mencegah
penyakit, menghentikan proses interaksi bibit penyakit-pejamu-lingkungan
dalam tahap prepatogenesis, tetapi sudah terarah pada penyakit tertentu.
Tindakan ini dilakukan pada seseorang yang sehat tetapi memiliki risiko
terkena penyakit tertentu. (Dr. Irwan SKM.M.Kes, 2017)

Jenis-jenis intervensi gizi spesifik yang cost efektif adalah sebagai berikut :
1. Ibu Hamil dengan pemberian suplementasi besi folat, pemberian
makanan tambahan pada ibu hamil KEK, penanggulangan
kecacingan pada ibu hamil, pemberian kelambu berinsektisida dan
pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria.
2. Kelompok 0 – 6 Bulan dengan promosi menyusui (konseling
individu dan kelompok).

25
3. Kelompok 7 – 23 Bulan dengan promosi menyusui, KIE perubahan
perilaku untuk perbaikan MP – ASI, suplementasi Zink untuk
manajemen diare, pemberian obat cacing, fortifikasi besi,
pemberian kelambu berinsektisida dan malaria.
Intervensi gizi sensitif meliputi penyediaan air besih dan sanitasi,
ketahanan pangan dan gizi, Keluarga Berencana, Jaminan Kesehatan
Masyarakat, Jaminan Persalinan Dasar, fortifikasi pangan, pendidikan gizi
masyarakat, intervensi untuk remaja perempuan dan pengentasan
kemiskinan. (Nilfar, 2018)
3. Penegakkan Diagnosa Secara Dini Dan Pengobatan Yang Cepat Dan Tepat
(Early Diagnosis And Prompt Treatment)
Merupakan tindakan menemukan penyakit sedini mungkin dan
melakukan penatalaksanaan segera dengan terapi yang tepat. (Dr. Irwan
SKM.M.Kes, 2017)

Deteksi dini kejadian gizi balita di posyandu

Langkah-langkah :

1) Pendaftaran ibu hamil dan balita.

26
2) Penimbangan balita oleh kader, di catat dalam KMS-DALAM BUKU
KIA.
3) Edukasi dan konseling pada ibu hamil dan ibu anak balita tentang hasil
penimbangan dan makanan sehat.
4) Pemeriksaan ibu hamil (BB, tekanan darah, pengukuran LILA, status
imunisasi (TT), pemberian tablet tambah darah oleh tenaga kesehatan
puskesmas (catat di buku KIA)
5) Makan bersama untuk ibu hamil dan anak balita setelah kegiatan posyandu
dengan lakukan edukasi dan konseling gizi.

Pada balita dilakukan:

1) Pemantauan pertumbuhan balita.


2) Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan
(PMT) untuk balita.
3) Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak.
4) Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. (Kementerian
Kesehatan RI, 2018)

4. Pembatasan kecacatan (Dissability limitation)


Merupakan tindakan penatalaksanaan terapi yang adekuat pada
pasien dengan penyakit yang telah lanjut untuk mencegah penyakit
menjadi lebih berat, menyembuhkan pasien, serta mengurangi
kemungkinan terjadinya kecacatan yang akan timbul. Dalam hal ini
melakukan pengobatan secara rutin di fasilitas pelayanan terdekat terlebih
dahulu seperti puskesmas bagi penderita stunting. (Dr. Irwan SKM.M.Kes,
2017)

5. Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)


Merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk mengembalikan
pasien ke masyarakat agar mereka dapat hidup dan bekerja secara wajar,
atau agar tidak menjadi beban orang lain. Dalam hal ini ketika penderita
penyakit stunting sudah pulih, maka ia harus menjaga system imunitasnya

27
agar tetap sehat dan bias kembali beraktifitas seperti sebelum ia sakit. (Dr.
Irwan SKM.M.Kes, 2017)

