Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN DEKOMPRESI

OLEH :

KELOMPOK 4

WULAN PURNAMASARI J1A118147


AYUNINGTYAS MARDATILLAH J1A118173
ALBRINA ROZA REZKILLAH J1A118188
WIDYA ASTUTIK J1A118195
ANITA JERNIVITA SARI J1A119096

DOSEN PENGAMPU
JUSNIAR RUSLI AFA, S.KM., M.Kes.

JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kami kesehatan dan kemudahan dalam berfikir sehingga dapat menyelesaikan
makalah Epidemiologi Penyakit Pesisir & Kepulauan dengan judul DEKOMPRESI
ini tepat pada waktunya. Makalah ini kami susun berdasarkan referensi yang ada.
Kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengajar mata kuliah
Epidemiologi Penyakit Pesisr & Kepulauan yaitu Ibu Jusniar Rusli Afa, S.KM.,
M.Kes. yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk membuat makalah
ini. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua
pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat
diselesaikan dengan baik.
Kami berharap makalah ini dapat berguna terutama bagi penulis sendiri dan
para pembaca pada umumnya. Kami juga mengharapkan kritik, saran dan bimbingan
nya dari berbagai pihak demi menghasilkan makalah yang lebih baik lagi.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1.Latar belakang ............................................................................................ 1
1.2.Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
1.3.Tujuan ........................................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
2.1. Epidemiologi ............................................................................................. 5
2.2. Patofisiologi............................................................................................... 7
2.3. Frekuensi ................................................................................................... 9
2.4. Distribusi ................................................................................................... 11
2.5. Determinan ................................................................................................ 13
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 16
3.1. Status Sosial-Ekonomi .............................................................................. 16
3.2. Kebudayaan ............................................................................................... 18
3.3. Kepercayan ................................................................................................ 20
3.4. Faktor Risiko ............................................................................................. 21
3.5. Upaya Pencegahan .................................................................................... 24
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 27
4.1. Kesimpulan................................................................................................ 27
4.2. Saran .......................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyelaman adalah kegiatan yang dilakukan pada tekanan lebih dari 1
atmosfer absolut, baik di dalam air (penyelaman basah) maupun di dalam ruang
udara bertekanan tinggi (penyelaman kering).1 Penyelam (pekerja bawah air)
secara umum dibedakan menjadi penyelam profesional dan penyelam tradisional.
Penyelam profesional adalah orang yang melakukan kegiatan penyelaman
berdasarkan tujuan, meliputi penyelam pekerja (penyelaman militer, penyelaman
komersial, penyelaman ilmiah), dan penyelam rekreasi (penyelaman olahraga dan
penyelaman rekreasi/wisata). Penyelam tradisional adalah orang yang melakukan
kegiatan penyelaman dengan menggunakan teknik tahan nafas (penyelaman tanpa
alat bantu pernafasan) atau menggunakan kompresor sebagai alat bantu suplai
udara dari permukaan (penyelaman dengan SSBA/Surface Supplied Breathing
Apparatus).
Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2017, dari 82.190 desa di Indonesia,
12.827 desa (15,61%) merupakan desa pesisir. Penduduk Indonesia yang tinggal di
kawasan pesisir (sekitar 60%), sebagian besar bermata pencaharian sebagai
nelayan. Nelayan di Indonesia mencapai 30% dari 67 juta jiwa penduduk
Indonesia yang bekerja pada bidang informal.4 Data Badan Pusat Statistik tahun
2017 menunjukkan jumlah nelayan di Indonesia sebanyak 2.275.139 jiwa, dimana
95% diantaranya adalah nelayan tradisional termasuk nelayan penyelam
tradisional.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan nelayan penyelam di Indonesia
berjumlah lebih dari 1 juta jiwa, sebagian besar adalah nelayan penyelam
tradisional. Penyelam tradisional biasanya kurang memperhatikan hal-hal yang
berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja, sehingga berpotensi
terkena penyakit dekompresi.

1
Penyakit Caisson atau penyakit dekompresi merupakan penyakit yang cukup
banyak ditemui di negara kepulauan. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja yang
melakukan penyelaman baik untuk rekreasional maupun sebagai mata
pencaharian. Penyakit dekompresi merupakan suatu kumpulan gejala yang
disebabkan karena terlepasnya gelembung udara ke dalam darah atau jaringan
selama atau setelah terjadinya penurunan tekanan pada lingkungan (dekompresi),
sehingga penyakit ini berisiko tinggi untuk terjadi pada penyelam. Gejala yang
muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari gejala ringan hingga fatal, dari
hanya berupa nyeri otot ringan hingga kelumpuhan. Penegakkan diagnosis dapat
dilakukan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta tidak membutuhkan
pemeriksaan penunjang karena keterlambatan penanganan pada kasus yang berat
dapat berakibat fatal. Penyakit ini merupakan suatu penyakit yang dapat dicegah
dengan memperhatikan faktor-faktor risiko yang ada.
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan daya tarik wisatawan yang
tinggi. Sepanjang tahun banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang
datang untuk menikmati keindahan laut Indonesia dengan menyelam. Selain
wisatawan banyak juga masyarakat Indonesia yang mencari ikan dengan cara
menyelam pada laut dalam. Namun ternyata aktivitas menyelam ini berisiko
menyebabkan penyakit dekompresi. Penyakit dekompresi atau sindroma
dekompresi merupakan suatu kumpulan gejala yang disebabkan terbentuknya
gelembung udara ke dalam darah atau jaringan selama atau setelah terjadinya
penurunan tekanan pada lingkungan (dekompresi), sehingga penyakit ini berisiko
tinggi terjadi pada penyelam. Di Indonesia, prevalensi terjadinya penyakit
dekompresi belum diketahui secara pasti. Di Eropa, diperkirakan terdapat 10-100
orang penyelam per-tahun yang mengalami cedera dan membutuhkan penanganan
rekompresi akibat penyakit dekompresi yang dialami.1,2 Gejala penyakit
dekompresi ini bervariasi mulai dari kelelahan, pusing, nyeri sendi, sesak nafas,
kelumpuhan, hingga kematian. Penyakit ini merupakan suatupenyakit yang dapat
dihindari apabila penyelam memahami faktor risiko yang ada.Penyakit dekompresi

2
disebabkan karena masuknya udara ke dalam sirkulasi darah atau jaringan setelah
atau selama terjadinya penurunan tekanan di lingkungan sekitar.
Udara tersebut berasal dari gas mulia (umumnya gas nitrogen) yang secara
normal terlarut di dalam carian tubuh dan jaringan. Gas tersebut kemudian terlepas
dari cairan fisiologis dan membentuk gelembung udara pada lingkungan dengan
tekanan rendah. Berdasarkan hukum Henry, ketika tekanan gas pada cairan
berkurang maka gas yang terlarut dalam cairan tersebut juga berkurang.
Sedangkan apabila tekanan gas pada cairan meningkat, maka gas yangterlarut
dalam cairan juga meningkat.
Hal ini yang terjadi di dalam tubuh manusia. Nitrogen merupakan gas mulia
yang secara normal tersimpan di dalam jaringan dan cairan tubuh manusia.
Peningkatan tekanan yang terjadi saat menyelam menyebabkan jumlah nitrogen
yang terlarut dalam cairan dan jaringan tubuh juga meningkat. Saat penyelam naik
ke permukaan terlalu cepat, hal tersebut menyebabkan nitrogen yang terlarut
kembali ke dalam bentuk gas saat masih berada di cairan dan jaringan tubuh yang
menimbulkan terbentuknya gelembung udara.
Penyakit dekompresi dimulai dengan terbentuknya gelembung ekstravaskular dan
intravaskular yang semakin membesar ketika akumulasi tekanan gas terlarut
(oksigen, karbon dioksida, nitrogen, dan helium) dan uap air melebihi tekanan
absolut lokal. Emboli udara pada penyakit dekompresi dapat terjadi pada
pembuluh darah arteri maupun vena. Pada umumnya emboli pembuluh darah arteri
disebabkan oleh pendakian yang cepat, naik ke atas permukaan dengan cepat
setelah menyelam, menahan napas, dan adanya 4 Penyakit dekompresi dimulai
dengan terbentuknya gelembung ekstravaskular dan intravaskular yang semakin
membesar ketika akumulasi tekanan gas terlarut (oksigen, karbon dioksida,
nitrogen, dan helium) dan uap air melebihi tekanan absolut lokal. Emboli udara
pada penyakit dekompresi dapat terjadi pada pembuluh darah arteri maupun vena.
Pada umumnya emboli pembuluh darah arteri disebabkan oleh pendakian yang
cepat, naik ke atas permukaan dengan cepat setelah menyelam, menahan napas,

