Anda di halaman 1dari 45

KONSEP PSIKONEUROIMUNOLOGI PADA KEBUGARAN

PSIKONEUROIMUNOLOGI

Pembimbing : Anik Supriani, S.Kep.Ns., M.Kes

Nama kelompok 2 :

1. Atik Mardhiyyah (0117039)


2. Auda Nur Imania (0117040)
3. Dindah Daristya (0117041)
4. Fitria Dwi Agustina (0117045)
5. Fitrotun Nisa’ (0117046)
6. Inayatul Karomah (0117047)
7. Lufi Vita Hapsari (0117051)
8. Marselia Shafira F (0117052)
9. Maulidiya Dwi A (0117053)
10. Mohammad Syaihu A(0117054)
11. Nabilatul Khasanah (0117055)
12. Rachmad Noer S (0117058)
13. Regita Fiqa Usarida (0117059)
14. Reni Dwi Damayanti(0117060)
15. Sinta Ayu Desira (0117064)
16. Sofia Krismunika (0117065)
17. Sofiari Nur F. R (0117066)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADAMOJOKERTO

2018 /2019

1|Page
LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini kami menyatakan bahwa:

Kami mempunayai kopi dari makalah ini yang biasa kami reproduksinjika makalah yang
dikumpulkan hilang atau rusak

Makalah ini adalah hasil karya kami sendiri dan bukan merupakan karya orang lain
kecuali yang teah ditulis kan dalam referensi,serta tidak ada seseorang pun yang
membuatkan makalah ini untuk kami.

Jika dikemudian hari terbukti adanya ketidak jujuran akademik,kami bersedia mendapat
hukuman sangsi sesuai peraturan yang berlaku.

Mojokerto ,13 Oktober 2019

Nama NIM Tanda Tangan Mahasiswa


Atik Mardhiyyah 0117039

Auda Nur Imania 0117040


Dindah Daristya 0117041
Fitria Dwi Agustina 0117045
Fitrotun Nisa’ 0117046
Inayatul Karomah 0117047
Lufi Vita Hapsari 0117051
Marselia Shafira F 0117052
Maulidiya Dwi A 0117053
Nabilatul Khasanah 0117055
Regita Fiqa Usarida 0117059
Reni Dwi Damayanti 0117060
Sinta Ayu Desira 0117064
Sofia Krismunika 0117065
Sofiari Nur F. R 0117066

2|Page
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat dan karuniaNya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini. makalah ini
berjudul “KONSEP PSIKONEUROIMUNOLOGI PADA KEBUGARAN” yang dibuat
sebagai tugas mata kuliah Keperawatan anak prodi S1 Keperawatan Stikes Dian Husada
Mojokerto.

Dalam pembuatan makalah ini, kami banyak mendapatkan referensi dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, kami mengucapkan terimakasih kepada :

1. Kepada dosen pembimbing Anik Supriani, S.Kep.Ns., M.Kes


2. Seluruh pihak yang telah membantu menyusun makalah ini.

Makalah ini adalah hasil karya kami. Oleh sebab itu, kami bertanggung jawab atas ini
makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat.

Mojokerto, 13 Oktober 2019

3|Page
DAFTAR ISI

Cover ................................................... 1

Lembar Pernyataan ................................................... 2

Kata Pengantar ................................................... 3

Daftar isi ................................................... 4

BAB I PENDAHULUAN ................................................... 5

1. Latar Belakang ................................................... 5

2. Rumusan Masalah ................................................... 6

3. Tujuan ................................................... 6

BAB II PEMBAHASAN ................................................... 7

BAB III PENUTUP ................................................... 44

Daftar Pustaka ................................................... 45

4|Page
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Psikoneuroimunologi adalah ilmu yang mempelajari kaitan antara sisitem
imunitas dan perilaku melalui saraf. Stres yang berkepanjangan menyebabkan
sakit atau merusak fungsi otak. Penyebab umumnya karena kadar
glukokortikoid, norepinefrin, dan epinefrin naik. Kenaikan zat – zat
(nerotransmiter) ini menekan aktivitas limfosit B juga limfosit T sehingga
pertahanan terhadap mikro-organisme penyerang berkurang. Selain itu ada
NKC yang keluar dari jaringan.
Reseptor estrogen adalah salah satu anggota reseptor inti yang
memperantarai aksi hormon estrogen (17b-estradiol) di dalam tubuh. Estrogen
sendiri, melalui ikatannya dengan reseptornya, bekerja meregulasi
pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel sistem reproduksi baik pada wanita
maupun pada pria. Estrogen juga dapat meningkatkan kadar kolesterol HDL
dan menurunkan LDL sehingga berpotensi mengurangi risiko penyakit
kardiovaskuler. Selain itu, estrogen juga memiliki peran penting pada
perkembangan otak, penyakit, autoimun, dan metabolisme tulang. Akan tetapi
di sisi lain, estrogen juga dapat memicu pertumbuhan, proliferasi dan
metastase kanker payudara (Ikawati, 2014).

Biologi sel adalah ilmu yang mempelajari sel. Hal yang dipelajari dalam
biologi sel mencakup sifat-sifat fisiologis sel seperti struktur dan organel yang
terdapat di dalam sel, lingkungan dan antaraksi sel, daur hidup sel,
pembelahan sel dan fungsi sel (fisiologi), hingga kematian sel. Hal-hal
tersebut dipelajari baik pada skala mikroskopik maupun skala molekular, dan
sel biologi meneliti baik organisme bersel tunggal seperti bakteri maupun sel-
sel terspesialisasi di dalam organisme multisel seperti manus.

B. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Psikoneuromunologi pada kebugaran yang meliputi :
1. Modulator Versus Stressor
2. Regulator faal sel
3. Kebugaran dan respon imun
4. Pola hidup sehari hari dan psikoneuromunologi
5. Pengaruh opiad tubuh terhadap imunitas tubuh

5|Page
C. TUJUAN
Dapat mengetahui penjelasan tentang Psikoneuromunologi pada kebugaran
yang meliputi :
1. Modulator Versus Stressor
2. Regulator faal sel
3. Kebugaran dan respon imun
4. Pola hidup sehari hari dan psikoneuromunologi
5. Pengaruh opiad tubuh terhadap imunitas tubuh

6|Page
BAB II
PEMBAHASAN

1. MODULATOR VERSUS STRESSOR

 SERMs (Selective Estrogen Receptor Modulators)


Ligan yang mengikat reseptor estrogen dan berkompetisi dengan estrogen
untuk berikatan dengan reseptornya disebut Selective Estrogen Receptor
Modulators atau SERMs, suatu golongan obat yang cukup penting. Konsep
SERMs didasarkan pada kemampuan ligan tersebut memicu interaksi antara
reseptor estrogen dengan protein-protein yang berbeda, yaitu apakah suatu ko-
aktivator atau ko-represor. Selain itu, rasio protein ko-aktivator dan ko-represor
dalam suatu jaringan juga berbeda pada jaringan yang berbeda. Karena itu, efek
satu ligan yang sama bisa berbeda pada jaringan yang berbeda. Suatu ligan bisa
menjadi agonis pada suatu jaringan (dimana ko-aktivator lebih dominan) dan
menjadi antagonis pada jaringan yang lain (dimana ko-represor lebih dominan).
Suatu SERMs tertentu juga dapat memiliki afinitas yang berbeda terhadap tipe
reseptor yang berbeda sehingga dapat menghasilkan efek yang berbeda.
Contohnya adalah tamoksifen, suatu SERMs yang bersifat antagonis terhadap
reseptor estrogen pada sel payudara, tetapi agonis terhadap reseptor estrogen pada
sel endometrial uterus. Sehingga, tamoksifen dapat menghambat pertumbuhan sel
kanker payudara, tetapi berisiko memicu terjadinya kanker rahim (Ikawati, 2014)

 Mekanisme Reseptor Estrogen


Molekul reseptor estrogen memiliki tiga tempat ikatan spesifik, yaitu terhadap
ligan yang disebut ligand binding domain (LBD) atau disebut juga AF-2, terhadap
growth factor (disebut AF-1), dan terhadap DNA yang disebut DNA-binding
domain (DBD). DBD adalah bagian yang nantinya akan berikatan dengan
estrogen response element (ERE). Jika suatu reseptor estrogen berikatan dengan
ligannya, akan terjadi perubahan konformasi reseptor yang memungkinkannya
berikatan dengan ko-aktivator. Kompleks estrogen-reseptornya kemudian akan
berikatan dengan ERE yang terletak di dekat gen yang akan di control
transkripsinya. Setelah berikatan dengan ERE, kompleks tersebut akan berikatan
dengan suatu protein ko-aktivator dan mengaktifkan faktor transkripsi. Aktivasi
transkripsi gen tadi akan menghasilkan mRNA yang mengarahkan pada sintesis
protein tertentu yang kemudian memengaruhi proliferasi (Ikawati, 2014).
Dalam keadaan normal proliferasi dibutuhkan oleh tubuh karena dapat
mempengaruhi pertumbuhan sel baru, akan tetapi dalam keadaan tidak normal
proliferasi berlebihan akan menyebabkan terjadinya kanker atau estrogen terlalu
banyak (Supono, 1995).

7|Page
Gambar 1.2 Mekanisme reseptor estrogen
 Aksi Estrogen Fisiologis Pada Kanker Payudara
Unit lobuler saluran terminal dari jaringan payudara wanita-wanita muda
sangat responsif dengan estrogen. Pada jaringan payudara, estrogen menstimulasi
pertumbuhan dan diferensiasi saluran epitelium, menginduksi aktivitas mitotik
saluran sel-sel silindris, dan menstimulasi pertumbuhan jaringan penyambung.
Estrogen juga menghasilkan efek seperti histamin pada mikrosirkulasi payudara.
Densitas reseptor estrogen pada jaringan payudara sangat tinggi pada fase
folikuler dari siklus menstruasi dan menurun setelah ovulasi. Estrogen
menstimulasi pertumbuhan sel-sel kanker payudara. Pada wanita-wanita
postmenopause dengan kanker payudara, konsentrasi estradiol tumor tinggi,
karena aromatisasi in situ, meskipun adanya keonsentrasi estradiol serum yang
rendah (Guyton A, 1994).

 Obat-Obat Reseptor Estrogen


SERMs yang sudah di kembangkan dan disetujui hingga saat ini untuk
pengobatan kanker antara lain tamoksifen, fulvestrant (Faslodex) dan toremifen
(Fareston) (Ikawati, 2014).
a. Tamoksifen
Aturan Pakai : satu kali sehari satu tablet (single dose), dimana waktu
meminumnya bisa kapan saja dalam sehari itu. (Dianjurkan diminum
setiap hari pada waktu yang sama)
Efek Samping : Hot flushes, perdarahan vagina, vaginal discharge, dan
pruritus vulva. Retensi cairan, mual, muntah, pembesaran tumor, ruam
kulit, alopesia, lelah dan sakit kepala. Pada pria impotensi. Leukopenia,
dan atau trombositopenia, neutropenia (jarang). Perubahan pada
endometrium, mata. Troboemboli.
 Mekanisme Tamoksifen
Mekanisme tamoksifen, tamoksifen merupakan suatu SERMs
yang bersifat antagonis terhadap reseptor estrogen pada sel
payudara, tetapi agonis terhadap reseptor estrogen pada sel
endometrial uterus. Sehingga, tamoksifen dapat menghambat

8|Page
pertumbuhan sel kanker payudara, tetapi berisiko memicu
terjadinya kanker rahim (Ikawati, 2014).

Gambar 1.3 Mekanisme tamoksifen terhadap reseptor estrogen

2. REGULATOR FAAL SEL

 Pengisyaratan dan Tipe-tipenya

Pengisyaratan atau Pensinyalan adalah bagian sebuah sistem komunikasi yang


sangat kompleks pada tingkat seluler yang mengatur aktifitas dan koordinasi antar sel.
Prof. Subowo mengungkapkan bahwa komunikasi sel adalah proses penyampaian
informasi sel dari sel pesinyal menuju ke sel target untuk mengatur pengembangan dan
pengorganisasiannya menjadi jaringan, mengawasi pertumbuhan dan pembelahannya
serta mengkoordinasikan aktivitasnya. Sel berinteraksi dengan sel lain dengan cara
komunikasi langsung atau dengan mengirimkan sinyal kepada sel target. Berikut
macam-macam interaksi sel :

a. Komunikasi kontak langsung (autokrin)


Sel dapat berkomunikasi dengan cara kontak langsung. Baik sel hewan
maupun sel tumbuhan memiliki sambungan sel yang bila memang ada
memberikan kontinuitas sitoplasmik diantara sel-sel yang berdekatan. Dalam
hal ini, bahan pensinyalan yang larut dalam sitosol dapat dengan bebas
melewati sel yang berdekatan.