3.3 Program Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Stunting


Mengatasi stunting juga merupakan bagian dari upaya pemerintah
memberikan perlindungan kepada anak. Saat ini Indonesia telah memiliki UU
No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Undang- Undang ini menjamin anak atas hak-haknya
untuk hidup dan berkembang sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan. Tulisan ini mengulas persoalan stunting pada anak di Indonesia
dan strategi penanggulangannya, supaya angka prevalensi stunting terus
menurun sesuai dengan target WHO, yaitu di bawah 20%. Dalam rangka
memberikan jaminan penurunan prevalensi stunting anak balita, Pemerintah
sebenarnya telah memiliki landasan program pangan dan gizi dalam UU No.
17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) tahun 2005-2025. Terjaminnya ketersediaan pangan yang meliputi
produksi, pengolahan, distribusi dan konsumsi pangan dengan kandungan gizi
yang cukup diharapkan dapat menurunkan prevalensi kekurangan gizi pada
kantong-kantong stunting dalam wilayah Indonesia. Untuk memberikan
dukungan pengurangan kasus stunting, tentunya diperlukan kerja sama yang
Koordinasi dan keterlibatan semua kementerian terkait diperlukan untuk
menjamin kemudahan anak mendapatkan gizi yang baik. Keterlibatan semua
unsur masyarakat secara kolektif juga diperlukan guna meningkatkan gizi
anak Indonesia. Bagian yang tak kalah pentingnya adalah memberikan
pelayanan kesehatan neonatal kepada ibu hamil secara intensif dan
mendorong ibu untuk memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif.
(Mohammad Teja, 2019)

Untuk menginisiasi penanganan gizi buruk dan anak pendek di Indonesia,


Program Pangan PBB (WFP) bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan
membuat peta kerawanan dan ketahanan pangan di Indonesia melalui riset
kesehatan dasar tahun 2010. Peta itu mengungkapkan, kasus tertinggi gizi

28
buruk ditemukan di kawasan timur Indonesia. ”Sebanyak 7,7 juta anak di
bawah lima tahun (35,6 persen) mengalami stunting,” kata Presiden Direktur
WFP. Data inilah yang menjadi gambaran hasil Riskesdas 2010. Menurut
Fasli Jalal, Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas,
Padang untuk menekan kasus stunting anak balita, perlu diperhatikan
kecukupan gizi anak balita pada 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) yaitu
270 hari selama kehamilan dan 730 hari dari kelahiran sampai usia 2 tahun.
Selama ini mengatasi gizi buruk difokuskan pada bayi sejak dilahirkan hingga
berusia lima tahun. Padahal, periode emas adalah saat anak masih dalam
kandungan hingga usia dua tahun. Karena itu, perlu perubahan paradigma
dalam penanganan gizi buruk. Hal ini yang mendasari penyiapan Gerakan
1.000 HPK di Indonesia. Pencanangan secara nasional berdasarkan Peraturan
Presiden dan melibatkan 11 kementerian.Pemerintah sendiri sudah
mencanangkan sasaran pembangunan pangan dan gizi dalam RPJMN 2010-
2014 dan RAN-PG 2011-2015 adalah menurunkan prevalensi kekurangan
gizi pada balita, termasuk stunting. Beberapa program dan kegiatan
pembangunan nasional telah dilakukan untuk mendukung sasaran tersebut.
Seiring dengan hal tersebut, gerakan perbaikan gizi dengan fokus terhadap
kelompok 1000 hari pertama kehidupan pada tataran global disebut Scaling
Up Nutrition (SUN) dan di Indonesia disebut dengan Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000 Hari Pertama Kehidupan
(Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan disingkat Gerakan 1000 HPK).
SUN (Scaling Up Nutrition) Movement merupakan upaya global dari
berbagai negara dalam rangka memperkuat komitmen dan rencana aksi
percepatan perbaikan gizi, khususnya penanganan gizi sejak 1.000 hari dari
masa kehamilan hingga anak usia 2 tahun. Gerakan ini merupakan respon
negara-negara di dunia terhadap kondisi status gizi di sebagian besar negara
berkembang dan akibat kemajuan yang tidak merata dalam mencapai Tujuan
Pembangunan Milenium/MDGs (Goal 1). (Nilfar, 2018)