3
dan adanya riwayat penyakit paru (seperti asma). Faktor-faktor yang memengaruhi
terjadinya penyakit dekompresi antara lain ialah kondisi lingkungan yang hangat
atau dingin, aktivitas menyelam, latihan fisik atau pemanasan, dan suhu
lingkungan. (Made et al., 2017)

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa Keterkaitan antara status sosial ekonomi pada penyakit dekompresi?
2. Apa keterkaitan antara Kebudayaan pada penyakit dekompresi?
3. Apa keterkaitan antara Kepercayaan pada penyakit dekompresi?
4. Apa saja faktor-faktor risiko yang diakibatkan pada penyakit dekompresi?
5. Apa saja upaya pencegahan Pada penyakit dekompresi?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui keterkaitan status sosial ekonomi pada penyakit
dekompresi.
2. Untuk mengetahui keterkaitan antara kebudayaan pada penyakit dekompresi .
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara kepercayaan pada penyakit dekompresi.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja pada penyakit dekompresi .
5. Untuk mengetahui upaya pencegahan pada penyakit dekompresi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi
Jika ditinjau dari asal kata Epidemiologi berasal dari bahasa Yunai yang
terdiri dari 3 kata dasar yaitu epi yang berarti pada atau tentang, demos yang berati
penduduk dan kata terakhir adalalah logos yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi
epidemiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang penduduk. Sedangkan dalam
pengertian modern pada saat ini Epidemiologi adalah :“Ilmu yang mempelajari
tentang Frekuensi dan Distribusi (Penyebaran) serta Determinat masalah kesehatan
pada sekelompok orang/masyarakat serta Determinannya (faktor-faktor yang
mempengaruhinya). (Rahma, n.d.)
Penyakit dekompresi adalah bahaya terkait pekerjaan, umumnya di kalangan
penyelam nelayan dan disebabkan atau terkait dengan beberapa faktor. Penyelam
melaporkan kerusakan saraf, penyakit kejiwaan, kelupaan atau kehilangan
konsentrasi cenderung memiliki karir menyelam yang lebih lama dan menderita
penyakit dekompresi. Penyelam tradisional kompresor dapat menderita penyakit
dekompresi berupa kelumpuhan dan bahkan kematian.(Widyastuti et al., 2019)
Masa kerja dapat menentukan lamanya seseorang terpapar dengan faktor
risiko di tempat kerjanya. Semakin lama penyelam bekerja maka semakin besar
pula paparan yang didapatkan pada lingkungannya yang dapat menyebabkan
gangguan kesehatan, kelumpuhan bahkan kematian (Syamila, 2017). Penelitian ini
sejalan dengan yang dilakukan Alaydrus (2014) bahwa semakin lama bekerja
sebagai nelayan penyelam semakin besar pula risiko untuk mengalami penyakit
dekompresi. Karena semakin lama seseorang terpapar dengan perbedaan tekanan
maka risiko untuk menderita penyakit dekompresi semakin besar.
Namun berbeda dengan penelitian Syamila (2017) bahwa masa kerja tidak
berpengaruh langsung dengan kejadian penyakit dekompresi pada nelayan. Selain
masa kerja dapat menentukan lamanya seseorang terpapar dengan faktor risiko

5
namun masa kerja yang lama juga dapat memberikan pengalaman yang lebih
kepada nelayan penyelam karena semakin lama seseorang bekerja maka semakin
banyak pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh sehingga seseorang yang
bekerja lebih lama juga akan berhati-hati dan lebih memperhatikan prosedur
penyelaman yang baik dan benar dalam menyelam. Selain itu diduga tidak adanya
hubungan masa kerja disebabkan karena adanya faktor lain yang mempengaruhi
yaitu karakteristik lingkungan penyelaman (perubahan tekanan udara) dan
karakteristik faktor-faktor penyelaman.
Cara naik ke permukaan yang biasa dilakukan oleh penyelam ada dua yaitu
naik secara perlahan-lahan atau berhenti di kedalaman tertentu untuk menghindari
mendahului gelembung udara yang dikeluarkan oleh mulut atau hidung dan naik
secara cepat dengan ditarik oleh petugas di atas kapal. Penelitian Syamila (2017)
dan Wahab (2008) pada penyelam Moroami menunjukkan bahwa cara naik ke
permukaan secara langsung berpeluang menderita penyakit dekompresi 6 kali
lebih besar dibanding naik ke permukaan secara perlahan.
Dalam setiap penyelaman harusnya melakukan safety stop yaitu berhenti di
kedalaman tertentu sebelum naik ke permukaan sambil melepas nitrogen yang
terhisap ke dalam aliran darah. Jika tidak melakukan hal ini maka kandungan
nitrogen dalam darah akan sangat tinggi (Luthfi dkk., 2015). Kesalahan prosedur
penyelaman inilah yang dikenal dengan nitrogen narcosis,yang apabila tidak
dipahami sejak awal akan menjadi bahaya, karena akan terjadi efek halusinasi
berat di dalam air. Nitrogen telah terbukti memberikan kontribusi langsung hingga
6% kematian pada peselam dan mungkin akan berhubungan dengan insiden akibat
kedalaman menyelam.
Banyaknya nelayan penyelam di pulau barrang lompo yang secara cepat naik
ke permukaan mengalami kejadian penyakit dekompresi. Salah satu faktor yang
menyebabkan hal tersebut adalah mesin kompresor yang terkadang mati atau
selang yang tersambung dengan regulator terbelit sehingga menyebabkan suplai
udara dari kompresor terhambat. Naik ke permukaan setelah menyelam akan

6
mengakibatkan tekanan di dalam tubuh meningkat dibandingkan dengan tekanan
di luar tubuh. Hal ini berarti gelembung nitrogen di dalam tubuh akan semakin
membesar dan membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menormalisasi tubuh
ke keadaan semula (Jusmawati, 2016).
Jika penyelam naik ke permukaan secara cepat maka gelembung nitrogen juga
semakin besar dan dapat menekan beberapa pembuluh darah dan bagian syaraf
tubuh. Nelayan penyelam terkadang masih mengandalkan perasaan saat naik ke
permukaan. Kurangnya pengetahuan dan rendahnya tingkat pendidikan nelayan
penyelam menyebabkan mereka tidak melakukan prosedur penyelaman yang baik
dan benar (Rahmadayanti, 2017). (Wijaya et al., 2018)

2.2. Patofisioligi
Patofisiologi adalah ilmu yang mempelajari perubahan fisiologis yang
diakibatkan oleh proses patologis. Gangguan dalam proses seluler normal
mengakibatkan terjadinya perubahan adaptif atau letal. Perubahan antara sel yang
sanggup beradaptasi dan yang cedera adalah pada dapat atau tidaknya sel itu
“mengikuti” dan mengatasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan yang
berubah dan merusak iu. Sel cedera menunjukkan perubahan-perubahan yang
dapat mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh dan bermanifestasi sebagai
penyakit.(Dictio.2017)
Decompression Sickness (DCS) disebabkan oleh kumpulan gejala akibat
penurunan tekanan yang terjadi setelah peningkatan tekanan yang lebih besar
terlebih dahulu (Duke, Widyastuti, Hadisaputro, & Chasani, 2017). Semakin
dalam penyelaman, maka semakin banyak pula nitrogen yang larut dalam jaringan
tubuh penyelam. Tingginya kadar nitrogen didalam tubuh tergantung pada
kedalaman dan lamanya penyelaman. Maka dari itu, semakin dalam dan lama
suatu penyelaman maka semakin tinggi pula kadar nitrogen yang larut dalam
tubuh.