9|Page
b. Pensinyalan parakrin
Parakrin adalah sel penyekresi bekerja pada sel-sel target yang berdekatan
dengan melepas molekul regulator lokal (misalnya faktor pertumbuhan )
kedalam cairan luar sel.

c. Pensinyalan sinaptik
Sinaptik adalah tipe pensinyalan jarak jauh melalui sistem persarafan. Sel saraf
melepaskan molekul neurotransmiter kedalam sinapsis sehingga merangsang
sel target.

d. Pensinyalan endokrin/ hormonal


Hormone mensinyal sel target pada jarak yang lebih jauh. Pada hewan, sel
endokrin terspesialisasi mensekresi hormone ke dalam cairan tubuh yaitu
darah.

10 | P a g e
Metoda Penyampaian Sinyal :
Di dalam tubuh, terdapat tiga metode komunikasi antar sel, yaitu

a. Komunikasi langsung, adalah komunikasi antar sel yang sangat berdekatan.


Komunikasi ini terjadi dengan mentransfer sinyal listrik (ion-ion) atau sinyal
kimia melalui hubungan yang sangat erat antara sel satu dengan lainnya. Gap
junction merupakan protein saluran khusus yang dibentuk oleh protein connexin.
Gap junction memungkinkan terjadinya aliran ion-ion (sinyal listrik) dan
molekul-molekul kecil (sinyal kimia), seperti asam amino, ATP, cAMP dalam
sitoplasma kedua sel yang berhubungan.
b. Komunikasi lokal, adalah komunikasi yang terjadi melalui zat kimia yang
dilepaskan ke cairan ekstrasel (interstitial) untuk berkomunikasi dengan sel lain
yang berdekatan (sinyal parakrin) atau sel itu sendiri (sinyal autokrin).
c. Komunikasi jarak jauh, adalah komunikasi antar sel yang mempunyai jarak
cukup jauh. Komunikasi ini berlangsung melalui sinyal listrik yang dihantarkan
sel saraf dan atau dengan sinyal kimia (hormon atau neurohormon) yang
dialirkan melalui darah.

Tahapan komunikasi dalam sel dapat dilihat dari perspektif sel yang menerima
pesan, pensinyalan sel dibagi menjadi 3 tahapan yaitu:

a. Tahap penerimaan (reception)


Pada tahapan ini sel target mendeteksi molekul sinyal yang berasal dari luar sel.
Sinyal kimiawi terdeteksi ketika molekul sinyal berikatan dengan protein reseptor
yang terletak dipermukaan atau didalam sel.

b. Tahap pengikatan molekul (transduction)


Pada tahap ini molekul sinyal memiliki bentuk yang komplamenter dengan situs
reseptor yang melekat disitu seperti anak kunci dalam gembok atau substrat dalam
situs katalitik suatu enzim. Molekul sinyal berprilaku seperti ligan, istilah molekul

11 | P a g e
yang berikatan secara spesifik dengan molekul lain, seringkali yang berukurakan
besar. Pengikatan ligan menyebabkan protein reseptor mengalami perubahan
bentuk. Umumnya efek pengikatan ligan menjadi agregasi kedua atau lebih
mengaktivasi reseptor lain berinteraksi dengan molekul lainnya.

c. Tahap responsif (response)


Pada tahapan ini sinyal yang ditrandusikan menyebabkan aktivitas selular seperti
glikogen fospolirase, penyusunan ulang sitoskeleton ataupun aktivasi gen-gen
spesifik dalam nukleus.

 Jenis-Jenis Reseptor Dan Pengaruhnya Terhadap Aktivitas Sitoplasma

A. Reseptor dalam membran sel

Sebagian besar molekul sinyal larut-air berikatan pada protein reseptor dalam
membran sel. Reseptor ini mentransmisikan informasi dari lingkungan ekstraseluler
ke bagian dalam sel dengan cara mengubah bentuk saat berikatan dengan ligan. Tiga
tipe utama reseptor membran adalah:

1. G-protein (GTP-binding protein)-coupled receptors, merupakansuatu reseptor


pada sel membran yangmempunyai tujuh helix transmembran.
Penyaluransinyal yang timbul setelah G-protein coupled receptors berikatan
dengan ligan, baru mungkinterjadi bila G-protein ikut berperan aktif
untukmempengaruhi efektor yang berada dibawah pengaruhnya.
2. Reseptor tirosin-kinase (RTK). Reseptor yang terdapat pada membran sel,
terkadang bukan hanya suatu protein yang bekerja sebagai reseptor saja, namun
juga merupakan suatu enzim yang mampu menambah grup posphat kepada
residu tirosin spesifik dari protein itu sendiri. Terdapat dua macam tirosin
kinase (TK) yakni: pertama, RTK yang merupakan protein transmembran yang
memiliki domain diluar membrane sel yang mampu berikatan dengan ligan

12 | P a g e
serta domain didalam membrane sel yang merupakan suatu katalitik kinase.
Jenis kedua, merupakan non-RTK yang tidak memiliki protein transmembran
serta terdapat dalam sitoplasma, inti dan bagian dalam dari membran sel. Pada
G-proteincoupled receptors terdapat tujuh helix transmembran, sedangkan
reseptor tirosin kinase hanya mempunyai satu segmen transmembran meskipun
reseptor tipe ini dapat berupa monomer, dimmer ataupun tetramer.
3. Reseptor kinase serin, berperan pada aktivitas kerja dari aktivin, TGF-beta,
mulerianinhibiting substance (MIS), dan bone morphegenic protein (BMP).
Sebagai efektor dari reseptor kinase serin adalah kinase serin sendiri. Keluarga
dari reseptor ini meneruskan signal melalui suatu protein yang disebut sebagai
smads. Protein ini dapat berperan ganda, baik berperan sebagai penerus sinyal
(transducer) maupun sebagai faktor transkripsi.
4. Integrin. Hubungan antara sel dengan substrat dimediasi dengan adanya
integrin yang merupakan suatu protein transmembran yang mempunyai tempat
ikatan dengan berbagai material ekstra sel seperti fibronektin, kolagen ataupun
proteoglikan. Pada proses inflamsi, makrofag maupun fibroblast akan
mensintesa fibronektin yang merupakan matriks protein yang besar.
Fibronektin mempunyai fungsi sebagai chemotractant dan fungsi mitogenik
untuk fibroblast. Untuk menjalankan fungsi tersebut perlu adanya ikatan
fibronektin dengan reseptor integrim pada sel mononuklear maupun fibroblast.
Setiap reseptor pada membrane sel memiliki protein efektor dan jalur sinyal
tertentu. Efektor berperan dalam amplifikasi (peningkatan) suatu signal yang
timbul akibat adanya ikatan suatu ligan dengan reseptor spesifik pada membran
sel.

B. Reseptor Dalam Intraseluler


NR adalah kelas reseptor yang diaktifkan ligan faktor transkripsi yang akan
menghasilkan up atau down regulasi ekspresi gen. Berada didalam sel (sitoplasma)
atau di nukleus sel target. Memiliki dua tempat ikatan yaitu yang berikatan dengan
hormon atau ligan dan yang berikatan dengan bagian spesifik DNA yang dapat
secara langsung mengaktifkan transkripsi gen.

Reseptor ini terletak pada sitoplasma atau pada nukleus target. Untuk
mencapai reseptor ini pembawa pesan kimiawi menembus membran plasma sel
target. Molekul sinyal yang dapat melakukan hal ini adalah hormon steroid dan
tiroid karena termasuk pembawa pesan yang sifatnya hidrofobik.

Reseptor intraseluler adalah reseptor protein yang tidak berada pada


membran sel melainkan pada sitoplasma atau nukleus. Sinyal harus melewati
membran plasma terlebih dahulu sebelum bertemu dengan reseptor jenis ini (karena

13 | P a g e
ukuran molekul kecil dapat melewati membran atau merupakan lipid sehingga
terlarut dalam membran). Sinyal kimiawi dengan reseptor intraseluler misalnya
hormon steroid (testosteron) dan tiroid hewan yang berupa lipid serta molekul gas
kecil oksida nitrat. Mekanisme jalur transduksi sinyal (jalur-jalur merelai sinyal dari
reseptor ke respon seluler) seperti berikut:
a. Molekul yang merelay sinyal dari reseptor ke respon disebut molekul relay
(sebagian besar merupakan protein).
b. Molekul sinyal awal secara fisik tidak dilewatkan jalur pensinyalan (molekul
sinyal bahkan tidak pernah masuk sel).
Sinyal direlai sepanjang suatu jalur, artinya informasi tertentu dilewatkan. Pada
tiap tahap sinyal ditransduksi menjadi bentuk berbeda yaitu berupa perubahan
konformasi suatu protein yang disebabkan oleh fosforilasi. Fosforilasi protein
merupakan suatu cara pengaturan yang umum dalam sel dan merupakan mekanisme
utama transduksi sinyal.

Jalur pensinyalan bermula ketika molekul sinyal terikat pada reseptor


eseptor ini kemudian mengaktifkan satu molekul relai, yang mengaktifkan protein
kinase 1. Protein kinase 1 aktif ini mentransfer satu fosfat dari ATP ke molekul
protein kinase 2 yang inaktif, sehingga akan mengaktifkan kinase kedua ini.
Akibatnya, protein kinase 2 yang aktif ini mengkatalisis fosforilasi (dan aktivasi)
protein kinase 3. Akhirnya protein kinase 3 aktif ini memfosforilasi protein yang
menghasilkan respons akhir sel atas sinyal tadi. Enzim fosfatase mengkatalisis
pengeluaran gugus fosfat. Molekul kecil dan ion kecil tertentu merupakan
komponen utama jalur pensinyalan (second messenger), seperti AMP siklik
(cAMP) dan Ca2+, berdifusi melalui sitosol sehingga membantu memancarkan
sinyal ke seluruh sel secara cepat.

Respon akhir sel terhadap sinyal ekstraseluler disebut respon keluaran.


Respon sel terhadap sinyal berfungsi untuk mengatur aktivitas dalam sitoplasma
atau transkripsi dalam nukleus. Kekhususan pensinyalan sel menentukan molekul
sinyal apa yang akan diresponnya dan sifat responnya. Keempat sel dalam diagram
merespon molekul sinyal dengan cara yang berbeda karena masing-masing
memiliki kumpulan protein yang berbeda. Diagram sel A merupakan diagram jalur
pensinyalan dengan satu respon tunggal. Diagram sel B merupakan diagram jalur
pensinyalan dengan jalur bercabang sehingga. memunculkan dua respon yang
berbeda. Diagram sel C merupakan diagram jalur pensinyalan dengan reaksi saling-
sapa di antara kedua jalur yang membuat sel dapat memadukan informasi dari kedua
sinyal yang berbeda. Diagram sel D merupakan diagram jalur pensinyalan dengan
reseptor yang berbeda dengan reseptor pada sel A, B dan C.