Tiga elemen dari Gerakan 1000 HPK adalah:

29
1) Aksi pada tingkat Nasional. Untuk itu diperlukan kepemimpinan yang
kuat, berdasarkan atas data epidemiologi gizi, dan kapasitas untuk
menangani masalah gizi.
2) Didasarkan atas bukti yang nyata dan intervensi yang costeffective.
3) Pendekatan bersifat multisektor dengan prinsip kemitraan dalam hal
jaminan ketahanan pangan, proteksi sosial, kesehatan, pendidikan, air
bersih dan sanitasi, kesetaraan gender, dan tata kelola Pemerintahan
yang baik. (Nilfar, 2018)

Dalam Gerakan 1000 HPK ditekankan pentingnya kemitraan dengan


berbagai pihak atau pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah gizi.
Program perbaikan gizi tidak hanya menjadi tanggungjawab dan dilakukan
oleh pemerintah, tetapi perlu melibatkan berbagai pemangku kepentingan
yang terdiri dari Kementerian dan Lembaga, dunia usaha, mitra pembangunan
internasional, lembaga sosial kemasyarakatan, dan didukung oleh organisasi
profesi, perguruan tinggi, serta media. (Nilfar, 2018)

Terkait upaya untuk mengurangi serta menangani prevalensi stunting.


Pemerintah di tingkat nasional telah mengeluarkan berbagai kebijakan serta
regulasi yang diharapkan dapat berkontribusi pada pengurangan prevalensi
stunting, termasuk diantaranya:

1) Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-


2025 (Pemerintah melalui program pembangunan nasional ‘Akses
Universal Air Minum dan Sanitasi Tahun 2019’, menetapkan bahwa
pada tahun 2019, Indonesia dapat menyediakan layanan air minum
dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat Indonesia).
2) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 (target
penurunan prevalensi stunting menjadi 28% pada 2019).
3) Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.
4) Undang-Undang (UU) No. 36/2009 tentang Kesehatan
5) Peraturan Pemerintah (PP) No. 33/2012 tentang Air Susu Ibu Ekslusif

30
6) Peraturan Presiden (Perpres) No. 42/2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi.
7) Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No.
450/Menkes/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Secara Ekslusif Pada Bayi di Indonesia Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 15/2013 tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas
Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
8) Permenkes No.3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM).
9) Permenkes No.23/2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi.
10) Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Gizi Dalam
Rangka Seribu Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).
11) Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 HPK).

Selain mengeluarkan paket kebijakan dan regulasi. Kementerian/Lembaga


(K/L) juga sebenarnya telah memiliki program baik terkait intervensi gizi
spesifik maupun intervensi gizi sensitif, yang potensial untuk menurunkan
stunting. Intervensi Program Gizi Spesifik dilakukan oleh kementerian
Kesehatan (Kemenkes) melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) melalui Gerakan 1000 Hari Pertama
Kehidupan (HPK). Selain itu beberapa program lainnya adalah Pemberian
Makanan Tambahan (PMT) Balita Gizi Kurang Oleh Kementerian
Kesehatan/Kemenkes melalui Puskesmas dan Posyandu. Program terkait
meliputi pembinaan Posyandu dan penyuluhan serta penyediaan makanan
pendukung gizi untuk balita kurang gizi usia 6-59 bulan berbasis pangan
lokal (misalnya melalui Hari Makan Anak/HMA). Anggaran program berasal
dari Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) -Dana Alokasi Khusus (DAK)
Non Fisik sebesar Rp. 200.000.000,- per tahun per Puskesmas di daerahnya
masing-masing. Salah satu program yang dijalankan dalam upaya percepatan
penurunan stunting adalah Program Makanan Tambahan (PMT) untuk Balita
dan Ibu Hamil. PMT balita diberikan pada kegiatan posyandu yan rutin
dilaksanakan setiap bulan. Biskuit PMT balita dibagikan secara rata kepada