7
Hal ini sesuai dengan Hukum Henry yang berbunyi “Air membutuhkan gas
terkondensasi dengan atau, dua, atau lebih tambahan atmosfer. Pada suatu
kuantitas biasanya dikompresi akan sebanding dengan dua kali, tiga kali lipat
volume yang diserap di bawah tekanan umum atmosfer”.
Ada dua tipe dekompresi, yakni dekompresi tipe pertama dan tipe kedua.
Dekompresi tipe 1 ditandai dengan bagian sendi yang mendadak terasa nyeri dan
berangsur-angsur, kelelahan dan rasa kantuk yang berlebihan (Hadi, 1991). Selain
itu juga kepala terasa pusing, terdapat bercak-bercak merah pada kulit yang
disertai rasa gatal.
Penyakit dekompresi tipe 2 jauh lebih serius dibandingkan dengan dekompresi
tipe 1 (Hadi, 1991). Gejala-gejala dekompresi tipe 2 adalah:
1. Gejala neuorolgis, Kulit terasa tebal seperti ditusuk jarum yang kadang
hilang atau menurun. Kelumpuhan otot anggota gerak hingga terjadi kebutaan.
2. Gejala paru-paru, Hal ini ditandai dengan rasa nyeri dan berat di dada,
sesak napas hingga pucat disertai batuk kering.
3. Gejala sistem kardiovaskuler (Bends shock), Bends shock merupakan tanda
gawat darurat yang perlu ditangani dengan segera dan intensif.
Menurut Encyclopaedia Britannica, ketika seseorang turun ke air, tekanan
eksternal meningkat secara proposional dengan kedalamannya. Sedangkan, udara
terkompresi yang dihirup sama dengan tekanan air di sekitarnya .(loretta. 2018)
Yang berarti, semakin lama atau dalam seseorang menyelam maka semakin
banyak gas terkompresi yang diserap oleh tubuh.
Komponen utama udara yang menyebabkan dekompresi adalah nitrogen.
Berbeda dengan oksigen yang diserap oleh sel-sel dalam tubuh, nitrogen hanya
bisa terakumulasi dalam tubuh sehingga jaringan jenuh pada tekanan lingkungan
tertentu. Lalu, ketika tekanan menurun, kelebihan nitrogen tersebut
dilepaskan.(loretta. 2018)
Namun, ketika penyelam terlalu cepat naik ke permukaan, perubahan tekanan
yang mendadak tersebut yang menyebabkan penyakit dekompresi.Hawaii Journal

8
of Medicine and Public Health dalam makalahnya yang dipublikasikan pada tahun
2014, mengatakan walaupun teknologi penyelaman telah berkembang tetapi
penyakit dekompresi masih sering ditemukan.
Selama terjadinya dekompresi, ada pembebasan gelembung-gelembung gas
nitrogen dalam jaringan atau darah. Gejala tersebut sering hilang dengan
sendirinya. Namun, pada keadaan tertentu, gelembung gas tersebut dapat
menyebabkan kematian atau kerusakan neurologis permanen.Keparahan penyakit
dekompresi tersebut ditentukan oleh banyaknya gas yang terserap oleh
tubuh.gelembung gas bisa menyebabkan efek mekanik langsung seperti distorsi
jaringan atau gangguan, atau iskemia dengan memblokir pembuluh darah atau
meningkatkan tekanan jaringan yang merusak perfusi," ( Jenifer Hall.2018)
Keparahan penyakit dekompresi tersebut ditentukan oleh banyaknya gas yang
terserap oleh tubuh. Ada faktor risiko yang mapan yang dapat mempengaruhi
penyelam untuk mengembangkan penyakit dekompresi,"

3.3. Frekuensi
Merupakan kuantifikasi status kesehatan (kondisi status kesehatan yang
terekam dalam data time series) analisa data sekunder, sebagai awal pengamatan
pola penyakit di dalam masyarakat (populasi).(Rahma, n.d.)
Indonesia sebagai negara dengan teritorial laut terluas di dunia dengan
keseluruhan garis pantai sepanjang 80.791 km. Luas lautan Indonesia lebihluas
dibanding daratan. Sekitar 5,8 juta Km2 (75%) luas wilayah Indonesia merupakan
perairan, sedangkan daratannya hanya seluas 1,9 juta Km2 (25%). Proporsi
tersebut menyebabkan Indonesia memiliki luasan terumbu karang sebanyak 18%
luasan terumbu karang dunia.
Sebanyak 460 jenis karang keras (stony coral) dan 1.650 ikan karangtelah
diidentifikasi. Potensi lainnya yang belum teridentifikasi adalah biodatayang
berasosiasi dengan terumbu karang seperti spons, bulu babi, krustasea,moluska
dan lain sebagainya. Keuntungan ekonomi dari terumbu karang Indonesia juga

9
dikenal sebagai salah satu penyumbang terbesar perikanan laut di dunia yang
menyediakan 3,6 juta ton dari produksi perikanan laut secarakeseluruhan pada
tahun 1997.
Pemanfaatan kekayaan laut di Indonesia dilakukan dalam beberapa kegiatan
antara lain; penangkapan ikan, lobster, teripang, abalone dan mutiara.aKegiatan
tersebut dilakuakan dengan melakukan penyelaman sampai dengan beberapa puluh
meter di bawah laut, karena biota laut tersebut banyak terdapat di dasar laut.
Penyelaman ini banyak dilakukan oleh masyarakat pesisir karena ikan jenis
tertentu, lobster, teripang dan mutiara mempunyai nilai ekonomis yang cukup
tinggi. Penyelaman adalah kegiatan yang dilakukan manusia di lingkungan
bertekanan tinggi yang lebih dari satu atmosfir, yang dikenal sebagai lingkungan
hiperbarik. Manusia sebagai mahluk yang diciptakan oleh tuhan yang maha
Pencipta dapat hidup dengan normal hanya dilingkungan bertekanan 1 atmosfir
(ATM) atau atmosfir normal. Walaupun demikianmelalui mekanisme adaptif,
manusia dapat pula hidup atau beraktivitas dilingkungan bertekanan lebih dari 1
atmosfir.
Pada penelitian penyelam tradisional (penyelam yang menggunakan
kompresor udara) di Kepulauan Seribu, pulau Panggang dan pulau Pramuka tahun
1994-1996 didapatkan 28 orang mengalami barotrauma telinga, 19 orang
mengalami penyakit dekompresi tipe I dan II, serta 23 orang menunjukkan
osteonekrosis disbarik. Penelitian Kartono pada nelayan penyelam dipulau
Karimun Jawa tahun 2007 menyebutkan barotrauma yang paling banyak terjadi
adalah gangguan pendengaran 43,2%, gangguan saluran hidung 16,9% dan
gangguanparu 14,9%. Data yang dikumpulkan Dit Sepim Kesma Depkes sampai
tahun 2008, dari 1.026 penyelam ditemukan 93,9% penyelam pernah menderita
gejala awal penyakit penyelaman, yaitu sebanyak 29,8% menderita nyeri sendi,
39,5% menderita gangguan pendengaran dan 10,3% menderita kelumpuhan.
Sulawesi tenggara merupakan salah satu provinsi mempunyai kelompok
nelayan yakni terbesar pada 8 (delapan) kelompok nelayan di Kabupaten Buton,

10
10 (sepuluh) kelompok nelayan di Kota Kendari dan 7 (tujuh) kelompok nelayan
di kabupaten Konawe Selatan. (Nura, 2017)
Berbagai penyakit dan kecelakaan dapat terjadi pada nelayan dan penyelam
tradisional, hasil penelitian Depkes RI tahun 2006 di pulau Bungin, Nusa
Tenggara Barat ditemukan 57,5% nelayan penyelam menderita nyeri persendian,
11,3% menderita gangguan pendengaran ringan sampai ketulian (Depkes RI,
2016).