14 | P a g e
C. Penjaman (fine-tuning) respons
Respons sel memiliki dua manfaat penting: jalur itu mengamplifikasi sinyal
(dan responsnya juga) serta menyediakan titik-titik yang berbeda, tempat respons
sel dapat di regulasi. Ini memungkinkan kordinasi jalur pensinyalan dan juga
berkontribusi dalam kespisikan respons. Efisiensi keseluruhan respons juga dapat
di tingkatkan oleh protein perencah. Terakhir, titik krusial penajaman respons
adalah pemutusan sinyal.
a. Amplifikasi Sinyal
Kaskade enzimyang rumit mengamplifikasi respons sel terhadap suatu
sinyal. Pada sewtiap langkah katalitik dalam kasakade ini, jumlah produk
yang teraktivasi jauh lebih besar pada tahap sebelumya. Misalnya, setiap
molekul adenilil siklase mengkatalisis pembentukan banyak molekul
cAMP, setiap protein kinase A memfosforilasi banyak molekul kinase
berikutnya dalam jalur, dan seterusnya.efek amplifikasi, sejumlah kecil
molekul epinefrin yang berkaitan dengan reseptor pada permukaan sel hati
atau sel otot dapat menyebabkan pelepasan ratusan juta molekul glukosa
dari glikogen.
b. Kespesifikan pensinyalan sel dan kordinasi respons
Ambilah contoh dua sel yang berbeda dalam tubuh anda sel hatidan sel otot
jantung. Keduanya bersentuhan dengan aliran darah sehingga terpapar
terus menerus ke banyak molekul hormone yang berbeda , dan regulator
lokal yang di sekresikan oleh sel-sel didekatnya. Akan tetapi sel hati hanya
akan merespons beberapa jenis sinyal dan mengabaikan sinyal yang lain;
demikian pula pada sel jantung(ini disebabkan karna jenis sel yang berbeda
menyalakan kumpulan gen yang berbada.) dengan demikian, dua sel yang
merespons secara berbeda terhadap sinyal yang sama memiliki perbedaan
satu atau lebih perotein yang menangani dan merespons sinyal tersebut.
c. Efesiensi pensinyalan: protein perancah dan kompleks pensinyalan
Efisiensi sinyal pada kasus dapat di tingkatkan oleh keberadaan protein
perancah (scaffolding protein), peroteinn relai besar yang di lekati oleh
beberapa protein relai lain secara bersamaan. Misalnya, satu protein
perancah yang di isolasi dari sel otak mencit memegang tiga protein kinase
dan membawa kinase-kinase ini bersamanya ketika protein perancah itu
berikatan dengan reseptor membran traktivasi yang sesuai: dengan
demikian, protein perancah memfasilitasi satu kaskade fosforilasi
sepesifik, faktanya para peneliti menemukan protein perancah dalam sel
otak yang secara permanen memegang bersama jejaring-jejaring protein
jalur pensinyalan pada sinapsis. ‘hardwiring’ ini meningkatkan kecepatan

15 | P a g e
dan akurasi transfer sinyal antar sel, karna laju interaksi antarprotein tidak
dibatasi oleh difusi.
d. Pemutusan sinyal : Agar sel dari suatu organisme multi selular tetap
waspada dan mampu merespons sinyal-sinyal yang datang, setiap
perubahan molecular dalam jalur pensinyalannya harus berlangsung hanya
dalam waktu singkat. Seperti pada contoh kolera, jika satu komponen jalur
pensinyalan terkunci dalam suatu kondisi, baik itu aktif maupun iakatif,
organisme dapat merasakan akibat yang sangat gawat. Dengan demikian,
kunci kemampuan sel untuk bisa terus menerus unntuk menerima regulasi
oleh sinyal adalah perubahann yang disebabkan oleh sinyal itu harus
bersifat bolak-balik; semakin rendah konsentrasi molekul sinyal, semakin
sedikit pula yang akan terikat dalam suatu saat. Ketika molekul sinyal
meninggalkan reseptor, reseptor kembali ke bentuk inaktif. Melalui cara
yang berfariasi, molekul relai kemudian kembali ke bentuk inakatif;
aktifitas GTPase yang merupakann bagian interistik datri perotein G akan
menghidrolisis GTP yang terikat enzim fosfodiesterase mengubah cAMP
menjadi AMP.
3. KEBUGARAN DAN RESPON IMUN
A. Pengertian
Sistem kekebalan tubuh atau sistem imun adalah sistem perlindungan dari
pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu
organisme sehingga tidak mudah terkena penyakit. Jika sistem imun bekerja
dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan
virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh.
Sebaliknya, jika sistem imun melemah, maka kemampuannya untuk
melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk
virus penyebab demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem imun
juga memberikan pengawasan terhadap pertumbuhan sel tumor. Terhambatnya
mekanisme kerja sistem imun telah dilaporkan dapat meningkatkan resiko
terkena beberapa jenis kanker.
B. Fungsi Sistem Kekebalan Tubuh
a) Melindungi tubuh dari serangan benda asing atau bibit penyakit yang
masuk ke dalam tubuh.
b) Menghilangkan jaringan sel yang mati atau rusak (debris cell) untuk
perbaikan jaringan.
c) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
d) Menjaga keseimbangan homeostatis dalam tubuh.

16 | P a g e
C. Penggolongan Sistem Kekebalan Tubuh
a) Berdasarkan Cara Mempertahankan Diri dari Penyakit
Sistem Pertahanan Tubuh Non Spesifik :
Sistem Pertahanan Tubuh Non Spesifik merupakan pertahanan
tubuh yang tidak membedakan mikrobia patogen satu dengan yang
lainnya. Ciri-cirinya :
 Tidak selektif
 Tidak mampu mengingat infeksi yang terjadi sebelumnya
 Eksposur menyebabkan respon maksimal segera
 Memiliki komponen yang mampu menangkal benda untuk
masuk ke dalam tubuh
Sistem pertahanan ini diperoleh melalui beberapa cara, yaitu :
 Pertahanan yang Terdapat di Permukaan Tubuh
a. Pertahanan Fisik
Pertahanan secara fisik dilakukan oleh lapisan
terluar tubuh, yaitu kulit dan membran mukosa, yang
berfungsi menghalangi jalan masuknya patogen ke dalam
tubuh. Lapisan terluar kulit terdiri atas sel-sel epitel yang
tersusun rapat sehingga sulit ditembus oleh patogen.
Lapisan terluar kulit mengandung keratin dan sedikit air
sehingga dapat menghambat pertumbuhan mikrobia.
Sedangkan membran mukosa yang terdapat pada saluran
pencernaan, saluran pernapasan, dan saluran kelamin
berfungsi menghalangi masuknya patogen ke dalam
tubuh.
b. Pertahanan Mekanis
Pertahanan secara mekanis dilakukan oleh rambut
hidung dan silia pada trakea. Rambut hidung berfungsi
menyaring udara yang dihirup dari berbagai partikel
berbahaya dan mikrobia. Sedangkan silia berfungsi
menyapu partikel berbahaya yang terperangkap dalam
lendir untuk kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh.
c. Pertahanan Kimiawi
Pertahanan secara kimiawi dilakukan oleh sekret
yang dihasilkan oleh kulit dan membran mukosa. Sekret
tersebut mengandung zat-zat kimia yang dapat
menghambat pertumbuhan mikrobia. Contoh dari sekret
tersebut adalah minyak dan keringat. Minyak dan keringat
memberikan suasana asam (pH 3-5) sehingga dapat
mencegah pertumbuhan mikroorganisme di kulit.

17 | P a g e
Sedangkan air liur (saliva), air mata, dan sekresi mukosa
(mukus) mengandung enzim lisozim yang dapat
membunuh bakteri dengan cara menghidrolisis dinding
sel bakteri hingga pecah sehingga bakteri mati.
d. Pertahanan Biologis
Pertahanan secara biologi dilakukan oleh populasi
bakteri tidak berbahaya yang hidup di kulit dan membran
mukosa. Bakteri tersebut melindungi tubuh dengan cara
berkompetisi dengan bakteri patogen dalam memperoleh
nutrisi.
 Respons Peradangan (Inflamasi)
Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap kerusakan
jaringan, misalnya akibat tergores atau benturan keras. Proses
inflamasi merupakan kumpulan dari empat gejala sekaligus,
yakni dolor (nyeri), rubor (kemerahan), calor (panas), dan
tumor (bengkak). Inflamasi berfungsi mencegah penyebaran
infeksi dan mempercepat penyembuhan luka. Reaksi inflamasi
juga berfungsi sebagai sinyal bahaya dan sebagai perintah agar
sel darah putih (neutrofil dan monosit) melakukan fagositosis
terhadap mikrobia yang menginfeksi tubuh. Mekanisme
inflamasi dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Adanya kerusakan jaringan sebagai akibat dari luka,
sehingga mengakibatkan patogen mampu melewati
pertahanan tubuh dan menginfeksi sel-sel tubuh.
2. Jaringan yang terinfeksi akan merangsang mastosit untuk
mengekskresikan histamin dan prostaglandin.
3. Terjadi pelebaran pembuluh darah yang meningkatkan
kecepatan aliran darah sehingga permeabilitas pembuluh
darah meningkat.
4. Terjadi perpindahan sel-sel fagosit (neutrofil dan monosit)
menuju jaringan yang terinfeksi.
5. Sel-sel fagosit memakan patogen.
 Fagositosis
Fagositosis adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan
oleh sel-sel fagosit dengan cara mencerna mikrobia/partikel
asing. Sel fagosit terdiri dari dua jenis, yaitu fagosit
mononuklear dan fagosit polimorfonuklear. Contoh fagosit
mononuklear adalah monosit (di dalam darah) dan jika
bermigrasi ke jaringan akan berperan sebagai makrofag.
Contoh fagosit polimorfonuklear adalah granulosit, yaitu

18 | P a g e
neutrofil, eosinofil, basofil, dan cell mast (mastosit). Sel-sel
fagosit akan bekerja sama setelah memperoleh sinyal kimiawi
dari jaringan yang terinfeksi patogen. Berikut ini adalah proses
fagositosis :
1. Pengenalan (recognition), mikrobia atau partikel asing
terdeteksi oleh sel-sel fagosit.
2. Pergerakan (chemotaxis), pergerakan sel fagosit menuju
patogen yang telah terdeteksi. Pergerakan sel fagosit
dipacu oleh zat yang dihasilkan oleh patogen.
3. Perlekatan (adhesion), partikel melekat dengan reseptor
pada membran sel fagosit.
4. Penelanan (ingestion), membran sel fagosit menyelubungi
seluruh permukaan patogen dan menelannya ke dalam
sitoplasma yang terletak dalam fagosom.
5. Pencernaan (digestion), lisosom yang berisi enzim-enzim
bergabung dengan fagosom membentuk fagolisosom dan
mencerna seluruh permukaan patogen hingga hancur.
Setelah infeksi hilang, sel fagosit akan mati bersama
dengan sel tubuh dan patogen. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya nanah.
6. Pengeluaran (releasing), produk sisa patogen yang tidak
dicerna akan dikeluarkan oleh sel fagosit.
 Protein Antimikrobia
Protein yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh non
spesifik adalah protein komplemen dan interferon. Protein
komplemen membunuh patogen dengan cara membentuk
lubang pada dinding sel dan membran plasma bakteri tersebut.
Hal ini menyebabkan ion Ca2+ keluar dari sel, sementara cairan
dan garam-garam dari luar bakteri akan masuk ke dalamnya
dan menyebabkan hancurnya sel bakteri tersebut.
Interferon dihasilkan oleh sel yang terinfeksi virus.
Interferon dihasilkan saat virus memasuki tubuh melalui kulit
dan selaput lendir. Selanjutnya, interferon akan berikatan
dengan sel yang tidak terinfeksi. Sel yang berikatan ini
kemudian membentuk zat yang mampu mencegah replikasi
virus sehingga serangan virus dapat dicegah.
Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik :
Sistem Pertahanan Tubuh Spesifik merupakan pertahanan
tubuh terhadap patogen tertentu yang masuk ke dalam tubuh.