31
balita-balita yang hadir di Posyandu tanpa melihat status gizi yang dialami
balita. Namun yang dirasa kurang efektif adalah partisipasi masyarakat pada
kegiatan posyandu cukup rendah, terdata partisipasi aktif masyarakat dalam
kegiatan posyandu berkisar daerahnya masing-masing. (Archda, Rini and
Tumangger, 2019)

Program pemerintah dalam penanggulangan masalah gizi pada balita


sudah cukup banyak dan terstruktur. Namun, pada kenyataannya, kasus
kejadian balita stunting masih banyak dijumpai pada masyarakat dengan
karakteristik sosial budaya ekonomi di level manapun. Bagaimana stunting
dan masalah gizi pada balita bisa terjadi? Hal ini bisa dikaitkan dengan
bagaimana masyarakat itu memberi pemaknaan tentang sehat/sakit pada
balita, gizi dan pola asuh balita. Pada komunitas budaya, makna terkonstruksi
secara sosial. Pengetahuan dibangun dalam komunitas dan dimaknai oleh
individu sehingga membentuk pemahaman yang diyakini sebagai nilai yang
ada dalam sebuah komunitas. Hal tersebut bisa terjadi beda makna antara
komunitas satu dengan yang lain. Ketika balita pendek (stunting) oleh
masyarakat dipandang bukan sebagai masalah dalam perkembangan
kesehatan balita, maka prioritas dalam pola pengasuhan bisa menjadi berbeda
dalam pemenuhan kebutuhan gizi balita. (Lestari et al., 2018)

32
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. Masih tingginya prevalensi stunting menunjukkan masalah gizi di
Indonesia merupakan masalah kronis yang berkaitan dengan kemiskinan,
rendahnya pendidikan, serta kurang memadainya pelayanan dan kesehatan
lingkungan. Masalah gizi oleh banyak faktor yang saling terikat secara
langsung dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan kurangnya asupan
gizi secara kualitas maupun kuantitas, sedangkan secara tidak langsung
dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh
anak yang kurang memadai, sanitasi lingkungan, serta rendahnya
ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Terdapat beberapa penyebab
stunting salah satunya yaitu pola asuh dimana pola asuh memegang
peranan penting terhadap terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak.
2. Five Level Of Prevention Penyakit Stunting :
1) Promosi Keseatan (Health Promotion)
Meningkatkan pengetahuan kader posyandu tentang
pencegahan stunting melalui promosi kesehatan dengan media
kartu integrating card dan gerakan pencegahan stunting pada event
Hari Kesehatan Nasional.

2) General And Specific Protection


Ibu Hamil dengan pemberian suplementasi besi folat,
pemberian makanan tambahan pada ibu hamil KEK,
penanggulangan kecacingan pada ibu hamil, pemberian kelambu
berinsektisida dan pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria.
3) Early Diagnosis And Prompt Treatment
Deteksi dini kejadian gizi balita di posyandu.

4) Pembatasan Kecacatan (Dissability Limitation)

33
Dalam hal ini melakukan pengobatan secara rutin di
fasilitas pelayanan terdekat terlebih dahulu seperti puskesmas bagi
penderita stunting.

5) Pemulihan kesehatan (Rehabilitation)


Dalam hal ini ketika penderita penyakit stunting sudah
pulih, maka ia harus menjaga system imunitasnya agar tetap sehat
dan bias kembali beraktifitas seperti sebelum ia sakit.