3.4. Ditribusi
Terkait dengan pola penyebaran penyakit dan merumuskan hipotesa tentang
kemungkinan faktor penyebab orang, tempat dan waktu.(Rahma, n.d.)
Tidak ada kedalaman spesifik yang menjadi batas minimal absolut untuk
terjadinya penyakit dekompresi. Semakin dalam kedalaman yang dicapai maka
risiko penyakit dekompresi akan semakin besar.Pajanan berulang atau penyelaman
berulang dalam kurun waktu yang singkat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
dekompresi. Selain itu, semakin cepat terjadinya perubahan ketinggian, yaitu
semakin singkat waktu yang diperlukan untuk naik ke permukaan, maka risiko
terjadi nya penyakit dekompresi juga akan semakin besar. Risiko penyakit
dekompresi akan sangat meningkat jika penyelam naik ke permukaan dengan
kecepatan >19 meter/menit. Pada penyelam scuba, penyelam diharuskan bernapas
pada kondisi tekanan yang tinggi. Pada kondisi ini akan terjadi peningkatan kadar
nitrogen yang terlarut di dalam tubuh. Semakin dalam menyelam maka laju
saturasi nitrogen akan semakin besar, sehingga jika setelah menyelam waktu yang
diberikan untuk eliminasi nitrogen terlalu singkat atau dengan kata lain penyelam
secara cepat naik ke permukaan setelah menyelam maka risiko penyakit
dekompresi menjadi sangat besar. Waktu juga memengaruhi terjadinya penyakit
dekompresi. Semakin lama durasi pajanan pada wilayah bertekanan rendah maka
risiko terjadinya penyakit dekompresi akan semakin besar. Faktor risiko lain
adalah usia, semakin tua usia maka risiko terjadinya penyakit dekompresi akan

11
semakin besar. Seseorang dengan komposisi lemak tubuh yang besar juga berisiko
untuk mengalami penyakit dekompresi. Hal ini disebabkan oleh banyaknya
nitrogen yang tersimpan di dalam jaringan lemak.
Gejala yang muncul pada penyakit dekompresi bervariasi dari gejala ringan
hingga fatal. Gejala yang muncul terjadi akibat iskemia jaringan yang disebabkan
oleh emboli udara yang menghambat aliran darah pada arteri dan vena.Selama atau
setelah menyelam gelembung udara akan dilepaskan melalui ekspansi terus
menerus gas mulia di dalam jaringan perifer. Gejala yang ringan dapat berupa
nyeri akibat gangguan mekanik yang ditimbulkan oleh gelembung udara
ekstravaskular. Secara umum gejala penyakit dekompresi terbagi menjadi 2
kelompok yaitu gejala tipe 1 dan tipe 2. Pada gejala tipe 1 terdiri dari nyeri otot
dan sendi, kelelahan, dan adanya gejala pada kulit. Gejala tipe 2 mencakup gejala-
gejala pada sistem syaraf pusat, sistem pernapasan, hingga sistem kardiovaskular.
Gelembung udara juga dapat menyebabkan obstruksi pada vaskular sehingga
muncul gejala stroke. Selain menyebabkan obstruksi, gelembung udara
intravaskular dapat menyebabkan kebocoran kapiler, ekstravasasi plasma, dan
hemokonsentrasi. Emboli udara yang terjadi pada pembuluh arteri pada umumnya
memengaruhi otak, namun beberapa kasus ditemukan ada pula yang menyebabkan
dampak pada jantung dan organ tubuh lainnya. Emboli udara pada pembuluh darah
arteri terjadi ketika gas di dalam alveolus mengembang dan menyebabkan
bocornya kapiler pada alveolus sehingga menyebabkan udara masuk ke dalam
sirkulasi arteri. Selain emboli pada pembuluh arteri, emboli udara juga dapat
terjadi pada pembuluh vena. Sebagian besar emboli vena tidak menimbulkan
gejala karena udara secara efektif telah terfiltrasi oleh sirkulasi pulmonal. Namun
volume udara vena yang besar dapat menyebabkan batuk, sesak napas, dan edema
paru. Selain itu, emboli udara pada pembuluh vena juga dapat berpindah ke
pembuluh darah arteri sehingga menimbulkan gejala-gejala seperti pada emboli
arteri.

12
Berdasarkan data Divers Alert Network tahun 1998-2004 gejala yang paling
sering muncul pada penyakit dekompresi ialah nyeri (68%). Nyeri yang paling
sering muncul adalah nyeri sendi sebanyak 58%, nyeri otot sebanyak 35%, dan
nyeri pinggang sebanyak 7%. Meskipun gelembung udara dapat terbentuk di
berbagai tempat di dalam tubuh, lokasi anatomik yang paling sering terkena
dampaknya adalah bahu, siku, lutut, dan pergelangan kaki.4 Bahu merupakan
lokasi tersering yang terkena dampak dari penyakit dekompresi. Gejala kedua
terbanyak yang sering muncul akibat penyakit dekompresi ialah kesemutan atau
parestesia sebanyak 63,4%. Gejala konstitusional yang muncul akibat penyakit
dekompresi ialah sakit kepala, lelah, malaise, mual atau muntah, dan anoreksia.
Kaku sendi, kram, dan spasme juga dapat menjadi tanda sindrom dekompresi.
Secara umum gejala-gejala yang timbul setelah terjadinya dekompresi pada
ketinggian tertentu dan dalam kurun waktu tertentu merupakan suatu penyakit
dekompresi. Gejala-gejala tersebut dapat muncul segera setelah berhenti
menyelam, selama melakukan pendakian, beberapa jam setelah menyelam atau
mendaki, hingga beberapa hari setelahnya. Bentuk yang paling berat dari penyakit
dekompresi adalah emboli gas pada pembuluh arteri. (Linggayani & Ramadhian,
2017)

3.5. Determinan
Faktor penyebab dari suatu masalah kesehatan baik yang menerangkan
frekuensi, penyebaran (distribusi) dan penyebab timbulnya masalah kesehatan.
(Rahma, n.d.)
Diagnosis penyakit dekompresi didasarkan pada pemeriksaan klinis, termasuk
pemeriksaan neurologis dan sejarah menyelam. Penelitian laboratorium dan
pencitraan kadang-kadang menunjang diagnosis. Pada tahun 2004 Freiberger
diidentifikasi faktor diagnostic yang penting menggunakan kasus-kasus cedera
simulasi diving. Lima faktor yang mendukung diagnostik adalah gejala neurologis
sebagai presentasi gejala utama, waktu onset gejala, nyeri sendi, respon terhadap

13
pengobatan recompression, kedalaman maksimum menyelam terakhir (Freiberger,
2004) (Nura, 2017).
Beberapa faktor risikoyangdapat meningkatkan insidensi penyakitdekompresi:
a. Kedalaman penyelaman
Menurut Darjo, dalam kumpulan makalah (1983), makin dalam responden
menyelam, akan mendapatkan tekanan makin besar, berarti makin besar
pengaruhnya pada kesehatan penyelam. Tubuh manusia yang mendapat tekanan
air di kedalaman akan menyesuaikan dengan tekanan ini. Bila tubuh tidak dapat
menyesuaikan dengan tekanan tersebut maka dapat terjadi squeese/trauma.
Squeese/trauma umumnya dapat terjadi pada penyelaman >7 meter dan
dekompresi dapat terjadi pada penyelaman 12,5 meter. Kurang dari kedalaman
tersebut umumnya belum memberikan gejala, hal tersebut biasa disebabkan karena
jumlah nitrogen yang masih sedikit jumlahnya dan dapat terfilter oleh paru-paru.
b. Lama penyelaman
Lama penyelaman juga menjadi penyebab terjadinya penyakit dekompresi.
c. Lemak tubuh
Terdapat teori bahwa nitrogen dapat tereabsorpsi dengan mudah ke dalam
jaringan lemak, jadi penyelam yang memiliki berat badan berlebih memiliki risiko
yang lebih besar untuk mengalami penyakit dekompresi.
d. Aktivitas
Sangat menarik bahwa aktivitas memiliki efek positif dan negatif. Aktivitas
fisik setidaknya 12 jam sebelum menyelam dapat memproduksi protein yang
melindungi tubuh dan menurunkan risiko penyakit dekompresi .Disisilain,aktivitas
fisik kurang dari 12 jam sebelum penyelaman dapat meningkatkan sejumlah gas
mikronuklei di mana dapat membentuk gelembung dan meningkatkan insidensi
penyakit dekompresi. Melakukan aktivitas fisik sesaat setelah menyelam dapat
meningkatkan risiko pembentukan gelembung karena tekanan darah meningkat
dan gelembung dapat dengan mudah ditransfer dari venake arteri dalam sistem
sirkulasi.