19 | P a g e
Sistem ini bekerja apabila patogen telah berhasil melewati sistem
pertahanan tubuh non spesifik. Ciri-cirinya :
 Bersifat selektif
 Tidak memiliki reaksi yang sama terhadap semua jenis
benda asing
 Mampu mengingat infeksi yang terjadi sebelumnya
 Melibatkan pembentukan sel-sel tertentu dan zat kimia
(antibodi)
 Perlambatan waktu antara eksposur dan respons maksimal

Sistem pertahanan tubuh spesifik terdiri atas beberapa komponen,


yaitu:
 Limfosit
a) Limfosit B (Sel B)
Proses pembentukan dan pematangan sel B terjadi di
sumsum tulang. Sel B berperan dalam pembentukan
kekebalan humoral dengan membentuk antibodi. Sel B
dapat dibedakan menjadi :
1. Sel B plasma, berfungsi membentuk antibodi.
2. Sel B pengingant, berfungsi mengingat antigen yang
pernah masuk ke dalam tubuh serta menstimulasi
pembentukan sel B plasma jika terjadi infeksi kedua.
3. Sel B pembelah, berfungsi membentuk sel B plasma
dan sel B pengingat.
b) Limfosit T (Sel T)
Proses pembentukan sel T terjadi di sumsum tulang,
sedangkan proses pematangannya terjadi di kelenjar
timus. Sel T berperan dalam pembentukan kekebalan
seluler, yaitu dengan cara menyerang sel penghasil
antigen secara langsung. Sel T juga membantu produksi
antibodi oleh sel B plasma. Sel T dapat dibedakan menjadi
:
1. Sel T pembunuh, berfungsi menyerang patogen yang
masuk dalam tubuh, sel tubuh yang terinfeksi, dan sel
kanker secara langsung.
2. Sel T pembantu, berfungsi menstimulasi
pembentukan sel B plasma dan sel T lainya serta
mengaktivasi makrofag untuk melakukan fagositosis.
3. Sel T supresor, berfungsi menurunkan dan
menghentikan respons imun dengan cara

20 | P a g e
menurunkan produksi antibodi dan mengurangi
aktivitas sel T pembunuh. Sel T supresor akan bekerja
setelah infeksi berhasil ditangani.
 Antibodi (Immunoglobulin/Ig)
Antibodi akan dibentuk saat ada antigen yang masuk ke
dalam tubuh. Antigen adalah senyawa protein yang ada pada
patogen sel asing atau sel kanker. Antibodi disebut juga
immunoglobulin atau serum protein globulin, karena berfungsi
untuk melindungi tubuh melalui proses kekebalan (immune).
Antibodi merupakan senyawa protein yang berfungsi melawan
antigen dengan cara mengikatnya, untuk selanjutnya
ditangkap dan dihancurkan oleh makrofag. Suatu antibodi
bekerja secara spesifik untuk antigen tertentu. Karena jenis
antigen pada setiap kuman penyakit bersifat spesifik, maka
diperlukan antibodi yang berbeda untuk jenis kuman yang
berbeda. Oleh karena itu, diperlukan berbagai jenis antibodi
untuk melindungi tubuh dari berbagai kuman penyakit.
Antibodi tersusun dari dua rantai polipeptida yang identik,
yaitu dua rantai ringan dan dua rantai berat. Keempat rantai
tersebut dihubungkan satu sama lain oleh ikatan disulfida dan
bentuk molekulnya seperti huruf Y. Setiap lengan dari molekul
tersebut memiliki tempat pengikatan antigen. Beberapa cara
kerja antibodi dalam menginaktivasi antigen yaitu :
 Netralisasi (menghalangi tempat pengikatan virus,
membungkus bakteri dan atau opsonisasi)
 Aglutinasi partikel yang mengandung antigen, seperti
mikrobia
 Presipitasi (pengendapan) antigen yang dapat larut
 Fiksasi komplemen (aktivasi komplemen)
Antibodi dibedakan menjadi lima tipe seperti pada tabel di
bawah ini.

Tabel 2.3.1 Tipe-Tipe Antibodi Beserta Karakteristiknya


No. Tipe Antibodi Karakteristik

Pertama kali dilepaskan ke aliran darah pada saat


1. IgM terjadi infeksi yang pertama kali (respons
kekebalan primer)

2. IgG Paling banyak terdapat dalam darah dan


diproduksi saat terjadi infeksi kedua (respons

21 | P a g e
kekebalan sekunder). Mengalir melalui plasenta
dan memberi kekebalan pasif dari ibu kepada
janin.

Ditemukan dalam air mata, air ludah, keringat,


dan membran mukosa. Berfungsi mencegah
3. IgA infeksi pada permukaan epitelium. Terdapat
dalam kolostrum yang berfungsi untuk mencegah
kematian bayi akibat infeksi saluran pencernaan

Ditemukan pada permukaan limfosit B sebagai


4. IgD reseptor dan berfungsi merangsang pembentukan
antibodi oleh sel B plasma.

Ditemukan terikat pada basofil dalam sirkulasi


darah dan cell mast (mastosit) di dalam jaringan
5. IgE yang berfungsi memengaruhi sel untuk
melepaskan histamin dan terlibat dalam reaksi
alergi.

Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa sistem kekebalan


tubuh berdasarkan cara mempertahankan diri dari penyakit terdiri atas
beberapa lapis seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.3.2 Beberapa Lapis Pertahanan Tubuh terhadap Penyakit


Pertahanan Tubuh
Pertahanan Tubuh Non Spesifik Spesifik

Pertahanan Pertama Pertahanan Kedua Pertahanan Ketiga

 Kulit  Inflamasi  Limfosit


 Membran mukosa  Sel-sel fagosit  Antibodi
 Rambut hidung dan silia  Protein
pada trakea antimikrobia
 Cairan sekresi dari kulit
dan membran mukosa

b) Berdasarkan Mekanisme Kerja


1) Kekebalan Humoral
Kekebalan humoral melibatkan aktivitas sel B dan antibodi
yang beredar dalam cairan darah dan limfe. Ketika antigen masuk

22 | P a g e
ke dalam tubuh untuk pertama kali, sel B pembelah akan
membentuk sel B pengingat dan sel B plasma. Sel B plasma akan
menghasilkan antibodi yang mengikat antigen sehingga makrofag
akan mudah menangkap dan menghancurkan patogen. Setelah
infeksi berakhir, sel B pengingat akan tetap hidup dalam waktu
lama. Serangkaian respons ini disebut respons kekebalan primer.
Apabila antigen yang sama masuk kembali dalam tubuh, sel
B pengingat akan mengenalinya dan menstimulasi pembentukan
sel B plasma yang akan memproduksi antibodi. Respons tersebut
dinamakan respons kekebalan sekunder.
Respons kekebalan sekunder terjadi lebih cepat dan
konsentrasi antibodi yang dihasilkan lebih besar daripada respons
kekebalan primer. Hal ini disebabkan adanya memori imunologi,
yaitu kemampuan sistem imun untuk mengenali antigen yang
pernah masuk ke dalam tubuh.
2) Kekebalan Seluler
Kekebalan seluler melibatkan sel T yang bertugas
menyerang sel asing atau jaringan tubuh yang terifeksi secara
langsung. Ketika sel T pembunuh terkena antigen pada permukaan
sel asing, sel T pembunuh akan menyerang dan menghancurkan sel
tersebut dengan cara merusak membran sel asing. Apabila infeksi
berhasil ditangani, sel T supresor akan mengehentikan respons
kekebalan dengan cara menghambat aktivitas sel T pembunuh dan
membatasi produksi antibodi.
c) Berdasarkan Cara Memperolehnya
1) Kekebalan Aktif
Kekebalan aktif merupakan kekebalan yang dihasilkan oleh
tubuh itu sendiri. Kekebalan aktif dapat diperoleh secara alami
maupun buatan.
a. Kekebalan Aktif Alami
Kekebalan aktif alami diperoleh seseorang setelah
mengalami sakit akibat infeksi suatu kuman penyakit. Setelah
sembuh, orang tersebut akan menjadi kebal terhadap penyakit
itu. Misalnya, seseorang yang pernah sakit campak tidak akan
terkena penyakit tersebut untuk kedua kalinya.
b. Kekebalan Aktif Buatan
Kekebalan aktif buatan diperoleh melalui vaksinasi atau
imunisasi. Vaksinasi adalah proses pemberian vaksin ke dalam
tubuh. Vaksin merupakan siapan antigen yang dierikan secara
oral (melalui mulut) atau melalui suntikan untuk merangsang

23 | P a g e
mekanisme pertahanan tubuh terhadap patogen. Vaksin dapat
berupa suspensi mikroorganisme yang telah dilemahkan atau
dimatikan. Vaksin juga dapat berupa toksoid atau ekstrak
antigen dari suatu patogen yang telah dilemahkan. Vaksin
yang dimasukkan ke dalam tubuh akan menstimulasi
pembentukan antibodi untuk melawan antigen sehingga tubuh
menjadi kebal terhadap penyakit yang menyerangnya.
Kekebalan karena vaksinasi biasanya memiliki jangka
waktu tertentu, sehingga permberian vaksin harus diulang lagi
setelah beberapa lama. Hal ini dilakukan karena jumlah
antibodi dalam tubuh semakin berkurang sehingga imunitas
tubuh juga menurun. Beberapa jenis penyakit yang dapat
dicegah dengan vaksinasi antara lain cacar, tuberkulosis,
dipteri, hepatitis B, pertusis, tetanus, polio, tifus, campak, dan
demam kuning. Vaksin untuk penyakit tersebut biasanya
diproduksi dalam skala besar sehingga harganya dapat
terjangkau oleh masyarakat.
Secara garis besar, vaksin dikelompokkan menjadi 4 jenis
yaitu:
1. Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG), polio jenis
sabin, dan campak. Vaksin ini terbuat dari
mikroorganisme yang telah dilemahkan.
2. Vaksin pertusis dan polio jenis salk. Vaksin ini
berasal dari mikroorganisme yang telah dimatikan.
3. Vaksin tetanus toksoid dan difteri. Vaksin ini berasal
dari toksin (racun) mikrooganisme yang telah
dilemahkan/diencerkan konsentrasinya.
4. Vaksin hepatitis B. Vaksin ini terbuat dari protein
mikroorganisme.
2) Kekebalan Pasif
Kekebalan pasif merupakan kebalikan dari kekebalan aktif.
Kekebalan pasif diperoleh setelah menerima antibodi dari luar
tubuh, baik secara alami maupun buatan.
a. Kekebalan Pasif Alami
Kekebalan pasif alami dapat ditemukan pada bayi setelah
menerima antibodi dari ibunya melalui plasenta saat masih
berada di dalam kandungan. Kekebalan ini juga dapat
diperoleh dengan pemberian ASI pertama (kolostrum) yang
mengandung banyak antibodi.
b. Kekebalan Pasif Buatan

24 | P a g e
Kekebalan pasif buatan diperoleh dengan cara
menyuntikkan antibodi yang diekstrak dari suatu individu ke
tubuh orang lain sebagai serum. Kekebalan ini berlangsung
singkat, tetapi mampu menyembuhkan dengan cepat.
Contohnya adalah pemberian serum antibisa ular kepada orang
yang dipatuk ular berbisa.
D. GANGGUAN PADA SISTEM KEKEBALAN TUBUH
a) Alergi
Alergi atau hipersensivitas adalah respons imun yang berlebihan
terhadap senyawa yang masuk ke dalam tubuh. Senyawa tersebut
dinamakan alergen. Alergen dapat berupa debu, serbuk sari, gigitan
serangga, rambut kucing, dan jenis makanan tertentu, misalnya udang.
Proses terjadinya alergi diawali dengan masuknya alergen ke
dalam tubuh yang kemudian merangsang sel B plasma untuk
menyekresikan antibod IgE. Alergen yang pertama kali masuk ke
dalam tubuh tidak akan menimbulkan alergi, namun IgE yang terbentuk
akan berikatan dengan mastosit. Akibatnya, ketika alergen masuk ke
dalam tubuh untuk kedua kalinya, alergen akan terikat pada IgE yang
telah berikatan dengan mastosit. Mastosit kemudian melepaskan
histamin yang berperan dalam proses inflamasi. Respons inflamasi ini
mengakibatkan timbulnya gejala alergi seperti bersin, kulit terasa gatal,
mata berair, hidung berlendir, dan kesulitan bernapas. Gejala alergi
dapat dihentikan dengan pemberian antihistamin.
b) Autoimunitas
Autoimunitas merupakan gangguan pada sistem kekebalan tubuh
saat antibodi yang diproduksi justru menyerang sel-sel tubuh sendiri
karena tidak mampu membedakan sel tubuh sendiri dengan sel asing.
Autoimunitas dapat disebabkan oleh gagalnya proses pematangan sel T
di kelenjar timus. Autoimunitas menyebabkan beberapa kelainan, yaitu
:
1. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus disebabkan oleh antibodi yang
menyerang sel-sel beta di pankreas yang berfungsi
menghasilkan hormon insulin. Hal ini mengakibatkan tubuh
kekurangan hormon insulin sehingga kadar gula darah
meningkat.
2. Myasthenia gravis
Myasthenia gravis disebabkan oleh antibodi yang
menyerang otot lurik sehingga otot lurik mengalami kerusakan.
3. Addison’s disease

25 | P a g e
Addison’s disease disebabkan oleh antibodi yang
menyerang kelenjar adrenal. Hal ini mengakibatkan berat badan
menurun, kadar gula darah menurun, mudah lelah, dan
pigmentasi kulit meningkat.