3. Program Pemerintah Dalam Pencegahan dan Penanggulangan Stunting


yaitu Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi dalam Rangka 1000
Hari Pertama Kehidupan (Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan dan
disingkat Gerakan 1000 HPK). SUN (Scaling Up Nutrition) Movement
merupakan upaya global dari berbagai negara dalam rangka memperkuat
komitmen dan rencana aksi percepatan perbaikan gizi, khususnya
penanganan gizi sejak 1.000 hari dari masa kehamilan hingga anak usia 2
tahun. Gerakan ini merupakan respon negara-negara di dunia terhadap
kondisi status gizi di sebagian besar negara berkembang dan akibat
kemajuan yang tidak merata dalam mencapai Tujuan Pembangunan
Milenium/MDGs (Goal 1).

4.2 Saran
Diharapkan kepada petugas kesehatan dapat melaksanakan dengan baik
kebijakan baru pemerintah yaitu 1000 HPK, Diharapkan Program KB tetap
dilanjutkan karena banyak ibu hamil yang tidak mampu dapat tertolong dan
tingkat partisipasinya cukup tinggi, Diharapkan peranan petugas posyandu
lebih ditingkatkan lagi dalam hal pelaksanaan penimbangan, pengukuran
tinggi badan dan imunisasi serta juga memberikan edukasi kepada ibu balita
mengenai pentingnya perhatihan terhadap pertumbuhan balita.