14
e. Jenis kelamin
Secarateori, wanita memiliki risiko tinggi mengalami penyakit dekompresi
karena wanita secara khusus memiliki massa lemak tubuh yang lebih tinggi. Tetapi
belum ada penelitian yang dapat membuktikan hal ini.
f. Usia
Secara umum, orang dengan usia tua memiliki risiko tinggi terkena penyakit
dekompresi. (Nura, 2017)

15
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Status Sosial-Ekonomi


a. Pendidikan
Kehidupan nelayan dapat dikatakan tidak saja belum berkecukupan,
melainkan juga masih terbelakang, termasuk dalam hal pendidikan. Keterbatasan
sosial yang dialami nelayan memang tidak terwujud dalam bentuk keterasingan,
karena secara fisik masyarakat nelayan tidak dapat dikatakan terisolasi atau
terasing. Namun, lebih terwujud pada ketidakmampuan mereka dalam mengambil
bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan, yang ditunjukkan
oleh lemahnya mereka mengembangkan organisasi keluar lingkungan kerabat
mereka atau komunitas lokal (Boedhisantoso, 1999) (Farida and Andalas, 2019).
Kondisi keterbatasan sosial dan kemiskinan yang diderita masyarakat nelayan
disebabkan oleh faktor-faktor yang kompleks. Faktor-faktor tersebut tidak hanya
berkaitan dengan fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia,
keterbatasan modal, kurangnya akses, dan jaringan perdagangan ikan yang
cenderung eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, serta dampak negative
modernisasi perikanan yang mendorong terkurasnya sumber daya laut secara cepat
dan berlebihan, serta terbatasnya peluang dan kesempatan nelayan untuk
melakukan diverisifikasi pekerjaan, terutama di luar kegiatan pencarian ikan di
laut (Sri Haryono, 2005: 119-120) (Farida and Andalas, 2019).
Masyarakat pesisir, mengaggap pendidikan tidak begitu penting, mereka lebih
mementingkan bekerja untuk mencukupi kehidupannya karena pada era kolonial
pembangunan pendidikan kurang memadahi. Hal tersebut, menyebabkan
rendahnya daya saing dalam memperebutkan peluang pekerjaan yang lebih layak
secara ekonomi. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan
kemiskinan yang seolah telah menjadi teman akrab.

16
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir sibuk bekerja untuk
mencukupi kehidupannya, terutama pada anak-anak usia sekolah, mereka semua
bekerja untuk membatu orang tua, mulai dari mempersiapkan keperluan untuk
pergi ke laut sampai menjual hasil tangkapan. Artinya, bahwa masyarakat pesisir
selalu bekerja keras untuk memenuhi kehidupannya. Akibatnya rata-rata tingkat
pendidikan masyarakat pesisir rendah, sehingga sektor ekonominya hanya
bargantung pada hasil laut. (Farida and Andalas, 2019)

b. Ekonomi
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas
sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan.
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan,
pedagang ikan, dan lan-lain) yang hidup.
Ciri khas wilayah pesisir jika ditinjau dari aspek biofisik wilayah, ruang
pesisir dan laut serta sumber daya yang terkandung di dalamnya bersifat khas
sehingga adanya intervensi manusia pada wilayah tersebutdapat mengakibatkan
perubahan yang signifikan, seperti bentang alam yang sulit diubah, proses
pertemuan air tawar dan air laut yang menghasilkan ekosistem yang khas. Ditinjau
dari aspek kepemilikan, wilayah pesisir dan laut serta sumberdaya yang
terkandung di dalamnya sering memiliki sifat terbuka.(Rama, 2013) (M, 2018).
Masyarakat di kawasan pesisir Indonesia sebagian besar berprofesi sebagai
nelayan yang diperoleh secara turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Karakteristik masyarakat nelayan terbentuk mengikuti sifat dinamis sumberdaya
yang digarapnya, sehingga untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal,
nelayan harus berpindahpindah. Selain itu, resiko usaha yang tinggi menyebabkan
masyarakat nelayan hidup dalam suasana alam yang keras dimana selalu diliputi
oleh adanya ketidakpastian dalam menjalankan usahanya.

17
Kondisi masyarakat nelayan atau masyarakat pesisir merupakan kelompok
masyarakat yang relatif tertinggal secara ekonomi, sosial (khususnya dalam hal
akses pendidikan dan layanan kesehatan), dan kultural dibandingkan dengan
kelompok masyarakat lain. Kondisi masyarakat pesisir atau masyarakat nelayan
diberbagai kawasan pada umumnya ditandai oleh adanya beberapa ciri, seperti
kemiskinan, keterbelakangan sosial-budaya, rendahnya sumber daya manusia
(SDM).
Masyarakat pesisir dalam pembangunan hingga kebutuhan sandang pangan
sangat minim untuk didapatkan. Hal tersebut, terjadi karena tidak meratanya
pembangunan dan lapangan pekerjaan pada masyarakat pesisir, sehingga untuk
memehuni kebutuhan hidup sehari-hari sangat sulit didapatkan. Terjadi
kesenjangan ekonomi karena sector pekerjaan masyarakat pesisir hanya pada
lautan atau nelayan saja. Hal itu terjadi karena tidak meratanya pembangunan di
pesisir, sehingga masyarakat pesisir sulit untuk mencari lapangan pekerjaan. Hal
ini sehingga menyebabkan ketidaksetaraan dengan masyarakat kota yang lapangan
pekerjaan mudah untuk didapatkan. (M, 2018)

3.2. Kebudayaan
Masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh dan berkembang
di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah darat dan laut.
Sebagai suatu sistem, masyarakat nelayan terdiri dari kategori-kategori sosial yang
membentuk kesatuan sosial. Mereka juga memiliki sistem nilai dan simbol-simbol
kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari.
Kebudayaan ini menjadi pembeda masyarakat nelayan dari kelompok sosial
lainnya. Sebagian besar masyarakat pesisir, baik langsung maupun tidak langsung,
menggantungkan kelangsungan hidupnya dari mengelola potensi sumberdaya
perikanan. Mereka menjadi komponen utama konstruksi masyarakat maritim
Indonesia. Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan
sosial kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata

18
pencahariannya menangkap ikan di laut, pola-pola perilakunya diikat oleh sistem
budaya yang berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial,
struktur sosial yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang
sama. Sebagai sebuah komunitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sitem
budaya yang tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah
pegunungan, lembah atau dataran rendah, dan perkotaan.
Kebudayaan nelayan adalah sistem gagasan atau sistem kognitif masyarakat
nelayan yang dijadikan referensi kelakuan sosial budaya oleh individu-individu
dalam interaksi bermasyarakat. Kebudayaan ini terbentuk melalui proses sosio-
historis yang panjang dan kristalisasi dari interaksi yang intensif antara masyarakat
dan lingkungannya. Kondisi-kondisi lingkungan atau struktur sumberdaya alam,
mata pencaharian, dan sejarah sosial-etnis akan mempengaruhi karakteristik
kebudayaan masyarakat nelayan. Dalam perspektif antropologis, eksitensi
kebudayaan nelayan tersebut adalah sempurna dan fungsional bagi kehidupan
masyarakatnya (Kusnadi, 2009:24) (Sukbar,2016)..
Penyelam tradisional di Indonesia adalah nelayan yang melakukan
penyelaman untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan. Nelayan penyelam
tradisional yang seringndisebut dengan nelayan kompresor . Turun temurun
penyelam menggunakan peralatan sangat terbatas. Kebanyakan hanya terdiri dari
kompresor yang biasa digunakan untuk memompa ban kendaraan bermotor, fin,
masker, selang dengan regulator dan pemberat dari timah. Penyelaman dilakukan
pada tekanan lebih dari 1 atmosfer absolut baik di dalam air maupun di ruang
udara kering bertekanan tinggi (Rijadi, 2009) (Sukbar,2016)..
Penyelaman tersebut sangat berbahaya karena akan menyebabkan penyelam
menderita kelainan dekompresi yang di sebabkan tidak tercukupinya gas nitrogen
akibat penurunan tekanan yang mendadak, sehingga menimbulkan gejala sakit
pada persendian, susunan syaraf, saluran pencernaan, jantung, paru-paru dan kulit.
(Sukbar,2016).