4. Lupus
Lupus disebabkan oleh antibodi yang menyerang tubuh
sendiri. Pada penderita lupus, antibodi menyerang tubuh dengan
dua cara, yaitu :
 Antibodi menyerang jaringan tubuh secara langsung.
Misalnya, antibodi yang menyerang sel darah merah
sehingga menyebabkan anemia.
 Antibodi bergabung dengan antigen sehingga
membentuk ikatan yang dianamakan kompleks imun.
Dalam kondisi normal, sel asing yang antigennya telah
diikat oleh antibodi selanjutnya akan ditangkap dan
dihancurkan oleh sel-sel fagosit. Namun, pada penderita
lupus, sel-sel asing ini tidak dapat dihancurkan oleh sel-
sel fagosit dengan baik. Jumlah sel fagosit justru akan
semakin bertambah sambil mengeluarkan senyawa yang
menimbulkan inflamasi. Proses inflamasi ini akan
menimbulkan berbagai gejala penyakit lupus. Jika
terjadi dalam jangka panjang, fungsi organ tubuh akan
terganggu.
5. Radang sendi (artritis reumatoid)
Radang sendi merupakan penyakit autoimunitas yang
menyebabkan peradangan dalam waktu lama pada sendi.
Penyakit ini biasanya mengenai banyak sendi dan ditandai
dengan radang pada membran sinovial dan struktur sendi, atrofi
otot, serta penipisan tulang.
c) AIDS
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) merupakan
kumpulan berbagai penyakit yang disebabkan oleh melemahnya sistem
kekebalan tubuh. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi HIV (Human
Immunodeficiency Virus) yang menyerang sel T pembantu yang
berfungsi menstimulasi pembentukan sel B plasma dan jenis sel T
lainnya. Hal ini mengakibatkan berkurangnya kemampuan tubuh dalam
melawan berbagai kuman penyakit.

26 | P a g e
Sel T pembantu menjadi target utama HIV karena pada permukaan
sel tersebut terdapat molekul CD4 sebagai reseptor. Infeksi dimulai
ketika molekul glikoprotein pada permukaan HIV menempel ke
reseptor CD4 pada permukaan sel T pembantu. Selanjutnya, HIV
masuk ke dalam sel T pembantu secara endositosis dan mulai
memperbanyak diri. Kemudian, virus-virus baru keluar dari sel T yang
terinfeksi secara eksositosis atau melisiskan sel.
Jumlah sel T pada orang normal sekitar 1.000 sel/mm3 darah,
sedangkan pada penderita AIDS, jumlah sel T-nya hanya sekitar 200
sel/mm3. Kondisi ini menyebabkan penderita AIDS mudah terserang
berbagai penyakit seperti TBC, meningitis, kanker darah, dan
melemahnya ingatan.
Penderita HIV positif umumnya masih dapat hidup dengan normal
dan tampak sehat, tetapi dapat menularkan virus HIV. Penderita AIDS
adalah penderita HIV positif yang telah menunjukkan gejala penyakit
AIDS. Waktu yang dibutuhkan seorang penderita HIV positif untuk
menjadi penderita AIDS relatif lama, yaitu antara 5-10 tahun. Bahkan
ada penderita HIV positif yang seumur hidupnya tidak menjadi
penderita AIDS. Hal tersebut dikarenakan virus HIV di dalam tubuh
membutuhkan waktu untuk menghancurkan sistem kekebalan tubuh
penderita. Ketika sistem kekebalan tubuh sudah hancur, penderita HIV
positif akan menunjukkan gejala penyakit AIDS. Penderita yang telah
mengalami gejala AIDS atau penderita AIDS umumnya hanya mampu
bertahan hidup selama dua tahun.
Gejala-gejala penyakit AIDS yaitu :
 Gangguan pada sistem saraf
 Penurunan libido
 Sakit kepala
 Demam
 Berkeringat pada malam hari selama berbulan-bulan
 Diare
 Terdapat bintik-bintik berwarna hitam atau keunguan pada
sekujur tubuh
 Terdapat banyak bekas luka yang belum sembuh total
 Terjadi penurunan berat badan secara drastis
Cara penularan virus HIV/AIDS :
 Hubungan seks dengan penderita HIV/AIDS
 Pemakaian jarum suntik bersama-sama dengan penderita
 Transfusi darah yang terinfeksi HIV/AIDS

27 | P a g e
 Bayi yang minum ASI penderita HIV/AIDS atau dilahirkan
dari seorang ibu penderita HIV/AIDS
Cara mencegah penularan HIV/AIDS :
 Menghindari hubungan seks di luar nikah
 Memakai jarum suntik yang steril
 Menghindari kontak langsung dengan penderita HIV/AIDS
yang terluka
 Menerima transfusi darah yang tidak terinfeksi HIV/AIDS

E. Cara Mempertahankan Sistem Kekebalan Tubuh


1. Nutrisi yang sempurna
Setiap makanan yang kita makan harus mencakup berbagai nutrisi
untuk tubuh kita karena nutrisi dan sistem imun saling berkaitan. Oleh
karena itu, penting bagi kita untuk memakan makanan yang mengandung
:
 Protein
Protein diperlukan untuk menghasilkan immunoglobulin dan
berbagai antibodi. Protein dapat diperoleh dari daging, ikan, telur,
dan kacang-kacangan.
 Vitamin dan mineral
Vitamin dan mineral dapat diperoleh dari berbagai jenis sayuran
dan buah.
 Teh hijau
Teh hijau mengandung antioksidan flavonoid yang dapat
membantu meningkatkan sistem imun. Para ahli sains menemukan
bahwa kandungan theanine pada daun teh dapat membantu sel
imun badan dalam melawan bakteri dan virus.
 Aloevera
Aloevera mengandung zat aktif seperti asam amino dan vitamin
yang dapat membantu badan dalam mengeluarkan toksin,
memulihkan jaringan yang terluka, dan meningkatkan sistem imun
badan dengan cepat.
2. Olahraga yang sesuai
Olahraga minimal 15 menit setiap hari secara berkelanjutan dapat
meningkatkan ketahanan tubuh. Olahraga seperti jogging, berenang,
berjalan, dan yoga dapat meningkatkan peredaran darah, menguatkan
jantung, dan meningkatkan sistem imun dalam tubuh.
3. Senantiasa gembira dan bijak menangani tekanan
Tekanan psikologi yang berkepanjangan dapat mengganggu
mekanisme sistem imun dalam tubuh. Apabila otak merasa tertekan, otak

28 | P a g e
akan menghasilkan hormon kortisol yang jika berlebihan akan berdampak
negatif bagi sistem kekebalan tubuh kita.

4. POLA HIDUP SEHARI HARI DAN PSIKONEUROIMUNOLOGI


Psikoneuroimunologi adalah ilmu yang mempelajari kaitan antara sisitem
imunitas dan perilaku melalui saraf. Stres yang berkepanjangan menyebabkan
sakit atau merusak fungsi otak. Penyebab umumnya karena kadar glukokortikoid,
norepinefrin, dan epinefrin naik. Kenaikan zat – zat (nerotransmiter) ini menekan
aktivitas limfosit B juga limfosit T sehingga pertahanan terhadap mikro-
organisme penyerang berkurang. Selain itu ada NKC yang keluar dari jaringan.
Ader dan Coher (1975) menyimpulkan bahwa sistem imunitas bekerja
melalui “learning by conditioning” dan ini melalui dua alur yaitu ;
1. Sistem endokrin
2. Sitem saraf.
Sistem endokrin, melepaskan banyak glukokortikoid yang dibentuk oleh
hipotalamus, selanjutnya ditransportasi melalui pembuluh darah portal ke hipofise
lobus posterior. Sistem saraf, melalui simpatikus merawat kelenjar timus, sumsum
tulang dan limpa untuk memproduksi sel T dan subpopulasinya serta sel B.

BEBAN HIDUP DAN STRES


Bila seseorang merasa tidak senang atau tidak bahagia, atau depresi maka terjadi
supresi IgA yang mengakibatkan orang mudah terserang infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA).
Bartop (1977) menunjukkan penurunan aktivitas limfosit pada orang yang
sedih, dan schleifer (1983) juga menemukan pada orang demikian terjadi
penurunan imunoglobulin humoral maupun selular.
Psikoneuroimunologi adalah ilmu yang mempelajari “interaksi antara
sistem imunitas dan perilaku melalui sistem saraf, sedang sistem imunitas berupa
suatu jaringan alat tubuh yang melindungi badan terhadap invasi bakteri, virus,
dan benda asing lain (corpus alienium)
Stres psikis maupun fisik yang berlangsung terus menerus untuk waktu
yang lama dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan, malah juga dapat
merusak otak. Salah satu penyebab utamanya adalah peningkatan kadar
glucocorticoid, epinefrin maupun norepinefrin. Ini masuk dalam golongan
neurotransmiter dan neuromodulator. Gangguan pada berbagai molekul ini akan
mengganggu sistem imunitas. Sistem imunitas dihasilkan dari sumsum tulang,
yaitu limfosit B dan kelenjar timus, yaitu limfosit T. Antibodi berupa suatu rantai
protein. Dengan memperkenalkan sistem imunitas pada berbagai benda asing,
yang berupa bakteri, virus atau sel tumor, sistem imun dapat mengenal berbagai
benda asing yang menyusup kedalam tubuh melalui ‘kartu panggilnya’ yaitu

29 | P a g e
antigen yang dimiliki penyusup. Proses pengenalan ini disebut sebagai proses
belajar.

CARA SISTEM SARAF MENGONTROL SISTEM IMUN


Stres ternyata menyebabkan supresi sistem imun. Hal ini mengakibatkan
risiko terserang penyakit menjadi lebih besar. Juga dapat memperbesar
kemungkinan kejadian penyakit autoimunitas. Ini disebabkan oleh peningkatan
sekresi glucocorticoid yang mensupresi aktivitas sistem imun. Semua lekosit
mempunyai reseptor glucocorticoid, sedangkan supresi sistem kekebalan
diperkirakan terjadi karena berbagai reseptor ini dikendalikan oleh otak, maka
otak mempunyai peran dalam melakukan supresi. Karena otak adalah pengendali
glukosteroid maka otak yang bertanggung jawab pada pengaruh supresi sistem
imun. Renjatan listrik pada mencit mengakibatkan penurunan jumlah limfosit di
perifer (keller 1983). Penurunan jumlah limfosit disebabkan oleh pelepasan
glucocorticoid yang dipicu oleh stres.
Ader dan Cohen (1975) menyimpulkan dari penelitiannya bahwa sistem
imun bekerja melalui proses belajar yang diisyaratkan (learning by conditioning).
Hal ini merupakan landasan pemikiran baru yang menunjukkan terdapat
hubungan erat antara psikis dan sistem imun. Mekanisme yang ditempuh dapat
dijelaskan melewati dua alur yaitu dengan perantaraan neurotransmiter atau
neuromodulator, sinyal ditangkap dan ditanggapi oleh saraf dan selanjutnya
disalurkan lewat :
1. Sistem endokrin dengan melepaskan banyak glucocorticoid Hormon –
hormon ini dibentuk oleh hipotalamus melalui pembuluh darah portal ke hipofisis
lobus posterior.
2. Sistem saraf : yaitu lewat nervus simpatis yang merawat kelenjar timus,
sumsum tulang, dan limpa untuk memproduksi sel T dan subpopulasinya serta sel

Beban hidup dan stres merupakan perasaan tidak senang atau tidak
bahagia, atau depresi dapat mengakibatkan supresi terhadap IgA yang
mengakibatkan orang terserang infeksi pernafasan atas. Sedih karena kekasih
meninggal, diteliti oleh Bartrop (1977) menunjukkan penurunan aktivitas limfosit
darah. Schleifer (1983) menunjukkan penurunan imunologi humoral maupun
selular pada penderita yang sedih.
Pada binatang percobaan, pemisah anak dan induknya untuk waktu pendek
ataupun lama menunjukkan penurunan prolifersi limfosit, yaitu sel Thelper, yang
ditunjukkan dengan pemberiaan rangsangan dengan phytohemagglutinin
(PHA)atau penurunan sel Th dan sel T sitotoksik pada rangsangan dengan
cancavalin (Con A)

30 | P a g e
Friedman dan Resonman (1959) mengidentifikasi ada 2 tipe manusia,
yaitu tipe A dan yang tipe B atas dasar perilakunya. Mereka yang tipe A
berperilaku sangat kuat dalam kompetinsi, mudah marah, bicaranya cepat. Mereka
yang tipe ini mudah mendapat sakit jantung coroner. Sedang mereka yang tipe B
bersifat berlawan dengan tipe A , kurang kompetitif, sabar, tak suka bermusuhan,
mudah bergaul, dan mempunyai toleransi besar.
Laudslager (1983) berkesimpulan bahwa bukan hanya stressor yang
menentukan orang akan mudah mendapat sakit, baik itu infeksi ataupun bukan,
namun juga tergantung pada diri orang dalam mengatasi stressor ( coping
mechanism) . coping mechanism ini menjadi topik yang sangat penting
menyangkut mekanisme pengaruh psikis pada system imun.
Vasopressin ternyata menunjang “retrieval” sedang oksitosin justru
sebaliknya dan hal ini pada gilirannya akan berpengaruh pada system imun.
Kedua hormon tersebut merupakan oktapedite yang berfungsi juga sebagai
neurotransmitter.