34
DAFTAR PUSTAKA

Al, W. I. et. (2020). FAKTOR DETERMINAN YANG BERHUBUNGAN


DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA USIA 1 – 3 TAHUN
DI WILAYAH PESISIR KABUPATEN BREBES. KESEHATAN
MASYARAKAT, 8, 260–271.
Archda, Rini and Tumangger, J. (2019). Munich Personal RePEc Archive HULU-
HILIR PENANGGULANGAN STUNTING DI INDONESIA. Jurnal of
Political Issues, 1(97671).
Chahyanto, B. A., & Wulansari, A. (2018). ASPEK GIZI DAN MAKNA
SIMBOLIS TABU MAKANAN IBU HAMIL DI INDONESIA. Ekologi
Kesehatan, 17, 52–63.
Dr. Irwan SKM.M.Kes. (2017). EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR.
yogyakarta: 1 maret 2017.
Fariza Aqmar Adelina et al. (2018). HUBUNGAN PENGETAHUAN GIZI IBU,
TINGKAT KONSUMSI GIZI, STATUS KETAHANAN PANGAN
KELUARGA DENGAN BALITA STUNTING (Studi pada Balita Usia 24-
59 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Duren Kabupaten Semarang). 6, 361–
369.
Indra dewi et al. (2019). Faktor yang mempengaruhi kejadian stunting pada balita
24-60 bulan di wilayah kerja puskesmas lakudo kabupaten buton tengah. 14.
Isninda Priska Syabandini et al. (2018). FAKTOR RISIKO KEJADIAN
STUNTING PADA ANAK USIA 6-24 BULAN DI DAERAH NELAYAN
(Studi Case-Control di Kampung Tambak Lorok, Kecamatan Tanjung Mas,
Kota Semarang). 6, 496–507.
Kementerian Kesehatan RI. (2018). Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indoneisia.
Leo, A. R., Subagyo, H. W., Kartasurya, M. I., Gizi, D., Kedokteran, F.,
Diponegoro, U., … Kupang, N. (2018). FAKTOR RISIKO STUNTING
PADA ANAK USIA 2-5 TAHUN DI WILAYAH GUNUNG DAN PESISIR
PANTAI Risk Factors of Stunting among Children Aged 2-5 Years in Ridge
And Coastal kerja Puskesmas Oelbiteno Kecamatan. 2.
Lestari, W., Kristiana, L., & Paramita, A. (2018). Stunting : Studi Konstruksi
Sosial Masyarakat Perdesaan dan Perkotaan Terkait Gizi dan Pola
Pengasuhan Balita di Kabupaten Jember. Jurnal Aspirasi, 9(1), 17–33.
https://doi.org/10.22212/aspirasi.v9i1.985
Mita Femidio et al. (2020). Perbedaan Pola Asuh dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi
pada Balita Stunting dan Non-Stunting di Wilayah Pesisir Kabupaten
Probolinggo Differences in Parenting and Nutrient Adequacy Level on
Stunting and Non- Stunting Toddlers in the Coastal Area Probolinggo D. 49–
57. https://doi.org/10.20473/amnt.
Mohammad Teja. (2019). STUNTING BALITA INDONESIA DAN
PENANGGULANGANNYA. KAJIAN SINGKAT TERHADAP ISU
AKTUAL DAN STRATEGIS, 11(November).
Nilfar, N. (2018). GERAKAN 1000 HARI PERTAMA KEHIDUPAN
MENCEGAH TERJADINYA STUNTING (GIZI PENDEK) DI
INDONESIA Nilfar. Global Health Science, 3(2), 139–151.
Puskesmas, D. I., Minahasa, K., Langi, G. K. L., Djendra, I. M., Purba, R. B., &
Ryan, S. P. (2019). PENGETAHUAN IBU DAN PEMBERIAN ASI
EKSKLUSIF DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA 2-5
TAHUN. 11(1), 17–22.
Reza kartika Fitri et al. (2017). ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI STATUS GIZI BALITA SUKU ANAK DALAM
(SAD) (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Pematang Kabau Kecamatan Air
Hitam Kabupaten Sarolangun Jambi). 5.
Rohmatul Bariroh Al Faiqoh et al. (2018). HUBUNGAN KETEHANAN
PANGAN KELUARGA DAN TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI
DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA ANAK USIA 24-59 BULAN DI
DAERAH PESISIR (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Bandarharjo Kota
Semarang). 6, 413–421.
Sostinengari, Y. (2018). ANALISIS DATA HASIL PEMANTAUAN STATUS
GIZI “ FAKTOR DETERMINAN KEJADIAN STUNTING PADA
BALITA USIA 6 – 59 BULAN DI KABUPATEN KONAWE
KEPULAUAN PADA TAHUN 2016. POLITEKNIK KESEHATAN
KENDARI.
Sri Astuti et al. (2018). GERAKAN PENCEGAHAN STUNTING MELALUI
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN JATINANGOR
KABUPATEN SUMEDANG. Aplikasi Inteks Untuk Masyarakat, 7(3), 185–
188.
Sulistyawati, A. (2019). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN
DENGAN KEJADIAN STUNTING STUNTING PADA BALITA.
(February), 21–30.
Tri Kurniawati. (2017). LANGKAH-LANGKAH PENENTUAN SEBAB
TERJADINYA STUNTING PADA ANAK. Anak Usia Dini Dan Pendidikan
Anak Usia Dini, 3, 58–69.
Venny Marisai Kullu et al. (2018). FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA
USIA 24-59 BULAN DI DESA WAWATU KECAMATAN MORAMO
UTARA KABUPATEN KONAWE SELATAN TAHUN 2017 Venny.
Kesehatan Masyarakat, 3, 1–11.
Wagstaff, A. (2018). The Aggregate Income Losses from Childhood Stunting and
the Returns to a Nutrition Intervention Aimed at Reducing Stunting.
(August).
Wahyuni, N., Ihsan, H., & Mayangsari, R. (2019). Faktor Risiko Kejadian
Stunting pada Balita Usia 24 - 36 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Kolono The Risk Factors of Stunting in Toddlers Aged 24 - 36 Months Old
in The Working Area of Kolono Public Health Center. 9, 212–218.
Yunarti et al. (2018). Sistem pengetahuan nelayan terhadap kesehatan ibu dan
anak di nagari pasar lama muara air haji, kecamatan linggo sari baganti,
kabupaten pesisir selatan. 9–22.

Anda mungkin juga menyukai