19
3.3. Kepercayaan
Sejak lama masyarakat Indonesia terutama yang bermukim diwilayah pesisir
mempunyai pengetahuan tradisional tentang alam raya termasuk lingkungan laut,
tidak hanya dipandang sebagai status ruang hampa atau ruang kosong yang
berproses secara alamiah, melainkan alam itu dihayati sebagai bagian integral dari
Sang Pencipta yang penuh misteri. Konsep pengetahuan budaya yang dimiliki
masyarakat bahwa alam raya dikuasai oleh dewata, sedangkan unsur alam seperti
langit, bumi dan lautan diserahkan penjagaan dan pengaturannya kepada makhluk-
makhluk gaib dan dikenal sebagai figure yang melambangkan kebaikan dan
kejahatan. Kebudayaan nelayan terbentuk dari akumulasi pengalaman serta tingkat
pengetahuan masyarakat pendukungnya, dan terwujud dalam pola tingkah laku
nelayan dalam memenuhi kebutuhannya (Koentjaraningrat, 1972) (Halena
Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, 2017).
Sadar atau tidak sadar, untuk masyarakat nelayan telah membentuk pola-pola
tingkah laku dalam bentuk norma, sopan santun serta ide, gagasan dan nilai-nilai
yang menjadi pedoman bagi tingkah laku para individu dalam kelompok tersebut.
Dalam hal ini kebudayaan nelayan menjadi sebuah ”blue print” desain, atau
pedoman menyeluruh bagi para pendukungnya. Karena itu, kebudayaan sebagai
pengetahuan, secara selektif digunakan oleh manusia untuk menginterpretasi dan
memahami lingkungan yang dihadapi, dan digunakan sebagai referensi untuk
melakukan aktivitas. Di dalam agama Islam, hari Jumat merupakan hari suci
dimana umat muslim terutama pria melaksanakan ibadah sholat Jumat. Oleh
karena itu nelayan dari beberapa daerah di Indonesia memilih libur pada hari
Jumat, seperti Berau, Kalimantan Timur; Pangandaran, Jawa Barat; dan beberapa
daerah lain. Selain libur pada hari Jumat, mereka biasanya juga libur pada
permulaan puasa, hari raya Idul Fitri / Idul Adha, dan atau pada hari-hari bulan
syawal (setelah Idul Fitri, biasa disebut pula syawalan). (Gs, 2018)
Ada banyak macam kepercayaan dari nelayan-nelayan terhadap laut yang
tersebar di berbagai daerah pesisir Indonesia yang sampai saat ini masih sering

20
didengar. Ada kepercayaan yang berupa pantangan atau sesuatu yang harus
dilakukan seperti ritual yang bertujuan untuk memohon keselamatan dan
menghindarkan nelayan dari bala bencana di tengah lautan sebelum mereka turun
melaut. Para nelayan percaya jika sesuatu yang telah ditetapkan tersebut dilanggar
atau tidak dilakukan maka akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Seperti
contoh larangan melaut apabila menjumpai hiu paus dijumpai di daerah Cirebon
dan Muara Baru. Kepercayaan kemunculan hiu paus merupakan tanda kesialan
dan harus segera berputar arah ke darat, masih kental dan dipercaya oleh sebagian
besar masyarakat nelayan di sana. Larangan menangkap penyu karena dipercaya
akan sakit bagi penangkapnya dijumpai di daerah Banggai Kepulauan, Sulawesi
Tengah. (Gs, 2018)
Masyarakat pesisir menyakini bahwa menyelam selama 3 jam dalam sehari
untuk mendapatkan ikan adalah hal yang wajar. Akan tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa menyelam ≥ 2 jam per hari maka berisiko untuk terjadi
penyakit dekompresi. Faktor waktu atau lama penyelaman adalah lama penyelam
yang dihitung sejak penyelam berenang turun selama di dasar sampai penyelam
mulai mencapai permukaan. Lama menyelam akan mempengaruhi tekanan yang
diterima oleh penyelam sesuai kedalamannya. Semakin lama dan semakin dalam
menyelam maka tekanan yang diterima oleh penyelam sesuai kedalamannya
semakin besar dan lama. Penyelaman yang lama akan mempengaruhi penyerapan
dan pelepasan gas dalam jaringan tubuh dan darah, terutama adalah gas nitrogen,
yaitu berubahnya komposisi gas akan menimbulkan penyakit dekompresi. (Halena
Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, 2017)

3.4. Faktor Risiko


Kegiatan penyelaman yang melibatkan masyarakat nelayan telah dilakukan
sejak dahulu, walaupun tidak ada catatan khusus mengenai hal ini, namun sebagai
negara dengan wilayah laut yang sangat luas tentu telah memanfaatkan
sumberdaya laut secara intensif. Kegiatan penyelaman itu sendiri seharusnya

21
dilihat sebagai suatu kegiatan mencari nafkah dengan lingkungan kerja
penyelaman. Selama ini masyarakat nelayan belum dibekali ilmu yang cukup
mengenai safety dive, sehingga mereka dapat melakukan kegiatan penyelaman ini
dengan baik dan benar serta tidak membahayakan kesehatan mereka. Tidak sedikit
dari mereka yang lumpuh karena penyakit dekompresi bahkan meninggal karena
kurangnya penanganan medis secara cepat dan tepat. Menyelam adalah suatu
kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan air, dengan atau tanpa menggunakan
peralatan, untuk mencapai tujuan tertentu. Soepadmo (1990) menjelaskan
penyelaman dapat dibedakan dalam beberapa jenis, antara lain berdasarkan:
Kedalaman Berdasarkan kedalaman maka penyelaman dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu (a) penyelaman dangkal adalah penyelaman dengan kedalaman
maksimum 10 meter, (b) penyelaman sedang adalah penyelaman dengan
kedalaman antara 10 meter sampai 30 meter, (c) penyelaman dalam adalah
penyelaman dengan kedalaman lebih dari 30 meter. Penyakit dekompresi adalah
suatu penyakit atau kelainan yang disebabkan oleh pelepasan dan pengembangan
gelembung-gelembung gas dari fase terlarut dalam darah atau jaringan-jaringan
akibat penurunan tekanan disekitarnya. Bilamana gejala-gejala kasus ini timbul
setelah 24 jam atau paling lambat 36 jam setelah penyelaman, maka tidak akan
didiagnosa sebagai penyakit dekompresi.
Mekanisme terbentuknya gelembung gas adalah seperti berikut ini, bila
penyelam mulai naik ke permukaan maka tekanan pada bagian luar tubuhnya
mulai turun sehingga terjadi proses desaturasi yang merupakan kebalikan proses
saturasi. Pada keadaan ini tekanan parsial gas dalam jaringan tubuh yang
melakukan dekompresi akan melebihi tekanan sekitarnya sehingga akan timbul
gelembung gas inert dalam jaringan.
Penyakit dekompresi (Decompression Sickness) merupakan suatu penyakit
yang disebabkan oleh pembentukan dan peningkatan ukuran gelembung ketika
tekanan parsial gas inert dalam darah dan jaringan melebihi tekanan ambient
(Wahab, 2008). Pembentukan gelembung udara akan menyumbat aliran darah