5. PENGARUH OPIAD TUBUH TERHADAP IMUNITAS TUBUH


 Defenisi Opiad dan Reseptor nya
Opiad adalah obat-obat yang berasal dari opium, meliputi bahan alam
morfin, kodein,tebain dan banyak senyawa sejenis semisintetik yang
diturunkan dari obat-obat tersebut . Opium adalah getah papaver somniferum
yang telah dikeringkan yang banyak ditemukan di Turki dan India.
Istilah digunakan untuk semua obat baik alami maupun sintetik yang dapat
menduduki reseptor opiad di tubuh manusia. istilah opiat digunakan untuk
semua obat yang diekstrak dari tumbuhan opium yang menempati dan bekerja
pada reseptor opioid. Tepung opium terdiri dari berbagai unsur tetapi unsur
farmakologi aktif adalah alkaloid (25 jenis ) yang pertama kali diisolasi oleh
Sturner (1803). Alkaloid yang diperoleh dari opium dapat digolongkan
kedalam dua grup yaitu grup fenantren dan benzili isoquinolin.
Morfin adalah alkaloid utama grup fenantren sedangkan papaverin
mewakili isoquoinolin.Istilah endomorfin bersinonim dengan peptide opioid
endogen,tetapi juga menunjuk pada opioid endogenspesifik yaitu Β -endorfin.
Tiga kelompok peptida opioid klasik yang berbeda telah diidentifikasi
yaitu:enkefalin, endorfin dan dinorfin. Masing-masing kelompok berasal dari
suatu prekursor polipeptida yang berbeda dan memiliki distribusi anatomis
yang khas (Goodman &Gilman. 2001).
Opioid adalah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan
dengan reseptor morfin. Opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang
sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat
pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Istilah opioid digunakan untuk

31 | P a g e
semua senyawa yang berkaitan dengan opium. Opioid merupakan senyawa
alami atau sintetik yang menghasilkan efek sepertimorfin. Istilah opioid
dicadangkan untuk obat-obatan seperti morfin dan kodein, yang didapat dari
sari buah popi opium. Semua obat dalam kategori ini bekerja dengan jalan
mengikat reseptor spesifik pada SSP. Untuk menghasilkan efek meniru
neurotransmitter peptide endogen, opiopeptin. Opioid berinteraksi secara
stereospesifik dengan reseptor protein pada membranesel sel tertentu pada
ssp, pada ujung saraf perifer dan pada sel-sel saluran cerna. Efek utama opioid
diperantarai oleh 4 famili reseptor yang ditunjukkan dengan huruf
yunanikuno μ, δ, к dan σ. Pada umumnya kuatnya ikatan berkorelasi dengan
analgesia. Sifat-sifat anlgesik diperantarai oleh reseptor μ, tetapi reseptor к
pada kornu dorsalis jugamenyokong.enkefalin berinteraksi lebih selektif
dengan reseptor δ di perifer. Reseptor σkurang spesifik, reseptor ini juga
mengikat obat-obat non opioid seperti halusinogenfensiklidin. Distribusi
reseptor opioid densitas tinggi terdapat pada lima daerah umum ssp yang
diketahui terlibat dalam mengintegrasi pembentukan nyeri. Jalan ini menurun
dari periaquaduktus abu-abu(PAG) menuju kornu dorsalis medulla spinalis.
reseptor ini juga dapat diidentifikasikan di perifer .
 Reseptor opioid dan endogen
Di dalam tubuh, ternyata ada senyawa opioid endogen. Peptida opioid
endogen merupakan ligan alami untuk reseptor opioid. Pada tahun 1975
diidentifikasi suatu faktor endogen mirip-opiat dan disebut enkefalin. Segera
setelah itu diidentifikasi dinorfin dan endorfin. Peptida opioid memiliki
urutan amino-ujung yang sama yaitu Tyr-Gly-Gly-Phe- (Met atau Leu) yang
disebut “motif opioid”. Dengan ditemukannya ligan endogen, maka tidak
mengherankan jika berikutnya ditemukan reseptor opioid. Hasil studi
mengenai ikatan reseptor dan kloning, diidentifikasi tiga reseptor opiat utama
yaitu µ, δ, κ. Anggota keempat yaitu reseptor nosiseptin/orfanin FQ (N/OFQ)
atau NOP (diidentifikasi tahun 1994). Keempat reseptor opioid termasuk
dalam kelompok reseptor tergandengan protein G (GPCR), dan sama-sama
memiliki homologi urutan yang ekstensif. Hal yang perlu diketahui yaitu
reseptor N/OFQ memiliki struktur yang sangat homolog dengan reseptor
opioid klasik, tetapi memiliki afinitas yang sangat rendah atau tidak memiliki
afinitas terhadap ligan opioid konvensional. Kemiripan struktur reseptor
N/OFQ dan ketiga reseptor opioid klasik paling tinggi di daerah
transmembran serta domain sitoplasma dan paling rendah pada domain
ekstrasel yang sangat penting untuk selektivitas ligan.
Reseptor opioid tersebar di SSP dari konsentrasi paling tinggi sampai
paling rendah adalah globus palidus, substansia abu-abu periakuaduktal,
medial thalamus, amigdala,area pontine,medulla oblongata,caudatus,

32 | P a g e
putamen,lateral thalamus, hipothalamus ,cerebellum dan girus hipokampus.
Menurut Jacquet ada dua reseptor utama di SSP :
1) Reseptor endorfin yang punya affinitas streospesifik untuk opiat yang
memediasi efek analgesi dan katatoni dan sensitif terhadap naloxon dikenal
sebagai reseptor mu.
2) Reseptor yang punya afinitas non streospesifik opiat berhubungan dengan
explosive motor behaviour tetapi insensitif terhadap naloxon oleh Lord dan
Kosterlitz dikenal sebagai reseptor delta.
Reseptor endorfin punya affinitas terhadap morfin dan endorfin bila ditempati
opiat akan menginhibisi aktifitas reseptor kedua.
Kebanyakan opioid yang digunakan secara klinis relatif selektif untuk reseptor µ,
mencerminkan kemiripannya dengan morfin. Namun, perlu diingat bahwa obat
yang relatif selektif pada dosis standar akan berinteraksi dengan subtipe reseptor
lain bila diberikan dalam dosis yang cukup besar, yang memungkinkan
menyebabkan perubahan profil farmakologisnya. Hal ini terutama berlaku jika
dosis ditingkatkan untuk mengatasi toleransi. Beberapa obat, terutama yang
bersifat campuran agonis-antagonis, berinteraksi dengan lebih dari satu golongan
reseptor pada dosis klinis yang biasa. Kerja obat ini sangat menarik, karena dapat
bekerja sebagai suatu agonis pada satu reseptor dan antagonis pada reseptor
lainnya.
 Kandungan Opium
Opium digunakan dengan dihirup atau dengan cara ditusukkan pada kulit
yang akan memberikan efek analgesia, selain itu juga akan menyebabkan depresi
pernafasan dan kematian sesuai dengan derajat absorbsi yang diberikan. Opium
merupakan campuran bahan kimia yang mengandung gula, protein, lemak, air,
lilin nabati alami, lateks, dan beberapa alkaloid. Adapun alkaloid yang terkandung
antara lain morfin (10%-15%), kodein (1%-3%), noskapin (4%-8%), papaverin
(1%-3%), dan thebain (1%-2%). Beberapa dari alkaloid-alkaloid tersebut banyak
digunakan untuk pengobatan diantaranya: untuk nyeri (morfin dan kodein), untuk
batuk (kodein dan noskapin) dan untuk mengobati spasme visceral (papaverin).
Morfin berhasil diisolasi oleh Seturner pada tahun 1803, kemudian dilanjutkan
dengan kodein tahun 1832 lalu papaverin tahun 1848.
 Klasifikasi Senyawa Opioid
o Agonis reseptor µ
 Alkaloid
1) Morfin
Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupaakan
alkaloida utama dari opium ( C17H19NO3 ) . Morfin rasanya pahit, berbentuk
tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaiannya
dengan cara dihisap dan disuntikkan. Morfin merupakan agonis reseptor opioid,

33 | P a g e
dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi reseptor µ-opioid pada sistem
saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi, euforia, physical
dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis
reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis. Morfin juga
mengaktivasi reseptor δ, yang mana memegang peranan dengan menimbulkan
depresi pernafasan seperti opioid.
Efek awal dari Morfin termasuk waktu reaksi melambat, mengantuk, kesadaran
depresi, kinerja yang buruk pada perhatian dibagi dan tugas psikomotor. Para efek
akhir dari Morfin termasuk tidak perhatian, waktu reaksi melambat, konsentrasi
yang buruk, tingkat kesalahan yang lebih besar dalam tes, kelelahan, gangguan
mudah dll. Penyalahgunaan jangka panjang dari hasil Morfin efek mematikan
seperti kerusakan otak karena efek neurotoksik obat. Ini adalah proses yang
panjang dan menyakitkan untuk mengatasi ketergantungan psikologis pada
Morfin. Ada kemungkinan besar kambuh di penyalahguna Morfin setelah
menghentikan penggunaannya. Tingkat tinggi kambuh bersaksi karakteristik
adiktif Morfin. Oleh karena itu, penting untuk tidak menderita dari semua masalah
ini dengan mendapatkan kecanduan Morfin. Ini hanya memberikan sedikit
kesenangan tapi kemudian membunuh seperti racun lambat.
2) Hidromorfon
Hidromorfon adalah derivat morfin dengan potensi 5 kali lebih besar jika
dibandingkan dengan morfin. Jika dibandingkan dengan morfin, hidromorfon
mempunyai efek sedasi yang lebih besar, efek euphoria yang lebih kecil serta
durasi kerja yang lebih pendek.
3) Kodein
Kodein merupakan obat antitusif kuat yang sering digunakan pada praktek medis
sehari-hari. Sekitar 10% kodein dimetilasi di hepar menjadi morfin. Hal ini
membuat kodein efektif sebagai analgesik oral. Jika diberikan im efek analgesia
120 mg kodein setara dengan 10 mg morfin. Pemberian kodein secara iv tidak
disarankan oleh karena kejadian hipotensi yang dikaitkan dengan efek pelepasan
histaminnya cukup besar.
4) Oksikodon
Oksikodon adalah opioid derivat dari thebain yang ditemukan di Jerman tahun
1916 sebagai salah satu opioid semi sintetik. Terapi oksikodon untuk nyeri sedang
hingga berat sudah terbukti dan oleh European Association for Palliative Care,
oksikodon digunakan sebagai second line alternative drug setelah morfin. Gejala
withdrawal sering didapatkan pada pengguna oksikodon jangka panjang yang
mengalami henti obat seketika. Oleh karena itu disarankan untuk menghentikan
oksikodon bertahap.
5) Hidrokodon

34 | P a g e
Hidrokodon adalah opioid semisintetik derivat dari kodein dan thebain. Pertama
disintesis di Jerman tahun 1920 yang kemudian digunakan secara luas sebagai
terapi nyeri sedang hingga berat. Opioid ini selain mempunyai kekuatan analgesik
juga mempunyai efek antitusif yang cukup kuat.
6) Dihidrokodein
Dihidrokodein adalah opioid semisintetik yang ditemukan di Jerman tahun 1908
yang memiliki struktur kimia menyerupai kodein. Selain analgesik, obat ini juga
memiliki efek antitusif yang cukup kuat.
7) Heroin. ( putaw )
Heroin atau juga dikenal sebagai diasetilmorfin adalah opioid sintetik sebagai
hasil asetilasi dari morfin. Penetrasi cepat ke otak adalah salah satu keistimewaan
obat ini oleh karena kelarutan lemak serta struktur kimianya yang unik. Heroin
sudah tidak beredar lagi di AS oleh karena potensi ketergantungan fisiknya yang
cukup tinggi. Heroin (diasetilmorfin) termasuk golongan opioid agonis dan
merupakan derivat morfin yang terbuat dari morfin yang mengalami asetilasi
pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Heroin mempunyai kekuatan yang
dua kali lebih kuat dari morfin dan merupakan jenis opiat yang paling sering
disalahgunakan orang di Indonesia pada akhir - akhir ini . Heroin, yang secara
farmakologis mirip dengan morfin menyebabkan orang menjadi mengantuk dan
perubahan mood yang tidak menentu. Walaupun pembuatan, penjualan dan
pemilikan heroin adalah ilegal, tetapi diusahakan heroin tetap tersedia bagi pasien
dengan penyakit kanker terminal karena efek analgesik dan euforik-nya yang
baik.
Efek yang timbul akibat penggunaan heroin
Menurut national Institute Drug Abuse (NIDA), dibagi menjadi efek segera
(shortterm) dan efek jangka panjang (long term)
Efek segera (short term) Efek jangka panjang (long term)
o Gelisah o HIV, hepatitis
o Depresi pernafasan o Kolaps vena
o Fungsi mental trganggu o Infeksi bakteri
o Mual dan muntah o Penyakit paru (pneumonia,
o Menekan nyeri TBC)
o Abortus spontan o Infeksi jantung dan katupnya
Pengaruh heroin terhadap wanita hamil:
o Menimbulkan komplikasi serius, abortus spontan, lahir prematur
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik memiliki resiko tinggi untuk
terjadinya SIDS (Sudden Infant Death Syndrome)
o Bayi yang lahir dari ibu pecandu narkotik dapat mengalami gejala with drawl
dalam 24-36 jam setelah lahir. Gejalanya bayi tambah gelisah, agitasi, sering

35 | P a g e
menguap, bersin dan menangis, gemetar, muntah, diare dan pada beberapa kasus
terjadi kejang umum

 Opioid sintetik
1) Derivat fenil piperidin
 Fentanyl
Fentanyl adalah opioid sintetik yang secara struktur mirip dengan
meperidin. Potensial analgesiknya 75-125 kali lebih besar daripada
morfin. Mempunyai onset dan durasi yang lebih cepat jika
dibandingkan dengan morfin hal ini dikarenakan kelarutan lemak
fentanyl yang tinggi. Diekskresi melalui urin dan dapat dideteksi
72 jam setelah pemberian iv. Namun <10% tetap tidak
termetabolisme dan diekskresikan melalui urin. Setelah pemberian
bolus iv, fentanyl tersebar terutama pada organ yang kaya
vaskularisasi seperti otak, paru-paru dan jantung. Fentanyl juga
diberikan transdermal dengan sediaan 12,5-100 µg yang ditujukan
terutama pasien postoperatif serta pasien dengan nyeri kanker. Jika
dibandingkan dengan morfin, fentanyl kurang menyebabkan
pelepasan histamin namun lebih sering mencetuskan bradikardi.
Pemberian fentanyl iv secara cepat dapat mencetuskan otot rigid,
batuk bahkan kejang. Fentanyl juga dapat meningkatkan tekanan
intrakranial hingga 6-9 mmHg oleh karena efek vasodilatasi.
 Sufentanyl
Sufentanyl merupakan analog dari fentanyl dan mempunyai
kekuatan analgesi 5-10 kali lebih besar daripada fentanyl.
Dimetabolisme terutama di hepar melalui proses N-dealkilasi dan
O-demetilasi. Ekskresi terutama di urine dan faeses dengan <1%
dari sufentanyl tidak berubah. Pada pemberian sufentanyl dengan
dosis 0,1-0,4 µg/kgBB memberikan waktu yang lebih lama serta
efek depresi pernafasan yang lebih rendah jika dibandingkan
dengan dosis fentanyl 1-4 µg/kgBB. Jika dibandingkan dengan
opioid yang lain, sufentanyl mempunyai beberapa kelebihan
terutama penurunan kebutuhan oksigen metabolisme di otak serta
aliran darah otak cenderung menurun atau hampir tidak mengalami
perubahan yang berarti.
 Remifentanyl
Remifentanyl adalah agonis selektif reseptor opioid u dengan
potensi analgesi menyerupai fentanyl (15-20 kali lebih poten
daripada alfentanyl). Struktur kimia remifentanyl tergolong unik
karena meskipun tergolong derivat fenilpiperidin, remifentanyl

36 | P a g e
mempunyai gugus ester. Sehingga metabolism remifentanyl juga
terjadi oleh hidrolisis enzim esterase di plasma maupun jaringan
yang lain menjadi metabolit yang inaktif. Onset yang cepat, waktu
pulih yang singkat dan efek yang relative non kumulatif
menjadikan remifentanyl opioid yang sering dipakai intraop di
negara-negara maju saat ini. Hasil metabolisme remifentanyl
adalah asam remifentanyl, yang juga agonis reseptor u dengan
potensi 1/300-1/4600 dari asalnya. Hasil metabolit yang lain
adalah N-dealkilasi remifentanyl yang juga diekskresikan terutama
melalui urin. Dosis 0,25-1 µg/kgBB memberikan efek analgesia
yang memuaskan. Namun pemberian remifentanyl intratekal tidak
disarankan oleh karena adanya glisin pada vehikulum obat ini.
Glisin mempunyai efek menginhibisi neurotransmitter pada
medulla spinalis.
 Petidin
Meperidin atau petidin merupakan opioid sintetik yang bekerja
agonis terhadap reseptor u dan k sebagai derivat dari fenilpiperidin.
Secara struktur, meperidin mempunyai bentuk menyerupai atropin
sehingga beberapa efek atropine juga dimiliki oleh atropine ini
seperti takikardi, midriasis dan antispasmodic. Morfin mempunyai
potensi 1/10 morfin dengan durasi kerja 2-4 jam. Meperidin
diabsorbsi baik pada GIT tapi mempunyai efektifitas ½ jika
dibandingkan dengan pemberian IM.. Normeperidin mempunyai
waktu paruh eliminasi 15 jam dan dapat dideteksi di urin 3 hari
setelah pemakaian. Normeperidin mempunyai potensi ½
meperidin sebagai analgesik dan menstimulasi sistem saraf pusat.
Kejang, mioklonus, delirium dan halusinasi yang dapat terjadi
setelah pemberian meperidin adalah sebagai akibat efek stimulasi
saraf pusat oleh normeperidin. Sekitar 60% meperidin terikat pada
protein, sehingga pada pasien tua terjadi peningkatan jumlah obat
bebas pada plasma dan mencetuskan terjadinya peningkatan
sensitifitas pada opioid. Konsentrasi plasma 0,7µg dianggap
mampu secara efektif meghilangkan nyeri post operatif. Selain
sebagai analgesia yang poten, meperidin juga mempunyai efek anti
menggigil postoperatif yang jika dibiarkan lama dapat
meningkatkan konsumsi oksigen pada tubuh. Efek anti menggigil
postoperatif dari meperidin didapatkan sebagai salah satu kerjanya
pada reseptor k2. Selain itu klonidin, ondansetron, dan butorfanol
juga merupakan obat-obatan yang dipakai untuk mengatasi
menggigil setelah operasi. Pemberian meperidin dengan obat-

37 | P a g e
obatan antidepresan dapat mencetuskan sindrom serotonin yaitu
suatu ketidakstabilan sistem saraf otonom yang ditandai hipertensi,
takikardi, diaphoresis, hipertermi, perubahan perilaku, agitasi dan
perasaan bingung.
2) Derivat difenilheptan :
 Methadon
Methadon merupakan agonis opioid sintetik yang digunakan untuk
penanganan nyeri kronik berat terutama penanganan
ketergantungan opioid oleh karena efek ketergantungannya yang
rendah, penyerapan lewat oral yang bagus, onsetnya relatif cepat
dan durasinya lama. Methadone 20mg iv dapat menghasilkan
analgesia hingga >24jam. Dimetabolisme terutama di hepar
menjadi metabolit inaktif yang selanjutnya akan diekskresikan
melalui urin dan empedu.
 Propoksifen
Struktur propoksifen secara umum sama dengan methadone
sebagai salah satu agonis opioid yang poten. Dimana dosis oral 90-
120 mg menghasilkan efek analgesia setara dengan 60 mg kodein
atau 650 mg aspirin. Propoksifen diserap dengan baik melalui GIT
yang kemudian dimetabolisme terutama di hepar. Efek samping
yang utama adalah vertigo, sedasi, mual dan muntah.

o Agonis-antagonis campuran
1) Alkaloid semisintetik
 Nalbifin
Nalbufin adalah agonis-antagonis opioid yang secara kimia mirip
dengan oksimorfon dan nalokson. Nalbufin dimetabolisme
terutama di hepar. Efek samping yang paling sering adalah sedasi
pada pemberian nalbufin. Tidak seperti pentazosin dan butorfanol,
nalbufin tidak menyebabkan pelepasan katekolamin sehingga
hemodinamik pasien relatif stabil. Oleh karena itu nalbufin
merupakan pilihan yang tepat untuk digunakan pada pasien dengan
gangguan jantung, seperti pada tindakan kateterisasi jantung.
2) Opioid Sintetik
 Derivat benzomorfan
Pentazocin
Pentazosin merupakan agonis dan antagonis reseptor opioid yang
lemah pada reseptor k dan d dengan potensi sekitar 1/5 dari obat
nalorfin. Pentazosin diserap baik melalui rute oral maupun
perenteral yang kemudian dimetabolisme di hepar melui proses

38 | P a g e
oksidasi menjadi glukoronid inaktif yang akan diekskresikan
terutama melalui urin dan kemudian empedu. Dengan dosis 10-
30mg iv atau 50mg oral, setara dengan kodein 60 mg, mampu
mengatasi nyeri sedang. Efek samping yang sering dari pentazosin
adalah sedasi yang kemudian diikuti dengan diaphoresis dan
pusing. Pentazosin menyebabkan pelepasan katekolamin pada
tubuh kita sehingga Pentazosin sebesar 20-30 mg im mempunyai
efek analgesia, sedasi dan depresi pernafasan yang setara dengan
10 mg morfin. Tidak seperti morfin, pentazosin tidak memiliki
efek miosis pada pupil mata.
3) Derivat morfinian
Butorfanol
Butorfanol adalah agonis dan antagonis opioid yang menyerupai
pentazosin. Efek agonisnya 20 kali lebih besar dan efek
antagonisnya 10 hingga 30 kali lebih besar jika dibandingkan
dengan pentazosin. Butorfanol memiliki afinitas yang lemah
sebagai antagonis pada reseptor u dan afinitas yang sedang pada
reseptor k untuk menghasilkan analgesia dan efek anti
menggigil. Pada prakteknya butorfanol 2-3 mg im menghasilkan
efek analgesia dan depresi pernafasan setara dengan morfin 10
mg. Butorfanol terutama dimetabolisme menjadi metabolit
inaktif hidroksibutorfanol yang diekskresi terutama di empedu
dan sebagian kecil pada urin. Efek samping yang paling sering
adalah sedasi, mual dan diaphoresis. Efek pelepasan katekolamin
yang dimiliki pentazosin juga dimilikioleh butorfanol ini
sehingga akan didapat peningkatan laju nadi dan tekanan darah
pada pasien.
o Antagonis reseptor µ
Nalokson
Nalokson adalah antagonis nonselektif pada ketiga reseptor opioid. Dengan dosis
1-4mg/kgBB iv dapat membalikkan efek overdosis akibat obat-obatan opioid.
Durasi kerja nalokson sekitar 30-45 menit, sehingga pemberian continuous 5
mg/kgBB iv/jam perlu dilanjutkan untuk mendapatkan efek yang maksimal.
Nalokson dimetabolisme terutama di hepar melalui proses konjugasi dengan asam
glukoronat menjadi nalokson-3-glukoronid. Pemberian nalokson iv yang cepat
dapat menimbulkan kejadian mual dan muntah.oleh karena itu pemberian bolus
harus pelan yaitu 2-3 menit. Efek stimulasi kardiovaskuler juga sering ditemukan
pada pemberian nalokson ini sebagai akibat dari meningkatnya aktifitas sistem
saraf simpatis dan rangsangan nyeri yang kembali terasa. Peningkatan aktifitas