22
serta system syaraf sehingga akan menimbulkan gejala seperti rasa sakit di
persendian, sakit kepala, gatal-gatal, mati rasa (numbness) kelumpuhan (paralysis)
bahkan dapat menyebabkan kematian (Lee, 2013). Penyakit dekompresi
merupakan penyakit yang paling sering diderita oleh para penyelam tradisional.
(Wijaya, Abdullah, & Palutturi, 2018)
Masa kerja dan cara naik ke permukaan merupakan faktor rsiko yang
mempengaruhi kejadian penyakit dekompresi pada nelayan penyelam. Masa kerja
dapat menentukan lamanya seseorang terpapar dengan faktor risiko di tempat
kerjanya. Semakin lama penyelam bekerja maka semakin besar pula paparan yang
didapatkan pada lingkungannya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
kelumpuhan bahkan kematian (Syamila, 2017). Penelitian ini sejalan dengan yang
dilakukan Alaydrus (2014) bahwa semakin lama bekerja sebagai nelayan
penyelam semakin besar pula risiko untuk mengalami penyakit dekompresi.
Karena semakin lama seseorang terpapar dengan perbedaan tekanan maka risiko
untuk menderita penyakit dekompresi semakin besar. (Wijaya et al., 2018)
Faktor risiko terjadinya penyakit dekompresi pada penyelam tradisional
adalah kedalaman menyelam sebesar (p<0,043), variabel ini berpengaruh terhadap
nilai statistik, sehingga hipotesis terbukti. Dengan demikian kedalaman menyelam
merupakan faktor risiko terjadinya dekompresi. selaras dengan penelitian Darryl et
al yang meneliti tentang fungsi pendengaran para penyelam tradisional di
Minahasa Sulawesi Utara, bahwa kedalaman menyelam mempunyai risiko terkena
dekompresi dengan fungsi pendengaran sebesar 60%. Berdasarkan hasil indepth
interview responden penyelam didapatkan keterangan bahwa responden menyelam
dalam untuk mendapatkan ikan. Responden merasakan sakit bahkan seperti
lumpuh setelah lama menyelam. Lama menyelam akan mempengaruhi tekanan
yang diterima oleh penyelam sesuai kedalamannya. Semakin lama dan semakin
dalam menyelam maka tekanan yang diterima oleh penyelam sesuai kedalamannya
semakin besar dan lama. (Duke, Widyastuti, Hadisaputro, & Chasani, 2017)

23
Menurut Alfred A. Bove (2013) dalam artikelnya yang berjudul
“Decompression Sickness” risiko terjadinya penyakit dekompreso meningkat
dengan banyak faktor seperti suhu. Pernyataan ini sejalan dengan artikel yang
ditulis oleh Campbell (2010) yang berjudul “Prevention of Decompression
Accidents” bahwa air dingin membuat vasokonstriksi sehingga nitrogen sulit
untuk dikeluarkan sedangkan air hangat menyebabkan vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah) dan posisi kepala di bawah meningkatkan eliminasi nitrogen.
Itu merupakan salah satu faktor terjadinya penyakit dekompresi. Penyelam yang
kedinginan lalu mandi dengan air panas atau hangat, dapat merangsang
pembentukan gelembung dalam tubuh. (Rahmadayanti, Budiyono, 2017)

3.5. Upaya Pencegahan


Penyakit dekompresi adalah penyakit yang disebabkan oleh pelepasan dan
pengembangan gelembung-gelembung gas dari fase larut dalam darah atau
jaringan akibat penurunan tekanan dengan cepat di sekitarnya. Tubuh seharusnya
beradaptasi terhadap tekanan seiring dengan kenaikan ketinggian yang cepat. Hal
ini merupakan masalah dalam penyelaman dan gangguan akibat tekanan udara.
Penyakit dekompresi merupakan risiko penyakit akibat risiko pekerjaan terutama
di kalangan penyelam atau nelayan. Perkembangan penyakit dekompresi
keamanan. Pengetahuan yang rendah mengenai risiko menyelam dan penyelaman
yang tidak sesuai prosedur, penggunaan peralatan sederhana, dan motivasi untuk
mendapatkan ikan. Selama ini masyarakat penyelam dan nelayan tradisional belum
dibekali ilmu yang cukup mengenai safety dive, peralatan yang digunakannya juga
masih cukup sederhana dan belum memenuhi standar keamanan. (Duke,
Hadisaputro, Chasani, Anies, & Munasik, 2016)
Penyakit dekompresi sering menyerang para penyelam, dan terjadi sekitar
1.000 kasus dekompresi di amerika serikat (US) setiap tahunnya. Angka
ini termasuk banyak mengingat para penyelam telah di beri pengetahuan dan
prosedur di bidang penyelaman sebelumnya.

24
Penyakit dekompresi atau yang dikenal dengan divers disease, the bonds
atau caisson disease merupakan salah satu penyakit akibat kelalaian penyelam
yang sering terjadi. Penyakit ini bias menyebabkan kelumpuhan, bahkan
kematian jika tidak ditangani dengan benar (McLaren, 2011). (ira Sandi Tunny, M.
Dahlan Sel, 2017)
Mekanisme terbentuknya gelembung gas adalah seperti berikut ini, bila
penyelam mulai naik ke permukaan maka tekanan pada bagian luar tubuhnya
mulai turun sehingga terjadi proses desaturasi yang merupakan kebalikan proses
saturasi. Pada keadaan ini tekanan parsial gas dalam jaringan tubuh yang
melakukan dekompresi akan melebihi tekanan sekitarnya sehingga akan timbul
gelembung gas inert dalam jaringan. Gas nitrogen sangat mudah larut dan
mempunyai sifat bergabung/berikatan dengan jaringan lemak. Seorang yang
gemuk lebih besar kemungkinannya terkena akibat secara menyeluruh. Kedalaman
rata-rata, tingkat keaktifan dan lama waktu terjadinya adalah faktor utama untuk
menentukan jumlah N2 yang lebih yang terserap dalam tubuh. Gejala klinis yang
tampak pada kebanyakan kasus adalah nyeri yang terlokalisir pada sendi-sendi
(lutut, mata kaki, dan tungkai bagian bawah adalah tanda yang paling umum). Hal
yang biasa ditemukan pada gejala bends: (1) nyeri terlokalisir yang bertambah
parah, (2) gatal-gatal pada kulit, (3) rasa mual, (4) sukar bernapas, (5) tidak sadar
dan atau kelumpuhan, (6) kejang-kejang, dan (7) kematian. Pengobatan penyakit
ini adalah dengan melakukan rekompresi dalam recompression chamber.
Pengetahuan mengenai penyakit dekompresi bagi penyelam merupakan hal
yang sangat penting untuk diketahui dan dipahami sehingga penyelam dapat
terhindar penyakit dekompres. tingkat pengetahuan nelayan tentang apa itu
penyakit penyakit dekompresi, nelayan tidak mengetahui apa yang dimaksud
dengan penyakit dekompresi. sebagian besar nelayan yang memiliki pengetahuan
baik mengalami resiko terkena penyakit dekompresi yang lebih sedikit
dibandingkan dengan nelayan yang berpengetahuan kurang. Pengetahuan yang
rendah dari nelayan karena kurang informasi yang bisa di dapat oleh nelayan

25
seperti dari petugas kesehatan setempat, media, dan juga tingkat pendidikan dari
nelayan ini yang cukup rendah. (ira Sandi Tunny, M. Dahlan Sel, 2017)
Untuk mencegah terjadinya dekompresi maka perlu diadakan penyuluhan atau
penyebarluasan informasi tentang faktor risiko dan pelatihan penyelaman yang
benar dan aman bagi penyelam yang bekerjasama dengan instansi atau organisasi
yang menguasai dalam bidang penyelaman, perlu dilakukan penyusunan rencana
penyelaman yang meliputi lama waktu menyelam dan kedalaman menyelam
secara tepat dan diadakan pemeriksaan kesehatan berkala pada penyelam.(Duke et
al., 2017)

26
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
1. Status Sosial-Ekonomi terbagi atas dua :
1) Pendidikan
Masyarakat pesisir, mengaggap pendidikan tidak begitu penting, mereka lebih
mementingkan bekerja untuk mencukupi kehidupannya karena pada era kolonial
pembangunan pendidikan kurang memadahi. Hal tersebut, menyebabkan
rendahnya daya saing dalam memperebutkan peluang pekerjaan yang lebih layak
secara ekonomi. Selain itu, tingkat pendapatan yang rendah menyebabkan
kemiskinan yang seolah telah menjadi teman akrab. (Farida and Andalas, 2019)
2) Ekonomi
Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas
sosial ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya wilayah pesisir dan lautan.
Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang
cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumber daya pesisir dan lautan.
Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat (nelayan, pembudidaya ikan,
pedagang ikan, dan lan-lain) yang hidup.
2. Kebudayaan
Dalam konteks ini, masyarakat nelayan didefinisikan sebagai kesatuan sosial
kolektif masyarakat yang hidup di kawasan pesisir dengan mata pencahariannya
menangkap ikan di laut, pola-pola perilakunya diikat oleh sistem budaya yang
berlaku, memiliki identitas bersama dan batas-batas kesatuan sosial, struktur sosial
yang mantap, dan masyarakat terbentuk karena sejarah sosial yang sama. Sebagai
sebuah komunitas sosial, masyarakat nelayan memiliki sitem budaya yang
tersendiri dan berbeda dengan masyarakat lain yang hidup di daerah pegunungan,
lembah atau dataran rendah, dan perkotaan.
3. Kepercayaan
Masyarakat pesisir menyakini bahwa menyelam selama 3 jam dalam sehari
untuk mendapatkan ikan adalah hal yang wajar. Akan tetapi hasil penelitian
menunjukkan bahwa menyelam ≥ 2 jam per hari maka berisiko untuk terjadi
penyakit dekompresi.
4. Faktor Risiko
Masa kerja dan cara naik ke permukaan merupakan faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian penyakit dekompresi pada nelayan penyelam. Masa kerja
dapat menentukan lamanya seseorang terpapar dengan faktor risiko di tempat

27
kerjanya. Semakin lama penyelam bekerja maka semakin besar pula paparan yang
didapatkan pada lingkungannya yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan,
kelumpuhan bahkan kematian (Syamila, 2017).
5. Upaya Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya dekompresi maka perlu diadakan penyuluhan atau
penyebarluasan informasi tentang faktor risiko dan pelatihan penyelaman yang
benar dan aman bagi penyelam yang bekerjasama dengan instansi atau organisasi
yang menguasai dalam bidang penyelaman, perlu dilakukan penyusunan rencana
penyelaman yang meliputi lama waktu menyelam dan kedalaman menyelam
secara tepat dan diadakan pemeriksaan kesehatan berkala pada penyelam.(Duke et
al., 2017)

4.2. Saran
Kepada penyelam tradisional agar lebih memeperhatikan hal-hal yang dapat
membahayakan diri,dan berlatih kepada penyelam profesional dan berpengalaman.
Kepada instansi mengadakan seminar dan pelatihan dari persiapan menyelam
hingga teori-teori yang digunakan dalam menyelam dan pertolongan pertama pada
penyakit dekompresi.
Kepada masyarakat pesisir agar segera dibawa ke Rumah Sakit atau
pelayanan kesehatan terdekat apabila terjadi gejala-gejala penyakit dekompresi
pada rekannya agar mendapatkan pertolongan pertama.

28
DAFTAR PUSTAKA

Duke, H. I., Hadisaputro, S., Chasani, S., Anies, A., & Munasik, M. (2016). Beberapa
Faktor yang Berpengaruh terhadap Kejadian Penyakit Dekompresi pada
Penyelam Tradisional (Studi Kasus di Karimunjawa). Jurnal Epidemiologi
Kesehatan Komunitas, 1(1), 9–14. https://doi.org/10.14710/J.E.K.K.V1I1.3936

Duke, H. I., Widyastuti, S. R., Hadisaputro, S., & Chasani, S. (2017). Pengaruh
Kedalaman Menyelam, Lama Menyelam, Anemia Terhadap Kejadian Penyakit
Dekompresi Pada Penyelam Tradisional. Jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia, 12(2), 12–18. Retrieved from https://jurnal.unimus.ac.id/index.
php/jkmi/article/download/3170/3054

Farida, N. and Andalas, E. F. (2019) ‘REPRESENTASI KESENJANGAN SOSIAL-


EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DENGAN PERKOTAAN DALAM
NOVEL GADIS PANTAI KARYA PRAMODYA ANANTA TOER’, 5(1), pp.
74–90.

Gs, N. F. (2018) ‘ADAT, TRADISI DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT


NELAYAN INDONESIA MENGENAI PROSES PENANGKAPAN IKAN’,
pp. 1–28.

Halena Isrumanti Duke, Sri Rahayu Widyastuti, Suharyo Hadisaputro, S. C. (2017).


EFFECT OF THE DEPTH OF DIVING , DURATION OF DIVING ,
ANEMIA ON DECOMPRESSION SICKNESS IN TRADITIONAL DIVER
Hasil penelitian Kementerian Kesehatan. 12(2), 12–18.

ira Sandi Tunny, M. Dahlan Sel, F. S. (2017). HUBUNGAN TINGKAT


PENGETAHUAN DAN SIKAP NELAYAN DENGAN GEJALA PENYAKIT
DEKOMPRESI DI DUSUN TANAH GOYANG RT06 KECAMATAN
HUAMUAL KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT. 8(9), 1–5.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.

Linggayani, N. M. A., & Ramadhian, R. (2017). Penyakit Caisson pada Penyelam.


Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, 4(2), 1–6.

Made, N., Linggayani, A., Ramadhian, M. R., Mikrobiologi, B., Kedokteran, F., &
Lampung, U. (2017). Penyakit Caisson pada Penyelam.
M, A. R. (2018) ‘Dampak dari menyelam secara tradisional serta pengaruh sosial
masyarakat’, pp. 1–7.
Nura, F. L. A. (2017). IDENTIFIKASI TANDA DAN GEJALA PENYAKIT
DEKOMPRESI PADA PENYELAM TRADISIONAL DI DESA BOKORI
KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE. In Identifikasi Tanda
Dan Gejala Penyakit Dekompresi Pada Penyelam Tradisional Di Desa Bokori
Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe Karya.

Rahmadayanti, Budiyono, Y. (2017). Faktor Resiko Gangguan Akibat Penyelam


Pada Penyelem Tradisional Di karimun Jawa Jepara Rahmadayanti,. Kesehatan
Masyarakat, 5, 1–9.

Rahma, J. (n.d.). EPIDEMIOLOGI KESEHATAN LINGKUNGAN.


https://www.academia.edu/9502997/EPIDEMIOLOGI_KESEHATAN_LINGK
UNGAN_I._PENGERTIAN

Sukbar., L. Dupai, S. Munandar. 2016 “Hubungan Aktivitas Penyelam Tradisional


Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Nelayan Di Desa Toro Bulu
Kecamatan Laeya Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Halu Oleo. 9 hal. Scuba Schools International.

Suteja, Y. (2017, September). Jenis-Jenis Selam. pp. 1-60. (dokumen powerpoint


tidak dipublikasikan).

Widyastuti, S. R., Hadisaputro, S., & Munasik, M. (2019). Berbagai Faktor yang
Berpengaruh Terhadap Kualitas Hidup Penyelam Tradisional Penderita
Penyakit Dekompresi. Jurnal Epidemiologi Kesehatan Komunitas, 4(1), 45.
https://doi.org/10.14710/jekk.v4i1.4429

Wijaya, D. R., Abdullah, A. Z., & Palutturi, S. (2018). RISK FACTORS WORKING
LIFE AND BREAK TIME TO DECOMPRESSION SICKNESS IN
FISHERMAN IN BARRANG LOMPO ISLAND
DepartemenAdministrasidanKebijakan Kesehatan , Fakultas Kesehatan
Masyarakat , AlamatKorespondensi : Dian Rezki Wijaya , SKM , Fakultas
Kesehatan Masya. 2(1), 318–327.

Anda mungkin juga menyukai