39 | P a g e
sistem saraf simpatis ini dimanifestasikan dengan takikardi, hipertensi, edema
paru serta disritmia jantung.
Nalmefen
Nalmefen adalah antagonis reseptor opioid 6-methilen analog dan equipoten
dengan naltrekson. Dosis yang direkomendasikan 15-25mg iv yang diberikan
titrasi tiap 2-5 menit hingga efek sesuai dengan yang diinginkan denga dosis total
tidak boleh melebihi 1 mg/kgBB. Kelebihan nalmefen jika dibandingkan dengan
naltrekson adalah durasi kerjanya yang lebih lama. Nalmefen dimetabolisme di
hepar melalui proses konjugasi dan diekskresikan terutama di urin.
o Opioid Endogen
Selain opioid yang berasal dari luar (eksogen) yang telah diterangkan diatas
sebelumnya, di tubuh kita juga mengasilkan senyawa opioid yang secara alami
terbentuk yang biasa disebut opioid endogen. Ada beberapa struktur opioid
endogen yang telah ditemukan yaitu : Golongan Enkefalin adalah salah satu jenis
opioid endogen yang merupakan derivat dari prekursornya yaitu proenkefalin.
Setiap molekul proenkefalin mengandung empat rantai met-enkefalin, satu rantai
leu-enkefalin dan beberapa peptide yang menyerupai enkefalin namun dengan
molekul yang lebih besar. Golongan enkefalin ini secara umum bekerja seletif
pada reseptor δ. Senyawa ini ditemukan di medulla kelenjar adrenal dan di ujung
saraf yang mengandung katekolamin. Golongan enkefalin bekerja di reseptor
opioid presinaps pada neuron nosiseptif yang mengandung neurotransmitter
seperti substansi P. Secara alami golongan enkefalin dihidrolisa oleh dengan cepat
oleh enzim peptidase di plasma darah kita.
Prodinorfin yang juga biasa disebut sebagai proenkefalin B mengandung senyawa
dinorfin A dan dinorfin B. Keluarga dinorfin terutama berikatan dengan reseptor
κ dan distribusi lokasinya hamper sama dengan enkefalin. Dinorfin yang
meningkat ini juga dapat mencetuskan hiperalgesia yang lama. Hal ini
dsisebabkan oleh karena dinorfin A juga dapat mengaktivasi NMDA reseptor
kompleks.
Proopiomelanocortin (POMC) merupakan salah satu prekursor yang banyak
ditemukan di hipotalamus dan kelenjar pituitari, dimana dalam satu molekulnya
terdapat peptida opioid dan non opioid. Struktur N-terminal POMC menyerupai
met-enkefalin namun POMC tidak berubah menjadi met-enkefalin. 31 asam
amino pada rantai terakhir dari POMC akan berubah menjadi β-endorfin yang
merupakan opioid endogen yang sangat penting yang berikatan dengan reseptor
µ. POMC juga berubah menjadi beberapa hormon non opioid seperti
adrenokortikotropik hormon (ACTH), melanosit-stimulating hormon (MSH) dan
lipotropin.
Proorphanin akan berubah menjadi orphanin FQ (yang disebut juga sebagai
nosiseptin), sebuah peptide yang mengandung 17 jenis asam amino. Meskipun

40 | P a g e
proorphanin mempunyai struktur yang homolog dengan ketiga jenis yang lainnya
namun orphanin tidak berikatan dengan reseptor µ, κ, atau δ. Orphanin berikatan
dengan reseptor coupling protein-G (NOP). Dan menyebabkan respon seluler
yang menyerupai opioid yang lain, termasuk hambatan pada adenil siklase,
terbukanya gerbang Kalium serta blokade gerbang Kalsium tipe-N. Orfanin FQ
ditemukan di tempat yang tidak biasa seperti di hippocampus dan korteks sensoris.
Orphanin FQ mempunyai efek antianalgesik ketika memproduksi analgesia
spinal.
Golongan Endomorfin merupakan opioid agonis yang mempunyai afinitas tinggi
dan selektifitas yang tinggi pada reseptor µ. Molekul prekursor dari endomorfin
masih belum dapat ditemukan. Terdapat 2 macam endomorfin dibedakan menurut
struktur kiminya, endomorfin 1 dan endomorfin 2. Pada studi in vivo diketahui
bahwa endomorfin 1 bekerja melalui stimulasi reseptor µ2 sementara endomorfin
2 titik tangkap kerjanya melalui reseptor µ dan κ. Keduanya baik endomorfin 1
maupun endomorfin 2 bekerja menurunkan potensial aksi pada medulla daerah
rostral ventrolateral, daerah yang menjadi pusat pengatur tekanan darah.
Sementara di perifer endomorfin menurunkan noreprinefrin yang dilepaskan
neuron simpatis vaskuler.
D. Mekanisme Opium Pada Tubuh
Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai ketahanan
tubuh yang baik. Stres terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar manusia
yang akan dapat bermanifes pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan
perilaku. Paradigma yang banyak dianut pada saat ini adalah memfokuskan pada
hubungan antara perilaku, sistem saraf pusat (SSP), fungsi endokrin dan imunitas.
Mekanisme hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti
glukokortikoid, zat golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti
aktifitas sel natural killer (NK), interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi
interferon gama (IFN).
Pemakaian kronis opium dapat menyebabkan kelainan SSP berupa
bertambahnya jumlah reseptor opiat yang menjadi aktif diotak sesuai dengan
jumlah opiat yang ada dalam darah. Dengan PET Scan (Positron Emission
Tonografi) dapat diketahui topografi struktur otak yang mengandung reseptor
opiat dan kaitannya dengan efek obat pada tubuh. Dengan PET Scan dapat pula
diketahui bahwa penggunaan opiat secara kronis dapat merangsang penambahan
jumlah reseptor opiat diotak.Jumlah reeptor yang banyak ini mengakibatkan
timbulnya craving (Sugesti,rasa rindu pada narkotik). Pemakaian opiat yang terus
menerus akan menimbulkan kerusakan sistem keseimbangan alami opiat endogen
yang dihasilkan otak yang pada gilirannya menyebabkan kelainan SSP berupa
distres fisis dan aspek sekunder psikologis. Telah diketahui bahwa sel

41 | P a g e
noradrenergik lokus Sereleus (LS) (Nucleus pigmentosus) yang berada didasar
ventrikel IV adalah satu sistem noradrenergik utma otak yang berperan dalam
respons stress perilaku seseorang.
Bila opioid dipakai secara kronis maka sel sel LS beradaptasi terhadap
opiat dengan menaikkan jumlah CAMP dan protein kinase intra sel sehingga sel
menjadi aktif kembali dan menunjukkan toleransi terhadap
pemberian berikutnya. Jadi opiat dikeluarkan dari reseptor dengan cara
menmberi antagonis (naloxon,naltreon) maka sel-sel LS menjadi hiperaktif dan
banyak melepaskan hormon stress nor adrenalin otak yang akan memicu gejala
putus obat (withdrawal) dikenal dengan istilah Cold Turkey oleh karena spasmo
dari otot otot polos rambut (merinding).Bagaimana proses adaptasi selseol LS bisa
terjadi pada penggunaan opiat kronis belum sepenuhnya diketahui, diduga adanya
neuropeptida kolesistokinin dan N metil D Aspartat(NMDA) sebagai reseptor
glutamat yang berperan sebagai sistem neurotransmitter anti opiat yang
menimbulkan toleransi opiat. Kemungkinan lain adalah pengaruh negatif
penggabungan reseptor glutamat metabotropik grup II dan III dan produksi cAMP
memberi kontribusi peningkatan cAMP. Berdasarkan analisis ligan radio isotop
seperti Naloxon H3,fentanil isotiosinat,diinditifikasi adanya reseptor pada
permukaan limposit. Dan makrofag/monosit manusia. Diketahui fungsi makrofag
antara lain mensekrei sitokin interleukin I(II-I) sebagai substansi aktif pengatur
fungsi tubuh penting melalui hormon pelepas kortikotropin maupun sel LS dalam
sirkuit saraf komplex yang nengatur suhu badan,makanan,pola tidur dan perilaku
seseorang.
Morfin sendiri dapat menghambat proliferasi makrofag sehingga dapat dipahami
kekurangan sitokin interleukin( II-I) akan menimbulkan gangguan terhadap
respons stress melalui mekanisme seperti diatas. Jadi ketergantungan obat
merupkan gangguan fisiologi yang meliputi desensitisasi dan penambahan
reseptor Mu desensitisasi rseptor asam amino glutamat bahkan termasuk supressi
sistem imun sitokin II-I. Dalam hal ketergantungan dan toleransi tampaknya ada
perbedaan antara masing-masing reseptor opioid. Pada reseptor Mu agonis selalu
memudahkan toleransi dan ketergantungan, pada reseptor K toleransi ada tetapi
ketergantungan kurang menonjol, sementara reseptor delta agonis juga kurang
ketergantungan.
E. Efek Samping Opiad Yang Ditimbulkan
Mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan
penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal,
peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya
melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan
dalam identitas seksual, kematian karena overdosis.

42 | P a g e
 Gejala intoksitasi (keracunan) opioid
Konstraksi pupil (atau dilatasi pupil karena anoksia akibat overdosis berat) dan
satu (atau lebih) tanda berikut, yang berkembang selama, atau segera setelah
pemakaian opioid, yaitu mengantuk atau koma bicara cadel ,gangguan atensi atau
daya ingat.
Perilaku maladaptif atau perubahan psikologis yang bermakna secara klinis
misalnya: euforia awal diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau retardasi
psikomotor, gangguan pertimbangaan, atau gangguan fungsi sosial atau pekerjaan
yang berkembang selama, atau segera setelah pemakaian opioid.
 Gejala putus obat
Gejala putus obat dimulai dalam enam sampai delapan jam setelah dosis terakhir.
Biasanya setelah suatu periode satu sampai dua minggu pemakaian kontinu atau
pemberian antagonis narkotik. Sindroma putus obat mencapai puncak
intensitasnya selama hari kedua atau ketiga dan menghilang selama 7 sampai 10
hari setelahnya. Tetapi beberapa gejala mungkin menetap selama enam bulan
atau lebih lama.
 Gejala putus obat dari ketergantungan opioid
kram otot parah dan nyeri tulang, diare berat, kram perut, rinorea
lakrimasipiloereksi, menguap, demam, dilatasi pupil, hipertensi takikardia
disregulasi temperatur, termasuk pipotermia dan hipertermia. Seseorang dengan
ketergantungan opioid jarang meninggal akibat putus opioid, kecuali orantersebut
memiliki penyakit fisik dasar yang parah, seperti penyakit jantung.

43 | P a g e
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Uraian yang disampaikan telah menjelaskan bahwa ada keterkaitan antara kondisi
pskikis sesorang dengan perubahan biologis, yang dicerminkan oleh kinerja syaraf
dan system imun melalui oleh produk neroendokrim. Perubahan psikologis ini
merupakan dasar dan psikoneuroimunologis. Selain itu juga telah disampaikan
kejadian penyakit akibat stress. Uraian ini diharapkan memberikan pemahaman
bahwa system imun tidak otonom karena dipengaruhi kinerja otak dan
pemahaman psikologis sangat diperlukan dalam pemahaman
psikoneuroimonologi.

44 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Ader R dan Cohen R,1975. Behaviorally conditioned immune-suppression.


Pychosmatic medicine 37,333-340

Batrop RW, Lazarus L , Luckhesrt E, 1977. Depressed Iymphocyte function afther


bereavement. Luncet I (8016),834-836

Keller S.E, e a 1983. Stress induced suppression in immunity in adrenalectomized


rats. Scince, 221,1301-1304

Laudenslger ML, e a, 1983. Coping and immunosuppression, scince 221,568-570

Shavit Y, e a 1986, inovement of brain opiate receptors in the immunesuppressive


effect of morphiee.procceding of the psychiatry academy of scinces , USA, 7114-
7117

https://www.academia.edu/36107919/makalah_interaksi_sel_pensinyalan_sel_komu
nikasi_sel

https://www.academia.edu/23319964/Respons_Imun_Terhadap_Infeksi_Bakteri

https://www.academia.edu/21583130/reseptor_inti_reseptor_estrogen_

45 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai